Laporan Kasus NSTEMI

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. Biodata Pasien

Nama : Tn. M

Tangga lahir : 04-04-1962

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Katolik

Suku : Flores

Bangsa : WNI

Alamat : Pantu Air

Pekerjaan : sekuriti

1.2. Keluhan Utama :

Pasien datang dengan keluhan masuk angina, perut kembung dan mual datang ke IGD dan
muntah-muntah sebanyak 5X

1.3. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien sebelumnya mengkonsumsi makanan pedas, sering telat makan. Memiliki riwayat
maag dan sudah lama tidak kambuh

1.4. Riwayat Penyakit Dahulu :

Memiliki riwayat hipertensi dengan tensi 200 setahun yang lalu dan tidak rutin konsumsi
obat. Riwayat DM, Asma, alergi dan jantung disangkal

1.5. Riwayat Penyakit Keluarga :

Pasien menyangkal adanya ada darah tinggi, gula, penyakit alergi dan jantung pada keluarga

1.6. Riwayat Kebiasaan Sosial Ekonomi :

Pasien perokok tapi jarang, riwayat kebiasaan hidup yang tidak teratur dengan pekerjaan yang
memiliki jam jaga malam.

1
1.7. Riwayat Sosial Ekonomi keluarga

Pasien secara implisit mengatakan bahwa tidak ada keluarga dekat yang tinggal di batam

1.8. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2017 pukul 14.10 WIB

Status Generalis

Keadaan umum : Lemas

Keadaan sakit : tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4M6V5

Tanda vital

- Nadi : 65 x/menit, dengan irama teratur

- Tekanan darah : 220/140 mmHg

- Napas : 22 x/menit, teratur, dengan jenis pernapasanthorakoabdominal

- Suhu : 36,5°C per axila

Kulit : warna kulit hitam, sianosis (-), dekubitus (-)

Kepala : bentuk tidak ada kelainan, simetris, nyeri tekan (-)

Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), isokor(+), reflek pupil normal

Telinga : sekret (-)

Hidung : sekret (-), deviasi septum (-)

Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1/T1, kandidiasis oral (-)

Leher : Pembesaran limfonodi (-/-), kaku kuduk (-), deviasi trakea (-), pembesaran

tiroid (-)

Jantung

- Inspeksi : ictus cordis terlihat di SIC V linea midclavicula sinistra

- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra

- Perkusi : Batas kanan jantung di SIC IV linea parasternal dextra

Batas kiri jantung di SIC V linea midclavicula sinistra

Batas pinggang jantung di SIC II linea parasternal sinistra

- Auskultasi : Bunyi jantung SI SII tunggal, murmur (-), gallop (-)

2
Abdomen

- Inspeksi : bentuk cekung, venektasi (-)

- Palpasi : distensi (-), nyeri tekan (+), hati dan lien tidak teraba

- Perkusi : asites (-), timpani

- Auskultasi : bising usus (+)

Ekstremitas : oedema (-), sianosis (-), jari tabuh (-), tremor (-)dex/sinistra

Status Lokalis

Torak : bentuk normal

Paru

- Inspeksi : statis : bentuk dada normal, simetris, kelainan kulit (-)

dinamis : gerakan paru simetris, tidak ada gerakan paru yang tertinggal

- Palpasi : pembesaran KGB (-) , nyeri tekan dada (+/+). Deviasi trakea (-), Fremitus taktil

Paru kanan kiri normal

- Perkusi : lapang paru dextra/sinistra (Redup/sonor)

- Auskultasi : Suara Napas Pokok : Vesikuler melemah hampir tidak ada/ jelas sebelah dextra

Suara Napas Tambahan : rhonki basah halus (-/+)

1.9. Diffrential Diagnosis

GERD + Hipertensi Emergensi

ACS NSTEMI + Hipertensi Emergensi

1.10. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (hasil pemeriksaan tanggal 18 Oktober 2017)

Hb : 14.2 g/dL (13,5 – 17,5)

Ht : 41.3 % (35 – 45)

Eritrosit : 4.71 (4.5-5.5)

