2014
1
BAB I
TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
intertisial maupun dalam alveoli. Edema merupakan tanda adanya kongesti paru
tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler,
merembes keluar dari dan menimbulkan dispnu yang sangat berat ( Smeltzer,
2001).
Jadi edema paru merupakan akumulasi cairan dalam rongga paru, cairan
abnormal dalam intertisial maupun alveoli dan merupakan komplikasi dari gagal
jantung kiri.
B. Etiologi
2
Penyebab tersering adalah aterosklerotik, hipertensi, kelaianan katup,
miopati.
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada
penderita dengan kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung
normal. Sindrome ini sering terjadi pada penderita yang mendapat cairan
kristaloid atau darah intavena dalam jumlah besar, terutama pada penderita
dengan gangguan fungsi ginjal.
b) Gangguan neurogenik
C. Patofisiologi
Perubahan yang dini pada edema paru adalah peningkatan aliran limfatik.
Karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang mengelilingi
arteriol paru dan saluran nafas yang kecil, pembengkakan saluran limfatik ini
akan memberi dampak pada struktur disekitarnya dengan akibat perubahan
hubungan tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah obstruksi
pada saluran nafas kecil yang telah dibuktikan merupakan perubahan fisiologis
dini pada penderita dengan gagal jantung kiri. Karena lesi ini tidak merata
disaluran paru, timbullah dalam distribusi ventilasi dan perfusi yang kemudian
menyebabkan hipoksemia ringan. Terkenanya arterior kecil juga dapat
3
menyebabkan gambaran radiologis dini pada gagal jantung kiri yaitu suatu
redistribusi aliran darah dari basis ke apek paru pada penderita dalam posisi
tegak.
Kalau terbentuknya cairan intertensial melebihi kapasitas sistem limfatik, akan
terjadi edema di dinding alveolar. Pada fase ini compliance (pemenuhan) paru
bekurang. Hal ini akan menyebabkan takipnea, yang mungkin merupakan tanda
klinik dini penderita edema paru. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran
darah menyebabkan pemburukan hipoksemia. Namun demikian ekskresi karbon
dioksida tidak terganggu, dan penderita akan menunjukkan keadaan
hiperventilasi dengan alkalosis respiratori. Selain hal yang telah disebutkan
diatas, defek fungsi juga mempunyai andil, dan pada fase ini mungkin akan
terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melaui alveoli yang tidak mengalami
ventilasi.
Pada fase alveolar flooding, semua gambaran menjadi lebih berat, compliance
akan menurun dengan nyata. Karena alveoli terisi dengan cairan, sementara
aliran darah ke daerah tersebut tetap berlangsung, pintas kanan ke kiri aliran
darah akan menjadi lebih berat dan menyebabkan hipoksemia yang rentan
terhadap peningkatan konsentrasi peningkatan, konsentrasi oksigen yang
diinspirasi. Kecuali pada keadaan yang amat berat, hiperventilasi dan alkalosis
respiratori akan tetap berlangsung. Secara radiologis akan tampak infiltrat
alveolar yang tersebar diseluruh paru, terutama didaerah perihilar dan basal.
Kongesti paru terjadi bila vaskuler paru menerima darah yang berlebihan dari
ventrikel kanan, yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri.
Sedikit ketidakseimbangan antara aliran masuk pada sisi kanan dan aliran keluar
pada sisi kiri jantung mengakibatkan konsekuensi yang berat.
Kapiler paru yang membesar oleh darah yang berlebih akibat ketidakmampuan
ventrikel kiri untuk memompa, tidak mampu lagi mempertahankan zat yang
terkandung didalamnya. Cairan, mula-mula serous dan kemudian mengandung
4
darah, lolos kejaringan alveoli disekitarnya melalui hubungan antara bronkhioli
dan brnkhi. Cairan ini kemudian bercampur dengan udara dan terkocok selama
pernafasan, dan dikeluarkan melalui mulut dan hidung. Karena adanya timbunan
cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang dan udara tidak dapat
masuk, akibatnya adalah hipoksia berat.
