Anda di halaman 1dari 18

Volume VII JURNAL

Nomor 1
Maret 2018
KOMUNIKASI
ISSN 2301-9816 INDONESIA

Negosiasi Identitas Perempuan Muslim Dalam


Ideologi Agnostisisme Di Majalah-Web Feminis :
Analisis Feminist Stylistics Artikel Di Majalah-Web
Magdalene.co
Ria Hasna Shofiyya & Udi Rusadi

Abstrak/Abstract

Penelitian ini membahas tentang bentuk negosiasi identitas perempuan Muslim antara dirinya dan keluarga atau lingkun-
gan sekitarnya terkait ideologinya yang menganut agnostisisme. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis terhadap
2 artikel yang dipublikasikan di sebuah majalah-web yang bernama Magdalene.co. Analisis teks akan dilakukkan dengan
menggunakan teknik analisis feminist stylistics dari Sara Mills. Penelitian ini memperlihatkan bahwa merahasiakan iden-
titas diri merupakan strategi negosiasi identitas diri (sebagai seorang penganut agnostisisme) yang dilakukan di dalam
lingkup keluarganya yang masih konservatif. Meskipun demikian, konfrontasi juga perlu dilakukan untuk mencapai integra-
si antara penulis dengan keluarganya. Selain itu penelitian ini juga menunjukkan, penulis belum mencapai hasil akhir dari
negosiasi identitas yang dilakukan. Penulis belum mencapai hasil akhir berupa penerimaan dan pengakuan atas identitas
penulis oleh keluarganya. Penelitian ini juga membuktikan bahwa Magdalene.co sebagai sebuah media yang mengusung
nilai feminisme, mampu menjadi ruang aman bagi khalayak, terutama perempuan, untuk beropini.

This study analyzing the process of negotiating a Muslim woman’s identity who is also an agnostic in front of her family
or relatives. This research will analyze three articles published in a feminist web-magazine called Magdalene.co. Sara
Mills’ theory of feminist stylistics will be used as a device to analyze the articles. According to this research, keeping their
agnostic identity as a secret is the common way of negotiating their identity towards their conservative family. However, to
some extent the writers need to confront their family as a way to find integration between them. This research also shows
that the writers have not reach the desired results from their identity negotiation. The final outcomes of identity negotiation
are approval and acknowledgement of their identiti from their family or environment in general. This research also shows
Magdalene.co’s role as a feminist media to provide safe space for their audience, especially women, to elicit their opinon.

Kata kunci/Keywords:
Agnostisisme, identitas, negosiasi identitas, subjektivitas, feminist stylistics

Agnosticism, identity, identity negotiation, subjectivity, feminist stylistics

Ria Hasna Shofiyya Pendahuluan


Pascasarjana Komunikasi UI, Media dan perempuan merupakan dua hal
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang sulit untuk dipisahkan antara satu den-
Universitas Indonesia, Kampus UI Salemba gan yang lainnya. Perempuan seringkali meng-
16424 hiasi media massa, baik dalam pemberitaan,
riashofiyya@gmail.com maupun konten-konten lainnya. Akan tetapi,
pada kenyataannya kaum perempuan memiliki
Udi Rusadi sejarah yang panjang dalam memperjuangkan
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) citra mereka di media. Bias gender di media
Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan merupakan salah satu isu yang diperjuangkan
12610 oleh para feminis di masa itu. Melalui gerakan
– gerakan feminis yang dimulai di berbagai
negara di Eropa dan Amerika Serikat di tahun
1960 sampai 1970-an, perempuan menyuara-
kan protes mereka terhadap representasi kaum
perempuan di media yang dianggap tidak adil
44
Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

dan cenderung menjadikan kaum perempuan para feminis. Komodifikasi tersebut menjadikan
sebagai objek. Dengan kata lain, representasi perempuan tidak lagi bernilai, selain dari aspek
kaum perempuan yang ditampilkan di media tubuh (Byerly & Ross, 2006). Tubuh perempuan
tidak selalu memihak pada kaum perempuan ditampilkan dan/atau dideskripsikan sedemiki-
dan terkadang cenderung menyu]utkan. Me- an rupa guna mengonstruksi citra ketubuhan
dia pada masa itu dianggap kerap mengaitkan yang dianggap sempurna di masyarakat dan
kaum perempuan dengan isu-isu yang trivial dijadikan sebagai ‘komoditas’ yang dianggap
dan cenderung berkaitan dengan kekerasan, memiliki nilai ekonomi di pasar. Hingga saat ini,
seperti isu-isu yang berkaitan de­ ngan pe- komodifikasi dan objektifikasi terhadap tubuh
merkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga perempuan masih kerap terjadi dan ditampilkan
(Byerly & Ross, 2006). Media di masa itu juga di media.
sangat jarang mengangkat isu perempuan yang
menempatkan perempuan sebagai subjek atau Religiusitas VS Agnostisisme Dan Atheisme Di
seorang tokoh penting di masyarakat. Media
Media memang kerap mengangkat isu yang Indonesia merupakan salah satu negara den-
berkaitan dengan kehidupan manusia. Akan gan mayoritas penduduknya beragama Islam.
tetapi, dalam mengangkat sebuah isu, stereotipe Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
merupakan hal yang sulit untuk dihindari. Isu (BPS) per tahun 2010, sekitar 87% (sebanyak
gender dan seksualitas merupakan contoh isu 207.176.162 penduduk dari total jumah pen-
yang tidak pernah terlepas dari stereotipe. Baik duduk sebanyak 237.641.326) penduduk Indone-
perempuan maupun laki-laki seringkali digam- sia menganut agama Islam. Dengan jumlah ini,
barkan sesuai dengan stereotipe gender yang maka dapat dikatakan bahwa Islam memegang
berlaku di masyarakat. Melalui tulisan maupun peranan penting dalam kehidupan masyarakat
gambar, konsep gender dan seksualitas dikon- Indonesia. Sebagai negara yang tergolong reli-
struksi di media untuk kemudian dikonsumsi gius dengan mayoritas penduduknya beragama
oleh masyarakat (Gauntlett, 2008). Islam, banyak nilai-nilai Islam yang diterapkan
Dalam jurnalnya yang berjudul The Veil As dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
A Means of Legitimation, Elisabeth Klaus dan Penerapan nilai-nilai religius ini pada akhir­
Susanne Kassel (2005) mengungkapkan bahwa nya berdampak pada kurangnya toleransi mas-
logika media memiliki peran besar dalam me­ yarakat Indonesia terhadap pandangan-pan-
ngonstruksi suatu konsep. Logika media tidak dangan yang dianggap bertentangan dengan
hanya diterapkan dalam institusi media, namun nilai-nilai agama dan ketuhanan. Salah satu
juga mempengaruhi sistem sosial di masyarakat. paham yang masih sulit diterima di tengah mas-
Hal ini kemudian menjadikan media sebagai yarakat Indonesia adalah paham yang meragu-
sumber legitimasi atas keputusan-keputusan da- kan dan menolak mempercayai eksistensi Tuhan
lam penyelesaian masalah dalam sebuah sistem dan agama. Paham ini disebut dengan istilah
masyarakat. Pada akhirnya, logika media men- atheisme (menolak mempercayai eksistensi Tu-
ciptakan pola pikir di masyarakat yang melihat han) dan agnostisisme (meragukan eksistensi
dan menilai sebuah fenomena sosial melalui ka­ Tuhan).
camata media (Klaus & Kassel, 2005). Di Indonesia, religiusitas merupakan se-
Di satu sisi, media dapat mendobrak stereo- buah konsep penting yang harus dianut oleh
tipe gender yang berlaku di masyarakat, na- masyarakat. Hal ini terlihat dari sila perta-
mun di sisi lain media juga dapat memperkuat ma Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang
ketidaksetaraan gender melalui stereotipe gen- Maha Esa”. Hingga saat ini, pemerintah telah
der yang tercermin melalui kontennya. Montiel membuah segenap peraturan yang mengatur
(2015) mengungkapkan bahwa organisasi media berbagai aspek religiusitas di berbagai tataran.
memiliki kekuatan untuk mengonstruksi konsep Sebagai contoh, pemerintah mewajibkan pendi-
gender melalui konten yang disampaikan. Kaum dikan keagamaan untuk diterapkan di sekolah
perempuan juga tidak terlepas dari stereotipe atau institusi pendidikan formal lainnya. Hal ini
yang mempengaruhi konstruksi identitas mer- diatur dalam peraturan mengenai sistem pendi-
eka di media. Perempuan seringkali diidentik- dikan nasional, seperti yang tertulis dalam UU
kan dengan karakter yang lembut dan keibuan. No. 20/2003, di mana ‘nilai keagaman’ disebut
Tidak hanya iklan, bahkan dalam pemberitaan dalam beberapa poin di dalamnya.
tertulis, baik di media cetak maupun internet, Religiusitas masyarakat Indonesia yang ma-
kaum perempuan juga kerap direpresentasikan sih tergolong tinggi memicu penolakan yang te-
dengan menggunakan struktur bahasa atau gas terhadap paham-paham yang bertentangan
kata-kata tertentu yang pada akhirnya akan dengan nilai-nilai agama yang dianut. Seperti
membentuk atau mengonstruksi citra kaum per- paham-paham mengenai atheisme dan agnos-
empuan, yang pada umumnya mengonstruksi tisisme, yang bahkan tidak memiliki ruang di
perempuan sesuai dengan konstruksi identitas mata hukum Indonesia. Seperti yang tercantum
perempuan yang berlaku di masyarakat. dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Komodifikasi terhadap tubuh perempuan juga Pasal 156a yang berbunyi:
menjadi salah satu isu yang ditentang keras oleh

45
Ria Hasna Shofiyya & Udi Rusadi, Negosiasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Ideologi Agnostisisme Di Majalah-Web Feminis

“Dipidana dengan pidana penjara selama-la- Desember 2017 lalu, yang berjudul “Apakah Ateisme
manya lima tahun barang siapa dengan sen- Memang Tidak Punya Tempat Di Indonesia?”. Artikel
gaja di muka umum mengeluarkan perasaan ini membahas tentang bagaimana sejumlah pihak di In-
atau melakukan perbuatan: a. yang pada donesia menolak pendapat bahwa Indonesia mengalami
pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgu- krisis Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkaitan dengan
naan atau penodaan terhadap suatu agama kebebasan beragama. Penolakan yang terjadi bahkan be-
yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud rakhir pada tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan
agar supaya orang tidak menganut agama terhadap penganut ateisme (berdasarkan data yang di-
apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan himpun oleh International Humanist and Ethical Union).
Yang Maha Esa.” (Kitab Undang-Undang Artikel ini bukan satu-satunya artikel mengenai ateisme
Hukum Pidana Pasal 156a). yang dipublikasikan oleh BBC Indonesia. Secara umum,
artikel-artikel yang dimuat di situs BBC Indonesia (yang
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan isti- berkaitan dengan ateisme) masih bersifat netral dan
lah atheis atau atheisme, namun kalimat pada poin ‘b’ cenderung menyoroti isu tersebut dari sudut pandang
yang berbunyi “dengan maksud agar supaya orang ti- HAM. Akan tetapi pemberitaan ini hanya dipublikasikan
dak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan melalui situs resmi BBC Indonesia dan peneliti tidak me-
Ketuhanan Yang Maha Esa”, telah mencakup bagian dari nemukan pembahasan mengenai isu ateisme ini di plat-
paham atheisme, yang tidak mempercayai eksistensi Tu- form lain BBC Indonesia, yakni siaran radio BBC News
han, sehingga tidak menganut agama apapun. Pada ta- Indonesia.
hun 2010, muncul wacana untuk Uji Materi pasal-pasal
yang berkaitan dengan ‘penodaan’ agama, dan pasal di Media Alternatif Bagi Perempuan
atas merupakan salah satu pasal yang diwacanakan untuk Dengan berkembangnya teknologi informasi
dilakukan uji materi. Akan tetapi Mahkamah Konstitu- dan komunikasi saat ini, isu kesetaraan gender
si menolak wacana tersebut dengan alasan bahwa pas- semakin mendapat perhatian dari publik. Ke-
al-pasal yang diajukan tidak terbutkti mengancam Hak hadiran Internet memberikan peluang untuk
Asasi Manusia dalam beragama (Kompas, 2010). berkembangnya media-media baru yang memi-
Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa isu liki prinsip kerja yang berbeda dengan media
yang berkaitan dengan atheisme dan agnostisisme be- mainstream. Media-media baru berbasis inter-
lum banyak dibicarakan, khususnya di media massa. net, seperti blog, menjadi ruang baru bagi mas-
Pendapat yang menolak paham atheisme juga dikemu- yarakat untuk menyampaikan pemikiran mer-
kakan oleh salah satu lembaga keagamaan yang paling eka yang tidak dapat tersalurkan atau jarang
berpengaruh di Indonesia, khususnya bagi masyarakat dibahas di media massa.
Muslim, yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI Keberadaan media baru menjadi peluang bagi
membuat sebuah pernyataan (fatwa) yang menolak pa- kaum perempuan untuk mengaktualisasikan
ham-paham yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran diri mereka. Salah satu bentuk aktualisasi
Islam, seperti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. diri dapat dilakukan dengan menyuarakan pe-
Atheisme dan agnostisisme merupakan paham yang di- mikiran mereka yang selama ini kerap dianggap
anggap bagian dari sekularisme. Sehingga, dengan kata tidak valid atau trivial. Perkembangan teknologi
lain fatwa MUI tersebut juga menentang keberadaan pa- informasi dan komunikasi memberikan kemu-
ham atau ideologi atheisme dan agnostisisme. dahan bagi setiap orang untuk mengakses infor-
Atheisme merupakan pandangan yang menolak mem- masi secara cepat dan nyaris tanpa batas. Hal
percayai eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, seorang ini kemudian berperan dalam membentuk pola
atheis tidak akan memeluk agama apapun. Sementara pikir masyarakat modern mengenai suatu isu.
itu, agnostisisme merupakan pandangan yang meragu- Sebagai contoh, meskipun mayoritas perempuan
kan eksistensi Tuhan dan ajarannya. Bagi seorang ag- di Indonesia mengenakan hijab untuk memenuhi
nostik, eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan karena perintah Tuhan, namun tidak sedikit pula yang
mereka merasa tidak mampu menemukan bukti empiris memandang hijab dengan perspektif lain.
mengenai keberadaan Tuhan. Sayangnya, berbagai ste- Saat ini di Indonesia mulai bermunculan me-
reotipe yang berlaku di masyarakat mengenai agama dan dia-media yang ‘sensitif gender’. Media-media ini
penganutnya, menjadikan topik ini seolah tidak memiliki menawarkan sudut pandang yang berbeda da-
ruang di media mainstream. Apalagi ketika penganut ke- lam membingkai sebuah berita atau kasus, yang
percayaan agnostik tersebut adalah seorang individu yang tentunya tidak menyudutkan perempuan. Media
dibesarkan di keluarga yang religius, dan mengenakan sensitif gender juga berusaha untuk mempopu­
pakaian yang diidentikkan dengan atribut keagamaan, lerkan nilai-nilai baru yang mendobrak nilai-
seperti perempuan yang mengenakan hijab—pakaian nilai tradisional mengenai gender. Beberapa
yang kerap diidentikkan dengan religiusitas seseorang. media alternatif sengaja diciptakan untuk mem-
Maka semakin tidak ada ruang bagi perempuan-perem- berikan kesempatan bagi kaum perempuan un-
puan yang mengalami krisis tersebut untuk menyuarakan tuk menunjukkan eksistensinya di media.
isi hati, pikiran, dan opininya di media mainstream. Hal ini pula yang memotivasi Devi Asmarani
Meskipun demikian, bukan berarti isu atheisme dan/ dan Hera Diani untuk membentuk situs Magda-
atau agnostisisme sama sekali tidak pernah diangkat lene.co karena merasa kurangnya ruang untuk
oleh institusi media massa mainstream. Sebuah artikel menampung suara kaum perempuan serta tim-
dipublikasikan di situs BBC Indonesia pada tanggal 10 pangnya representasi kaum perempuan di media

46
Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

massa, setidaknya representasi yang berimbang klusivitas dan terbuka pada setiap opini serta
dan tidak menggunakan perspektif laki-laki. pemikiran yang tidak terdengar selama ini. Se-
Magdalene.co memberikan kesempatan bagi bagai media feminis, Magdalene.co telah men-
para pembacanya untuk mengirimkan tulisan jadi harapan untuk menghentikan bias gender
atau cerita bergambar guna menyampaikan as- dan pola patriarki yang selama ini melekat pada
pirasi mereka. Kehadiran media sensitif gender industri media, khususnya dalam merepresenta-
seperti Magdalene.co tidak hanya memberikan sikan identitas perempuan. Media ini telah men-
ruang bagi para perempuan untuk menyam- jadi ruang baru, khususnya bagi kaum perem-
paikan uneg-uneg-nya, namun juga diharapkan puan, untuk menyampaikan pemikiran mereka.
mampu memulai perubahan terhadap industri Sementara itu, sebagai media yang besifat inklu-
media, khususnya dalam merepresentasikan sif, Magdalene.co telah menjadi safe space bagi
kaum minoritas, termasuk perempuan. konsumennya untuk menyampaikan pemikiran
Media baru memberikan kesempatan bagi dan menunjukkan identitas diri mereka yang se-
setiap orang untuk menciptakan identitas mer- benarnya melalui teks.
eka di media. Akan tetapi, di balik kebebasan Penelitian ini akan berfokus pada proses nego-
individu dalam mengonstruksi identitasnya di siasi identitas yang dilakukan oleh perempuan
ruang public (internet), individu lain juga memi- Muslim melalui artikel-artikel yang ditulis dan
liki kebebasan untuk menilai dan menghakimi. dipublikasikan di situs Magdalene.co. Bagaima-
Selain memberikan kebebasan bagi individu un- na proses negosiasi identitas penulis yang tercer-
tuk mengekspresikan dirinya, media baru juga min dalam teks yang dipublikasikan di situs
menjadi ruang bagi audiens untuk berpendapat. Magdalene.co? Bagaimana hasil dari negosiasi
Di satu sisi, hal ini dapat berdampak positif bagi identitas yang dilakukan oleh penulis?
mereka yang membutuhkan motivasi atau kon-
firmasi atas identitas diri mereka. Akan tetapi, Tinjauan Literatur
di sisi lain media baru juga memberikan pelu- Gender Sebagai Ideologi
ang bagi mereka yang memiliki pemikiran seksis Media sebagai institusi yang dekat dengan kehidupan
dan/atau misoginis untuk menghakimi individu masyarakat, pada hakikatnya memiliki tugas untuk men-
lain karena gendernya (Humphreys dan Vered, yampaikan realitas yang sesungguhnya kepada mas-
2014; Burgess, dkk, 2016). Meskipun demikian, yarakat. Akan tetapi, pada praktiknya, realitas tidak
pada dasarnya media baru masih memberikan semudah itu untuk direpresentasikan. Ada berbagai hal
ruang yang bebas bagi setiap individu untuk yang membentuk representasi realitas oleh media. Jika
mengekspresikan diri mereka, termasuk bagi dikaitkan dengan media, ideologi merupakan landasan
kaum minoritas. yang mempengaruhi media dalam merepresentasikan
realitas melalui serangkaian system tanda (Grosberg, da-
Tujuan Penelitian lam Rusadi, 2015). Permasalahanya, keberadaan ideolo-
Isu atheisme dan agnostisisme atau pandan- gi media juga dapat mendistorsi realitas dalam penulisan
gan lainnya yang bertentangan dengan ajaran berita. Hal ini dapat terjadi apabila realitas yang ada ti-
agama, jarang dipublikasikan di media mas- dak sesuai atau bersebrangan dengan ideologi yang dia-
sa mainstream. Isu-isu kepercayaan seperti dopsi institusi media tersebut.
ateisme dan agnostisisme yang belum banyak Dalam lingkup sosial, ketidaksetaraan gender me­
dibicarakan menjadi belenggu tersendiri bagi se- rupakan suatu konsep yang bersifat hegemonik yang
bagian penganutnya. Demi mencegah terjadinya menyebabkan dominasi salah satu gender di masyarakat
konflik, maka seorang penganut agnostisisme di dianggap normal. Hal ini jelas terlihat dalam struktur
Indonesia akan cenderung melakukan negosiasi masyarakat yang patriarkal, yakni laki-laki dianggap se-
terdahap identitasnya, dengan harapan dapat bagai bagian dari kaum dominan dan dianggap sebagai
diterima oleh lingkungan sekitarnya yang masih kaum pemimpin, sementara perempuan berada dalam
tergolong religius. Untuk menyuarakan opinin- golongan subordinat (Lazar, 2005). Jika dikaitkan den-
ya, maka para penganut kepercayaan ini memer- gan teori Gramsci, ideologi gender menjadi sebuah he-
lukan ruang khusus yang aman dan jauh dari gemoni karena praktik dominasi gender diterapkan dan
individu atau kelompok-kelompok yang akan disirkulasikan dalam berbagai diskursus sosial, sehingga
mendiskriminasi mereka. Oleh karena itu, da- dominasi tersebut menjadi “normal” bagi masyarakat
lam kasis ini, media alternatif menjadi salah satu (Lazar, 2005).
jalan bagi mereka untuk bersuara dan menun- Jika dikaitkan dengan praktik organisasi media, struk-
jukkan identitas mereka yang sesungguhnya. tur organisasi pada dasarnya memiliki pengaruh besar
Kehadiran media alternatif, seperti Magda- dalam menentukan konten, sumber, hingga framing
lene.co, memberikan ruang bagi mereka yang berita. Jika dikaitkan dengan kajian feminisme, maka
ingin menunjukkan identitas diri yang sesung- bentuk representasi kaum perempuan yang tidak propor-
guhnya tanpa takut menerima diskriminasi dari sional dianggap sebagai salah akibat dari dominasi kaum
orang lain yang tidak satu paham dengannya. laki-laki serta minimnya kontribusi kaum perempuan
Magdalene.co yang awalnya memperjuangkan di organisasi media. Industri media berita memang ker-
nilai dan ideologi feminisme, kini telah berkem- ap dianggap sebagai industri yang maskulin dan dipe-
bang menjadi media yang mengusung nilai in- runtukkan bagi kaum laki-laki. Anggapan ini lah yang

47
Ria Hasna Shofiyya & Udi Rusadi, Negosiasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Ideologi Agnostisisme Di Majalah-Web Feminis

