Wawasan Due Proses of Law PDF
Wawasan Due Proses of Law PDF
Mansyur Achmad i
ii Teori-teori Mutakhir Administrasi Publik
Prof. Dr. M. Syukri Akub, SH., MH.
Dr. Baharuddin Baharu, S.H., M.H.
WAWASAN
DUE PROSES OF LAW
DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA
Editor
Dr. Amir Ilyas, SH., MH
© Penulis
Pencetak:
Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta
Jl. Wates Km 4, Tegalyoso, Banyuraden, RT 02/RW 07 No. 65
Sleman, Yogyakarta (55293)
Telp. 0274-3007167 dan SMS 081227740007
e-mail: rangkang_education@yahoo.com
Penulis.
PENGANTAR . ...............................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................
BAB II
TEORI HUKUM UNTUK KEADILAN......................................
A. Teori Keadilan............................................................................
1. Pengertian Keadilan ............................................................
2. Prinsip Keadilan...................................................................
B. Teori Penegakan Hukum..........................................................
C. Konsep Hukum Progresif dan Penegakannya.......................
1. Konsepsi Hukum Progresif . ..............................................
2. Penegakan Hukum Progresif..............................................
D. Teori Perlindungan Hukum.....................................................
BAB II
SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
A. Due Process of Law dalam Perspektif Teoritis Normatif.....
1. Sejarah Perkembangan Sistem Peradilan Pidana
di Eropa dan Amerika Serikat............................................
a. Sistem inquisitoir dan Accusatoir ...................................
b. Adversary System dan Non Adversary System . .............
c. Bail System.........................................................................
d. Plea Bargaining System.....................................................
2. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia...............................
B. Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM) .
dalam Proses Peradilan Pidana................................................
a. Crime Control Model..............................................................
BAB IV
PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA..................
A. Aspek-Aspek Peradilan yang Adil..........................................
a. The Rule Of Law...................................................................
b. Asas Persamaan di Muka Hukum (Equality Before
the Law)...................................................................................
c. Asas Praduga tak Bersalah (Presumption of Innocence)....
B. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana......................................
a. Pra-Ajudikasi.........................................................................
b. Ajudikasi................................................................................
C. Pengaturan Korban Kejahatan dalam Sistem
DAFTAR PUSTAKA......................................................................
BIODATA PENULIS......................................................................
BIODATA EDITOR.......................................................................
A. TEORI KEADILAN
1. Pengertian Keadilan
Dalam encyclopedia Americana (The Liang Gie, 1979:17 —
18) disebutkan pengertian keadilan itu yang mencakup (a)
kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada
setiap orang haknya (the contestant and perpetual disposition to
render everyrnan his due), (b) tujuan dari masyarakat, manusia (the
end of civil society, (c) hak untuk memperoleh suatu pemeriksaan
dan keputusan oleh badan pengadilan yang bebas dan prasangka
dan pengaruh yang tak selayaknya (the right to obtain a hearing and
delision by courth which is free of prejudice and improper), (d) semua
hak wajar yang diakui maupun hak-hak menurut hukum dalam
arti teknis (all recognized equitable right as well technical rights), (e)
suatu kebenaran menurut persetujuan dan umat manusia pada
umumnya (the dictate of right according to the consent of making
generally), (f) persesuaian dengan asas-asas keutuhan watak,
kejujuran, dan perlakuan adil (conformity with the principles of
integrity, restitude, and just dealing).
Maidin Gultom (2008:22) memberikan pengertian keadilan
sebagai penghargaan terhadap setiap orang yang menurut harkat
dan martabatnya sebagai pribadi dan dalam hubungannya
dengan segala sesuatu yang ada di luar pribadinya.
Secara analisis MuIyana W. Kusuma (1981 :53) membagi
keadilan dalam komponen prosedural dan Substantif atau
keadilan formil dan materil. Komponen prosedural berhubungan
dengan gaya suatu sistem hukum Seperti rule of law dan negara
b. Prinsip Keadilan
Pengertian keadilan Aristoteles, sebenarnya tidak lepas dari
beberapa konsep klasik yang tertuang dalam Kitab Hukum
Justinianus, antara lain bahwa keadilan adalah kehendak yang
ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing
bagiannya (iustitia est constant et perpetua voluntas ius suun cuique
tribuendi), dan dari Cicero (iustitia est habitus animi, communi ultilita
te conservata, suun cuique tribunes dignitatem). Dari konsep ini
melahirkan pemahaman yang mengkristal di kalangan penganut
aliran hukum alam bahwa dalam semesta ini diciptakan dengan
prinsip keadilan. Prinsip-prinsip keadilan dimaksud antara
lain, “berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya
(unicuique suum tribuere)”, dan “jangan merugikan orang (neminem
Iaedere)”. Pengertian keadilan aristoteles tersebut, meskipun
terlihat masih sangat sederhana akan tetapi secara substansial
aristoteles merupakan filosof pertama yang mengangkat tema
c. Bail System
Sistem jaminan yang berkembang di Inggris dan Amerika
yang disebut dengan bail system terus berjalan, walaupun
banyak terlontar kecaman yang dianggap membedakan Si kaya
dan Si miskin yang dengan sendirinya merusak citra equality
before the law. Pembahasan terhadap bail system pada tahun
1960 didasarkan kepada dua hal, pertama dalam kenyataannya
banyak tertuduh yang hendak memperoleh kebebasannya
Selain itu asas ini terdapat pula dalam penjelasan resini atas
Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981, butir ke-2 yang berbunyl:
“Undang - Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa
negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Hal itu berarti
bahwa Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945, menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan menjamin warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya.
Pengaturan asas interpendensi ini pun terdapat dalam
beberapa bab dalam Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981, antara
lain dalam Bab IV: Penangkapan, Penahanan, Penggeledehan
Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat,
Bab VII: Bantuan Hukum; Bab XII: Ganti rugi dan Rehabilitasi.
Dapat dikemukakan bahwa perbedaan falsafah hidup di
antara bangsa-bangsa di dunia (untuk sementara terbatas pada
sosialisme, liberalisme, dan Pancasila) menimbulkan implikasi yang
mendalam terhadap pandangan hidup anggota masyarakat
Karakteristik CCM
Dalam CCM terdapat anggapan bahwa penanggulangan
kejahatan merupakan hal yang paling didambakan masyarakat,
oleh karena itu diperlukan suatu represi terhadap perilaku
kriminal. Menurut anggapan ini gagalnya penegak hukum
mengatasi kejahatan dapat meruntuhkan tertib masyarakat
(public order) dan menjurus kepada hilangnya kemerdekaan
sosial (social freedom). Oleh karena itu CCM menganggap proses
kriminal jaminan atas social freedom yang positif.(Herbert Packer,
1978: 176)
Berdasarkan anggapan tersebut di atas terdapat suatu
konsekuensi harus adanya efisiensi dan efektivitas dalam proses
kriminal. Kemampuan aparat penegak hukum untuk melakukan
penangkapan, penahanan, dan menjatuhkan hukuman
kepada pelaku kejahatan dipakai sebagai ukuran keberhasilan.
Sehubungan dengan itu aparat penegak hukum harus diberi
kepercayaan yang besar sesuai dengan profesionalismenya.
Profesionalisme merupakan tuntutan utama bagi aparat
penegak hukum dalam tahap pendahuluan untuk menghindari
kemungkinan kesalahan selama mereka bertindak dalam proses
Karakteristik DPM
Sebagaimana CCM, sebenarnya DPM tidak menolak tindakan
represi terhadap pelaku kriminal, hanya saja mempunyal prioritas
yang caranya berbeda. Asas due process of law lebih berakar dalam
DPM, hal ini dapat dilihat dan adanya struktur formal peraturan
perundang-undangan atau hukum untuk melaksanakan due
process of law, sehingga dengan demiikian kita lebih mudah
membayangkan bahwa DPM merupakan suatu obstacle course
yaitu suatu jalan yang banyak hambatan yang berfungsi untuk
mengontrol cocok tidaknya tindakan yang dilakukan aparat
penegak hukum menurut peraturan hukum yang ada.
DPM menyerang praktek-praktek proses kriminal yang
dilakukan berdasarkan cara-cara seperti dalam CCM. Dalam hal
ini DPM melihat adanya kemungkinan kesalahan (possibility error)
seperti terjadinya salah tangkap, salah menahan, pemaksaanp
emaksaan dalam memperoleh pengakuan di tingkat penyidikan
dan lain sebagainya yang banyak terjadi dalam praktek
pelaksanaan proses kriminal berdasarkan CCM.
Karena itu DPM Iebih mempercayai proses ajudikasi atau
proses persidangan dalam melaksanakan proses kriminal. Namun
demikian pada akhirnya tingkat kemampuan penanganan
perkara dalam DPM menjadi rendah karena terlalu banyaknya
hambatan yang memaksa penegak hukum untuk berhali-hali
dan menaatinya. Namun demikian hal ini tidak menjadi masalah
karena DPM tidak menuntut adanya kecepatan dan ketuntasan
dalam proses kriminal sebagaimana halnya pada CCM, yang
lebih penting adalah bagaimana suatu proses kriminal dapat
e. Family Model
Menurut Griffith (1980:70) kedua model peradilan pidana
yang dikemukakanoleh Herbert Packer sebenarnya sama-sama
berada dalam kerangka sistem adversary, atau yang menurut
julukan yang diberikan oleh Griffith dinamakan sebagai model
peperangan (battle model).
Model peperangan memandang proses kriminal sebagai
suatu konnik atau pertentangan kepentingan yang tidak dapat
dipertemukan (irreconciliable disharmony of interest) antara
individu (pelaku kejahatan) di satu sisi yang berhadapan dengan
negara (yang diwakili oleh aparat penegak hukum polisi dan
jaksa penuntut umum) pada sisi yang lain. Dalam hal ini pelaku
kejahatan dipandang sebagai musuh masyarakat (enemy of
society) yang harus disingkirkan sehingga tidak mengherankan
apabila tujuan utama proses kriminal adalah mengasingkan
atau menyingkirkan pelaku kejahatan dan masyarakatnya (exile
function of punishment). (Griffith, 1980 71-72).
Karena titik tolak ideologis dan Family model adalah cinta
kasih antar sesama, konsep pemidanaan yang ditonjolkan bukan
dalam kerangka untuk mengasingkan atau menyingkirkan
pelaku, menurut konsep ini pelaku kejahatan pun diberi
perlakuan dengan penuh kasih sayang. Dalam gambar Family
model pelaku kejahatan diumpamakan seperti anak dalam
keluarga yang melakukan kesalahan, Ia dapat diberi sanksi tanpa
diasingkan dari masyarakatnya, karena dalam kerangka kasih
sayang ia masih dianggap sebagai bagian dan keluarga.
a. Ganti rugi
b. Restitusi (restitution)
Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku
terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga
sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian
yang diderita korban. Tolak ukur yang digunakan dalam
menentukan jumlah restitusi yang diberikan untuk mudah dalam
c. Kompensasi
Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat
dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Adanya
gagasan mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat dengan
berlandaskan pada komitmen kontrak sosial dan solidaritas
sosiaI menjadikan masyarakat dan negara bertanggungjawab
dan berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya
khususnya mereka yang mengalami musibah sebagai korban
kejahatan kompensasi sebagai bentuk santunan yang sama sekali
tidak tergantung bagaimana berjalannya proses peradilan dan
putusan yang dijatuh bahkan sumber dana untuk itu diperoleh
dari pemerintah atau dana umum.
Dalam “International Penal Reform Conference” yang
diselenggarakan di Royal Halloway College, University of
London, pada tanggal 13 - 17 April 1999 diidentitikasikan sembilan
strategi pengembangan dalam melakukan pembaharijan hukum
pidana, yaitu mengembangkan I membangun;
1. Restorative justice (keadilan restoratif)
2. Alternative dispute resolution (alternatif penyelesaian sengketa)
3. Informal justice (keadilan informal)
4. Altemntive to Custody (alternatif untuk kustodian)
5. Alterantive ways of dealing with juvenile (cara alternatif untuk
menghadapi remaja)
6. Dealing with violent crime (berurusan dengan kejahatan
kekerasan)
7. Reducing the prison population (mengurangi populasi penjara)
8. The proper management of prison (pengelolaan yang tepat dari
penjara).
2. Restitution
Pelaku kejahatan atau pihak ketiga bertanggung jawab untuk
mengganti kerugian kepada korban-korban, keluarga-ketuarga
atau orang yang bergantung kepada korban. Penggantian
kerugian seperti itu termasuk kembalinya harta atau pembayaran
untuk kerugian yang diderita dan pemulihan hak-hak.
Pemerintah, perlu meninjau ulang pelaksanaan dan
peraturan undang-undang untuk mempertimbangkan
penggantian kerugian dalam perkara pidana. Termasuk alam
kasus kejahatan Iingkungan. Lebih balk dilakukan pemulihan
hngkungan atau ganti kerugian.
3. Compensation
Kompensasi diberikan kepada korban oleh pelaku. Akan
tetapi pada saat pelaku tidak sanggup untuk membayar maka
kompensasi itu harus dibayar oleh negara.
Korban yang mendapat kompensasi yaitu:
(a) Korban yang menderita luka fisik maupun psikis akibat dari
kejahatan yang berbahaya;
(b) Keluarga korban
4. Assistance/bantuan
Korban perlu menerima bantuan baik medis, sosial dan
psikologis. Bantuan ini disalurkan melalui bidang pemerintahan
a. Pra-Ajudikasi
Tahap pemeriksaan pendahuluan adalah semua tahapan
proses sebelum sampai pada pemeriksaan perkara di pengadilan.
Menurut KUHAP tahap pemeriksaan pendahuluan dapat
dibagi menjadi dua tahapan yaitu: (1) proses penyelidikan dan
b. Ajudikasi
Pengadilan negeri menerima bahan masukan perkara
pidana melalui proses penuntutan yang dilakukan oleh penuntut
umum. Dalam proses Penuntutan pengaduan negeri menerima
berkas perkara penyidikan lengkap beserta surat dakwaan
disertai permohonan agar perkara tersebut diperiksa dan diadili.
Tanpa proses penuntutan seperti ini, pengadilan tidak mungkin
mendapat perkara karena terdapat asas pasifitet yang melarang
pengadilan (Hakim) mencari perkara untuk disidangkan.
Sesudah pengadilan negeri (melalui kepaniteraan pengadilan
negeri) menerima berkas proses penuntutan, terhadap perkara
tersebut diberi nomor register perkara dan Ketua Pengadilan
Negeri membuat penetapan mengenai Hakim yang diberi tugas
untuk menyidangkan perkara tersebut.
Dengan adanya penetapan tersebut maka yang berwenang
dan bertanggungjawab secara penuh untuk menyelesaikan
perkara tersebut bukan lagi di tangan Ketua Pengadilan Negeri
melainkan ada pada Hakim yang telah ditunjuk. Untuk itu bagi
Hakim yang bertugas untuk menyidangkan perkara diberi
jaminan kebebasan dalam arti bebas dan pengaruh ekstra judicial
agar ia dapat menyelesaikan perkara secara adil.
Kualitas
Tinggi Rendah
Hukumnya
1 Pernah menawarkan 11 31
N 35 100
1 Sangat baik 3 9
2 Baik 21 60
3 Sedang 6 17
4 Tidak baik 5 14
5 Sangat tidak baik - 0
N 35 100
Sumber Data : Responden (Korban),2010
John Brion, 1995, Chaos of Theory of Law, The Free Press, New
Jersey.
John Griffith, 1970, Ideologi in Criminal Procedure or A Third Model
of the Criminal Processs, Yale Journal, vol. 79.
_________, 1980 Ideology in Criminal Procedure A Third Model of
The Criminal Process, Yale Law Journal, Vol. 73, No. 2.
John Jasin, 2010, Tanggung Jawab Pemerintah Daerah terhadap
Perlindungan Hukum Hak Anak dalam Memperoleh Pendidikan
Disertasi, Unhas, Makassar.
John Rawls, 1971, A Theory Of Justice Harvard
University, Press, Cambridge.
Kaligis, O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka,