Anda di halaman 1dari 22

GLOMERULONEFRITIS

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

Disusun untuk memenuhi tugas Farmakoterapi II yang diampu oleh :

Arif Santoso, S.Farm., Apt

Oleh :

1. Bagas Tri Priambodo (1613206004)


2. Mia Audina Curnia Safitri (1613206011)
3. Noviana Mandhaki (1613206015)

STIKes KARYA PUTRA BANGSA TULUNGAGUNG

Program Studi S1 Farmasi

November 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga makalah yang berjudul “Glumerulonefritis” ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Farmakoterapi II Arif Santoso,
S.Farm., Apt yang telah memberi bimbingan dalam penyusunan makalah ini.

Diharapkan makalah ini dapat dimanfaatkan dengan sebaiknya, serta dapat menjadi
sumber wawasan bagi pembaca. Disadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat
kekurangan. Diharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai wawasan untuk menulis
makalah selanjutnya.

Tulungagung, 3 November 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pendahuluan ............................................................................................. 3
2.2. Definisi Glumerulonefritis ....................................................................... 3
2.3. Epidemiologi Penyakit Glomerulonefritis ............................................... 5
2.4. Etiologi...................................................................................................... 6
2.5. Tanda dan Gejala Penyakit Glumerulonefritis ......................................... 6
2.6. Patofisiologi Penyakit Glumerulonefritis ................................................. 8
2.7. Diagnosis Penyakit Glumerulonefritis.................................................... 10
2.8. Farmakokinetika Obat-Obat Penyakit Glumerulonefritis ...................... 12
2.9. Monitoring dan Evaluasi Penyakit Glumerulonefritis ........................... 16
2.10. Farmakoekonomi .................................................................................. 17
BAB III PENUTUP
3.1. Simpulan ................................................................................................ 18
3.2. Saran ....................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir


dan tingginya angka morbiditas pada anak. Terminologi glomerulonefritis yang dipakai
adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada
glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain.
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan
dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria.
Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan
mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula
digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan
kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon imun
menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.
Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah
sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%),
kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang
(8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia
antara 6-8 tahun (40,6%).
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara
menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya
dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa
sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi.
Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10%
berakibat fatal.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pendahuluan dari penyakit glomerulonefritis ?

2. Apa definisi glomerulonefritis ?

3. Bagaiamana epidemiologi penyakit glomerulonefritis ?

4. Bagaimana etiologi penyakit glomerulonefritis ?

1
5. Bagaimana tanda dan gejala penyakit glomerulonefritis ?

6. Bagaimana patofisiologi penyakit glomerulonefritis ?

7. Bagaimana diagnosis penyakit glumeronefritis ?

8. Bagaimana terapi dan farmakokinetika obat-obat penyakit glomerulonefritis ?

9. Bagaimana monitoring dan evaluasi terapi penyakit glomerulonefritis ?

10. Bagaimana farmakoekonomi dari penyakit glomerulonefritis ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui pendahuluan untuk penyakit


glomeronefritis.
2. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui definisi penyakit glomeronefritis.
3. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui epidemiologi penyakit
glomeronefritis.
4. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui etiologi penyakit
glomerulonefritis.
5. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tanda dan gejala penyakit
glomerulonefritis.
6. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui patofisiologi penyakit
glomerulonefritis.
7. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui diagnosis penyakit
glumeronefritis.
8. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui terapi dan farmakokinetika obat-
obat penyakit glomerulonefritis.
9. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui monitoring dan evaluasi terapi
penyakit glomerulonefritis.
10. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui farmakoekonomi dari penyakit
glomerulonefritis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendahuluan

Glomerulonephritis (GN) adalah penyakit yang sering dijumpai dalam


praktik klinik sehari-hari dan merupakan penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan. GN dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonephritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri,
sedangkan GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain
seperti diabetes mellitus, lupus eritematosus sistemik (LES), myeloma multiple atau
amyloidosis.

Di Indonesia GN masih merupakan penyebab utama PGTA yang menjalani terapi


pengganti dialysis walaupun data US Renal Data System menunjukan bahwa diabetes
merupakan penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi GN sangat bervariasi mulai dari
kelainan urine seperti proteinuria atau haematuri saja sampai dengan GN progresif cepat.

2.2 Definisi Glomerulonefritis

Glomerulonephritis (GN) adalah penyakit akibat respon imunologik dan hanya


jenis tertentu yang secara pasti telah diketahui etiologinya.Glomerulonefritis adalah
penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam gromleurus dan
bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria.Glomerulonefritis merupakan
suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang
mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme
imunologis. (Dipiro, 2011)
Glomerulonefritis diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :
1. Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak pada
kedua ginjal. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat pengendapan kompleks antigen
antibody di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari setelah
infeksi faring atau kulit oleh streptokokus (glomerulonefritis pascastreptokokus), tetapi
dapat juga timbul setelah infeksi lain.
Glomerulonefritis akut lebih sering terjadi pada laki-laki (2:1), walaupun dapat
terjadi pada semua usia, tetapi biasanya berkembang pada anak-anak dan sering pada usia
6-10 tahun. Glomerulonefritis akut (GNA) ialah suatu reaksi imunologik pada ginjal

3
terhadap bakteri atau virus tertentu. Infeksi disebabkan karena kuman streptococcus.
Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dan lebih sering mengenai
anak pria dibandingkan dengan anak wanita (Ngastiyah, 1997, hal.294).
Glomerulonefritis akut dapat dihasilkan dari penyakit sistemik atau penyakit
glomerulus primer, tetapi glomerulonefritis akut post streptococcus (juga diketahui
sebagai glomerulonefritis proliferatif akut) adalah bentuk keadaan yang sebagian besar
terjadi. Infeksi dapat berasal dari faring atau kulit dengan streptococcus beta hemolitik A
adalah yang biasa memulai terjadinya keadaan yang tidak teratur ini. Stapilococcus atau
infeksi virus seperti hepatitis B, gondok, atau varicela (chickenpox) dapat berperan
penting untuk glomerulonefritis akut pasca infeksi yang serupa (Potter,2005).
Glomerulonefritis akut paling sering ditemukan pada anak laki – laki berusia tiga
hingga tujuh tahun meskipun penyakit ini dapat terjadi pada segala usia. Hingga 95 %
anak – anak dan 70 % dewasa akan mengalami pemulihan total. Pada pasien lain,
khususnya yang berusia lanjut, dapat terjadi progresivitas penyakit ke arah gagal ginjal
kronis dalam tempo beberapa bulan saja.
2. Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada beberapa
penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama
bertahun-tahun. Glomerulus kronis adalah suatu kondisi peradangan yang lama dari sel-
sel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak
membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa
tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus subklinis yang disertai oleh hematuria
(darah dalam urine) dan proteinuria (protein dalam urine) ringan.Glomerulonefritis
kronik adalah kategori heterogen dari penyakit dengan berbagai kasus. Semua bentuk
gambaran sebelumya dari glomerulonefritis dapat meningkat menjadi keadan kronik.
Kadang- kadang glomerulonefritis pertama dilihat sebagai sebuah proses kronik.
Pasien dengan penyakit ginjal (glomerulonefritis) yang dalam pemeriksaan urinnya
masih terdapat hematuria dan proteinuria dikatakan menderita glomerulonefritis kronik.
Hal ini terjadi karena eksaserbasi berulang dari glomerulonefritis akut yang berlangsung
dalam beberapa waktu beberapa bulan/tahun, karena setiap eksaserbasi akan
menimbulkan kerusakan pada ginjal yang berkibat gagal ginjal (Ngastiyah, 1997)
3. Glomerulonefritis Progresif Cepat

4
Glomurulonefritis progresif cepat adalah peradangan glomerulus yang terjadi
sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah penyakit
awal di derita. Glomerulonefritis progresif cepat ( rapid progressive glomerulonephritis,
RPGN ) yang juga dinamakan glomerulonefritis sub akut, kresentik, atau ekstrakapiler.
Penyakit ini bisa bersifat idiopatik atau disertai dengan penyakit glomerulus proliferatif,
seperti glomerulonefritis pascastreptokokal.

