Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI KASUS

STROKE HEMORAGIK, PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Diajukan kepada :

dr. Esti Etikaningtyas, Sp.Rad

Disusun oleh :

Laelatul Faizah G4A018012


M. Rifqi Jazuli G4A018013

SMF RADIOLOGI
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

STROKE HEMORAGIK, PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Disusun oleh :

Laelatul Faizah G4A018012


M. Rifqi Jazuli G4A018013

Telah dipresentasikan pada,

Januari 2019

Pembimbing,

dr. Esti Etikaningtyas, Sp. Rad


I. PENDAHULUAN

Stroke secara garis besar dibagi menjadi dua subtipe, yaitu stroke
hemoragik dan stroke non-hemoragik. Prevalensi stroke non-hemoragik lebih
tinggi dibandingkan stroke hemoragik (10-20%), namun stroke hemoragik
memiliki angka mortalitas, disabilitas, dan tingkat keparahan penyakit yang lebih
tinggi dengan case fatality rate mencapai 40% pada 1 bulan dan 54% pada 1
tahun. Stroke hemoragik juga dapat menyebabkan disabilitas berat, dimana hanya
12-39% penderita saja yang dapat pulih dan tidak ketergantungan secara
fungsional. Stroke hemoragik lebih sering terjadi pada ras asia, jenis kelamin laki-
laki, usia lanjut, dan pada negara berkembang (Ikram et al., 2012; Liebeskind,
2017).
Stroke hemoragik disebabkan oleh adanya perdarahan langsung pada
parenkim otak (perdarahan intraserebral/ICH). ICH biasanya terjadi akibat
rupturnya pembuluh darah pada otak karena hipertensi kronis atau kelainan
vaskuler lainnya (An et al., 2017).
Brain imaging merupakan salah satu penunjang yang penting dan
dibutuhkan untuk mengevaluasi kecurigaan adanya stroke hemoragik. Selain itu,
brain imaging juga diperlukan untuk mengidentifikasi komplikasi yang mungkin
menyertai, seperti perdarahan intraventrikular (IVH), edema otak, dan
hidrosefalus. Modalitas yang digunakan dapat berupa CT-scan atau MRI
(Liebeskind, 2017).
Stroke hemoragik/ICH merupakan kasus emergensi yang memerlukan
diagnosis dan penanganan segera. Sehingga penting bagi dokter untuk mengetahui
tanda-tanda klinis maupun tanda-tanda radiologis serta tatalaksana yang tepat
pada kasus ini.
II. STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. Niftahudin Misran
Usia : 66 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
No. CM : 02080597
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Kelemahan anggota gerak kanan dan sulit bicara.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSMS 29/12/2018 dengan keluhan utama
kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan disertai sulit berbicara.
Keluhan dirasakan sejak beberapa jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
juga mengeluhkan sering mengalami nyeri kepala disertai muntah sejak 1
minggu terakhir. Pasien mengaku memiliki penyakit darah tinggi sejak
lama dan tidak rutin berobat dan tidak patuh meminum obat penurun
tekanan darah. Pasien belum pernah mengalami gejala yang sama
sebelumnya.
3. Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat Trauma : (-)
- Riwayat Hipertensi : (+)
- Riwayat DM : (-)
- Riwayat Stroke : (-)