MCV : 88 ( 80-96)

MCH : 30.1 (28-33)

MCHC : 34.3 (33.0-36.0)

Leukosit : 9.2 (4.000 – 10.000)

3
Limfosit : 19.9% (22.0-44.0%)

Monosit : 2.4% (0-7)

Neutrofil : 76.3% (40.0-70.0)

Eosinofil : 1.2% (0-4)

Basofil : 0.2%(0-1)

Trombosit : 197.000 (150.000 - 450.000)

GDS : 120 mg/dl (60-140 mg/dl)

Profil Lemak

Cholestrol Total : 252 (50-200)

LDL-Cholestrol :143 (<150)

HDL-Cholestrol : 48.3(>55)

Triglycerida : 112 (<150)

Kimia (Faal hati)

SGOT : 28 (0-35)

SGPT : 42 (0-45)

Kimia (Faal Ginjal)

Ureum : 35 (6-20)

Kreatinin : 0.94 (0.9-1.3)

Elektrolit

Natrium : 144 (136-145)

Kalium : 3.6 (3.3-5.1)

Chlorida : 104 (99-106)

4
Pemeriksaan EKG

1.11. Penatalaksanaan IGD


 Oksigenasi 3 litr/menit nasal canule
 Catopril 25mg sublingual (00.45 wib)
 Cedocard 10 mg sublingual (00.50 wib)
 Aspilet 4 tab oral (00.50 wib)
 Clopidogrel 4 tab oral (00.50 wib)
 Injec Ondansentron 4mg (00.50 wib)
1.12. Resume

Seorang pria berusia 55 tahun datang ke IGD dengan keluhan masuk angin, perut
kembung, mual dan muntah-muntah sebanyak 5X. Pasien sebelumnya mengkonsumsi makanan
pedas, sering telat makan. Memiliki riwayat maag dan sudah lama tidak kambuh. Memiliki riwayat
hipertensi dengan tensi 200-an setahun yang lalu dan tidak rutin konsumsi obat. Riwayat DM, Asma,
alergi dan jantung disangkal. Pasien menyangkal adanya ada darah tinggi, gula, penyakit alergi dan
jantung pada keluarga. Pasien perokok tapi jarang, riwayat kebiasaan hidup yang tidak teratur dengan
pekerjaan yang memiliki jam jaga malam.

Dari pemeriksaan Fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan dengan kesadaran compos
mentis, Terdapat Hipertensi emergensi dengan nilai 220/140 mmHg dan nyeri tekan pada bagian
abdomen atas, Epigastrum. Pemeriksaan fisik lainnya dalam keadaan normal.

Dari hasil pemeriksaan penunjang pada hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan
peningkatan nilai neutrofil 76.3% dan penurunan nilai limfosit 19.9%. Terdapat peningkatan nilai
kolestrol 252 mg/Dl dan peningkatan nilai Ureum ginjal 35 mg/Dl. Dari Hasil pemeriksaan EKG

5
didapatkan Depressi pada Segmen ST dan inversi gelombang T pada Lead 1, AVL, V5 dan V6 dan
kesan Hipertropy Ventrikular kanan.

Diberikan terapi IGD berupa Oksigenasi 3 litr/menit nasal canule, Catopril 25mg sublingual,
Cedocard 10 mg sublingual, Aspilet 4 tab oral, Clopidogrel 4 tab oral dan Injeksi Ondansentron 4mg.
lalu dikonsulkan ke Spesialis.

1.13. Follow up pasien

18/1/2018 19/1/2018 20/1/2018

Pasien mengatakan sesak napas Mengeluh nyeri hulu Pasien mengatakan


hati semu keluhan sudah
berkurang
Ku lema kes CM, T/P 36.8/84, TD 140/80, TD 160/100, KU baik, TD 110 /70 RR
RR 21X/m kes;CM, T/P 36/84, 20x/menit
RR: 22 T/p 36,2 c /80 xmenit
ACS NSTEMI + Hipertensi Emergensi ACS NSTEMI + ACS NSTEMI +
Hipertensi Emergensi Hipertensi Emergensi
+ dispepsia + Dispepsia
Nasale canule 3ltr/menit, IVFD RL/24 Terapi lanjut BPL
jam, Cedocard retand 1x1, Atrovastatin + Pantoprazole inject Rawat jalan
40mg 1x1, Amlodipin 1x5mg, irbersartan
150mg 1x1, check OT/PT, UR/CR,
CKMB(Pasien menolak)

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindroma Koroner Akut


Sindrom koroner akut merupakan suatu istilah yang menggambarkan kumpulan
gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain yang disebabkan oleh
penurunan aliran darah ke jantung, sindrom ini meliputi unstable angina pectoris sampai
perkembangan menjadi miokard infark akut. Lebih dari 90% ACS disebabkan oleh
gangguan plak aterosklerosis dengan diikuti agregasi trombosit dan pembentukan thrombus
intrakoroner.5
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner
(PJK), salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok iskemik serta peripheral
arterial disease(PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses
yang sangat kompleks dan multifaktor serta saling terkait.6
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton, 2009).
Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan
trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi
dan aliran darah kolateral.7
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3 kriteria,
yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan
pertanda biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tak ada hubungan dengan
aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar,
elevasi segmen ST dan inversi gelombang T (Irmalita, 1996). Pada nekrosis otot jantung,
protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik
melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik.8

B. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)


1. Definisi
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan sebagian dari spektrum
sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa
elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.9

7
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis
koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat
cepat. 10
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.11
Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada akhirnya
akan menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan miokard yang terjadi bergantung
pada letak dan lamanya sumbatan aliran darah, ada atau tidaknya kolateral dan
luaswilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat.12
2. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung.Jika
dicurigai nyeri dadanya berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal
dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark mokard
sebelumnya serta factor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, merokok stres serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.9
Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi
hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.9
b. Nyeri dada
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA.Nyeri dada
atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan
SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu
membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal
dalam pengelolaan pasien SKA.9
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :

8
1) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
2) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3) Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/ interskapula, dan
dapat juga ke lengan kanan.
4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.10
c. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi
karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien
yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik
untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG
serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu
harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada
pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.13
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark miokard
gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard non-gelombang Q. jika
obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak
kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya
mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.13
d. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan
dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).

9
1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis
dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB
2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
3) Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase
(LDH), reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang
dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari.
Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.10
3. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana
komplikasi IMA.14
Penanganan kegawat daruratan.
a. Tatalaksana awal:
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu
diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen 4L/ menit(saturasi
dipertahankan > 90%), Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih
nyeri, Aspirin 160mg (dikunyah), Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.13
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda reperfusi).
1) Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
2) Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
3) Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
4) Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB maksimum 4000u,
dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 – 48 jam dengan maksimum 1000 u/
jam dengan target aPTT 50 – 70s. Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah terapi
dimulai. LMWH dapat digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-pasien
berusia < 75 tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada laki-laki
atau < 2 mg/ dl pada wanita).13

10
4. Komplikasi
1. Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk,
ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodeling ventrikuler dan umumnya mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah
infark ventrikel kiri mengalami dilatasi.Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi
infark al; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan
dalam zona nekrotik.Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark,
mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark.Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,
dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan
penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis
lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan
terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40%,
tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus diberikan.9
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
dirumah sakit pada STEMI.Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya.Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi
jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering jumpai kongersi paru.9

5. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA :
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan/atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana; S3 gallop, kongesti
paru dan syok kardiogenik.9

11
Tabel 2. Klasifikasi forrester untuk Infark Miokard Akut
Klas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51
Klasifikasi forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan
pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).9

Tabel 3. Risk score untuk Infark Miokard dengan Elevasi STEMI


Factor resiko (Bobot) Skor
resiko/mortalitas
30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) 0(0,8)
Usia >75 tahun (3 poin) 1 (1,6)
Diabetes mellitus/ hipertensi atau angina (1 poin) 2 (2,2)
Tekanan darah sistolik <100 mmHg (3 poin) 3 (4,4)
Frekuensi jantung >100 mmHg (2 poin) 4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)
Berat <67 kg (1 poin) 6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 7 (23,4)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin) 8 (26,8)
Skor resiko = total poin (0-14) >8 (35,9)
TIMI Risk score adalah system prosnostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis
sederhana dan pemeriksaaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi
trombolitik.9
C. Ustable Angina Pektoris(UAP) /Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
1. Definisi
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST
(NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi
dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda.

12
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan
bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.15
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih
disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB.
Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam
dan dapat menetap sampai 2 minggu.15
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart
Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST (
NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat
diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan
tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk
iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya
gelombang T yang negatif.12
2. Etiologi
Ustable Angina Pektoris(UAP) /Non ST Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme arteri koroner, anemia
berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.16
Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina pektoris tidak
stabil :

a. Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab angina pektoris
tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner
yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri
dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic
cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya
infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan
intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Terjadinya ruptur
menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi
terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi
infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%
dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angin tak stabil.

13
b. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan
dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan
darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi
dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam
perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai
trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
platelet berperan pada perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan
spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga dapat
menyebabkan angina tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
d. Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya poliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.
e. Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi sistemik.16

14
Gambar 1. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan
Complication) Pada Plak Aterosklerosis.16
3. Patofisiologi
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan suplay
oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri dan penyempitan
lumen arteri koroner (arteriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa
penyebab arteriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktoer tunggal yang
bertanggung jawab atas perkembangan arteriosklerosis.Pada saat beban kerja suatu
jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya juga meningkat. Apabila kebutuhan oksigen
meningkat pada jantung yang sehat, arteri-arteri koroner akan berdilatasi dan akan
mengalirkan banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Akan tetapi apabila arteri koroner
mengalami kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi
sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan kemudian akan terjadi
iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium.Adanya endotel yang cedera
mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat oksid) yang berfungsi untuk menghambat
berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyebabkan otot polos
berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena
suplai oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan
gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75%. Bila penyempitan lebih dari 75%
serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang.
Oleh karena itu, sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk
memenuhi kebutuhan eneginya. Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan

15
menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan
menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan energi
sel-sel jantung berkurang, suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke
proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam
laktat. Dengan menghilangnya penimbunan asam laktat, nyeri angina pektoris mereda.
Dengan demikian, angina pektoris adalah suatu keadaan yang berlangsung singkat.17

4. Klasifikasi
Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada
keseragaman.Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.18
a. Berdasarkan angina :
1) Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri
dada
2) Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I bulan, tapi
tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir
3) Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara akut baik
sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.18
b. Keadaan klinis:
1) Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris
2) Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak
3) Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.18
c. Intensitas pengobatan:
1) tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal
2) timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar
3) masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang
maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.18
5. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang
bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih
lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang
minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah,
kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak
ada yang khas.19
16
b. Pemeriksaan Fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat terdengar
derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut
jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada waktu serangan angina.20
c. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat
normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer.
Tujuan dari stress test adalah:
a) menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b) menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah
utama akan
c) memberi hasil positif kuat.20
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi
segmen STdisertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang
ikatan His dan tanpaperubahan segmen ST dan gelombang T. perubahan EKG pada
ATS berdifat sementaradan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun
bersamaan. Perubahan tersebutimbul di saat serangan angina dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhanangina hilang dalam waktu 24 jam. Bila
perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atauterjadi elevasi gelombang Q, maka
disebut sebagai IMA.20
2) Enzim LDH, CPK, dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat tetapi
tidak melebihi50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim yang paling sensitive
untuk nekrosis ototmiokard, tetapi kadar dapat terjadi positif palsu. Hal ini
menunjukkan pentingnyapemeriksaan kadar enzim secara serial untung
menyingkirkan adanya IMA.20