Pathway
5
Faktor kardiogenik Faktor nonkardiogenik
EDEMA PARU
Hipoksemia, takipnea
Alkalosis respiratorik
6
D. Manifestasi klinik
1. Dispnae mendadak
2. Napas basah
3. Takipnea
4. Takikardi
5. Ronkhi dan wheezing diseluruh lapang paru
6. Gelisah, ansietas, dan tidak dapat tidur
7. Asfiksia (seperti kehabisan nafas)
8. Tangan menjadi dingin dan basah
9. Bantalan kuku sianotik
10. Warna kulit menjadi abu-abu
11. Nadi cepat dan lemah
12. Distensi vena jugularis
13. Batuk hebat (peningkatan jumlah sputum mukoid)
14. Kesadaran stupor
E. Komplikasi
Karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat
mengembang dan udara tidak dapat masuk, akibatnya adalah hipoksia berat.
3. Atelektasis paru
4. Kematian
7
F. Evaluasi diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a) Gas Darah Arteri (GDA)
pH ( >7,45 )
PCO (< 35 mmHg)
menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratori.
2. Pemeriksaan radiologi
a) Rontgen thorak
G. Penatalaksanaan
1. Medis
a) Pemberian oksigen tambahan
b) Farmakoterapi
(1) Diuretik
(a) Furosemide (lasix)
8
(a) Digoksin
(b) Digokain
(3) Aminofilin
f) Pemantauan hemodinamika
9
Suatu metode yang penting untuk mengevaluasi volume sekuncup
dengan penggunaan kateter arteri pulmonal multi-lumen.
Kateter dipasang melalui vena cava superior dan dikaitkan ke atrium
kanan. Balon pada ujung kateter lalu dikembangkan, sehingga kateter
dapat mengikuti aliran darah melalui katup trikuspidalis, ventrikel kanan,
katup pulmonal, ke arteri pulmonalis komunis dan kemudian ke arteri
pulmonal kanan atau kiri, akhirnya berhenti pada cabang kecil arteri
pulmonal. Balon kemudian dikempiskan begitu kateter telah mencapai
arteri pulmonal, kemudian diplester dengan kuat.
Tekanan direkam dengan balon pada posisi baji pada dasar pembuluh
darah pulmonal. (tekanan baji kapiler rata-rata 14 dan 18 mmHg
menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang optimal). Pembacaan bentuk
gelombang dan tekanan dicatat selama pemasangan untuk
mengidentifikasi letak kateter dalam jantung.
2. Keperawatan
a) Berikan dukungan psikologis
(1) Menemani pasien
(2) Berikan informasi yang sering, jelas tentang apa yang sedang
dilakukan untuk mengatasi kondisi dan apa makna respons terhadap
pengobatan.
b) Atur posisi pasien
Pasien diposisikan dalam posisi tegak, dengan tungkai dan kaki dibawah,
sebaiknya kaki menggantung disisi tempat tidur, untuk membantu arus
balik vena ke jantung.
c) Auskultasi paru
d) Observasi hemodinamik non invasive/ tanda-tanda vital (tekanan darah,
nadi, frekuensi napas, tekanan vena jugularis)
e) Pembatasan asupan cairan pada klien.
f) Monitor intake dan output cairan tubuh klien
g) Catat tekanan yang direkam dengan balon kateter arteri pulmonal multi-
lumen pada posisi baji pada pembuluh darah pulmonal.
10
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Airway
Tanda : - Dyspnea
- Takipnea
- Bradipnea
- penurunan bunyi napas
- Nafas cuping hidung
- Retraksi dinding dada
- RR meningkat
3. Sirkulasi
Tanda : - Gelisah
11
- TD rendah (gagal pemompaan)
- Nadi cepat dan lemah
- Aritmia
- Bunyi jantung tambahan (S3 dan S4)
- Takikardi
- Pucat
- Sianosis
4. Disability
- Lemah/ lesu
Tanda : - gelisah
- penurunan kesadaran:
Somnolen
Apatis
Delirium
Stupor
Soporokoma
Koma
- letargi.
B. Diagnosa Keperawatan
12
C. Intervensi keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan pada rongga
intertisial dan alveoli paru.
a) Pantau TD
13
e) Berikan oksigen tambahan dengan nasal kanul atau masker
Morpin
R/: penurunan tahanan vaskuler dan aliran balik vena menurunkan kerja
miokard
R/:
14
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan hipersekresi sekunder
15
i) Ubah posisi, lakukan posturaldrainage
R :
Tujuan:
Kriteria hasil:
R/: menurunkan aliran balik vena, curah ventrikel kanan dan kongesti
paru
16
Kolaborasi :
-Bronkodilator (aminopilin)
DAFTAR PUSTAKA
Soeparman, dkk. (1999). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI.
17