Anda di halaman 1dari 14

Referat

OTITIS MEDIA AKUT

Oleh:
DONI DAMORA
NIM 1708436506

Pembimbing:
dr. YOLAZENIA, M. Biomed, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2019
OTITIS MEDIA AKUT

I. DEFINISI
Otitis media akut (OMA) merupakan inflamasi pada sebagian atau seluruh
bagian mukosa telinga tengah, tuba Eusthacius (TE), antrum mastoideus (AM)
dan sel-sel mastoid yang berlangsung secara mendadak.1

II. ANATOMI TELINGA

Gambar 1 Anatomi Telinga2

Telinga dibagi atas 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, antrum
mastoideus dan tuba Eustachius.1

1
a. Membran Timpani

Membran timpani (MT) merupakan lapisan cekungan tipis berbentuk oval


dan membentuk sudut 55º dengan dinding dasar liang telinga. Diameter terbesar
MT terletak pada posterosuperior hingga anteroinferior.3 Ketebalannya rata-rata
0,1 mm. Anulus timpanikus merupakan penebalan cincin fibrokartilago pada
sekeliling MT. Letak MT tidak tegak lurus terhadap liang telinga tetapi miring
yang arahnya dari belakang luar ke muka dalam dan dari arah depan bawah umbo
akan tampak refleks cahaya (cone of ligt).1

Secara anatomis, membran timpani dibagi dalam 2 bagian yaitu pars tensa
dan pars flasid atau membran Shrapnell, letaknya dibagian atas muka dan lebih
tipis. Pars tensa dan pars flasida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris
anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (lipatan belakang).1

Membran timpani memiliki tiga lapisan. Lapisan terluar MT yaitu


epidermis, yang merupakan kelanjutan kulit liang telinga. Lapisan tengah MT
dibentuk oleh fibrosa yang disebut lamina propria. Lapisan paling dalam MT
dibentuk oleh mukosa telinga tengah. 3

Gambar 2. Membran Timpani4

2
b. Kavum Timpani

Kavum timpani (KT) terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal dan
bentuknya bikonkaf. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan
diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding berupa
bagian atap, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding posterior
dan lantai.5

Kavum timpani memiliki 3 bagian yang berhubungan dengan MT yaitu


epitimpanum, mesotimpanum dan hipotimpanum. Epitimpanum dibatasi oleh
tegmen timpani. Ampula kanalis superior merupakan bagian anterior dari
epitimpanium dimana terdapat ganglion genikulatum yang merupakan tanda ujung
anterior ruang atik. Mesotimpanum memiliki bagian yang disebut promontorium
yang berisi saraf-saraf pembentuk pleksus timpanikus. Bagian posterosuperior
dari promontorium terdapat foramen ovale (vestibuler) sedangkan pada bagian
posteroinferiornya terdapat foramen rotundum (koklear). Hipotimpanum
berbatasan dengan bulbus vena jugular dan sel mastoid serta memiliki posisi yang
lebih rendah dari MT.6,7

Kavum timpani terdiri dari tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus


dan stapes. Kavum timpani juga memiliki dua otot yaitu muskulus tensor timpani
dan muskulus stapedius, saraf korda timpani dan saraf pleksus timpanikus.5
Kavum timpani mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna
dan interna. arteri timpani anterior (cabang dari arteri maksilaris) dan stilomastoid
(cabang arteri aurikularis posterior) merupakan pembuluh utamanya.3

c. Tuba Eustachius

Tuba eustachius disebut juga tuba auditori ataupun tuba faringotimpani.


Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah
dengan nasofaring. Bentuk dari TE seperti huruf S. Panjang TE pada orang
dewasa sekitar 36 mm dan berjalan ke bawah, depan serta ke medial dari telinga
tengah dan panjang TE pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.1

3
Fungsi TE adalah sebagai ventilasi, drainase sekret dan proteksi berupa
menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah. Fungsi ventilasi
mengatur agar tekanan udara telinga tengah sama dengan tekanan udara luar.
Fungsi proteksi TE terhadap telinga tengah dan sistem sel udara mastoid melalui
anatomi fungsional TE-telinga tengah, secara imunologis dan pertahanan
mukosilar dari lapisan membran mukosa.7 Fungsi drainase TE mempunyai 2
mekanisme dari telinga tengah ke nasofaring yaitu drainase mukosilia dan
muskular.6

Gambar 3. Tuba Eusthacius pada Anak dan Dewasa8

d. Antrum Mastoideus

Antrum mastoideus merupakan rongga di dalam processus mastoid yang


letaknya dibelakang epitimpanum. Epitampanum dan AM dihubungkan oleh
aditus ad antrum. Antrum mastoideus terdiri atas lempeng dura, lempeng sinus,
sudut sinodura, sudut keras dan Trautmann triangle. Sudut keras dibentuk oleh 3
pertemuan kanalis semisirkularis dan berasal dari proses penulangan yang sangat
keras.6,7

III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi tertinggi OMA di dunia terjadi di Afrika Barat dan
Tengah.(43,37%). Area–area lainnya yaitu Amerika Selatan (4,25%), Eropa
Timur (3,96%), Asia Timur (3,93%), Asia Pasifik (3,75%), dan Eropa Tengah

4
(3,64%).9 Penelitian yang dilakukan Asmuni dkk pada 6 wilayah besar Indonesia
yaitu Bandung, Semarang, Balikpapan, Makasar, Palembang dan Denpasar
didapatkan bahwa otitis media sangat signifikan terjadi pada anak usia sekolah.
Prevalensi kejadian OMA, Otitis media efusi, dan Otitis media kronis secara
berurutan adalah 5/1000, 4/100, dan 27/1000 anak.10
Otitis media sangat berhubungan dengan gangguan pendengaran.11 Angka
gangguan pendengaran di dunia meningkat sepanjang tahun 2014 menjadi 360
juta orang. Angka tersebut merupakan sekitar lima persen dari populasi dunia
dimana hal tersebut disebabkan otitis media.9
Angka mortalitas yang disebabkan oleh komplikasi intrkranial otitis media
di era preantibiotik yaitu 76,4 %. Penelitian terbaru menunjukkan sebanyak
24.321 pasien yang mengalami komplikasi intrakranial menunjukkan angka
mortalitas sebesar 18,4 %.12

IV. ETIOLOGI
Faktor yang berperan dalam perkembangan otitis media ialah adanya infeksi
virus dan bakteri, gangguan fungsi TE secara mekanik atau fungsional, alergi,
barotrauma atau kombinasinya.13 Bakteri penyebab utama pada OMA ialah
Streptococcus pneumoniae (30-40%), Haemophilus influenzae (20%) dan
Moraxella catarrhalis (7-20%), terdapat pada 95% dari seluruh kasus OMA.
Staphylococcus aureus dapat ditemukan pada anak, Streptococcus pyogenes
ditemukan pada anak yang lebih besar, Chlamydia pneumoniae dapat ditemukan
pada anak yang lebih kecil dan bakteri gram negatif serta grup B Streptococci
dapat ditemukan pada bayi baru lahir.3
Virus merupakan penyebab dari 20% kasus OMA, dan lebih sering
ditemukan bersamaan dengan bakteri yaitu pada 65% kasus. Virus yang paling
sering ditemukan pada kasus infeksi efusi telinga tengah ialah respiratory
syncytial virus (RSV) dan rinovirus. Virus lainnya yang juga ditemukan ialah
parainfluenza, influenza, enterovirus, dan adenovirus. Studi terakhir menunjukan
virus sebagai faktor kausatif utama pada OMA. Pasien OMA yang patogennya
virus dan bakteri memiliki konsentrasi mediator inflamasi yang lebih tinggi

5
dibandingkan dengan yang patogennya bakteri saja, sehingga klinisnya lebih
buruk.3

V. PATOGENESIS

Otitis media akut sering terjadi pada anak-anak. Otitis media akut diawali
dengan infeksi saluran napas atas (ISPA) atau alergi. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya kongesti dan edema pada mukosa sakuran napas atas termasuk
nasofaring dan TE. Inflamasi tersebut menyebabkan TE menjadi sempit sehingga
terjadi tekanan negatif pada telinga tengah. Jika hal tersebut berlangsung cukup
lama maka menyebabkan refluks dan aspirasi bakteri atau virus dari nasofaring ke
telinga tengah melalui TE.1

Obstruksi TE akan mengaktivasi inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan


ke dalam telinga tengah. Obstruksi TE terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal yaitu akibat ISPA sedangkan faktor
ekstraluminal yaitu tumor dan hipertropi adenoid. Jika TE tersumbat maka
drainase telinga tengah akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi,
akumulasi sekret serta memudahkan mikroorganisme patogen mengalami
proliferasi.14

Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan


halus), namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Hal tersebut terjadi
akibat penumpukan cairan dan pus sehingga MT dan tulang-tulang pendengaran
tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Telinga juga akan terasa nyeri dan
yang paling berat yaitu cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat
merusak MT karena tekanan yang ditimbulkan. Otitis media akut dapat
berkembang menjadi otitis media supuratif kronis (OMSK) apabila gejala
berlangsung lebih dari 2 bulan. Hal ini berkaitan dengan beberapa faktor antara
lain higienitas, terapi yang terlambat, pengobatan yang tidak adekuat, dan daya
tahan tubuh yang kurang baik.14

6
VI. STADIUM

Berdasarkan gambaran MT yang diamati melalui liang telinga luar, OMA


memiliki beberapa stadium yaitu stadium oklusi, stadium hiperemis, stadium
supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi.1 Stadium oklusi TE memiliki
gambaran berupa retraksi MT akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah
akibat absorpsi udara. Membran timpani berwarna normal atau keruh pucat.
Stadium oklusi TE sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan
oleh virus.1

Stadium hiperemis memiliki gambaran berupa pembuluh darah tampak


lebar dan dijumpai edema pada MT. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih
bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.1

Stadium supurasi terbentuk edema yang hebat pada mukosa telinga tengah,
hancurnya sel epitel superfisila dan terbentuk eksudat purulen di KT. Hal tersebut
menyebabkan penonjolan (bulging) pada MT ke arah liang telinga luar. Pasien
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga tambah hebat.
Jika tekanan di kavum timpani tidak berkurang, maka dapat terjadi iskemia.
Nekrosis pada MT terlihat sebagai daerah yang lembek dan berwarna kekuningan
dan mudah terjadi ruptur.1

Stadium perforasi terbentuk karena beberapa sebab seperti terlambatnya


pemberian antibiotik atau virulensi kuman yang tinggi sehingga menyebabkan
rupture MT. Hal ini ditandai dengan keluarnya nanah dari telinga tengah ke
telinga luar. Anak yang tadinya gelisah akan menjadi lebih tenang, suhu badan
turun, dan dapat tidur nyenyak. Telinga pasien sering terlihat banyak sekret keluar
dan kadang terlihat sekret keluar secara berdenyut.1

Stadium resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan bila virulensi rendah dan
daya tahan tubuh baik. Stadium ini akan ditemukan sekret yang berkurang dan
mengering.14

7
Gambar 4. Stadium OMA15

VII. DIAGNOSIS

a. Kriteria Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis pada OMA harus memenuhi 3
kriteria berikut yaitu :14
1. Keluhan bersifat akut dan muncul secara mendadak,
2. Terdapat tanda efusi yaitu pengumpulan cairan pada telinga tengah. Tanda
terjadinya efusi yaitu bulging MT, adanya bayangan cairan pada belakang
MT, terbatas atau tidak ada gerakan pada MT dan terdapat cairan yang
keluar dari telinga,
3. Terdapat gejala peradangan telinga tengah seperti eritema MT dan otalgia.

b. Anamnesis

Keluhan utama pasien OMA adalah rasa nyeri di dalam telinga atau suhu
tubuh yang tinggi. Pasien biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Anak
yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga ataupun rasa kurang dengar. Gejala

8
khas OMA pada bayi dan anak kecil ialah suhu tubuh tinggi dapat sampai 39,5oC
(pada stadium supurasi), anak gelisah, sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu
tidur, diare, kejang dan terkadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi
ruptur MT, maka sekret mengalir ke liang telinga luar, suhu tubuh turun dan anak
mulai tertidur dengan tenang.1

Penelitian yang dilakukan Berman5 dikatakan bahwa anak-anak dengan


OMA biasanya memiliki riwayat onset yang cepat dengan gejala seperti otalgia,
rewel pada bayi atau balita, otorrhea, dan/atau demam. Dalam sebuah survei di
antara 354 anak-anak yang mengunjungi dokter dengan keluhan penyakit
pernapasan, demam, sakit telinga, dan menangis yang berlebihan sering
didapatkan diagnosis berupa OMA (90%). Gejala lain dari infeksi virus
pernapasan atas, seperti batuk dan hidung tersumbat, sering mendahului atau
menyertai OMA.

c. Pemeriksaan Fisik

Identifikasi dari perubahan MT diperlukan untuk menegakkan diagnosis


dengan pasti. Sebelum melihat MT, perlu dilakukan pembersihan serumen yang
menutupi MT dengan pencahayaan yang memadai. Temuan pada otoskop
menunjukkan adanya peradangan yang terkait dengan. Penonjolan (bulging) dari
MT sering terlihat dan memiliki nilai prediktif tertinggi untuk OMA. Penonjolan
(bulging) juga merupakan prediktor terbaik dari OMA.16
Kekeruhan pada MT disebabkan oleh adanya edema. Kemerahan dari MT
yang disebabkan oleh peradangan harus dibedakan dari eritematosa ditimbulkan
oleh demam tinggi. Timpanometri dapat membantu dalam membangun diagnosis
ketika banyak ditemukan cairan pada telinga bagian tengah.17

d. Pemeriksaan Penunjang

Efusi yang terjadi pada telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan
timpanosentesis. Timpanosintesis merupakan tindakan penusukan terhadap MT.
Pemeriksaan ini tidak dilakukan pada sembarang anak. Indikasi dilakukan
timpanosentesis anatara lain OMA pada bayi berumur di bawah 6 minggu dengan
riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak dengan gangguan kekebalan

9
tubuh, anak yang tidak respon pada pemberian antibiotik atau dengan gejala
sangat berat dan komplikasi.18

VIII. PENATALAKSANAAN

Pengobatan pada pasien OMA tergantung dari stadium OMA itu sendiri.
Pengobatan pada stadium oklusi terutama bertujuan untuk membuka kembali TE,
sehingga tekanan negatif pada telinga tengah hilang. Pengobatan berupa diberikan
obat tetes hidung Efedrin HCl 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak usia
kurang dari12 tahun, atau Efedrin HCl 1 % dalam larutan fisiologik untuk anak
usia lebih dari 12 tahun dan orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati antibiotik
diberikan jika penyebabnya kuman, bukan oleh virus atau alergi.1

Pengobatan pada stadium hiperemis atau presupurasi yaitu antibiotik, obat


tetes hidung dan analgetik. Bila membran timpani sudah terlihat hiperemis difus,
sebaiknya dilakukan miringotomi. Antibiotik yang dianjurkan ialah dari golongan
Penisilin atau Ampicilin. Terapi awal diberikan Penicillin intramuskular agar
didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi
mastoiditis yang terselubung. Pemberian antibiotika dianjurkan minimal 7 hari .
Bila pasien alergi terhadap Penisilin, maka diberikan Eritromisin. Pada anak,
Ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis,
Amoksisilin 40 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis, atau Eritromisin 40
mg/kgBB/hari. Gangguan pendengaran dapat terjadi sebagai gejala sisa dan
kekambuhan.1

Pengobatan pada stadium supurasi disamping diberikan antibiotik, idealnya


harus disertai dengan miringotomi jika didapatkan MT yang masih utuh.
Miringotomi mempercepat hilangnya gejala klinis dan menghindari rupture MT.1

Jika pada stadium perforasi terlihat banyak sekret yang keluar dan kadang
terlihat keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi), pengobatan yang diberikan
berupa obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat.
Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-