- Riwayat Penyakit Ginjal : (-)
- Riwayat Penyakit Jantung : (-)
- Riwayat Asma : (-)
- Riwayat Operasi : (-)
- Riwayat Alergi Obat : (-)
C. Pemeriksaan Fisik
1. KU/Kesadaran : Tampak lemah / CM
2. Tanda-Tanda Vital:
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
RR : 20x/menit
Nadi : 90x/menit
Suhu : 37,0°C
3. Status Generalis
- Mata : ca -/- si -/- pupil isokor 3 mm/3 mm RC +/+
- Hidung : NCH -/-
- Mulut : Sianosis (-)
- Telinga : Discharge (-)
- Leher : Pembesaran KGB -/-
- Thoraks : Simetris, retraksi (-)
- Pulmo : SD Ves +/+, RBK -/-, RBH -/-, wheezing -/-
- Cor : S1>S2, murmur -, gallop -
- Abdomen : Datar, supel, timpani, NT (-), bising usus (+) N
- Ekstremitas atas : Edema -/-, akral hangat +/+
- Ekstremitas bawah : Edema -/-, akral hangat +/+
4. Status Neurologis
a.) Nervus cranialis
- N. II : RC +/+, pupil isokor 3mm/3mm
- N. III, IV,VI : GBM sdn
- N. VII : Merot (-)
- N. XII : Sdn
b.) Motorik
Superior : - Gerak T/B
- Tonus n/n
- RF +/+
- KM 1/5
- Trofi eu/eu
- RP -/-
Inferior : - Gerak T/B
- Tonus n/n
- RF +/+
- KM 1/4
- Trofi eu/eu
- RP -/-
c.) Status Vegetatif
BAB (+), BAK (+) DC
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap RSMS (30/12/2018)
Hemoglobin : 11.9
Leukosit : 9330
Hematokrit : 38
Eritrosit : 5.9
Trombosit : 121.000
Ureum : 46.5
Kreatinin : 0.85
GDS : 132
2. Pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras RSMS (29/12/2018)
Deskripsi :
- Tampak lesi hiperdens pada thalamus kiri dan korona radiata kiri (vol.
3.3 cc) disertai edema perifokal
- Tampak spot hipodens pada sentrum semiovale kiri, korona radiata
kiri, nukleus lentiformis kiri, dan pins paramedial kanan
- Sulkus kortikalis dan fissura sylvii kanan-kiri baik
- Ventrikel lateralis kanan kiri, III, dan IV baik
- Sistema perimesenfali baik
- Tak tampak midline shifting
- Pons dan cerebellum baik
- Pada bone window tak tampak kesuraman pada sinus paranasal
maupun mastoid air cell
Kesan :
- ICH pada thalamus kiri, kapsula interna kiri, dan korona radiata kiri
(vol 3.3 cc) disertai edema perifokal, suspect subacute ICH.
- Infark lakuner lama pada sentrum semiovale kiri, korona radiata kiri,
nukleus lentiformis kiri, dan pons paramedian kanan
- Tak nyata peningkatan TIK saat ini
E. Diagnosis Kerja
Diagnosis klinis : Hemiparese dextra
Diagnosis topis : Talamus sinitra, capsula interna sinistra, corona radiata
sinistra
Diagnosis etiologis : SH, ICH
Diagnosis sekunder : Hipertensi
F. Tatalaksana
O2 4 LPM NK
DC-NGT
IVFD RL 20 tpm
Inf manitol 4 x 100 cc
Inj citicolin 2 x 250 mg
Inj mecobalamin 1 x 500 mcg
Inj paracetamol 3 x 1 gr
PO amlodipin 1 x 10 mg
PO kandesartan 1 x 8 mg
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kepala
Kepala dilapisi oleh suatu susunan lapisan di bagian luar yang disebut
scalp. Scalp terdiri dari kulit (skin), jaringan ikat subkutikular, galea
aponeurotica, jaringan ikat longgar subaponeurotica, dan periosteum
(pericranium). Lapisan galea dan periosteum bersifat mobile, sehingga di
antaranya dapat terjadi pengisian darah saat terjadi trauma kepala yang disebut
dengan subgaleal hematoma (Rohkamm, 2004).

Gambar 1. Anatomi struktur Scalp.


Tulang tengkorak atau cranium merupaka struktur yang menentukan
bentuk kepala. Struktur ini memiliki ketebalan yang bervariasi. Bagian yang
lebih tipis yaitu regio orbita dan temporal, menyebabkan bagian tersebut lebih
rentan terhadap fraktur pada trauma kepala. Cranium dibentuk oleh 6 buah
tulang besar, yaitu os frontal, os parietal, os temporal, os occipital, os
sphenoid, dan os ethmoid. Os oksipital terletak di bagian posteroinferior
kepala, membentuk bagian dasar cranium. Os parietal terletak di bagian
superolateral cranium, membentuk atap dan sisi cranium. Os frontalis terletak
dibagian anterior, membentuk dahi dan rongga mata. Os temporalis terletak di
inferolateral cranium, membangun bagian lateral dan bawah cranium. Os
ethmoid berbentuk kubus dan terletak di antara rongga mata. Os sphenoid
terletak di posterior os ethmoid, berbentuk seperti kelelawar (Netter, 2006).
Gambar 2. Anatomi tulang cranium (lateral view).

Gambar 3. Anatomi cranium potongan midsagital.


Meninges merupakan membran yang melapisi bagian luar otak. Struktur
ini terdiri dari 3 lapisan, yaitu duramater, arkhnoideamater, dan piamater.
Duramater berbatasan langsung dengan tulang penyusun cranium. Diantara
duramater dan periosteum tulang cranium, terdapat suatu ruangan yang disebut
epidural space. Celah diantara duramater dan periosteum dapat melebar dan
terisi darah pada proses patologis, seperti epidural hematoma. Di bagian
inferior duramater, terdapat membran arakhnoid. Ruang diantara duramater
dan arakhnoideamater disebut subdural space. ruangan tersebut berisi kapiler-
kapiler dan perhubungan vena-vena, sehingga saat terjadi perlukaan dapat
muncul perdarahan di dalamnya, disebut subdural hematom. Lapisan paling
profunda dari meninges adalah pia mater. Lapisan ini menempel langsung
pada parenkim otak dengan bentuk mengikuti sulkus dan girus. Ruang
diantara piamater dan membran subarakhnoid disebut subarachnoid space.
Ruang ini terisi oleh cerebrospinal fluid (CSF)(Rohkamm, 2004).

Gambar 4. Anatomi struktur meninges.


Otak manusia dibagi menjadi 4 bagian besar, yaitu batang otak,
sereblum, diensefalon, dan serebrum. Batang otak tersambung dengan corda
spinalis dan dibangun oleh struktur medulla oblongata, pons, dan midbrain.
Serebelum terletak di bagian posterior batang otak. Di bagian superior batang
otak terdapat struktur diensefalon, terdiri atas talamus, hipotalamus, dan
epitalamus. Serebrum merupakan bagian terbesar dari otak, terdiri dari
hemisfer dextra dan sinistra (Tortora, 2010).
Gambar 5. Anatomi struktur otak.
Serebrum terdiri dari bagian korteks, lapisan gray matter, dan white
matter. Hemisfer kanan dan kiri dibagi oleh suatu celah yang disebut sulkus
sagitalis. Kedua hemisfer dihubungkan oleh struktur korpus kalosum.
Serebrum terdiri atas 4 lobus, yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus
temporal, dan lobus oksipital. Lobus frontal dan lobus parietal dipisahkan oleh
sulkus sentralis. Sulkus lateral serebri memisahkan lobus frontal dan temporal.
Sedangkan lobus parietal dan lobus oksipital dipisahkan oleh sulkus parieto-
oksipital (Tortora, 2010).
Gambar 6. Lobus-lobus serebri.

B. Stroke Hemoragik
1. Definisi
WHO mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang
berkembang secara cepat akibat gangguan otak fokal atau global dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain selain gangguan
vaskuler. Stroke hemoragik merupakan salah satu subtipe stroke dengan
prevalensi kedua tertinggi. Stroke hemoragik terjadi akibat rupturnya
vaskuler intraserebrum yang menyebabkan perdarahan langsung ke
parenkim otak atau rongga subaraknoid (Hasan, 2003; Price, 2006).
2. Epidemiologi
Insidensi SH cenderung tinggi pada laki-laki, ras asia, dan penduduk
negara-negara berkembang. Insidensi kasus ini juga cenderung meningkat
seiring bertambahnya usia. Insidensi SH cenderung menurun pada negara-
negara maju dengan berkembangnya terapi kontrol hipertensi (An et al.,
2017).
Tahun 2012, WHO mencatat terdapat 31% dari 56,5 juta orang
meninggal akibat penyakit kardiovaskuler. 6,7 juta diantaranya disebabkan
oleh stroke. Prevalensi stroke hemoragik mencapai 10-20% dari semua
kasus stroke di dunia. Di Indonesia (RISKESDAS, 2013), angka kejadian
stroke juga cukup tinggi yaitu sebesar 12,1%. Prevalensi tertinggi terjadi
pada usia lanjut dan status ekonomi rendah (usia >75 tahun yaitu sebesar
67%, ekonomi tingkat bawah 13,1%)(Ikram et al., 2017; KEMENKES RI,
2017).

3. Faktor risiko (An et al., 2017)


Modifiable risk factors Non-modifiable risk Faktor risiko lain
factors
Hipertensi Usia lanjut Multiparitas
Perokok aktif Jenis kelamin laki-laki Kondisi kerja yang
buruk
Alkoholism Ras asia Durasi tidur yang
LDL dan trigliserid CAA terlalu lama
rendah
Antikoagulan Cerebral microbleed
Penggunaan agen CKD
antiplatelet
Obat-obatan simptomatik
(kokain, heroin,
amfetamin,
fenilpropanolamin,
efedrin)

4. Patofisiologi
a.) Perubahan vaskuler akibat hipertensi kronik
SH paling sering disebabkan oleh adanya degenerasi vaskuler
akibat hipertensi kronik yang mengakibatkan rupturnya pembuluh
darah otak. Pada pemeriksaan histologis, nampak degenerasi yang jelas
terutama pada lapisan tunika media dan muskularis (An et al., 2017).
b.) Cerebral amyloid angiopathy (CAA)
CAA ditandai dengan adanya deposisi amiloid-B peptida pada
kapiler, arteriol, arteri kecil dan medium pada korteks serebri,
leptomeninges, dan serebelum. CAA pada pembuluh darah kecil otak
dapat menyebabkan ICH, terutama pada penserita usia lanjut. CAA
disebabkan oleh adanya kelainan genetik yang mengkode
apolipoprotein E pada kromosom 19 (An et al., 2017).
c.) Proses molekuler
ICH akan menyebabkan penekanan pada parenkim otak akibat
massa hematom yang terbentuk akibat perdarahan, yang kemudian
berlanjut dengan adanya kerusakan fisik struktur parenkim otak dan
kerusakan neuron. Kerusakan pada neuron menyebabkan munculnya
respon inflamasi dan perdarahan yang muncul menyebabkan aktivasi
kaskade pembekuan darah. Respon inflamasi akan menyebabkan
ekstravasasi yang berujung pada edema serebral. Faktor-faktor
inflamasi yang muncul dapat menyebabkan proses nekrosis dan
apoptosis sebagai respon rusaknya sel-sel otak (An et al., 2017).

5. Penegakan diagnosis
a.) Gejala klinis
Gejala SH sering muncul secara tiba-tiba saat pasien melakukan
rutinitas harian. Gejala defisit neurologis yang menyertai biasanya
muncul dan berkembang dalm hitungan menit hingga jam. Gejala
klinis yang muncul ditentukan oleh lokasi perdarahan dan ukuran atau
volume perdarahan. Gejala tersering yang dialami pasien yaitu nyeri
kepala, mual, dan muntah. Gejala lain yang dapat muncul diantaranya
penurunan kesadaran dan kejang. Penurunan kesadaran menunjukan
adanya peningkatan TIK dan/atau penekanan pada talamus dan
brainstem. Kejang biasanya dialami pasien saat onset perdarahan atau
dalam 24 jam sejak onset. Pasien dengan ICH supratentorial yang
melibatkan basal ganglia atau talamus akan menunjukan gejala defisit
neurologis sensorimotorik yang bersifat kontralateral. ICH lobaris
dapat disertai dengan gangguan fungsi luhur (afasia, neglect,
hemianopsia) (An et al., 2017).
b.) Pemeriksaan penunjang
Brain imaging merupakan gold standard dalam mendiagnosis
ICH. Melalui brain imaging, dokter dapat membedakan subtipe stroke
(SH atau SNH), komplikasi atau penyebaran perdarahan ke struktur
lain (contoh: perdarahan intraventrikular), adanya edema otak atau
hidrosefalus. Modalitas yang dapat digunakan berupa CT-scan dan
MRI (Liebeskind, 2017).

6. Tatalaksana
Hal pertama yang harus dilakukan pada pasien dengan SH adalah
basic life support (primer dan sekunder). Selanjutnya dilakukan kontrol
perdarahan, kejang, kontrol tekanan darah, dan tekanan intrakranial.
Kontrol perdarahan dapat dilakukan dengan pemberian obat koagulan
dan/atau pemberian cairan infus hiperosmotik. Cairan hiperosmotik juga
bermanfaat untuk mengurangi edema serebri dan menurunkan tekanan
intrakranial. Antikonvulsan dapat diberikan jika pasien mengalami kejang
(contoh: diazepam, fenitoin). Obat pengontrol tekanan darah juga perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan ICH. Prosedur pembedahan berupa
evakuasi hematom serebral dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
solusi kasus ini (Liebeskind, 2017).

7. Prognosis
Kasus SH memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan SNH, baik
angka morbiditas maupun mortalitas (Ikram et al., 2012). Berikut beberapa
faktor yang menandakan prognosis buruk dari SH (An et al., 2017).
Tabel. Faktor – faktor petanda prognosis buruk pada ICH.
C. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial adalah merupakan akumulasi perdarahan dalam
kondisi patologis yang terjadi di dalam parenkim otak maupun pada rongga
diantara meningen. Gold standard dalam mendiagnosis perdarahan intrakranial
adalah dengan pemeriksaan CT-scan. Berdasarkan lokasi perdarahannya,
perdarahan intrakranial dibagi menjadi beberapa subtipe. Masing-masing
subtipe memiliki gambaran khas pada pemeriksaan CT-scan. Berikut subtipe
perdarahan intrakranial:
1. Epidural Hemorrhagic (EDH)
EDH adalah perdarahan yang terjadi di ruang epidural, yaitu ruang
antara periosteum os cranium dan duramater. Perdarahan bersumber dari
rupturnya arteri meningea media. Pada fase awal, EDH biasanya tidak
menunjukan tanda-tanda klinis yang jelas. Seiring bertambahnya volume
perdarahan, tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial mulai
muncul (sakit kepala, muntah, kejang, penurunan kesadaran). Gejala khas
pada kasus EDH adalah adanya lucid interval, yaitu fase penurunan
kesadaran dan fase sadar dalam periode menit hingga jam post onset
perdarahan. Pada pemeriksaan CT-scan, EDH menunjukan gambaran lesi
hiperdens yang berbentuk bikonveks di sekitar tulang kepala.

2. Subdural Hemorrhagic (SDH)


SDH adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan
membran arakhnoid (ruang subdural). Pada pemeriksaan CT-scan, SDH
menunjukan gambaran crescent atau bulan sabit yang khas. Berdasarkan
lama kejadiannya, SDH dibagi menjadi 3 jenis, yaitu SDH akut, SDH
subakut, dan SDH kronik (Andrew, 2011).
a.) Perdarahan subdural akut
Perdarahan subdural akut terjadi kurang dari 72 jam setelah onset
perdarahan. Pasien biasanya dalam kondisi penurunan kesadaran, yang
kadang bersifat progresif. Gejala klinis yang muncul dapat berupa
pusing, mual, bingung, perubahan kepribadian, penurunan kesadaran,
sulit berbicara, dilatasi pupil ipsilateral perdarahan, dan hemiparese
kontralateral perdarahan. Pada pemeriksaan CT-scan, lesi perdarahan
cenderng bersifat hiperdens.
b.) Perdarahan subdural subakut
Kasus ini terjadi antara hari ketiga hingga minggu ketiga post
onset perdarahan. Pada pemeriksaan CT-scan, lesi perdarahan
cenderng bersifat isodens.
c.) Perdarahan subdural kronik
Perdarahan subdural kronik terjadi lebih dari sama dengan 21
hari post onset perdarahan. Biasanya perlukaan yang muncul bersifat
ringan. Gejala klinis yang bisa ditemui seperti penurunan kesadaran,
nyeri kepala, kesulitan berjalan, gangguan keseimbangan, disfungsi
kognitif, hilang ingatan, perubahan kepribadian, defisit motorik,
kejang, dan inkontinensia.

3. Subarachnoid Hemorrhagic (SAH)


SAH terjadi akibat rupturnya pembuluh darah kortikal yang
kemudian mengisi ruang subarakhnoid. Pada pemeriksaan CT-scan,
tampak lesi hiperdens yang menandakan adanya perdarahan yang mengisi
ruang subarakhnoid. Ruang subarakhnoid normalnya terisi CSF yang
bening, sehingga pada CT-scan tampak sebagai gambaran hipodens.
Gambaran khas pada CT-scan dengan SAH adalah lesi perdarahan yang
mengikuti sulkus dan girus korteks serebri, kadang hingga mengisi
sisterna. Pada kasus anuerisma, lokasi perdarahan pada CT-scan dapat
menjadi petunjuk memperkirakan arteri yang terlibat. Perdarahan pada
celah interhemisfer anterior atau lobus frontal yang berdekatan
menunjukan pecahnya aneurisma arteri anterior. Perdarahan pada fissura
sylvii berkorelasi dengan anuerisma arteri serebri media. Perdarahan pada
fossa posterior menunjukan perdarahan dari aneurisma sirkulasi posterior.

4. Intracerebral Hemorrhagic (ICH)


ICH adalah perdarahan pada parenkim otak, disebabkan oleh
rupturnya pembuluh darah otak baik karena faktor internal maupun faktor
eksternal. Faktor internal meliputi ruptur vaskuler akibat tekanan darah
yang terlampau tinggi atau adanya kelainan vaskuler. Faktor eksternal
seperti trauma kepala yang menyebabkan perdarahan pada serebri.
Gejala biasanya datang tiba-tiba dan dapat bervariasi tergantung
pada lokasi perdarahan . Gejala umum termasuk :
- Sakit kepala, mual, dan muntah
- Letargi atau kebingungan
- Kelemahan mendadak atau mati rasa pada wajah, lengan atau kaki,
biasanya pada satu sisi
- Penurunan kesadaran
- Kejang
Gold standard untuk mendiagnosis perdarahan intrakranial adalah
dengan pemeriksaan CT-scan. Pada ICH terdapat tanda khas yang dapat
ditemukan, yaitu lesi hiperdens homogen dan konfluen yang mengisi
parenkim otak dan mengelilingi meningeal space. Pada CT-scan juga
perlu diperhatikan lokasi perdarahan, volume perdarahan, tanda-tanda
peningkatan TIK, dan komplikasi lain yang mungkin menyertai.

5. Intraventricular Hemorrhage (IVH)


IVH dapat terjadi primer maupun sekunder. IVH primer bersumber
dari intraventrikular, sedangkan IVH sekunder terjadiakibat perdarahan
dari intraparenkim atau subarakhnoid yang meluas masuk ke sistem
ventrikel. Perdarahan dapat berasal dari middle communicating artery atau
dari posterior communicating artery. Gejala klinis yang muncul dapat
berupa sakit kepala mendadak, kaku kuduk, muntah, letargi, dan
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan CT-scan IVH menunjukan tanda
khas berupa lesi hiperdens yang mengisi rongga ventrikel, baik ventrikel
lateral, ventrikel III maupun IV.
DAFTAR PUSTAKA

Liebeskind, D. S. 2017. Haemorrhagic Stroke. Diakses melalui


https://emedicine.medscape.com/article/1916662-overview#a1 pada 7 januari 2019.

An, S.J., Kim, T.J., Yoon, B.W. 2017. Epidemiology, Risk Factor, and Clinical Features of
Intracerebral Hemorrhage: An Update. Journal of Stroke. 19(1): 3-10.

Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6. EGC, Jakarta.
2006.

Sjahrir, Hasan. Stroke Iskemik. Yandira Agung: Medan, 2003.

KEMENKES RI, 2017. Germas Cegah Stroke. Diakses melalui


http://www.p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/germas-cegah-stroke pada 7 Januari
2019.

Ikram, M.A., Wieberdink, R.G., Koudstaal, P.J. 2012. International Epidemiology of


Intracerebral Hemorrhage. Curr Atheroscler Rep. 14: 300-306.

Netter, 2006. Atlas of Human Anatomy. USA : Comtan.

Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. New York: Thieme.

Zuccarello Mario. Intracerebral Hemorrhage. Mayfield Clinic and Spine Institute.


https://mayfieldclinic.com. Diakses pada 6 JANUARI 2019.

Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A Statement for


Healthcare Professionals From a Special Writing Group of the Stroke Council
American Heart Association.Stroke. 1999;30:905-915.

Intracerebral Hemorrhage: Pathophysiology, Diagnosis and Management. Fabio Magistris,


BMSc,Stephanie Bazak, BScH,Jason Martin.Volume 10 No. 1, 2013.

Anda mungkin juga menyukai