(2) subcutaneus, yang berkembang pada dermis dan/atau jaringan subkutan, dan
(3) deep/systemic, yang dapat menyebar melalui hematogen serta menyebabkan infeksi
oportunistik pada host dengan immunocompromised.
Mikosis superfisial juga dibagi menjadi dua, yaitu dermatofitosis dan non
dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi jamur dermatofita (spesies
microsporum, trichophyton, dan epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian
superfisial (stratum korneum), kuku dan rambut. Dermatofitosis terdiri dari tinea capitis,
tinea barbae, tinea cruris, tinea pedis et manum, tinea unguium dan tinea corporis.
Sedangkan non dermatofitosis terdiri dari pitiriasis versikolor, piedra hitam, piedra putih,
tinea nigra palmaris, otomikosis dan kerato mikosis.
Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada kulit tubuh yang
tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk pengobatan infeksi pada
kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan luas, infeksi pada stratum
korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat anti jamur topikal lebih sedikit
3
dibandingkan obat anti jamur sistemik.
MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi sterol membrane
plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur yaitu kitin,β
glukan, dan mannooprotein.
1. Poliene : Nystatin
GOLONGAN POLIENE
Mekanisme kerja golongan poliene yaitu berikatan dengan ergosterol secara irreversibel.
Ergosterol merupakan komponen yang sangat penting dari membrane sel jamur. Golongan
poliene ini tidak efektif terhadap dermatofit dan penggunaannya secara klinis juga terbatas
yaitu untuk pengobatan infeksi yang disebabkan Candida albicans dan Candida spesies
4
yang lain.
4-9
a. Nystatin
Nystatin merupakan antibiotik yang digunakan sebagai anti jamur, diisolasi dari
Streptomyces nourse pada tahun 1951 dan merupakan antibiotik group poliene. Untuk
pengobatan candida spesies, nystatin dapat digunakan secara topikal pada kulit atau
membran mukosa (rongga mulut, vagina) dan dapat juga diberikan secara oral untuk
pengobatan kandidosis gastrointestinal.
Nystatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi
kadang-kadang dapat timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis
tinggi.
Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan tablet nystatin 500000 unit setiap 6
jam dan untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppositories
(100000 setiap unit) yang diberikan selama lebih kurang 14 hari.. Suspensi nystatin oral
terdiri dari 100000 unit / ml yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir
(newborn) : 1 ml, infant yang usianya lebih tua : 2 ml dan dewasa : 5 ml.
Golongan azol – imidazol ditemukan setelah tahun 1960, relatif berspektrum luas, bersifat
fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol jamur yang
mengakibatkan timbulnya defek pada membran sel jamur. Obat anti jamur golongan azol
seperti klotrimazol, ketokonazol, ekonazol, oksikonazol, sulkonazol dan mikonazol,
mempunyai kemampuan menggangu kerja enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-
demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah lanosterol menjadi
4
ergosterol.
4-10
a. Klotrimazol
Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, kandidosis oral, kutaneus
dan genital. Untuk pengobatan oral kandidosis, diberikan oral troches (10 mg) 5 kali sehari
selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis 500,
200 atau 100 mg yang dimasukkan kedalam vagina selama 1, 3, atau 6 hari berturu-turut.
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan klotrimazol cream 1%, dosis dan
lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu
dan dioleskan 2 kali sehari.
4-7,10
b. Ekonazol
Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis oral, kutaneus
dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis 150 mg yang
dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berturut-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur
pada kulit digunakan ekonazol cream 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari
kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
4-6,9,10
c. Mikonazol
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan
kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan
dosis 200 atau 100 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 7 atau 14 hari berturut-
turut. Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan oral gel (125 mg) 4 kali sehari. Untuk
pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol cream 2%, dosis dan lamanya
pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan
dioleskan 2 kali sehari.
d. Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam
waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan menjadi lebih lambat
ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4
minggu. Konsentrasiketokonazol masih tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat
dihentikan.
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,kutaneus
kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik. Pengobatan infeksi
jamur pada kulit digunakan krim ketokonazol 1%, dosis dan lamanya pengobatan
tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali
sehari sedangkan pengobatan dermatitis seboroik dioleskan 2 kali sehari. Pengobatan
pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol 2% dalam bentuk shampoo sebanyak 2 kali
seminggu selama 8 minggu.
5,6,12
e. Sulkonazol
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneus. Untuk
pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol 1% cream Dosis dan lamanya
pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis, tinea
kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan
untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu.
4-6,13
f. Oksikonazol
Oksikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneous. Untuk
pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan oksikonazol 1% cream ataau lotion. Dosis
dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea
korporis dan tinea kruris dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 2 minggu, untuk tinea pedis
dioleskan 1 tatau 2 kali sehari selama 4 mingggu dan pitiriasis versikolor dioleskan 1 kali
sehari selama 2 minggu.
4-6,14
g. Terkonazol
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneous dan
genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis yang disebabkan Candida albicans, dapat
digunakan terkonazol 0,4% vaginal cream (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam
vagina menggunakan applikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 7 hari berturut-
turut, terkonazol 0,8% vaginal cream (40 mg terkonazol) yang dimasukkan ke dalam
vagina menggunakan applikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-
turut dan vaginal suppositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam
vagina, 1 kali sehari sebelum waktu tidur selama 3 hari berturut-turut.
4-6,15
h. Tiokonazol
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneous dan
genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis tunggal sebanyak 300 mg
dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada kulit digunakan tiokonazol 1% cream,
dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan
tinea korporis dan kandidiasis kutaneus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu, untuk
tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali
sehari selama 2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4
minggu.
16
i. Sertakonazol
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandida spesies,
digunakan sertakonazol 2% cream, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu.
Golongan alilamin yaitu naftifin, terbinafin dan golongan benzilamin yaitu butenafin,
bekerja dengan cara menekan biosentesis ergosterol pada tahap awal proses metabolisme
dan enzim sitokrom P-450 akan mengambat aktifitas squalene eposidase. Dengan
berkurangnya ergosterol, akan menyebabkan penumpukan squalene pada sel jamur dan
akan mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin bersifat fungisidal
4
terhadap dermatofit dan bersifat fungistatik terhadap Candida albicans.
4-6,8,17
a. Naftifin
Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida spesies. Untuk
pengobatan digunakan naftifine hydrochloride 1% cream dioleskan 1 kali sehari selama 1
minggu.
4-6,8,18
b. Terbinafin
Terbinafin (Lamisil) dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin 1% cream yang dioleskan 1 atau
2 kali sehari, untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2
minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2
minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama 2 minggu.
4-6,19,20
c. Butenafin
Butenafin merupkan golongan benzilamin dimana struktur kimia dan aktifitas anti
jamurnya sama dengan golongan alilamin. Butenafine bersifat fungisidal terhadap
dermatofit dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea
pedis dan bersifat fungisidal. Dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu.
GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL YANG LAIN
4-6,21
a. Amorolfin
Amorolfine merupakan derivat morpolin, bekerja dengan cara menghambat biosintesis
ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya yang luas, dapat digunakan untuk pengobatan
tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit
amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis
selama > 6 bulan. Untuk pengobatan onikomikosis digunakan amorolfine 5% nail laquer,
untuk kuku tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama 6 bulan sedangkan
untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.
4-6,22-24
b. Siklopiroks
Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypyridone, bersifat fungisida, sporosida
dan mempunyai penetrasi yang baik pada kulit dan kuku. Siklopiroks efektif untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidosis kutaneus dan
pitiriasis versikolor.
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu
sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail laquer 8%. Setelah
dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam waktu
30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus lapisan-
lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai
kedalaman 0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar
obat akan mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ± 0,25 mikrogram
tiap milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah
pemakaian dan selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi
obat minimal yang berefek fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan
di setiap lapisan kuku.
Sebelum pemakain cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang infeksi diangkat
atau dibuang, kuku yang terisa dibuat kasar kemudian dioleskan membentuk lapisan tipis.
Lakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan ke dua
dan seminggu sekali pada bulan ke tiga hingga bulan ke enam pengobatan. Dianjurkan
pemakaian cat kuku siklopiroks tidak lebih dari 6 bulan.
4-6,8
c. Haloprogin
Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea korporis,
tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali
sehari selama 2-4 minggu.
Pemberian obat anti jamur sistemik digunakan untuk pengobatan infeksi jamur superfisial
dan sistemik (deep mikosis), obat-obat tersebut yaitu :
GOLONGAN AZOL
1. KETOKONAZOL2,3,6-9,25,28-30
Ketokonazol diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1977 dan di Amerika
Serikat pada tahun 1981. Ketokonazol merupakan antijamur golongan imidazol yang
pertama diberikan secara oral.
Aktifitas spectrum : Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan efektif terhadap
Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Histoplasma
capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif
terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan
Zygomycetes.
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam
waktu 2 jam melalui kelenjar keringat eccrine. Penghantaran akan menjadi lebih lambat
ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3 - 4 minggu. Konsentrasi
ketokonazol masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari setelah obat dihentikan.
Ketokonazol mempunyai distribusi yang luas melalui urin, saliva, sebum, kelenjar
keringat eccrine, serebrum, cairan pada sendi dan serebrospinal fluid (CSF). Namun,
ketokonazol 99% berikatan dengan plasma protein sehingga level pda CSF rendah.
Ketokonazol dimetabolisme di hati dan diubah menjadi metabolit yang tidak aktif dan
diekskresi bersama empedu ke dalam saluran pencernaan.
Dosis : Dosis ketokonazol yang diberikan pada orang dewasa 200 mg / hari, dosis
tunggal dan untuk kasus yang serius dapat ditingkatkan hingga 400 mg / hari sedangkan
dosis untuk anak-anak 3,3 – 6,6 mg / kg BB, dosis tunggal. Lama pengobatan untuk
tinea korporis dan tinea kruris selama 2 - 4 minggu, tinea versikolor selama 5 -10 hari
sedangkan untuk tinea kapitis dan onikomikosis biasanya tidak direkomendasikan.
Efek samping : Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering di
jumpai. Ketokonazol juga dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan tetapi
kerusakan hepar yang serius jarang terjadi. Peninggian transaminase sementara dapat
terjadi pada 5-10% pasien. Efek samping yang serius dari hepatotoksik adalah
idiosinkratik dan jarang ditemukan yaitu 1:10000 dan 1:15000, biasanya djumpai pada
pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu. Untuk pengobatan jangka
waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Dosis tinggi
ketokonazol (>800 mg/hari) dapat menghambat sintesis human adrenal dan testikular
steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomasti dan impoten.
Interaksi obat : Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid,
antikolinergik dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat ini di berikan setelah 2 jam
pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu paruh seperti
terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga sebaiknya tidak diberikan bersama dan juga
dapat menimbulkan efek samping kardiovaskular seperti pemanjangan Q-T interval dan
torsade de pointes.
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan triazolam
dan dapat meningkatkan level siklosporin dan konsentrasi serum dari warfarin.
Pemberian bersama ketokonazol dengan rifampicin dapat menurunkan efektifitas ke
dua obat.
2. ITRAKONAZIL
Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan di ekskresi di urin tanpa mengalami
perubahan tetapi lebih dari 18% akan di buang melalui feces tanpa mengalami
perubahan. Itrakonazol di metabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom
P- 450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan di ekskresi oleh empedu dan
urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu
bioaktif.
Efek samping : Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal
seperti mual, sakit pada abdominal dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit
kepala, pruritus dan ruam allergi.
Efek samping yang lain yaitu kelainan test hati yang dilaporkan pada 5% pasien
yang ditandai dengan peninggian serum transaminase, ginekomasti dilaporkan
terjadi pada 1% pasien yang menggunakan dosis tinggi, impotensi dan penurunan
libido pernah dilaporkan pada pasien yang mengkonsums itrakonazol dosis tinggi
400 mg /hari atau lebih.
Itrakonazol dan metabolit utamanya merupakan suatu inhibitor dari sistem enzim
human hepatic sitokrom P-450-3A4 sehingga pemberian itrakonazol bersama
dengan obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat meningkatkan
konsentrasi azol, interaksi obat ataupun ke duanya. Itrakonazol dapat
memperpanjang waktu paruh dari obat-obat seperti terfenadin, astemizol,
midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin.
Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum digoxin, siklosporin,
takrolimus dan warfarin.
2,3,6-8,25,29,30,32,33
3. FLUKONAZOL
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam bentuk
oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan di perkenalkan pertama kali di
Eropa kemudian di Amerika Serikat.
Pemberian secara oral dengan dosis tunggal ataupun multiple lebih dari 14 hari
maka flukonazol akan mengalami penetrasi yang luas ke dalam cairan dan jaringan
tubuh. Flukonazol bersifat hidrofilik sehingga lebih banyak ditemukan di dalam
cairan tubuh dan dijumpai di dalam keringat dengan konsentrasi tinggi. Ikatan
flukonazol dengan protein biasanya rendah (12%) sehingga sirkulasi obat yang tidak
berikatan tinggi.
Dosis : Untuk pengobatan orofaringeal kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari
pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 2 minggu. Oesophageal kandidosis
diberikan dosis 200 mg pada hari pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 3
minggu. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis digunakan dosis tunggal 150 mg.
Flukonazol juga efektif terhadap Cryptococcus neoformans dan merupakan terapi
pilihan utama untuk cryptococcal meningitis pada pasien ADIS diberikan dengan
dosis 6 mg/kg BB atau 400 mg /hari untuk berat badan 70 kg.
Efek samping : Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal
seperti mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek
samping lain yaitu hipersensitiviti, agranulositosis, exfoliatif skin disoders seperti
Steven Johnson- sindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf
pusat.
Interaksi obat : Flukonazol dapat meningkatkan efek atau level dari obat yaitu
astemizol, amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonilureas, terfenadin,
theofilin, warfarin dan zidovudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride
ataupun terfenadin merupakan kontra indikasi oleh karena dapat menimbulkan
disaritmia jantung yang serius dan torsade de pointes. Flukonazol juga dapat
berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid dan gliburid yang menimbulkan efek
hipoglikemi.
6
4. VORIKONAZOL
Vorikonazol merupakan sintetik triazol yang berasal dari flukonazol dan tersedia
dalam bentuk oral maupun parenteral.
Pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg dapat diberikan dosis oral sebanyak 200
mg dengan interval 12 jam sedangkan berat badan yang kurang dari 40 kg dapat
diberikan dosis 100 mg dengan interval 12 jam. Obat harus dikonsumsi 1 jam
sebelum atau sesudah makan.
Efek samping : Kebanyakan efek samping yang dapat di jumpai pada pasien yaitu
demam, adanya ruam pada kulit, mual, muntah, diare, sakit kepala dan sakit
abdominal. Sekitar 13 % pasien di jumpai peninggian test fungsi hati selama
pengobatan.
Vorikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistim enzim human hepatik sindrom P-
450-3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun vorikonazol dapat
meningkatkan konsentrasi serum sirolimus, terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid
dan quinidin sehingga sebaiknya vorikonazol tidak di konsumsi bersama dengan
obat diatas. Vorikonazol dapat menunjukkan penurunan konsentrasi serum
siklosporin dan takrolimus sehingga level dan dosis obat harus di monitor.
Vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum warfarin yang berfungsi
sebagai antikoagulan sehingga waktu protrombin pada pasien yang mendapat ke dua
obat tersebut harus di monitor. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme
lovastatin sehingga dosis obat tersebut harus disesuaikan. Vorikonazol juga dapat
meningkatkan konsentrasi tolbutamid dan glipizid yang menimbulkan efek
hipoglikemik. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme anti-HIV protease
inhibitor seperti saquinavir, amprenavir dan nelfenavir sedangkan ritonavir,
amprenavir dan saquinavir dapat menghambat metabolisme golongan azol.
Vorikonazol juga sebaiknya tidak diberikan bersama dengan carbamazepin,
phenobarbital, rifabutin dan rifampicin.
GOLONGAN ALILAMIN
2,3,6-8,25,30,31,34-36
1. TERBINAFIN
Terbinafin merupakan anti jamur golongan alilamin yang dapat diberikan secara
oral. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983, di gunakan di Eropa sejak tahun 1991
dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada pada
dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi
dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma
yaitu 1,1 jam ; eliminasi waktu paruh yaitu 16 dan 100 jam setelah pemberian 250
mg dosis tunggal ; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg /hari terminal
waktu paruh rata-rata yaitu 22 hari di dalam plasma. Di dalam dermis- epidermis,
rambut dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata yaitu 24-28 hari.
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum kemudian
bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermis- epidermis
tetapi terbinafin di dalam kelenjar keringat ekrine tidak terdeteksi. Terbinafin yang
diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit dengan konsentrasi di atas MIC
untuk dermatofit selama 2-3 minggu setelah obat di hentikan. Terbinafin dapat
terdeteksi pada bagian distal dari nail plate dalam waktu 1 minggu setelah
pengobatan dan level obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu pengobatan.
Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang lama setelah
pengobatan dihentikan.
Terbinafin di metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan di ekskresi
melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.
Dosis : Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet 250 mg tetapi tidak tersedia dalam
bentuk parenteral.
Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis
terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari tetapi pada pasien dengan ganguan
hepar atau fungsi ginjal (kreatinin clearence < 50 ml/menit atau konsentrasi serum
kreatinin > 300 μmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis diatas.
Pengobatan tinea pedis selama 2-6 minggu, tinea korporis dan kruris selama 2-4
minggu sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama
6 bulan atau lebih.