2.3 Epidemiologi Penyakit Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut ialah suatu reaksi imunologik pada ginjal terhadap bakteri
atau virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman streptokokus. Penyakit ini
sering ditemukan pada anak berumur 3 - 7 tahun dan lebih sering mengenai anak pria
dibandingkan dengan anak wanita ( Ngastiyah, 1997, hal.294 ). Sedangkan
Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada beberapa penyakit,
dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama bertahun-
tahun. Glomerulonefritis sering disebabkan oleh infeksi karena kuman streptococcus.
Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3 - 7 tahun dan lebih sering mengenai
anak pria dibandingkan dengan anak wanita ( Ngastiyah, 1997, hal.294 ).

Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptococcus beta hemolitikus


grup A tipe 12 atau 4 dan 1. Tanda dan gejalanya adalah hematuria, proteinuria, oliguria,
edema, dan hipertensi. Glomerulonefritis dapat terjadi pada semua kelompok umur,
namun sering pada golongan umur 5 - 15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Penyakit ini
dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki dua kali lebih sering dari
pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1.

Suku atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi
kemungkinan prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga
lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat. Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis
lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena
bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi
epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis
pelajar, 5% - 10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya
telah melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan.

5
2.4 Etiologi

Faktor penyebab Glomerulonefritis Akut yang mendasari terjadinya sindrom ini


secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan noninfeksi. Infeksi sreptococcus
terjadi sekitar 5-10% pada orang dengan radang tenggorokan dan 25% pada mereka
dengan infeksi kulit. Penyebab nonstretococcus, meliputi bakteri ,virus dan parasit.
Sedangkan yang termasuk noninfeksi adalah penyakit sistemik multisystem ,seperti pada
lupus eritematosus sistemik (SLE), vaskulitis, sindrom Goodpasture , granulomatosis
Wegener. (Dipiro,2011)

Kondisi penyebab lainnya adalah kondisi sindrom Gillain-Barre. Penyebab


Glomerulonefritis kronik yang sering adalah diabetes melitus dan hipertensi kronik.
Kedua penyakit ini berkaitan dengan cidera glomerulus yang bermakna dan berulang.
Hasil akhir dari peradangan tersebut adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya
fungsi glomerulus. Kerusakan glomerulus sering diikuti oleh atrofi tubulus.
Glomerulonefritis progresif cepat dapat terjadi akibat perburukan glomerulonefritis akut,
suatu penyakit autoimun, atau tanpa diketahui sebabnya (idiopatik). (Dipiro, 2011)

2.5 Tanda dan Gejala Penyakit Glomerulonefritis

Gambaran klinik Glomerulonefritis Akut dapat bermacam-macam. Gejala yang


sering ditemukan adalah hematuria ( kencing berwarna merah seperti air daging). Kadang
disertai edema ringan disekitar mata atau dapat juga seluruh tubuh. Umumnya terjadi
edema berat bila terdapat oliguria dan gagal jantung. Hipertensi terdapat pada 60-70 %
anak dengan GNA pada hari pertama dan akan kembali normal pada akhir minggu
pertama. Jika terdapat kerusakan jaringan ginjal, tekanan darah akan tetap tinggi selama
beberapa minggu dan menjadi permanen jika keadaan penyakitnya menjadi kronik.
Hipertensi ini timbul karena vasospasme atau iskemia ginjal dan berhubungan dengan
gejala serebrum serta kelainan jantung.

Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, diare sering menyertai
pasien GNA. Selama fase akut terdapat vasokonstriksi arteriola glomerulus yang
mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi
glomerulus pun menjadi kurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat-zat lainnya berkurang
dan sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi tubulus
relatif kurang terganggu. Ion natrium dan air di reabsorpsi kembali sehingga diuresis

6
mengurang (timbul oliguria dan anuria) dan ekskresi natrium mengurang, ureum pun
direabsorpsi kembali lebih dari biasa. Akibatnya terjadi insufisiensi ginjal akut dengan
urema, hiperfosfatemia, hidremia, dan asidosis metabolik.
Gejala Glomerulonefritis kronik bervariasi. Kondisi secara insidental dijumpai
ketika terjadi hipertensi atau peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum. Diagnosis
dapat ditegakkan ketika perubahan vaskuler atau perdarahan retina ditemukan selama
pemeriksaan mata. Indikasi pertama penyakit dapat berupa perdarahan hidung, stroke,
atau kejang yng terjadi secara mendadak. Beberapa pasien hanya memberitahu bahwa
tungkai mereka sedikit bengkak dimalam hari. Mayoritas pasien pasien juga mengalami
gejala umum seperti kehilangan berat dan kekuatan badan, peningkatan iritabilitas, dan
peningkatan berkemih dimalam hari (nokuria), sakit kepala, pusing, dan gangguan
pencernaan umumnya terjadi.

Seiring dengan berkembangnya glomerulonefritis kronik, tanda dan gejala


insufisiensi renal dan gagal ginjal kronik dapat terjadi. Pasien tampak sangat kurus,
pigmen kulit tampak kuning keabu-abuan dan terjadi edema perifer (dependen) dan
periorbital. Tekanan darah mungkin normal atau naik dengan tajam. Temuan pada retina
mencakup hemoragi, adanya eksudat, arteriol menyempit dan berliku-liku, serta
papiledema. Membran mukosa pucat karena anemia. Pangkal vena mengalami distensi
akibat cairan yang berlebihan. Kardiomegali, irama galop, dan tanda gagal jantung
kongestif lain dapat terjadi pada Glomerulonefritis kronik. Bunyi krekel dapat didengar
di paru. Neuropati perifer disertai hilangnya reflek tendon dan perubahan neurosensori
muncul setelah penyakit Glomerulonefritis kronik.

Pasien mengalami konfusi dan memperlihatkan rentang penyakit yang


menyempit. Temuan lain mencakup perikarditis disertai friksi perikardial dan pulsus
paradoksus (perbedaan tekanan darah lebih dari 10 mmHg selama inspirasi dan
ekspirasi). Pasien glomerulonefritis Progresif Cepat mengalami keluhan berhubungan
dengan kondisi vaskulitis Anca (antineutrophil cytoplasmic antibodies) seperti flu di
tandai dengan malaise, demam, arthralgias, mialgia, anoreksia, kehilangan berat badan.
Setelah kondisi tersebut, keluhan yang paling umum adalah sakit perut, gangguan kulit
denganadanya nodul atau ulserasi. Ketika terdapat keterlibatan saluran pernapasan atas,
pasien mengeluh gejala sinusitis, batuk, dan hemoptosis.

7
2.6 Patofisiologi Penyakit Glumeronefritis

Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.


Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-
antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut
secara mekanis terperangkap dalam membran basalis.selanjutnya komplomen akan
terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear
(PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga
merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap
lesi yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan
selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang
dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Kemungkinan kompleks
komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada
mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular serta berbungkah-bungkah pada
mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak
dan hiperseluler disertai invasi PMN. (Markum, 1990)
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari
reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi)
mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang menyebabkan
destruksi pada membran basalis glomerulus.
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan
mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini
dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis
glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel.
Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis
dengan komponen glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks
imun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium,
subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola
nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi
dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini
terkadang dapat diidentifikasi. (Corwin, 2009)

8
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi
terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam
sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.7 Streptokinase yang merupakan
sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai
kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat
mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang
dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi
perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt
meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi
simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon
cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel.
Pada kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan
proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur
menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang
dibentuk pada sisi epitel. (Corwin, 2009)
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit
kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian
ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-
kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan
berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah epitel, sementara kompleks-kompleks
berukuran sedang tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke
mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal
antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan
terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam
glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada
glomerulonefritis akut post steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa
penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut (Corwin, 2009) :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
9
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.

3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen


antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membran
basalis ginjal.

Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang
mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau
alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan
terjadinya :
1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)
2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG)
juga menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam
akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia,
kongesti vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi,
kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia,
dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun.

3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2


yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan
perfusi ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping
timbulnya hipertensi. Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek
adrenal untuk melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal
dan akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi.

2.7 Diagnosis Penyakit Glumeronefritis

a. Urinalitis menunjukkan gravitasi mendekati 1.010,proteinuria dan endapan urinarius


(butr-butir yang disekresi oleh tubulus ginjal yang rusak). Kriteria pemeriksaan urin
(Price, 2002) :

 Warna

10
Secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen. Warna urine kotor kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine (anuria).
 Berat jenis
Kurang dari 1,010 g/ml menunjukkan kerusakan ginjal berat.
 Osmolalitas
Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal tubular dan rasio
urin/serum sering 1:1.
 Protein
Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
 Klirens kreatinin
Kemungkinan sedikit menurun.
 Natrium
Lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.

b. Ketika gagal ginjal terjadi dan filtrasi glomerulus menurun dibawah 50ml/menit
(N : 100-120ml/menit,1,67-2,00 ml/detik), maka akan terjadi perubahan :
 Hiperkalemia akibat penurunan eskresi, masukan dari makanan, serta
medikasi, asidosis, dan katabolisme.
 Asidosis metabolic akibat sekresi asam oleh ginjal dan
ketidakmampuan untuk regenerasi bikarbonat.
 Anemia akibat penurunan eritropoesis (produk SDM).
 Hipoalbuminemia disertai edema akibat kehilangan protein melalui
membrane glomerulus yang rusak.
 Serum kalsium meningkat.
 Hipermagnesrumia akibat penurunan eskresi dan ingesti antacid yang
mengandung magnesium.
 Kerusakan hantaman saraf akibat abnormalitas elektrolit dan uremia

c. Pemeriksaan sinar X pada dada menunjukkan pembesaran jantung dan edema


pulmoner.
d. EKG mungkin normal imun dapat juga menunjukkan adanya hipertensi disertai
hipertropi ventrikel kiri dan gangguan elektrolit,seperti hiperkalemia dan puncak
gelombang T.

11
e. Ultrasonografi Ginjal (Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas).
f. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi (Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif).
g. Arteriogram Ginjal (Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa).
h. Pemeriksaan laboratorium, yaitu :
 LED (Laju Endap Darah) meningkat.
 Kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air).
 Ht : menurun karena adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl.
 Pemeriksaan urin menunjukkan jumlah urin menurun, Berat jenis urine
meningkat.
 Hematuri makroskopis ditemukan pada 50% pasien, ditemukan :Albumin (+),
eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit, eritrosit, dan hialin.
 Albumin serum sedikit menurun, komplemen serum (Globulin beta- IC) sedikit
menurun.
 Ureum dan kreatinin meningkat.
 Titer antistreptolisin umumnya meningkat, kecuali kalau infeksi streptococcus
yang mendahului hanya mengenai kulit saja.
 BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.
 Uji fungsi ginjal normal pada 50% pasien.
 GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2.

2.8 Farmakokinetika Obat-Obat Penyakit Glomerulonefritis

A. Tujuan Penatalaksanaan : untuk memulihkan fungsi ginjal dan untuk mengobati


komplikasi dengan cepat.
B. Terapi :
Seperti telah dikemukakan, pengobatan penyakit glomerulus saat ini lebih
dititikberatkan pada anti peradangan untuk melawan reaksi sistem imun, serta obat
antisklerogenik untuk menghambat progresifitas fibrosis ginjal. Obat anti
peradangan pada fase aktif glomerulonephritis :

 Terapi farmakologi spesifik untuk glomerolus.

12
 Terapi suportif untuk mencegah dan terapi patofisiologi yg menyertai (HT, edema,
progresi peny.ginjal)

 Pasien syndrom nefrotik.

 Terapi suportive untuk komplikasi ekstrarenal (hipoalbuminemia, hiperlipid,


thromboemboli).

a. Terapi edema

 Edema Nephrotik

 Pembatasan garam, bed rest, stocking, diuretik

 Furosemid 160-480 mg untuk edema moderat

 Untuk meningkatkan natriuresis dapat diberikan thiazide atau


metolazole

 Alternatif : infus loop diuretik 160-480 mg/hari

 Edema morbid

 Infus albumin utk vol plasma ekspander dan meningkatkan efek


diuretik.

b. Terapi Hipertensi

Bertujuan untuk menurunkan progesifitas penyakit ginjal dan risiko


kardiovaskuler.

 JNC 7 : Target 130/80 mmHg pada GGK.


(GFR<60 ml/min atau albuminuria > 300 mg/hari)

 Pilihan terapi : ACE atau ARB.


Menunda penurunan fungsi ginjal (menurunkan proteinuria)

 Alternatif :

 CCB nondihidropiridin (efek menurunkan proteinuria)

 CCB dihidropiridin (tidak menurunkan proteinuria)

c. Terapi Proteinuria

 Diet pembatasan protein :

GFR 13-24 ml/min/1,73m2 – 0,66 g/kg

Moderat – 0,8 g/kg/hari

13
 ACEI :

Efek antiproteinuria

Memperbaiki GBM

 NSAID (indometacin dan meclofenamat)

 Menurunkan proteinuria melalui penghambatan prostaglandin E2

d. Terapi Hiperlipidemia

Hyperlipidemia meningkatkan risiko atherosklerosis dan CHD

 Terapi :

Diet rendah lemak

Tx of choice : HMG Co-A-reduktase

 Menurunkan kolesterol total, LDL & trigliserida

 Modulasi sistim signal intraseluler yang berperan dalam proliferasi sel


inflamasi dan respon fibrogenik

e. Terapi Antikoagulan

Komplikasi serius : trombosis intravaskuler terutama pada nephropathy


membranous

 Pertimbangan pemberian antikoagulan profilaksis:

Membranous nephropathy

Pasien dengan risiko thrombosis

 Prolonged bed rest

 Pembedahan

 Episode dehidrasi

 Penggunaan steroid dosis tinggi iv

f. Mikofenolat mofetil
Mikofenolat mofetil (MMF) merupakan obat yang dipakai secara luas
pada transplantasi, bekerja pada sintesis purin dan limfosit T, serta B.
Mekanisme kerja MMF menghambat enzim inosine monophosphate
dehydrogenase (IMPDH) secara reversibel. Enzim IMPDH membatasi
sintesis purin dengan mengkatalisasi perubahan inosin menjadi santin

14
monofosfat sehingga replikasi DNA dan proliferasi sel dihambat (Gambar 1).
Preparat MMF bekerja lebih efisien pada IMPDH limfosit aktif, karena itu
MMF merupakan inhibitor spesifik pada proliferasi limfosit aktif tanpa
menekan sumsum tulang. (Kwabatta, 1998)
Telah dibuktikan MMF dapat mencegah atau memperbaiki beberapa
jenis glomerulonefritis pada hewan. Obat MMF juga meningkatkan efek
perlindungan ginjal terhadap angiotensin converting enzyme-I/ACE-I. Selain
itu MMF dapat menurunkan hiperselularitas glomerulus dan efektif pada
pengobatan lupus eritematosus sistemik (LES) dewasa. Dosis Mikofenolat
mofetil adalah 1-3 gram/hari.
g. Steroid

Terapi steroid pada anak-anak digunakan untuk terapi proteinuria sekitar

90%. Terapi dibuktikan dengan terjadinya diuresis, kehilangan edema dan

penurunan proteinuria sebanyak 93% selama 8 minggu terapi. Prednison

diberikan dengan dosis 60 mg/m2 per hari dengan dosis maksimum 80-100

mg sehari dalam dosis terbagi selama 4 minggu pertama. Dosis dikurangi

menjadi 40 mg/m2 per hari atau dosis maksimum sehari yaitu 60 mg dalam

dosis terbagi untuk 3 hari berturut-turut setiap 7 hari selama 4 minggu. Dosis

Prednison untuk orang dewasa yaitu 1 mg/kg per hari selama 4 minggu.

Dosis dikurangi menjadi 0,75 mg/kg per hari selama 4 minggu. Proteinuria

akan hilang sebanyak 50%-60% setelah 8 minggu pengobatan dan sembuh

sebanyak 80% setelah 8 minggu pengobatan.

h. Agen Cytotoxic

Agen cytotoxic digunakan unuk pasien yang resisten terhadap steroid atau

mendapatkan dosis tinggi steroid. Terapi yang dilakukan yaitu menggunakan

cyclophosphamide dosis 2 mg/kg per hari selama 12 minggu dengan

pemberian tunggal atau kombinasi dengan Prednison (50 sampai 75 mg/m2).

15
i. Cyclosporine

Cyclosporine menurunkan produksi limfokin dengan mengaktifkan limfosit T

sehingga menurunkan proteinuria. Dosis Cyclosporine untuk orang dewasa

adalah 5mg/kg dan untuk anak-anak adalah 100-150 mg/m2.

C. Diet (nutrisi) :
Karena adanya retensi cairan, diet yang pasien lakukan harus rendah
garam. Apabila BUN dan kretinin meningkat, supan protein juga dibatasi pada 1-
1,2 g/kg per hari. Diet pasien harus mengandung cukup karbohidrat agar tubuh
tidak menggunakan protein sebagai sumber energi untuk mencegah mengecilnya
otot (pelisutan otot) dan ketidakseimbangan nitrogen. Pasien ini memerlukan
2.500-3.500 kalori per hari.
Berat badan ditimbang setiap minggu untuk memantau penurunan berat
badan karena edema berkurang atau berat badan menurun akibat ada pelisutan
otot. Asupan kalium juga dibatasi apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 19
ml/menit. Kontrol glukosa yang ketat pada penderita diabet terbukti
memperlambat atau mengurangi progres glomerulonefritis.
D. Aktivitas :
Selama masih ada tanda-tanda klinis glomerulonefritis, pasien harus melakukan
tirah baring/ bed rest sampai manifestasi klinis hilang.

2.9 Monitoring Dan Evaluasi Terapi Penyakit Glomerulonefritis

Pasien harus dimonitor secara ketat untuk respon terapeutik serta pengembangan
toksisitas terkait pengobatan. Meskipun tingkat kerusakan fungsi ginjal merupakan
indikator penting keberhasilan pengobatan jangka panjang, resolusi nefrotik dan tanda-
tanda dan gejala nefritik yang terkait dengan glomerulopathies adalah target terapi jangka
pendek yang penting. Konsentrasi kreatinin serum serta bersihan kreatinin harus
dievaluasi sebelum dan selama perawatan; Urin 24 jam yang keluar harus dikumpulkan
untuk menentukan tingkat proteinuria. Sebagai alternatif, ekskresi protein urin harian
dapat diperkirakan dari rasio konsentrasi protein-ke-kreatinin total urin. Setelah
menetapkan korelasi antara protein urin 24 jam ekskresi dan rasio protein-ke-kreatinin,

16
tunggal, acak spesimen urin dapat digunakan sebagai pengganti koleksi urin 24 jam.
(Dipiro, 2011)
Tekanan darah harus dimonitor secara berkala untuk menilai kebutuhan dan
kecukupan terapi antihipertensi. Tekanan darah juga harus dievaluasi bersama dengan
tanda-tanda klinis dan gejala edema dan kelebihan cairan untuk mengukur kebutuhan
kontrol volume serta penggunaan diuretik. Untuk pasien dengan nefrotik sindrom,
konsentrasi lipid serum harus dipantau. Nafsu makan dan tingkat energi harus dmonitor,
karena ini adalah indikator kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan. Kadang-kadang,
biopsi ginjal diperlukan untuk menilai pengobatan dan perkembangan penyakit, untuk
menentukan strategi pengobatan selanjutnya, dan untuk mengkonfirmasi diagnosis awal.
Pasien yang menerima pengobatan obat sitotoksik harus dievaluasi untuk
toksisitas terkait obat setiap minggu selama perawatan awal periode. Setelah 1 bulan
perawatan, frekuensi pemantauan dapat dikurangi. Ketika pasien menjalani pengobatan
steroid jangka panjang, kunjungan bulanan sering diperlukan untuk penilaian kedua
keberhasilan dan toksisitas.

2.10 Farmakoekonomi

Uji komparatif yang prospektif, acak, dan terkontrol perlu dilakukan dilakukan
dalam populasi pasien yang cukup besar sebelum keberhasilan dan implikasi ekonomi
dari rejimen baru dapat ditetapkan. Tipe studi ini layak untuk bentuk yang lebih umum
glomerulonefritis, seperti penyakit perubahan minimal, nefropati IgA, dan nefropati
membranosa. Setelah mendefinisikan riwayat alam dan obat yang optimal rejimen untuk
setiap glomerulonefritis, bersamaan dengan kejadian komplikasi akibat obat, implikasi
ekonomi pendekatan pengobatan individu dapat dinilai. Namun, itu pendekatan optimal
untuk mengobati sebagian besar jenis glomerulonefritis belum teridentifikasi dan
implikasi ekonomi dari rejimen pengobatan individual dengan demikian tetap harus
ditetapkan.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Apabila glomerulus terjadi peradangan secara mendadak disebut


Glomerulonefritis Akut. Dimana terjadi pengendapan kompleks antigen antibody di
kapiler-kapiler glomerulus setelah infeksi oleh streptokokus. Sedangkan peradangan
glomerulus berkepanjangan disebut Glomerulonefritis kronis, akibat suatu kondisi
peradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. Glomurulonefritis progresif cepat adalah
peradangan glomerulus yang terjadi sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR
50% dalam 3 bulan setelah penyakit awal di derita. Penyakit ini bisa bersifat idiopatik
atau disertai dengan penyakit glomerulus proliferatif, seperti glomerulonefritis
pascastreptokokal.

Faktor penyebab Glomerulonefritis Akut yang mendasari terjadinya sindrom ini


secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan noninfeksi. Penyebab
Glomerulonefritis kronik yang sering adalah diabetes melitus dan hipertensi kronik.
Sedangkan Glomerulonefritis progresif cepat dapat terjadi akibat perburukan
glomerulonefritis akut, suatu penyakit autoimun, atau tanpa diketahui sebabnya
(idiopatik). Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut bertujuan untuk memulihkan fungsi
ginjal dan untuk mengobati komplikasi dengan cepat.

3.2 Saran

Dengan penulisan makalah ini, penulis berharap agar dapat menambah ilmu pengetahuan
tentang penyakit Glomerulonefritis kepada pembaca.

18
DAFTAR PUSTAKA

Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.


Dipiro,T.J., Talbeat, Robert L., Yee, Cary C., Matzke, Gary R., Wells, Barbara G., dan
Posey, Michael L. 2011.Pharmaracoterapy Handbook Eighth Edition, 563-582.
The McGraw-Hill Companies : United States of America

Kresno, Siti Boedina. 2001. Immunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.


Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Kwabatta, T.T., 1998. Immunopharmacology. Philadelphia : Mosby.
Markum, M.S., dkk. 1990. Glomerulonefritis : Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.

Potter, P. A., & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik Edisi 4. Jakarta : EGC

Price, dkk. 2002. Patifiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta :EGC.

Varmus, H. 1994. Cellular Interaction. Philadelphia : Saunders Co Publishing.

19

Anda mungkin juga menyukai