Anda di halaman 1dari 16

TUGAS UJIAN

PENGUJI : dr. Muhammad Fachri Sp.P

Disusun Oleh : Muhamad Irsyad (2014730058)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UMJ TAHUN 2019


Daftar Pertanyaan

1. Bagaimana cara pengukuran JVP ?


2. Bagaimana cara pemeriksaan Fisik paru ?
3. Apa perbedaan Pneumonia dengan TB-paru ?
4. Bagaimana cara pewarnaan gram BTA dan intepretasinya ?
1. PENGUKURAN JVP
1) Indikasi
a. Pasien yang menerima operasi jantung sehingga statussirkulasi sangat
penting diketahui
b. Pasien yang mendapat obat vasoaktif, nutrisi parenteral, atau jika vena
perifer tidak adekuat
c. Pasien dengan distensi unilateral
d. Pasien dengan trauma mayor
e. Pasien yang sering diambil darah venanya untuk sampel tes laboratorium
f. Pasien yang diberi cairan IV secara cepat

Sumber lain menyebutkan bahwa indikasi pengukuran JVP diklasifikasikan


berdasarkan jenis masalahnya apakah faktor kardiak atau non-kardiak, berikut
adalah klasifikasinya:

Karena masalah cardiac :

a. Gagal jantung kanan sekunder, selanjutnya gagal jantung kiri.


b. Gagal jantung kanan
c. Cor pulmunal
d. Stenosis katup trikuspid atau pulmonal
e. Efusi perikardial atau tamponade
f. Restriktif cardiomiopati atau constriktif perikarditis
g. Lesi pada jantung kanan
Masalah non cardiac :

a. Obstruksi vena kava superior


b. Peningkatan volume darah
c. Peningkatan intrathorax sampai dengan tekanan positif ventilasi mekanik,
manuver valsava, peny. Obstruksi jalan nafas, tension pneumothorax
d. Peningkatan tek.intra abdomen s.d kehamilan,obesitas,ascites

2) Kontraindikasi
Pengukuran JVP tidak dilakukan pada pasien dengan :
a. SVC sindrom.
b. Infeksi pada area insersi.
c. Koagulopati.
d. Insersi kawat pacemaker
e. Disfungsi kontralateral diafragma
f. Pembedahan leher

3) Komplikasi yang Mungkin Terjadi


a. Hematoma local
b. Sepsis
c. Disritmia
d. Tamponade perikard
e. Bakteriemia
f. Emboli udara
g. Pneumotoraks

DALAM MELAKUKAN PENGUKURAN JVP

a. Mengetahui anatomi dan fisiologi tubuh, khususnya tentang vena jugularis. Vena yang
paling mudah dijangkau adalah vena jugularis interna dan eksterna di leher. Kedua vena
mengalir secara bilateral dari kepala dan leher ke dalam vena kava superior. Jugularis
interna terletak lebih dalam, sepanjang arteri carotid. Normalnya, pada saat pososo
klien berbaring terlentang, vena jugularis eksterna terdistensi sehingga mudah terlihat.
Sebaliknya saat posisi duduk, vena jugularis eksterna biasanya tenggelam. Tetapi klien
dengan penyakit jantung dapat mengalami distensi vena jugularis saat duduk. Vena
yang paling mudah dijangkau adalah vena jugularis interna dan eksterna
di leher. Kedua vena mengalir secara bilateral dari kepala dan leher ke dalam vena kava
superior. Jugularisinterna terletak lebih dalam , sepanjang arteri carotid. Normalnya,
padasaat posisi klien berbaring telentang, vena jugularis eksterna
terdistensisehingga mudah terlihat. Sebaliknya saat posisi duduk, vena jugularis
eksterna biasanya tenggelam. Tetapi klien dengan penyakit jantung dapatmengalami
distensi vena jugularis saat duduk.
b. Mengetahui patofisiologi terkait vena jugularis, misal terkait masalah jantung (CHF,
infark, serosis hati, penyakit ginjal yng terkait dengan overload cairan).
c. Mengetahui penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan keabnormalan vena jugularis.
d. Point tertinggi pulsasi vena disebut “kepala”. Tinggi kepala ini bervariasi pada
respirasi: menurun pada inspirasi ketika tekanan negative (tekanan
intrathorax meningkatkan kembalinya aliran vena ke jantung) dan meningkat pada
inspirasi saat tekanan positif (intratoraks ‘impedes’ aliran vena ke jantung). Rata-rata
dari aliran ini (antara inspirasi dan ekspirasi) mencerminkan tekanan hidrostatik di
atrium kanan, nilai normalnya 6-11 cmH2O
e. Jugular venous pressure (JVP) biasanya diperlihatkan sebagai tinggi vertical
pembuluh vena (cm) dihubungkan dengan sudut sternum (angel of Louis)
f. Dengan bantuan 2 buah penggaris, tinggi vertikal yang dihubungkan sudut sternum
dapat ditentukan dengan “method of triangulation”.
g. Sudut sternum terletak 5 cm diatas atrium kanan pada dewasa (tidak berubah meskipun
pada posisi supinasi, semifowler, fowler atau duduk).
h. Tekanan hidrostatik di atrium kanan (cm H2O) setara dengan tinggi vertical (cm)
“kepala” vena diatas sudut sterna ditambah 5cm.
i. Pada kondisi klien yang normal, “kepala” pulsasi vena jugular biasanya terlihat setinggi
klavikula saat posisi tubuh dinaikkan dengan sudut 45°
j. JVP dengan nilai lebih dari 5cm diatas sudut sterna disebut terjadi peningkatan

PROSEDUR PENGUKURAN JVP

1) Peralatan
 2 buah penggaris (skala centimeter) dan alat tulis
 Senter
 Bed pasien
 Bantal sesuai kebutuhan
2) Prosedur
a. Atur klien pada posisi supine dan rileks
b. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan:
 15° - 30° (Luckman & Sorensen, 1993, p 1112; Lanros & Barber, 1997,
p. 141)
 30° - 45° (LeMone & Burke, 2000, p. 1188)
 45° - 90° pada klien yg mengalami peningkatan tekanan atrium kanan
yang cukup bermakna (Luckman & Sorensen, 1993, p 1112).
c. Gunakan bantal untuk menopang kepala klien dan hindari fleksi leher yang
tajam untuk memastikan bahwa vena tidak teregang atau keriting,
pastikan bahwa leher dan toraks atas sudah terbuka
d. Kepala menengok menjauhi arah pemeriksa
e. Lepaskan pekaian yang sempit/menekan leher atau thorak bagian atas.
f. Gunakan lampu senter dari arah miring untuk melihat bayangan (shadows) vena
jugularis. Identifikasi pulsasi vena jugular interna, jika tidak tampak gunakan
vena jugular eksterna

g. Tentukan titik tertinggi di mana pulsasi vena jugular interna/eksterna dapat


dilihat (Meniscus).
h. Pakailah sudut sternum (sendi manubrium) sebagai tempat untuk mengukur
tinggi pulsasi vena. Titik ini ± 4 – 5 cm di atas pusat dari atrium kanan.
i. Gunakan penggaris.
 Penggaris ke-1 diletakan secara tegak (vertikal), dimana salah satu
ujungnya menempel pada sudut sternum
 Penggaris ke-2 diletakan mendatar (horizontal), dimana
ujung yang satu tepat di titik tertinggi pulsasi vena (meniscus),
sementara ujung lainnya ditempelkan pada penggaris ke-1. Angulus
ludocivi (patokan jarak dari vena cava superior + 5 cm /selanjutnya
disebut R cm). Bila permukaan titik kolaps vena jugularis berada 5 cm
di bawah bidang horizontal yang melalui angulus ludovici, maka
tekanan vena jugularis (CVP) sama dengan R-5 cm H2O, sedang bila
titik kolapsnya berasa 2 cm diatas berarti CVP R + 2 cm H2O. Bila hasil
CVP kiri dan kanan berbeda, maka diambil CVP yang lebih rendah

j. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara sudut sternum dan titik tertinggi pulsasi
vena (meniscus)
k. Nilai normal: kurang dari 3 atau 4 cm diatas sudut sternum, pada posisi tempet
tidur bagian kepala ditinggikan 30° - 45° (Luckman & Sorensen,1993, p. 1113)
l. Catat hasilnya. Menulis dan membaca hasil. Misal = 5+25: adalah jarak dari
atrium ka ke sudut manubrium +2: hasilnya—meniscus

Hal-hal penting yang harus diperhatikan perawat dalam melakukan tindakan:

a. Kebersihan diri perawat saat melakukan pengukuran


b. Privacy klien
c. Kenyamanan, keselatamatan dan keamanan pasien
d. Ketelitian dalam melakukan inpeksi dan pengukuran
e. Keruntutan prosedur dan tindakan

Hal-hal penting yang harus didokumentasikan setelah melakukan tindakan:

a. Tingkat kesadaran klien


b. Pernapasan klien
c. Suhu klien
d. Penampakan fisik klien : dilihat keabnormalan yang terjadi, misal edema.
e. Bentuk, dan penampakan fisik vena jugularis
f. Hasil pengukuran :tekanan bilateral yang diperoleh

INTERPRETASI HASIL PENGUKURAN JVP

Ada beberapa penyebab peningkatan JVP, yaitu:

1. Masalah kardiovaskuler :
 Gagal jantung kanan atau kiri
 Cor pulmunal
 Stenosis katup trikuspid atau pulmonal
 Efusi perikardial atau tamponade
 Restriktif cardiomiopati atau constriktif perikarditis
 Lesi pada jantung kanan.
 Regurgitasi tricuspid
 Perikardial tamponade

2. Masalah non-kardiovaskuler :
 Obstruksi vena cava superior
 Peningkatan volume darah
 Peningkatan tekanan intrathoraks
 Peningkatan tekanan intraabdomen. Sebaliknya JVP bisa tidak terlihat (selain
normal), bisa pada pasien yang mengalami deplesi volume eksternal.

Perbedaan antara denyut vena jugularis dengan arteri carotis Venous

Vena Jugularis Arteri Karotis

Berdenyut ke dalam Berdenyut keluar

Dua puncak dalam satu siklus (pada Satu puncak dalam satu siklus
irama sinus)
Dipengaruhi oleh kompresi abdomen Tidak dipengaruhi oleh kompresi
abdomen

Dapat menggeser earlobes (bila Tidak menggeser earlobes


tekanan vena meningkat)
Perbedaan Pneumonia dengan TB-Paru ?

No TB-Paru Pneumonia
1 Definisi Penyakit infeksi peradangan parenkim paru
saluran napas yang yang disebabkan oleh
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri,
m.tuberculosis. virus, jamur, parasit).

2 Etiologi Mycrobacterium S.pneumonia, mycoplasma,


tuberculosis klasiebela, pseudomonas
3 Klasifikasi TB- ekstra paru HAP (Hospital acquired
pneumonia)
TB- Paru

- Kasus baru CAP (community acquired


- Kasus putus obat pneumonia)
- Kasus gagal obat
- Kasus pindah
pengobatan
- Kasus resisten
OAT (polidrug
resisten,
monodrugs
resisten,
multidrugs
resisten,
extensive drugs
resisten.

4 Manifestasi - Batuk >2 minggu - Batuk akut


- Demam - Demam
klinis
- Sesak - Sesak
- Keringat malam - Merasa tidak nyaman
- Penurunan BB
- Napsu makan
menurun
- Merasa tidak
nyaman
5 Tatalaksana OAT - New makrolid
Azitromisin/Eritromisin
- Kategori 1
- Sefalosforin :
(2RHZE/4RHE)
cefixime/ceftriaxone
- Tetrasiklin:
Rifampisin 10mg/kgBB
doksisiklin
Isoniazid 5mg/kgBB
Porazinamid
25mg/kgBB
Etambutol 15mg/kgBB
Pemeriksaan fisik paru

1. Inspeksi:

Dada dilihat postur, bentuk, kesimetrisan serta warna kulit, perbandingan bentuk dada
anterior, posterior, dan transversal pada bayi 1 : 1, dewasa 1 : 2. Namun bentuk
abnormal pada kondisi tertentu:

a. Pigeon chest: bentuk dada seperti burung diameter transversal sempit, anterior
posterior, membesar atau lebar, tulang sternum menonjol kedepan.

b. Funnel chest : bentuk dada diameter sternum menyempit, anterior posterior


menyempit, transversal melebar.

c. Barrel chest : bentuk dada seperti tong, diameter anterior posterior transversal
memiliki perbandingan 1:1, juga amati kelainan tulang belakang seperti kifosis,
lordosis, dan scoliosis.

Pada pengkajian dada dengan inspeksi juga perhatikan:

a. Frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya bernapas.

b. Sifat bernapas : pernapasan perut atau dada

c. Adakah retraksi dada, jenis : retraksi ringan, sedang, dan berat

d. Ekspansi paru simetris ataukah tidak

e. Irama pernapasan : pernapasan cepat atau pernapasan dalam (pernapasan kusmoul)

f. Pernapasan biot : pernapasan yang ritme maupun amplitudenya tidak teratur diselingi
periode apnea

g. Cheyne stokes : pernapasan dengan amplitude mula - mula kecil makin lama makin
besar kemudian mengecil lagi diselingi periode apnea.
2. Palpasi

Palpasi dada melihat kulit pada dinding dada, adanya nyeri tekan, massa, kesimetrisan
ekspansi paru dengan menggunakan telapak tangan atau jari sehingga dapat merasakan
getaran dinding dada dengan meminta pasien mengucapkan tujuh puluh tujuh secara
berulang – ulang, getaran yang dirasakan disebut : vocal fremitus.

Perabaan dilakukan diseluruh permukaan dada(kiri, kanan depan, belakang) umumnya


pemeriksaan ini bersifat membandingkan bagian mana yang lebih bergetar atau kurang
bergetar.

3. Perkusi

Perkusi dinding thorak dengan cara mengetuk dengan jari tengah, tangan kanan pada
jari tengah tangan kiri yang ditempelkan erat pada dinding dada celah interkostalis.
Perkusi dindng thorak bertujuan untuk mengetahui batas jantung, paru, serta suara
jantung maupun paru. Suara paru normal yang didapat dengan cara perkusi adalah
resonan atau sonor.

a. Batas paru hepar : di ICS 4 sampai ICS ke 6

b..Batas atas kiri jantu ng ICS 2 - 3

c. Batas atas kanan jantung :IICS 2 linea sternalis kanan

d. Batas kiri bawah jantung line media clavicuralis ICS ke 5 kiri..

4. Auskultasi

Auskultasi paru adalah menedengarkan suara pada dinding thorax menggunakan


stetoskope karena sistematik dari atas ke bawah dan membandngkan kiri maupun kanan
suara yang didengar adalah :

a. Suara napas
1) Vesikuler : suara napas vesikuler terdengar di semua lapang paru yang normal,
bersifat halus, nada rendah, inspirasi lebih panjang dari ekspirasi.

2) Bronkovesikuler: tedrdengar di daerah percabangan bronchus dan trachea sekitar


sternum dari regio inter scapula maupun ICS 1: 2.Inspirasi sama panjang dengan
ekspirasi.

3) Brochial : terdengar di daerah trachea dan suprasternal notch bersifat kasar, nada
tinggi, inspirasi lebih pendek, atau ekspirasi

b. Suara tambahan

Pada pernapasan normal tidak ditemukan suara tambahan, jika ditemukan suara
tambahan indikasi ada kelainan,adapun suara tambahan adalah :

1) Rales/Krakles

Bunyi yang dihasilkan oleh eksudat lengket saat saluran halus pernapasan mengembang
dan tidak hilang, suruh pasien batuk, sering ditemui pada pasien dengan peradangan
paru seperti TBC maupun pneumonia.

2) Ronchi

Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar terdengar baik inspirasi maupun ekspirasi
akibat terkumpulnya secret dalam trachea atau bronchus sering ditemui pada pasien
oedema paru, bronchitis.

3) Wheezing

Bunyi musical terdengar “ngi” yang bisa ditemukan pada fase ekspirasi maupun
ekspirasi akibat udara terjebak pada celah yang sempit seperti oedema pada brochus.

4) Pleural Friction Rub

Suatu bunyi terdengar kering akibat gesekan pleura yang meradang, bunyi ini biasanya
terdengar pada akhir inspirasi atau awal ekspirasi, suara seperti gosokan amplas.

5) Vocal resonansi
Pemeriksaan mendengarkan dengan stethoscope secara sistematik disemua lapang
paru, membandingkan kanan dan kiri pasien diminta mengucapkan tujuh puluh tujuh
berulang - ulang.

1) Vokal resonan normal terdengar intensitas dan kualitas sama antara kanan dan kiri.

2) Bronchophoni : terdengar jelas dan lebih keras dibandingkan sisi yang lain umumnya
akibat adanya konsolidasi.

3) Pectorilequy : suara terdengar jauh dan tidak jelas biasanya pada pasien effusion atau
atelektasis.

4) Egopony : suara terdengar bergema seperti hidungnya tersumbat.

Prosedur dan pewarnaan BTA dan interpretasi nya

Sampel suspensi bakteri di siapkan di dalam tabung reaksi. Kaca objek di sterilisasi dengan
cara dicuci, lalu dimasukkan kedalam larutan desinfektan, kemudian dimasukkan kedalam
larutan alkohol 70%. Setelah kaca objek disterilisasi, di lap menggunakan kapas sampai
mengeluarkan suara berdecit. Lingkari bagian bawah kaca objek dengan spidol sebagai area
untuk pengolesan sampel bakteri.

Ose difiksasi dengan cara dibakar dengan pembakar spirtus sampai ose berpijar. Ose di
dinginkan dengan cara didekatkan dengan pembakar spirtus. Di buat olesan dari suspensi
bakteri, digenangi olesan bakteri dengan pewarna karbol fuksin selama 5 menit, sambil di
panaskan diatas pemanas air. Di jaga jangan sampai terlalu panas, mendidih atau kering.Di
buang zat warna yang berlebih, lalu di bilas dengan aquades.

Dibilas dengan zat pemucat asam alkohol selama 15 detik atau sampai latar belakang olesan
berwarna merah muda pucat. Kemudian olesan digenangi dengan pewarna tandingan metilen
biru selama 2 menit, dibuang zat warna yang berlebih, lalu bilas dengan aquades, dikeringkan
dengan kertas saring. Diteteskan sedikit minyak imersi pada preparat / objek gelas, lalu
diperiksa di bawah mikroskop. Di amati dan di gambarkan hasilnya
Hasil pembacaan mikroskopis digunakan untuk diagnosis dan mengetahui tingkat kesakitan.
BTA dinyatakan positif apabila pada lapang pandang terlihat batang berwarna merah atau
merah muda dengan latar belakang biru bila diwarnai dengan pewarnaan tahan asam atau Ziehl-
Neelsen. BTA biasanya berbentuk batang, namun kadang-kadang bisa mirip kokus,
filamentous, (seperti benang), atau berkelompok. Untuk pelaporan dihitung jumlah BTA. Jika
memungkinkan, bila BTA berkelompok, cukup dengan perkiraan kasar.

Pembacaan hasil mikroskopis BTA menggunakan skala International Union Against


Tuberculosis and Lung Diseases (IUATLD) sebagai berikut :

1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif.


2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 Lapang pandang ditulis jumlah kuman yang ditemukan
(scanty).
3. Ditemukan 10 –99 BTA dalam 100 Lapang pandang disebut 1+
4. Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut 2+ ( Diperiksa minimal 50
lapang pandang)
5. Ditemukan lebih dari 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut 3+ ( Diperiksa minimal
20 lapang pandang ) (Depkes, 2006)

Anda mungkin juga menyukai