6. Skor Risiko TIMI


Skor resiko merupakan suatu metode untuk stratifikasi resiko, dan angka faktor
resiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat
rekuren) pada 14 hari sekitar antara 5% dengan skor resiko 0-1, sampai 41% dengan skor
resiko 6-7.skor resiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B
17
dan telah divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan
meningkatnya skor resiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif
pada terapi dengan LMWH versus UFH, dengan platelet GP IIb/IIIa receptor blocker
tirofiban versus placebo, dan strategi invasif versus konservatif.16
Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan clopidogrel
menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama. Skor resiko juga efektif dalam
memprediksi outcome yang buruk pada pasien setelah pulang.16
Tabel 4. Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI
- Usia > 65 tahun
- >3 faktor risiko PJK
- Stenosis sebelumnya > 50%
- Deviasi ST
- >2 kejadian angina < 24 jam
- Aspirin dalam 7 hari terakhir
- Peningkatan petanda jantung
Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI.16
7. Penatalaksanaan
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin
atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah
mendapat nitrogliserin.21
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall
stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen
suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan
secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena : 1-4 mg/jam.
Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan per oral.
Preparat :
Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual

18
Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg tablet sublingual
Isodil 5-10 mg tablet sublingual
Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam
beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi
pemberian penyekat beta antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan
tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :
- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi
ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload
memberikan keutungan pada golongan nondihidropiridin pada sindrom
koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).
21

2) Obat anti-agregasi trombosit


Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina
tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet
yang terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51%
sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan
dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat
kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin.
Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat
menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin .
19
Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75
mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir
pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor
tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet
tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun
untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina
tak stabil. 21
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang
berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja
menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein plasma,
sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat
ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan
terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di
Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux.
Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja
langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma
20
protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka kematian
dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah
disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang
menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila
ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT). 21

4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner


Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemi
berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan
di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel
kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali
ke rumah sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan
penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau bila ada
kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.17
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary
angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan
angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter yang
dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke
jantung. Setelah berada di pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter
digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan
bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau vena
dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran darah
dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering
ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan
selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang
dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner
menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas
jangka-panjang.17
c. Terapi Non Medika Mentosa
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume
sekuncup) dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut jantung).
Hal ini menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang.
Posisi duduk adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya

21
berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi peningkatan
volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.

8. Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.21
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi, penyakit
DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.22
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui mencetuskan
serangan angina klasik pada seseorang.17
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk
meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.21
9. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat
kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap
iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar
20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk
menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan
energinya.22
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan
dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun
banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina,
gagal jantung.21
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung
disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat terjadi
dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi
yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera
pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. 21

22
10. Prognosis
Pada angina tidak stabil bila dapat didiagnosis dengan tepat dan cepat serta
memberikan pengobatan yang tepat dan agresif maka dapat menghasilkan prognosis
yang baik.Namun bila tidak dapat menimbulkan kematian.

D. GRACE Score
Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas Killip, tekanan
darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat darurat, kreatinin
serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk
memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari
rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108
dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor
risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%)
dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit,
pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian
<3%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan
mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).

23
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko berdasarkan
indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokardakut dan ditujukan untuk
memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari. Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai
salah satu variabel dalam klasifikasi GRACE.

24
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD dengan keluhan masuk angina, nyeri hulu hati, perut kembung,
mual dan muntah-muntah sebanyak 5X. Pasien sebelumnya mengkonsumsi makanan pedas,
sering telat makan. Pasien juga mengeluh nyeri hulu hati tiba-tiba. Pasien dalam hal ini tidak
memiliki gejala khas untuk SKA yang secara teoritis dikatagorikan sebagai gejala klasik
cardiac pain. Namun pada beberapa referensi dikatakan bahwa SKA memang tidak selalu
melulu memiliki gejala khas, salah satu gejala yang tidak khas adalah nyeri hulu hati dan
keluhan seperti masuk angina.( Hamm CW, 2001)

Pasien memiliki riwayat maag dan sudah lama tidak kambuh. Memiliki riwayat
hipertensi dengan tensi 200-an setahun yang lalu dan tidak rutin konsumsi obat. Riwayat DM,
Asma, alergi dan jantung disangkal. Pasien menyangkal adanya ada darah tinggi, gula, penyakit
alergi dan jantung pada keluarga. Pasien perokok tapi jarang, riwayat kebiasaan hidup yang
tidak teratur dengan pekerjaan yang memiliki jam jaga malam. Dalam hal ini pasien memiliki
faktor resiko seperti pola hidup yang tidak teratur dan perokok. (Lilly,2007)

Terdapat peningkatan nilai kolestrol 252 mg/Dl dan peningkatan nilai ureum ginjal 35
mg/Dl. Peningkatan nilai kolestrol merupakan prediposisi untuk terjadi serangan SKA,
sementara peningkatan nilai Ureum ginjal dapat merupakan suatu efek target organ dari
hipertensi emergensi.( Brown, 2001)

Dari hasil pemeriksaan EKG didapatkan Depressi pada Segmen ST dan inversi
gelombang T pada Lead 1, AVL, V5 dan V6 dan kesan Hipertropy Ventrikular kanan. Dari
hasil pemeriksaan EKG tersebut pasien memiliki gambaran NSTEMI/Unstable Angina
Pectoris pada bagian septal disebabkan oleh penyumbatan parsial dan juga pasien mengalami
Hipertropy Ventrikular kanan akibat penyakit hipertensi kronis yang sepertinya pasien tidak
ketahui sejak lama. (Chou, 2008)

Namun sangat disayangkan pasien menolak untuk dilakukan pemeriksaan CKMB


dikarenakan masalah biaya, sehingga dalam hal ini kita tidak dapat memastikan apakah sudah

25
terjadi kerusakkan jaringan miosit sehingga ia sudah mengarah kepada NSTEMI atau kasus ini
hanya merupakan gejala Unstable Angina Pectoris.( Anderson, 2007)

Pasien diterapi dengan 3 litr/menit nasal canule, Catopril 25mg sublingual, Cedocard
10 mg sublingual, Aspilet 4 tab oral dan Clopidogrel 4 tab, isosorbid dinitrat ISDN(Cedocard)
disini untuk vasodilatasi perifer, terutama pada vena, dengan bekerja pada otot polos vascular
yang mencakup pembentukan nitrat oksida. Ini penting untuk menghilangkan nyeri dan
menenangkan pasien karena bila pasien kesakitan dan cemas maka akan terjadi takikardia yang
dapat meningkatkan beban kerja jantung. Terapi lainnya adalah pemberian Oksigen dan juga
Antiplatelet untuk mengurangi agregasi trombosit, adhesi platelet dan pembentukan trombus
melalui penekanan sintesis tromboksan A2 dalam trombosit. Mengurangi risiko infark miokard
pada stenocardia yang tidak stabil. Obat ini efektif untuk pencegahan primer penyakit
kardiovaskular dan pencegahan sekunder infark miokard. Obat ini dapat meningkatkan
aktivitas fibrinolitik dan mengurangi plasma konsentrasi vitamin K dalam faktor-faktor
koagulasi (II, VII, IX, X).( Brown, 2008)

Prognosis pada pasien ini dengan menggunakan Grace score yang dilakukan secara
otomatis dengan menggunakan website https://www.mdcalc.com/grace-acs-risk-mortality-
calculator, yang dimana kita menggunakan 2 skenario, yaitu skenario pertama dengan nilai
enzim jantung normal (gambar kiri) dan yang kedua dengan menggunakan nilai enzim yang
patologis(Gambar kanan) maka didapati hasil sebagai berikut:

26
Dari hasil pengececkkan menggunakan Grace score dengan menggunakan kedua
skenario didapati bahwa prognosis pasien untuk dapat meninggal dalam jangka waktu 6 bulan
kedepan adalah 1.2%-1.8% sehingga prognosis pasien dikatakan baik. Namun untuk terjadinya
serangan jantung berulang apabila kontrol pasien tidak dijalankan dengan baik berikut dengan
pola hidup yang baik maka sangat mungkin terjadi. (Lilly, 2007)

27
BAB V
KESIMPULAN

Seorang pria berusia 55 tahun, didiagnosa NSTEMI dengan hipertensi Emergensi,


pemberian terapi berupa Oksigenasi 3 litr/menit nasal canule, Catopril 25mg sublingual,
Cedocard 10 mg sublingual, Aspilet 4 tab oral, Clopidogrel 4 tab oral dan Injeksi Ondansentron
4mg untuk memperbaiki perfusi O2 ke jantung dan tidak terjadi pembentukan trombus pada
pembuluh darah jantung serta keluhan pada lambung. Terapi selanjutnya selama perawatan
disesuaikan dengan klinis pasien. Setelah dilakukan perawatan dan pengobatan padanya,
keadaan pasien membaik dan diizinkan pulang.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome withoutST elevation :


implementation of new guidelines. Lancet 2001; 358: 1533-8
2. Patrono C, Renda G. Platelet activation and inhibition in unstable coronary syndromes.
Am J Cardiol 1997; 80(5A): 17E-20E
3. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited
2011NovAvailable from URL
:http://www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf
4. Boedi-Darmojo R, Epidemiology of atherosclerotic disease: Special focus on
cardiovascular disease. Dalam: Tanuwidjojo S, Rifqi S. Atherosklerosis from theory to
clinical practice, Naskah lengkap cardiology-update.Semarang: Badan Penerbit
Undip.2003.p.1-1
5. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical Students
and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007;
225-243.
6. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for the management
of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial infarction: a report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines 50:e1. Diunduh dari: www.acc.org/qualityandscience/ clinical/statements.htm
(accessed September 18, 2007).
7. Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S.,
Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakart.Gibler, WB. Evaluation of chest pain in
the emergency department. Ann Intern Med 1995; 123:315;.
8. Patel, N.R., Jackson. G., 1999. Serum markers in myocardial infarction. J Clin Pathol.
Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC501424/?page=1. Di akses 25
Juni, 2016
9. Alwi, I. 2006. Infark miokard akut dengan elevasi ST dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus
A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK
UI. Jakarta.
10. Antman, E.M., Braunwald, E., ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper,
D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., (eds).
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA. 2005. pp.1532-44

29
11. Brown, T.C., Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William, L.M., (ed.)
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakarta. 2006. Hal :
580-587
12. Barriento, Aida Sua´rez; Romero, Pedro Lo´pez; Vivas, David and et al. Circadian
Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011. Accessed 29 Juni 2016.
Avalaibale form:http://www.suc.org.uy/correosuc/correosuc6-51_archivos/Heart-2011-
CircadianVariations.pdf
13. Chou, T., Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric: Myocardial
Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed. Pennsylvania: W. B.
Saunders Company. 1996.
14. Irmalita, dkk. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST. In:
Irmalita, Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S.,, (ed). Standard
Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi
3.2009; 12-16
15. Aslan, Ahmad. Bathini, Prasantha. Smith, Robert. 2004. ACC/AHA Guidelines for The
Management of Patients with ST Elevation Myocardial Infarction. Cardiac Cath
Conference
16. Haru, Sjaharuddin., Alwi, Idrus. 2006. Infark miokard akut tanpa elevasi ST dalam Aru
W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
17. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2009.hal.492-504.
18. Trisnohadi, Hanafi B,. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S., Bambang S.,
Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
IV. FK UI. Jakarta.
19. Hamm CW, Braunwald E. A Classification of Unstable Angina revised Circulation, 2000.
Accssed 29 Juni 2016. Avalaible from:www.medicalcriteria.com/.../car_angina.htm
20. Hamm, Christian W; Bassand, Jean-Pierre; Agewall, Stefan and et al. ESC Guidelines for
the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation, 2011. Accessed 29 Juni 2016. Avalaible
form:http://www.escardio.org/guidelines-surveys/esc-guidelines/Pages/ACS-non-ST-segment-
elevation.aspx
21. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II.Edisi ke-5.Jakarta:Interna Publishing;
2009.hal.1728-34.

30
22. Chung E.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2000.

31

Anda mungkin juga menyukai