Anda di halaman 1dari 273

WAWASAN

DUE PROSES OF LAW


DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA

Mansyur Achmad i
ii Teori-teori Mutakhir Administrasi Publik
Prof. Dr. M. Syukri Akub, SH., MH.
Dr. Baharuddin Baharu, S.H., M.H.

WAWASAN
DUE PROSES OF LAW
DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA

Editor
Dr. Amir Ilyas, SH., MH

Mansyur Achmad iii


WAWASAN DUE PROSES OF LAW
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

© Penulis

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Cetakan Pertama: Maret 2012
xxx +250 hlm, 15.5 cm x 23.5 cm
ISBN:

Penulis : Prof. Dr. M. Syukri Akub, SH., MH.


Dr. Baharuddin Baharu, S.H., M.H.
Editor : Dr. Amir Ilyas, SH., MH
Perancang Sampul : Janoer Kuning
Penata Letak : Rangkang

Diterbitkan atas kerjasama


Rangkang Education, Yogyakarta
Telp. 0274-3007167, dan SMS 081 22 77 40007
rangkang_education@yahoo.com,

Pencetak:
Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta
Jl. Wates Km 4, Tegalyoso, Banyuraden, RT 02/RW 07 No. 65
Sleman, Yogyakarta (55293)
Telp. 0274-3007167 dan SMS 081227740007
e-mail: rangkang_education@yahoo.com

iv Teori-teori Mutakhir Administrasi Publik


PENGANTAR

Satjipto Rahardjo1, mahaguru sosiologi hukum di Indonesia


mengkonstruksikan masyarakat merupakan “tatanan normatif”
yang tercipta dari proses interaksi sosial dan menciptakan
berbagai “kearifan nilai sosial”. Kearifan nilai sosial itu ada
yang bersifat rasional dan irasional yang “ditransformasikan”
membentuk “tatanan masyarakat normatif” melalui “proses
normativisasi hukum” sehingga menjadi publik dan positif.
Secara faktual, kita bisa melihat bahwa hukum terbelenggu
oleh kekuasaan, struktur, norma dan positivisme. Hukum tidak
bisa menembus dinding peradilan yang tebal dalam membaca
realitas sosial. Positivisme-dogmatis telah menjadi penyebab
utama “kebangkrutan nalar” hukum menjawab tantangan dalam
masyarakat.
Sebab itulah, gagasan Satjipto Rahardjo menjadi salah satu
gagasan yang paling penting untuk menembus batas-batas tabu
positivisme dan supaya hukum bisa lebih progresif menghadapi
berbagai realitas sosial dalam masyarakat. Ketidakadilan dan
“pilih kasih” peradilan dalam menjatuhkan putusan, tidak saja
disebabkan oleh hakim yang konservatif, tetapi juga karena
hukum yang sangat ortodoks. Sehingga gagasan alternatif yang
disampaikan oleh Satjipto Rahardjolayak untuk diberi apresiasi
dalam rangka membangun pemikiran hukum yang memihak
kepada keadilan dan kepentingan rakyat.

Makassar, Februari 2013

Penulis.

1 Satjipto Rahardjo, Paradigma Hukum Indonesia Perspektif Sejarah, Makalah


disampaikan pada simposium Nasional Ilmu Hukum Program Doktor, UNDIP,
Semarang, 1998, hal. 1-2.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu v


vi Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
DAFTAR ISI

PENGANTAR . ...............................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................

BAB II
TEORI HUKUM UNTUK KEADILAN......................................
A. Teori Keadilan............................................................................
1. Pengertian Keadilan ............................................................
2. Prinsip Keadilan...................................................................
B. Teori Penegakan Hukum..........................................................
C. Konsep Hukum Progresif dan Penegakannya.......................
1. Konsepsi Hukum Progresif . ..............................................
2. Penegakan Hukum Progresif..............................................
D. Teori Perlindungan Hukum.....................................................

BAB II
SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
A. Due Process of Law dalam Perspektif Teoritis Normatif.....
1. Sejarah Perkembangan Sistem Peradilan Pidana
di Eropa dan Amerika Serikat............................................
a. Sistem inquisitoir dan Accusatoir ...................................
b. Adversary System dan Non Adversary System . .............
c. Bail System.........................................................................
d. Plea Bargaining System.....................................................
2. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia...............................
B. Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM) .
dalam Proses Peradilan Pidana................................................
a. Crime Control Model..............................................................

