Perubahan Iklim
Oleh :
Mutmainnah (H22115502)
Data yang digunakan untuk penelusuran ataupun indikator kecenderungan pemanasan global
meliputi data temperatur udara global perioda pengamatan 1891 sampai Desember 2008
(TCC JMA, 2009) dan data anomali suhu muka laut tropis (20° LU-20° LS) dalam rentang
pengamatan 1870 sampai Oktober 2005 dengan penekanan adanya variasi dekadal (Rayner et
al, 2003 dalam Anthes et al, 2006), serta data suhu udara permukaan untuk skala waktu dan
ruang yang lebih kecil, yaitu untuk wilayah Pontianak Supadio (0,15°LS; 109,40°BT) dalam
rentang pengamatan 1973-2006 dan wilayah Jakarta Kemayoran (6,15°LS; 106,85°BT)
dalam rentang pengamatan 1951-2002 (Suryantoro dan Siswanto, 2008). Sedang data yang
digunakan untuk analisis keterkaitan pemanasan global (utamanya di wilayah-wilayah
perairan / lautan yang dekat dengan Benua Maritim Indonesia (BMI), dengan jumlah kejadian
dan reflektivitas maksimum butir curah hujan dalam sistem siklon tropis yang ditinjau adalah
data suhu muka laut dan anomalinya untuk wilayah samudera India tropis (5°LU-5°LS,
60°BT-120°BT) dan samudera Pasifik barat tropis (5°LU-5°LS, 120°BT-160°BT) perioda
pengamatan 1950-2008 dari TCC (Tokyo Climate Center) Jepang, dan data reflektivitas
maksimum butir curah hujan sensor PR (Precipitation Radar) satelit TRMM (Tropical
Rainfall Measuring Mission) saat terjadi siklon tropis dari TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission) GSFC (Goddard Space Flight Center) NASA (National Aeronautics and
Space Administration) perioda Januari 2008-Desember 2008.
Dari analisis deret waktu data suhu udara permukaan global dan suhu muka laut daerah
Samudera India Tropis dan Samudera Pasifik Barat Tropis memang terdapat indikasi
pemanasan global.
Terdapat dua dampak yang menjadi isu utama berkenaan dengan perubahan iklim,
yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut yang menyebabkan
tergenangnya air di wilayah daratan dekat pantai. Dampak lain yang diakibatkan oleh naiknya
muka laut adalah erosi pantai, berkurangnya salinitas air laut, menurunnya kualitas air
permukaan, dan meningkatnya resiko banjir. Data DEM (Digital Elevation Model) ini adalah
representasi digital dari topografi permukaan atau terrain (Ustun, 2006; Ling et al, 2005;
Nghiem, 2000). Selain itu, data keluaran Kenaikan Muka Laut dari Skenario B2 AIM dengan
Skenario Kebijakan A1B AIM juga digunakan. Data tersebut selanjutnya dikalibrasi dengan
menggunakan data Time Series Ketinggian Muka Laut yang dikeluarkan oleh TOPEX dan
JASON .Panjang data time series untuk keluaran skenario perubahan iklim adalah dari tahun
1990 hingga tahun 2100. Sedangkan data dari TOPEX dan JASON adalah tahun 1992 hingga
tahun 2005.
Ada dua tahap utama dalam melakukan penelitian ini, yaitu menjalankan model
perubahan iklim berdasarkan skenario B2AIM dan kemudian mengolah data SRTM menjadi
DEM menggunakan teknik penginderaan jauh. Data SRTM90m yang dirilis oleh NASA
digunakan sebagai data DEM, tetapi data DEM merupakan data DEM Daratan, sementara
data DEM Lautan belum dibuat. Oleh karena itu, data DEM untuk lautan di daerah Indonesia
harus dibuat dari data TOPEX dan JASON. Setelah model DEM untuk daratan dan lautan
diperoleh, selanjutnya adalah tahap memasukkan data output SLR dari MAGICC/SCENGEN
untuk persamaan DEM lautan yang sudah dibuat. Sesudah itu, DEM lautan dan daratan
diambil untuk tahun 2010, 2050, dan 2100.
Berkenaan dengan proyeksi kenaikan muka laut, telah dilakukan penelitian sebelumnya,
yaitu proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia. Hasil proyeksi tersebut
menunjukkan wilayah Indonesia mengalami kehilangan daratan-daratan akibat kenaikan
muka laut. Jika diambil hasil proyeksi untuk tahun 2010, 2050, dan 2100 dengan luas daratan
2 2 2
yang hilang secara berturut-turut seluas 7408 km , 30120 km , dan 90260 km (Susandi, dkk.,
2008).
Source : Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah
Banjarmasin, Oleh : Armi Susandi, Indriani Herlianti, Mamad Tamamadin, Irma Nurlela
3. Cuaca Ekstrem
Citra satelit banyak digunakan untuk keperluan mendeteksi potensi sebaran awan hujan,
citra satelit yang digunakan umumnya channel IR dan visible. Kedua channel ini
dimanfaatkan untuk mendapatkan interpretasi yang mendekati kenyataan. Citra satelity IR
adalah hasil gambar yang diperoleh berdasarkan pantulan suhu, sedangkan citra satelit visible
diperoleh berdasarkan tingkat refleksifitas permukaan [3]. Satelit MTSAT merupakan satelit
yang dimiliki jepang dan memiliki 4 kanal yaitu IR1, IR2, IR4, VIS. Empat kanal citra satelit
MTSAT masing-masing memiliki karakteristik kegunaan masing-masing. Satelit MTSAT/
GMS (Geostasionary Meteorological Satellite) berorbit pada posisi tetap yaitu 140_BT tepat
terletak di kota Biak dengan ketinggian ± 36000 km dari permukaan bumi dan memantau
tempat yang sama 1/3 bumi dari luas bumi. Data satelit ini diterima rutin setiap satu jam oleh
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta. Pengamatan yang dilakukan satelit
MTSAT meliputi permukaan bumi, liputan awan, angin, badai, ENSO (El Nino and Southern
Oscilation), posisi dan gerak ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone), menduga curah
hujan. Satelit TRMM dikeluarkan NASA untuk mengukur curah hujan di wilayah tropis.
Pengamat curah hujan meliputi wilayah lautan yang mana tidak ada pengamatan secara
manual dilakukan. TRMM akan memberikan informasi keberadaan awan dan hujan. TRMM
tidak hanya memberikan data curah hujan tapi yang lebih penting juga memberikan informasi
panas yang terjadi di atmosfer sebagai bagian proses hujan. Citra satelit IR 1 (Gambar 7)
menunjukkan pada saat kejadian curah hujan ekstrim yaitu pada pukul 08.00 UTC, citra
satelit IR tidak terlihat terlalu pekat dan merata warna putihnya sehingga ini yang
menyebabkan nilai konversi piksel ke suhu puncak awan memiliki nilai suhu puncak awan
yang tinggi. Berbeda dengan citra satelit pada pukul 13.00 dan 21.00 UTC terlihat citra satelit
yang putih pekat dan merata di atas wilayah Manado sehingga nilai piksel tinggi yang
mengindikasikan suhu puncak awan yang rendah. Citra satelit IR 1 digunakan untuk melihat
suhu puncak awan pada perangkat lunak GMSLPW dan dapat diperoleh kontur (a) (b) (c)
Gambar 8: Kontur suhu puncak awan pada pukul 08.00, 13.00 dan 20.00 UTC. suhu puncak
awan seperti pada Gambar 8. Kontur suhu puncak awan menunjukkan pada pukul 08.00 UTC
suhu puncak awan sebesar -30_C, pada 13.00 UTC sebesar -60_C dan pada
21.00 UTC sebesar -70_C, yang mengindikasikan awan Cumulonimbus makin kuat.
Source : Analisis Citra Satelit MTSAT dan TRMM menggunakan Software ER
MAPPER, SATAID dan PANOPLY saat Kejadian Curah Hujan Ekstrim di Wilayah
Manado, 16 Februari 2013; oleh Novvria Sagita_ dan Ratih Prasetya
4. Kriosper
Pada dekade terakhir ini, peneliti terus meningkatkan keakuratan model prediksi cuaca
numerik terkait variasi jangka panjang monsun Asia – Australia, termasuk menginisiasi
faktor antropogenik yang mempengaruhi perubahan iklim. Model numerik seperti ini
umumnya dijalankan oleh komputer super sebagai representasi interaksi atmosfer – laut –
darat – kriosfer secara matematis. Saat ini kurang lebih terdapat 25 pusat pemodelan numerik
yang saling berkoordinasi dalam menginvestigasi perubahan iklim global. Model prediksi
cuaca numerik kuno umumnya merupakan model partikular, yang mana hanya memasukan
satu atau dua variabel kendali cuaca dan iklim kedalamnya. Model numerik seperti ini
memiliki banyak kekurangan karena kompleksitas fisis yang berbeda yang dihasilkan oleh
model numerik partikular ( konveksi, mikrofisika awan dan hujan, proses meteorologi lapisan
batas, dll.), dan dalam kaitan dengan terbatasnya ruang lingkup model partikular,
ketidakpastian prediksinya sangatlah besar. Model prediksi numerik kontemporer berbeda
dengan model partikular. Model prediksi numerik kontemporer umumnya merupakan
penggabungan berbagai variabel fisis dengan syarat batas yang cukup luas. Third Coupled
Model Intercomparison Project ( CMIP – 3 ) merupakan model kontemporer yang digunakan
untuk merepresentasikan kondisi monsun Asia – Australia dengan rentang waktu 100 tahun (
2001 – 2100 ). CMIP – 3 menunjukkan faktor antropogenik turut meningkatkan secara umum
rerata curah hujan monsun di India, Asia Timur, dan Pasifik bagian barat selama bulan juni
hingga agustus. Sementara itu, CMIP – 3 juga menunjukkan peningkatan curah hujan selama
bulan desember hingga februari ketika musim panas di BBS. Meskipun terdapat indikasi
peningkatan curah hujan di Australia selama bulan desember – februari, CMIP – 3 kurang
mendapat sambutan antusias dari komunitas ilmiah.
Disamping CMIP – 3, model – model prediksi numerik lainnya memperlihatkan tren
variabilitas curah hujan monsun bulanan akan lebih variatif dari tahun ke tahun. Saat ini
fokus utama dalam pemodelan numerik terkait iklim jangka panjang terletak pada
pengembangan pemodelan aerosol dan konveksi. Salah satu usaha untuk mendapatkan model
numerik yang lebih terpercaya dan mengurangi ketidakpastiannya adalah membangun sistem
pengamatan internasional. Program pengamatan internasional yang telah dijalankan
diantaranya, World Climate Research Programme yang disponsori Asian Monsoon Years (
AMY 2007 – 2012 ), dan Global Energy and Water Cycle Experiment / Coordinated Energy
and Water Cycle Observations Project ( GEWEX/CEOP ) yang telah mengumpulkan data
secara in – situ, dan satelit untuk menyediakan rekaman kontinyu yang akan dijadikan bahan
untuk mengingkatkan kerja model prediksi numerik monsun. Disamping kedua program tadi,
terdapat program lainnya yang berkaitan dengan peningkatan observasi dan pemodelan cuaca
dan iklim seperti, Dynamics of Madden – Julian Oscillation ( DYNAMO ), dan Year of
Tropical Convection ( YOTC ) yang dirancang untuk prediksi siklus aktif – pasif jangka
menengah ( 10 – 30 hari ), dan musiman ( ~ 90 hari ). Para peneliti juga tengah
mengembangkan model numerik untuk aerosol, khususnya yang berhubungan dengan awan
cokelat Asia ( Asian Brown Cloud ). Kehadiaran awan cokelat Asia mempunyai dampak
besar pada pemanasan radiatif di atmosfer yang nantinya mempengaruhi siklus hidrologi di
wilayah monsun Asia – Australia. Diharapkan dengan pengembangan observasi dan
pemodelan tersebut menghasilkan sintesa yang dapat meningkatkan pemahaman tentang
monsun Asia – Australia, dan terlebih meningkatkan prediktabilitas variasi monsun secara
tepat dan efektif. Pada tahun 2011 telah dikembangkan model prediksi numerik dari CMIP –
3 yang disebut sebagai CMIP – 5. CMIP – 5 dipublikasikan dalam Laporan Kerja
Intergovernmental Panel on Climate Change ( IPCC ) yang ke – 5 tahun 2013. CMIP – 5
menggunakan sistem yang lebih kompleks dari CMIP – 3. CMIP – 5 dapat memodelkan
iklim masa lampau, kini dan depan. Simulasi CMIP – 5 diharapkan menyediakan pemahaman
yang cukup tentang bagaimana perubahan iklim mempengaruhi pola monsun Asia – Australia
Source : Sekilas Sistem Monsun Asia – Australia; Oleh Sandy Hardian. S. H.,