Diajukan kepada :
Disusun oleh :
SMF RADIOLOGI
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Disusun oleh :
Januari 2019
Pembimbing,
Stroke secara garis besar dibagi menjadi dua subtipe, yaitu stroke
hemoragik dan stroke non-hemoragik. Prevalensi stroke non-hemoragik lebih
tinggi dibandingkan stroke hemoragik (10-20%), namun stroke hemoragik
memiliki angka mortalitas, disabilitas, dan tingkat keparahan penyakit yang lebih
tinggi dengan case fatality rate mencapai 40% pada 1 bulan dan 54% pada 1
tahun. Stroke hemoragik juga dapat menyebabkan disabilitas berat, dimana hanya
12-39% penderita saja yang dapat pulih dan tidak ketergantungan secara
fungsional. Stroke hemoragik lebih sering terjadi pada ras asia, jenis kelamin laki-
laki, usia lanjut, dan pada negara berkembang (Ikram et al., 2012; Liebeskind,
2017).
Stroke hemoragik disebabkan oleh adanya perdarahan langsung pada
parenkim otak (perdarahan intraserebral/ICH). ICH biasanya terjadi akibat
rupturnya pembuluh darah pada otak karena hipertensi kronis atau kelainan
vaskuler lainnya (An et al., 2017).
Brain imaging merupakan salah satu penunjang yang penting dan
dibutuhkan untuk mengevaluasi kecurigaan adanya stroke hemoragik. Selain itu,
brain imaging juga diperlukan untuk mengidentifikasi komplikasi yang mungkin
menyertai, seperti perdarahan intraventrikular (IVH), edema otak, dan
hidrosefalus. Modalitas yang digunakan dapat berupa CT-scan atau MRI
(Liebeskind, 2017).
Stroke hemoragik/ICH merupakan kasus emergensi yang memerlukan
diagnosis dan penanganan segera. Sehingga penting bagi dokter untuk mengetahui
tanda-tanda klinis maupun tanda-tanda radiologis serta tatalaksana yang tepat
pada kasus ini.
II. STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. Niftahudin Misran
Usia : 66 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
No. CM : 02080597
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Kelemahan anggota gerak kanan dan sulit bicara.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSMS 29/12/2018 dengan keluhan utama
kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan disertai sulit berbicara.
Keluhan dirasakan sejak beberapa jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
juga mengeluhkan sering mengalami nyeri kepala disertai muntah sejak 1
minggu terakhir. Pasien mengaku memiliki penyakit darah tinggi sejak
lama dan tidak rutin berobat dan tidak patuh meminum obat penurun
tekanan darah. Pasien belum pernah mengalami gejala yang sama
sebelumnya.
3. Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat Trauma : (-)
- Riwayat Hipertensi : (+)
- Riwayat DM : (-)
- Riwayat Stroke : (-)
- Riwayat Penyakit Ginjal : (-)
- Riwayat Penyakit Jantung : (-)
- Riwayat Asma : (-)
- Riwayat Operasi : (-)
- Riwayat Alergi Obat : (-)
C. Pemeriksaan Fisik
1. KU/Kesadaran : Tampak lemah / CM
2. Tanda-Tanda Vital:
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
RR : 20x/menit
Nadi : 90x/menit
Suhu : 37,0°C
3. Status Generalis
- Mata : ca -/- si -/- pupil isokor 3 mm/3 mm RC +/+
- Hidung : NCH -/-
- Mulut : Sianosis (-)
- Telinga : Discharge (-)
- Leher : Pembesaran KGB -/-
- Thoraks : Simetris, retraksi (-)
- Pulmo : SD Ves +/+, RBK -/-, RBH -/-, wheezing -/-
- Cor : S1>S2, murmur -, gallop -
- Abdomen : Datar, supel, timpani, NT (-), bising usus (+) N
- Ekstremitas atas : Edema -/-, akral hangat +/+
- Ekstremitas bawah : Edema -/-, akral hangat +/+
4. Status Neurologis
a.) Nervus cranialis
- N. II : RC +/+, pupil isokor 3mm/3mm
- N. III, IV,VI : GBM sdn
- N. VII : Merot (-)
- N. XII : Sdn
b.) Motorik
Superior : - Gerak T/B
- Tonus n/n
- RF +/+
- KM 1/5
- Trofi eu/eu
- RP -/-
Inferior : - Gerak T/B
- Tonus n/n
- RF +/+
- KM 1/4
- Trofi eu/eu
- RP -/-
c.) Status Vegetatif
BAB (+), BAK (+) DC
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap RSMS (30/12/2018)
Hemoglobin : 11.9
Leukosit : 9330
Hematokrit : 38
Eritrosit : 5.9
Trombosit : 121.000
Ureum : 46.5
Kreatinin : 0.85
GDS : 132
2. Pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras RSMS (29/12/2018)
Deskripsi :
- Tampak lesi hiperdens pada thalamus kiri dan korona radiata kiri (vol.
3.3 cc) disertai edema perifokal
- Tampak spot hipodens pada sentrum semiovale kiri, korona radiata
kiri, nukleus lentiformis kiri, dan pins paramedial kanan
- Sulkus kortikalis dan fissura sylvii kanan-kiri baik
- Ventrikel lateralis kanan kiri, III, dan IV baik
- Sistema perimesenfali baik
- Tak tampak midline shifting
- Pons dan cerebellum baik
- Pada bone window tak tampak kesuraman pada sinus paranasal
maupun mastoid air cell
Kesan :
- ICH pada thalamus kiri, kapsula interna kiri, dan korona radiata kiri
(vol 3.3 cc) disertai edema perifokal, suspect subacute ICH.
- Infark lakuner lama pada sentrum semiovale kiri, korona radiata kiri,
nukleus lentiformis kiri, dan pons paramedian kanan
- Tak nyata peningkatan TIK saat ini
E. Diagnosis Kerja
Diagnosis klinis : Hemiparese dextra
Diagnosis topis : Talamus sinitra, capsula interna sinistra, corona radiata
sinistra
Diagnosis etiologis : SH, ICH
Diagnosis sekunder : Hipertensi
F. Tatalaksana
O2 4 LPM NK
DC-NGT
IVFD RL 20 tpm
Inf manitol 4 x 100 cc
Inj citicolin 2 x 250 mg
Inj mecobalamin 1 x 500 mcg
Inj paracetamol 3 x 1 gr
PO amlodipin 1 x 10 mg
PO kandesartan 1 x 8 mg
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kepala
Kepala dilapisi oleh suatu susunan lapisan di bagian luar yang disebut
scalp. Scalp terdiri dari kulit (skin), jaringan ikat subkutikular, galea
aponeurotica, jaringan ikat longgar subaponeurotica, dan periosteum
(pericranium). Lapisan galea dan periosteum bersifat mobile, sehingga di
antaranya dapat terjadi pengisian darah saat terjadi trauma kepala yang disebut
dengan subgaleal hematoma (Rohkamm, 2004).
B. Stroke Hemoragik
1. Definisi
WHO mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang
berkembang secara cepat akibat gangguan otak fokal atau global dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain selain gangguan
vaskuler. Stroke hemoragik merupakan salah satu subtipe stroke dengan
prevalensi kedua tertinggi. Stroke hemoragik terjadi akibat rupturnya
vaskuler intraserebrum yang menyebabkan perdarahan langsung ke
parenkim otak atau rongga subaraknoid (Hasan, 2003; Price, 2006).
2. Epidemiologi
Insidensi SH cenderung tinggi pada laki-laki, ras asia, dan penduduk
negara-negara berkembang. Insidensi kasus ini juga cenderung meningkat
seiring bertambahnya usia. Insidensi SH cenderung menurun pada negara-
negara maju dengan berkembangnya terapi kontrol hipertensi (An et al.,
2017).
Tahun 2012, WHO mencatat terdapat 31% dari 56,5 juta orang
meninggal akibat penyakit kardiovaskuler. 6,7 juta diantaranya disebabkan
oleh stroke. Prevalensi stroke hemoragik mencapai 10-20% dari semua
kasus stroke di dunia. Di Indonesia (RISKESDAS, 2013), angka kejadian
stroke juga cukup tinggi yaitu sebesar 12,1%. Prevalensi tertinggi terjadi
pada usia lanjut dan status ekonomi rendah (usia >75 tahun yaitu sebesar
67%, ekonomi tingkat bawah 13,1%)(Ikram et al., 2017; KEMENKES RI,
2017).
4. Patofisiologi
a.) Perubahan vaskuler akibat hipertensi kronik
SH paling sering disebabkan oleh adanya degenerasi vaskuler
akibat hipertensi kronik yang mengakibatkan rupturnya pembuluh
darah otak. Pada pemeriksaan histologis, nampak degenerasi yang jelas
terutama pada lapisan tunika media dan muskularis (An et al., 2017).
b.) Cerebral amyloid angiopathy (CAA)
CAA ditandai dengan adanya deposisi amiloid-B peptida pada
kapiler, arteriol, arteri kecil dan medium pada korteks serebri,
leptomeninges, dan serebelum. CAA pada pembuluh darah kecil otak
dapat menyebabkan ICH, terutama pada penserita usia lanjut. CAA
disebabkan oleh adanya kelainan genetik yang mengkode
apolipoprotein E pada kromosom 19 (An et al., 2017).
c.) Proses molekuler
ICH akan menyebabkan penekanan pada parenkim otak akibat
massa hematom yang terbentuk akibat perdarahan, yang kemudian
berlanjut dengan adanya kerusakan fisik struktur parenkim otak dan
kerusakan neuron. Kerusakan pada neuron menyebabkan munculnya
respon inflamasi dan perdarahan yang muncul menyebabkan aktivasi
kaskade pembekuan darah. Respon inflamasi akan menyebabkan
ekstravasasi yang berujung pada edema serebral. Faktor-faktor
inflamasi yang muncul dapat menyebabkan proses nekrosis dan
apoptosis sebagai respon rusaknya sel-sel otak (An et al., 2017).
5. Penegakan diagnosis
a.) Gejala klinis
Gejala SH sering muncul secara tiba-tiba saat pasien melakukan
rutinitas harian. Gejala defisit neurologis yang menyertai biasanya
muncul dan berkembang dalm hitungan menit hingga jam. Gejala
klinis yang muncul ditentukan oleh lokasi perdarahan dan ukuran atau
volume perdarahan. Gejala tersering yang dialami pasien yaitu nyeri
kepala, mual, dan muntah. Gejala lain yang dapat muncul diantaranya
penurunan kesadaran dan kejang. Penurunan kesadaran menunjukan
adanya peningkatan TIK dan/atau penekanan pada talamus dan
brainstem. Kejang biasanya dialami pasien saat onset perdarahan atau
dalam 24 jam sejak onset. Pasien dengan ICH supratentorial yang
melibatkan basal ganglia atau talamus akan menunjukan gejala defisit
neurologis sensorimotorik yang bersifat kontralateral. ICH lobaris
dapat disertai dengan gangguan fungsi luhur (afasia, neglect,
hemianopsia) (An et al., 2017).
b.) Pemeriksaan penunjang
Brain imaging merupakan gold standard dalam mendiagnosis
ICH. Melalui brain imaging, dokter dapat membedakan subtipe stroke
(SH atau SNH), komplikasi atau penyebaran perdarahan ke struktur
lain (contoh: perdarahan intraventrikular), adanya edema otak atau
hidrosefalus. Modalitas yang dapat digunakan berupa CT-scan dan
MRI (Liebeskind, 2017).
6. Tatalaksana
Hal pertama yang harus dilakukan pada pasien dengan SH adalah
basic life support (primer dan sekunder). Selanjutnya dilakukan kontrol
perdarahan, kejang, kontrol tekanan darah, dan tekanan intrakranial.
Kontrol perdarahan dapat dilakukan dengan pemberian obat koagulan
dan/atau pemberian cairan infus hiperosmotik. Cairan hiperosmotik juga
bermanfaat untuk mengurangi edema serebri dan menurunkan tekanan
intrakranial. Antikonvulsan dapat diberikan jika pasien mengalami kejang
(contoh: diazepam, fenitoin). Obat pengontrol tekanan darah juga perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan ICH. Prosedur pembedahan berupa
evakuasi hematom serebral dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
solusi kasus ini (Liebeskind, 2017).
7. Prognosis
Kasus SH memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan SNH, baik
angka morbiditas maupun mortalitas (Ikram et al., 2012). Berikut beberapa
faktor yang menandakan prognosis buruk dari SH (An et al., 2017).
Tabel. Faktor – faktor petanda prognosis buruk pada ICH.
C. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial adalah merupakan akumulasi perdarahan dalam
kondisi patologis yang terjadi di dalam parenkim otak maupun pada rongga
diantara meningen. Gold standard dalam mendiagnosis perdarahan intrakranial
adalah dengan pemeriksaan CT-scan. Berdasarkan lokasi perdarahannya,
perdarahan intrakranial dibagi menjadi beberapa subtipe. Masing-masing
subtipe memiliki gambaran khas pada pemeriksaan CT-scan. Berikut subtipe
perdarahan intrakranial:
1. Epidural Hemorrhagic (EDH)
EDH adalah perdarahan yang terjadi di ruang epidural, yaitu ruang
antara periosteum os cranium dan duramater. Perdarahan bersumber dari
rupturnya arteri meningea media. Pada fase awal, EDH biasanya tidak
menunjukan tanda-tanda klinis yang jelas. Seiring bertambahnya volume
perdarahan, tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial mulai
muncul (sakit kepala, muntah, kejang, penurunan kesadaran). Gejala khas
pada kasus EDH adalah adanya lucid interval, yaitu fase penurunan
kesadaran dan fase sadar dalam periode menit hingga jam post onset
perdarahan. Pada pemeriksaan CT-scan, EDH menunjukan gambaran lesi
hiperdens yang berbentuk bikonveks di sekitar tulang kepala.
An, S.J., Kim, T.J., Yoon, B.W. 2017. Epidemiology, Risk Factor, and Clinical Features of
Intracerebral Hemorrhage: An Update. Journal of Stroke. 19(1): 3-10.
Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6. EGC, Jakarta.
2006.