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu vii


b. Due Process Model .................................................................
c. Persamaan Crime Controll Model dan Due Process
Model ......................................................................................
d. Karakteristik Pembeda CCM dan DPM ...........................
e. Family Model .......................................................................
f. Model Yuridis dan Model Kemudi ...................................
C. Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai Perwujudan
Prinsip Proses Hukum Yang adil.............................................
a. Masalah Pemeriksaan Tersangka oleh Penyidik ............
b. Masalah Upaya Paksa yang Melawan Hukum ...............
D. Perlindungan Terhadap Hak Yuridis Tersangka dan
Terdakwa dalam Proses Peradilan Pidana.............................
E. Eksistensi Hak-Hak Tersangka Dan Terdakwa dalam
Sistem Peradilan Pidana yang Adil.........................................
F. Konsep Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana..............
a. Pengertian Korban Kejahatan.............................................
b. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan.......
c. Kedudukan Korban dalam Undang-Undang No. 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban....
d. Kedudukan Korban dalam Undang-undang No. 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga .....................................................................
e. Kedudukan Korban dalam Declaration of Basic Principles
of Justice Victim of Crime and Basic Abuse Power . ..............

BAB IV
PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA..................
A. Aspek-Aspek Peradilan yang Adil..........................................
a. The Rule Of Law...................................................................
b. Asas Persamaan di Muka Hukum (Equality Before
the Law)...................................................................................
c. Asas Praduga tak Bersalah (Presumption of Innocence)....
B. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana......................................
a. Pra-Ajudikasi.........................................................................
b. Ajudikasi................................................................................
C. Pengaturan Korban Kejahatan dalam Sistem

viii Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Peradilan Pidana...................................................................
1. Kebijakan Terhadap Korban Kejahatan.......................
2. Proyeksi penyelesaian perkara pidana di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA......................................................................
BIODATA PENULIS......................................................................
BIODATA EDITOR.......................................................................

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu ix


x Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
BAB I
PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang


secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal
dan langgeng, olehnya itu karena dilindungi, dihormati,
dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau
dirampas oleh siapapun.
Mukaddimah deklarasi HAM 1948 yang menyatakan bahwa
HAM harus dilindungi oleh pemerintah yang berdasar atas
hukum, merupakan suatu hal yang esensial agar orang tidak
terpaksa mengambil jalan lain, sebagai upaya terakhir, dengan
berontak melawan tirani. Ketentuan mukaddimah deklarasi
HAM tersebut mengandung makna bahwa dalam suatu
negara hukum dijamin adanya perlindungan terhadap HAM.
Pentingnya perlindungan tersebut dimaksudkan mencegah
timbulnya pemberontakan dan perlawanan rakyat sebagai akibat
dari pemerintahan yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Dalam implementasinya, HAM yang bersifat universal dan
tidak dapat terlepas dan ciri yang dimiliki oleh suatu negara.
Penjabaran HAM pada suatu negara tidak dapat dilepaskan dan
realitas kehidupan suatu bangsa dan negara yang bersangkutan.
Implementasi HAM pada suatu negara selalu menyatu
pada kerangka konstitusi dan pandangan hidup negara yang
bersangkutan. Sebagaimana dinyatakan oleh Safroedin Bahar
(1996 : 86) bahwa berbeda dengan kesan yang timbul selama
ini, yang memberikan gambaran bahwa HAM diarahkan
untuk menentang pemerintah dan negara, instrumen HAM
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) justru menegaskan bahwa
perlindungan dan penegakan HAM di suatu negara merupakan
tanggungjawab negara yang bersangkutan karena perlindungan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 1


dan penegakan HAM menjadi program nasional suatu Negara
untuk diwujudkan peraturan perUndang-Undangannya.
Dalam kaitannya dengan konstitusi dan pandangan hidup
suatu negara, pada dasarnya tidak ada kendala ideologis dalam
proses perlindungan dan penegakan HAM, sebab sebagai
suatu negara penganut paham kedaulatan rakyat, Indonesia
mendasarkan dirinya pada Pancasila dan UUD NRI 1945.
Sebagai negara hukum, di dalam penjabaran HAM, negara
Indonesia menyatu pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945). Perspektif Pancasila
dan UUD NRI 1945 terhadap HAM haruslah dilakukan secara
menyeluruh sebagai suatu sistem yang di dalamnya memuat
ruang gerak kehidupan kenegaraan yang bukan saja saling
tergantung, tetapi juga saling memberi konstribusi.
Jika dicermati secara mendalam, unsur-unsur yang
terkandung dalam perwujudan HAM dalam pelaksanaan hak-
hak tersangka I terdakwa dan terpidana menurut Kitab Undang-
UndangHukum Acara Pidana (KUHAP) dalam konteks negara
hukum dikaitkan dengan HAM ternyata saling memberi kontribusi.
Kehadiran UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana
banyak kalangan yang memandangnya sebagai angin segar
dalam hal perlindungan HAM dalam proses peradilan pidana,
bahkan ada yang memandangnya sebagai karya agung bahasa
Indonesia. Alasannya, karena disamping KUHAP adalah kitab
Undang-Undangyang pertama kali diciptakan oleh bangsa
Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan, juga substansi KUHAP
dipandang Iebih maju bila dibandingkan dengan Herzeine
Indldonesische Reglement (HIR) terutama yang bertalian dengan
perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana.
Dalam perjalananya KUHAP mulai mendapat sorotan
dan berbagai praktisi dan pengamat hukum yang memandang
bahwa KUHAP tidak progresif dalam memberikan perlindungan
hukum kepada tersangka, terdakwa dan utamanya kepada
korban kejahatan. Pada awalnya KUHAP memang banyak
mendapat pujian dan sekaligus dilekati dengan harapan akan

2 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


keadilan dalam beracara pada Undang-Undangyang terdiri dan
286 pasal / 28 bab tersebut.
Terkait dengan eksistensi KUHAP itu sendiri, Bambang
Widjojanto (Busroh, 1996: 14) memberikan penilaian terhadap
eksistensi KUHAP tersebut terkait munculnya kontroversi
terhadap putusan Peninjauan Kembali (PK) Mukhtar Pakpahan,
bahwa sudah saatnya prinsip-prinsip yang ada dalam KUHAP
perlu dikaji dan dipikirkan lebih dalam, terutama dalam
mengantisipasi perkembangan zaman dan masyarakat masa
depan.
Keluhan yang sering muncul berkenaan pelaksanaan
KUHAP adalah pendekatan kekerasan dalam proses penyidikan.
Serangkaian kasus telah mengemuka di tengah masyarakat,
Misalnya kasus Cece Tadjuddin, Marsinah, Udin dan lain-
lain. Malah ada indikasi kuat sebagaimana dikemukakan oleh
Munir (Busroh, 1996: 14) bahwa aparat penyidik cenderung
menggunakan pendekatan kekerasan sebagai jalan pintas untuk
menutupi keterbatasan kemampuan dalam mengungkap suatu
tindak kejahatan.
Selanjutnya dikemukakan Munir bahwa ada beberapa titik
kelemahan KUHAP, Misalnya rendahnya akuntabilitas dan
transparansi proses pemeriksaan tersangka, kurang memadainya
lembaga peradilan sebagai sarana kontrol terhadap proses
penyidikan serta adanya penurunan derajat kepastian hukum
yang dihasilkan oleh lembaga peradilan, dan pada akhirnya
mengakibatkan tidak efektifnya mekanisme kontrol yang telah
dibangun dalam KUHAP.
Kepastian hukum itu harus memiliki kewibawaan yang
formal (prosedurnya harus benar) maupun yang materiil
(substansinya harus benar) untuk bisa dirasakan kehadirannya,
supaya kepastian hukum itu harus mempunyai kinerja yang
dapat diamati oleh masyarakat biasanya mempunyai cukup peka
terhadap ketidakadilan. Artinya kepastian hukum itu dinilai
melalui dampak keadilan yang (seharusnya) dihasilkannya.
Kinerja POLRI yang formal dihasilkan oleh konsistensi dalam

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 3


penerapan cara dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu
perilaku yang menyimpang dan norma hukum. (Latif, 2010: 53)
Selama ini dikenal lima unsur sistem hukum, yaitu struktur
hukum, substansi hukum, profesionalisme, dan komitmen.
Bila ditinjau dari unsur-unsur tersebut, maka salah satu unsur
penting terjadinya pelanggaran penegakan hukum karena
tidak adanya profesionalisme di antara penegak hukum.
Ketidakprofesionalan tersebut bisa dilihat dengan
banyaknya kasus yang dikerjakan serampangan. Hal ini bisa
dilihat dan tersangka yang dipaksa mengakui sesuatu yang
tidak mereka lakukan. Hukum bukan lagi sebagai alat mencari
keadilan, melainkan untuk sekedar mencari kesalahan, apabila
tidak ditemukan benang merahnya untuk menghubungkan
seseorang sebagai sasaran bidik untuk dijadikan tersangka, di
obrak-abrik lagi sisi lain yang sebenarnya hubungannya dipaksa
-paksakan. Maka tak mengherankan kalau kemudian pengadilan
sesat terjadi (Pamungkas,2010:11)
Sejumlah kasus telah mewarnai ketidakadilan dan
ketidakprofesionalan aparat penegak hukum dalam hal
penanganan perkara, sebut saja kasus dakwaan duplikat, yang
menyeret Iwan Setiawan didakwa telah membunuh majikan.
Motifnya pembunuhan karena dendam setelah diberhentikan
dan pekerjaannya sebagai Satpam bersama terpidana lainnya,
Suyitno, yang juga kakak ipar, berencana membunuh Ny. Shi
Feko pada hari Senin, 13 Juli 2006, pukul 18.05, Iwan Setiawan dan
Suyitno datang ke rumah korban sekitar Pukul 22.00 keduanya
mendekati korban yang sedang berdiri diteras, keduanya dituduh
menyeret dan menusukkan pisau ke leher korban.
Atas dasar tuduhan tersebut, Iwan Setiawan diseret ke
pengadilan. Hakim Pengadilan Negeri Bandung memvonis Iwan
Setiawan seumur hidup. Putusan tersebut dikuatkan oleh Hakim
Pengadilan Tinggi Bandung. Namun lewat proses Kasasi, Iwan
Setiawan dibebaskan. Dalam putusannya, Hakim Mahkamah
Agung yang diketuai Iskandar Kanil, menyatakan Iwan Setiawan
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam

4 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


pembunuhan Ny. Shi Geko, Hakim juga membebaskan terdakwa
dan aspek dakwaan (Pamungkas, 2010:196).
Dalam proses persidangan Iwan Setiawan memang
diwarnai kejanggalan. Selama penyidikan oleh polisi, Iwan
mengaku dipukul sebanyak dua kali oleh polisi agar mengakui
perbuatannya namun banyak saksi yang melihat Setiawan
berada di Rumah Sakit Santo Yusuf, menunggu saudaranya
yang sakit. Akan tetapi, Hakim Pengadilan Negeri Bandung
tidak memberikan kesempatan kepada saksi tersebut untuk
bersaksi di pengadilan. Hal lainnya karena dakwaan yang
didakwakan kepada Iwan Setiawan ternyata hasil duplikat dan
terdakwa Suyitno bin Bejo yang didakwa dalam kasus yang sama
(Pamungkas, 2010:198).
Tak dapat dipungkiri di tingkat penyidikan, polisi sering
melakukan intimidasi terhadap seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana, sebut saja kasus yang menimpa
Risman Rostiah (ibu tin Alfa) yang diduga dibunuhnya, namun
kenyataannya Alfa yang diduga dibunuh telah muncul ke
permukaan pada hari rabu 24 Juni 2007 (Pamungkas, 2010: 14).
Kasus yang menimpa Rostiah Risman sebenarnya tak
perlu terjadi andaikata profesionalitas penyidik berjalan, tidak
menggunakan pendekatan kekerasan terhadap seseorang yang
disidiknya. Budaya kekerasan yang terlalu digunakan oleh
polisi ditingkat penyidikan membuktikan ketidakmampuannya
dalam mengungkapkan kasus yang ditanganinya, dan celakanya
pula jaksa yang melakukan penuntutan di pengadilan Iebih
cenderung untuk mencolokkan Berita Acara yang ada sebagai
dasar dakwaan dan tuntutannya tanpa mau mendalami kasus
yang ada. Sebut saja kasus yang cukup monumental yaitu
kasus Marsinah, kasus Sengkon dan Karta, kasus Sum Kuning,
kasus Ryan yang terkenal dengan kasus pembunuhan berantai
yang menyeret anak anak yang tak bersalah masuk penjara dan
sebagainya.
Sudah menjadi rahasia umum, hukum seringkali
diperjualbelikan. Inilah yang menyebabkan hukum bisa

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 5


direkayasa. Kasus seperti ini hampir terjadi di semua aparat
penegak hukum. Aspek moral baik pada persoalan ketidakpekaan
aparat penegak hukum terhadap rasa keadilan masyarakat.
Kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan betapa
keadilan masyarakat terkoyak (Pamungkas, 2010:15).
Tak dapat dipungkiri antara moralitas dan hukum memang
terdapat korelasi yang sangat erat. Artinya, moralitas yang tidak
didukung oleh kehidupan hukum yang kondusif akan menjadi
subyektivitas. Sebaliknya, kekuatan hukum yang disusun tanpa
disertai dasar dan alasan moral akan melahirkan suatu legalisme
yang represif, kontra produktif akan bertentangan dengan nilai-
nilai kebenaran dan keadilan yang menjadi tujuan hukum. Inilah
yang membuat peningkatan moralitas penegak hukum menjadi
mendesak untuk dilakukan.
Perkembangan yang terdapat dalam KUHAP bila
dibandingkan dengan Hierzening indonesische Reglement (HIR)
dapat dilihat dalam pasal-pasal yang mengatur setiap hak-hak
tersangka, terdakwa seperti asas persamaan di depan hukum
(penjelasan umum butir 3), hak untuk segera diperiksa dan
diadili dalam persidangan (pasal 50 ayat 1, 2 dan 3 KUHAP),
hak untuk mendapat bantuan hukum bagi setiap tersangka,
terdakwa (pasal 54), hak untuk diberitakan oleh aparat penegak
hukum mengenai sangkaan yang dituduhkan kepadanya (Pasal
51), hak untuk memberikan keterangan secara benar (pasal 52)
dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang
terdapat dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP.
Dengan demikian, tampaklah bahwa proses hukum yang
adil sebagaimana diuraikan di atas lebih berorientasi kepada
perlindungan hak-hak tersangka - terdakwa. Hal tersebut dapat
dilihat baik pada pasal - pasal yang mengatur tentang hak-hak
tersangka I terdakwa maupun asas-asas yang mengatur tentang
persidangan terhadap harkat dan martabat manusia yang
terdapat dalam KUHAP.
Dalam rangka mewujudkan proses hukum yang adil, maka
penegakan hukum seyogianya tidak dipandang secara sempit,

6 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


namun harus secara holistic. Dengan demikian, penegakan
hukum tidak hanya selalu berarti penegakan terhadap norma-
norma hukum yang berkait dengan pelanggaran yang dilakukan
oleh seorang tersangka atau terdakwa, melainkan juga penegakan
terhadap norma-norma yang bertalian dengan perlindungan
hak-hak tersangka dan terkdakwa selama proses pemeriksaan
berlangsung.
Masalah penegakan hukum dewasa ini semakin sering
disorot orang. Bahkan, tekanan pada institusi penegak hukum
semakin gencar dilakukan, baik oleh pencari keadilan, maupun
dari kalangan intelektual
Tekanan ini terjadi karena adanya fenomena dimana
para penegak hukum tidak lagi menjalankan inisi mulianya.
Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, para penegak hukum
(polisi, jaksa, dan Hakim), acapkali melakukan tindakan yang
sangat bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, seperti
perlakuan diskriminatif di antara para tersangka / terdakwa.
Tindakan mana sesungguhnya tidak selaras dengan semangat
KUHAP yang menghendaki adanya perlakuan yang sama bagi
setiap warga negara, termasuk kepada para tersangka tanpa
harus melihat status sosialnya. Demikian halnya fenomena
putusan pengadilan yang terkadang menimbulkan kontroversi
di tengah masyarakat, yang kemudian ternyata diwarnai oleh
tindakan praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme, mengakibatkan
munculnya krisis kepercayaan kepada para aparat penegak
hukum.
Lain lagi bila para penegak hukum sadar atau tidak
melibatkan diri ke dalam kancah permainan politik sehingga
berubahlah peran penegak hukum sebagai alat kekuasaan pihak
yang berkuasa. Penegakan hukum acapkali sarat dengan tindakan
kamuflase dengan melakukan penangkapan atau pemeriksaan
kepada setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana,
padahal ternyata hampir tidak ada yang dituntaskan. Akibatnya,
semakin mencoreng wajah, penegakan hukum di Indonesia,
sehingga muncul ungkapan bahwa “tidak semua yang ada di

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 7


balik terali adalah penjahat, dan tidak semua penjahat ada di
balik terali” seolah tak terbantahkan.
Mungkin itulah salah satu alasan sehingga Sahetapy
(1989:19) mengungkapkan sinisme bahwa hukum memang tetap
mencari kebenaran, tetapi di pengadilan orang lebih banyak
bicara soal prosedur yang justru mengandaskan perburuan itu
terjadi sekedar dagelan.
Dalam proses penegakan hukum, ada dua aspek yang
acapkali saling berbenturan yakni aspek kepentingan
umum dan aspek kepentingan individu , di lain pihak
menghendaki adanya kebebasan individu. Untuk itu, perlu
adanya harmonisasi antara dua kepentingan yang berbeda
ini sehingga dapat tercipta ketertiban dan keadilan dalam
masyarakat. Meskipun tak dapat dibantah bahwa kebebasan
merupakan hal yang sangat asasi bagi setiap warga Negara,
namun di sisi lain diakui pula bahwa ketertiban merupakan
suatu condition sine qua non dalam hidup bermasyarakat. Hal
ini selaras dengan apa yang ditulis oleh Peter Mahmud (1999
:18-19) bahwa hukum itu diadakan untuk mengatur transaksi
kehidupan bermasyarakat agar kehidupan bermasyarakat
tidak runtuh. Untuk itu, perlu pengaturan yang seimbang
antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Idealnya dalam setiap penegakan hukum seyogianya senantiasa
mempertimbankan tiga tujuan hukum sebagaimana yang
ditulis oleh Radbruch yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan,
dan keadilan. Kepastian hukum sangat diperlukan, karena
tidak hanya memberikan jaminan kepada masyarakat tentang
perbuatan mana yang boleh/tidak boleh dilakukan, akan tetapi
juga sekaligus merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum
dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, masyarakat
dapat terhindar dari tindakan atau perbuatan yang sewenang-
wenang dari pihak penguasa (Friedman, 1990:43).
Namun secara faktual, dalam setiap penegakan hukum,
sangat sulit memenuhi ketiga unsur tersebut secara simultan.
Acapkali dijumpai di mana kepastian hukum mendesak keadilan,

8 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


maupun kemanfaatan, dan demikian sebaliknya. Salah satu
contoh dapat dikemukakan adalah kasus penembakan misterius
yang dilakukan pada awal tahun 1980-an. Pada saat itu terjadi
pro dan kontra atas penembakan beberapa residivis. Bagi yang
pro, mereka mengemukakan alasan bahwa sejak penembakan
misterius dilancarkan, tingkat kejahatan (terutama kejahatan
kekerasan) menurun drastis sehingga menimbulkan rasa aman
di tengah masyarakat. Di lain pihak, kelompok yang kontra
memberikan argumentasi hukum. Alasannya, karena tindakan
tersebut sungguh-sungguh merupakan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hukum.
Antara proses hukum yang adil dan Sistem Peradilan
Pidana (SPP) tidak mungkin dapat dipisahkan, karena tidak
mungkin orang dapat membicarakan proses hukum yang adil
tanpa menyinggung masalah sistem peradilan pidana, demikian
sebaliknya sistem peradilan pidana merupakan wadah dan
proses hukum yang adil, sedangkan proses hukum yang adil pada
hakikatnya merupakan roh dan SPP itu sendiri yang ditandai
dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka I
terdakwa.
Patut dikemukakan bahwa melalui hukum, manusia
hendak mencapai kepastian hukum dan keadilan. Meskipun
demikian, harus disadari bahwa kepastian hukum dan kemudian
keadilan yang hendak dicapai melalui penyelenggaraan hukum
itu hanya bisa dicapai dan dipertahankan secara dinainis sebagai
penyelenggaraan hukum dalam suatu proses hukum yang
adil. Dalam penyelenggaraan, hukum itu bisa (atau tidak bisa)
memperoleh kepercayaan dan masyarakat akan memberikan
kepastian hukum dan keadilan kepada kehidupan bersama.
Konsekuensinya adalah, hukum itu sendiri harus memiliki
suatu konsistensi dan kredibilitas itu hanya bisa dimiliki, bila
penyelenggara hukum mampu memperlihatkan suatu alur
kinerja yang konsisten. Penyelenggaraan hukum yang tidak
konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkan
sebagai perangkat norma yang mengatur kehidupan bersama.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 9


Karena itu konsistensi dalam penyelenggaraan hukum menjadi
sangat potensial untuk menghasilkan kepastian hukum. (Latif,
2010 : 52) .
Untuk menggapai proses peradilan yang adil (due process
of law) dibutuhkan adanya penegakan hukum yang bersifat
progresif. Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di
dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusianya. Hukum
tidak dapat ditegakkan dengan sendirinya, artinya hukum tidak
mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak
yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janji-
janji tersebut Misalnya bagaimana memperbaiki perlindungan
hukum yang adil kepada para pencari keadilan, mulai dari
tingkat penyelidikan sampai dengan putusan akhir pengadilan.
Di sinilah pentingnya pendekatan hukum progresif di
kedepankan di dalam menganalisis dan memudahkan persoalan
hukum yang ada ketika paradigma hukum progresif lebih
menekankan pada faktor perilaku di atas Undang-Undang.
Faktor manusia inilah yang mempunyai perasaan haru (empathy),
ketulusan (sincerety), tanggungjawab (coininitment), keberanian
(dare) dan kebulatan tekad (deterinination).
Sehubungan dengan hal tersebut, Taverne (Satjipto
Rahardjo, 2004:6) menyatakan berikan pada saya jaksa dan Hakim
yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya
bisa membuat putusan yang baik. Hukum progresif berangkat
dari sebuah maksim bahwa hukum adalah suatu institusi yang
bertujuan untuk menyatakan manusia kepada kehidupan yang
adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia (Satjipto Rahardjo,
2004:1-3).
Hukum progresif mempunyal watak yang kuat sebagai
kekuatan pembebasan dengan menolak status - quo. Paradigma
“hukum untuk manusia” membuatnya merasa bebas untuk
mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang
tepat untuk mewujudkannya.
Gagasan mengenai aksi hukum progresif dicontohkan oleh
Satjipto Rahardjo (Machmud Kusuma, 2010: 61 - 62) sebagai

10 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


berikut: pertama adalah tindakan Hakim Agung Adi Andojo
Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir
korupsi di Iingkungan Mahkamah Agung (MA). Kedua adalah
ketika Hakim Agung Adi Andjo Soetjipto membuat putusan
yang sangat berarti dengan memutus perkara Mochtar Pak Pahan
tidak melakukan perbuatan makar pada era rezim Soeharto yang
sangat otoriter. Ketiga adalah putusan Pengadilan Tinggi yang
dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo
melawan Menteri Penerangan yang berpihak kepada tempo.
Beberapa pengalaman penegak hukum di atas perlu
dilakukan implementasi baik yang berupa (1) agenda akademik,
dan juga (2) yang berupa agenda aksi pada dasarnya agenda
akademik hukum progresif. Kesemuanya ini memandang ke
depan bahwa hukum sebagai proses yang mempunyai tipe
responsive, dapat dikatakan sebagai gerakan intelektual seperti
halnya Critical Legal Studies (CLS) dan interpretasi hukum yang
kreatif. (Satjipto Rahardjo, 2004: 15-16).
Keberanian untuk melakukan interpretasi hukum yang
progresif (sejauh dikembalikan pada prinsip “social reasonable”
agar penafsirannya tidak menjadi liar), bertumpu pada sumber
daya manusia yang baik dan bermutu yang berpihak pada rakyat,
merubah kultur hukum menjadi lebih kolektif, serta reward and
punishment dalam implementasi kebijakan hukum. Apakah
dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka /
terdakwa dalam proses peradilan pidana sudah dapat dikatakan
bahwa unsur-unsur prinsip proses hukum yang adil telah dicapai,
dan bagaimana posisi korban itu sendiri yang tidak terakomodir.
Hal ini perlu mendapat perhatian sebab dalam kenyataannya
sistem peradilan pidana yang berlaku dewasa ini lebih banyak
dtujukan kepada perlindungan hak-hak tersangka I terdakwa
(Offender Oriented). Akibatnya perlindungan terhadap korban
sendiri terabaikan.
Dalam sistem peradilan pidana, posisi korban ditempatkan
dalam posisi yang problematis. Di satu pihak, korban kejahatan
harus melapor kepada polisi agar perkara pidananya bisa masuk

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 11


atau diproses, tetapi apabila korban kejahatan memutuskan
untuk melapor kepada polisi, ini berarti korban kejahatan
berubah kedudukannya sebagai pihak pelapor yang selanjutnya
menjadi bagian dari alat bukti atau saksi.
Pikiran untuk melapor kepada polisi dan selanjutnya di proses
melalui sidang pengadilan merupakan pikiran yang selalu
menguntungkan, sehingga permasalahan yang diajukan juga
ikut terselesaikan. Sistem peradilan tidak diselenggarakan
memang bukan untuk melayani kepentingan korban kejahatan,
sebagaimana dikatakan oleh Barnett (1987: 296) bahwa:
The criminal justice sistem is not for his benefit but for the
community’s its purpose are to deter crime, rehabilitate
criminals, punish criminals, and do justice, but not to restore
victims to their wholeness or to vindicate them
Sistem pengadilan pidana bukanlah untuk keuntungannya,
namun untuk masyarakat dengan tujuan mencegah
kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, menghukum
pelaku kejahatan, dan melakukan keadilan, namun bukan
untuk memulihkan korban pada keutuhannya atau untuk
membenarkannya).

Sebagai pihak yang dirugikan oleh pelaku kejahatan,


korban kejahatan selalu mempersoalkan aktivitas, efisiensi dan
efektivitas kerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan
perkaranya. Hal ini disebabkan karena korban kejahatan tidak
secara langsung terlibat dalam sistem sistem paradilan pidana.
OIeh karenanya, korban kejahatan tidak memiliki kesempatan
untuk melakukan negoisiasi dengan pihak pelaku atau dengan
penegak hukum dalam proses penyelesaian perkaranya.
Bilamana ditelusuri perumusan materi pasal-pasal yang
dituangkan dalam KUHAP dapat diketahui bahwa ketentuan
yang mengatur tentang HAM yang menjadi korban kejahatan
kurang mendapat perhatian dan pembentuk Undang-Undang,
karena ketentuan-ketentuan mengenai HAM yang dituangkan
dalam KUHAP pada umumnya hanya mengatur tentang hak-
hak tersangka-terdakwa serta hak-hak penasehat hukum (Bab VI
Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 jo Bab VII Pasal 69 - pasal 74
KUHAP).

12 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Sedangkan hak asasi korban kejahatan dalam KUHAP
dapat dikatakan tidak ada, atau tidak diatur secara jelas (teratur),
kecuali hak mengajukan laporan ayat (1) KUHAP) dan hak
untuk menggugat ganti kerugian melalui praperadilan (Pasal
80 KUHAP), atau pemeriksaan gugatannya dapat digabungkan
dengan pemeriksaan perkara pidana (Pasal 98 jo Pasal 99
KUHAP).
Dengan demikian, bila dalam suatu peristiwa tindak
pidana ada korban kejahatan yang mengajukan laporan/
pengaduan kepada penyelidik/penyidik dan tidak memperoleh
pelayanan sebagaimana mestinya, maka KUHAP tidak dapat
memberikan jawaban atau petunjuk mengenai apa yang harus
dilakukan oleh korban kejahatan atau bagaimana procedure
penyelesaian yang harus ditempuh. OIeh karena KUHAP tidak
mengatur perlindungan hukum terhadap hak asasi korban
kejahatan, maka dewasa ini sering didengar atau dibaca dari
berbagai pemberitaan mass media baik cetak maupun elektronik
tentang adanya korban kejahatan, apakah itu penganiayaan,
penggusuran, pemerasan, tindakan sewenang-wenang dan
lain-lain yang terpaksa melaporkan berbagai keluhannya pada
Komnas HAM, DPR, LBH, LSM, ORNOP, Kontras dan lain-lain.
Mantan Direktur Internasional Yayasan Pencegahan
Kejahatan Asia (Asia Crime Prevention Foundational I ACPF) Adi
Andojo Soetjipto (Kuffal, 2004:175) mengemukakan bahwa saat
ini diperlukan lembaga yang mengurus dan menyantun korban
kejahatan. Keberadaan lembaga itu diperlukan mengingat tingkat
kejahatan semakin marak terjadi belakangan ini.
Sejalan dengan pandangan Andi Andojo Soetjipto tersebut di
atas, Asmara Nababan (Kuffal, 2004:175) mengemukakan bahwa
saat ini diperlukan lembaga yang mengurusi dan menyantun
korban kejahatan. Keberadaan lembaga itu diperlukan mengingat
tingkat kejahatan semakin marak terjadi belakangan ini.
Selanjutnya, Asmara Nababan (Kuffal, 2004:176) menyatakan
bahwa nasib korban kejahatan maupun keluarganya sampai saat
ini kurang diperhatikan. ini terlihat masih sedikitnya Lembaga