menghambat kontribusi kaum perempuan dalam redaksi terkait posisi individu dalam kelompok budaya,
berita. Dominasi kaum laki-laki menciptakan kultur pa- identitas diri dan individu lain, pengembangan
triarki dalam redaksi berita dan hal ini dapat tercermin kesadaran (mindfulness), serta pola komunika-
dalam konten yang dimuat oleh media tersebut. si yang tepat, efektif, dan adaptif. Lebih lanjut,
Ting-Toomey (2015) menjelaskan bahwa mind-
Identitas Dan Negosiasi Identitas fulness merupakan aspek yang sangat penting
Identitas merupakan salah satu aspek yang dalam proses negosiasi identitas. Mindfulness
paling fundamental dalam kehidupan manusia. berkaitan dengan bagaimana setiap individu,
Pada dasarnya setiap identitas bersifat unik yang merupakan bagian dari suatu kelompok so-
dan berbeda antara satu dengan lainnya. Stelle sial yang multikultural, mampu menjembatani
Ting-Toomey (2015) mendefinisikan identitas se- perbedaan dan memecahkan masalah dengan
bagai konstruksi individu pada aspek kultural, ‘mengesampingkan’ perbedaan serta mengubah
agama, etnis, kelas sosial, gender, orientasi sek- persepsi dan pola pikir mereka demi mengh-
sual, profesi, peran sosial, dan citra diri yang be- indari konflik di dalam kelompok (Ting-Toomey,
rasal dari refleksi diri dan konstruksi sosial yang 1999).
berlaku di lingkungannya. Identitas tidaklah Dalam proses negosiasi identitas, yang perlu
bersifat statis dan akan terus berubah seiring ditekankan adalah hasil akhir dari proses nego-
dengan perkembangan individu tersebut. Wil- siasi tersebut. Hal ini telah dikemukakan oleh
liam B. Swann, Jr. dan Jennifer K. Bosson (2008) Ting-Toomey dalam asumsi teoretis mengenai
mendefinisikan identitas sebagai self-views, yak- negosiasi identitas, yakni pada poin 10. Pada poin
ni bagaimana seseorang memandang diri mer- tersebut, dijelaskan bahwa hasil a­k­hir yang mak-
eka sendiri. Swann, Jr. dan Bosson kemudian simum dari sebuah proses negosiasi identitas ada-
membagi self-views ke dalam dua kategori, yakni lah ketika individu dapat diterima di tengah per-
personal self-views dan social self-views. Person- bedaan yang ada di lingkungannya. Hal ini juga
al self-views merupakan identitas diri individu didukung oleh pendapat Swann (2005) yang men-
yang berkaitan dengan kualitas diri yang men- jelaskan bahwa proses negosiasi dilakukan oleh
ciptakan keunikan pada diri individu. Sementara individu agar dapat diterima oleh lingkungannya
itu, social self-views berkaitan dengan kelompok melalui serangkaian proses interaktif antar-indi-
dan kualitas individu sebagai bagian dari kelom- vidu dalam kelompok.
pok (shared quality) (Swann & Bosson, 2008).
Identitas individu tidak bersifat permanen Agnostisisme
sehingga proses becoming menjadi proses yang Thomas Henry Huxley (1884) merupakan orang per-
terus menerus terjadi sepanjang hidup manu- tama yang menciptakan istilah agnostikism. Kata ini
sia. Interaksi sosial dan budaya dengan individu berasal dari kata “a” yang berarti tanpa, dan “gnosis”
atau kelompok lain turut berkonstribusi dalam yang berarti ilmu pengetahuan (berkaitan dengan ilmu
membentuk identitas seseorang. Mendukung ketuhanan). Pingle dan Melkonyan (2012) dan William
pendapat ini, Gray dan McGuigan (1993) kemu- L. Rowe (dalam Craig, 2005) menjelaskan bahwa pada
dian menjelaskan bahwa identitas manusia sela- konteks modern, seorang agnostik akan cenderung me­
lu menjadi bagian dari budaya, yang mencakup ragukan eksistensi Tuhan. Akan tetapi hal ini tidak berarti
bahasa, praktik budaya, dan sejarah. Meskipun bahwa seorang agnostik tidak mempercayai keberadaan
demikian, identitas tidak bersifat ajeg dan per- Tuhan, karena ini merupakan pandangan atheisme. Ker-
manen. Sebaliknya, setiap individu memiliki aguan akan Tuhan justru dipicu oleh ketidakmampuan
kemampuan untuk menyesuaikan identitas di­ mereka untuk menalar eksistensi Tuhan dengan logika­
rinya, sesuai dengan lingkungannya (Gray & nya (Craig, 2005).
McGuigan, 1993). Mendukung pernyataan Pingle dan Melkonyan, Wil-
Negosiasi identitas dilakukan pada kelompok liam L. Rowe (dalam Edward Craig, 2005) menjelaskan
sosial yang cenderung multikultural. Dalam bahwa pada konteks modern, seorang agnostik akan
kelompok multikultural, terdapat lebih dari satu cenderung meragukan eksistensi Tuhan. Akan tetapi hal
komunitas yang mengadopsi budaya, agama, ba- ini tidak berarti bahwa seorang agnostik tidak memper-
hasa, dan (secara umum) persepsi yang berbeda. cayai keberadaan Tuhan, karena ini merupakan panda­
Oleh karena itu, perbedaan merupakan hal yang ngan atheisme. Keraguan akan Tuhan justru dipicu oleh
tidak dapat dihindari dalam sebuah komunitas ketidakmampuan mereka untuk menalar eksistensi Tu-
multikultural (Blackstone, 1998). Perbedaan han dengan logikanya (Craig, 2005).
yang terjadi berpotensi memicu konflik dalam Jika dikaitkan dengan analisis wacana, Mills mem-
kelompok. Untuk itu, negosiasi perlu dilakukan fokuskan analisisnya pada representasi gender di me-
untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang dia, dengan menitikberatkan pada struktur bahasa. Mills
ada. menggunakan tiga level analisis, yakni level kata, le­
Berkaitan dengan negosiasi identitas, vel kalimat, dan level diskursus (Mills, 1995). Analisis
Ting-Toomey (2015) menciptakan sebuah konsep pada ketiga level ini akan menunjukkan sudut pandang
yang disebut dengan istilah Mindful Identity At- teks, yakni yang berkaitan dengan posisi subjek dan ob-
tunement (MIA) yang merupakan pengembangan jek (Eriyanto, 2001). Mills melihat bahwa dalam proses
dari pengetahuan sensitif budaya (culture sensi- produksi pesan dan/atau teks, terdapat sosok ‘aktor’ atau
tive knowledge) beserta hubungan interpersonal subjek yang mempengaruhi konstruksi serta subjekti-

48
Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

vitas teks. Aktor memiliki peran dalam mengonstruksi tiga, yakni status, yang menempatkan laki-laki
sosok yang dijadikan sebagai objek dalam teks. Jika pada posisi superior dan mendominasi, sedang-
dikaitkan dengan sudut pandang feminis, posisi subjek kan perempuan pada posisi inferior.
dimiliki oleh laki-laki sedangkan perempuan berada Gerakan feminisme juga merambah stu-
pada posisi sebagai objek yang dikonstruksi melalui di bahasa dan linguistik. Luce Irigaray (dalam
sudut pandang subjek (dalam kasus ini adalah laki-laki) Mulder, 2006) yang merupakan seorang ahli li­
(Eriyanto, 2001). nguistic memberikan pemaparan mengenai gen-
der dan morfologi, Ia menjelaskan bahwa per-
Feminisme Dan Feminist Stylistics empuan sering ditempatkan pada posisi sebagai
Istilah feminisme berasal dari istilah medis objek atau unintelligible matter. Berbeda dengan
dalam bahasa Prancis (féminisme) dari abad kaum laki-laki yang dianggap sebagai subjek
ke-19, yang digunakan untuk menyebut la- (intelligible matter). Menurutnya, hal ini dise-
ki-laki yang memiliki sifat feminin dan seba- babkan oleh representasi perempuan yang sela-
liknya (Pilcher & Whelahan, 2004). Sara Mills ma ini dibentuk, didominasi oleh kaum laki-laki
mendeskripsikan feminisme sebagai sebuah yang menggunakan sudut pandang ‘maskulin’
komitmen untuk menentang sistem yang men- mereka untuk mendefinisikan femininitas, sek-
gopresi dan mendiskriminasi salah satu gender, sualitas, dan kaum perempuan secara umum
khususnya perempuan (1995). Feminisme lahir (Mulder, 2006). Oleh karena itu, Irigaray men-
dari pemikiran yang menyadari adanya seksisme gungkapkan bahwa perempuan harus memiliki
dalam sistema masyarakat yang menimbulkan bahasa (morfologi)-nya sendiri agar tidak terjeb-
ketidakadilan dalam memperlakukan kaum per- ak dalam bahasa yang ‘digunakan’ oleh laki-laki.
empuan dan laki-laki. Hal ini merupakan salah satu cara yang perlu
Jika dilihat dari sudut pandang feminis, ke- dilakukan oleh kaum perempuan agar dapat
beradaan oposisi gender antara laki-laki dan keluar dari posisinya sebagai objek dan menem-
perempuan (atau maskulin dan feminine) di patkan dirinya setara dengan laki-laki (Mulder,
masyarakat, khususnya yang masih menganut 2006).
budaya patriarki, perempuan akan menempa- Dalam bukunya yang berjudul Feminist Sty-
ti posisi liyan atau objek (the other) sementara listics, Sara Mills (1995) mengungkapkan bahwa
laki-laki dianggap sebagai subjek (the one). Sep- para penulis feminis telah menyadari penting-
erti yang diungkapkan oleh Simone deBeauvoir nya penggunaan bahasa dan literature dalam
dalam bukunya yang berjudul The Second Sex pembentukan identitas perempuan melalui teks.
(1953). Dalam budaya patriarki, laki-laki diiden- Hal ini yang kemudian melahirkan feminist
tifikasi sebagai subjek yang memiliki kebebasan stylistic yang menganalisis gerakan feminisme
dalam menentukan jalan hidupnya. Sementara yang dilakukan oleh penulis perempuan melalui
itu, perempuan terjebak dalam fungsi reproduk- bahasa dan literatur. Bagi Mills, seksisme tidak
si yang kemudian membatasi subjektivitasnya hanya terlihat dalam bentuk perilaku dan sikap
(deBeauvoir, 1953). Jika dikaitkan dengan bias terhadap salah satu gender, namun juga tercer-
gender di media massa, ideologi patriarki akan min dalam tataran bahasa dan liguistik. Hal
menghasilkan pola oposisi gender yang mengaki- ini menarik perhatian Mills karena dalam seja­
batkan adanya ketimpangan dalam merepersen- rahnya, bahasa dan literatur merupakan dua hal
tasikan identitas masing-masing gender. Laki-la- yang menjadi objek studi sekaligus media yang
ki dan perempuan akan selalu direpresentasikan mendukung perkembangan feminisme.
sesuai dengan ‘identitas’ yang melekat pada Dalam kaitannya dengan studi feminisme, ba-
masing-masing gender. hasa merupakan aspek penting karena berkai-
Seperti yang dijelaskan oleh Kate Millet (da- tan dengan proses produksi dan konseptualisasi
lam Pilcher dan Whelehan, 2004), patriarki diri dan subjek. Dalam level psikoanalisis, baha-
membedakan laki-laki dan perempuan dalam sa merupakan sebuah medium yang digunakan
tiga aspek, emosional (temperament), peran untuk membentuk konsep diri sekaligus mem-
(role) dan status. Pada aspek emosional, perem- bentuk subjektivitas diri (Mills, 1995). Semen-
puan dan laki-laki diklasifikasikan berdasarkan tara itu, Stuart Hall menjelaskan bahwa bahasa
kepribadian dan perilaku mereka yang diakui merupakan media yang dapat merepresenta-
oleh masyarakat karena dianggap sesuai den- sikan suatu objek, fenomena, dan gagasan yang
gan seks mereka. Aspek ini meliputi agresifitas, berlaku dalam suatu budaya (1997). Berdasar-
kepintaran, efektivitas, dan kekuatan sebagai kan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan
bagian dari kepribadian milik kaum laki-laki. bahwa bahasa memiliki peran penting dalam
Sementara itu, perempuan dikaitkan dengan mengonstruksi suatu konsep di benak individu,
sikap pasif, ketidakpedulian (ignorance), docil- salah satunya adalah mengenai konsep gender.
ity, virtue, dan ineffectuality. Aspek emosional Jika dikaitkan dengan analisis wacana, Mills
pada akhirnya akan mempengaruhi aspek per- memfokuskan analisisnya pada representasi
an, karena sifat-sifat tersebutlah yang dapat gender di media, dengan menitikberatkan pada
menentukan sekaligus membedakan konstribusi struktur bahasa. Mills menggunakan tiga le­
mereka di masyarakan. Pada akhirnya, kedua vel analisis, yakni level kata, level kalimat, dan
aaspek tersebut akan bermuara pada aspek ke- level diskursus (Mills, 1995). Analisis pada keti-

49
Ria Hasna Shofiyya & Udi Rusadi, Negosiasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Ideologi Agnostisisme Di Majalah-Web Feminis

ga level ini akan menunjukkan sudut pandang berbahasa Indonesia.


teks, yakni yang berkaitan dengan posisi subjek Dalam melakukan pemilihan artikel, peneliti
dan objek (Eriyanto, 2001). Mills melihat bahwa menetapkan kriteria berdasarkan tema (dibata-
dalam proses produksi pesan dan/atau teks, ter- si pada tema yang berkaitan dengan perempuan
dapat sosok ‘aktor’ atau subjek yang mempen- Muslim), jumlah pembaca, dan jumlah komen-
garuhi konstruksi serta subjektivitas teks. Aktor tar. Selain itu, peneliti juga membatasi periode
memiliki peran dalam mengonstruksi sosok yang terbit artikel, yakni dari bulan Januari 2016
dijadikan sebagai objek dalam teks. Jika dikait- hingga Januari 2018. Alasan pemilihan periode
kan dengan sudut pandang feminis, posisi subjek ini adalah karena frekuensi publikasi pada ru-
dimiliki oleh laki-laki sedangkan perempuan be- brik Faith & Spirituality masih tergolong jarang.
rada pada posisi sebagai objek yang dikonstruksi Selisih waktu dari satu publikasi ke publikasi
melalui sudut pandang subjek (dalam kasus ini lain dalam rubrik ini cukup panjang. Selain itu,
adalah laki-laki) (Eriyanto, 2001). penulis juga membatasi agar artikel yang dipub-
likasi tidak belum terlalu lama. Artikel pertama
Media Alternatif Dengan Prinsip Blogging dipublikasikan di rubrik ini pada tahun 2014.
Kata ‘blog’ pertama kali dipopulerkan pada tahun Hingga penelitian dilaukan, jumlah total artikel
1990 dan sepanjang sejarahnya, kata ini dikenal dalam yang dipublikasikan di rubrik tersebut baru
berbagai istilah lain, seperti ‘weblog’, ‘wee blog’, dan mencapai 75 artikel. Artikel-artikel yang dipolih
‘web log’ (Tremayne, 2007). Blog memang memiliki harus mengandung unsur-unsur yang berkai-
karakteristik yang membedakan fungsinya dengan media tan dengan agnostisisme dan proses negosiasi
lainnya. Beberapa karakteristik blog lainnya adalah din- identitas penulis. Ketiga unsur ini ditentukan
amisme, reversed chronological order (artikel tersusun berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan
secara kronologis, namun dimulai dari artikel terbaru), pada bab sebelumnya.
dan pengguan sudut pandang orang pertama yang do­ Unsur pertama dan ketiga berkaitan dengan
minan (Tremayne, 2007). Storytelling merupakan ben- asumsi teoretis Ting-Toomey mengenai identi-
tuk naratif yang sominan digunakan dalam blog. Hal ini tas, yakni mengenai emotional security. Seseo-
menunjukkan peran penulis sebagai subjek utama atau rang akan cenderung mendapatkan emotional
sumber utama teks. Inilah yang membedakan blog den- security ketika merasa bahwa dirinya berada
gan media mainstream. Selain itu, media blog juga tidak di lingkungan yang ‘aman’ dan dapat memaha-
memiliki struktur hierarkis yang mengatur konten yang mi identitas dirinya (Ting-Toomey, 1999). Oleh
dipublikasikan. Penulis atau pemilik akun blog merupa- karena itu, dengan menunjukkan identitas yang
kan satu-satunya gatekeeper yang memiliki wewenang selama ini dirahasiakannya, bahwa dirinya ada-
untuk menyeleksi konten yang dimuat atau komentar lah seorang penganut agnostisisme, maka hal ini
dari para pembacanya. menunjukkan bahwa penulis merasakan emo-
tional security. Sementara itu, unsur yang kedua
Metode Penelitian mewakili teori agnostisisme yang dikemukakan
Penelitian ini menggunakan paradigma oleh Pingle dan Melkonyan. Pingle dan Melkon-
critical constructionism serta menggunakan yan mengungkapkan bahwa agnostisisme me­
pendekatan kualitatif. Metode yang dipergu- rupakan suatu pandangan yang bersifat tem-
nakan adalah Critical Discourse Analysis (CDA) porer (Pingle &n Melkonyan, 2012). Lebih jauh,
dari Sara Mills. Teknik pengumpulan data yang Pingle dan Melkonyan juga menjelaskan bahwa
dilakukan adalah studi kepustakaan dan studi agnostisisme merupakan sebuah pilihan rasion-
dokumen. Penelitian ini akan melakukan ana­ al dari paham-paham religius lainnya yang di-
lisis terhadap artikel yang membahas tentang anggap tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
perempuan Muslim dan Islam dalam situs Mag- Dengan kata lain, seorang individu yang men-
dalene.co. Artikel ini diambil dari rubrik Faith & gidentifikasi dirinya sebagai seorang agnostik,
Spirituality. Analisis data akan dilakukan dalam pada dasarnya telah melalui sebuah proses pem-
dua tahap. Pada tahap pertama, artikel akan di- belajaran yang akhirnya mempertemukannya
analisis dari aspek keterkaitannya dengan isu kepada sebuah ideologi yang mengkonfirmasi
agnostisisme dan negosiasi identitas. Untuk keraguan akan eksistensi Tuhan, yakni agnos­
tahap kedua analisis, peneliti akan melakukan tisisme (Pingle dan Melkonyan, 2012).
analisis terhadap teks atau artikel. Objektivitas Dari kedua teori tersebut, maka peneliti mem-
dan subjektivitas merupakan aspek penting da- buat tiga pertanyaan yang mengacu pada kedua
lam metode analisis Sara Mills. teori berdasarkan penjelasan di atas, maka di
Penelitian ini akan melakukan analisis ter- bawah ini adalah unsur-unsur yang dimaksud,
hadap artikel yang membahas tentang perem- terdiri atas: (1) Secara eksplisit mengungkapkan
puan Muslim dan Islam dalam situs Magdalene. keraguannya terhadap eksistensi Tuhan dan
co. Artikel ini diambil dari rubrik yang khusus aga­ma. (2) Menunjukkan proses yang memicu
mempublikasikan artikel-artikel yang berkaitan keraguannya terhadap Tuhan (mempelajari ilmu
dengan spiritualitas dan isu-isu yang berkaitan teologi dan/atau berinteraksi dengan sesama
dengan agama, yakni rubrik Faith & Spirituality. penganut agnostisisme). (3) Menunjukkan seti-
Rubrik Faith & Spirituality berisi artikel-artikel daknya satu di antara 10 asumsi teoretis meng­
yang menggunakan bahasa Inggris, sedangkan enai negosiasi identitas. Dari penentuan krite-
rubrik Spiritualitas menampung artikel-artikel ria tersebut, maka peneliti memutuskan untuk
50
Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

mengambil dua artikel dengan jumlah hit (pem- salju secara detil (Mills, 1995). Contoh lainnya
baca) dan komentar terbanyak, serta memenuhi adalah istilah mengenai tubuh manusia. Dalam
kriteria yang berkaitan dengan isu agnostisisme lingungan kedokteran, banyak kosakata yang
dan negosiasi identitas, dari rubrik Faith & Spi­ digunakan untuk mendeskripsikan tubuh. Ber-
rituality. Kedua artikel tersebut berjudul Why I beda dengan masyarakat awam yang cenderung
Took Off My Hijab? dan Would You Still Love Me memiliki keterbatasan dalam menjelaskan
if You Knew I’m Not Religious Anymore, Mom?. anatomi tubuh. Semua kosakata dan istilah yang
Analisis data akan dilakukan dalam dua digunakan secara spesifik oleh kelompok ter-
tahap. Pada tahap pertama, artikel akan dia- tentu bersifat relevan dan sesuai dengan kebutu-
nalisis dari aspek keterkaitannya dengan isu ag- han mereka sebagai bagian dari suatu kelompok
nostisisme dan negosiasi identitas. Seperti yang (Mills, 1995).
telah dikemukakan di atas, terdapat empat kri- Bahasa merupakan bagian dari pembentuk
teria yang harus dipenuhi yang terdiri atas dua realitas seseorang sebagai bagian dari suatu
kriteria untuk aspek agnostisisme dan dua krite- kelompok (Mills, 1995). Pandangan inilah yang
ria lainnya untuk aspek negosiasi identitas. Apa- menurut Mills sangat penting dalam feminisme.
bila artikel memenuhi keempat kriteria tersebut Bahasan sebagai cerminan sekaligus pemben-
(selain memenuhi kriteria periode terbit, jumlah tuk suatu persepsi di masyarakat, dan persep-
hit, dan jumlah komentar. si mengenai gender, menurut Mills, juga dapat
Pada tahap kedua analisis, peneliti akan tercermin melalui struktur bahasa. Mills mem-
melakukan analisis terhadap teks atau artikel. fokuskan analisisnya pada struktur dalam baha-
Peneliti akan melakukan perbandingan ter­ sa pertamanya, yakni bahasa Inggris. Pada level
hadap dua teks dari rubrik Faith & Spirituali- leksikal, menurut Mills, bahasa Inggris memiliki
ty yang sama-sama membahas mengenai proses kecenderung seksis, karena minimnya ekspresi
seorang perempuan menegosiasikan identitas­ bahasa yang dapat menggambarkan pengala-
nya sebagai seorang agnostik di hadapan orang- man perempuan dari sudut pandangnya sebagai
orang terdekatnya. Dalam melakukan analisis perempuan (Mills, 1995). Bagi Mills, hal ini
teks ini, peneliti akan memfokuskan pada objek- mencerminkan ideologi di masyarakat (penggu-
tivitas dan subjektivitas yang tercermin melalui na bahasa Inggris) yang masih cenderung seksis.
penggunaan bahasa dalam teks. Objektivitas Sehingga, untuk menghentikan seksisme pada
dan subjektivitas merupakan aspek penting da- tataran teks atau bahasa, maka perubahan ha-
lam metode analisis Sara Mills. rus dimulai dari masyarakatnya.
Penelitian ini akan mengkaji artikel-artikel Kedua, analisis level kalimat. Fokus Mills pada
yang membahas mengenai perempuan Muslim analisis level ini adalah fungsi kata di luar kata
dalam situs feminis Magdalene.co. Dalam men- itu sendiri. Sebuah kata dapat memiliki konota-
ganalisis teks-teks ini, peneliti akan berusaha si tersendiri ketika kata tersebut disatukan de­
melakukan interpretasi terhadap teks untuk me- ngan kata-kata lain dalam sebuah kalimat atau
lihat posisi subjek dan objek, serta posisi penulis frase. Dalam perspektif gender, menurut Mills,
dan pembaca teks. Untuk menemukan­nya, pe- kata-kata yang secara individu bersifat netral
neliti akan menggunakan konsep Feminist Sty- dapat memiliki konotasi seksis ketika menjadi
listics yang dikemukakan oleh Sara Mills sebagai bagian dari sebuah kalimat dan pada konteks
perangkat analisisnya. Teknik analisis ini tidak tertentu. Contohnya adalah sebuah ekspresi
hanya digunakan untuk melihat ideologi feminis yang kerap kita dengar ketika melihat seorang
yang tercermin melalui aspek linguistiknya, na- laki-laki menangis, yakni “boys don’t cry like
mun juga akan digunakan untuk melihat posisi girls” (laki-laki jangan menangis seperti perem-
subjek dan objek serta posisi penulis dan pem- puan). Kata boys dan girls yang masing-masing
baca dalam teks. Dalam menggunakan perang- memiliki makna yang netral, dalam konteks ka-
kat analisis ini, peneliti akan menganalisis teks limat tersebut memiliki konotasi hierarkis. Ung-
pada tiga level bahasa, yakni kata, kalimat, dan kapan tersebut seolah menempatkan perempuan
diskursus. sebagai contoh yang ‘buruk’ dan tidak pantas dii-
Pertama, analisis level kata. Mills menjelaskan kuti atau dilakukan oleh laki-laki (Mills, 1995).
bahwa ada dua tahapan bagaimana bahasa dapat Pada penelitian ini, unsur transitivitas yang
mempengaruhi dan membentuk suatu ideologi disebutkan oleh Mills menjadi unsur terpenting
dalam masyarakat. Pada tahapan pertama, ba- dalam melihat perkembangan identitas penulis.
hasa dapat digunakan oleh kelompok-kelompok Penjelasan Mills mengenai transitivitas berang-
tertentu dengan cara yang berbeda antara satu kat dari teori linguistic sistemik dari Michael
dengan yang lainnya, sesuai dengan kebutuhan, Halliday. Halliday mengungkapkan bawa trasi­
identitas, dan konteks kelompok tersebut. Mills tivitas merupakan seperangkat pilihan yang
mencontohkan kata ‘snow’ yang memiliki banyak dapat digunakan oleh subjek dalam mencerita-
sinonim dan istilah yang digunakan oleh komu- kan pengalamaan eksternal dan internalnya,
nitas atlet ski, pendaki gunung, penjelajah, dan. sesuai dengan situasi yang melatarbelakangi
Istilah-istilah tersebut digunakan diperlukan serta audiens yang terlibat dan berada pada
oleh anggota kelompok untuk mendeskripsikan situasi tersebut (Mills, 1995). Dalam teori ini,

51
Ria Hasna Shofiyya & Udi Rusadi, Negosiasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Ideologi Agnostisisme Di Majalah-Web Feminis

Halliday menekankan peran agent yang setara saat dan tanpa deskripsi yang mendalam). Aspek
dengan subjek dalam konteks Mills, dan pihak ini penting untuk dipahami karena penggunaan
yang dipengaruhi oleh tindakan subjek (objek). sudut pandang akan menentukan bagaimana
Pada tataran inilah, ideologi memiliki pengaruh sebuah peristiwa dikonstruksikan. Konsep ini
terhadap penggunaan bahasa dalam teks (Mills, kembali berkaitan dengan konsep Mills lainnya,
1995). yakni subjek dalam teks. Dalam sebuah teks di
Mills kemudian merangkum pendapat Hall- mana seorang tersangka pemerkosaan menjelas-
iday dengan membagi tiga pilihan dalam tran- kan kejadiannya, dapat dikatakan bahwa ter-
sitivitas, yakni mental, material, dan relasio­ sangka telah menjadi narrator atau subjek cer-
nal (gabungan dari mental dan material) (Mills, ita dan memiliki tendensi untuk memanipulasi
1995).Terdapat empat konsep yang paling pent- cerita.
ing, yakni material action intentional, material
action supervention, mental process internalized, Hasil Penelitian
dan mental process externalized. Material ac- Penulis melakukan analisis atas dua artikel,
tion intentional merupakan tindakan yang sen- masing-masing berjudul “Call Me An Infidel: A Hi-
gaja dilakukan dan dengan tujuan yang jelas. jabed Non-Believer Story” dan“Would You Still Love
Sebaliknya, material action supervention mer- Me if You Knew I’m Not Religious Anymore, Mom?”
upakan bentuk tindakan yang tidak disengaja. Analisis Artikel “Call Me An Infidel: A Hi-
Sementara itu, mental process internalized me­ jabed Non-Believer Story”
rupakan pemikiran di benak subjek yang tidak Teks pertama yang akan penulis bahas ada-
tersampaikan (baik melalui tindakan maupun lah sebuah teks dari rubrik Faith & Spirituali-
pernyataan). Terakhir, mental process external- ty yang berjudul Call Me An Infidel: A Hijabed
ized merupakan pemikiran yang tersampaikan. Non-Believer Story. Artikel ini ditulis oleh Anggi
Selain itu ada pula konsep relational yang mer- dan dipublikasikan pada tanggal 24 Maret 2016.
upakan gabungan dari kedua aspek, mental dan Artikel ini ditulis menggunakan bahasa Inggris.
material (Mills, 1995). Sejak pertama kali diterbitkan, artikel ini telah
Ketiga, analisis level diskursus. Pada level dibaca sebanyak 9.693 kali dan mendapat 27 ko-
ini, analisis akan mengaitkan penggunaan kata mentar dari pembaca.
dan kalimat dengan ideologi tertentu yang dis- Analisis Level Kata. Pronoun atau kata
ampaikan melalui pola dan struktur bahasa ter- ganti merupakan salah satu elemen yang men-
tentu (Mills, 1995). Carter dan Simpson (dalam jadi focus analisis pada level Kata. Mills me-
Mills, 1995) mengungkapkan bahwa dalam me- nekankan pentingnya penggunaan kata ganti
mahami diskursus, maka analisis tidak dapat yang digunakan dengan kecenderungan ideologi
berhenti pada konteks mikro (konteks linguis- yang dibawa oleh penulis melalui teksnya. Da-
tiknya), melainkan juga harus melihat konteks lam bahasa Inggris, kata he dan she kerap digu-
makronya, yakni fungsi pola linguistik tertentu nakan sebagai kata ganti orang ketiga tunggal.
pada struktur sosial yang lebih besar. Jika dikait- Menurut Mills, sebuah teks yang didominasi
kan dengan studi gender, Mills mengungkapkan dengan penggunaan kata ganti tertentu untuk
bahwa diskursus memiliki keterkaitan yang erat objek atau subjek yang tidak diidentifikasi gen-
dengan ideologi gender, yang ia sebut dengan is- dernya, akan menunjukkan orientasi ideologi
tilah gendered framework (berangkat dari teori gender dari teks tersebut (Mills, 1995).
diskursus dari Michel Foucault). Alasan Mills Sebagai kata ganti, kata he memiliki banyak
menyebutnya dengan istilah tersebut adalah arti dan fungsi. Kamus Oxford mendefinisikan
karena dalam proses produksi sebuah teks yang kata he sebagai berikut:
dilatarbelakangi oleh ideologi gender, stereotipe “[third person singular] Used to refer to a man,
gender memiliki peran yang besar dalam proses boy, or male animal previously mentioned or eas-
kontstruksi makna dalam teks (Mills, 1995). ily identified.”
Aspek terpenting yang menjadi fokus peneli- 1.1 Used to refer to a person or animal of un-
tian pada level ini adalah focalization atau foka- specified sex (in modern use, now chiefly replaced
lisasi. Aspek ini melihat sudut pandang cerita by ‘he or she’ or ‘they’)
dan terdiri atas dua jenis fokalisasi, yakni foka- 1.2 Any person (in modern use, now chiefly re-
lisasi internal dan fokalisasi eksternal. Fokalisa- placed by ‘anyone’ or ‘the person’
si eksternal merupakan sudut pandang cerita 1.3West Indian Him or his.”1
yang dekat dengan narrator dan biasanya ditan- Berdasarkan definisi di atas, kata he tidak
dai dengan pengambilan sudut pandang orang hanya digunakan sebagai kata ganti orang ke-
pertama dalam narasi. Sedangkan fokalisasi tiga maskulin, namun juga digunakan sebagai
internal ditandai dengan penggunaan sudut kata ganti objek yang tidak diketahui gendern-
pandang orang ketiga dalam teks (Mills, 1995). ya secara spesifik. Hal ini menjadi salah satu isu
Penggunaan sudut pandang orang ketiga mem- yang dibahas oleh Mills dalam bukunya, karena
batasi kehadiran masing-masing karakter. Mak- penggunaan kata ganti maskulin sebagai kata
sudnya adalah tidak semua karakter dapat dire- ganti untuk generalisasi gender menunjukkan
presentasikan dengan sempurna dan mendalam 1
Kamus daring Oxford Dictionaries. https://en.oxforddic-
(bebe­rapa di antaranya hanya dimunculkan se­ tionaries.com/definition/he

52
Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

adanya dominasi ideologi patriarki dalam baha- lam teks yakni karakterisasi dan fokalisasi. Da-
sa Inggris (Mills, 1995). Sebagai solusinya, Mills lam aspek karakterisasinya, penulis membentuk
me­ngungkapkan bahwa penulis dapat menggu- karakter sang Ibu yang konservatif dan cen­
nakan kata they sebagai kata ganti yang tidak derung kolot. Hal ini terlihat pada kalimat:
mengacu pada gender tertentu.
Artikel ini tidak didominasi oleh penggunaan “My transformation has gotten me into some
kata ganti tertentu. Hanya saja kata ganti He problems.   I have begun to argue with my
dan/atau Him digunakan untuk mengidentifika- mom a lot lately over various things, such
si Tuhan. Kata ganti maskulin tersebut memang as my decision not to get married or have a
kerap digunakan untuk menggantikan kata Tu- child, and to separate religion from my daily
han. Di bawah ini adalah beberapa contoh kali- concerns. Usually during these arguments, I
mat yang menggunakan kata ganti he dan him gave in, but this only made me hate her more
untuk Tuhan. for being close-minded and controlling of my
life.” (Anggi, 2016)
“As an obedient child, I was crazy in love with Cara penulis mengkarakterisasi Ibunya,
God; I would sacrifice everything to please him.” sekilas tidak menunjukkan indikasi seksisme.
“I cried, screamed and yelled at God, asking him Paragraf tersebut menjelaskan bagaimana sosok
why he let me lose faith on him.” (Anggi, 2016) sang Ibu di mata penulis, dari sudut pandang
penulis itu sendiri. Akan tetapi, pada paragraph
Hal ini dapat dipahami karena di Barat (di terakhir, penulis menuliskan,
mana bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa “Some religious women will judge my reason
utama), penggunaan kata He atau Him untuk for being a hijabi as sinful and a disgrace.
Tuhan mengacu pada Yesus (yang merupakan Some people might call me an insane infidel
seorang laki-laki), karena mayoritas penduduk­ who needs to be exorcised. But I don’t need
nya yang beragama Nasrani. Akan tetapi, jika to justify myself to them. Because I want to
dikaitkan dalam konteks Indonesia, khususnya be as free and liberated as I can be.” (Anggi,
pada artikel ini, agama yang melatarbelakangi 2016).
kisahnya adalah Islam, di mana dalam agama Pada paragraf inilah penulis mengkarak-
Islam, Tuhan (Allah SWT.) tidak memiliki gen- terisasikan perempuan (kususnya perempuan
der. Sebagai objek yang tidak memiliki gender, religius) sebagai kaum yang konservatif dan
penggunaan kata ganti maskulin untuk Tuhan close-minded. Padahal kaum laki-laki religius
menunjukkan adanya orientasi maskulin da- juga dapat memiliki pemikiran serupa (dengan
lam teks. Dalam kasus ini, penulis dapat meng- yang dijelaskan oleh penulis). Atau sebalik­nya,
ganti kata he dan him dengan menyebut secara tidak semua perempuan religius pasti akan
langsung nama Tuhan (God) atau Allah. menyerang penulis karena keputusannya untuk
Analisis Level Kalimat. Transitivitas mer- berhijab meskipun agnostik. Dengan demiki-
upakan aspek yang dominan pada level kalimat. an, dapat dikatakan bahwa penulis melibatkan
Transitivitas berhubungan dengan tindakan streotipe terhadap perempuan dan mengene­
yang dilakukan oleh subjek terhadap objeknya. ralisasi sosok perempuan sebagai sosok yang
Di bawah ini adalah bentuk-bentuk transitivitas close-minded.
krusial yang muncul dalam artikel. Kemudian pada aspek fokalisasi, sosok penu-
Berdasarkan analisis transitivitasnya, maka lis menjadi sosok utama dalam teks ini. Penu-
terlihat bahwa aspek mental pada diri penulis lis memaparkan cerita melalui sudut pandang
memiliki peran penting dalam menentukan tin- dirinya, atau disebut juga dengan istilah exter-
dakan-tindakan material yang dilakukan oleh nal focalizer, yakni sudut pandang cerita yang
penulis. Sebagai contoh, keraguannya terhadap sepenuhnya dipengaruhi oleh satu subjek. Hal
keberadaan Tuhan, dalam kalimat “A few days ini terlihat dari penggunaan kata ganti orang
before that I had been questioning why I should pertama I (saya) yang menunjukkan bahwa
pray, why I should adhere to something I could penulis merupakan subjek dari cerita. Di awal
not see, why I should believe in something that teks, penulis memaparkan secara singkat latar
is not logical.”, mempengaruhi keputusannya belakang hidupnya. Penulis menuliskan:
untuk mencoba bunuh diri (pada kalimat selan-
jutnya). Berdasarkan analisis pada kalimat ini “I’m a 19-year-old girl who lives with an ag-
pula, terlihat bahwa penulis merupakan subjek nostik dad and a devout Muslim mom.” (An-
dari teks, sehingga dapat dikatakan bahwa ceri- ggi, 2016).
ta ditulis dari sudut pandang penulis itu sendiri. Penjelasan singkat di atas, meskipun tidak
Meskipun demikian, penulis juga sempat men- secara detil menjelaskan identitas dirinya, namun
jadi objek dari lingkungannya yang menentang informasi tersebut memberikan konteks awal pada teks.
dirinya. Seperti ketika penulis mengisahkan Melalui kalimat di atas, pembaca mengetahui bahwa
bahwa dirinya kerap diejek oleh orang-orang di penulis akan mengajak pembaca untuk merasakan per-
sekitarnya dan diberi label agnostik atau atheist. jalanan penulis yang membuat dirinya menjadi seorang
Analisis Level Diskursus. Pada level di- agnostik (tidak mempercayai keberadaan Tuhan) di balik
skursus, terdapat dua konsep yang muncul da- hijabnya.