10
10 hari. Pada stadium resolusi, MT berangsur normal kembali, sekret tidak ada
lagi muncul dan perforasi MT akan menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya
akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi MT. Keadaan
ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa teling tengah. Pada
keadaan demikian, antibiotika dapat dilajutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu
setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi
mastoiditis.1

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi OMA yang sering ditemukan sebelum adanya antibiotik yaitu


abses sub-periosteal hingga komplikasi yang berat seperti meningitis dan abses
otak. Semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat dari OMSK jika perforasi
menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah hingga dua bulan di era
telah ditemukannya antibiotik.1

X. PENCEGAHAN

Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu menangani ISPA pada bayi dan
anak. Penanganan ISPA berupa pengobatan adekuat, pemberian air susu ibu (ASI)
eklusif serta menghindari pajanan polusi udara seperti asap rokok.15

XI. PROGNOSIS

Prognosis pada OMA yaitu baik (bonam) jika diberikan terapi yang
adekuat.1

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, Editors. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011: h. 64-8.

2. Massoud E. Eustachian tube function. eMedicine. 2018.

3. Umar S. Prevalensi dan Faktor Risiko Otitis Media Akut pada Anak-Anak
di Kotamadya Jakarta Timur [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2013.

4. Dhingra PL, Dhingra S. Diseases of Ear, Nose and Throat. Edisi Keempat,
India: Elsevier, 2007: 4.

5. Berman S. Otitis Media in Developing Countries. Pediatrics. 2006.

6. Lee KJ. Anatomy of The Ear. Dalam: Essential Otolaryngology Head and
Neck Surgery. Edisi kedelapan. USA: McGrew-Hill, 2003: h. 1-23.

7. Miyamoto RT. Middle ear. merck. 2010.

8. Bluestone CD. Eustachian Tube Function and Dysfunction. Dalam:


Rosenfeld RM, Bluestone CD, Editors. Evidence-Based Otitis Media.
Hamilton, ON, Canada: BC Decker. 2003: h.163–79. 16.

9. Glasper EA, McEwing G, Richardson J. Sensory Problems, Emergencies in


Children's and Young People's Nursing. New York: Oxford University,
2011.

10. Asmuni S, Anggraeni R, Hartanto WW, Djelantik B. Otitis Media in


Indonesian Urban and Rural School Children. Pediatr Infect Dis J. 2014.

12
11. Monasta L, Ronfani L, Marchetti F, Brumatti LV, Bavcar A, Grasso D, et
al. Burden of Disease Caused by Otitis Media. Systematic Review and
Global Estimates. 2012.

12. Levine SC, Souza CD. Intracranial Complication of Otitis Media. Dalam:
Glasscok ME, Gulya AJ, Editors. Glasscok-Shambough Surgery of The Ear.
Edisi kelima. Canada: BC Decker. 2003: h. 443-61.

13. Casselbrant ML, Mandel EM. Epidemiology. Dalam: Rosenfeld RM,


Bluestone CD, Editors. Evidence-based Otitis Media. Hamilton, ON,
Canada: BC Decker, 2003: h. 147-62.

14. Kerschner JE. Dalam: Kliegman RM, Berhman RE, Jenson HB, Stanton BF,
Editor. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-18. USA: Saunders Elsevier,
2007: h. 215-32

15. https://image.slidesharecdn.com/otitismediaakut-161005150706/95/otitis-
media-akut-15-638.jpg?cb=1475680049

16. Pelton SI. Otoscopy for The Diagnosis of Otitis Media. Pediatr Infect Dis J.
1998; 17: 540-3.

17. Klein JO, McCracken GHJ. Introduction: Current Assessments of Diagnosis


and Management of Otitis Media. Pediatr Infect Dis J. 1998; 17: 539.

18. Niemela M, Uhari M, Jounio EK, Luotonen J, Alho OP, Vierimaa E. Lack
of Specific Symptomatology in Children with Acute Otitis Media. Pediatr
Infect Dis J. 1994; 13: 765-8.

13

Anda mungkin juga menyukai