Efek samping : Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dyspepsia, sakit
di abdominal sering dijumpai. Jarang dijumpai pasien yang menderita kerusakan
hepar dan meninggal akibat mengkonsumsi terbinafin untuk pengobatan infeksi
kuku. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar yang
kronik atau aktif.
Interaksi obat : Terbinafin tidak mempunyai efek clearance terhadap obat lain yang
metabolismenya melalui hepatik sitokrom P-450. Namun konsentrasi darah akan
menurun jika terbinafin di berikan bersama rifampicin yang merupakan suatu
inducer yang poten terhadap sistem enzim hepatik sitokrom P-450. Level darah pada
terbinafin dapat meningkat jika pemberiannya bersama cimetidin yang merupakan
sitokrom P-450 inhibitor.
GOLONGAN POLIEN
2,6-9,25,30,37
1. AMFOTERISIN B
GOLONGAN EKINOKANDIN
6
1. CASPOFUNGIN
Dosis :
Pada pasien aspergillosis dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama
dan 50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus di infuskan dalam periode
1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, di rekomendasikan dosis caspofungin
diturunkan menjadi 35 mg dan selanjutnya 70 mg loading dose.
Efek samping : Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam
pada kulit, mual dan muntah.
6,7,9,30,38
1. FLUSITOSIN
Mekanisme kerja :
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin
permease, kemudian dirubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourouracil yang
bergabung ke dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein
terganggu. Flusitosin dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang
menyebabkan inhibisi sintesis DNA.
Flusitosin terdistribusi secara luas terutama pada jaringan dan cairan melebihi 50%
konsentrasi darah. Flusitosin berikatan dengan protein rendah (sekitar 12%)
sehingga menyebabkan tingginya sirkulasi obat yang tidak berikatan. Lebih dari
90% flusitosin di ekskresi melalui urin tanpa mengalami perubahan.
Dosis : Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin
diawali dengan dosis 50-150 mg/kg BB yang diberi dalam 4 dosis terbagi dengan
interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin di awali
dengan dosis 25 mg/kg BB.
Efek samping :
Efek samping yang sering di jumpai yaitu mual, muntah dan
diare. Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi darah
meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat kembali normal jika obat di hentikan.
Peninggian level transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi
dapat kembali normal setelah obat dihentikan.
Interaksi obat :
Efek anti jamur flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh
sitarabin (sitosin arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin
merupakan kontra indikasi, oleh karena efek myelosupresif dan hepatotoksik
flusitosin dapat bertambah jika diberikan bersama dengan immunosupresif atau
sitostatik. Pemberian zidovudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh karena dapat
menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amphoterisin B dan flusitosin
mempunyai efek aditif atau sinergis terhadap Candida spesies dan Cryptococcus
neoformans namun efek nefrotoksik amphotericin B dapat berkurang ketika
flusitosin di ekskresi.
2-3,6-9,25-27
2. GRISEOFULVIN
Mekanisme kerja : Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang bersifat fungistatik,
berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur.
Farmakokinetik : Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5 - 1 gr, akan
menghasilkan konsentrasi puncak plasma sebanyak 1 mikrogram / ml dalam waktu 4
jam dan level dalam darah bervariasi. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam
plasma lebih kurang 1 hari, dan ± 50 % dari dosis oral dapat di deteksi di dalam urin
dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit.
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea kapitis. Tinea
kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans.
Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500 -1000 mg / hari
(mikrosize) dosis tunggal atau terbagi dan 330 – 375 mg / hari (ultramikrosize) dosis
tunggal atau terbagi. Anak - anak ≥ 2 tahun 10 - 15 mg / kg BB / hari (mikrosize), dosis
tunggal atau terbagi dan 5,5 - 7,3 mg / kg BB / hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau
terbagi. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2 - 4 minggu, untuk
tinea kapitis paling sedikit selama 4 - 6 minggu, untuk tinea pedis selama 4 - 8 minggu
dan untuk tinea unguium selama 3 - 6 bulan.
Efek samping : Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual,
muntah dan sakit pada abodominal. Timbunya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat
terjadi pada sebagian pasien.
KESIMPULAN
Pengobatan infeksi jamur baik yang superfisial maupun yang sistemik telah
mengalami perkembangan yang pesat. Obat anti jamur tersebut dapat diberikan dengan
cara topikal, sistemik maupun intravenous, yang terdiri dari golongan antibiotik,
antimetabolit, azol, alilamin / benzilamin dan golongan topikal yang lain. Pengetahuan
tentang farmakologi obat-obat anti jamur sangat diperlukan sehingga dapat dicapai
efektifitas pengobatan yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA