Anda di halaman 1dari 7

1.

Definisi
Hematoma epidural adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang umumnya
terjadi karena fraktur calvaria akibat cedera kepala sehingga menyebabkan pecahnya
pembuluh darah dan darah terakumulasi dalam ruang antara duramater dan calvaria.
EDH akan menempati ruang dalam intrakranial, sehingga perluasan yang cepat pada
lesi ini dapat menimbulkan penekanan pada otak yang dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan kesadaran, kecacatan baik bersifat reversible maupun irreversible dan
bahkan kematian
Berdasarkan teori biomolekular golden period tindakan terapi definitif harus
dilakukan kurang dari 6 jam setelah kejadian, hal ini dikarenakan cedera otak sekunder dan
iskemik otak dapat terjadi 6 jam setelah kejadian. (HUBUNGAN RESPOND TIME
TREPANASI HEMATOMA EPIDURAL PADA CEDERA KEPALA BERAT DENGAN
OUTCOME, Mochamad Istiadjid Eddy Santoso,2016)

1. Epidural hematoma adalah hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber
perdarahannya adalah robeknya arteri meningea media. (NICNOC2015)
2. Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan tulang,
biasanya sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica media(paling
sering), vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus
venosus duralis.
3. Epidural hematoma adalah adanya pengumpulan darah diantara tulang tengkorak
dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal
media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri
karena itu sangat berbahaya.
4. Epidural hematoma sebagai keadaan neurology yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar sehingga menimbulkan perdarahan. (Anderson, 2005)
5. Epidural Hematoma adalah hematom/perdarahan yang terletak antara durameter
dan tubula interna/ lapisan bawah tengkorak dan sering terjadi pada lobus tengkorak
dan paretal (Smeltzer&Bare, 2001).

2. Klasifikasi.

3. Etiologi

Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deslerasi, akselerasi- deselerasi,


coup-countere coup, dan cedera rotasional.
1. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak (misalnya alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan ke kepala).
2. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam,
seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobi ketika kepala membentur kaca
depan mobil.
3. Cedera akselerasi-deselerasi terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan
bermotor dan episode kekerasan.
4. Cedera coup-counter coup Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan
otak bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertamakali terbentur.
Sebagai contoh : pasien dipukul dibagian belakang kepala.
5. Cedera rotasional terjadi jika pukulan / benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tengkorak yang mengakibatkan perenggangan atau
robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah
yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak

4. Manifestasi klinik
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.
Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti
ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman
pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang sering tampak : (3,8)
• Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Gangguan kesadaran yang terjadi langsung setelah cedera umumnya bukan
karena terjadinya hematoma epidural, melainkan karena teregangnya serat-serat
formasio retikularis di dalam batang otak. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang
sama yang terjadi pada hilangnya kesadaran saat terjadi komosio serebri. Setelah
beberapa saat, dimana hematoma yang terjadi telah mencapai sekitar 50 cc barulah
gejala neurologis akibat hematoma bermanifestasi. Gejala neurlogis ini muncul
terutama karena efek penekanan massa terhadap jaringan otak, bukan efek terjadinya
iskemia jaringan otak. Penekanan hematoma menyebabkan pendorongan otak dan
menimbulkan herniasi yang menekan batang otak.
Setelah efek regangan pada serat formasio retikularis di batang otak telah pulih,
umumnya pasien akan segera sadar kembali sampai akhirnya hematoma yang terjadi
sudah cukup besar sehingga menyebabkan terjadinya defisit neurologis, termasuk
penurunan kesadaran. Masa dimana penderita sadar sebelum kemudian mengalami
penurunan kembali ini disebut masa interval lusid.Walaupun lucid interval kerap
dianggap ciri klasik dari hematoma epidural, tetapi sesungguhnya bukan merupakan hal
yang patognomik, dan hanya dijumpai pada sepertiga kasus. Pada dasarnya lucid
interval dapat saja dijumpai pada setiap cedera kepala yang disertai lesi intrakranial
yang memberikan efek massa, yang menekan jaringan otak secara progresif.
Hematoma yang terjadi di daerah temporal akan menyebabkan gejala
neurologis yang cukup progresif. Pasien akan semakin menurun kesadarannya, seperti
hendak tidur terus tetapi tidak dapat dibangunkan. Hematoma yang semakin besar akan
mendorong jaringan otak ke bawah, ke arah insisura tentorii, sehingga terjadilah
herniasi jaringan otak yang menekan nervus okulomotorius pada sisi yang sama.
Sebagai dampaknya, akan terjadi miosis beberapa saat, yang kemudian midriasis, pada
mata sisi ipsilateral dengan hematoma yang tidak lagi berespon terhadap cahaya, dan
terjadilah anisokoria. Defisit neurologis lainnya yang dapat dijumpai dapat berupa
hemiparesis, kejang, muntah, dan pada pemeriksaan fisik dapat pula dijumpai refleks
Babinsky kontralateral yang positif.9,10
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal
dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah
terjadi herniasi tentorial.Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.Pada tahap
akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral jugamengalami
pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang
merupakan tanda kematian.Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika Epidural hematom di
sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat,
sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

5. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
durameter.Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang
arteria meningea media robek.Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak
di daerah bersangkutan.Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara duramater dan tulang di permukaan dan os.temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh
hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah temporal
menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam.Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh
tim medis. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formasi
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran.Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius).Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons
motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.7,8
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong
kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-
tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari
arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika
kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar
kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut
interval lucid.Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu
berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :8
• Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
• Sinus duramatis
• Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica.

6. Penatalaksanaan
 Primary survey dan resusitasi3
Airway
Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing, lender, atau darah.Terhentinya
pernafasan sementara dapat terjadi pada cedera otak, dan dapat mengakibatkan
gangguan sekunder.Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita
koma.
Breathing
Pada penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.Tindakan hiperventilasi harus
dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut.
Circulation
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada stadium
terminal dimana medulla oblongata sudah mengalami gangguan.Perdarahan
intrakranial tidak dapat menimbulkan syok hemoragik.Hipotensi menunjukkan adanya
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.
 Pemeriksaan neurologis3
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmoner
penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan reflex cahaya pupil. Pada penderita
koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau
menekan dasar kuku penderita.
 Secondary survey3
Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus selalu
dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal
(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma
langsung pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat
membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.

Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Setelah kondisi stabil,maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:


1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital11
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan.Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian
oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena, gunakan cairan NaCl 0,9%
atau dextrose in saline.
2. Mengurangi edema serebri11
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap
dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah
berbahaya. Namun harus diperhatikan untuk tidak memberikan cairan yang
berlebihan. Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang
cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam
fisiologis atau atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan
untuk mencegah terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah mempertahankan
volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik.
Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa
menyebabkan edema otak.
b. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan PCO2darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila
dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2diantara 25-30 mmHg.
c. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan manitol 20% per infus untuk "menarik" air dari
ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam
dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,25-1 gram/kg BB
dalam 10-30 menit, secara bolus intravena. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek
rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam
atau keesokan harinya.
d. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa
waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya
berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis
parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason pernah dicoba dengan
dosis awal 10 mg sampai 100 mg bolus yang kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam.
Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan
Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
e. Barbiturat
Digunakan untuk ”membius” pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan
akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen berkurang (efek protektif terhadap otak
dari anoksia dan iskemik ). Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan
yang ketat.
Barbiturat juga dapat dipakai untuk mengatasi tekanan inrakranial yang
meninggi. Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam
30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1
mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.
f. Fenitoin
Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini
mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan
untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
g. Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24
jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa
posisi tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan tekanan
intrakranial dan meningkatkan drainase vena.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama adalah:
- kepala dan leher diangkat 30°
- sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°
- telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkaibawah

7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien meliputi:
1. Ct scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan
jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan ct scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral angiography
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. Serial eeg
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. Sinar x
Mendeteksi parubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. Baer
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. Pet
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. Css
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.
10. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
11. Rontgen thoraks 2 arah (pa/ap dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
Toraksentesis menyatakan darah/cairan
12. Analisa gas darah (agd/astrup)
Analisa gas darah (agd/ astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan
status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan agd
ini adalah status oksigenasi dan status asam basa (arif muttaqin ; 2008 : 284).

8. IRK

Anda mungkin juga menyukai