Anda di halaman 1dari 5

ADABUT TILAWAH

Adab membaca Al Qur’an

TUJUAN INTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini peserta
dapat :
1. Mengetahui kedudukan al Qur’an
sebagai kalamullah yang dimuliakan
2. Mengetahui adab-adab yang harus
dipelihara selama membaca al Qur’an
3. Komitmen dengan adab-adab
tilawah di saat membaca al qur’an

TITIK TEKAN MATERI


Materi ini menjelaskan akan gambaran
bagaimana kemuliaan al Qur’an sebagai
kalamullah sekaligus sebagai petunjuk bagi
manusia. Karenanya, membaca al Qur’an
harus sesuai dengan adabnya. Antara lain,
suci dari hadats besar dan kecil, tilawah sesuai makhrajnya, berupaya mengerti isinya, dan
mentadabburinya. Perlu dijelaskan tentang sikap para salafush shalih dan adab-adab mereka ketika
membaca al Qur’an.

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PEMURAH LAGI MAHA PENYAYANG

“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegangan dengannya,
yaitu Kitabullah (al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw. (HR. Muslim)”

“Sesungguhnya Allah, dengan kitab ini (al-Qur’an) meninggikan derajat kaum-kaum dan menjatuhkan
derajat kaum yang lain. (HR. Muslim)”

“Apabila seorang ingin berdialog dengan Robbnya maka hendaklah dia membaca al Qur’an. (Adailami
dan al Baihaqi)”

“Orang yang pandai membaca al Qur’an akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti, dan yang
membaca tetapi sulit dan terbata-bata maka akan mendapat dua pahala. (HR. Bukhari dan Muslim)”

“Sebaik-baik kamu ialah yang mempelajari al Qur’an dan mengajarkannya (HR. Bukhari)”

“Orang yang dalam benaknya tidak ada sedikitpun dari al Qur’an ibarat rumah yang bobrok.
(Mashabihussunnah)”

“Barangsiapa mengulas al Qur’an tanpa ilmu pengetahuan maka bersiaplah menduduki neraka. (HR.
Abu Dawud)”
“Barangsiapa membaca satu huruf dari al Qur’an maka baginya satu pahala dan satu pahala diganjar
sepuluh kali lipat. (HR. Attirmidzi)”

Al Qur’an ini adalah kitab da’wah. Ia adalah ruh, motivator, unsur penegak, eksistensi, penjaga,
pemelihara, keterangan, penerjemahan, konstitusi, dan manhaj-nya. Al Qur’an juga merupakan rujukan
tempat bertolaknya da’wah sebagaimana tempat rujukan para juru da’wah yang menjadikannya jalan
beramal, manhaj bergeraknya, dan bekal perjalanannya.

Akan tetapi, terdapat celah yang dalam antara kita dan al Qur’an apabila kita menggambarkan di
dalam perasaan kita dan tidak menghadirkan dalam imajinasi kita bahwa al Qur’an ini berbicara kepada
ummat yang hidup (Bukan hanya dibacakan di depan mayat yang telah mati). Ia mempunyai wujud yang
hakiki, mengarahkan semua peristiwa dalam kehidupan ummat(bukan hanya peristiwa akhirat saja, tapi
juga dunia), mengarahkan kehidupan manusia yang hakiki di muka bumi, dan mengobarkan peperangan
besar di dalam jiwa manusia dan di hamparan bumi. Yakni, peperangan yang melanda segenap
perkembangan, kesan, dan tanggapan-tanggapan.

Juga akan terdapat dinding yang tebal antara kita dan al Qur’an kalau kita hanya membaca atau
mendengarnya seakan-akan hanya semata-mata bacaan-bacaan ritual dengan mengangguk-anggukkan
kepala. Suatu perbuatan yang tidak ada hubungannya dengan realitas kehidupan sehari-hari yang dihadapi
makhluk bernama manusia dan dihadapi ummat yang disebut dengan kaum muslimin. Sementara ayat-
ayat ini sendiri diturunkan untuk menghadapi jiwa-jiwa, kenyataan-kenyataan, dan kejadian-kejadian
yang hidup, yang memiliki eksistensi riil dan hidup. Secara praktis ayat-ayat ini memberikan arahan yang
hidup kepada segenap jiwa, realitas, dan kejadian-kejadian itu, untuk mewujudkan suatu eksistensi yang
memiliki kekhususan-kekhususan pada kehidupan “manusia” secara umum dan dalam kehidupan kaum
muslimin secara khusus.
Sesungguhnya al Qur’an adalah suatu hakikat yang memiliki eksistensi yang konstan (terus
menerus) sebagaimana alam semesta ini sendiri. Alam semesta ini adalah kitab Allah yang terlihat,
sedangkan al Qur’an adalah kitab Allah yang terbaca. Kedua-duanya merupakan bukti dan petunjuk yang
menunjukkan adanya Pemilik dan Penciptanya, sebagaimana keduanya juga merupakan suatu wujud yang
aktif (bekerja).
Alam dengan undang-undangnya senantiasa bergerak dan menunaikan peranannya yang telah
ditentukan untuknya oleh Penciptanya. Matahari senantiasa beredar di garis edarnya dan menunaikan
tugasnya. Bulan dan bumi serta seluruh bintang-gemintang tidak dihalangi oleh panjangnya masa untuk
menunaikan tugasnya dengan baik di hamparan alam semesta.
Ada suatu kenyataan sejarah yang patut direnungkan oleh mereka yang bergerak di bidang
da’wah Islamiyyah di setiap tempat dan di setiap waktu. Mereka patut merenungkannya lama-lama,
karena ia mempunyai pengaruh yang menentukan bagi metode dan arah da’wah.
Da’wah ini pernah menghasilkan suatu generasi manusia, yaitu generasi sahabat – semoga Allah
meridhai mereka – suatu generasi yang mempunyai ciri tersendiri dalam seluruh sejarah Islam, dalam
seluruh sejarah ummat manusia. Lalu da’wah ini tidak pernah menghasilkan jenis yang seperti ini sekali
lagi. Memang terdapat orang-orang itu di sepanjang sejarah. Tetapi belum pernah terjadi sekalipun juga
bahwa orang-orang seperti itu berkumpul dalam jumlah yang demikian banyaknya, pada suatu tempat,
sebagaimana yang pernah terjadi pada periode pertama dari kehidupan da’wah ini.
Kenyataan ini jelas terjadi. Ia mempunyai ma’na yang patut direnungkan lama-lama, dengan
harapan kita mengetahui rahasianya.
Qur’an yang dimiliki da’wah ini ada di tangan kita. Hadits Rasulullah saw. Dan petunjuk-
petunjuknya yang praktis, semuanya juga ada ditangan kita. Demikian juga sejarahnya yang mulia.
Sebagaimana semuanya itu juga terdapat di tangan generasi pertama itu, generasi yang pernah terulang
dalam sejarah. Yang tidak ada sekarang hanyalah diri-pribadi Rasulullah saw. Apakah ini yang menjadi
rahasianya?
Sumber pertama yang menjadi tempat pengambilan generasi itu adalah sumber al Qur’an. Al
Qur’an saja. Hadits dan petunjuk Rasulullah saw. Adalah hanya salah satu bekas dari sumber itu.

Sewaktu Aisyah ra. Ditanya tentang budi-pekerti Rasul saw. Ia berkata : “Budi-pekertinya adalah al
Qur’an” (Hadits Nasa’i)

Jadi al Qur’anlah satu-satunya sumber tempat pengambilan mereka, standard yang menjadi
ukuran mereka dan tempat dasar mereka berfikir. Hal itu terjadi bukan karena manusia di zaman itu tidak
mempunyai peradaban, atau pengetahuan, atau ilmu, atau buku, atau studi. Bukan! Waktu itu ada
kebudayaan Romawi, pengetahuan, buku dan hukum Romawi, yang sampai sekarang masih dihayati
Eropa, atau kelanjutannya masih dihayati Eropa.

“Demi Allah, seandainya Nabi Musa hidup di kalangan kamu sekarang ini, ia mesti mengikuti saya
(Rasulullah saw)” (HR. al Hafiz Abu Ya’la, dari Hammad, dari as Syabi, dari Jabir).

