Anda di halaman 1dari 17

ISLAM DAN HUKUM:

HUKUM CAMBUK DALAM PERSPEKTIF ISLAM


(STUDI KASUS HUKUM CAMBUK DI ACEH)
Makalah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Pendidikan
Agama Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Jenuri, S.Ag, M.Pd.

Disusun oleh:
Kelompok 6
Annisa Nabila Nurazmi NIM 1601977
Arina Alfadhiya Prastita Sa’adah NIM 1605398
Muhammad Irfansyah Maulana NIM 1607608

PROGRAM STUDI KIMIA


DEPARTEMEN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang ditunjuk oleh Allah sebagai
khalifah di bumi dan diberikan akal untuk mampu membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk untuk dilakukan. Sehingga akal merupakan
anugerah yang paling istimewa sekaligus pembeda antara manusia dengan
makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Namun dengan akal semata, manusia tidak akan sanggup mengatur
bumi beserta isinya tanpa ada sesautu yang dijadikan pedoman atau
landasan dalam hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan manusia, Allah
SWT menurunkan Al-Quran yang di dalamnya terdapat petunjuk yang
dijadikan pedoman tentang tata cara hidup dan berkehidupan yang baik agar
tercapai kebahagiaan material dan spiritual sehingga terlena dengan
kehidupan dunia. Al-Quran sebagai sumber hukum utama umat Islam yang
berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia untuk dapat
mencapai kebahagiaan di akhirat.
Menurut KBBI, hukum merupakan peraturan atau adat yang secara
resmi dianggap mengikat dan dilakukan oleh penguasa atau pemerintah;
undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup
masyarakat; keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam
pengadilan). Hukum diciptakan oleh manusia untuk mengatur kehidupan
manusia itu sendiri demi terciptanya ketertiban, keserasian, dan ketentraman
dalam pergaulan masyarakat. Menurut Soekanto (dalam Riduan, 2004: 7)
hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan dalam masyarakat, yakni,
pertama, sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana untuk
memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai sarana untuk
menciptakan keadaan tertentu.
Hukum Islam merupakan suatu hukum yang memiliki sifat statis dan
dinamis. Statis berarti suatu hal yang tetap dan bersumberkan pada Al-
Quran dan hadits dalam setiap aspek kehidupan. Dinamis berarti mampu
menjawab segala permasalahan dan sesuai dengan perkembangan zaman,
tempat dan keadaan, serta cocok ditempatkan dalam segala macam bentuk
stuktur sosial kehidupan, baik secara individu maupun secara kolektif
bermasyarakat.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara berdasarkan
hukum. Hal ini sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia, Pasal 1 Ayat
(3) Undang-undang Dasar 1945. Pasca-reformasi, setiap daerah di Indonesia
dari tingkatan provinsi sampai kabupaten/kota telah diberikan otonomi, baik
dalam bentuk otonomi daerah maupun otonomi khusus. Salah satu
provinsi yang mendapat porsi otonomi khusus adalah Provinsi Aceh.
Pemerintah Indonesia memberi otonomi khusus bagi Provinsi Aceh, yang
meliputi semua kewenangan pemerintah, kecuali kewenangan dalam
hubungan luar negeri, pertahanan, terhadap gangguan eksternal, dan
moneter (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah
Aceh).
Ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai
satuan pemerintah daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Sebutan
Keistimewaan yang disebut dengan Daerah Istimewa Aceh diberikan
berdasarkan keputusan Menteri No.1/Misi/1959 yang berlaku pada tanggal
25 Mei 1959, dan yang menjadi perhatian utama adalah dalam bidang
keagamaan, peradatan, dan pendidikan.
Hukum yang diberlakukan di Aceh adalah hukum yang bersumber
pada ajaran agama Islam, yaitu ajaran Syariat Islam yang selanjutnya
diimplementasikan dalam Qanun. Di Provinsi Aceh, penyebutan Qanun
dilakukan sebagai pengganti penyebutan Peraturan Daerah (Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa
Aceh). Penyebutan Qanun ini sebagai upaya masyarakat Aceh mencitrakan
diri sebagai wilayah yang benar-benar menerapkan Syariat Islam dalam
setiap sendi kehidupannya.
Penerapan hukum Islam berupa pemberlakuan Qanun Jinayah di
Aceh ini resmi muncul sejak disahkannya Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014
tentang Hukum Jinayat. Hukum Jinayat (hukum Pidana) merupakan bagian
dari Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh. Hukum Jinayat adalah
hukum yang mengatur tentang Jarimah dan ‘uqubat. ‘Uqubat adalah
hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku Jarimah.
Setelah Qanun ini disahkan, muncul berbagai spekulasi pertentangan
di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan adanya sanksi hukum yang di
antaranya berupa hukuman cambuk dan denda dalam bentuk gram emas
bagi pelakunya. Hal ini dianggap melanggar Undang-Undang Hak Asasi
Manusia. Pada dasarnya di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
dijelaskan yang dimaksud dengan HAM adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa ajaran Islam yang disebarkan oleh Rasulullah?
2. Apa pengertian hukum pidana?
3. Apa pengertian dan macam-macam sumber hukum dalam Islam?
4. Apa saja penerapan hukum Islam di Indonesia?
5. Bagaimana penerapan hukum cambuk di Nangroe Aceh Darussalam
dalam tinjauan hukum Islam?
C. Tujuan
1. Menjelaskan ajaran Islam yang disebarkan oleh Rasulullah
2. Menjelaskan pengertian hukum pidana
3. Menjelaskan perngertian dan macam-macam sumber hukum dalam
Islam
4. Menjelaskan beberapa penerapan hukum Islam di Indonesia
5. Mengetahui studi kasus penerapan hukum cambuk di Nangroe Aceh
Darussalam dalam tinjauan hukum Islam
D. Manfaat
Berdasarkan penulisan diatas, diharapkan makalah ini dapat
bermanfaat bagi:
1. Bagi akademisi dapat dijadikan rujukan untuk pembuatan karya tulis
lebih lanjut
2. Bagi pembaca dapat memberikan informasi
3. Bagi penulis dapat menambah wawasan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam

B. Hukum
Menurut Poernomo (1985) hukum pidana dibedakan berdasarkan
penggolongannya, yakni:
1. Hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan
berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan
hukum lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan
norma tersendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang
lain, dan sanksi hukum pidana diadakan untuk menguatkan ditatanya
norma-norma tersebut.
2. Hukum pidana adalah keseluruhan-keseluruhan aturan-aturan
ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum
dan aturan pidananya.
3. Hukum pidana dalam arti:
a. Objektif (jus poenale) meliputi:
1) Perintah dan larangan yang pelanggarnya diancam dengan
sanksi pidana oleh badan yang berhak;
2) Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat
dipergunakan, apabila norma itu dilanggar, yang
dinamakan hukum penintentiare;
3) Aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana
berlakunya norma-norma tersebut diatas.
b. Subjektif (jus puniendi), yaitu:
Hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggar delik dan
untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
4. Hukum pidana dan dibedakan dan di berikan arti:
a. Hukum pidana materil yang menunjuk pada perbuatan pidana
dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana
perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian yaitu bagian
objektif dan bagian subjektif.
Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau natalen yang
bertentangan dengan hukum posistif, melawan hukum,
menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas
pelanggarnya. Sedangkan, bagian subjektif yaitu mengenai
kesalahan yang menunjuk kepada si pembuat untuk
dipertanggung jawabkan menurut hukum.
b. Hukum pidana formil yang mengatur cara hukum pidana materil
dapat dilaksanakan.
5. Hukum pidana diberikan arti bekerjanya sebagai:
a. Peraturan Hukum, objektif (jus poenale) yang dibagi menjadi:
1) Hukum pidana materil yaitu tentang peraturan-peraturan
syarat-syarat bilamana suatu itu dapat dipidana.
2) Hukum pidana formil, yaitu hukum acara pidananya.
b. Hukum pidana subjektif (juspuniendi) yaitu meliputi hukum
dalam memberikan ancaman pidana, menetapkan pidana dan
melaksanakan pidana, yang hanya dapat dibebankan kepada
negara dan pejabat untuk itu.
c. Hukum pidana umum (alogemene strafrecht) yaitu hukum
pidana yang berlaku bagi semua orang dan hukum pidana
khusus (bijondere strafrecht) yaitu dalam bentuk sebagai jus
speciale seperti hukum pidana militer.
Secara umum hukum berfungsi mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban
umum. Adapaun tujuan pokok hukum pidana adalah pencegahan yang
ditujukan kepada khalayak ramai, terhadap semua orang agar tidak
melakukan pelanggran terhadap ketertiban masyarakat.
Hukuman diterapkan demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan
masyarakat. Dengan demikian hukuman yang baik adalah:
1. Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau
menurut Ibnu Hammam dalam fathul qadir bahwa hukuman itu untuk
mencegah sebelum terjadinya perbuatan (prefentif) dan menjerakan
setelah terjadinya perbuatan (repsesif).
2. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada
kebutuhan kemaslahatan masyarakat, apa bila kemaslahatan
menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman diperberat.
Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat
mengkehendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan.
3. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu
bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya
untuk kemaslahatannya, seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah
bahwa hukuman itu disyariatkan oleh Allah SWT bagi hambanya dan
sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hambanya.
Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan
hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud
melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang
bapak yang memberikan pelajaran kepada anaknya.
4. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya
tidak jatuh kedalam suatu maksiat. Sebab dalam konsep Islam seorang
akan terjaga dari berbuat jahat apabila:
a. Memiliki iman yang kokoh seperti yang dikatakan dalam hadist
nabi:
“Seseorang tidak akan melakukan zina ketika ia beriman”
(HR. Muslim)
Hal ini berkaitan dengan kebersihan jiwa.
b. Berahklak mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan orang lain,
atau merasa malu bila melakukan maksiat, atau selalu berbuat
baik dan menghindari berbuat jahat.
c. Dengan adanya sanksi duniawi diharapkan mampu menjaga
seseorang dari terjatuh kedalam tindak pidana. Disamping itu
harus diusahakan menghilangkan faktor–faktor penyebab
terjadinya kejahatan dalam masyarakat berdasarkan konsep sadz
al-dzariah (upaya menutup jalan dari terjadinya kejahatan).
C. Hukum dalam Islam
1. Pengertian Hukum dalam Islam
2. Sumber Hukum dalam Islam
Di dalam menentukan hukum fiqih, Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja) bersumber kepada empat pokok sumber hukum, yaitu al-
Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam
pengambilan hukum. Karena al-Qur’an adalah perkataan Allah
yang merupakan petunjuk kepada umat manusia dan diwajibkan
untuk berpegangan kepada al-Qur’an. Allah berfirman:

َ‫ْب ِف ْي ِه ُهدًى ِل ْل ُمت َّ ِقيْن‬ َ َ ‫ذ ِل َك اْل ِكت‬


َ ‫ب الَ َري‬
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa”
(QS. Al-Baqarah: 2)

َ‫َو َم ْن لَ ْم يَ ْح ُك ْم ِب َما أ َ ْنزَ َل هللاُ فَأ ُ ْول ِئ َك ُه ُم اْلك ِف ُر ْون‬


“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-
orang kafir”
(QS. Al-Maidah: 44)
Tentu ayat di atas dalam hal ini yang bersangkutan dengan
aqidah, lalu:

ّ ‫َو َم ْن لَ ْم يَ ْح ُك ْم بِ َما أ َ ْنزَ َل هللاُ فَأ ُ ْولئِ َك ُه ُم‬


َ‫الظ ِل ُم ْون‬
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang
dzalim”
(QS. Al-Maidah: 45)
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama
manusia, kemudian:
‫َو َم ْن لَ ْم يَ ْح ُك ْم ِب َما أ َ ْنزَ َل هللاُ فَأ ُ ْولئِ َك ُه ُم اْلف ِسقُ ْون‬
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-
orang fasik”
(QS. Al-Maidah: 47)
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-
larangan Allah.
b. As-Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah
Rasulullah SAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan
dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki
tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-
Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7 sebagai
berikut:

ِ َّ‫َوا َ ْنزَ ْلنَا اِلَي َْك ال ِذ ْك َر ِلتُبَ ِينَ ِللن‬


‫اس َمانُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم‬
َ‫َولَعَلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُر ْون‬
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu
menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”
(An-Nahl: 44)

ُ‫س ْو ُل فَ ُخذُ ْوهُ َو َمانَه ُك ْم َع ْنه‬ َّ ‫َو َما َءات َ ُك ُم‬


ُ ‫الر‬
ِ ‫ش ِد ْيدُاْل ِعقَا‬
‫ب‬ َ َ‫فَا ْنت َ َه ْو َاواتَّقُ ْوهللاَ اِ َّن هللا‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras
sikapnya”
(Al-Hasyr: 7)
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah
menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan
hukum.
c. Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas
suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena
pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan
hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka
hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para
Mujtahid. Ijma’ ada 2 macam:
1) Ijma’ Bayani (‫ ) االجماع البياني‬ialah apabila semua Mujtahid
mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan
maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
2) Ijma’ Sukuti (‫ )االجماع السكوتي‬ialah apabila sebagian
Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang
lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan
karena takut atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham
untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat
dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum,
wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati. Karena
para lama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih
mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-
Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum
(‫)اولىاالمر منكم‬. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’
ayat 59:

‫س ْو َل‬ َّ ‫ياأَيُّ َهاالَّ ِذيْنَ أ َ َمنُ ْواأ َ ِط ْيعُ ْوهللاَ َوأَ ِط ْيعُ ْو‬
ُ ‫االر‬
‫َوأ ُ ْو ِلى اْأل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬
“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-
Nya dan Ulil Amri di antara kamu”
(QS. An-Nisa: 59)
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi
suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat
Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh
seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat
Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan
Termidzi Juz IV hal 466:

‫ َويَدُهللاِ َم َع‬,ٍ‫ضالَ لَة‬


َ ‫لى‬ ِ ‫اِ َّن هللاَ الَ يَ ْج َم ُع ا ُ َّم‬
َ ‫تى َع‬
‫اْلَ َجما َع ِة‬
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas
kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak”

Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431

‫ارأ َ ْيت ُ ُم‬ ِ َ‫ضالَ لَ ٍة ف‬


َ َ‫اءذ‬ َ ‫لى‬ َ ‫تى الَت َ ْجت َ ِم ُع َع‬ ِ ‫اِ َّن ا ُ َّم‬
‫ظ ِم‬َ ‫س َوا ِداْ أل َ ْع‬
َّ ‫اختِالَ فًا فَعَلَ ْي ُك ْم ِبال‬ْ
“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka
apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau
berpihak kepada golongan yang terbanyak”

d. Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara
etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (‫) قا س‬. Yang disebut
Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain
dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.
Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-
sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti
disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-
nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-
Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib
zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan
pokok. Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan
zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan
beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak
dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu
kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas
menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:

‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫فَا ْعت َ ِب ُر ْوا يأ ُ ْو ِلى اْأل َ ْي‬
“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang
yang mempunyai pandangan”
(Al-Hasyr: 2)

ُّ ‫ لَ َما بَعَثَهُ النَّ ِب‬: ‫َع ْن ُمعَا ٍذ قَا َل‬


‫ى صلى هللا عليه‬
‫ض‬ َ ‫ضى اِذَا َع َر‬ َ ‫ َكي‬:‫لى اْليَ َم ِنى قَا َل‬
ِ ‫ْف ت َ ْق‬ َ ِ‫وسلم ا‬
‫اء ْن لَ ْم ت َ ِج ْد‬
ِ َ‫ب هللاِ قَا َل ف‬ ِ ‫ضى ِب َكتَا‬ِ ‫ضا ٌء ؟ قَا َل ا َ ْق‬
َ َ‫ق‬
ِ َ‫ قَا َل ف‬,‫هللا‬
‫اء ْن‬ ُ ‫سنَّ ِة َر‬
ِ ‫س ْو ِل‬ ُ ‫هللا ؟ قَا َل فَ ِب‬
ِ ‫ب‬ ِ ‫ِفى ِكتَا‬
ِ َ‫س ْو ِل هللاِ َوال‬
ِ ‫فى ِكتَا‬
‫ب هللاِ ؟‬ ُ ‫لَ ْم ت َ ِج ْد فِى‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬
‫س ْو ُل‬
ُ ‫ب َر‬
َ ‫ض َر‬َ َ‫قَا َل ا َ ْجت َ ِهدُ ِب َرأْ ِيى َوالَ الُ ْو قَا َل ف‬
ِ‫ص ْد َرهُ َوقَا َل اْل َح ْمدُ هلل‬
َ ‫هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬
‫س ْو ُل‬
ُ ‫ضاهُ َر‬
َ ‫س ْو ِل هللاِ ِل َما يَ ْر‬ ُ ‫الَّذِى َوفَّقَ َر‬
ُ ‫س ْو َل َر‬
.‫هللا‬
ِ
‫رواه أحمد وابو داود والترمذى‬
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW
mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau
menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan?
Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab
Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw.
kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam
Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab;
saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak
kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya,
kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah
memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa
yang Rasulullah meridlai-Nya.
(HR. At-Tirmidzi)
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas
dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :

َّ ‫ياأَيُّ َهااَّل ِذيْنَ َء ا َمنُ ْوا الَت َ ْقتُلُ ْواا ل‬


‫ص ْيدَ َوا َ ْنت ُ ْم ُح ُر ٌم‬
َ‫َو َم ْن قَتَلَهُ ِم ْن ُك ْم ُمتَعَ ِمدًا فَ َجزَ ا ٌء ِمثْ ُل َما قَت َ َل ِمن‬
‫النَّعَ ِم يَ ْح ُك ُم بِ ِه ذَ َوا َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم‬
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh
binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa
diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya
ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil
di antara kamu”
(Al-Maidah: 95)
Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih
mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal.
Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil
nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

D. Penerapan Hukum Islam di Indonesia

E. Studi Kasus Penerapan Hukum Islam di Indonesia


Pengaturan Pidana Cambuk Sebagai Bentuk Pidana Badan (Corporal
Punishment) dalam Qonun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Mengenai jenis-jenis pidana yang ditetapkan dalam hukum pidana Islam,
berdasarkan segi sasaran hukuman, bentuk hukuman dalam hukum pidana Islam
dibagi menjadi empat :
1. Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan kepada badan manusia,
seperti hukuman jilid.
2. Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman mati.
3. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman
penjara atau pengasingan.
4. Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti
diyat, denda, dan perampasan.
dengan demikian maka pidana cambuk yang ditetapkan sebagai bentuk hukuman
dalam Qonun Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu bentuk hukuman
badan atau pidana badan , yaitu hukuman yang sasarannya dikenakan kepada
badan seseorang.
Dalam perjalanan pembaharuan hukum nasional, khususnya hukum pidana
nasional, dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yang kemudian
kedua undang-undang tersebut dijadikan dasar oleh pemerintah daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam untuk menetapkan beberapa qonun atau peraturan
setingkat Peraturan Daerah tentang pemberlakuan pidana cambuk sebagai bentuk
pidana badan (corporal punishment) yang mendasarkan pada hukum Islam,
terutama berdasar pada ketentuan pasal 3 ayat 1 dan pasal 4 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999.
Beberapa qonun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku dan
mendasarkan pada hukum Islam adalah Qonun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang
Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam, Qonun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 12 tahun 2003 tentang Minuman Khamar, Qonun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 13 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), dan Qonun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
Keempat qonun tersebut menetapkan adanya bentuk pidana cambuk sebagai
bentuk pidana badan (corporal punishment) bagi para pelaku tindak pidana yang
melanggar ketentuan dalam qonun-qonun tersebut.
Qonun tentang syari’at Islam, tentang perjudian (maisir), tentang khamar
(minuman keras), dan tentang khalwat (mesum) telah disahkan pada 2002 dan
telah diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mulai tanggal 24 Juni
2005. Menurut Tri Ratnawati (2009) Mahkamah syari’ah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam telah melakukan persidangan sebanyak 76 kasus, dengan perincian 23
kasus pada tahun 2005 dan 53 kasus pada tahun 2006.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Syariat Islam Aceh, Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat, cet ke-I,
(Banda Aceh: Naskah Aceh, 2015), hlm. Xvii

H.A. Djajuli. 2000. Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi kejahatan dalam


Islam). Jakarta: Raja Grafindo Persada. Halaman 26 s.d 27

Lembaran Negara No. 3886, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 39


Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di dalam Pasal 1 ayat (1).

Poernomo, Bambang. 1985. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Listyarti, Retno. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga.

Riduan Syarani. 2004. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra A


ditya Bakti.

Tri Ratnawati. 2009. Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu
Terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 149

Anda mungkin juga menyukai