MAKALAH FARMAKOTERAPI II
Oleh :
November 2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga makalah yang berjudul “Glumerulonefritis” ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Farmakoterapi II Arif Santoso,
S.Farm., Apt yang telah memberi bimbingan dalam penyusunan makalah ini.
Diharapkan makalah ini dapat dimanfaatkan dengan sebaiknya, serta dapat menjadi
sumber wawasan bagi pembaca. Disadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat
kekurangan. Diharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai wawasan untuk menulis
makalah selanjutnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pendahuluan ............................................................................................. 3
2.2. Definisi Glumerulonefritis ....................................................................... 3
2.3. Epidemiologi Penyakit Glomerulonefritis ............................................... 5
2.4. Etiologi...................................................................................................... 6
2.5. Tanda dan Gejala Penyakit Glumerulonefritis ......................................... 6
2.6. Patofisiologi Penyakit Glumerulonefritis ................................................. 8
2.7. Diagnosis Penyakit Glumerulonefritis.................................................... 10
2.8. Farmakokinetika Obat-Obat Penyakit Glumerulonefritis ...................... 12
2.9. Monitoring dan Evaluasi Penyakit Glumerulonefritis ........................... 16
2.10. Farmakoekonomi .................................................................................. 17
BAB III PENUTUP
3.1. Simpulan ................................................................................................ 18
3.2. Saran ....................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
5. Bagaimana tanda dan gejala penyakit glomerulonefritis ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendahuluan
3
terhadap bakteri atau virus tertentu. Infeksi disebabkan karena kuman streptococcus.
Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dan lebih sering mengenai
anak pria dibandingkan dengan anak wanita (Ngastiyah, 1997, hal.294).
Glomerulonefritis akut dapat dihasilkan dari penyakit sistemik atau penyakit
glomerulus primer, tetapi glomerulonefritis akut post streptococcus (juga diketahui
sebagai glomerulonefritis proliferatif akut) adalah bentuk keadaan yang sebagian besar
terjadi. Infeksi dapat berasal dari faring atau kulit dengan streptococcus beta hemolitik A
adalah yang biasa memulai terjadinya keadaan yang tidak teratur ini. Stapilococcus atau
infeksi virus seperti hepatitis B, gondok, atau varicela (chickenpox) dapat berperan
penting untuk glomerulonefritis akut pasca infeksi yang serupa (Potter,2005).
Glomerulonefritis akut paling sering ditemukan pada anak laki – laki berusia tiga
hingga tujuh tahun meskipun penyakit ini dapat terjadi pada segala usia. Hingga 95 %
anak – anak dan 70 % dewasa akan mengalami pemulihan total. Pada pasien lain,
khususnya yang berusia lanjut, dapat terjadi progresivitas penyakit ke arah gagal ginjal
kronis dalam tempo beberapa bulan saja.
2. Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada beberapa
penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama
bertahun-tahun. Glomerulus kronis adalah suatu kondisi peradangan yang lama dari sel-
sel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak
membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa
tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus subklinis yang disertai oleh hematuria
(darah dalam urine) dan proteinuria (protein dalam urine) ringan.Glomerulonefritis
kronik adalah kategori heterogen dari penyakit dengan berbagai kasus. Semua bentuk
gambaran sebelumya dari glomerulonefritis dapat meningkat menjadi keadan kronik.
Kadang- kadang glomerulonefritis pertama dilihat sebagai sebuah proses kronik.
Pasien dengan penyakit ginjal (glomerulonefritis) yang dalam pemeriksaan urinnya
masih terdapat hematuria dan proteinuria dikatakan menderita glomerulonefritis kronik.
Hal ini terjadi karena eksaserbasi berulang dari glomerulonefritis akut yang berlangsung
dalam beberapa waktu beberapa bulan/tahun, karena setiap eksaserbasi akan
menimbulkan kerusakan pada ginjal yang berkibat gagal ginjal (Ngastiyah, 1997)
3. Glomerulonefritis Progresif Cepat
4
Glomurulonefritis progresif cepat adalah peradangan glomerulus yang terjadi
sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah penyakit
awal di derita. Glomerulonefritis progresif cepat ( rapid progressive glomerulonephritis,
RPGN ) yang juga dinamakan glomerulonefritis sub akut, kresentik, atau ekstrakapiler.
Penyakit ini bisa bersifat idiopatik atau disertai dengan penyakit glomerulus proliferatif,
seperti glomerulonefritis pascastreptokokal.
Glomerulonefritis akut ialah suatu reaksi imunologik pada ginjal terhadap bakteri
atau virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman streptokokus. Penyakit ini
sering ditemukan pada anak berumur 3 - 7 tahun dan lebih sering mengenai anak pria
dibandingkan dengan anak wanita ( Ngastiyah, 1997, hal.294 ). Sedangkan
Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada beberapa penyakit,
dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama bertahun-
tahun. Glomerulonefritis sering disebabkan oleh infeksi karena kuman streptococcus.
Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3 - 7 tahun dan lebih sering mengenai
anak pria dibandingkan dengan anak wanita ( Ngastiyah, 1997, hal.294 ).
Suku atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi
kemungkinan prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga
lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat. Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis
lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena
bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi
epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis
pelajar, 5% - 10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya
telah melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan.
5
2.4 Etiologi
Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, diare sering menyertai
pasien GNA. Selama fase akut terdapat vasokonstriksi arteriola glomerulus yang
mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi
glomerulus pun menjadi kurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat-zat lainnya berkurang
dan sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi tubulus
relatif kurang terganggu. Ion natrium dan air di reabsorpsi kembali sehingga diuresis
6
mengurang (timbul oliguria dan anuria) dan ekskresi natrium mengurang, ureum pun
direabsorpsi kembali lebih dari biasa. Akibatnya terjadi insufisiensi ginjal akut dengan
urema, hiperfosfatemia, hidremia, dan asidosis metabolik.
Gejala Glomerulonefritis kronik bervariasi. Kondisi secara insidental dijumpai
ketika terjadi hipertensi atau peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum. Diagnosis
dapat ditegakkan ketika perubahan vaskuler atau perdarahan retina ditemukan selama
pemeriksaan mata. Indikasi pertama penyakit dapat berupa perdarahan hidung, stroke,
atau kejang yng terjadi secara mendadak. Beberapa pasien hanya memberitahu bahwa
tungkai mereka sedikit bengkak dimalam hari. Mayoritas pasien pasien juga mengalami
gejala umum seperti kehilangan berat dan kekuatan badan, peningkatan iritabilitas, dan
peningkatan berkemih dimalam hari (nokuria), sakit kepala, pusing, dan gangguan
pencernaan umumnya terjadi.
7
2.6 Patofisiologi Penyakit Glumeronefritis
8
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi
terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam
sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.7 Streptokinase yang merupakan
sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai
kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat
mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang
dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi
perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt
meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi
simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon
cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel.
Pada kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan
proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur
menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang
dibentuk pada sisi epitel. (Corwin, 2009)
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit
kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian
ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-
kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan
berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah epitel, sementara kompleks-kompleks
berukuran sedang tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke
mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal
antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan
terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam
glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada
glomerulonefritis akut post steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa
penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut (Corwin, 2009) :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
9
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang
mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau
alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan
terjadinya :
1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)
2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG)
juga menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam
akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia,
kongesti vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi,
kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia,
dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun.
Warna
10
Secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen. Warna urine kotor kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine (anuria).
Berat jenis
Kurang dari 1,010 g/ml menunjukkan kerusakan ginjal berat.
Osmolalitas
Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal tubular dan rasio
urin/serum sering 1:1.
Protein
Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Klirens kreatinin
Kemungkinan sedikit menurun.
Natrium
Lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
b. Ketika gagal ginjal terjadi dan filtrasi glomerulus menurun dibawah 50ml/menit
(N : 100-120ml/menit,1,67-2,00 ml/detik), maka akan terjadi perubahan :
Hiperkalemia akibat penurunan eskresi, masukan dari makanan, serta
medikasi, asidosis, dan katabolisme.
Asidosis metabolic akibat sekresi asam oleh ginjal dan
ketidakmampuan untuk regenerasi bikarbonat.
Anemia akibat penurunan eritropoesis (produk SDM).
Hipoalbuminemia disertai edema akibat kehilangan protein melalui
membrane glomerulus yang rusak.
Serum kalsium meningkat.
Hipermagnesrumia akibat penurunan eskresi dan ingesti antacid yang
mengandung magnesium.
Kerusakan hantaman saraf akibat abnormalitas elektrolit dan uremia
11
e. Ultrasonografi Ginjal (Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas).
f. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi (Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif).
g. Arteriogram Ginjal (Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa).
h. Pemeriksaan laboratorium, yaitu :
LED (Laju Endap Darah) meningkat.
Kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air).
Ht : menurun karena adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl.
Pemeriksaan urin menunjukkan jumlah urin menurun, Berat jenis urine
meningkat.
Hematuri makroskopis ditemukan pada 50% pasien, ditemukan :Albumin (+),
eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit, eritrosit, dan hialin.
Albumin serum sedikit menurun, komplemen serum (Globulin beta- IC) sedikit
menurun.
Ureum dan kreatinin meningkat.
Titer antistreptolisin umumnya meningkat, kecuali kalau infeksi streptococcus
yang mendahului hanya mengenai kulit saja.
BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.
Uji fungsi ginjal normal pada 50% pasien.
GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2.
12
Terapi suportif untuk mencegah dan terapi patofisiologi yg menyertai (HT, edema,
progresi peny.ginjal)
a. Terapi edema
Edema Nephrotik
Edema morbid
b. Terapi Hipertensi
Alternatif :
c. Terapi Proteinuria
13
ACEI :
Efek antiproteinuria
Memperbaiki GBM
d. Terapi Hiperlipidemia
Terapi :
e. Terapi Antikoagulan
Membranous nephropathy
Pembedahan
Episode dehidrasi
f. Mikofenolat mofetil
Mikofenolat mofetil (MMF) merupakan obat yang dipakai secara luas
pada transplantasi, bekerja pada sintesis purin dan limfosit T, serta B.
Mekanisme kerja MMF menghambat enzim inosine monophosphate
dehydrogenase (IMPDH) secara reversibel. Enzim IMPDH membatasi
sintesis purin dengan mengkatalisasi perubahan inosin menjadi santin
14
monofosfat sehingga replikasi DNA dan proliferasi sel dihambat (Gambar 1).
Preparat MMF bekerja lebih efisien pada IMPDH limfosit aktif, karena itu
MMF merupakan inhibitor spesifik pada proliferasi limfosit aktif tanpa
menekan sumsum tulang. (Kwabatta, 1998)
Telah dibuktikan MMF dapat mencegah atau memperbaiki beberapa
jenis glomerulonefritis pada hewan. Obat MMF juga meningkatkan efek
perlindungan ginjal terhadap angiotensin converting enzyme-I/ACE-I. Selain
itu MMF dapat menurunkan hiperselularitas glomerulus dan efektif pada
pengobatan lupus eritematosus sistemik (LES) dewasa. Dosis Mikofenolat
mofetil adalah 1-3 gram/hari.
g. Steroid
diberikan dengan dosis 60 mg/m2 per hari dengan dosis maksimum 80-100
menjadi 40 mg/m2 per hari atau dosis maksimum sehari yaitu 60 mg dalam
dosis terbagi untuk 3 hari berturut-turut setiap 7 hari selama 4 minggu. Dosis
Prednison untuk orang dewasa yaitu 1 mg/kg per hari selama 4 minggu.
Dosis dikurangi menjadi 0,75 mg/kg per hari selama 4 minggu. Proteinuria
h. Agen Cytotoxic
Agen cytotoxic digunakan unuk pasien yang resisten terhadap steroid atau
15
i. Cyclosporine
C. Diet (nutrisi) :
Karena adanya retensi cairan, diet yang pasien lakukan harus rendah
garam. Apabila BUN dan kretinin meningkat, supan protein juga dibatasi pada 1-
1,2 g/kg per hari. Diet pasien harus mengandung cukup karbohidrat agar tubuh
tidak menggunakan protein sebagai sumber energi untuk mencegah mengecilnya
otot (pelisutan otot) dan ketidakseimbangan nitrogen. Pasien ini memerlukan
2.500-3.500 kalori per hari.
Berat badan ditimbang setiap minggu untuk memantau penurunan berat
badan karena edema berkurang atau berat badan menurun akibat ada pelisutan
otot. Asupan kalium juga dibatasi apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 19
ml/menit. Kontrol glukosa yang ketat pada penderita diabet terbukti
memperlambat atau mengurangi progres glomerulonefritis.
D. Aktivitas :
Selama masih ada tanda-tanda klinis glomerulonefritis, pasien harus melakukan
tirah baring/ bed rest sampai manifestasi klinis hilang.
Pasien harus dimonitor secara ketat untuk respon terapeutik serta pengembangan
toksisitas terkait pengobatan. Meskipun tingkat kerusakan fungsi ginjal merupakan
indikator penting keberhasilan pengobatan jangka panjang, resolusi nefrotik dan tanda-
tanda dan gejala nefritik yang terkait dengan glomerulopathies adalah target terapi jangka
pendek yang penting. Konsentrasi kreatinin serum serta bersihan kreatinin harus
dievaluasi sebelum dan selama perawatan; Urin 24 jam yang keluar harus dikumpulkan
untuk menentukan tingkat proteinuria. Sebagai alternatif, ekskresi protein urin harian
dapat diperkirakan dari rasio konsentrasi protein-ke-kreatinin total urin. Setelah
menetapkan korelasi antara protein urin 24 jam ekskresi dan rasio protein-ke-kreatinin,
16
tunggal, acak spesimen urin dapat digunakan sebagai pengganti koleksi urin 24 jam.
(Dipiro, 2011)
Tekanan darah harus dimonitor secara berkala untuk menilai kebutuhan dan
kecukupan terapi antihipertensi. Tekanan darah juga harus dievaluasi bersama dengan
tanda-tanda klinis dan gejala edema dan kelebihan cairan untuk mengukur kebutuhan
kontrol volume serta penggunaan diuretik. Untuk pasien dengan nefrotik sindrom,
konsentrasi lipid serum harus dipantau. Nafsu makan dan tingkat energi harus dmonitor,
karena ini adalah indikator kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan. Kadang-kadang,
biopsi ginjal diperlukan untuk menilai pengobatan dan perkembangan penyakit, untuk
menentukan strategi pengobatan selanjutnya, dan untuk mengkonfirmasi diagnosis awal.
Pasien yang menerima pengobatan obat sitotoksik harus dievaluasi untuk
toksisitas terkait obat setiap minggu selama perawatan awal periode. Setelah 1 bulan
perawatan, frekuensi pemantauan dapat dikurangi. Ketika pasien menjalani pengobatan
steroid jangka panjang, kunjungan bulanan sering diperlukan untuk penilaian kedua
keberhasilan dan toksisitas.
2.10 Farmakoekonomi
Uji komparatif yang prospektif, acak, dan terkontrol perlu dilakukan dilakukan
dalam populasi pasien yang cukup besar sebelum keberhasilan dan implikasi ekonomi
dari rejimen baru dapat ditetapkan. Tipe studi ini layak untuk bentuk yang lebih umum
glomerulonefritis, seperti penyakit perubahan minimal, nefropati IgA, dan nefropati
membranosa. Setelah mendefinisikan riwayat alam dan obat yang optimal rejimen untuk
setiap glomerulonefritis, bersamaan dengan kejadian komplikasi akibat obat, implikasi
ekonomi pendekatan pengobatan individu dapat dinilai. Namun, itu pendekatan optimal
untuk mengobati sebagian besar jenis glomerulonefritis belum teridentifikasi dan
implikasi ekonomi dari rejimen pengobatan individual dengan demikian tetap harus
ditetapkan.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini, penulis berharap agar dapat menambah ilmu pengetahuan
tentang penyakit Glomerulonefritis kepada pembaca.
18
DAFTAR PUSTAKA
Potter, P. A., & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik Edisi 4. Jakarta : EGC
Price, dkk. 2002. Patifiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta :EGC.
19