Anda di halaman 1dari 79

ANALISIS PENCEMARAN Cr(VI) DENGAN MENGGUNAKAN BIOFILM

SEBAGAI AGEN BIOMONITORING DI SUNGAI BADEK, KOTA MALANG

SKRIPSI

Oleh :

PUTRI DWIYAN JAYATI


NIM. 145080100111030

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

iii
ANALISIS PENCEMARAN Cr(VI) DENGAN MENGGUNAKAN BIOFILM
SEBAGAI AGEN BIOMONITORING DI SUNGAI BADEK, KOTA MALANG

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan


di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya

Oleh :

PUTRI DWIYAN JAYATI


NIM. 145080100111030

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

i
ii
LEMBAR IDENTITAS TIM PENGUJI

Judul : ANALISIS PENCEMARAN Cr(VI) DENGAN


MENGGUNAKAN BIOFILM SEBAGAI AGEN
BIOMONITORING DI SUNGAI BADEK, KOTA
MALANG

Nama Mahasiswa : PUTRI DWIYAN JAYATI

NIM : 1450801011111030

Program Studi : Manajamen Sumberdaya Perairan

PENGUJI PEMBIMBING :

Pembimbing : ANDI KURNIAWAN, S.Pi., M.Eng., D.Sc

PENGUJI BUKAN PEMBIMBING :

Dosen Penguji 1 : IR. PUTUT WIDJANARKO, MP


Dosen Penguji 2 : DR. IR. MUHAMMAD MUSA, MS
Tanggal Ujian : 30 Mei 2018

iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Putri Dwiyan Jayati

NIM : 145080100111030

Tempat / Tgl Lahir : Banyuwangi, 7 Desember 1995

Jurusan : Manajemen Sumberdaya Perairan

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

No. Tes Masuk P.T : 1145803008

Alamat : Lingkungan Watu Ulo RT/RW 004/003, Kelurahan


Bakungan, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi,
Jawa Timur

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Riwayat Pendidikan : 1. SDN 1 Rogojampi (2002 – 2008)

2. SMPN 1 Rogojampi (2008 – 2011)

3. SMAN 1 Giri (2011 – 2014)

4. Universitas Brawijaya (2014 – 2018)

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT atas karunia dan kesehatan yang diberikan selama ini sehingga
Laporan Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Mama tercinta dan Kakak Debi Indah Megawati yang selama ini telah
membantu penulis dalam bentuk perhatian, semangat, serta doa demi
kelancaran penulis menyelesaikan Laporan Skripsi ini.
3. Bapak Andi Kurniawan, S.Pi., M.Eng., D.Sc selaku Dosen Pembimbing
yang selalu memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga
Laporan Skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Mbak Lutfi Nimatus Salamah, S.Pi., M.Eng selaku Asisten Dosen
Pembimbing yang selalu memberikan arahan, dorongan, semangat, serta
perhatian kepada penulis sehingga Laporan Skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Ibu Nurjannah, SSi., Mphil., Ph.D selaku Dosen jurusan statistik yang telah
mengarahkan dan memberikan saran terkait analisa statistik data sehingga
Laporan Skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Teman-teman yang berada di bawah bimbingan Bapak Andi Kurniawan,
S.Pi., M.Eng., D.Sc serta teman-teman satu tim biomonitoring yaitu Widi
Tejo J.A, Mutia Anissa Damaika, Wiwit Agustina, Yulisda R.A., dan Yogita
A.S yang bersedia membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
7. Priyandaru Agung E.T., S.Pi yang selalu memberikan dorongan, motivasi,
dan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan Laporan
Skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.
8. Sahabat-sahabat penulis yaitu Pikachu: Lusi Arfilia, Gema Ayu Rohani,
Amalia Danis Salsabila, Okki Putriani, dan Arulia Zalni yang selalu siap
meluangkan waktu untuk menghibur, membantu, dan memberikan
semangat penulis untuk segera menyelesaikan Laporan Skripsi ini dengan
baik.

Malang, Mei 2018

Penulis

v
Abstrak

Pencemaran Cr(VI) di perairan sungai umumnya diakibatkan oleh masuknya


limbah cair krom dari aktivitas industri penyamakan kulit. Biomonitoring kualitas
perairan yang sesuai dengan karakteristik ekosistem sungai sebagai perairan
mengalir diperlukan untuk memantau status pencemaran Cr(VI). Biofilm memiliki
kemampuan untuk mengakumulasi Cr(VI) sehingga dapat dijadikan sebagai agen
biomonitoring perairan sungai. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat
akumulasi Cr(VI) dalam air dan biofilm di Sungai Badek serta mengembangkan
penggunaan biofilm sebagai agen biomonitoring di ekosistem sungai. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif. Pada penelitian ini parameter kualitas air
sebagai data pendukung meliputi suhu, kedalaman, kecepatan arus, pH, dan DO.
Tingkat akumulasi Cr(VI) dalam air diperoleh rata-rata pada stasiun 1, stasiun 2,
dan stasiun 3 berturut-turut yaitu 0,016; 0,015; dan 0,012 ppm. Sedangkan tingkat
akumulasi Cr(VI) dalam biofilm diperoleh rata-rata pada stasiun 1, stasiun 2, dan
stasiun 3 berturut-turut yaitu 1,407; 1,659; dan 1,285. Hasil pengukuran kualitas
air diperoleh suhu 25,8 – 31,6 ºC, pH 6,37 – 6,54, DO 4,66 – 7,13 mgL-1,
kedalaman 0,15 – 0,24 m, dan kecepatan arus 0,05 – 0,50 ms-1. Berdasarkan uji-
t (α=0,05) diperoleh nilai t-hitung -13,12; t-tabel -4,302; nilai p 0,006 menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan antara konsentrasi Cr(VI) dalam air dan biofilm.

Kata Kunci : pencemaran, Cr(VI), biofilm, biomonitoring, sungai

Abstract

Pollution of Cr(VI) in aquatic ecosystem such as river is generally due to tannery


wastewater containing chromium. An appropriate biomonitoring that represent to
the characteristics of river ecosystems as water flow is required to monitor the
pollution status of Cr(VI). Biofilm is capable to accumulate Cr(VI) thus it can be use
as biomonitoring agent in river ecosystems. The aim of this research was to know
the accumulation level of Cr(VI) on water and biofilm in Badek River in order to
develop biofilm as a biomonitoring agent in river ecosystems. The descriptive
method was used in this research. In this research, water quality parameters as
supporting data are temperature, depth of water, stream flow velocity, pH, and DO.
The mean accumulation level of Cr(VI) in water on station 1, 2 and 3 was 0,016,
0,015, and 0,012 ppm, respectively. While, mean accumulation level of Cr(VI) in
biofilm on station 1, 2 and 3 was 1,407, 1,659 and 1,285 ppm, respectively. The
results of water quality parameters showed that, temperature 25,8 – 31,6 ºC, pH
6,37 – 6,54, DO 4,66 – 7,13 mgL-1, depth of water 0,15 – 0,24 m, and stream flow
velocity 0,05 – 0,50 ms-1. According to t-test (α=0,05) was resulted t-value -13,12;
t-table -4,302; p-value 0,006 that represent the differences between Cr(VI)
concentration on water and biofilm.

Keywords: pollution, Cr(VI), biofilm, biomonitoring, river

vi
RINGKASAN

PUTRI DWIYAN JAYATI. Skripsi tentang Analisis Pencemaran Cr(VI) dengan


Menggunakan Biofilm sebagai Agen Biomonitoring di Sungai Badek, Kota Malang
(di bawah bimbingan Andi Kurniawan, S.Pi., M.Eng., D.Sc).

Perkembangan industri di Indonesia yang semakin meningkat


menyebabkan permasalahan terhadap penurunan kualitas perairan sebagai akibat
dari hasil pembuangan akhir aktifitas industri yang umumnya secara langsung
disalurkan ke dalam sungai sekitarnya. Salah satu industri yang memiliki kontribusi
tinggi terhadap aktifitas ini adalah industri pelapisan krom yang dihasilkan dari
limbah penyamakan kulit yang terjadi di aliran Sungai Badek di Kelurahan
Ciptomulyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Logam berat Cr(VI) yang
dihasilkan memiliki sifat toksik, tidak mudah dirombak, dan dapat terakumulasi
dalam tubuh organisme termasuk manusia. Untuk memantau status pencemaran
air di sungai maka diperlukan monitoring yang sesuai dengan kondisi ekosistem
sungai, salah satunya menggunakan biofilm. Biofilm dapat mengakumulasi logam
berat di perairan, hidup secara sesil, memiliki kelimpahan dan distribusi yang
tinggi, serta berperan penting pada sistem rantai makanan sehingga sehingga
merupakan alternatif yang dapat dijadikan sebagai agen biomonitoring
pencemaran logam berat di sungai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui tingkat akumulasi Cr(VI) di air dan biofilm Sungai Badek dan
menggunakan hasil analisa yang diperoleh sebagai informasi untuk
mengembangkan penggunaan biofilm sebagai agen biomonitoring. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan penjelasan deskriptif.
Sampel air dan biofilm (tumbuh di permukaan batu) diambil dari Sungai Badek.
Konsentrasi Cr(VI) dalam air dianalisis dengan metode APHA 3500-Cr B-2005,
sedangkan konsentrasi Cr(VI) dalam biofilm dengan menggunakan
Spektrofotometri. Sampel diambil dari 3 stasiun dengan 3 kali pengulangan.
Sedangkan data mengenai parameter kualitas air diperoleh melalui pengukuran
langsung di lapang.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat akumulasi Cr(VI) dalam
air Sungai Badek diperoleh rata-rata pada stasiun 1 sebesar 0,016 ppm; stasiun 2
sebesar 0,015 ppm; dan stasiun 3 sebesar 0,012 ppm. Kisaran konsentrasi
tersebut masih berada di bawah ambang batas yang telah ditetapkan dari
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2013 yaitu sebesar 0,05 mg/L.
Sedangkan tingkat akumulasi Cr(VI) dalam biofilm Sungai Badek diperoleh rata-
rata pada stasiun 1 sebesar 1,407 ppm; stasiun 2 sebesar 1,659 ppm; dan stasiun
3 sebesar 1,285 ppm. Apabila dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 maka kisaran nilai tersebut telah
melebihi konsentrasi maksimal Cr(VI) yang boleh dikonsumsi dan aman bagi tubuh
yaitu 0,05 ppm sehingga sangat berbahaya. Berdasarkan perbandingan antara
konsentrasi Cr(VI) dalam air dan biofilm menggunakan uji-t diperoleh nilai
probabilitas sebesar 0,006 dan t-value sebesar -13,12 sehingga dari nilai tersebut

vii
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara konsentrasi Cr(VI)
dalam air dan biofilm. Adapun kisaran hasil pengukuran parameter kualitas air
yang diperoleh tergolong mendukung pertumbuhan biofilm yaitu suhu sebesar
25,8 – 31,6 ºC, pH 6,37 – 6,54, oksigen terlarut 4,66 – 7,13 mg/L, kedalaman 0,15
– 0,24 m, dan kecepatan arus 0,05 – 0,50 m/s.
Berdasarkan penelitian diperoleh kesimpulan bahwa konsentrasi Cr(VI)
pada biofilm yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi Cr(VI) di air
mengindikasikan bahwa biofilm kemampuan yang yang relatif besar untuk
mengakumulasi Cr(VI) pada perairan mengalir seperti sungai sehingga biofilm
sangat mungkin digunakan sebagai agen biomonitoring di ekosistem perairan
sungai. Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah adanya
penetapan nilai standar baku mutu konsentrasi logam berat dalam biofilm karena
hasil penelitian ini menunjukkan konsentrasi Cr(VI) dalam biofilm jauh lebih tinggi
dibandingkan air, sebab biofilm sangat mungkin menjadi penghubung antara
perpindahan logam berat dari komponen abiotik ke komponen biotik di sungai.
Selain itu diperlukan pula perbandingan rasio Cr(III) dan Cr(VI) di perairan
sehingga dapat diketahui tingkat toksisitas pencemaran kromium yang ada di
perairan tersebut.

viii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.

Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Malang, Mei 2018

Mahasiswa,

Putri Dwiyan Jayati


NIM. 145080100111030

ix
KATA PENGANTAR

Segala puji kehadiran Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Skripsi tentang “Analisis
Pencemaran Cr(VI) dengan Menggunakan Biofilm sebagai Agen
Biomonitoring di Sungai Badek, Kota Malang” sebagai salah satu syarat
untuk meraih gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Brawijaya.

Penulis berharap skripsi dengan judul “Analisis Pencemaran Cr(VI)


dengan Menggunakan Biofilm sebagai Agen Biomonitoring di Sungai Badek,
Kota Malang” ini nantinya dapat bermanfaat bagi orang lain yang
membutuhkan.

Malang, Mei 2018

Penulis

x
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN ...................................................................................................... vi
PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv
1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
1.4 Kegunaan Penelitian.............................................................................. 6
1.5 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 6
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7
2.1 Ekosistem Sungai .................................................................................. 7
2.2 Logam Berat .......................................................................................... 8
2.3 Pencemaran Logam Berat pada Perairan .............................................. 9
2.4 Logam Berat Cr(VI) ............................................................................. 10
2.5 Karakteristik Cr(VI) dalam Air .............................................................. 11
2.6 Karakteristik Cr(VI) dalam Air Pori (Interstitial Water) .......................... 12
2.7 Biofilm ................................................................................................. 13
2.8 Mekanisme Terbentuknya Biofilm ........................................................ 15
2.9 Karakteristik Cr(VI) dalam Biofilm ........................................................ 16
2.10Biomonitoring ...................................................................................... 17
2.11Biofilm sebagai Biomonitoring Perairan ............................................... 18
2.12Parameter Kualitas Air ......................................................................... 19
2.12.1 Suhu ...................................................................................... 19
2.12.2 Kedalaman ............................................................................ 20
2.12.3 Kecepatan Arus ..................................................................... 21
2.12.4 pH ......................................................................................... 21
2.12.5 Oksigen Terlarut (DO) ........................................................... 22
3. MATERI DAN METODE ............................................................................. 24
3.1 Materi Penelitian .................................................................................. 24
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 24

xi
3.3 Lokasi Penelitian ................................................................................. 24
3.4 Metode Penelitian ................................................................................ 24
3.4.1 Data Primer ........................................................................... 25
3.4.2 Data Sekunder ...................................................................... 26
3.5 Teknik Pengambilan Sampel ............................................................... 27
3.5.1 Pengambilan Sampel Air ....................................................... 27
3.5.2 Pengambilan Sampel Biofilm ................................................. 27
3.6 Prosedur Pengujian Sampel Logam Berat ........................................... 29
3.6.1 Air.......................................................................................... 29
3.6.2 Biofilm ................................................................................... 31
3.7 Pengukuran Kualitas Air ...................................................................... 32
3.7.1 Parameter Fisika ................................................................... 32
3.7.2 Parameter Kimia .................................................................... 34
3.8 Analisis Data ....................................................................................... 35
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 37
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ....................................................... 37
4.2 Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel .............................................. 38
4.2.1 Stasiun 1 ............................................................................... 39
4.2.2 Stasiun 2 ............................................................................... 39
4.2.3 Stasiun 3 ............................................................................... 40
4.3 Hasil Analisa Kromium (VI) .................................................................. 41
4.3.1 Kandungan Kromium (VI) pada Air ........................................ 41
4.3.2 Kandungan Kromium (VI) pada Biofilm .................................. 42
4.4 Perbandingan Kadar Kromium (VI) pada Air dan Biofilm ..................... 46
4.5 Parameter Kualitas Air ......................................................................... 48
4.5.1. Suhu ...................................................................................... 48
4.5.2. Kedalaman ............................................................................ 49
4.5.3. Kecepatan Arus ..................................................................... 50
4.5.4. pH ......................................................................................... 51
4.5.5. Oksigen Terlarut (DO) ........................................................... 52
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 54
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 54
5.2 Saran ................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56
LAMPIRAN........................................................................................................ 64

xii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Komposisi kimia biofilm ................................................................................ 15
2. Jumlah limbah kromium pada proses umum penyamakan ........................... 37
3. Konsentrasi Cr(VI) pada air di Sungai .......................................................... 41
4. Konsentrasi Cr(VI) pada biofilm di Sungai Badek ......................................... 43
5. Hasil Parameter Kualitas Air di Sungai Badek.............................................. 48

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Flow chart perumusan masalah ..................................................................... 4
2. Scanning electron mikrograf biofilm ............................................................. 14
3. Siklus hidup biofilm ...................................................................................... 16
4. Skema interaksi antara logam berat dan biofilm ........................................... 17
5. Peta lokasi penelitian di Sungai Badek ........................................................ 38
6. Stasiun 1...................................................................................................... 39
7. Stasiun 2...................................................................................................... 40
8. Stasiun 3...................................................................................................... 40
9. Grafik perbandingan konsentrasi Cr(VI) pada air dan biofilm ....................... 47

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Alat dan bahan............................................................................................. 64
2. Hasil pengukuran parameter kualitas air ...................................................... 67
3. Konsentrasi Cr(VI) pada air dan biofilm di Sungai Badek ............................. 68
4. Dokumentasi penelitian ................................................................................ 69

xv
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan jumlah populasi penduduk dan semakin berkembangnya zaman

dapat berakibat negatif terhadap kualitas ekosistem sungai sehingga menurunkan

kemampuan sungai untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap air. Tingkat

penurunan kualitas air yang semakin tinggi merupakan masalah utama yang sedang

dihadapi pada masa sekarang ini. Hal tersebut salah satunya dikarenakan semakin

meningkatnya perkembangan industri di Indonesia sebagai salah satu usaha manusia

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, akan tetapi di sisi lain dapat

berakibat negatif terhadap lingkungan hidup khususnya perairan sungai. Selain dari

segi jumlah atau kuantitasnya, persediaan air dalam segi kualitasnya pun menjadi

kritis. Data yang ada secara umum menunjukkan bahwa sungai-sungai yang melewati

kota besar maupun kawasan industri menunjukkan tingkat kualitas yang cenderung

menurun dari tahun ke tahun dibandingkan dengan kualitas di bagian hulu sungai

(Wicaksono et al., 2013).

Penyebab pencemaran air yang sering terjadi di sungai ialah pencemaran

akibat pembuangan limbah rumah tangga (limbah padat maupun limbah cair), limbah

industri-industri kecil maupun industri-industri besar di sekitar sungai, serta limbah

yang berasal dari pegunungan berupa vulkanik. Selain itu, air sungai juga sering

tercemar oleh komponen-komponen anorganik diantaranya berbagai logam berat

yang berbahaya. Berbagai jenis logam berat yang sering mencemari lingkungan

antara lain merkuri (Hg), timbal (Pb), tembaga (Cu), kadmium (Cd), arsenik (Ar),

kromium (Cr), nikel (Ni) dan besi (Fe) (Sekarwati et al., 2015).

1
Salah satu masalah utama dari beroperasinya industri penyamakan kulit

adalah limbah cair industri tersebut menghasilkan bahan organik dan krom.

Pencemaran limbah cair industri penyamakan kulit tergolong pencemaran yang paling

luas dampaknya karena proses pengerjaannya yang menggunakan air dalam jumlah

yang banyak dan menghasilkan limbah yang dibuang langsung ke sungai sehingga

berpengaruh terhadap kesehatan manusia dan dapat mengakibatkan kematian biota

perairan (Lasindrang et al., 2014). Limbah tersebut mengandung krom karena

umumnya industri penyamakan kulit menggunakan krom untuk mempercepat

produksi dengan harga yang lebih murah untuk menghasilkan produk kulit dengan

resistensi tinggi dan tahan dalam jangka waktu lama. Lebih dari 80% produk

penyamakan kulit selalu menggunakan garam kromium dasar pada proses

pembuatannya (Basaran et al., 2008).

Keberadaan kromium di lingkungan khususnya perairan umumnya dalam

bentuk chromium trivalent (Cr III) dan dalam bentuk chromium hexavalent (Cr VI)

(EPA, 2000). Cr(VI) lebih toksik daripada Cr(III) karena Cr(VI) memiliki sifat yang

mudah larut dan mobilitas tinggi di lingkungan (Kristianto et al., 2017). Cr(VI) dapat

menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia berupa alergi kontak dermatitis

(Rezic dan Zeiner, 2008) sedangkan akibatnya bagi organisme perairan yaitu dapat

menurunkan tingkat kelangsungan hidup (Wirespathi et al., 2012). Dengan demikian

keberadaan kromium di perairan, tanah, maupun akumulasi oleh organisme harus

dikendalikan. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 2014, baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri dengan parameter

krom heksavalen (Cr VI) yaitu berkisar 0,05 mg/L.

2
Akhir-akhir ini telah dikembangkan suatu metode alternatif pengolahan limbah

industri yang dianggap paling efektif dan efisien yaitu pengolahan limbah dengan

mikroorganisme (bakteri), salah satunya menggunakan kumpulan mikroorganisme

yang melekat pada suatu permukaan membentuk biofilm. Biofilm dimanfaatkan

sebagai pengadsorpsi logam berat karena kemampuannya dalam mengakumulasi

logam berat sehingga dapat digunakan sebagai agen biomonitoring perairan. Biofilm

merupakan kumpulan mikroorganisme yang terdiri dari spesies mikroba yang saling

terikat pada permukaan media dengan kuat dan terbungkus dalam matriks yang

disintesa sendiri dan meliputi air, protein, karbohidrat, dan DNA ekstraseluler (Mitra

dan Mukhopadhyay, 2016). Biofilm dapat mengakumulasi logam berat tergantung

pada pH, kelarutan, konsentrasi logam dan bahan organik, serta jumlah biomassa dari

biofilm (Jang et al., 2001). Biofilm berperan penting dalam sistem rantai makanan di

perairan sungai karena merupakan salah satu sumber makanan utama bagi ikan.

Apabila biofilm mengakumulasi logam berat dengan konsentrasi tinggi maka akan

terjadi biomagnifikasi di dalam sistem rantai makanan sehingga ikan pada tropik

tertinggi akan berbahaya apabila dikonsumsi oleh manusia.

Sebagai salah satu perairan dengan eksosistem lotik, sungai


membutuhkan agen biomonitoring yang memiliki karakteristik khusus yang sesuai
untuk diterapkan pada perairan yang memiliki arus dan terus mengalir secara
kontinu seperti biofilm karena seluruh fase biofilm yang selalu berada di perairan,
tidak terpengaruh arus karena hidup secara sesil, serta mampu mengakumulasi ion
logam berat di perairan. Umumnya indikator pencemaran logam berat di perairan
hanya menggunakan air dan/atau sedimen sehingga baku mutu pencemaran
limbah logam berat pun hanya berdasarkan konsentrasi yang terkandung dalam air
dan/atau sedimen, akan tetapi keduanya dirasa kurang cukup untuk
menggambarkan tingkat pencemaran di perairan sungai sebab keduanya tidak

3
berhubungan langsung dengan sistem rantai makanan dan masih terpengaruh oleh
faktor luar misal arus air dan musim sehingga biofilm dianggap tepat untuk dijadikan
sebagai agen biomonitoring di perairan lotik.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini dijelaskan dalam Gambar 1 sebagai

berikut:

a Pembuangan limbah Cr masuk ke badan


Kegiatan industri b
penyamakan kulit cair residu hasil perairan dan berubah
produksi berupa Cr menjadi Cr(VI) dalam
yang tidak melalui kondisi basa
treatment

f
c

Perbandingan tingkat
Analisis kandungan Cr(VI) terakumulasi di
akumulasi Cr(VI) di e Cr(VI) pada air dan d dalam sedimen dan
badan air dan biofilm
biofilm yang ada di biofilm sehingga
sebagai acuan baku
Sungai Badek biofilm dijadikan
mutu air yang aman di
sebagai agen
lingkungan
biomonitoring
pencemaran
Gambar 1. Flow chart perumusan masalah

Keterangan:

: Adanya hubungan secara langsung

: Adanya hubungan secara tidak langsung

a. Kegiatan industri penyamakan kulit memanfaatkan logam kromium pada proses

Chrome Tanning yang menghasilkan limbah cair yang mengandung krom dan

dibuang langsung ke aliran Sungai Badek tanpa melalui treatment yang tepat.

4
b. Limbah cair penyamakan kulit yang masuk ke badan perairan yaitu berupa

kromium dan dapat menjadi berbahaya ketika berubah menjadi Cr(VI) dalam

kondisi basa.

c. Selain terakumulasi dalam badan perairan, Cr(VI) juga berpotensi untuk

terakumulasi di dasar perairan seperti sedimen dan biofilm. Kemampuan biofilm

dalam mengakumulasi logam berat dapat dijadikan sebagai agen biomonitoring.

d. Perlu mengetahui konsentrasi Cr(VI) di dalam air dan biofilm, karena baik air

maupun biofilm memegang peranan penting dalam sistem rantai makanan dalam

kaitannya dengan biomagnifikasi.

e. Tingkat akumulasi Cr(VI) di air dan biofilm berbeda sehingga diperlukan

perbandingan analisis konsentrasinya sebagai acuan untuk menetapkan baku

mutu logam berat Cr(VI) yang aman di perairan dan di biofilm.

f. Hasil analisa konsentrasi Cr(VI) pada air dan biofilm di Sungai Badek merupakan

dampak kegiatan industri penyamakan kulit.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kandungan Cr(VI) pada air di Sungai Badek?

2. Bagaimana kandungan Cr(VI) pada biofilm di Sungai Badek?

3. Bagaimana kemungkinan penggunaan biofilm sebagai agen biomonitoring di

Sungai Badek?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis kandungan Cr(VI) di dalam air Sungai Badek.

5
2. Untuk menganalisis kandungan Cr(VI) di dalam biofilm yang ada di Sungai

Badek.

3. Untuk mengembangkan penggunaan biofilm sebagai agen biomonitoring di

Sungai Badek.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan

wawasan tentang kandungan logam berat Cr(VI) pada biofilm dan air untuk

menggunakan biofilm sebagai agen biomonitoring dalam peningkatan dan

pengembangan water treatment. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan

untuk penelitian terkait dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan

terkait manajemen sumberdaya perairan.

1.5 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sungai Badek, Kelurahan Ciptomulyo,

Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang pada bulan Januari – Februari 2018.

Pemisahan antara pellet biofilm dengan supernathan dilaksanakan di Laboratorium

Bioteknologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.

Sedangkan penganalisaan konsentrasi logam berat Cr(VI) pada biofilm dan air

dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Perum Jasa Tirta I Kota Malang.

6
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Sungai merupakan perairan yang mengalir karena kualitas airnya selalu

berubah dari waktu ke waktu atau bersifat dinamis. Selain itu, sungai merupakan

bagian dari ekosistem air tawar dengan pergerakan air satu arah secara terus-

menerus serta dicirikan oleh arus dari hulu ke hilir (Sutanto dan Purwasih, 2012).

Sungai merupakan salah satu perairan yang tergolong perairan lotik yang dicirikan

dengan adanya arus yang terus-menerus dengan kecepatan bervariasi sehingga

perpindahan massa air berlangsung terus-menerus (Odum, 1993).

Perairan lotik khususnya sungai memiliki karakteristik khusus dibandingkan

perairan lentik yaitu umumnya memiliki kecepatan arus tinggi, perpindahan massa air

yang berlangsung cepat (Barus, 2004), tidak terdapat stratifikasi vertikal kolom air

(Effendi, 2003), memiliki kemampuan untuk pulih kembali, serta memiliki kemampuan

untuk menerima masukan limbah tanpa menyebabkan air pada sungai tersebut

tercemar yang disebut daya tampung (KLH, 2001). Akan tetapi apabila tingkat

pencemaran pada sungai tersebut semakin tinggi maka dapat mengurangi daya

tampung bahkan melebihi daya tampung sungai yang telah ditentukan (Dewa et al.,

2015).

Apabila terjadi perubahan kualitas air maka hal itu akan berpengaruh terhadap

keberadaan dan perilaku organisme tersebut sehingga dapat digunakan sebagai

penunjuk kualitas lingkungan. Kelompok organisme yang sering digunakan dalam

pendugaan kualitas air adalah yang dapat mencerminkan pengaruh perubahan

kondisi fisik dan kimia yang terjadi di perairan dalam selang waktu tertentu (Winarni,

7
2016). Adapun organisme yang sesuai untuk dijadikan sebagai bioindikator perairan

mengalir adalah yang menetap di perairan sungai karena paling tepat untuk

menggambarkan kondisi sungai dengan karakteristiknya yang berarus.

2.2 Logam Berat

Logam berat merupakan unsur kimia yang memiliki densitas lebih dari 5

gr/cm3. Logam berat tergolong bahan pencemar lingkungan karena sifat-sifat dari

logam berat yang memiliki afinitas yang tinggi dengan sulfur (belerang). Beberapa

logam berat yang termasuk logam paling berbahaya dapat menyerang ikatan sulfida

pada molekul-molekul penting sel misalnya protein (enzim) sehingga enzim tidak

berfungsi. Selain itu, ion-ion logam berat dapat terikat pada molekul penting membran

sel yang mengakibatkan terganggunya proses transport melalui membran sel

(Endrinaldi, 2010).

Dalam tubuh makhuk hidup, logam berat termasuk trace mineral atau mineral

yang jumlahnya sangat sedikit. Trace element beberapa logam berat bermanfaat

untuk mengatur metabolisme dalam tubuh manusia, namun pada konsentrasi tinggi

logam berat tergolong berbahaya dan beracun karena cenderung mengalami

bioakumulasi. Toksisitas logam berat pada manusia menyebabkan kerusakan

jaringan, khususnya organ detoksifikasi dan ekskresi (hati dan ginjal). Beberapa

logam berat bersifat karsinogenik, teratogenik, serta menyerang syaraf sehingga

dapat menyebabkan kelainan tingkah laku (Kristianto et al., 2017).

Peningkatan kadar logam berat dari berbagai aktivitas di perairan khususnya

sungai, akan mengakibatkan logam berat yang semula dibutuhkan untuk proses-

proses metabolisme oleh organisme akan berubah menjadi racun bagi organisme

tersebut. Kondisi ini selain dapat mengakibatkan kematian organisme, peningkatan

8
logam berat di perairan tersebut dapat menyebabkan efek akumulatif bagi yang

mengkonsumsinya. Logam berat Hg, Pb, Cu, As, Cr, dan Cd termasuk logam berat

kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) bagi manusia yang

mengakibatkan kerusakan jaringan terutama hati dan ginjal (Sofarini et al., 2010).

2.3 Pencemaran Logam Berat pada Perairan

Pencemaran logam berat semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

kegiatan industrialisasi (Sundari et al., 2016). Peningkatan aktivitas industri

menyebabkan masalah polusi lingkungan semakin tidak terkendali. Logam berat

termasuk salah satu dari polutan yang paling umum dan paling berbahaya pada efluen

industri. Adanya logam berat pada efluen akhir dari industri sangat tidak diinginkan

karena logam berat dapat terakumulasi melalui rantai makanan dan dapat

menyebabkan kerusakan ekologi dalam kondisi lingkungan tertentu. Ketika dibuang

tanpa pengolahan, logam berat dapat mengancam kualitas sumberdaya air serta

memiliki konsekuensi yang besar terhadap kehidupan manusia dan pada lingkungan

(Arinda et al., 2013).

Logam berat dapat masuk ke perairan dengan cara terserap sebagian ke

dalam tanah (sedimen) dan sebagian lagi akan masuk ke dalam sistem aliran sungai

yang kemudian bermuara ke laut. Logam berat yang mengendap di dasar perairan

akan mengalami sedimentasi dan menyebabkan biota perairan yang hidup dan

mencari makan di sekitar dasar perairan akan berpeluang besar untuk terkontaminasi

logam berat tersebut (Setiawan, 2013).

Logam berat yang terakumulasi di badan perairan sangat berbahaya baik

secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan organisme dan

kesehatan manusia. Hal tersebut berhubungan dengan sifat-sifat logam berat yang

9
sulit didegradasi sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan. Secara

alami, keberadaan logam berat di perairan sulit terurai dan dihilangkan serta dapat

terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan sehingga dapat

membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut

(Kennedy et al., 2014).

2.4 Logam Berat Cr(VI)

Kromium adalah elemen kimia dengan simbol Cr dan berat atom 24, termasuk

dalam kelompok 6. Pemberian nama kromium untuk jenis tembaga ini karena banyak

senyawa-senyawa kromium memiliki warna tajam. Kromium terdapat luas di kulit

bumi. Senyawa-senyawa kromium terdapat di dalam lingkungan karena adanya erosi

dari bebatuan yang mengandung kromium serta letusan gunung berapi. Saat ini

kromium banyak dipergunakan untuk pembuatan cat, zat pewarna, dan kulit sehingga

logam ini dengan mudah masuk ke dalam tanah, air, dan udara. Logam ini dapat

meresap masuk ke dalam sumur, kolam, dan sungai (Sembel, 2015). Batas toleransi

logam kromium dalam tubuh adalah 0,05 mg/L (Naimah dan Ernawati, 2011).

Pada lingkungannya, kromium seringkali ditemukan dalam dua bentuk

oksidasi stabil yaitu Cr(III) dan Cr(VI). Keduanya dicirikan oleh perbedaan komposisi

kimiawi, ketersediaan hayati, dan toksisitas. Kromium trivalent adalah elemen

esensial untuk makhluk hidup, tidak larut, dan berada pada fase padatan. Sedangkan

kromium heksavalen sangat toksik, karsinogenik, dan mutagenik baik pada hewan

dan manusia serta menyebabkan kerusakan hati dan ginjal, serta masalah respirasi

internal (Yolcubal dan Akyol, 2007). Cr(VI) lebih toksik dibandingkan dengan Cr(III)

karena sifatnya yang berdaya larut dan mobilitasnya yang tinggi di lingkungan

(Kristianto et al., 2017).

10
Kromium (VI) atau kromium heksavalen merupakan bentuk kromium yang

paling berbahaya dan dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi lingkungan dan

kesehatan manusia. Senyawa Cr(VI) di dalam lingkungan berasal dari limbah industri,

tambang kromium, pembakaran minyak bumi, kertas dan kayu. Akibat dampaknya

yang merugikan, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 82 tahun 2001 mengenai

kadar maksimum kromium untuk keperluan air baku air minum dan kegiatan perikanan

sebesar 0,05 mg/l. Oleh karena itu, monitoring terhadap kadar kromium sangat

diperlukan untuk mencegah keracunan kromium dan pencemaran lingkungan

(Khanifah et al., 2015).

2.5 Karakteristik Cr(VI) dalam Air

Konsentrasi logam berat dalam air selalu lebih rendah dibandingkan dengan

konsentrasi logam berat di sedimen. Hal tersebut disebabkan logam berat memiliki

sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan,

kemudian bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen akan

lebih tinggi jika dibandingkan kadar logam di dalam air (Paramita et al., 2017). Di

dalam air, Cr(VI) merupakan logam yang lebih toksik dibandingkan Cr(III) (Sukar et

al., 1989).

Konsentrasi, transport, dan toksisitas Cr(VI) pada tanah maupun air tanah

dikontrol oleh jumlah mekanisme yang meliputi reaksi transformasi (reduksi kimiawi

dan biologis), adsorpsi, presipitasi, atau kombinasi beragam dari proses tersebut.

Proses tersebut tergantung dari berbagai faktor, antara lain komposisi tanah

(ketersediaan donor elektron, tekstur tanah, mineral tanah, kemampuan adsorpsi, dan

lainnya) serta kondisi tanah (pH, Eh, kelembaban, dan adanya vegetasi) (Yolcubal

dan Akyol, 2007).

11
Konsentrasi dan toksisitas kromium terlarut dan mobilitasnya dalam

lingkungan perairan tergantung pada keadaan oksidasinya. Keadaan oksidasi

kromium yang paling stabil di lingkungan adalah +3 dan +6. Kromium (VI) lebih toksik

dan lebih mobil daripada kromium (III). Ion Cr(III) relatif tidak toksik, tidak korosif, dan

tidak karsinogenik bahkan dalam jumlah kecil merupakan bahan pokok yang

diperlukan untuk metabolisme karbohidrat dalam mamalia (Santoso dan

Herdiansyah). Tingkat toksisitas Cr(VI) sekitar 100 kali dibandingkan dengan Cr(III)

sehingga Cr(VI) harus direduksi menjadi Cr(III) untuk menurunkan toksisitasnya.

Cr(VI) mudah larut dalam air dan membentuk divalent oxyanion yaitu chromate

chrom (CrO42-) dan dichromate (Cr2O72-) sedangkan Cr(III) mudah diendapkan atau

diabsorbsi oleh senyawa-senyawa organik dan anorganik pada pH netral atau alkali

(Perdana et al., 2013). Interaksi elektrostatis pada Cr(VI) menyebabkan anionik Cr(VI)

sangat sulit diadsorbsi oleh muatan negatif partikel tanah di lingkungan sehingga

Cr(VI) dapat dengan mudah terlarut di lingkungan perairan. Sebaliknya, Cr(III) di

dalam air akan membentuk Cr3+, Cr(OH)2+, atau Cr(OH)2+ tergantung pada pH larutan.

Muatan positif tersebut dapat dengan mudah diadsorbsi oleh muatan negatif partikel

tanah sehingga Cr(III) lebih kecil mobillitasnya dibandingkan dengan Cr(VI) di

lingkungan (Namasivayam dan Sureshkumar, 2008). Akan tetapi, di dalam limbah,

Cr(III) dapat teroksidasi menjadi Cr(VI) apabila berada dalam kondisi-kondisi spesifik,

misalnya sinar ultraviolet, pH, dan adanya oxidation agent yang kuat (Herhady dan

Sukarsono, 2001).

2.6 Karakteristik Cr(VI) dalam Air Pori (Interstitial Water)

Interstitial water merupakan air pori yang terletak di antara pori-pori sedimen

dan membawa ion penukar kimia. Air menunjukkan keseimbangan yang dinamis

12
antara pelepasan elemen dari fase sedimen ke air. Penukaran ini terjadi karena difusi

dan intensitasnya yang tergantung konsentrasi gradient tertentu pada interstitial

water. Difusi bahan pencemar menyediakan satu jalan untuk terjadinya bioakumulasi

di rantai makanan dan menunjukkan pengaruhnya terhadap organisme bentik

(Matoso et al., 2013). Proses oksidasi akan melepaskan logam berat dan

meningkatkan konsentrasi logam berat tersebut pada interstitial water dan pemutusan

ikatan logam berat mungkin terjadi akibat penurunan pH di perairan (Otero dan

Macias, 2002).

Pada biofilm mengandung interstitial water, mikroorganisme, substansi

polimer ekstrasesuler (EPS) dan produk korosi padat (Llewellyn et al., 1991).

Biopolimer EPS terhidrasi tinggi dan membentuk suatu matriks sehingga dapat

menahan biofilm dan air secara bersamaan. Air yang terkandung pada biofilm yang

hidup di alam mengandung >90%. Umumnya air yang terkandung pada biofilm

mencapai 90 – 99% dari total berat basah. Meskipun air yang terkandung dalam

biofilm tersebut tinggi, transfer massa pada biofilm tidak sama dengan air yang ada di

luar biofilm yang disebabkan oleh karakteristik struktur matriks biofilm. Matriks biofilm

seperti halnya struktur pori bimodel yang mengandung makropori besar (saluran air)

diantara agregat polimer sel yang berbeda dan mikropori di dalam agregat (Ohshima,

2016).

2.7 Biofilm

Biofilm merupakan kumpulan dari sel-sel mikrobial yang melekat secara

ireversibel pada suatu permukaan dan terbungkus dalam matriks Extracellular

Polymeric Substances (EPS) yang dihasilkannya sendiri (Gunardi, 2014). Di

lingkungan alaminya, biofilm menunjukkan keberagaman komunitas mikrobial yang

13
terdiri dari mikrobial prokariot dan eukariot (bakteri, archaea, alga, yeast, fungi, dan

protista) (Lear, 2016). Biofilm mampu melekat pada permukaan biologis maupun

benda mati. Formasi ini membuat bakteri penyusun biofilm mampu bertahan terhadap

lingkungan ekstrim yang membahayakan bakteri tersebut (Setiawan et al., 2012).

Adapun formasi biofilm yang diamati menggunakan scanning electron mikrograf dapat

dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Scanning electron mikrograf yang menunjukkan perkembangan


biofilm (A), substrat (B), dan sel yang terikat (C) (Donlan, 2001)

Biofilm umumnya terdiri dari sel mikrobial dan EPS. EPS tersusun dari 50%

hingga 90% total organik karbon biofilm dan terdiri dari bahan matriks primer biofilm.

EPS memiliki komponen kimia dan fisika yang beragam, namun komponen utamanya

terdiri dari polisakarida. Beberapa dari polisakarida tersebut adalah netral atau

polianionik, seperti EPS dari bakteri gram negatif (Donlan, 2002). Adapun komposisi

kimia pembentuk biofilm menurut Jamal et al. (2015) ditunjukkan pada Tabel 1 berikut

ini.

14
Tabel 1. Komposisi kimia biofilm
Komponen Persentase matriks
Sel mikroba 2–5%
DNA dan RNA <1 – 2 %
Polisakarida 1–2%
Protein <1 – 2 % (termasuk enzim)
Air >97%

2.8 Mekanisme Terbentuknya Biofilm

Biofilm tumbuh melalui tiga tahap proses yaitu tahap awal yang terdiri dari

pelekatan bakteri pada substrat. Bakteri tumbuh dan membelah kemudian

membentuk kolonisasi di lingkungan sekitar dan terbentuklah biofilm. Bakteri ini tidak

bekerja secara individual untuk membentuk biofilm, namun berkumpul menjadi rantai

yang panjang untuk membantu mengawali tahap awal pembentukan biofilm

(Fatmawati, 2011). Sejalan dengan pertumbuhannya, sel biofilm ini akan

menghasilkan EPS yang akan melekatkan satu sama lain untuk membentuk suatu

mikrokoloni. Monolayer ini disebut juga sebagai linking film yaitu suatu substrat yang

menjadi tempat sel bakteri melekat dan membentuk lapisan yang makin menebal yang

menyebabkan mikroba yang melekat pada lapisan terdalam permukaan akan

kekurangan zat-zat nutrisi dan terjadi akumulasi produk buangan yang bersifat toksik

(Gunardi, 2014).

Perkembangan biofilm diawali ketika bakteri mengalami transisi dari bentuk

planktonik yang kemudian menempel pada permukaan biotik ataupun abiotik. Transisi

ini diatur oleh status nutrisi lingkungan. Setelah penempelan awal pada substrat, sel

akan mengalami perubahan fisiologis yang menghasilkan struktur komunitas mikrobial

bersifat sesil. Setelah tumbuh dan berkembang menjadi biofilm, siklus perkembangan

berakhir ketika sel planktonik dilepaskan dari biofilm ke media, yang kemungkinan

15
merupakan respon dari kekurangan nutrisi yang cukup (O’Toole dan Kolter, 1998).

Adapun siklus hidup dan perkembangan biofilm dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Siklus hidup biofilm (Jamal et al., 2015)

Karakteristik substrat dapat mempengaruhi tingkat pelekatan oleh

mikroorganisme. Umumnya semakin kasar dan semakin hidrofobik bahan tersebut

maka biofilm dapat berkembang lebih rapat. Kondisi tersebut semakin baik ketika

substrat berada di lingkungan perairan baik laut lepas maupun aliran sungai karena

biofilm dapat memperoleh lapisan yang terdiri dari protein khususnya yang terdapat

pada lingkungannya. Kemudian biofilm akan melepaskan bahan kimia pada

permukaan substrat untuk melapisi dirinya pada substrat tersebut (Donlan, 2001).

2.9 Karakteristik Cr(VI) dalam Biofilm

Bakteri yang mempunyai habitat tercemar logam berat mempunyai resistensi

terhadap logam berat tersebut melalui mekanisme biosorbsi dan atau bioakumulasi.

Mekanisme biosorpsi biasanya berhubungan dengan adanya eksopolisakarida (EPS)

pada dinding sel bakteri yang dapat berfungsi sebagai pengkelat logam berat di

permukaan sel, sedangkan bioakumulasi berhubungan dengan adanya operon sesuai

dengan logam yang diakumulasi (Zulaika et al., 2012). Adapun interaksi antara logam

berat dengan biofilm dapat dilihat pada Gambar 4. Hanya beberapa jenis bakteri yang

16
mampu bertahan hidup pada lingkungan tercemar atau menjadi resisten. Logam berat

di lingkungan air dapat terikat pada permukaan sel bakteri sehingga bagian luar sel

bakteri tersebut menebal dalam bentuk matrik ekstraseluler atau film untuk

perlindungan diri. Polimer ekstraseluler tersebut mempunyai kapasitas besar dalam

mengabsorbsi ion logam (Suryandari, 2009).

Gambar 4. Skema interaksi antara logam berat dan biofilm (Hullebusch et al., 2004)

2.10 Biomonitoring

Biomonitoring merupakan metode pemantauan kualitas air dengan

menggunakan indikator biologis (bioindikator). Bioindikator adalah petunjuk biologis

baik hewan maupun tumbuhan yang menunjukkan kondisi lingkungan berdasarkan

keberadaan dan jumlah makhluk hidup. Umumnya bioindikator menggunakan hewan

makroinvertebrata, yaitu hewan yang tidak bertulang belakang dengan ukuran tubuh

2 mm atau lebih. Sedangkan biomonitoring adalah analisis air dengan cara biologi

(Hendarti, 2007).

Pada biomonitoring pencemaran perairan termasuk logam berat, organisme

yang hidup di perairan tersebut dijadikan sampel untuk analisis berbagai respon

17
biologis sebagai akibat dari paparan kimia. Bioindikator yang sesuai sangat

membantu dalam proses biomonitoring. Ciri-ciri bioindikator yang sesuai, antara lain:

(1) dapat mengakumulasi polutan hingga konsentrasi tinggi tanpa mati; (2) hidup

secara sesil sehingga merepresentasikan pencemaran di lokasi tersebut; (3) memiliki

cukup kelimpahan dan distribusi yang luas untuk pengulangan sampel dan

perbandingan; (4) hidupnya cukup panjang untuk dibandingkan antara variasi

umurnya; (5) dapat diamati jaringan maupun selnya untuk penelitian lebih lanjut pada

tingkat mikrokosmik; (6) mudah diambil ketika sampling dan mudah dibawa di

laboratorium; (7) dapat bertahan hidup di air; (8) termasuk posisi penting pada rantai

makanan; (9) hubungan antara dosis dan efeknya dapat diamati (Zhou et al., 2008).

2.11 Biofilm sebagai Biomonitoring Perairan

Saat ini, biofilm semakin banyak dimanfaatkan sebagai sistem pemantauan

pencemaran perairan atau indikator untuk memonitoring atau mengevaluasi

pencemaran logam berat di sungai berdasarkan perubahan struktur dan fisiologis

biofilm akibat adanya logam berat di perairan. Biofilm dipilih sebagai sistem monitoring

karena kelebihan biofilm yang dapat mengadsorpsi polutan dari lingkungan, tumbuh

dan berkembang secara cepat, serta metode sampling yang mudah. Biofilm

berinteraksi dengan nutrien dan polutan di ekosistem perairan sungai sehingga biofilm

dapat digunakan sebagai monitoring pencemaran badan perairan (Mitra dan

Mukhopadhyay, 2016).

Berdasarkan kemampuannya dalam mengadsorpsi logam berat dalam

perairan, biofilm pun dikembangkan sebagai teknologi pengolahan limbah

perindustrian. Biofilm digunakan dalam wastewater treatment karena memiliki

beberapa mekanisme penurunan jumlah polutan seperti degradasi biologis, biosorpsi,

18
bioakumulasi, dan biomineralisasi. Komponen matriks biofilm memiliki kemampuan

dalam mengadsorpsi logam berat dan bahan organik melalui mekanisme biosorpsi.

Reaktor yang menggunakan flora mikrobial alami atau strain spesifik memiliki

kemampuan untuk menurunkan chlorophenols, pyrene dan phenanthrene, n-alkalin,

carbon tetrachloride, dan efluen campuran dari industri farmatikal (Andersson, 2009).

Selain itu, berdasarkan Di Iaconi et al. (2003) bahwa teknologi SBBR (Sequencing

Batch Biofilm Reactor) dapat digunakan sebagai pengolahan limbah industri

penyamakan kulit karena dapat menurunkan konsentrasi kromium, COD, dan TSS di

perairan.

2.12 Parameter Kualitas Air

2.12.1 Suhu

Nilai suhu pada perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang

masuk ke dalam perairan. Suhu perairan berpengaruh terhadap berat jenis,

viskositas, densitas air, kelarutan gas, sarta unsur-unsur dalam air. Cahaya matahari

yang masuk ke badan perairan akan mengalami penyerapan yang mengakibatkan

perubahan menjadi energi panas (Warman, 2015). Selain itu, suhu air juga

dipengaruhi oleh masuknya limbah ke dalam perairan. Limbah industri apabila

dibuang ke sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu memiliki suhu yang relatif

tinggi sehingga membahayakan kehidupan organisme perairan di dalamnya karena

dapat meningkatkan respirasi dan menyebabkan kadar oksigen di perairan tersebut

rendah. Suhu air dipengaruhi juga oleh pertukaran panas antara air dan udara,

ketinggian topografi, masuknya limbah industri, dan penutupan oleh tanaman (Barus,

2002).

19
Air yang berada dalam kondisi baik atau tidak tercemar harus memiliki

temperatur yang sama dengan temperatur udara yaitu antara 20 – 30ºC. Air yang telah

tercemar memiliki nilai temperatur di atas atau di bawah nilai temperatur udara

(Hasrianti dan Nurasia, 2009). Kondisi tersebut sesuai dengan penelitian Suparjo

(2009) bahwa perairan Sungai Babon Semarang yang terindikasi pencemaran akibat

masuknya limbah beberapa industri antara lain industri tekstil, pulp/kertas, dan

pengalengan udang memiliki suhu dengan kisaran antara 30 – 31ºC.

2.12.2 Kedalaman

Pada kolom air, konsentrasi logam berat akan sangat tergantung oleh faktor

lingkungan. Perubahan nilai konsentrasi logam berat diakibatkan karena perubahan

arus, suhu, salinitas, pH, kekuatan ionik, jumlah dan jenis bahan penemar serta

kedalaman. Kedalaman perairan yang berbeda akan memilki karakteristik fisika dan

kimia yang berbeda. Konsentrasi Cu dan Zn semakin menurun seiring dengan

bertambahnya kedalaman perairan sedangkan konsentrasi Fe dan Hg semakin

meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan. Karakteristik logam

berat di perairan yang bersifat dinamis memiliki kaitannya dengan sifat toksisitas

logam berat tersebut di kolom air (Sari et al., 2017).

Kedalaman juga mempengaruhi distribusi vertikal logam berat dalam kolom

perairan. Kondisi logam berat yang memiliki berat jenis lebih berat dari berat jenis air

menyebabkan logam berat memiliki sifat mudah mengendap. Meski demikian, logam

berat tersebut tidak serta merta mengendap begitu saja, melainkan interaksi yang

terjadi antara sedimen dan kolom perairan diduga turut berperan dalam pengendapan

logam berat sehingga terjadi distribusi vertikal logam berat yang bervariasi

(Purwiyanto, 2015).

20
2.12.3 Kecepatan Arus

Arah dan kecepatan arus sangat penting untuk mengetahui proses

perpindahan dan pengadukan dalam perairan seperti mikronutrien dan material

tersuspensi. Sistem perairan akan memindahkan dan mengencerkan cemaran kimia

termasuk logam berat sejauh mana air tersebut bergerak, baik zat-zat tersebut dalam

larutan atau terserap pada sebuat partikel (Tinsley, 1979).

Logam berat akan terakumulasi di badan perairan dan terbawa oleh arus yang

kemudian tenggelam di dasar perairan dan akan terakumulasi dalam sedimen. Arus

dan gelombang merupakan faktor kekuatan utama yang menentukan arah dan

sebaran sedimen. Kontaminasi dari logam berat dalam sedimen akan bertahan

selama kurun waktu yang lama (Ma’rifah et al., 2016). Arus lambat turut

mempengaruhi tingginya konsentrasi logam berat pada sedimen karena pada arus

yang lambat, logam berat akan cenderung mengendap pada sedimen (Mason, 1981).

2.12.4 pH

Sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan

menyukai pH sekitar 7 – 8,5. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH

rendah (Paramita et al., 2017). pH yang rendah dapat mempengaruhi kelarutan logam

berat di perairan. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena

kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang

membentuk ikatan dengan partikel pada badan air sehingga akan mengendap

membentuk lumpur. Sedangkan pH yang rendah dapat menyebabkan kelarutan

logam-logam dalam air semakin besar (Rachmaningrum et al., 2015).

Rohmawati et al. (2017) juga menjelaskan bahwa logam berat kromium akan

larut lebih tinggi pada kondisi pH rendah atau asam. Logam Cr yang tidak larut dalam

21
air akan mengendap di dasar perairan atau mengalami sedimentasi karena di dalam

perairan terjadi bermacam-macam proses kimia seperti pengompleksan dan sistem

reaksi redoks yang dapat menyebabkan pengendapan atau sedimentasi logam Cr di

dasar perairan. Selain itu menurut Fatoni (2014), laju perubahan ion logam Cr(VI)

menjadi ion logam Cr(III) adalah tergantung pH karena dengan menurunnya pH maka

semakin besar laju perubahan ion logam Cr(VI) menjadi ion logam Cr(III) sebab reaksi

reduksi ion logam Cr(VI) penting untuk mensuplai banyak proton untuk peningkatan

laju reaksi sehingga menjadi ion logam Cr(III) seperti dalam reaksi berikut:

Cr2O72- + 14H+ + 6e- 2Cr3+ + 7H2O

Cr2O72- + 8H+ + 3e- 2Cr3+ + 4H2O

HCrO4- + 7H+ + 3e- 2Cr3+ + 4H2O

H2CrO4 + 6H+ + 3e- Cr3+ + 4H2O

2.12.5 Oksigen Terlarut (DO)

Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman,

tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air,

aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air.

Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar

oksigen terlarut hingga mencapa nol (anaerob) (Lensun dan Tumembouw, 2013).

Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan

normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut

minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme. Idealnya kandungan

oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan

sedikitnya pada tingkat kejenuhan 70% (Salmin, 2005). Nilai DO yang rendah

disebabkan banyaknya limbah yang masuk ke dalam perairan sungai. Penurunan

22
kadar oksigen terlarut di perairan merupakan indikasi kuat adanya pencemaran. Hal

ini berakibat sulitnya biota perairan hidup pada perairan tersebut apabila telah

melebihi toleransi kadar DO organisme perairan, walaupun masih ada beberapa

organisme yang dapat hidup di dalamnya (Happy et al., 2012).

23
3. MATERI DAN METODE

3.1 Materi Penelitian

Materi dalam penelitian ini adalah kandungan Kromium Heksavalen [Cr(VI)] di

dalam biofilm dan air yang diambil dari Sungai Badek. Data pendukung yang

digunakan dalam penelitian ini adalah suhu, pH, oksigen terlarut, kedalaman sungai,

dan kecepatan arus sungai.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada

Lampiran 1.

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di DAS Sungai Badek, Kelurahan Ciptomulyo,

Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Lokasi pengambilan sampel ditentukan

dari lokasi terdekat dengan pipa pembuangan limbah pabrik penyamakan kulit sampai

dengan aliran sungai sebelum bergabung dengan Sungai Metro. Adapun untuk peta

lokasi penelitian di Sungai Badek dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian kualitatif

dengan penjelasan deskriptif yang bertujuan untuk membuat gambaran mengenai

situasi atau kejadian-kejadian di lokasi penelitian. Penelitian kualitatif bersifat induktif

yaitu peneliti membiarkan permasalahan-permasalahan muncul dari data atau

dibiarkan terbuka untuk interpretasi. Data dihimpun dengan pengamatan yang

seksama, mencakup deskripsi dalam konteks yang mendetail disertai catatan-catatan

24
hasil wawancara atau hasil analisis dokumen dan catatan-catatan (Hamdi dan

Bahruddin, 2012).

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan secara individu.

Dengan kata lain, data tersebut merupakan hasil dari pengamatan individu secara

langsung, hasil wawancara sendiri dengan orang lain, dan hasil dari pengukuran

sendiri (Wiradi, 2009). Data primer dalam penelitian ini meliputi berat biofilm,

konsentrasi kandungan Cr(VI) pada biofilm dan air, serta nilai suhu, derajat keasaman

(pH), dan oksigen terlarut (DO) pada Sungai Badek, Kelurahan Ciptomulyo,

Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Data primer dalam penelitian ini diperoleh

dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun teknik dalam

pengambilan data primer adalah sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi dapat disebut juga dengan pengamatan yang meliputi kegiatan

pemusatan perhatian terhadap suatu obyek secara sistematis dengan menggunakan

alat indera manusia. Dalam hal ini, metode observasi yaitu kegiatan-kegiatan seorang

peneliti untuk mengumpulkan data dengan panca indera yaitu penglihatan,

penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap (Muslika, 2014). Adapun observasi

yang dilakukan dibagi atas dua metode, antara lain metode in situ (pengukuran

lapang) dan metode ex situ (pengujian laboratorium). Metode in situ yang digunakan

adalah untuk mengukur kualitas air meliputi parameter fisika yaitu suhu, derajat

keasaman (pH), dan oksigen terlarut (DO). Sedangkan metode ex situ yaitu metode

yang dilakukan tidak secara langsung di lapang, melainkan pengujian di laboratorium.

25
Metode ex situ yang digunakan bertujuan untuk menguji kandungan Cr(VI) pada air

dan biofilm di Sungai Badek, Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Kedungkandang,

Kota Malang.

b. Wawancara

Wawancara merupakan proses interaksi atau komunikasi secara langsung

antara pewawancara dengan responden. Bentuk komunikasi tersebut sesuai dengan

objek yang akan diteliti (Budiarto dan Anggraeni, 2003). Wawancara digunakan

sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti melakukan studi atau uji

pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, serta untuk

memperkuat informasi secara lebih jelas. Wawancara dilakukan dengan

mewawancarai warga di sekitar Sungai Badek yang terkena dampak langsung dari

pencemaran akibat limbah cair industri penyamakan kulit.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah suatu kegiatan yang digunakan untuk menerangkan

suatu peristiwa baik dalam bentuk tulisan, foto, rekaman dan berbagai cara-cara lain

seiring dengan kemajuan teknologi yang pada akhirnya menjadi salah satu sumber

informasi tentang peristiwa tersebut (Sudarsono, 2003). Dokumentasi dilakukan

dengan cara mengambil gambar atau foto saat dilakukannya penelitian dengan

menggunakan kamera dan mencatat data primer yang diperoleh pada saat tersebut.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan teknik pengumpulan data secara tidak langsung

yang dapat diperoleh dari literatur, dokumen, dan informasi dari berbagai instansi

terkait seperti Departemen Kelautan dan Perikanan serta perpustakaan

26
(Kusumawardani et al., 2012). Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui

jurnal, buku, laporan skripsi, thesis, serta kepustakaan ilmiah yang menunjang

keberhasilan penelitian ini.

3.5 Teknik Pengambilan Sampel

3.5.1 Pengambilan Sampel Air

Pengambilan sampel air dilaksanakan di Sungai Badek, Kelurahan

Ciptomulyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang pada tiga stasiun dengan

pengambilan masing-masing stasiun yaitu tiga titik. Adapun cara pengambilan sampel

air adalah sebagai berikut:

 Menyiapkan botol air mineral 600 ml sebagai wadah sampel air yang akan

diambil.

 Mendekatkan botol air mineral ke perairan dengan melawan arus sehingga air

masuk ke dalam botol hingga penuh.

 Memberikan kode tiap botol dengan nomor titik dan stasiun menggunakan

kertas label.

 Memasukkan botol ke dalam cool box dengan suhu ± 4ºC untuk dibawa ke

Laboratorium Lingkungan Perum Jasa Tirta I Kota Malang untuk dilakukan

perlakuan penelitian selanjutnya.

3.5.2 Pengambilan Sampel Biofilm

Pengambilan sampel biofilm dilaksanakan di Sungai Badek, Kelurahan

Ciptomulyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang pada tiga stasiun dengan

pengulangan tiga kali pada titik yang berbeda. Adapun tahapan pengambilan sampel

biofilm adalah sebagai berikut:

27
a. Persiapan Sampel Biofilm

Persiapan sampel biofilm dilakukan di Sungai Badek, Kelurahan Ciptomulyo,

Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Adapun cara persiapan sampel biofilm

adalah sebagai berikut:

 Mengambil batu pada tiap stasiun di aliran Sungai Badek secara acak mulai

dari permukaan sungai, tepi bagian dalam sungai, dan di dasar sungai dengan

ciri-ciri fisik batu yang diambil yaitu permukaan batu licin terselubung oleh

lendir dan tumbuh biofilm yang menyerupai lumut serta terlihat seperti filamen.

 Meniriskan batu yang ditumbuhi biofilm tersebut dengan tujuan mengurangi

kandungan air yang ada di biofilm untuk perlakuan selanjutnya.

b. Pengambilan Sampel Biofilm

Pengambilan dan penyikatan (brushing) sampel biofilm dari batu dilakukan di

Sungai Badek, Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

Adapun cara pengambilan sampel biofilm adalah sebagai berikut:

 Menimbang container yang berisi sikat dan aquades sebanyak 120 ml.

 Melepaskan biofilm dari batu yang telah ditiriskan dengan disikat secara

searah ke dalam container yang berisi 120 ml aquades. Selanjutnya apabila

ada makrobenthos yang menempel pada batu diambil dengan pinset.

 Menghitung berat basah biofilm dari perbedaan volume saat container berisi

sikat dan aquades sebelum dan sesudah biofilm dimasukkan.

 Memindahkan larutan biofilm ke dalam botol film yang telah dicuci bersih.

 Memasukkan botol film yang berisi larutan biofilm ke dalam cool box dengan

suhu ± 4ºC untuk dibawa ke Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

28
 Memindahkan botol film dari cool box ke dalam freezer untuk perlakuan

penelitian selanjutnya yang dilakukan pada hari selanjutnya.

c. Pemisahan Larutan Aquades dengan Biofilm

Pemisahan antara larutan aquades dengan biofilm dilakukan dengan

menggunakan sentrifugasi untuk mendapatkan pellet dan supernathan sehingga

konsentrasi Cr(VI) dapat diketahui pada masing-masing komponen. Adapun cara

pemisahan larutan aquades dengan biofilm adalah sebagai berikut:

 Mengeluarkan botol film dari freezer dan dibiarkan hingga mencapai suhu

ruang.

 Memasukkan larutan biofilm ke dalam tabung sentrifuge dengan

menggunakan mikropipet.

 Memasukkan tabung sentrifuge berpasangan dan berseberangan dengan

berat yang seimbang, kemudian sentrifuge ditutup.

 Memilih pengaturan kecepatan rotasi dengan memutar knob tombol “SPEED”.

 Menunggu alat sentrifuge yaitu putaran rotor benar-benar berhenti yang

menandakan proses sentrifugasi telah selesai.

 Mengeluarkan sampel dari sentrifuge.

 Memisahkan supernathan dan pellet biofilm ke dalam wadah yang terpisah.

3.6 Prosedur Pengujian Sampel Logam Berat

3.6.1 Air

Pengukuran konsentrasi logam berat Cr(VI) pada air sampel di Sungai Badek

dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Perum Jasa Tirta I Kota Malang dengan

29
menggunakan metode analisa APHA. 3500-Cr B-2005. Adapun prosedur pengukuran

logam berat Cr(VI) dalam air menurut APHA (2012) adalah sebagai berikut:

a. Persiapan Kalibrasi Standar

 Memasukkan pipet berisi 2 ml larutan stok Krom Val 6 (100 mg Cr6+/L) pada

labu ukur 200 ml.

 Menambahkan air suling sampai tanda batas, larutan ini mengandung 1

mg Cr6+/L.

 Memasukkan pipet 1, 5, 10, 25, dan 50 ml larutan Krom Val 6 yang

mengandung 1 mg Cr6+/L ke dalam labu ukur 100 ml.

 Menambahkan air suling sampai tanda batas sehingga diperoleh

konsentrasi Krom Val 6 0,01; 0,05; 0,10; 0,25, dan 0,50 mg Cr 6+/L. Lalu

memasukkan 10 ml larutan standar Krom Val 6 konsentrasi (0,01; 0,05;

0,10; 0,25, dan 0,50 mg Cr6+/L) dan blanko ke dalam labu ukur 10 ml. Air

suling digunakan untuk blanko.

 Menambahkan 0,025 ml H2PO4 pekat kemudian pH larutan standar dan

mengatur blanko menjadi pH 2,0 ± 0,5 dengan larutan H2SO4 0,2 N.

 Kemudian menambahkan 0,2 ml larutan diphenyl carbazide lalu dikocok

dan dibiarkan selama 5 – 10 menit.

 Memasukkan larutan ke dalam kuvet (10 mm), dibaca serapan pada

spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm.

 Kemudian membuat kurva kalibrasi.

b. Analisis Cr(VI) dengan Metode APHA. 3500-Cr B-2005

 Menyaring contoh uji air dengan kertas saring berpori 0,45 µm.

30
 Mengukur contoh uji yang sudah disaring sebanyak 10 ml pada labu ukur

10 ml.

 Menambahkan 0,025 ml H3PO4 pekat dan mengatur pH menjadi 2,0 ± 0,5

dengan larutan H2SO4 0,2 N.

 Kemudian menambahkan 0,2 ml larutan Diphenyl Carbazide lalu dikocok

dan dibiarkan selama 5 – 10 menit.

 Membaca serapan pada spektrofotometer panjang gelombang 540 nm

dengan menggunakan kuvet 10 mm.

 Mencatat konsentrasi hasil analisa dengan satuan mg/liter.

3.6.2 Biofilm

Pengukuran konsentrasi logam berat Cr(VI) pada biofilm di Sungai Badek

dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Perum Jasa Tirta I Kota Malang dengan

metode analisa Spektrofotometri. Adapun prosedur pengukuran logam berat Cr(VI)

dalam biofilm menurut Standar Nasional Indonesia (2008) adalah sebagai berikut:

 Menimbang sampel biofilm 5 gram dan melarutkan dengan menggunakan

aquades hingga volumenya 100 ml.

 Mengasamkan menggunakan HNO3 pekat dengan pipet tetes.

 Memanaskan larutan hingga berubah jernih apabila belum jernih maka

ditambahkan HNO3 lagi hingga jernih.

 Menyaring larutan menggunakan kertas saring berpori 0,45 µm.

 Menambahkan aquades lagi hingga volumenya kembali ke volume awal

yaitu 100 ml.

 Membaca serapan pada spektrofotometer panjang gelombang 540 nm

dengan menggunakan kuvet 10 mm.

31
 Mencatat konsentrasi hasil analisa dengan satuan ppm.

3.7 Pengukuran Kualitas Air

3.7.1 Parameter Fisika

a. Suhu

Alat yang digunakan dalam pengukuran suhu pada penelitian ini adalah DO

meter tipe PDO-520. Adapun prosedur pengukuran suhu menggunakan DO meter

adalah sebagai berikut:

 Menyambungkan probe dengan DO meter.

 Menekan tombol power off/on.

 Melakukan kalibrasi dengan menekan tombol “HOLD” kemudian menekan

tombol “REC” sekali.

 Pada layar akan muncul nilai berkedip dan menghitung mundur mulai dari 30

sampai 0.

 Pada layar akan muncul nilai oksigen terlarut dan nilai suhu.

 Mengubah satuan suhu dari ºF ke ºC dengancaramenekan tombol “REC”

selama 2 detik maka satuan suhu akan berubah, kemudian melepaskan jari

dari tombol.

 Memasukkan elektroda ke dalam perairan sampai suhu air menunjukkan nilai

yang stabil.

 Mencatat hasil pengukuran suhu pada DO meter.

32
b. Kedalaman

Alat yang digunakan untuk mengukur kedalaman air pada penelitian ini

adalahtali yang diberi pemberat. Adapun prosedur pengukuran kedalaman adalah

sebagai berikut:

 Menyiapkan tali yang diberi pemberat untuk mengukur kedalaman sungai.

 Memasukkan tali yang diberi pemberat tersebut ke dasar sungai dan dipegang

ujung tali yang lain.

 Memberi tanda menggunakan karet gelang pada tali di permukaan sungai.

 Mengukur menggunakan penggaris mulai dari ujung pemberat sampai batas

tali yang diberi tanda dan dijadikan sebagai kedalaman sungai.

c. Kecepatan Arus

Pengukuran kecepatan arus dapat diukur dengan menggunakan current meter

atau botol bekas air mineral yang diikatkan tali raffia. Adapun prosedur pengukuran

kecepatan arus menurut Norhadi et al. (2015) adalah sebagai berikut:

 Mengisi botol plastik bekas 600 ml dengan air ±400 ml sebagai pemberat dan

diikat dengan tali rafia sepanjang 5 meter.

 Melepas botol ke perairan yang berarus.

 Saat botol pertama kali bergerak merupakan awal mencatat lamanya waktu

benda tersebut bergerak hingga ditunggu sampai panjang tali 5 meter itu habis

dan dicatat sebagai lamanya waktu tempuh.

 Menghitung dengan rumus kecepatan arus:

𝑆
v=
𝑡

33
Keterangan:

v = Kecepatan arus

s = Panjang tali (m)

t = Waktu (detik)

3.7.2 Parameter Kimia

a. Derajat Keasaman (pH)

Dalam pengukuran derajat keasaman (pH) pada penelitian ini menggunakan

alat pH meter. Adapun prosedur kerja pengoperasian pH meter adalah sebagai

berikut:

 Menyalakan pH meter dan mengkalibrasi elektroda pH meter menggunakan

aquades.

 Membersihkan elektroda pH meter menggunakan tisu secara searah.

 Memasukkan elektroda pH meter ke dalam air sampel selama 2 menit.

 Menunggu angka yang muncul pada pH meter hingga stabil dan dicatat

sebagai data pH perairan.

 Membilas dengan aquades dan dimatikan.

b. Oksigen Terlarut (DO)

Alat yang digunakan untuk mengukur nilai oksigen terlarut dalam penelitian ini

adalah DO meter tipe PDO-520. Adapun prosedur kerja pengoperasian DO meter

menurut Hermawati et al. (2009) adalah sebagai berikut:

 Menekan tombol power pada DO meter dan membiarkan ± 3 – 5 menit hingga

dalam keadaan stabil.

34
 Menekan tombol tanda panah ke atas dan ke bawah pada DO meter secara

bersamaan kemudian dilepaskan.

 Menekan tombol mode pada DO meter hingga terbaca % oksigen.

 Menaikkan atau menurunkan nilai altitude dengan menggunakan tombol tanda

panah ke atas dan ke bawah sampai sesuai dengan nilai altitude dan tekan

enter.

 DO meter siap digunakan dan dimasukkan ke perairan.

 Menyalakan DO meter dan ditunggu hingga angka stabil dimana angka atas

menunjukkan nilai DO (oksigen terlarut)

 Mencatat hasil pengukuran DO pada lembar data pengamatan.

3.8 Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskrtiptif

yaitu dengan menampilkan data dalam bentuk tabel, gambar, dan grafik sehingga

dapat menghasilkan informasi dalam kandungan logam berat Cr(VI) pada biofilm dan

air dari sungai Badek di sekitar kawasan pabrik penyamakan kulit. Berdasarkan

pernyataan Sugiyono (2009), metode deskriptif adalah penelitian yang dilakukan

untuk mengetahui keberadaan variable mandiri, baik hanya pada satu variabel atau

lebih tanpa membuat perbandingan dan mencari hubungan variabel itu dengan

variable yang lain. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif

sehingga metode deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif yang diguanakan

penulis merupakan metode yang bertujuan menggambarkan secara sistematis dan

faktual tentang fakta-fakta serta hubungan antar variabel yang diselidiki dengan cara

mengumpulkan data, mengolah, menganalisis, dan mengintepretasi data yang

diperoleh.

35
Analisis data yang digunakan dalam data penelitian ini adalah menggunakan

uji-t. Menurut Siegel (1994), uji-t merupakan contoh dari statistik parametrik yang

memerlukan sejumlah asumsi-asumsi kuat dalam penggunaannya. Jika asumsi-

asumsi tersebut dapat dipercaya, maka uji-uji parametrik inilah yang paling besar

kemungkinannya untuk menolak H0 ketika H0 salah. Syarat-syarat yang harus

dipenuhi untuk membuat uji-t menjadi uji paling kuat adalah observasi-observasi harus

saling independen, observasi-observasi harus ditarik dari populasi yang berdistribusi

normal, populasi-populasi tersebut memiliki varians yang sama dan variable-variabel

yang terlibat harus terukur setidaknya dalam skala interval.

Uji paired t-test merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan nilai rata-rata dua kelompok data yang berpasangan (Kusdiana et al.,

2014). Dalam penelitian ini, penulis membandingkan biofilm dan air. Alat hitung yang

digunakan untuk menghitung paired sample t-test adalah Minitab18. Dengan

menggunakan Minitab18, paired sample t-test akan menghasilkan nilai rata-rata

(mean) dan P-Value untuk mengetahui signifikan perbandingan yang diuji.

36
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Sungai Badek, Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan

Kedungkandang, Kota Malang. Beberapa industri penyamakan kulit berdiri di sekitar

permukiman warga Kelurahan Ciptomulyo. Industri tersebut membuang limbah

penyamakan kulit ke aliran sungai sekitar yaitu Sungai Badek sehingga warna sungai

berwarna keabu-abuan hingga kecoklatan, berbau tidak sedap, memiliki pH rendah

(bersifat asam), memiliki tingkat kekentalan yang tinggi (pekat) dan mengalir dalam

debit yang besar dalam tiga kali periode pembukaan outlet (Prasetiyo dan Fidiastuti,

2015). Adapun jumlah kromium yang terbuang pada proses umum produksi industri

penyamakan kulit menurut Herhady dan Sukarsono (2001) ditunjukkan pada Tabel 2

berikut ini.

Tabel 2. Jumlah limbah kromium pada proses umum penyamakan

Proses Jumlah Kromium


Tanning 2 – 5 kg Cr/ton kulit
Post-tanning 1 – 2 kg Cr/ton kulit
Total 3 – 7 kg Cr2O3/ton

Sungai Badek merupakan anak Sungai Metro yang alirannya melewati daerah

Kelurahan Ciptomulyo Kota Malang. Sungai Badek termasuk sungai kecil, tidak

dalam, kondisi alirannya stabil dan tenang yang diduga mengalami penurunan kualitas

air akibat limbah cair industri penyamakan kulit yang selalu membuang limbah cair

secara langsung ke Sungai Badek tanpa adanya treatment terlebih dahulu sehingga

menyebabkan kerusakan ekosistem air sungai dan meresahkan warga sekitar daerah

sempadan sungai (Prasetya et al., 2015). Sungai Badek digolongkan ke dalam kelas

III yang digunakan sebagai pembudidayaan ikan air tawar, peternakan dan air untuk

37
pertanaman (Peraturan Gubernur Jawa Timur, 2010). Akan tetapi dengan adanya

masukan limbah cair industri penyamakan kulit serta limbah domestik warga

menyebabkan kondisi air di Sungai Badek yang tidak sesuai dengan peruntukannya

dan hingga saat ini warga tidak ada yang memanfaatkan air di Sungai Badek karena

pencemaran yang terjadi di aliran sungai tersebut.

4.2 Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel biofilm dilakukan sekitar pukul 08.00 – 13.00 WIB serta

dilakukan pengukuran suhu, kedalaman, kecepatan arus, pH, dan DO dan

pengambilan atau brushing biofilm pada batu yang terdapat di masing-masing stasiun.

Sedangkan untuk pemisahan antara pellet biofilm dengan supernathan dilaksanakan

di Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan serta analisis konsentrasi Cr(VI) yang dilakukan di Laboratorium Lingkungan

Perum Jasa Tirta I Malang. Adapun peta lokasi Sungai Badek beserta titik

pengambilan dan pengulangan sampel air maupun biofilm disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta lokasi penelitian di Sungai Badek

38
4.2.1 Stasiun 1

Stasiun satu terletak di dekat outlet pembuangan limbah dari kegiatan industri

penyamakan kulit di Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota

Malang. Pada stasiun ini, aliran sungai melewati pemukiman warga sehingga selain

adanya masukan limbah dari industri penyamakan kulit, juga terdapat masukan

limbah secara berkala dari aktivitas manusia seperti air sisa mencuci pakaian, piring,

air dari saluran kamar mandi warga, hingga sampah yang dibuang langsung oleh

warga di aliran sungai.

Gambar 6. Stasiun 1

4.2.2 Stasiun 2

Stasiun dua terletak di antara stasiun satu dan stasiun tiga. Stasiun ini berada

di dekat rel kereta api dan di sekitar permukiman penduduk. Tidak berbeda jauh

dengan stasiun satu, stasiun ini juga mendapat masukan kecil dari limbah domestik

warga. Aliran limbah penyamakan kulit dari outlet yang berada di dekat stasiun satu

mengalir ke stasiun dua tanpa adanya masukan dari sungai lain.

39
Gambar 7. Stasiun 2

4.2.3 Stasiun 3

Stasiun tiga terletak di bagian hilir aliran DAS sungai Badek sebelum adanya

masukan air dari cabang sungai ataupun sumber lainnya yang memungkinkan

terpengaruhnya konsentrasi Cr(VI) di dalam air maupun biofilm. Hal tersebut sesuai

dengan pernyataan Singh (2005) bahwa pengaruh pengenceran ketika ada air masuk

turut mengakibatkan menurunnya konsentrasi logam berat pada air. Pada penelitian

ini difokuskan pada pengaruh masukan Cr(VI) pada aliran Sungai Badek sebelum

mengalir pada sungai yang lebih besar yaitu Sungai Metro.

Gambar 8. Stasiun 3

40
4.3 Hasil Analisa Kromium (VI)

4.3.1 Kandungan Kromium (VI) pada Air

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan

Perum Jasa Tirta I Kota Malang diperoleh konsentrasi Cr(VI) pada air di Sungai Badek

yang berada di sekitar kawasan industri penyamakan kulit yang dapat dilihat pada

Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Konsentrasi Cr(VI) pada air di Sungai


Konsentrasi Cr(VI) (ppm)
Ulangan Stasiun Pengambilan Sampel
1 2 3
1 Tidak terdeteksi <0.012 0,018
2 0,023 <0.012 0,005
3 0,024 0,022 0,012
Rata-rata 0,016 0,015 0,012

Rata-rata konsentrasi Cr(VI) pada air di Sungai Badek yang diperoleh pada

stasiun 1 menunjukkan nilai yang tertinggi yaitu 0,016 ppm. Kemudian diikuti oleh

stasiun 2 yang memiliki nilai rata-rata konsentrasi Cr(VI) sebesar 0,015 ppm.

Sedangkan konsentrasi terendah terdapat pada stasiun 3 yang memiliki nilai rata-rata

konsentrasi Cr(VI) sebesar 0,012 ppm.

Apabila dibandingkan dengan standar baku mutu air limbah bagi kawasan

industri menurut Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2013 bahwa kadar

maksimum Cr(VI) yang dianggap masih aman adalah 0,05 mg/L sehingga hasil

penelitian konsentrasi Cr(VI) dalam air yang diperoleh di Sungai Badek masih

tergolong rendah dan masih berada di bawah kadar maksimum yang telah ditetapkan.

Nilai konsentrasi logam berat dalam perairan juga turut dipengaruhi oleh banyaknya

masukan limbah hasil produksi yang dibuang pada saat pengambilan sampel. Pada

saat industri tersebut menjalankan produksinya maka semakin banyak debit air limbah

yang dihasilkan dan dibuang ke lingkungan sehingga mempengaruhi tingginya

41
konsentrasi logam berat, dan sebaliknya. Hal tersebut selaras dengan pernyataan

Happy et al. (2012) bahwa tinggi rendahnya konsentrasi logam berat di perairan

disebabkan oleh banyaknya jumlah masukan limbah logam berat ke perairan.

Semakin besar limbah masuk ke dalam suatu perairan maka semakin besar pula

konsentrasi logam berat di perairan.

Data di Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsentrasi Cr(VI)

dalam air seiring dengan semakin bertambahnya jarak dari outlet pembuangan limbah

penyamakan kulit. Konsentrasi Cr(VI) tertinggi berada di stasiun satu yaitu lokasi yang

dekat dengan pipa pembuangan limbah cair pabrik penyamakan kulit sebesar 0,016

ppm. Limbah cair yang dibuang dari outlet yang berada di dekat stasiun satu ini akan

dibawa oleh aliran air menuju ke stasiun dua hingga stasiun tiga. Meskipun

konsentrasi Cr(VI) dalam air di Sungai Badek masih dalam kisaran yang aman, namun

apabila hal tersebut tidak mendapat perhatian lebih dan tidak ditindaklanjuti oleh

pemerintah maupun pihak industri yang menjalankan kegiatan ini maka pencemaran

akan semakin meningkat statusnya dari pencemaran rendah menjadi pencemaran

berat. Terlebih lagi apabila dilihat secara fisik, warna air sungai telah berwarna coklat

kehitaman, berbau, serta terjadi pendangkalan dan penyempitan badan sungai

sehingga daya tampung dan alirannya terganggu. Beberapa ciri-ciri tersebut

merupakan ciri-ciri fisik sungai yang telah tercemar (Idrus, 2015).

4.3.2 Kandungan Kromium (VI) pada Biofilm

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan

Perum Jasa Tirta I Kota Malang diperoleh konsentrasi Cr(VI) pada biofilm di Sungai

Badek yang berada di sekitar kawasan industri penyamakan kulit yang dapat dilihat

pada tabel 4 berikut ini.

42
Tabel 4. Konsentrasi Cr(VI) pada biofilm di Sungai Badek
Konsentrasi Cr(VI) (ppm)
Ulangan Stasiun Pengambilan Sampel
1 2 3
1 0,709 0,860 1,207
2 0,848 2,161 1,793
3 2,663 1,956 0,854
Rata-rata 1,407 1,659 1,285

Dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat akumulasi Cr(VI) pada

biofilm di Sungai Badek menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Nilai konsentrasi Cr(VI)

pada biofilm di tiap stasiun diperoleh setelah mengakumulasikan hasil konsentrasi

Cr(VI) pada pellet dan supernathan (Lampiran 3). Berdasarkan hasil tersebut

diperoleh rata-rata konsentrasi Cr(VI) pada biofilm di stasiun satu yaitu sebesar 1,407

ppm. Pada stasiun dua menunjukkan hasil rata-rata konsentrasi Cr(VI) pada biofilm

sebesar 1,659 ppm. Sedangkan pada stasiun tiga, rata-rata konsentrasi Cr(VI) pada

biofilm sebesar 1,285 ppm. Tingkat akumulasi Cr(VI) dalam kisaran tersebut

menunjukkan nilai yang telah melebihi tingkat konsentrasi yang aman dan dapat

bersifat racun bagi organisme ataupun manusia yaitu konsentrasi Cr(VI) yang berada

di atas 0,05 ppm (Kartohardjono et al., 2009).

Konsentrasi Cr(VI) yang terakumulasi dalam biofilm dapat meningkat apabila

biofilm yang ada di Sungai Badek mengalami biomagnifikasi dari yang semula biofilm

sebagai organisme tropik pertama atau produsen berpindah ke tingkat tropik yang

lebih tinggi akibat sistem rantai makanan. Apabila biofilm dikonsumsi oleh organisme

tropik kedua atau konsumen sebagai contoh protozoa maka akan terjadi peningkatan

konsentrasi Cr(VI) hingga dua kali lipat akibat penyerapan Cr(VI) oleh protozoa itu

sendiri serta konsentrasi Cr(VI) yang diperoleh dari biofilm yang dikonsumsi. Hal

tersebut akan terus terjadi seiring dengan berpindahnya Cr(VI) ke taraf tropik

selanjutnya seperti ikan yang mengkonsumsi protozoa sehingga akumulasi Cr(VI)

43
akan meningkat dalam tubuh ikan hingga berkali-kali lipat. Fenomena biomagnifikasi

ini berimpilkasi pada manusia karena manusia menduduki posisi puncak tingkat trofik

dalam sistem rantai makanan tersebut. Dengan demikian manusia dapat

menanggung resiko biomagnifikasi paling tinggi (Puspitasari, 2007) karena pada trofik

pertama pun konsentrasi Cr(VI) telah melebihi konsentrasi aman yang dapat

dikonsumsi.

Mikronutrien seperti kromium yang terkandung dalam air akan berinteraksi

dengan biofilm melalui proses fisika, kimia, dan biologi (Hullesbusch et al., 2004).

Proses fisika dalam penyerapan Cr(VI) pada biofilm di penelitian ini diperkirakan

terjadi karena adanya interaksi muatan listrik antara logam berat yang terlarut dalam

air dengan biofilm dan mekanisme pertukaran ion yang diakibatkan oleh terjadinya

proses kimia.

Menurut Cloirec et al. (2004), perbedaan konsentrasi gradient antara bentuk

cair dan padat pada air dan biofilm menyebabkan ion logam berat terdifusi dan

cenderung mengakumulasi lapisan permukaan hingga keseimbangan tercapai.

Mekanisme adsorbsi berdasarkan transfer ion dari air ke biofilm dan interaksi antara

ion dan biofilm terjadi dalam beberapa tahap antara lain (1) logam berat dalam air

akan terdifusi pada permukaan eksternal biofilm; (2) transfer massa melalui lapisan

konsentrasi tinggi sekitar biofilm; (3) ion logam berinteraksi sangat cepat dengan

permukaan padatan khususnya pada dinding bakteria yang kemudian terjadi proses

biosorpsi, bioakumulasi, atau proses detoksifikasi; (4) ion logam berat terdifusi pada

permukaan adsorbent kemudian berinteraksi dengan bakteria.

Extracelullar polymeric substances (EPS) memegang peranan dalam proses

penyerapan logam berat dalam biofilm. Dalam molekulnya, EPS lebih banyak memiliki

44
muatan anion dibandingkan muatan kation (Hullesbusch et al., 2004) sedangkan

Cr(VI) dalam air akan berbentuk anionik sebagai Cr2O72- pada pH yang netral

(Maksum et al., 2014) seperti halnya dalam penelitian ini. Persamaan muatan antara

Cr(VI) dengan biofilm menyebabkan kemampuan biofilm dalam mengadsorpsi anion

Cr(VI) rendah dan tidak setinggi kemampuannya dalam mengadsorpsi Cr(III) yang

dalam air berbentuk kationik sebagai Cr(OH)2+. Namun dengan adanya sejumlah

muatan kation yang ada di EPS atau tergolong polianionik sehingga menyebabkan

terjadinya pertukaran ion antara Cr2O72- dengan polimer biofilm.

Pada stasiun dua menunjukkan konsentrasi Cr(VI) pada biofilm yang paling

tinggi yaitu 1,659 ppm. Efisiensi dalam proses akumulasi ini dapat disebabkan oleh

berbagai faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

sifat fisis dan kimiawi biofilm. Kondisi kualitas air yang berbeda dari stasiun lainnya

menyebabkan perbedaan kondisi biofilm yang hidup di stasiun dua. Faktor lingkungan

yang mempengaruhi kondisi pada biofilm antara lain suhu, pH, dan oksigen terlarut.

Peningkatan suhu dapat meningkatkan pembentukan biofilm dengan meningkatkan

adhesi pada permukaan yang padat serta meningkatkan produksi Extracellular

Polymeric Substances (EPS) oleh mikroba (Else et al., 2003). EPS berperan dalam

pengadsorpsian logam berat di perairan karena berkaitan dengan peristiwa

pertukaran ion antara biofilm dan air sehingga semakin tinggi produktivitas EPS maka

semakin tinggi efektifitas pertukaran ion yang terjadi. Selain suhu, faktor pH dan

oksigen terlarut pun berperan dalam keoptimalan akumulasi Cr(VI) di biofilm. Oksigen

terlarut yang rendah memicu Cr(VI) lebih mengendap di dasar perairan sedangkan pH

yang netral menyebabkan reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) rendah sehingga akumulasi

Cr(VI) di biofilm pun tinggi.

45
4.4 Perbandingan Kadar Kromium (VI) pada Air dan Biofilm

Perbandingan kadar Cr(VI) pada air dan biofilm di Sungai Badek menunjukkan

bahwa pada seluruh stasiun, nilai konsentrasi Cr(VI) di biofilm akan lebih tinggi

dibandingkan nilai konsentrasi Cr(VI) dalam air (Gambar 9). Cr(VI) yang terlarut dalam

air akan mengalami pengendapan di dasar perairan karena adanya beberapa faktor,

salah satunya adalah berat jenis logam berat yang lebih besar dibandingkan berat

jenis air (Purwiyanto, 2015). Di dasar perairan Sungai Badek yang memungkinkan

untuk terakumulasinya logam berat adalah sedimen di dasar perairan serta biofilm

yang hidup menempel di substrat yang dialiri oleh aliran sungai. Biofilm merupakan

agen bioindikator yang tepat untuk memonitoring kadar pencemaran di Sungai Badek

karena berkaitan langsung dengan sistem rantai makanan dan merupakan

penghubung antara perpindahan logam berat dari abiotik ke komponen biotik di

sungai karena terdiri dari alga, bakteri, dan partikel detrital yang melekat pada substrat

di perairan (Farag et al., 2007). Lain halnya pada air, konsentrasi logam berat yang

terakumulasi umumnya lebih rendah dibandingkan sedimen maupun biofilm sehingga

apabila dianalisis konsentrasinya dalam air akan cenderung berada dalam kisaran

aman berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan di

Indonesia, peraturan mengenai standar baku mutu pencemaran limbah di biofilm

belum ditentukan.

Berdasarkan hasil uji paired sample t-test yang telah dilakukan, didapatkan nilai

probabilitas sebesar 0,006. Sedangkan nilai t - value sebesar -13,12 dan t-tabel yaitu

-4,302. Apabila nilai t-hitung < t-tabel dan P-value <0,05, maka H0 ditolak. Hal tersebut

ditunjukkan berdasarkan hasil perhitungan pada uji paired sample t-test bahwa nilai

46
t-hitung < t-tabel (-13,12 < -4,302) dan P-value (0,006 < 0,05) sehingga H0 ditolak atau

terjadi perbedaan signifikan antara konsentrasi Cr(VI) di air dan biofilm.

1.0

Konsentrasi Cr(VI) (ppm)


0.8

0.6 0.506
Air
0.4 0.341
0.251
Biofilm (ln x)

0.2 x = konsentrasi
Cr(VI) dalam
0.016 0.015 0.012 biofilm
0.0
1 2 3
Stasiun

Gambar 9. Grafik perbandingan konsentrasi Cr(VI) pada air dan biofilm

Pada Gambar 9 diketahui bahwa pada stasiun satu, kadar Cr(VI) dalam biofilm

sebesar 1,407 ppm sedangkan di air hanya 0,016 ppm. Pada stasiun dua diperoleh

Cr(VI) dalam biofilm yang cukup tinggi yaitu 1,659 ppm sedangkan dalam air hanya

sebesar 0,015 ppm. Sedangkan pada stasiun tiga, diperoleh Cr(VI) pada biofilm

sebesar 1,285 ppm dan pada air sebesar 0,012 ppm. Polimer biofilm yaitu

eksopolisakarida (EPS) memiliki sifat mengikat polutan logam, larut dalam air, diikat

lemah oleh matriks tanah, dan setelah mengadsorpsi logam tidak mudah

dimineralisasi sehingga berpotensi meningkatkan mobilitas logam di tanah (Hindersah

dan Kamaluddin, 2014). Sifat inilah yang menyebabkan perbandingan konsentrasi

Cr(VI) pada air dan biofilm cukup berbeda signifikan yang menyebabkan mobilitas

Cr(VI) di air rendah karena banyak terakumulasi dalam biofilm. Dengan dibuktikannya

hal tersebut, maka perlu ditetapkannya konsentrasi Cr(VI) yang aman pada biofilm

karena penyerapan Cr(VI) yang lebih efektif pada biofilm dibandingkan air.

47
4.5 Parameter Kualitas Air

Hasil dari pengukuran parameter kualitas air di Sungai Badek meliputi

parameter fisika berupa suhu, kedalaman, dan kecepatan arus serta parameter kimia

yang meliputi pH dan oksigen terlarut. Tiap parameter tersebut diamati pada tiap

stasiun di Sungai Badek selama penelitian dan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Hasil Parameter Kualitas Air di Sungai Badek


Parameter Kualitas Air
Stasiun
Fisika Kimia
Pengambilan
Sampel Kedalaman Kecepatan DO
Suhu (ºC) pH
(m) Arus (m/s) (mg/L)
1 29,33 0,20 0,05 6,45 6,26
2 31,66 0,15 0,50 6,37 4,66
3 25,86 0,24 0,07 6,54 7,13

4.5.1. Suhu

Dari hasil pengukuran pada masing-masing stasiun, diperoleh kisaran suhu di

Sungai Badek yaitu 25,8 – 31,6 ºC. Perbedaan nilai tersebut dapat disebabkan oleh

perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke dalam badan perairan dan cuaca pada

saat pengukuran. Dari hasil pengukuran suhu tersebut dapat diketahui bahwa pada

stasiun 3 memiliki nilai suhu terendah dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu

25,8ºC. Rendahnya nilai suhu ini dapat disebabkan oleh waktu pengamatan di stasiun

3 yang dilakukan pada pagi hari dan dilaksanakan pertama kali sehingga intensitas

cahaya matahari yang masuk ke dalam badan perairan rendah. Sebaliknya, pada

stasiun 2 menunjukkan nilai suhu paling tinggi dibandingkan stasiun lainnya.

Berdasarkan pernyataan Rahman (2016), suhu yang tinggi dapat

menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, dan

CH4. Peningkatan suhu perairan sebesar 10ºC menyebabkan terjadinya peningkatan

konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat sehingga peningkatan

48
suhu air dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut dalam air. Hal tersebut

sesuai dengan data yang diperoleh bahwa seiring tingginya nilai suhu pada stasiun

dua juga diikuti dengan rendahnya nilai DO. Dari rata-rata suhu yang diperoleh dari

seluruh stasiun di Sungai Badek didapatkan nilai suhu yaitu 29ºC. Nilai tersebut

tergolong optimum untuk pertumbuhan biofilm sesuai dengan yang dinyatakan oleh

Ramli et al. (2012) bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan biofilm di lingkungan

alaminya yaitu ± 30ºC. Dalam kaitannya dengan kemampuan akumulasi logam berat,

dengan adanya peningkatan suhu maka proses akumulasi logam berat akan

meningkat dan reaksi pembentukan ikatan antara logam berat dengan protein dalam

biota termasuk biofilm semakin cepat (Budiastuti et al., 2016), demikian pula toksisitas

logam berat di perairan akan meningkat (Happy et al., 2012).

4.5.2. Kedalaman

Hasil pengukuran kedalaman air pada masing-masing stasiun diketahui bahwa

rata-rata kedalaman air di Sungai Badek tergolong dangkal dan tidak dalam hanya

berkisar antara 0,15 – 0,24 m. Sungai yang memiliki kedalaman rendah dan jarak

yang tidak jauh maka dapat digolongkan sebagai sungai kecil. Adapun berdasarkan

pernyataan Norhadi et al. (2015) bahwa sungai kecil didefinisikan sebagai air dangkal

yang mengalir di suatu daerah dengan lebar aliran tidak lebih dari 40 m pada muka

air normal, sedangkan kondisi yang lebih besar dari sungai kecil disebut sungai atau

sungai besar.

Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman yang diperoleh pada masing-

masing stasiun menunjukkan bahwa pada stasiun dua memiliki kedalaman yang

paling rendah, sedangkan pada stasiun tiga memiliki kedalaman yang paling tinggi.

Perbedaan kedalaman ini akan berpengaruh terhadap suhu perairan sesuai dengan

49
pernyataan Rahayu et al. (2009) bahwa lebar dan kedalaman sungai dapat

berpengaruh terhadap karakteristik fisik, kimia, dan biologi sungai. Sungai yang lebar

dan dangkal akan mendapatkan cahaya matahari lebih banyak sehingga suhu air

pada sungai tersebut pun tinggi. Hal tersebut sesuai dengan nilai suhu yang diperoleh

pada stasiun dua yang memiliki nilai yang paling tinggi seiring dengan rendahnya

kedalaman sungai. Kedalaman sungai yang rendah dapat terjadi akibat adanya

pendangkalan yang disebabkan oleh limbah kegiatan industri dan buangan sampah

rumah tangga yang disumbangkan oleh masyarakat sekitar. Menurut Susmarkanto

(2002), kandungan limbah yang berasal dari buangan limbah industri dan rumah

tangga ini lambat laun akan mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai.

4.5.3. Kecepatan Arus

Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan aliran pada tiap stasiun di Sungai

Badek, didapatkan nilai kecepatan aliran sungai berkisar antara 0,05 – 0,50 m/s.

Menurut Mason (1981), sungai yang memiliki kecepatan arus <10 cm/detik tergolong

sungai yang berarus sangat lambat. Perbedaan yang signifikan dapat dilihat pada nilai

kecepatan arus pada stasiun dua yang memiliki rentang nilai kecepatan arus yang

cukup jauh dibandingkan stasiun satu dan tiga. Hal tersebut kemungkinan disebabkan

oleh beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan aliran sesuai dengan yang

dinyatakan oleh Norhadi et al. (2015) bahwa kecepatan aliran sungai pada suatu

penampang saluran tidak sama karena kecepatan aliran sungai ditentukan oleh

bentuk aliran, geometri saluran, dan faktor-faktor lainnya. Selain itu kecepatan aliran

sungai tergantung dari material penyusun badan sungai, kemiringan dasar sungai,

dan jari-jari penampang basah sungai (Suharyanto, 2014). Pada stasiun dua, dasar

sungai mengalami kemiringan sehingga mempercepat aliran air yang melewati

50
stasiun ini. Di samping itu kedalaman atau tinggi muka air yang rendah juga turut serta

mempercepat jalannya aliran sungai di stasiun dua.

Kecepatan arus suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan

badan air tersebut untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar termasuk

logam berat (Effendi, 2003). Logam berat dapat terdistribusi dari outlet pembuangan

limbah kegiatan industri hingga muara sungai dikarenakan adanya aliran sungai yang

membawa bahan pencemar tersebut. Umumnya semakin dekat dari outlet maka

konsentrasi logam berat yang terakumulasi dalam badan air semakin tinggi dan akan

mengalami penurunan konsentasi seiring dengan jarak yang ditempuh aliran sungai

akibat adanya sebagian logam berat yang diserap ke dalam sedimen (Setiawan, 2013)

dan adanya bioakumulasi pada biota perairan (Hidayah et al., 2014).

4.5.4. pH

Berdasarkan hasil pengukuran pH pada masing-masing stasiun diperoleh pH

di Sungai Badek berkisar antara 6,37 – 6,54. Dengan rata-rata pH perairan sebesar

6,45 tergolong masih memenuhi standar baku mutu air limbah sesuai dengan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 bahwa baku mutu air

limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri penyamakan kulit menggunakan krom

yaitu memiliki pH berkisar antara 6 – 9. Kisaran pH yang ada di Sungai Badek

tergolong netral karena berada di kisaran 7. Pada pH rendah, ion Cr(VI) dominan

sebagai HCrO4-, sedangkan pada pH netral yang dominan adalah Cr2O72-, dan pada

pH tinggi didominasi oleh CrO42-. Kemudahan untuk tereduksi dari ketiga anion

tersebut secara berurutan adalah HCrO4-, Cr2O72-, dan CrO42- (Darminto dan

Suryaning, 2008). Cr(VI) dapat tereduksi menjadi Cr(III) apabila lingkungan bersifat

asam sehingga konsentrasi Cr(III) dapat lebih tinggi dibandingkan Cr(VI). Akan tetapi

51
kembali pada karakteristik dari Cr(VI) yang memiliki sifat mobilitas yang tinggi dan

mudah larut di perairan sedangkan Cr(III) lebih mudah mengalami pengendapan atau

absorbsi oleh senyawa-senyawa organik dan anorganik pada pH netral atau alkali

(Perdana et al., 2013).

Pada pH rendah maka Cr(III) akan menjadi lebih dominan daripada Cr(VI) dan

sebaliknya (Baskoro dan Saputro, 2012). Hasil pengamatan pH yang diperoleh di

Sungai Badek menunjukkan pH yang netral, sehingga konsentrasi Cr(VI) dalam air

lebih tinggi dibandingkan Cr(III). Namun Cr(III) akan lebih banyak mengendap di

sedimen dan biofilm dibandingkan Cr(VI) karena adanya interaksi ion H+ dengan

muatan negatif partikel tanah maupun biofilm. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

Fatoni (2014) bahwa jika pH tanah rendah (konsentrasi ion H+ tinggi) maka ion H+

tersebut akan lebih berinteraksi dengan muatan negatif partikel-partikel tanah

dibandingkan dengan ion logam Cr(VI), sebaliknya ion H+ akan berkompetisi dengan

ion logam Cr(III) untuk berinteraksi dengan muatan negatif partikel-partikel tanah.

4.5.5. Oksigen Terlarut (DO)

Hasil pengukuran oksigen terlarut yang diperoleh pada masing-masing stasiun

di Sungai Badek berada dalam kisaran 4,66 – 7,13 mg/L. Berdasarkan pengamatan,

nilai oksigen terlarut terendah yaitu berada di stasiun dua dengan nilai 4,66 mg/L.

Penurunan kadar oksigen terlarut di dalam air merupakan indikasi kuat adanya

pencemaran (Budiastuti et al., 2016). Nilai oksigen terlarut yang rendah akan

berpengaruh terhadap konsentrasi logam berat. Daya larut logam bisa menjadi lebih

tinggi atau lebih rendah tergantung pada kondisi lingkungan perairan. Pada daerah

sungai yang oksigen terlarut (DO) rendah, daya larut logam menjadi lebih rendah dan

lebih mudah mengendap (Taftazani, 2007). Hal tersebut sesuai dengan hasil

52
konsentrasi Cr(VI) yang terakumulasi di biofilm pada stasiun dua yang menunjukkan

nilai tertinggi dibandingkan stasiun lainnya.

Konsentrasi oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain adalah suhu, musim, kedalaman, altitude, dan kecepatan aliran. Suhu

sangat mempengaruhi tingkat kelarutan oksigen dalam air. Suhu dan altitude yang

tinggi menyebabkan nilai oksigen terlarut yang rendah (Kale, 2016). Sungai dapat

digolongkan sebagai pencemaran berat apabila kadar oksigen terlarut antara 0,1 – 2

mg/L (Supriyantini dan Endrawati, 2015) sedangkan dikatakan baik dan mempunyai

tingkat pencemaran yang rendah jika kadar oksigen terlarutnya lebih besar dari 5 mg/L

(Mahyudin et al., 2015). Dari hasil pengamatan konsentrasi oksigen terlarut yang

diperoleh di Sungai Badek menunjukkan apabila Sungai Badek masih tergolong

dalam kategori sungai dengan tingkat pencemaran rendah.

53
5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsentrasi Cr(VI) pada air di Sungai Badek yang berlokasi di Kecamatan

Kedungkandang, Kelurahan Ciptomulyo, Kota Malang berkisar dari 0,012 –

0,016 ppm. Konsentrasi tertinggi didapatkan pada stasiun 1 yaitu 0,016 ppm

sedangkan konsentrasi terendah yaitu 0,012 ppm pada stasiun 3.

2. Konsentrasi Cr(VI) pada biofilm di Sungai Badekyang berlokasi di Kecamatan

Kedungkandang, Kelurahan Ciptomulyo, Kota Malang berkisar antara 1,285 –

1,659 ppm. Konsentrasi tertinggi diperoleh pada stasiun 2 yaitu 1,659 ppm

sedangkan konsentrasi terendah pada stasiun 3 yaitu 1,285 ppm.

3. Konsentrasi Cr(VI) pada biofilm lebih tinggi dibandingkan konsentrasi Cr(VI) di

air. Hal tersebut mengindikasikan bahwa biofilm mampu mengakumulasi

Cr(VI) pada perairan mengalir seperti sungai. Dengan demikian, hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa biofilm sangat mungkin digunakan sebagai

agen biomonitoring di ekosistem perairan sungai.

5.2 Saran

Saran yang dapat penulis berikan dengan dilakukannya penelitian ini adalah

perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kemampuan akumulasi

biofilm terhadap logam berat di perairan dengan mengaitkannya terhadap berbagai

faktor abiotik maupun biotik lainnya seperti luas permukaan biofilm, BOD, debit air

limbah, dan keterkaitannya terhadap konsentrasi Cr(VI) pada sedimen untuk

menyempurnakan pengetahuan baru mengenai adsorpsi biofilm terhadap logam berat

54
di lingkungan alaminya yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk pemanfaatan

biofilm sebagai pengolahan limbah atau water treatment yang ramah lingkungan..

Selain itu diperlukan pula perbandingan rasio Cr(III) dan Cr(VI) di perairan sehingga

dapat diketahui tingkat toksisitas pencemaran kromium yang ada di perairan tersebut.

Diharapkan pula berdasarkan hasil penelitian dapat ditetapkan nilai standar baku

mutu konsentrasi logam berat dalam biofilm oleh pemerintah karena biofilm berkaitan

langsung dengan sistem rantai makanan dan merupakan penghubung antara

perpindahan logam berat dari abiotik ke komponen biotik di sungai.

55
DAFTAR PUSTAKA

Andersson, S. 2009. Characterization of bacterial biofilms for wastewater treatment.


Royal Institute of Technology. Sweden.

Ariska, N.I., E. Yuliani dan D. Chandrasasi. 2017. Perencanaan instalasi pengolahan


air limbah (IPAL) pabrik penyamakan kulit di Desa Mojopurno Kecamatan
Ngariboyo Kabupaten Magetan. Jurusan Teknik Pengairan. Fakultas
Teknik. Universitas Brawijaya.

Azizi, S., I. Kamika and M. Tekere. 2016. Evaluation of heavy metal removal from
wastewater in a modified packed bed biofilm reactor. Plos one. 11(5): 1-13.

Barus, T.A. 2002. Limnologi. FMIPA USU. Medan. 50 hlm.

Basaran, B., M. Ulas, B.O. Bitlisli and A. Aslan. 2008. Distribution of Cr (III) and Cr (VI)
in chrome tanned leather. Indian Journal of Chemical Technology. 15: 511-
514.

Baskoro, F. dan S. Saputro. 2012. Analisis spesiasi ion kromium dalam air alam
menggunakan metode elektrooksidasi dan solid-phase spectrophotometry.
Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia IV tanggal 31 Maret 2012.
FKIP UNS. Surakarta.
Budiarto, E. dan D. Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemologi. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Budiastuti, P., M. Raharjo dan N.A.Y. Dewanti. 2016. Analisis pencemaran logam
berat timbal di badan Sungai Babon Kecamatan Genuk Semarang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 4(5): 119-125.

Cloirec, P.L., Y. Andres, C. Faur-Brasquet and C. Gerente. 2004. Engineerd biofilm


for metal ion removal. Reviews in Enviromental Science and
Bio/Technology. 2: 177-192.

Darminto dan G.K. Suryaning. 2008. Pengaruh waktu kontak tanah Diatomeae
terhadap peningkatan hasil reduksi Cr(VI) oleh fotokatalisis TiO2. Jurnal
Chemica. 9(2):1-7.
Dewa, C., L.D. Susanawati dan B.R. Widiatmono. 2015. Daya tampung Sungai Gede
akibat pencemaran limbah cair industry tepung singkong di Kecamatan
Ngadiluwih Kabupaten Kediri. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 35-
43.
Di Iaconi, C., A. Lopez, R. Ramadori and R. Passino. 2003. Tannery wastewater
treatment by sequencing batch biofilm reactor. Environment Science
Technology. 37: 3199-3205.

56
Donlan, R.M. 2001. Biofilm formation: a clinically relevant microbiological process.
Healthcare Epidemiology. 33: 1387-1392.

__________. 2002. Biofilms: Microbial life on surfaces. Emerging Infectious Diseases.


8(9): 881-890.

Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan
perairan. Kanisius. Yogyakarta. 255 hlm.
Else, T.E., C.R. Pantle and P.S. Amy. 2003. Boundaries for biofilm formation: humidity
and temperature. Applied and Enviromental Microbiology. 69(8): 5006-
5010.

Endrinaldi. 2009. Logam-logam berat pencemar lingkungan dan efek terhadap


manusia. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 4(1): 42-46.

EPA, 2000. National Air Toxics Program: The Integrated Urban Strategy Report to
Congress. U.S. Enviromental Protection Agency, Research Triangle Park,
North Carolina. n.p.

Farag, A.M., D.A. Nimick, B.A. Kimball, S.E. Church, D.D. Harper and W.G.
Brumbaugh. 2007. Concentration of metals in water, sediment, biofilm,
benthic macroinvertebrates, and fish in the Boulder River Watershed,
Montana, and the role of colloids in metal uptake. Archieve of Enviromental
Contamination and Toxicology. 52: 397-409.
Fatmawati, D.W.A. 2011. Hubungan biofilm Streptococcus mutans terhadap resiko
terjadinya karies gigi. Stomatognatic. 8(3): 127-130.

Fatoni, A. 2014. Hubungan antara pH dan C-organik terhadap ion logam Cr(VI) pada
tanah bekas pertambangan: kajian reaksi kimia. Prosiding Seminar
Nasional Lahan Suboptimal tanggal 26-27 September 2014. STIFI Bhakti
Pertiwi. Palembang. 420-424 hlm.

Gunardi, W.D. 2014. Peranan biofilm dalam kaitannya dengan penyakit infeksi.1-9
hlm.

Hamdi, A.S. dan E. Bahruddin. 2012. Metode penelitian kuantitatif aplikasi dalam
pendidikan. CV Budi Utama. Yogyakarta. 171 hlm.

Happy, A., Masyamsir dan Y. Dhahiyat. 2012. Distribusi kandungan logam berat Pb
dan Cd pada kolom air dan sedimen daerah aliran Sungai Citarum hulu.
Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(3): 175-182.

Hasrianti dan Nurasia. 2009. Analisis warna, suhu, pH, dan salinitas air sumur bor di
Kota Palopo. Prosiding Seminar Nasional. 2(1): 747-753.

57
Hendarti, L. 2007. Menepis kabut Halimun. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 240
hlm.

Herhady, R.D. dan R. Sukarsono. 2001. Pengolahan limbah kromium dari industri
penyamakan kulit menggunakan teknik radiasi berkas elektron. Prosiding
Seminar Teknologi Pengelolaan Limbah V Pusat Teknologi Limbah
Radioaktif. BATAN. 153-159 hlm.

Hermawati, A.W.S., R. Kusdarwati, S. Sigit dan A.S. Mubarak. 2009. Pengaruh


konsentrasi cadmium terhadap perubahan warna dan persentase jenis
kelamin jantan anakan Daphnia magna. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan. 1(1): 43-50.

Hidayah, A.M., Purwanto dan T.R. Soeprobowati. 2014. Biokonsentrasi faktor logam
berat Pb, Cd, Cr, dan Cu pada ikan nila (Oreochromis niloticus Linn.) di
karamba Danau Rawa Pening. Bioma. 16(1): 1-9.
Hindersah, R. dan Kamaluddin, N.N. 2014. Pengaruh timbal terhadap kepadatan sel
dan kadar eksopolisakarida kultur cair Azotobacter. Bionatura-Jurnal Ilmu
Hayati dan Fisik. 16(1): 1-5.
Hullebusch E.D.V., M.H. Zandvoort and P.N.L. Lens. 2004. Metal immobilization by
biofilm: mechanism and analytical tools. Re/Views in Enviromental Science
& Bio/Technology. 00: 1-25.
Idrus, S.W.A. 2015. Analisis pencemaran air menggunakan metode sederhana pada
Sungai Jangkuk, Kekalik dan Sekarbela Kota Mataram. J.Pijar MIPA. 10(2):
37-42.
Jamal, M., U. Tasneem, T. Hussain and S. Andleeb. 2015. Bacterial biofilm: its
composition, formation, and role in human infections. Journal of
Microbiology and Biotechnology. 4(3): 1-14.

Jang, A., S.M. Kim, S.Y. Kim, S.G. Lee and I.S. Kim. 2001. Effects of heavy metals
(Cu, Pb, and Ni) on the compositions of EPS in biofilms. Water Science and
Technology. 43(6): 41-48.

Kale, V.S. 2016. Consequence of temperature, pH, turbidity and dissolved oxygen
water quality parameters. IARJSET. 3(8): 186-190.
KLH, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Kartohardjono, S., M.A. Lukman dan G.P. Manik. 2009. Pemanfaatan kulit batang
jambu biji (Psidium guajava) untuk adsorpsi Cr(VI) dari larutan. Jurnal
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
Kennedy, L., B. Amin dan S. Anita. 2014. Evaluasi tingkat pencemaran logam berat di
perairan sekitar area industri galangan kapal Batam provinsi Riau. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau. 139-149 hlm.

58
Khanifah, N., H. Sulistyarti dan A. Sabarudin. 2015. Pembuatan tes kit kromium
berdasarkan pembentukan kompleks Cr(VI)-difenilkarbazida. Kimia Student
Journal. 1(1): 730-736.

Kristianto, S., S. Wilujeng dan D. Wahyudiarto. 2017. Analisis logam berat kromium
(Cr) pada kali pelayaran sebagai bentuk upaya penangggulang
pencemaran lingkungan di wilayah Sidoarjo. Jurnal Biota. 3(2): 66-70.

Kusumawardani, I.S., I. Gumila dan I. Rostini. 2012. Analisis Surplus Konsumen dan
Surplus Produsen Ikan Segar di Kota Bandung (Studi Kasus di Pasar Induk
Caringin. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(4): 141-150.
Lasindrang, M. 2014. Adsorpsi pencemaran limbah cair industry penyamakan kulit
oleh kitosan yang melapisi arang aktif tempurung kelapa. Jurnal
Teknosains. 3(2): 132-141.

Lear, G. 2016. Biofilms in bioremediation. Caister Academic Press. UK. 23 p.

Lensun, M dan S. Tumembouw. 2013. Tingkat pencemaran air Sungai Tondano di


Kelurahan Ternate Baru Kota Manado.Budidaya Perairan.1(2): 43-48.

Ma’rifah, A., A.D. Siswato dan A. Romadhon. 2016. Karakteristik dan pengaruh arus
terhadap akumulasi logam berat timbal (Pb) pada sedimen di perairan
Kalianget Kabupaten Sumenep. Prosiding Seminar Nasional Kelautan
tanggal 27 Juli 2016. Universitas Trunojoyo. Madura. 82-88 hlm.

Mahyudin, Soemarno dan T.B. Prayogo. 2015. Analisis kualitas air dan strategi
pengendalian pencemaran air Sungai Metro di Kota Kepanjen Kabupaten
Malang. J-PAL. 6(2): 105-114.
Mason, C.F. 1981. Biology of freshwater pollution. Longman Group Limited. London.
250 p.
Mitra, A and S. Mukhopadhyay. 2016. Biofilm mediated decontamination of pollutants
from the environment. AIMS Bioengineering. 3(1): 44-59.

Muslika. 2014. Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VII C SMP Negeri 1
Mumbulsari Jember pada Materi Aritmatika Sosial dengan Model React
(Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) Tahun
2012/2013. Kadikma. 5(1): 175-186.
Naimah, S dan R. Ermawati. 2011. Biosorpsi logam berat Cr (VI) dari limbah industri
pelapisan logam menggunakan biomassa Saccharomyces cerevisae dari
hasil samping fermentasi bir. Jurnal Kimia Kemasan. 33(1): 113-117.

Namasivayam, C and M.V. Sureshkumar. 2008. Removal of chromium(VI) from water


and wastewater using surfactant modified coconut coir pith as a biosorbent.
Bioresource Technology. 99: 2218-2225.

59
Norhadi, A., A. Marzuki, L. Wicaksono dan R.A. Yacob. 2015. Studi debit aliran pada
Sungai Antasan Kelurahan Sungai Andai Banjarmasin Utara. Jurnal Poros
Teknik. 7(1): 7-14.

Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi Ketiga.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

O’Toole, G.A. and R. Kolter. 1998. Initiation of biofilm formation in Pseudomonas


fluorescens WCS365 proceeds via multiple, convergent signaling pathways:
a genetic analysis. Molecular Microbiology. 28(3): 449-461.

Paramita, R.W., E. Wardhani dan K. Pharmawati. 2017. Kandungan logam berat


kadmium (Cd) dan kromium (Cr) di air permukaan dan sedimen: studi kasus
Waduk Saguling Jawa Barat. Jurnal Online Instituut Teknologi Nasional.
2(5): 1-12.

Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2015 tentang Baku Mutu Air Limbah
Bagi Industri dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
tentang Baku Mutu Air Limbah.

Perdana, M., D.S. Widodo dan N.B.A. Prasetya. 2013. Fotoelektrokatalisis kromium
(VI) menjadi kromium (III) dengan menggunakan elektroda timbal dioksida
(PbO2). Chem Info. 1(1): 11-17.

Prasetiyo, N.A dan H.R. Fidiastuti. 2015. Kajian pengaruh kecepatan aerasi dan waktu
inkubasi terhadap kemampuan konsorsia bakteri indigen dalam
mendegradasi limbah cair kulit di industri penyamakan kulit Kota Malang.
Saintifika. 17(1): 29-37.

Prasetya, V.N., L.D. Susanawati dan B.R. Widiatmono. 2015. Penentuan daya
tampung Sungai Badek terhadap beban pencemar akibat limbah cair
penyamakan kulit di Kelurahan Ciptomulyo, Malang. Jurnal Sumberdaya
Alam dan Lingkungan. 17-24 hlm.

Purwiyanto, A.I.S. 2015. Distribusi dan adsorpsi logam timbal (Pb) di muara sungai
Banyuasin, Sumatera Selatan. Ilmu Kelautan. 20(3): 153-162.

Puspitasari, R. 2007. Laju polutan dalam eksosistem laut. Oseana. 32(2): 21-28.
Rachmaningrum, M., E. Wardhani dan K. Pharmawati. 2015. Konsentrasi logam berat
kadmium (Cd) pada perairan Sungai Citarum hulu segmen Dayeuhkolot-
Nanjung. Jurnal Rekayasa Lingkungan. 1(3): 1-11.

Rahayu, S., R.H. Widodo, M.V. Noordwijk, I. Suryadi, dan B. Verbist. 2009. Monitoring
air di daerah aliran sungai. World Agroforestry Centre. Bogor. 104 hlm.

60
Rahman, M. 2017. Dinamika kualitas air dan kecenderungan perubahannya untuk
pengelolaan budidaya perikanan karamba berbasis daya dukung perairan
di sub-das Riam Kanan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun
2016. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Universitas Lambung Mangkurat. 1028-1037 hlm.

Ramli, N.S.K., C.E.Guan, S. Nathan and J. Vadivelu. 2012. The effect of


environmental conditions on biofilm formation of Burkholderia pseudomallei
clinical isolates. Plos one. 7(9): 1-15.

Ratnawati, E., R. Ermawati dan S. Naimah. 2010. Teknologi biosorpsi oleh


mikroorganisme, solusi alternatif untuk mengurangi pencemaran logam
berat. Jurnal Kimia dan Kemasan. 32(1): 34-40.

Rezic, I and M. Zeiner. 2008. Determination of extractable chromium from leather.

Rohmawati, S.M., Sutarno dan Mujiyo. 2017. Hubungan jumlah logam kromium (Cr)
pada air irigasi, tanah sawah, dan gabah di kawasan industri di Kecamatan
Kebakkramat Kabupaten Karanganyar. Journal of Sustainable Agriculture.
32(1): 14-17.

Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai
salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseana. 30(3): 21-
26.

Santoso, U.T. dan Herdiansyah. 2004. Laju reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) oleh asam
humat menggunakan model multikomponen kontinyu. Indonesian Journal
of Chemistry. 4(1): 12-25.

Sari, S.H., J.F.A. Kirana dan Guntur. 2017. Analisis kandungan logam berat Hg dan
Cu terlarut di perairan pesisir Wonorejo, pantai timur Surabaya. Jurnal
Pendidikan Geografi. 22(1): 1-9.

Sekarwati, N., B. Murachman dan Sunarto. 2015. Dampak logam berat Cu (Tembaga)
dan Ag (Perak) pada limbah cair industry perak terhadap kualitas air sumur
dan kesehatan masyarakat serta upaya pengendaliannya di Kota Gede
Yogyakarta. Jurnal Ekosains. 7(1): 64-76.

Sembel, D.T. 2015. Toksikologi lingkungan. CV Andi Offset. Yogyakarta. 111-112 hlm.

Setiadjit, D.G., F.N. Minah dan T. Hidayat. 2015. IbM Kelurahan Ciptomulyo Kota
Malang dalam mengolah daun tanaman Alloe vera sebagai bahan utama
komoditas produk makanan. Industri Inovatif. 5(2): 13-15.

Setiawan, H. 2013. Akumulasi dan distribusi logam berat pada vegetasi mangrove di
perairan pesisir Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Kehutanan. 7(1): 12-24.

61
Setiawan, V.M., S. Estoepangestie dan S. Koesdarto. 2012. Pembentukan biofilm oleh
Streptococcus uberis terkait dengan infeksi kronis intramammary. JBP.
14(3): 153-157.

Singh, K.P, A. Malik, S. Sinha, V.K. Singh and R.C. Murthy. 2005. Estimation of source
of heavy metal contamination in sediments of Gomti River (India) Using
Principal Component Analysis. Water, Air, and Soil Pollution. 166: 321-341.

Sudarsono, B. 2003. Dokumentasi, Informasi dan Demokratisasi. Diskusi Jaringan


Dokumentasi dan Informasi Hak Asasi Manusia. Jakarta.
Sugiyono. 2009. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Alfabeta. Bandung.
Suharyanto, A. 2014. Prediksi titik banjir berdasarkan kondisi geometri sungai. Jurnal
Rekayasa Sipil. 8(3): 229-238.
Sukar., A.T. Tugaswati, dan Suhanda. 1989. Penurunan kadar khrom dalam air
menggunakan cara penukar ion. Buletin Penelitian Kesehatan. 16(3): 32-
36.

Sundari, D., M. Hananto, dan Suharjo. 2015. Kandungan logam berat dalam bahan
pangan di kawasan industri kilang minyak, Dumai. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan. 19(1): 55-61.

Suparjo, M.N. 2009. Kondisi pencemaran perairan Sungai Babon Semarang. Jurnal
Saintek Perikanan. 4(2): 38-45.

Supriyantini, E dan H. Endrawati. 2015. Kandungan logam berat besi (Fe) pada air,
sedimen, dan kerang hijau (Perna viridis) di Perairan Tanjung Emas
Semarang. Jurnal Kelautan Tropis. 18(1): 38-45.
Suryandari, K.C. 2009. Pengaruh merkuri anorganik (HgCl2) terhadap pembentukan
biofilm oleh bakteri filamentous. Prosiding Seminar Nasional Kimia dan
Pendidikan Kimia. PGSD FKIP UNS. Surakarta. 260-270 hlm.

Susmarkanto. 2002. Pencemaran lingkungan perairan sungai salah satu faktor


penyebab banjir di Jakarta. Jurnal Teknologi Lingkungan. 3(1): 13-16.
Sutanto, A dan Purwasih. 2012. Analisis kualitas perairan Sungai Raman Desa
Pujodadi Trimurjo sebagai sumber belajar biologi SMA pada materi
ekosistem. Bioedukasi. 3(2): 1-9.
Taftazani, A. 2007. Distribusi konsentrasi logam berat Hg dan Cr pada sampel
lingkungan Perairan Surabaya. Prosiding PPI – PDIPTN tanggal 10 Juli
2007. Pustek Akselerator dan Proses Bahan – BATAN. Yogyakarta. 36-45
hlm.
Tinsley, I.J. 1979. Chemical concepts in pollutant behavior. New York. 147 p.

62
Warman, I. 2015. Uji kualitas air muara sungai Lais untuk perikanan di Bengkulu
Utara. Jurnal Agroqua. 13(2): 24-33.

Wicaksono, D.F., B. Rahadi dan L.D. Susanawati. 2013. Evaluasi tingkat pencemaran
air pembuangan limbah cair pabrik kertas di sungai Klinter Kabupaten
Nganjuk. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 1(2): 85-92.

Winarni, I. 2016. Peran mikroba sebagai biomonitoring kualitas perairan tawar pada
beberapa situ. Universitas Terbuka. Banten.

Wiradi, G. 2009. Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Sajogyo
Institute. Bogor.
Wirespathi, E.A.M.O., Raharjo dan W. Budijastuti. 2012. Pengaruh kromium
heksavalen (VI) terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan nila
(Oreochromis niloticus). LenteraBio. 1(2): 75-79.

Yolcubal, I and N.H. Akyol. 2007. Retention and transport of hexavalent chromium in
calcareous karst soils. Turkish Journal of Earth Sciences. 16: 363-379.

Zhou, Q., J. Zhang, J. Fu, J. Shi and G. Jiang. 2007. Biomonitoring: an appealing tool
for assessment of metal pollution in the aquatic ecosystem. Analytica
Chimica Acta. 606: 135-150.

Zulaika, E., A. Luqman, T. Arindah dan U. Sholikah. Bakteri resisten logam berat yang
berpotensi sebagai biosorben dan bioakumulator. Seminar Nasional Waste
Management for Sustainable Urban Development tanggal 21 Februari
2012. FTSP-ITS. Surabaya. 1-5 hlm.

63

Anda mungkin juga menyukai