Ada tujuan Rasul saw. Untuk membatasi sumber tempat pengambilan generasi pertama itu, yaitu
dalam taraf formatifnya. Hanya kitab Allah saja. Bersihkan jiwa mereka dengan sumber itu. Luruskan
keadaan mereka dengan metode sumber itu saja. Karena itulah beliau marah sewaktu beliau melihat Umar
ra. Mencoba mengambil sumber yang lain.
Rasulullah saw. Ingin menciptakan suatu generasi yang bersih jiwanya, bersih otaknya, bersih
konsepsinya, bersih pemikirannya, bersih kejadiannya dari setiap pengaruh lain, selain dari metode Ilahi
yang dikandung oleh al Qur’an

ADAB-ADAB TERHADAP AL QUR’AN


1. Mendengarkan dan memperhatikannya,
Al Qur’an adalah kalamullah, yaitu wahyu yang diturunkan untuk manusia agar hendaknya
manusia mampu memanfaatkan sebaik-baiknya sebagai manhaj Ilahi yang merupakan bukti-bukti
yang nyata dari Allah swt, juga petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sudah
sepantasnya al Qur’an itu didengarkan dan diperhatikan karena ia adalah petunjuk yang menunjuki
manusia dalam mengisi kehidupannya. Pengalaman-pengalaman ummat-ummat terdahulu, generasi-
generasi sebelum kita merupakan gambaran kehidupan masa depan yang akan dijalani. Nilai historis
yang ditampilkan dan tercatat dalam al Qur’an adalah pelajaran yang terbaik untuk dijadikan ibrah
(pelajaran) yang berharga. Kenyataan yang baik dari manhaj Ilahi yang telah diterjemahkan oleh para
nabi dan rasul-rasul, adalah kebaikan untuk seluruh ummat manusia. Kenyataan yang buruk, ketika
manusia-manusia mengingkari kebenaran dari al Qur’an yang agung dan dari Yang Maha Agung.
Padahal ketika al Qur’an itu dapat diterima di dalam hati maka ia menjadi rahmat dari Allah swt. Al
Qur’an adalah sarana dzikir kepada Rabb, saat membacanya dan mendengarkannya, maka hati
menjadi tenang, karena rahmat Allah telah masuk ke dalam relung-relung hati dan jiwa kita.

“Dan apabila dibacakan al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang
agar kamu mendapat rahmat (QS. 7: 204)”

2. Meyakininya tanpa keraguan,

“Tidaklah mungkin al Qur’an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (al Qur’an itu) membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada
keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam (QS. 10:37)”
Dan benarlah bahwa al Qur’an adalah manhaj Ilahi yang sempurna, yang dibawa oleh khotamun
Nabi, penutup dari para nabi dan rasul Allah. Diturunkan untuk semua kaum, bukan untuk beberapa kaum
saja, juga untuk semua generasi sampai hari akhir nanti. Ia menjelaskan hukum dan perundangan yang
terbaik, untuk kemaslahatan ummat ini, sehingga menjadi ummat yang terbaik. Mengajarkan kesholehan,
dan berupaya untuk mengikis akar-akar kema’shiyatan. Kandungannya tak perlu diragukan lagi, karena
merupakan kalimat-kalimat terbaik untuk ummat-ummat yang terbaik, dari sang penyusun Yang Mulia,
Allah Azza wa Jalla. Dan al Qur’an bukanlah kalimat yang dibuat-buat oleh Nabi Muhammad saw. Akan
tetapi semata-mata adalah wahyu Allah yang diwahyukan. Jadi, kebenaran ini haruslah meniadakan
keraguan-keraguan yang ada pada hati-hati kita, Amiiin.

3. Memahaminya
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al Qur’an dengan bahasa Arab, agar kamu memahaminya
(QS. 12:2)”

4. Menghafalnya
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya (QS. 15:9)”

5. Menerangkan dan memikirkannya


“Dan Kami turunkan kepadamu al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya (QS. 16:44)”

6. Mengingat dengan mengulang-ulangi bacaannya


“Dan sesungguhnya dalam al Qur’an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka
selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)
(QS. 17: 41)”

7. Membacanya dengan tartil (perlahan-lahan)


“Dan al Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia… (QS. 17: 106)”

Qur’an tidak turun sekaligus. Ia turun sesuai dengan kebutuhan yang selalu timbul, sesuai dengan
pertumbuhan yang selalu terdapat dalam pemikiran dan konsepsi, pertumbuhan yang terjadi dalam
masyarakat dan kehidupan, sesuai dengan masalah praktis yang dihadapi jama’ah Muslim dalam
kehidupan nyata. Satu atau beberapa ayat yang diturunkan dalam suatu keadaan khusus atau kejadian
tertentu menceritakan kepada manusia tentang apa yang terdapat dalam hati mereka, dan menggambarkan
kepada meraka hal yang sedang meraka alami, menggariskan untuk mereka metode bekerja dalam situasi
itu, mengoreksi kesalahan pemikiran dan tindakan mereka, menghubungkan mereka dalam semua hal ini
dengan Allah subhanahu wa ta’ala, memperkenalkan mereka kepada sifat Allah yang mempengaruhi alam
semesta. Maka di waktu itu mereka merasa hidup dalam alam kudus maha tinggi, di bawah pandangan
Robb, di lapangan kodrat Ilahi. Karena itu dalam kenyataan hidup, mereka membentuk diri sesuai dengan
metode Ilahi yang lurus lempang.

8. Mendengar dengan sepenuh hati saat dibacakan (QS. 21: 2)

9. Memberi peringatan dengan-nya (QS. 21: 24)

10. Memuliakannya (QS. 43:44)

11. Memperhatikannya (QS. 47:24)

12. Mengambil pelajaran dengannya (QS. 54:17, 54: 32, 54:40)

Generasi pertama mempelajari al Qur’an untuk menerima perintah Allah tentang urusan
pribadinya, tentang urusan golongan di mana ia hidup, tentang persoalan kehidupan yang dihidupinya, ia
dan golongannya. Ia menerima perintah itu untuk segera dilaksanakan setelah mendengarnya. Persis
sebagaimana prajurit di lapangan menerima ‘perintah harian’nya untuk dilaksanakan segera setelah
diterima. Karena itu, tidak seorang pun yang minta tambah perintah sebanyak mungkin dalam satu
pertemuan saja. Karena ia merasa hanya akan memperbanyak kewajiban dan tanggung jawab di atas
pundaknya. Ia merasa puas dengan kira-kira sepuluh ayat saja. Dihafal dan dilaksanakan. Sebagaimana
tersebut dalam hadits Ibnu Mas’ud, yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam pendahuluan buku tafsirnya.
Perasaan seperti inilah, perasaan menerima perintah untuk dilaksanakan, itulah yang telah
menyebabkan Qur’an membukakan bagi mereka perspektif kesenangan, perspektif ilmu pengetahuan,
yang tidak akan dapat mereka peroleh seandainya mereka bermaksud mempelajari al Qur’an hanya untuk
studi, pelajaran dan pembahasan saja. Tugas mereka jadi mudah. Berat tanggung jawab menjadi ringan.
Qur’an telah telah terlebur dengan jasad mereka. Sehingga dalam diri dan kehidupan mereka, Qur’an
telah menjadi suatu metode yang realistis, telah menjadi suatu ilmu yang hidup, yang bukan hanya tinggal
dalam otak, atau dalam buku-buku. Tetapi berubah menjadi hasil dan kejadian yang mengubah garis
perjalanan hidup.

SYURUTHUL INTIFA’ BIL QUR’AN (syarat-syarat yang harus dipenuhi jika ingin mendapat
manfaat dari Al Qur’an)

1. Bersikap sopan terhadapnya (at Taaddubu ma’ahu)


 Berniat baik (husnun niyah)
 Bersuci hati dan jasad (thaharatu al Qalbi wa jasad)
 Menyibukkan jiwa dengannya (tafrigu an Nafsi ‘an syawa ghiliha)
 Mengkhususkan berfikir dengannya (hasrul fkr ma’al qur’an)

2. Membaguskan dalam membaca


 Dengan hati yang khusu’
 Dengan mengagungkan
 Dengan kesiapan melaksanakan

3. Berorientasi dengan tujuan asasi al Qur’an


 Petunjuk dari Allah
 Pembentuk kepribadian Islam
 Pemimpin manusia
 Pembentuk masyarakat Islam

4. Mengikuti cara-cara para sahabat dalam berinteraksi dengan al Qur’an


 Memandang secara keseluruhan
 Masuknya al Qur’an tanpa pertimbangan masa lalu
 Merasakan bahwa ayat-ayat dalam al Quran diarahkan pada dirinya

5. Memanfaatkan penghalang al Qur’an

MARAJI’
 DR. Muhammad Faiz Almath, Qobasun Min Nuri Muhammad Saw,
 Sayid Qutb, Ma’alim Fi at-Thariq/Petunjuk Jalan
 Sayid Qutb, 2005, Mukaddimah Tafsir Fii Zhilalil Qur’an,Gema Insani Press, Jakarta.
 Imam an Nawawi, Kitab Riyadhus Shalihin.

Anda mungkin juga menyukai