53
Ria Hasna Shofiyya & Udi Rusadi, Negosiasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Ideologi Agnostisisme Di Majalah-Web Feminis

Tabel 1. Tabel Transitivitas Penulis 1

54
Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

Posisi penulis sebagai subjek teks menunjuk- Tuhannya dari tiga agama monoteistik terbesar,
kan bahwa dari aspek gender, teks ini mengam- yakni Judaisme, Nasrani, Islam, dan buku ini juga
bil sudut pandang dari seorang perempuan. Hal membahas mengenai sejarah agama Buddha dan
ini memang menjadi fokus dari teori Mills, yakni Hindu.
perempuan memiliki posisi sebagai subjek teks. Bentuk negosiasi yang selanjutnya adalah nego-
Menurut Mills, perempuan kerap menempati po- siasi penulis terhadap dirinya sendiri. Meskipun
sisi objek dalam sebuah teks, yang berarti kisah menganut paham agnostik, penulis masih men-
perempuan diceritakan dari sudut pandang la- genakan hijabnya. Penulis beralasan bahwa di-
ki-laki (sebagai subjek) (Mills, 1995). rinya tidak nyaman dengan bentuk tubuh dan
Bentuk Negosiasi Identitas Penulis. Pada rambutnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa
awalnya, penulis menegosiasikan identitas dir- penulis memilih untuk menggunakan hijab demi
inya sebagai seorang agnostik dengan meraha- penampilan fisikya, yakni untuk menutupi ketida-
siakan hal tersebut di hadapan teman-teman kpercayaan dirinya akan bentuk rambut dan tu-
dan keluarganya. Hal ini terlihat pada kalimat: buhnya. Akan tetapi, meskipun berkaitan dengan
“I tried to live like a normal teenager. At the penampilan fisiknya, namun keputusannya untuk
same time, I hid the fact that I was a half tetap mengenakan hijabnya tentu akan menutupi
non-believer.” identitasnya sebagai seorang agnostik di mata pub-
Jika dilihat dari analisis feminist stylistic-nya, lik dan, terutama, keluarganya.
kalimat ini menunjukkan trasitivitas relasional Penulis juga menegosiasikan identitasnya
yang berarti adanya keterlibatan unsur mental melalui nama yang digunakan dalam artikel ini.
dan material di dalamnya. Unsur mental terli- Penulis hanya mengidentifikasi dirinya dengan
hat dari kalimat “… I hid the fact that I was a sapaan Anggi dalam artikel ini. Dalam teori Sara
half non-believer.” Sementara itu, unsur materi- Mills, salah satu ciri bahwa sebuah tulisan perem-
al direpresentasikan melalui “I tried to live like a puan merupakan sebuah tulisan feminis adalah
normal teenager…”. Selain pada kalimat di atas, ketika penulis (perempuan) berani menunjukkan
penulis juga menyebutkan bahwa Ia harus ber- identitasya, seperti dengan mencantumkan nama
perilaku religius demi kebaikan dirinya dan kel- asli atau nama lengkapnya (Mills, 1995). Meskipun
uarganya. Hal ini terlihat dari kalimat: demikian, penulis telah menceritakan kisahnya
“So whenever I came home for holidays, I pre- dari sudut pandangnya, dan hal ini juga merupakan
tended to be a religious person for her and ev- salah satu ciri teks feminis menurut Mills. Dengan
erybody else’s benefit.” kata lain, penggunaan nama sapaan tidak mengu-
Kalimat di atas mencerminkan tindakan mate- rangi femininitas artikel yang ditulis oleh Anggi.
rial yang dikehendaki (material action intention-
al). Penulis menjelaskan bahwa dirinya harus Analisis Artikel “Would You Still Love Me if You
berpura-pura religius demi kebaikan bersama. Knew I’m Not Religious Anymore, Mom?”
Kalimat ini juga menunjukkan bahwa penulis Artikel yang akan dibahas selanjutnya berjudul
menegosiasikan identitasnya dengan cara mera- Would You Still Love Me If You Knew I’m Not Reli-
hasiakannya dari orang-orang terdekatnya. gious, Mom? Artikel ini diterbitkan pada tanggal
Penulis kemudian mulai menunjukkan identi- 31 Maret 2016 dan ditulis oleh Laras Mukti. Sejak
tas dirinya sebagai seorang agnostik melalui tin- pertama diterbitkan, hingga sekarang artikel ini
dakan-tindakan material lainnya, seperti dalam telah dibaca sebanyak 18.617 kali dan mendapat
kalimat: sebanyak 49 komentar dari pembaca. Sama hal-
“On social media I often post my opinion on nya dengan artikel sebelumnya, artikel ini juga
religions.” membahas mengenai ketidakpercayaan penulis
Kalimat ini kemudian dilanjutkan dengan ka- akan eksistensi Tuhan, meskipun penulis dibe-
limat: sarkan di lingkungan yang religius. Namun pada
“There was a time when I was reading the book His- artikel ini, penulis tidak secara langsung menye-
tory of God in class, people started to call me an but dirinya sebagai seorang agnostik.
atheist for over a month.  But I never felt the need Analisis Level Kata. Terdapat beberapa aspek
to justify myself to other people and just choose to yang dikemukakan oleh Mills mengenai analisis
keep a distance from them.” pada level kata, yakni kata ganti (pronoun) dan
Kalimat di atas menunjukkan bahwa penulis imbuhan (suffix/prefix). Kedua hal ini, bagi Mills,
mulai menunjukkan paham agnostiknya secara akan mempengaruhi pemaknaan teks, khususnya
perlahan, yakni dimulai dari tindakan material dalam ranah gender. Teks yang banyak menggu-
yang berupa publikasi pemikirannya melalui sosial nakan kata ganti maskulin untuk objek yang ti-
media. Sementara itu pada kalimat selanjutnya, dak memiliki gender atau tidak dijelaskan secara
penulis mulai memberanikan diri membaca buku detil gendernya (non-gender-specific object), dapat
yang, bagi orang-orang di sekitar penulis, dianggap menunjukkan ideologi patriarki atau kecenderun-
‘terlarang’ sehingga penulis disebut sebagai seorang gan seksisme yang dimiliki oleh penulis.
atheis oleh teman-temannya. Buku A History of God Akan tetapi, secara keseluruhan artikel ini
merupakan sebuah buku filsafat yang ditulis oleh tidak menunjukkan adanya indikasi patriarki
Karen Armstrong dan diterbitkan pada tahun 1993. atau seksisme yang tercermin melalui penggu-
Buku ini menjelaskan tentang sejarah perkemban- naan kata dalam artikel. Dalam artikel ini, penu-
gan, tradisi, dan filosofi hubungan antara umat dan lis justru secara fokus mengisahkan perjalanan
55
Ria Hasna Shofiyya & Udi Rusadi, Negosiasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Ideologi Agnostisisme Di Majalah-Web Feminis

hidupnya dan dari sudut pandang dirinya sendi- Sementara itu, dalam artikel kedua ini, penulis
ri. Hal ini merupakan perwujudan feminisme da- hanya menjelaskan sifat sang Ibu yang religius,
lam teks yang dilakukan oleh penulis, karena tel- tanpa memojokkannya dengan menyebutnya se-
ah menempatkan dirinya sendiri sebagai subjek bagai konservatif atau bahkan close-minded.
dan sudut pandang utama dalam cerita. Hal ini
terlihat dari penggunaan kata ganti orang per- Bentuk Negosiasi Identitas. Jika diband-
tama I (Saya) yang menunjukkan posisi penulis ingkan dengan artikel pertama, artikel kedua
sebagai actor utama dalam cerita. ini memiliki struktur narasi yang lebih terta-
ta. Maksudnya adalah, dalam artikel ini penu-
Analisis Level Kalimat. Sama halnya den- lis menuliskan kisah hidupnya secara linear,
gan artikel sebelumnya, di antara aspek-aspek dari masa kecilnya hingga dewasa. Penulis juga
kalimat yang dikemukakan oleh Mills (ready- mengisahkan dengan baik proses perubahan
made phrases, presuposisi dan inferensi, meta- pemikiran­nya hingga menjadi seorang agnostik.
fora, humor, dan transitivitas), transitivitas me­ Dari artikel ini, pembaca dapat melihat awal
rupakan aspek yang dominan dalam artikel ini. mula pemikiran kritisnya ketika Ia menanyakan
Di bawah ini adalah kalimat-kalimat penting da- tentang perbedaan antara teori evolusi manusia
lam narasi, dilihat dari transitivitasnya: dalam ilmu pengetahuan alam dengan ilmu ag-
Sama halnya dengan artikel sebelumnya, ar- ama Islam. Dari sini pembaca telah diperkenal-
tikel ini juga menunjukkan proses mental dan kan dengan sosok utama dalam teks yang mer-
tindakan material yang dilakukan dan/atau upakan sosok dengan pola pikir yang kritis.
dirasakan oleh penulis melalui kalimat-kalimat- Dalam artikel ini, penulis tidak menjelaskan
nya. Penulis juga masih menjadi subjek utama, secara detil bagaimana Ia menegosiasikan identi-
yang mendukung aspek feminis dari tulisan ini. tas dirinya di hadapan keluarga dan orang-orang
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sub- terdekatnya. Tidak seperti pada artikel pertama,
jek memiliki posisi penting dalam sebuah teks di mana penulis menjelaskan bahwa Ia harus
karena akan menentukan dari sudut pandang berpura-pura religius di hadapan keluarga be-
siapa sebuah narasi dikisahkan. sarnya demi kebaikan bersama, pada artikel ini
Analisis Level Diskursus. Secara keseluru- pembaca hanya dapat mengetahui bahwa penu-
han penulis tidak secara detil menjelaskan latar lis merahasiakan krisis kepercayaannya kepada
belakang orang-orang di sekitarnya. Berbeda Tuhan melalui kalimat “If my mom found out
dengan pada teks pertama, di mana penulis men- about the real me right now, she would be real-
ceritakan bagaimana perilaku dan reaksi orang- ly disappointed, which is the last thing I want to
orang di sekitarnya terhadap dirinya, pada teks happen”.Dari kalimat tersebut, maka kita dapat
kedua ini penulis justru sama sekali tidak men- mengetahui bahwa penulis setidaknya berusaha
jelaskan reaksi lingkungannya dan keluarganya merahasiakan dirinya yang sesungguhnya kepa-
mengenai perubahan diri penulis. Hanya ada da Sang Ibu.
beberapa sosok yang disebut oleh penulis, yakni Pada aspek feminist stylistics-nya, kedua teks
seorang guru agama Islam dari Sekolah Dasar ini sudah memenuhi syarat teks feminis menurut
(SD) penulis, seorang yogi dari India, dan yang Sara Mills. Meskipun pada artikel pertama
paling sering disebut dalam teks ini adanya Ibu penulis masih menggunakan kata ganti orang
dari penulis. ketiga maskulin (He) untuk mengidentifikasi
Penulis menjelaskan bahwa Ibunya merupa- Tuhan (yang dalam agama Islam tidak memili-
kan seorang perempuan yang religius. Salah ki gender), namun secara keseluruhan, artikel
satu tindakan yang menunjukkan religiusitas tersebut masih cenderung bersifat feminis. Pro-
sang Ibu terlihat dari keputusannya untuk noun atau kata ganti merupakan salah satu ele-
memasukkan anaknya ke sekolah Al-Qur’an. men yang menjadi focus analisis pada level Kata.
Melalui tindakan ini pula, penulis pertama kali Mills menekankan pentingnya penggunaan kata
memperkenalkan sang Ibu kepada pembaca. Se- ganti yang digunakan dengan kecenderungan
mentara itu, penulis hanya memberikan sedikit ideologi yang dibawa oleh penulis melalui teksn-
informasi di awal artikel mengenai keluarganya, ya. Dalam bahasa Inggris, kata he dan she kerap
yang merupakan keluarga Muslim yang masih digunakan sebagai kata ganti orang ketiga tung-
dipengaruhi nilai-nilai budaya Jawa, sehingga gal. Menurut Mills, sebuah teks yang didominasi
penulis tidak menganggap keluarganya sebagi dengan penggunaan kata ganti tertentu untuk
Muslim yang hardliners atau garis keras. objek atau subjek yang tidak diidentifikasi gen-
Sosok Ibu menjadi sosok yang sentral dalam dernya, akan menunjukkan orientasi ideologi
kedua artikel ini. Akan tetapi, terdapat perbe- gender dari teks tersebut (Mills, 1995).
daan tentang bagaimana penulis mengkarakter- Meskipun demikian, penggunaan kata ganti
isasi sosok Ibu dalam artikelnya. Kedua penulis maskulin untuk objek yang tidak dapat didefi-
sama-sama memiliki seorang Ibu yang bersifat nisikan gendernya, tidak mengurangi nilai fem-
religius. Namun dalam artikel pertama, penulis inisme dari ketiga teks. Apalagi jika mengacu
cenderung mendeskripsikan sang Ibu sebagai so- pada feminisme linguistik yang diusung oleh
sok yang konservatif dan close-minded (seperti Sara Mills. Salah satu aspek yang menjadikan
yang dijelaskan oleh penulis dalam artikelnya). sebuah teks adalah teks feminis adalah posisi

56
Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

Tabel 2. Tabel Transitivitas Penulis 2

57
Ria Hasna Shofiyya & Udi Rusadi, Negosiasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Ideologi Agnostisisme Di Majalah-Web Feminis

subjek dan objek. Secara general posisi subjek dalam teks melalui tindakan-tindakan material
dan objek juga terlihat melalui aspek fokalisasin- yang dilakukan oleh penulis. Tindakan seperti
ya, yang ditunjukkan melalui penggunaan kata merahasiakan identitas mereka (ideologi agnos-
ganti orang pertama tunggal, I (Saya). Penggu- tisisme) merupakan salah satu cara mereka un-
naan kata I secara langsung akan menunjukkan tuk menegosiasikan identitasnya. Ketiga penulis
bahwa kisah ini diceritakan melalui sudut pan- memiliki alasan yang sama, mengapa mereka
dang penulis, sehingga penulis merupakan sub- merahasiakan agnostisisme yang mereka anut,
jek dari cerita. Analisis pada aspek transitivitas dan alasan tersebut adalah untuk menghindari
juga membantu peneliti dalam menemukan sub- munculnya konflik dengan keluarganya yang
jek dan objek, khususnya pada momen-momen masih tergolong konservatif.
krusial yang terjadi pada penulis sepanjang Meskipun demikian, kedua artikel di atas juga
negosiasi identitasnya. menunjukkan bahwa konfrontasi juga diperlu-
Analisis transitivitas juga menunjukkan pros- kan demi tercapainya integrasi antara penulis
es perubahan dan perkembangan ideologi penu- dengan keluarganya. Sebagai contoh, ketika
lis. Penulis menunjukkan pergulatan mental dan penulis ketiga melakukan konfrontasi terhadap
tindakan material yang dialami yang kemudian sang kakak yang memaksanya untuk berhijab.
berperan dalam membentuk kepercayaan penu- Konfrontasi yang dilakukan memang memicu
lis. Dari analisis transitivitas ini pula, kita dapat konflik antara penulis dengan keluarganya.
melihat bahwa kedua penulis melalui proses Akan tetapi, konflik tersebut pada akhirnya
yang hampir serupa, hingga akhirnya mereka menghasilkan ‘integrasi’ terhadap pengetahuan
memutuskan untuk menjadi agnostik. Bebera- dan motivasi antara penulis dengan keluargan-
pa tindakan material intensional yang mereka ya. Integrasi ini ditunjukkan dengan keputusan
lakukan, seperti mempelajari agama-agama lain keluarganya yang akhirnya bersikap acuh ter-
melalui buku dan/atau secara langsung mengun- hadap siapa dirinya. Seperti yang telah dika-
jungi tempat ibadah agama lain menjadi salah takan sebelumnya, integrasi merupakan aspek
satu pemicu keraguan mereka akan Tuhan (men- yang penting demii terciptanya lingkungan yang
jadi seorang agnostik). Akan tetapi, tidak han- adaptif bagi individu, sehingga emotional inse-
ya tindakan material intensional yang mempe­ curity yang dirasakan oleh penulis dapat berku-
ngaruhi perkembangan ideologi penulis, dalam rang (Tiing-Toomey, 1999).
beberapa momen yang tercermin melalui artikel, Kemudian, terlihat bahwa interaction pre-
penulis juga menjelaskan beberapa tindakan dictability di lingkungan keluarga penulis ma-
material supervention, atau tindakan yang ti- sih cenderung minim. Hal ini terlihat dari konf-
dak diharapkan oleh subjek. Seperti dalam ar- lik-konflik yang terjadi antara penulis dengan
tikel kedua, ketika penulis menjelaskan bahwa keluarganya. Seperti pada artikel pertama, di
Ia didaftarkan untuk belajar mengaji sejak ke- mana penulis beradu argumen dengan sang
cil oleh Ibunya. Tindakan ini tidak seharusnya Ibu mengenai persepsinya tentang pernikah-
menyiratkan emosi apapun kepada pembaca. an. Penulis tidak menduga bahwa topik terse-
Akan tetapi, kalimat tersebut diikuti oleh cerita but akan memicu konflik, dan berakhir dengan
pengalamannya saat diwajibkan menghafal ayat sang Ibu yang mendoakannya agar mendapat hi-
Al-Quran dan bacaan shalat, namun penulis ti- dayah. Hal ini menunjukkan bahwa interaction
dak memahami apapun yang dipelajari. Dari predictability antara penulis dan keluarganya
pengungkapan proses material inilah, pembaca belum tercarap, sehingga memicu konflik. Inter-
dapat menangkap sinyal kekecewaan yang dira- action predictability merupakan aspek penting
sakan oleh penulis karena ‘dipaksa’ mempelajari bagi setiap individu agar dapat mencapai emo-
ilmu agama, dan hal ini dapat dikatakan menja- tional security dalam menunjukkan identitasnya
di salah satu pemicu perubahan ideologi penulis. di hadapan keluarganya (Ting-Toomey, 1999).
Kedua artikel mengkonfirmasi beberapa Secara garis besar, tidak terlihat bahwa penu-
asumsi mengenai identitas. Asumsi pertama lis telah mencapai keberhasilan yang maksimal
adalah bahwa setiap individu akan berusaha dalam menegosiasikan identitasnya. Seperti
untuk menemukan rasa ‘aman’ dalam menun- yang dikatakan oleh Ting-Toomey dan Swann,
jukkan identitasnya. Hal inilah yang kemudian bahwa negosiasi identitas mengharapkan hasil
akan memberikan stabilitas pada identitas diri dalam bentuk penerimaan dan pengakuan ter­
seseorang.Dengan kata lain, penerimaan terha- hadap identitas diri individu oleh lingkungannya
dap identitas adalah suatu aspek yang krusial (Ting-Toomey, 2015; Swann 2008). Sikap keluar-
bagi setiap individu (Ting-Toomey, 1999). ganya yang acuh terhadap penulis belum dapat
Ketika keamanan dan stabilitas tersebut be- dikatakan sebagai bentuk penerimaan dan/atau
lum tercapai, maka individu akan terus melaku- pengakuan terhadap identitas mereka yang se-
kan negosiasi terhadap identitasnya di tengah benarnya. Karena pada akhirnya, penulis masih
lingkungannya yang belum dapat menerima harus merahasiakan identitas mereka dan be-
identitas yang dimiliki oleh individu tersebut. lum dapat mengakui dengan terbuka bahwa di­
Negosiasi identitas juga berkaitan dengan pen- rinya adalah seorang agnostik.
gurangan potensi munculnya konflik antara Meskipun demikian, jika dikaitkan dengan
individu dengan lingkungannya (Ting-Toom- teori Pingle dan Melkonyan (2012), agnostisisme
ey, 1999). Bentuk negosiasi identitas tercermin bersifat temporer dan dapat berubah seiring de­
58
Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

ngan proses pembelajaran yang dilakukan oleh angkat di situs tersebut merupakan isu-isu yang
penulis. Seorang agnostik akan cenderung ter- masih cenderung tabu untuk dibahas oleh media
buka pada pengetahuan-pengetahuan yang baru mainstream, seperti isu LGBTQ dan isu reli-
mereka dapatkan mengenai Tuhan dan agama, gi yang bertolak belakang dengan kepercayaan
dan aspek ini memberikan ‘daya tarik’ tersendiri mayoritas masyarakat Indonesia, dan salah sat-
terhadap ideologi agnostisisme (Pingle & Mel- unya adalah isu agnosisime.
konyan, 2012). Hal inilah yang menyebabkan Pada dasarnya negosiasi identitas terjadi da-
agnostisisme berpotensi besar untuk terus men- lam kehidupan pribadi penulis, di luar ruang vir-
galami evolusi. Sayangnya, bagi seorag agnostik, tual di Internet. Akan tetapi, kehadiran Internet
sebanyak apapun pengetahuan yang diterima, yang memberikan peluang untuk terbentuknya
tidak akan cukup baginya untuk menjawab ker- media-media yang dapat menjadi third space bagi
aguannya terhadap Tuhan dan agama. Bahkan masyarakat untuk merefleksikan pemikiran-
banyaknya informasi yang diterima justru dapat nya serta menyuarakan pendapatnya melalui
memperkuat keraguannya terhadap eksisensi tulisan-tulisan dengan format storytelling. Me-
Tuhan dan ajaran agama (Pingle & Melkonyan, dia-media seperti Magdalene.co ini memang
2012). memiliki fungsi tersendiri dalam industri media,
khususnya media digital, yakni menyuarakan
Diskusi opini-opini yang tidak medapatkan ruang di me-
Jika dikaitkan dengan pola komunikasi fem- dia mainstream. Seperti yang dikemukakan oleh
inis dari Sara Mills, pada konteks produksi, Evolvi, format storytelling memberikan kesem-
Magdalene.co mencerminkan ideologi gender se- patan bagi penulis untuk menentukan struktur
bagai ideologi utama yang diusung. Selain ban- naratifnya sendiri untuk menceritakan pengala-
yaknya kontribusi penulis perempuan melalui man pribadinya (Evolvi, 2017).
artikel-artikel yang dipublikasikan, isu-isu yang Jika dilihat dari sudut pandang feminisme
diagkatpun umumnya berkaitan dengan ke- Sara Mills, media third space ini memberikan ru-
hidupan perempuan dari sudut pandang yang ang bagi perempuan untuk mengungkapkan ki-
lebih kritis dan progresif. Faktor sosio-historis sahnya dari sudut pandang dirinya sendiri. Den-
penulis juga mempengaruhi penulisan artikel gan kata lain, melalui media seperti Magdalene.
oleh penulis. Faktor sosio-historis penulis ter- co ini, perempuan mendapatkan kesempatan un-
lihat dari perjalanan hidup penulis yang dicer- tuk menjadi subjek atas kisahnya sendiri. Hal ini
itakan dalam artikel, dari seorang perempuan memang menjadi fokus Mills, karena pada prak-
yang religius, hingga akhirnya menjadi seorang tik media mainstream, suara perempuan kerap
agnostik setelah melalui berbagai tahap pembe- diabaikan dan bahkan harus diwakili oleh sosok
lajaran dan interaksi sosial dengan penganut ag- laki-laki untuk menceritakan kisahnya. Hal ini
nostisisme lainnya. yang menjadikan perempuan ditempatkan pada
Sementara itu, pada konteks resepsinya, pada posisi objek (Eriyanto, 2001).
dasarnya Magdalene.co menargetkan para pem- Sebagai media alternatif, Magdalene.co telah
baca dengan pemikiran progresif sebagai target memberikan ruang baru bagi perempuan-perem-
audiensnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemu- puan untuk mengungkapkan identitas mereka
kakan oleh Devi Asmarani melalui wawanca­ yang sebenarnya. Melalui artikel yang ditulis,
ranya dengan sebuah radio di Singapura. Akan penulis dapat mengungkapkan kisah hidupnya
tetapi, pada kenyataannya artikel-artikel yang dari sudut pandang dirinya sendiri dan bahkan
dipublikasikan juga masih menarik para pem­ mampu mendobrak stereotipe yang selama ini
baca yang masih cenderung konservatif. Hal ini berkembang di masyarakat mengenai perem-
terlihat dari kolom komentar, di mana pertarun- puan-perempuan Muslim. Dengan memberikan
gan ideologi terjadi. ruang yang ‘aman’ (safe space) bagi perempuan,
Magdalene.co merupakan salah satu contoh Magdalene.co telah menjadi media yang inklusif
media yang berfungsi sebagai medium perjuan- bagi kaum perempuan untuk menceritakan ki-
gan ideologi feminis. Meskipun berfokus pada sahnya dalam menegosiasikan identitas mereka
isu-isu feminisme, namun dalam perkemban- dalam kehidupan pribadinya. Penulis mengung-
gannya Magdalene.co telah menjadi media yang kapkan strategi yang dilakukan untuk menutupi
mengusung prinsip inklusivitas dalam pub- identitas dan ideologi mereka yang sesungguh­
likasinya. Dengan demikian, Magdalene.co tidak nya melalui artikel yang ditulisnya. Dalam
lagi hanya mempublikasikan artikel-artikel yang kedua artikel di atas, kita dapat melihat bahwa
berkaitan dengan perempuan, namun juga mem- kedua penulis sama-sama merahasiakan krisis
berikan kesempatan bagi para pejuang ideologi kepercayaan yang mereka alami. Akan tetapi,
lainnya untuk bersuara melalui tulisan-tulisan melalui tulisan yang mereka buat, penulis dapat
yang dikirimkan. Magdalene.co juga merupakan secara terbuka menjelaskan proses hingga akh-
sebuah media alternatif yang bersifat indepen- irnya memutuskan bahwa mereka adalah seo-
den dan non-profit, seperti yang terlihat pada si- rang agnostik.
tusnya yang bebas iklan. Meskipun Magdalene.
comemiliki gatekeeper, namun isu-isu yang di-

59
Ria Hasna Shofiyya & Udi Rusadi, Negosiasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Ideologi Agnostisisme Di Majalah-Web Feminis

Kesimpulan dan Implikasi paikan penolakannya terhadap ideologi ini. Bagi


Merahasiakan identitas menjadi salah satu mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk
yang dapat dilakukan dalam melakukan negosi- berpendapat melalui artikelnya, kolom komen-
asi identitas. Akan tetapi, pada kasus tertentu, tar menjadi ruang yang tepat untuk menyam-
pemberontakan juga perlu dilakukan, khu- paikan pendapatnya. Oleh karena itu, terjadi
susnya ketika dalam posisi yang terpojokkan. pertarungan ideologi antara beberapa pembaca
Melalui analisis dua artikel di atas, bisa disim- yang religius dengan penulis di kolom komentar.
pulkan bahwa penulis masih dalam proses me- Meskipun demikian, secara keseluruhan, tidak
negosiasikan identitas mereka. Negosiasi yang banyak komentar yang bersifat kontra dengan
dilakukan belum mencapai tahap berhasil. Hal penulis. Mayoritas komentar justru mendukung
ini dikarenakan belum adanya persetujuan, pe­ pemikiran penulis. Beberapa di antaranya bah-
ngakuan, dan/atau penerimaan dari pihak dom- kan mengungkapkan kisah yang serupa den-
inan, yakni keluarga penulis yang masih memi- gan penulis pada komentarnya sebagai bentuk
liki pola pikir konservatif, terhadap identitas dukungan kepada penulis.
penulis yang menganut agnostisisme. Penelitian Terdapat beberapa implikasi teoretis dari pe-
ini mendukung beberapa asumsi teoretis negosi- nelitian ini. Implikasi yang pertama, penelitian
asi identitas yang dikemukakan oleh Ting-Toom- ini membuktikan bahwa struktur bahasa dapat
ey. Pertama, penelitian ini mendukung asumsi menentukan bagaimana ideologi penulis dan
Ting-Toomey yang mengungkapkan bahwa in- media direpresentasikan. Mengacu pada teori
dividu yang berada di lingkungan yang tertutup feminist stylistics yang dikemukakan oleh Mills
(dari segi pola pikirnya) akan cenderung men- (1995), sudut pandang teks, yang juga berkaitan
galami emotional insecurity. Hal ini ditunjukkan dengan subjek teks (cerita), akan menentukan
melalui kisah penulis yang sempat mengalami ideologi gender penulis media. Dalam artikel,
keterpurukkan karena harus merahasiakan subjektivikasi ini terlihat pada level kata, yak-
identitasnya dari keluarganya. Selain itu, ‘ke- ni penggunaan kata ganti orang pertama I, dan
gagalan’ proses negosiasi identitas yang terja- pada level diskursus, yang terlihat pada aspek
di pada penulis dapat disebabkan oleh belum fokalisasi. Subjektivikasi dalam teks merupakan
adanya integrasi terhadap motivasi, ilmu peng- aspek penting dalam penulisan feminis karena
etahuan, dan pola pikir antara penulis dan kel- mengindikasikan bahwa suara perempuan telah
uarganya. Padahal menurut teori Ting-Toomey, diperhitungkan dan tidak lagi dianggap trivial.
integrasi merupakan salah satu aspek penting Implikasi teoretis yang kedua berkaitan de­
yang perlu dimiliki oleh kedua belah pihak demi ngan identitas yang bersifat dinamis. Jika kem-
mencapai keberhasilan dalam menegosiasikan bali pada teori Stuart Hall, Ting-Toomey, dan
identitasnya. Swann, identitas merupakan sebuah konsep
Penelitian ini menunjukkan bahwa identitas yang akan terus berubah dan tidak ajeg. Budaya,
merupakan sebuah konsep yang dinamis dan pendidikan, dan lingkungan sosial memiliki pe­
tidak ajeg. Ketiga artikel di atas menunjukkan ran penting dalam membentuk identitias sese­
bagaimana penulis mempertahankan identitas orang. Lebih jauh, seperti yang dikatakan oleh
mereka sebagai seorang agnostik, namun di saat Ting-Toomey (1999, 2015) dan Swann (2008), ke-
yang bersamaan mereka juga merahasiakan tika identitas yang dimiliki individu tidak sesuai
identitas mereka di hadapan orang-orang ter- dengan lingkungannya, maka proses negosiasi
dekatnya. Agnostisisme merupakan sebuah ke- akan dilakukan. Penelitian ini mengkonfirmasi
percayaan atau paham yang belum sepenuhnya teori ini, dan hal ini terlihat pada cara penulis
dapat diterima dalam masyarakat Indonesia untuk menegosiasikan identitasnya di tengah
yang masih cenderung religius. Khususnya da- lingkungannnya yang konservatif.
lam kasus yang dialami oleh ketiga penulis di Sementara itu, asumsi praktis dari penelitian
atas, agnostisisme yang mereka anut menjadi ini adalah bahwa identitas sesorang bersifat ‘cair’
sebuah masalah karena mereka dibesarkan di dan dapat disesuaikan berdasarkan lingkugan di
lingkungan keluarga yang religius. Keraguan mana individu ini berada. Hal ini dilakukan guna
mereka akan eksistensi Tuhan bertolak belakang mencegah terjadinya konflik antara individu den-
dengan nilai-nilai moral dan religius yang dianut gan lingkungannya. Asumsi praktis yang kedua
oleh keluarga dan lingkungannya. Oleh karena adalah bahwa bahasa merupakan aspek penting
itu, mereka memilih untuk merahasiakan iden- yang dapat menunjukkan ideologi seseorang atau
titas mereka yang sesungguhnya demi mencegah suatu institusi media (dalam penelitian ini ada-
terjadinya konflik dalam keluarga. lah ideologi gender). Terakhir, penelitian ini juga
Sebagai safe space bagi publik yang ingin menunjukkan bahwa media alternatif dapat men-
menyuarakan pendapatnya mengenai isu-isu jadi ruang yang aman bagi individu untuk me­
sensitif seperti ini, Magdalene.co juga membe­ ngungkapkan identitas dirinya.
rikan peluang bagi mereka yang ingin menyam-

60
Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VII, Nomor 1, Maret 2018

Daftar Pustaka

Anggi. (2016, 24 Maret). Call Me An Infidel: A Hijabed Non-Believer Sto- Ishak, C. N. (2017, 17 November). Your Hijab Does Not Say Anything
ry. Magdalene https://Magdalene.co/news-739-call-me-an-infi- About You.http://Magdalene.co/news-1492-your-hijab-does-
del-a-hijabed-nonbeliever-story.html not-say-anything-about-you.html
Asmarani, Devi. (2017). Feminism Online. https://player.fm/series/ Kenix, L. J. (2009). Blogs As Alternative. Journal of Computer-Mediated-
talking-indonesia/devi-asmarani-feminism-online Communication, 14 (4), 790-822.
Badan Pusat Statistik. (2010). Data Penduduk Menurut Agama. Kirsch, M. H. (2000).Queer Theory And Social Change. New York: Rout-
Diakses dari http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/ta- ledge.
bel?searchtabel=Penduduk+Menurut+Wilayah+dan+Ag- Klaus, E.& Kassel,S. (2005). The Veil As A Means Of Legitimization:
a m a + ya n g + D i a n u t & t i d = 3 2 1 & s e a c h - w i l aya h = I n d o n e - An Analysis Of The Interconnectedness Of Gender, Media And
sia&wid=0000000000&lang=id War. Journalism, 6 (3), 335-355.
Bassow, S. A. (1992). Gender Stereotypes And Roles. California: Brooks/ Kompas. (2010, 19 April). MK Tolak Uji Materi UU Penodaan Agama.
ColePublishing. https://nasional.kompas.com/read/2010/04/19/18434764/
Baxter, L.A. & Babbie, E. (2004). The Basics of Communication Re- MK.Tolak.Uji.Materi.UU.Penodaan.Agama-4
search. Canada: Wadsworth. Lips, H. M. (2008). Sex & Gender: An Introduction. New York: Mc-
Bryman, A. (2008). Social Research Methods. Third Edition. New York: Graw-Hill Higher.
Oxford University Press. Majelis Ulama Indonesia. (2017). Penjelasan Tentang Fatwa Pluralisme,
Burgess, J., Cassidy, E., Duguay.S. (2016). Making Digital Cultures of Liberalismedan Sekularisme Agama. Majelis Ulama Indonesia.
Gender and Sexuality With Social Media. Social Media+Society, http://mui.or.id/wp-content/uploads/2017/02/12b.-Penjelas-
2(4). an-Tentang-Fatwa-Pluralisme-Liberalisme-dan-Se.pdf
Burke, P. J. (2006). Contemporary Social Psychological Theory. Stanford: Maryani, E. & Adiprasetyo, J. (2017). Magdalene.co sebagai Media Ad-
Stanford University Press. vokasiPerempuan. Jurnal Ilmu Komunikasi, 14, 111-124.
Byerly, C. M. & Ross, K. (2006). Women And Media: A Critical Introduc- Mills, S. (1995). Feminist Stylistics. London: Routledge.
tion. Oxford: Blackwell. Montiel, A. V. (2015). News Media Coverage of Women. Asia Pacific Me-
Chandler, D. (2002). The Basics Semiotics. New York: Routledge. diaEducator. London: Sage Publication.
Craig, E. (2005). The Shorter Routledge Encyclopedia Of Philosophy. Mukti, L. (2016, 31 Maret). Would You Still Love Me if You Knew I’m No-
New York:Routledge. tReligious Anymore,Mom?. Magdalene.https://Magdalene.co/
DeBeauvoir, S. (1953). The Second Sex. London: Jonathan Cape. news-745-would-youstill-love-me-if-you-knewi%E2%80%99m-
Erikson, E.H. (1994). Identity and The Life Cycle. New York: W.W. Norton not-religious-anymore-mom.html.
& Company. Mulder, A.. (2006). Divine Flesh, Embodied Word. Amsterdam: Amster-
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yog- dam University Press.
yakarta: LKiS. Neumann, L.W. (2007). Basics Of Social Research: Qualitative And
Evolvi, G. (2017). Hybrid Muslim Identities Ini Digital Space: The Italian Quantitative Approaches. Second Edition. Boston: Pearson.
Blog Yalla. Social Compass, 64 (2), 220-232. Ningrum, Mardiana Widia. (2016, 23 Mei). I don’t Need To Wear Hijab
Fiske, J. (1990). Introduction to Communication Studies. London: Rout- To Be A GoodPerson.Magdalene.https://Magdalene.co/news-
ledge. 806-no-idon%E2%80%99t-need-to-wear-hijab-to-be-a-good-
Gaunlett, D. (2008). Media, Gender and Identity: An Introduction. Lon- person.html.
don: Routledge. Oxford Online Dictionaries. (2018).
Geertz, C. (1960). The Religion of Java. Chicago: The University of Chi- Pilcher, J. & Whelehan, I. (2004). 50 Key Concepts in Gender Studies.
cago Press. London: Sage Publication.
Gould, R. (2016). Hijab as Commodity Form: Veiling, Unveiling, and Mis- Pingle, M. & Melkonyan, T. (2012). To Believe Or Not Believe…Or Not-
veiling in Contemporary Iran. Feminist Theory, 15 (3), 221-240. Decide: A Decision-Theoretic Model Of Agnosticism. Rationality
Hall, S. & Held, D. (1996). Modernity: An Introduction to Modern Societ- and Society, 24 (4), 408-441.
ies. Oxford: Blackwell Publishers. Ray, M. A. (2003). Subjectivity and Irreligion. Aldershot: Ashgate.Rout-
_______ & duGay, P. (1996). Questions of Cultural Identity. London: Sage ledge.
Publication. Rusadi, Udi. (2015). Kajian Media: Isu Ideologis. Jakarta: PT RajaGraf-
_______. (1997). Representation: Cultural Representation And Signifying indo Persada.
Practices. London: Sage Publication. Swann, W. B. (1987). Identity Negotiation: Where Two Roads Meet. Jour-
Hemming, J.P. (2017). Childhood, Youth and Non-Religion: Towards A nal of Personality And Psychology, 53 (6), 1038-1051.
Social Research Agenda. Social Compass, 64 (1), 113-129. _____________. & Bosson, J. (2008). Identity Negotiation: A Theory Of
Hennink, M., Hutter, I. & Bailey, A. (2011). Qualitative Research Meth- SelfAnd Social Interaction.
ods. London: Sage Publication. Ting-Toomey, S. (1999). Communicating Across Cultures. New York:
Hudson, D. L. (2008). Point Counterpoint: Blogging. New York: Infobase- TheGuilfordPress.
Publishing. Tremayne, M. (2007). Blogging, Citizenship, And The Future Of Media.
Humphrey, S. & Vered, K.O. (2012). Reflecting on Gender and Digital New York:Routledge
Networked Media. Television & New Media, 15 (1), 3-13. Wagner, W., Sen,R., Permanadeli, R.. Howarth,C.S. (2012). The Veil and
Huxley, Thomas. (1884). Agnosticism: A Symposium. The Agnostic An- Muslim Women’s Identity:Cultura Pressures and Resistance to
nual.https://mathcs.clarku.edu/huxley/UnColl/Rdetc/AgnAnn. Stereotype. Culture & Psychology, 18 (4), 521-541.
html
Indirani, F. (2017, 15 Mei). Atas Nama Kemuakan pada Patriarki, Maka
KulepasJilbabku. http://Magdalene.co/news-1217-atas-na-
ma-kemuakan-pada-patriarki:maka-kulepas-jilbabku.html

61

Anda mungkin juga menyukai