Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

1. Konsep Dasar Filariasis


a. Pengertian
Beberapa pengertian Filariasis yang dibedakan menurut sumber, yaitu :
1.) Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematoda yang
tersebar di Indonesia (Widoyono, 2008, hal.139)
2.) Filariasis ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi
cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk pada kelenjar getah
bening, Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan
pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,
lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.
(Witagama,dedi.2009).
3.) Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh jenis cacing filaria seperti
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori yang hidup di dalam
saluran limfe dan pembuluh limfe serta ditularkan oleh berbagai spesies
nyamuk (Soedarto, 2007, hal.86).
4.) Filariasis adalah penyakit yang dapat disebabkan oleh infestasi satu atau dua
cacing jenis filaria yaitu Wucheria bancrofti atau Brugia malayi yang
bentuknya langsing dan ditemukan di dalam sistem peredaran darah limfe,
otot, jaringan ikat atau rongga serosa pada vertebrata (T Pohan,Herediman,
2009, hal. 1767).
5.) Filariasis adalah penyakit infeksi yang bersifat menahun yang disebabkan
cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan
cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, kantong buah zakar, payudara
dan kelamin wanita.Semua orang baik laki-laki, perempuan, anak-amak dan
orang tua dapat terserang penyakit ini. (anosetiabudi.blogspot.com, 2008)

b. Klasifikasi
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai.
Limfedema tungkai ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
a. Tingkat 1. Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila
tungkai diangkat.
b. Tingkat 2. Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal
(irreversibel) bila tungkai diangkat.
c. Tingkat 3. Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila
tungkai diangkat, kulit menjadi tebal.
d. Tingkat 4. Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis). (T.Pohan,Herdiman,2009)

c. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria Bancrofti,
Brugia Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia
terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. infeksi cacing ini menyerang jaringan
viscera, parasit ini termasuk kedalam superfamili Filaroidea, family onchorcercidae.
Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 - 6 tahun
dan dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing
(microfilaria) yang beredar dalam darah terutama malam hari.
Penyebarannya diseluruh Indonesia baik di pedesaan maupun diperkotaan.
Nyamuk merupakan vektor filariasis Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang diketahui
bertindak sebagai vektor dari genus: mansonia, culex, anopheles, aedes dan armigeres.
a. W. bancrofti perkotaan vektornya culex quinquefasciatus
b. W. bancrofti pedesaan: anopheles, aedes dan armigeres
c. B. malayi : mansonia spp, an.barbirostris.
d. B. timori : an. barbirostris.
Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu tergantung dari spesies dan
tipenya.Di Indonesia semuanya nokturna kecuali type non periodic Secara umum daur hidup
ketiga spesies sama Tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan
habitatnya. ( Got, sawah, rawa, hutan )

 ciri-ciri cacing dewasa atau makrofilaria :


a. Berbentuk silindris, halus seperti benang, putih dan hidup di dalam sisitem limfe.
b. Ukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm.
c. Cacing jantan lebih kecil: 55 mm x 0,09 mm.
d. Berkembang secara ovovivipar.
 Mikrofilaria:
a. Merupakan larva dari makrofilaria sekali keluar jumlahnya puluhan ribu.
b. Mempunyai sarung. 200 – 600 X 8 um.
 Faktor yang mempengaruhi :
a. Lingkungan fisik :Iklim, Geografis, Air dan lainnnya,
b. Lingkungan biologik: lingkungan Hayati yang mempengaruhi penularan; hutan, reservoir,
vector.
c. Lingkungan social – ekonomi budaya : Pengetahuan, sikap dan perilaku, adat Istiadat,
Kebiasaan ,dsb.
d. Ekonomi: Cara Bertani, Mencari Rotan, Getah Dsb (Witagama,dedi.2009)

Siklus Hidup Cacing Filaria

Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk
tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis, sehingga
mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam tubuh nyamuk.
Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian
menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot dada (toraks). Bentuk
mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih satu
minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut larva
stadium II. Pada hari ke sepuluh dan seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya,
sehingga tumbuh menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva
stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke rongga perut
(abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk.

Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka


mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut masuk
kedalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran darah dalam tubuh manusia,
larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Didalam pembuluh limfe
larva mengalami dua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering
disebut larva stadium IV dan larva stadium V. Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di
pembuluh limfe, sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan.

 Cacing filaria sendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


a. Cacing dewasa (makrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih kekuningan.
Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih
susu.
b. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65-100 mm dan ekornya lurus
berujung tumpul. Untuk makrofilaria yang jantan memiliki panjang kurang lebih 40 mm
dan ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria memiliki panjang kurang lebih 250 mikron,
bersarung pucat.
c. Tempat hidup makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar limfe. Tetapi
pada malam hari mikrofilaria terdapat didalam darah tepi sedangkan pada siang hari
mikrofilaria terdapat di kapiler alat-alat dalam seperti paru-paru, jantung dan hati.

d. Patofisiologi
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan
menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan dari larva
stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan produk – produk yang
akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh limfa sehingga terjadi disfungsi katup yang
berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran retrograde tersebut maka akan terbentuk
limfedema. (Witagama,dedi.2009)
Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen parasit
mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti IL 1, IL 6, TNF α.
Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang sehingga terjadi eosinofilia yang
berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin juga akan merangsang ekspansi
sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan dengan
parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia
dan meningkatnya mediator inflamasi maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa untuk
membunuh parasit dan terjadi kematian parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi
inflam dan granulomatosa. Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yang
dilatasi, menebalnya dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal ini
menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan menyebabkan
perjalanan yang kronis. (harun,riyanto.2010)

e. Manifestasi Klinis
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem
limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh reaksi
hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis.
Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan limfadenitis akut
berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan
penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya, tetapi bila diurutkan
dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi:
a. Masa prepaten
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia yang
memerlukan waktu kira-kira 3¬7 bulan. Hanya sebagian tdari penduduk di daerah endemik
yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua
kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang
asimtomatik baik mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
b. Masa inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala klinis yang
biasanya berkisar antara 8-16 bulan.
c. Gejala klinik akut
Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai panas dan
malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat
mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
d. Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang
ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis masih dapat terjadi. Gejala kronis ini
menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani
keluarganya. (Witagama,dedi.2009)
 Filariasis bancrofti
Pada filariasis yang disebabkan Wuchereria bancrofti pembuluh limfe alat kelamin laki-
laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis dan orchitis. Limfadenitis inguinal atau
aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-
15 hari. Serangan biasanya terjadi beberapa kali dalam setahun.
 Filariasis brugia
Pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi dan Brugia timori limfadenitis paling
sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang
disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri, dan sering terjadi
limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa
hari. Serangan dapat terjadi 12 kali dalam satu tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar
limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan
parut yang khas, setelah 3 minggu hingga 3 bulan.
 Filariasis bancrofti
Keadaan yang sering dijumpai adalah hidrokel. Di dalam cairan hidrokel dapat
ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai
bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dengan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali
dari ukuran asalnya. Chyluria dapat terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita
menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di
bawah lutut dan lengan bawah. Ukuran pembesaran ektremitas umumnya tidak melebihi 2
kali ukuran asalnya. (Witagama,dedi.2009)

f. Pemeriksaan Diagnostik
1.) Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik
penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic
Disease Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis
adalah gejala dan tanda limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun.
2.) Diagnosis Parasitologik
Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria pada pemeriksaan
darah kapiler jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan siang hari, 30 menit
setelah diberi DEC 100 mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species
cacing filaria.
3.) Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar limfe inguinal
penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign).
Pemeriksaan limfos intigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang dilabel
dengan radioaktif akan menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik, sekalipun pada
penderita yang mikrofilaremia asimtomatik.

4.) Diagnosis Immunologi


Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia
dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan
cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremia, tidak
membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit,
ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik.
Gib 13, antibodi monoklonal terhadap O. gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik
dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea. (Marty,Aileen,M.2009)

g. Penatalaksanaan
Dietilkarbamasin sitrat (DEC) merupakan obat filariasis yang ampuh, baik untuk
filariasis bancrofti maupun brugia, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini
ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi samping
sistemik dan lokal yang bersifat sementara. Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam,
berupa sakit kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh, persendian, pusing, anoreksia,
kelemahan, hematuria transien, alergi, muntah dan serangan asma. Reaksi lokal dengan atau
tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, limfedema transien, hidrokel, funikulitis
dan epididimitis. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis pertama, hilang
spontan setelah 2-5 hari dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik. Reaksi
samping lokal terjadi beberapa hari setelah pemberian dosis pertama, hilang spontan setelah
beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita dengan gejala
klinis. Reaksi sampingan ini dapat diatasi dengan obat simtomatik.(Harun,riyanto.2010)
Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan filariasis brugia, sehingga
dianjurkan untuk menurunkan dosis harian sampai dicapai dosis total standar, atau diberikan
tiap minggu atau tiap bulan. Karena reaksi samping DEC sering menyebabkan penderita
menghentikan pengobatan, maka diharapkan dapat dikembangkan penggunaan obat lain
(seperti Ivermectin) yang tidak/kurang memberi efek samping sehingga lebih mudah diterima
oleh penderita.
DEC tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan peroral
sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3
jam, dan diekskresi melalui air kemih. DEC tidak diberikan pada anak berumur kurang dari 2
tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah.
Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6
mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis brugia diberikan 5 mg/kg berat badan selama
10 hari. Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg berat badan selama 2¬3 minggu.
Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala akut,
limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali
untuk mendapatkan penyembuhan sempurna. Elephantiasis dan hidrokel memerlukan
penanganan ahli bedah.(harun,riyanto.2010)
Pengobatan nonfarmako pada filariasis adalah istirahat di tempat tidur,
pengikatan di daerah pembendungan untuk mengurangi edema, peninggian tungkai,
perawatan kaki, pencucian dengan sabun dan air, ekstremitas digerakkan secara teratur untuk
melancarkan aliran, menjaga kebersihan kuku, memakai alas kaki, mengobati luka kecil
dengan krim antiseptik atau antibiotik, dekompresi bedah, dan terapi nutrisi rendah lemak,
tinggi protein dan asupan cairan tinggi.
Dalam pelaksanaan pemberantasan dengan pengobatan menggunakan DEC ada
beberapa cara yaitu dosis standard, dosis bertahap dan dosis rendah. Dianjurkan Puskesmas
menggunakan dosis rendah yang mampu menurunkan mf rate sampai < 1%. Pelaksanaan
melalui peran serta masyarakat dengan prinsip dasa wisma. Penduduk dengan usia kurang
dari 2 tahun, hamil, menyusui dan sakit berat ditunda pengobatannya. DEC diberikan setelah
makan dan dalam keadaan istirahat.
1. Dosis standar Dosis tunggal 5 mg/kg berat badan; untuk filariasis bancrofti selama 15 hari,
dan untuk filariasis brugia selama 10 hari.
2. Dosis bertahap Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun, dan 1/2 tablet untuk
usia kurang dari 10 tahun; disusul 5 mg/kg berat badan pada hari 5 - 12 untuk filariasis
bancrofti dan pada hari 5 - 17 untuk filariasis brugia.
3. Dosis rendah Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun, 1/2 tablet untuk usia <
10 tahun, seminggu sekali selama 40 minggu. (Marty,Aileen,M.2009). Pencegahan `
Pemberantasan filariasis ditujukan pada pemutusan rantai penularan, dengan cara
pengobatan untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi transmisi oleh vektor.
Pemberantasan filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas dengan tujuan:
1. Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%
2. Menurunkan microfilarial (mf) rate menjadi < 5% 3. Mempertahankan Chronic Disease
Rate (CDR) Sasaran pemberantasan adalah daerah endemis lama yang potensial masih ada
penularan dan daerah endemis baru. Dengan prioritas sasaran ditujukan pada:
a. Daerah endemis lama dengan mf rate > 5%
b. Daerah endemis lama dan baru yang merupakan daerah pembangunan, transmigrasi,
pariwisata dan perbatasan
Kegiatan pemberantasan meliputi pengobatan, pemberantasan nyamuk dan penyuluhan.
Pengobatan merupakan kegiatan utama dalam pemberantasan filariasis, yang akan
menurunkan ADR dan mf rate.
Di suatu daerah yang diperkirakan endemik filariasis, perlu diselenggarakan suatu
surveilans epidemiologis. Pada daerah tersebut 10% dari penduduknya perlu diperiksa
untuk menentukan Acute Disease Rate dan mf rate. Pengobatan massal dilakukan bila
ADR > 0%, dan mf rate > 5%; sedangkan pengobatan selektif dilakukan bila ADR = 0%,
dan mf rate < 5%. (Marty,Aileen,M.2009)

Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas:


1. Pemberantasan nyamuk dewasa
a. Anopheles : residual indoor spraying
b. Aedes : aerial spraying
2. Pemberantasan jentik nyamuk
a. Anopheles : Abate 1%
b. Culex : minyak tanah
c. Mansonia : melenyapkan tanaman air tempat perindukan, mengeringkan rawa dan
saluran air
3. Mencegah gigitan nyamuk
a. Menggunakan kawat nyamuk/kelambu
b. Menggunakan repellent
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu dilaksanakan
sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang penanggulangan
filariasis.
Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga dan seluruh penduduk
daerah endemis, dengan harapan bahwa penderita dengan gejala klinik filariasis segera
memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah kapiler jari dan minum obat
DEC secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk.
Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan melakukan pemeriksaan
vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi mikrofilaria. (Marty,Aileen,M.2009)

h. Komplikasi
a. Cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena.
b. Elephantiasis tungkai.
c. Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,vulva vagina
dan payudara,
d. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pda saluran limfe testis berulang:
pecahnya tunika vaginalisHidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di
antaralapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang
berada di dalam rongga itu memang adadan berada dalam keseimbangan antara produksi
dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.
e. Kiluria : kencing seperti susu karena bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing
dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih.
(T.Pohan,Herdiman.2009)

Anda mungkin juga menyukai