Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Anatomi Uterus

Uterus adalah organ genitalia femina interna yang memiliki panjang 8


cm, lebar 5 cm dan tebal 2-3 cm. Bagian-bagian uterus antara lain Corpus
uteri, Fundus uteri, Cervix uteri, serta Isthmus uteri yang menjadi penanda
transisi antara corpus dan cervix. Bagian memanjang di kedua sisi yang
merupakan penghubung antara corpus uteri dan ovarium disebut Tuba uterina.
Terdapat dua ruang dalam uterus, yaitu Cavitas uteri di dalam Corpus uteri
dan Canalis cervicis di dalam Cervix uteri. Dinding uterus terdiri dari 3
lapisan. Dimulai dari yang terdalam yaitu Tunica mukosa atau endometrium,
kemudian lapisan otot yang kuat disebut Tunica muscularis atau miometrium,
dan lapisan terluar adalah Tunica serosa atau perimetrium (Paulsen dan
Waschke, 2013).

Gambar 1. Anatomi Uterus

Uterus (rahim) merupakan organ yang tebal, berotot, berbentuk buah pir,
yang sedikit gepeng kearah muka belakang, terletak di dalam pelvis antara
rektum di belakang dan kandung kemih di depan. Ukuran uterus sebesar telur

14
ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas otot polos. Ukuran
panjang uterus adalah 7-7,5 cm lebar di atas 5,25 cm, tebal 1,25 cm. Berat
uterus normal lebih kurang 57 gram.

Pada masa kehamilan uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama


dibawah pengaruh estrogen dan progesterone yang kadarnya meningkat.
Pembesaran ini pada dasarnya disebabkan oleh hipertropi otot polos uterus,
disamping itu serabut-serabut kolagen yang ada menjadi higroskopik akibat
meningkatnya kadar estrogen sehingga uterus dapat mengikuti pertumbuhan
janin. Setelah Menopause, uterus wanita nullipara maupun multipara,
mengalami atrofi dan kembali ke ukuran pada masa predolesen.

Posisi uterus normal memiliki sudut di bagian ventral terhadap vagina


dan Corpus uteri melekuk ke anterior Portio vaginalis cervicis atau disebut
posisi antefleksi. Hal ini mencegah adanya prolaps Uterus melalui Vagina
selama peningkatan tekanan intraabdominal saat batuk dan bersin. Otot polos
uterus terdiri dari 2 sel penting, yaitu sel-sel otot polos dan sel intersisial yang
disebut telocyte. Sel-sel ini dapat ditemukan di organ lain seperti jantung,
trakea, placenta, pembuluh darah, dan lain-lain Perkembangan uterus
dipengaruhi oleh hormon maternal dan plasental. Pada saat lahir, besarnya
Corpus uteri lebih kecil atau sama dengan besar Cervix uteri. Saat dewasa,
ukuran corpus uteri dua atau tiga kali lebih besar dari cervix. Uterus
divaskularisasi oleh 2 arteri uterina, cabang dari arteri illiaca interna yang masuk
mulai dari kedua sisi lateral bawah uterus. Target steroid seks ovarium adalah
endometrium. Seiring dengan pertumbuhan folikel, terjadi perubahan histologik
pada endometrium. Ada 2 lapisan pada endometrium, yaitu lapisan basalis atau
nonfungsional dan lapisan fungsional. Lapisan basalis menempel pada
miometrium dan tidak banyak berubah selama siklus menstruasi. Disebut
nonfungsional karena tidak memberikan respon terhadap stimulus steroid seks.
Lapisan di atasnya adalah lapisan fungsional yang memberikan respon terhadap
stimulus sterois seks dan nantinya akan terlepas pada saat menstruasi. Pada hari
ke-7 pascaovulasi terjadi peningkatan kadar estrogen dan progesteron yang
memicu sintesis prostaglandin sehingga permeabilitas pembuluh darah kapiler
meningkat dan terjadi edema stroma. Dengan meningkatnya kadar estrogen,

14
progesteron, dan prostaglandin, menyebabkan proliferasi pembuluh darah
spiralis yang berlangsung sampai hari 22. Sel desidua mulai terbentuk pada
hari 22-23 siklus. Jika terjadi fertilisasi, uterus mengalami perubahan yang
nantinya mempengaruhi fisiologi hampir seluruh sistem dalam tubuh seperti
pernapasan, kardiovaskular, dan pencernaan. Volume uterus bisa membesar
hingga 1000 kali, dan beratnya lebih dari 20 kali pada masa kehamilan.
Pertumbuhan ukuran volume dan berat ini merupakan hasil dari hiperplasia
dan hipertropi Regulasi aktivitas uterus selama masa kehamilan terbagi
menjadi

Fase :

a. Fase 0, yaitu masa dimana terjadi aktivitas inhibitor yang


menyebabkan uterus tidak berkontraksi. Inhibitor yang bekerja di
antaranya progesteron, prostacyclin, relaxin, parathyroid hormone-
related peptide Nitric Oxide, kalsitonin, adrenomedullin, dan peptida
intestinal vasoaktif.
b. Fase 1 atau masa aktivasi myometrium dimana uterus mulai aktif
berkontraksi karena pengaruh dari uterotropin seperti estrogen. Fase
ini ditandai dengan menigkatnya ekspresi dari serangkaian reseptor
kontraksi seperti reseptor oksitosin dan prostaglandin, aktivasi
beberapa ion tertentu, dan peningkatan gap junction. Adanya
peningkatan gap junction adalah untuk pembentukan kontraksi yang
terkoordinasi.
c. Fase 2 atau fase stimulatorik, yaitu kelanjutan dari fase 1. Kontraksi

secara ritmis terjadi hingga menjelang partus. Hal ini diperantarai

oleh agonis uterotonik seperti prostaglandin dan oksitosin.

d. Fase 3 atau fase involusi. Pada fase ini terjadi involusi uterus setelah

terjadi partus. Mekanisme ini paling dipengaruhi oleh oksitosin.

14
B. Mekanisme Kontraksi

Kontraksi uterus memiliki fungsi penting dalam sistem reproduksi

wanita meliputi transport sperma dan embrio, menstruasi, kehamilan, dan

kelahiran. Kontraksi abnormal dan irreguler dapat menyebabkan masalah

infertilitas, kesalahan implantasi, dan kelahiran prematur. Sebaliknya, jika

kontraksi uterus tidak adekuat dan terkoordinasi, bayi akan sulit dilahirkan.

Lapisan yang paling berperan dalam kontraksi uterus adalah miometrium.

Pada dasarnya, uterus berkontraksi secara spontan dan reguler walaupun tidak

ada rangsangan hormonal. Selama masa kehamilan awal, uterus cenderung

dalam keadaan relaksasi. Kontraksi kuat akan muncul pada masa menjelang

partus di bawah pengaruh hormon oksitosin dan prostaglandin Sebagai sel

eksitabel, proses kontraksi miometrium pada wanita yang hamil dan tidak

hamil melalui mekanisme yang sama, yaitu difasilitasi oleh influks kalsium.

Aktivitas listrik pada sel-sel miosit uterus terjadi karena siklus depolarisasi

dan repolarisasi yang terjadi pada membran plasma uterus dan ini disebut

dengan potensial aksi. Potensial aksi diperantarai oleh beberapa jenis jalur,

seperti VGCC (Voltage Gated Calcium Channel), SOCE (store-operated

calcium entry), ROCE (receptor- operated calcium entry), dan atau melalui

penyimpanan kalsium di ruang intrasel. Kontraksi uterus dapat terjadi karena

adanya aktivitas spontan pada otot polos uterus yang disebabkan oleh

potensial aksi tersebut dan sangat bergantung pada peningkatan ion kalsium

intraseluler, elemen kontraksi, serta sistem konduksi antara sel-sel uterus.

14
Rangsangan otot polos uterus sangat ditentukan oleh pergerakan ion

natrium (Na+), kalsium (Ca2+) dan klorida (Cl-) ke dalam sitoplasma dan

gerakan ion kalium (K+) ke dalam ruang ekstraseluler. Sebelumnya, ketiga ion

ini terkonsentrasi di luar miometrium. Membran plasma biasanya lebih

permeabel terhadap K+ yang nantinya mengubah gradien elektrokimia hingga

terjadi potensial aksi pada miosit. Selanjutnya, depolarisasi membran plasma

membuka VGCC (Voltage Gated Calcium Channel) atau L-type Ca²⁺ Channel

yang mengakibatkan masuknya Ca²⁺ ke dalam sel. Ion Kalsium kemudian

membentuk ikatan kompleks dengan protein kalmodulin dan mengaktifkan

Myosin Light Chain Kinase (MLCK). MLCK harus memfosforilasi rantai

ringan 20-kDa dari myosin, memungkinkan interaksi molekul myosin dengan

aktin. Energi yang dilepaskan dari ATP oleh myosin ATPase menghasilkan

siklus cross-bridge antara aktin dan myosin untuk menghasilkan kontraksi

Oksitosin dan stimulan rahim lainnya (seperti prostaglandin) meningkatkan

kontraksi dengan mengikat reseptor spesifik mereka pada membran sel dan

menyebabkan monomer kecil G-protein berikatan dengan Guanosin-5-

Trifosfat (GTP) dan mengaktifkan Phospholipase C (PLC). Hal ini kemudian

akan membelah phosphatidylinositol bifosfat (PIP2) di membran sel dan

menghasilkan inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG) second

messenger. IP3 kemudian mengikat reseptor spesifik pada permukaan

Retikulum Sarkoplasma dan dengan demikian meningkatkan ion kalsium

intrasel. DAG mengaktifkan protein kinase C (PKC) yang juga akan

meningkatkan kontraksi (Otaibi, 2014). Gambar 2.2 menunjukkan mekanisme

influks kalsium hingga terjadi kontraksi.

14
BAB II

PATOFISIOLOGI

A. Definisi Mioma Uteri

Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos uterus yang terdiri dari sel-sel

jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen.3 Mioma uteri

disebut juga dengan leimioma uteri atau fibromioma uteri. Mioma ini

berbentuk padat karena jaringan ikat dan otot rahimnya dominan. Mioma uteri

merupakan neoplasma jinak yang paling umum dan sering dialami oleh

wanita. Neoplasma ini memperlihatkan gejala klinis berdasarkan besar dan

letak mioma.

Mioma uteri adalah tumor jinak ginekologi yang paling sering dijumpai,

ditemukan satu dari empat wanita usia reproduksi aktif (Muzakir cit Robbins,

1997). Mioma uteri dikenal juga dengan istilah leiomioma uteri, fibromioma

uteri atau uterin fibroid, ditemukan sekurang-kurangnya pada 20%-25%

wanita di atas usia 30 tahun. (Muzakir cit Djuwantono, 2004).

14
Berdasarkan otopsi Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun

mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih

banyak lagi. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarki.

Setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Di

Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-11,7 % dari semua penderita

genekologi yang dirawat .(Hanifa dkk, 2008)

Kejadian mioma uteri lebih tinggi pada usia di atas 35 tahun, yaitu

mendekati angka 40%. Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35-50

tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan estrogen. Mioma

uteri dilaporkan belum pernah terjadi sebelum menarke dan menopause

(Anonim, 2008).

Penelitian Ran Ok et-al di Pusan Saint Benedict Hospital Korea

menemukan 17% kasus mioma uteri dari 4784 kasus-kasus bedah ginekologi

yang diteliti (Muzakir cit Ran Ok et-al, 2007). Menurut penelitian yang di

lakukan Karel Tangkudung (1977) di Surabaya angka kejadian mioma uteri

adalah sebesar 10,30%, sebelumnya di tahun 1974 di Surabaya penelitian

yang dilakukan oleh Susilo Raharjo angka kejadian mioma uteri sebesar

11,87% dari semua penderita ginekologi yang dirawat (Muzakir cit Yuad H,

2005).

Sebagian besar kasus mioma uteri adalah tanpa gejala, sehingga

kebanyakan penderita tidak menyadari adanya kelainan pada uterusnya.

Diperkirakan hanya 20%-50% dari tumor ini yang menimbulkan gejala klinik,

14
terutama perdarahan menstruasi yang berlebihan, infertilitas, abortus berulang,

dan nyeri akibat penekanan massa tumor (Muzakir cit Djuwantono, 2004).

Menoragia yang disebabkan mioma uteri menimbulkan masalah medis

dan sosial pada wanita. Mioma uteri terdapat pada wanita di usia reproduktif,

pengobatan yang dapat dilakukan adalah histerektomi, dimana mioma uteri

merupakan indikasi yang paling sering untuk dilakukan histerektomi di USA

(1/3 dari seluruh angka histerektomi) (Lacey.C.G., 2007).

B. Epidemiologi

Berdasarkan otopsi Novak menemukan 27 % wanita berumur 25 tahun

mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih

banyak lagi. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarki.

Setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Di

Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-11,7 % dari semua penderita

genekologi yang dirawat .(Hanifa dkk, 2008)

C. Etiologi

Etiologi pasti belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara

pertumbuhan tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada

jaringan mioma uteri, serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter.

Pada ilmuwan telah mengidentifikasi kromosom yang membawa 145 gen

yang diperkirakan berpengaruh pada pertumbuhan fibroid. Beberapa ahli

mengatakan bahwa fibroid uteri diwariskan dari gen sisi paternal. Mioma

biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil setelah menopause,

sehingga diperkirakan dipengaruhi juga oleh hormon-hormon reproduksi

14
seperti estrogen dan progesteron. Selain itu, sangat jarang ditemukan sebelum

menarke, dapat tumbuh dengan cepat selama kehamilan dan kadang mengecil

setelah menopause (Hakim, 2009).

Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast.

Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan

ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada

tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan

pemberian preparat progesteron atau testosteron. Puukka dan kawan-kawan

menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak didapati dari

pada miometrium normal. Menurut Meyer asal mioma adalah sel imatur,

bukan dari selaput otot yang matur (Hanifa, 2008).

D. Klasifikasi Mioma Urteri

Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan

selebihnya adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut

arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain:

1. Mioma submukosa
2. Mioma intramural
3. Mioma subserosa
4. Mioma intraligamenter

14
Gambar 2. Klasifikasi Mioma Uteri

Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%),

subserosa (48%), submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%)

(Anonim, 2008).

1. Mioma submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga

uterus. Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering

memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun

besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma

submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan

perdarahan.

Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan

kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete

14
bump dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai

tumor.

Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma

submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis

mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari

rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma

yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada

beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena

proses di atas.

2. Mioma intramural
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena

pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk

simpai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai

banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-

benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding

depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong

kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.

3. Mioma subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol

pada permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat

tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma

intraligamenter.

14
4. Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain,

misalnya ke ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari

uterus sehingga disebut wondering parasitis fibroid. Jarang sekali

ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada servik

dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri

eksternum berbentuk bulan sabit.

Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari

bekas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan (whorie

like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar

yang terdesak karena pertumbuhan.

E. Perubahan Sekunder (Hanifa, 2008)


a) Atrofi : sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri
menjadi kecil.

b) Degenerasi hialin : perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita

c) Berusia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen.

Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya,

seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok

lainnya.

d) Degenerasi kistik : dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana

sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan

yang tidak teratur berisi.

seperti agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan

bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan konsistensi

14
yang lunak ini tumor sukar dibedakan dari kistoma ovarium atau suatu

kehamilan.

d) Degenerasi membatu (calcireous degeneration) : terutama terjadi pada

wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi.

Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka

mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto Rontgen.

e) Degenerasi merah (carneous degeneration) : perubahan ini biasanya terjadi


pada kehamilan dan nifas. Patogenesis: diperkirakan karena suatu nekrosis
subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat
sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan oleh
pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas
apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam,
kesakitan, tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan.
Penampilan klinik ini seperti pada putaran tangkai tumor ovarium atau
mioma bertangkai.
f) Degenerasi lemak: jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin.

F. Gejala Klinis
Gejala yang dikeluhkan sangat tergantung pada tempat sarang
mioma ini berada (servik, intramural, submukus, subserus), besarnya
tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Keluhan yang dirasakan
penderita Mioma Uteri sebagai keluhan utama pada umumnya adalah :
Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore,
menoraghi dan dapat juga terjadi metroragia . Hal ini sering menyebabkan
penderita juga mengalami anemia dari perdarahan yang terus-menerus
(Lacey.C.G., 2007).
Mekanisme terjadinya perdarahan abnormal ini sampai saat ini
masih menjadi perdebatan. Beberapa pendapat menjelaskan bahwa
terjadinya perdarahan abnormal ini disebabkan oleh abnormalitas dari
endometrium (Lacey.C.G., 2007). Tetapi saat ini pendapat yang dianut

14
adalah bahwa perdarahan abnormal ini disebabkan karena pengaruh
ovarium sehingga terjadilah hiperplasia endometrium sampai
adenokarsinoma, permukaan endometrium yang lebih luas, atrofi
endometrium di atas mioma submukosum, dan miometrium tidak dapat
berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma diantara serabut
miometrium . Pada Mioma Uteri submukosum diduga terjadinya
perdarahan karena kongesti, nekrosis, dan ulserasi pada permukaan
endometrium (Muzakir, 2008)
Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena
gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma. Pada pengeluaran mioma
submukosum yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya yang
menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga dismenore.
Selain hal diatas, penyebab timbulnya nyeri pada kasus mioma uteri adalah
karena proses degenerasi. Selain itu penekanan pada visera oleh ukuran
mioma uteri yang membesar juga bisa menimbulkan keluhan nyeri.
Dengan bertambahnya ukuran dan proses inflamasi juga menimbulkan
rasa yang tidak nyaman pada regio pelvis. (Muzakir, 2008)

14
BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

A. Proses Pengukuran dan Pemeriksaan Fisioterapi


Anamnesis Umum:

Nama : Ny. E

Jenis kelamin : Wanita

Usia : 43 tahun

Pekerjaan : IRT

Alamat : Wisma Unhas

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Denyut Nadi : 88x/menit

C: Nyeri bagian vagina

H: Pasien mengeluhkan pada sekitar vagina sejak seminggu yang lalu. Pada
saat masuk IGD. Pasien mengeluarkan darah dari jalan lahir. Nyeri pada perut,
mual muntah, BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien mandiri ke wc (ADL
DBN), pasien sudah foto thorax, periksa laboratorium dan histopatologi, riwayat
tidak ada dan belum dilakukan tindakan operasi.

A:

1. Inspeksi statis:
a. Pasien berbaring pada tempat tidur
b. Wajah tampak cemas
2. Inspeksi dinamis:
Mampu melakukan ambulasi baring ke duduk, berjalan ke wc

14
3. PFGD
Aktif Pasif TIMT
Regio Gerakan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Kurang Mampu,
Fleksi Hard feel, nyeri. Mampu, nyri
nyeri
Full ROM, soft
Ekstensi Full ROM Mampu
endfeel
Full Full
Lateral Full Full ROM, ROM,
Lumbal Mampu Mampu
fleksi ROM ROM soft soft
endfeel endfeel
Full Full
Full Full ROM, ROM,
Rotasi Mampu Mampu
ROM ROM soft soft
endfeel endfeel
Full Full
Full Full ROM, ROM,
Fleksi Mampu Mampu
ROM ROM soft soft
endfeel endfeel
Full Full
ROM, ROM,
Full Full
Ekstensi soft soft Mampu Mampu
ROM ROM
endfeel, endfeel,
nyeri nyeri
Terbatas, Terbatas
hard hard Kurang Kurang
Abduksi Terbatas Terbatas
endfeel, endfeel, Mampu Mampu
Hip
nyeri nyeri
Terbatas, Terbatas,
Adduksi Terbatas Terbatas hard hard Mampu Mampu
endfeel endfeel
Full Full
Full Full ROM, ROM,
Endorotasi Mampu Mampu
ROM ROM soft soft
endfeel endfeel
Full Full
Full Full ROM, ROM,
Eksorotasi Mampu Mampu
ROM ROM soft soft
endfeel endfeel
4. Palpasi:
a. Suhu : (-) / normal
b. Tenderness : (-)
c. Oedem : (-) / normal
d. Kontur Kulit : (-) / normal, tidak ada perlengketan

14
R:

1. Limitasi ROM :-
2. Limitasi ADL : ADL Ambulasi, selfcare, sex
3. Limitasi pekerjaan : terganggu
4. Limitasi rekreasi :-
T:

1. Muskulotendinogen :-
2. Osteoarthrogen :-
3. Neurogen :-
4. Psikogenik : cemas

S:
1. Foto Thorax
Vesikuler, Wheezing
2. Histopatologi
Suspek infiltrasi ca cervics
Kesimpulan : Kesan suatu metastase squarmeus cell carcinoma pada buli-
buli
3. Bunyi jantung : BJ II Reguler
4. Abdomen : Peristaltik kesan normal
5. Vas Diam : 0
Tekan : 2
Gerak : 3
6. HRS – A : 20 (Kecemasan sedang)

Diagnosis : “Gangguan fungsional ambulasi, selfcare, dan sex berupa nyeri pada
vagina e.c ca cervics stend II sejak 2 minggu yang lalu”

14
Problem :
Primer : Nyeri pada bagian vagina
Sekunder : Cemas, sesak nafas
Kompleks : Gangguan ADL (ambulasi, selfcare, sex)

Tujuan Fisioterapi :
Jangka pendek : Mengurangi kecemasan, mencegah decubitus, mengurangi sesak
nafas, menjaga elastisitas jaringan, memelihara ROM.
Jangka panjang : Mengembalikan fungsi ADL pasien

Program Fisioterapi
No Problem Modlitas Terpilih Dosis

1 Cemas Komunikasi F: Ix/hari


terapeutik I: Pasien focus
T:Pendekatan intrapersonal
T: selama terapi

2 Memelihara Exc, Therapy F: 1x/hari


Pernapasan I: 10 hit, 3 rep
T: Breathing Exc, Deep
breathing
T: 3 menit

F: Ix/hari
I: 10 hit, 3 rep
T: positioning
T: 2 menit

14
3 Memelihara Exc. Therapy F: 1x/hari
kekuatan otot dan I: 10 hit, 3 rep
stabilitas sendi T: AAROMEX
T: 3 menit

F: 1x/hari
Mencegah
4 decubitus Manual Therapy I: 1x/2 jam
T: Ambulansi
T: 1 menit
Menjaga F: 1x/hari
Elastisitas
5 Jaringan Exercise Therapy I: 8 hit/3 rep
T: Bridging exc
T: 1 menit
F: 1x/hari
I: 8 rep/ 3 set
T: Aromex
Memelihara
6 ROM Exercise Therapy T: 1 menit

14

Anda mungkin juga menyukai