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 13


Swadaya Masyarakat (LSM) dan warga lain yang terlibat
membantu korban kejahatan, terutama mengembalikan masa
depan mereka. Negara yang seharusnya bertanggungjawab
terhadap nasib korban kejahatan.
Secara filosofis bekerja dan bergeraknya aparat penegak
hukum karena adanya laporan dan keterangan korban kejahatan.
Tetapi mengapa dalam tataran praktisnya aparat penegak hukum
selalu menutup diri dan tidak transparan kepada korban, pelapor
dan saksi yang telah banyak mengorbankan materi, waktu, dan
tenaga dalam upaya untuk memberikan keterangan yang bersifat
normatif.
Adanya pengorbanan dari pihak korban, pelapor dan saksi
tersebut tidak diimbangi dengan akses untuk mendapatkan
turunan laporan polisi, berita acara pemeriksaan saksi, informasi
kemajuan penyidikan I penuntutan dan aparat penegak hukum.
Dengan alasan bahwa, korban, pelapor dan saksi tidak memiliki
hak untuk mendapatkan akses tersebut dalam ketentuan KUHAP.
Dalam konteks tersebut di atas, seharusnya aparat penegak
hukum mampu membuka cakrawala penegakan hukum yang
lebih progresif untuk memberikan akses tersebut kepada pihak
korban, pelapor, dan saksi berdasarkan normatifnya sebagaimana
diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi
dan Korban. Dan disinilah aparat penegak hukum harus Iebih
berani untuk memberikan perlindungan hukum yang optimal
guna mendapatkan jaminan kepastian hukum dan keadilan.
Pentingnya penelitian mengenai posisi korban kejahatan
dalam proses penyelesaian perkara melalui sistem peradilan
pidana adalah mengingat dalam berbagai ketentuan KUHP telah
ada indikasi perhatian terhadap kepentingan korban.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
mengisyaratkan pentingnya perhatian terhadap korban,
karena salah satu tujuan pidana adalah menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat, serta membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

14 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Di samping itu, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan
tindak pidana dan pengaruh perbuatan terhadap korban atau
keluarganya, merupakan bagian dan pedoman peinidanaan
yang harus dipertimbangkan oleh Hakim.
Upaya menegakkan proses hukum yang adil dan SPP
masalah penegakan hukum dan bantuan hukum mempunyai
peranan yang sangat penting. Untuk itu, dalam penegakan hukum
dituntut adanya penegakan hukum yang mempunyai integritas
moral yang tinggi. Demikian halnya dengan keberadaan bantuan
hukum dalam SPP diharapkan turut serta membantu jalannya
proses peradilan yang jujur dan tidak memihak, agar apa yang
menjadi tujuan hukum acara pidana itu guna menemukan
kebenaran materil dapat terwujud dengan baik.
Keberadaan institusi bantuan hukum dalam SPP dianggap
penting sebagai salah satu pilar dalam hal menegakkan hak-hak
tersangka I terdakwa dan korban dalam sistem peradilan pidana.
Hal ini dipandang perlu untuk Iebih dimasyarakatkan Iebih
jauh mengingat tidak semua subyek hukum yang berhubungan
dengan perkara pidana dapat memahaini hak-haknya,
termasuk tindakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana
mempertahankan dan mendapatkan hak-hak tersebut.
SPP yang merupakan suatu kesatuan dan dinamakan sistem
terpadu (integrated criminal justice sistem) dalam pelaksanaannya
tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan. Seberapa jauh
idealisme pada negara berkembang seperti Indonesia, harapan itu
lebih sedikit terlaksana daripada negara-negara maju, dengan
melihat pengalaman pengalaman yang ada, untuk itu perlu dicari
faktor penghambat sehingga keterpaduan dalam sistem peradilan
pidana dapat tercapai dan dapat menemukan jalan keluarnya.
Tanpa keterpaduan dan masing-masing instansi terkait, maka
pelaksanaan proses peradilan yang adil khususnya perlindungan
terhadap hak-hak tersangka I terdakwa dan korban dapat berjalan
sebagaimana diharapkan. Sebagaimana digambarkan dalam
contoh kasus tersebut di atas di mana berbagai pengalaman yang
buruk pada proses peradilan pidana, telah tercatat dalam sejarah.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 15


Praktek-praktek pelanggaran HAM bagi tersangka dan terdakwa
dengan dalih untuk mempercepat proses pemeriksaan perkara
sudah merupakan hal yang biasa terjadi.
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM pemaksaan baik fisik
maupun psikis sering dilakukan untuk mendapatkan keterangan
berupa pengakuan dari tersangka dan terdakwa atau bahkan
saksi, agar semua keterangan mereka itu sesuai dengan keinginan
petugas pemeriksa. Demikian pula yang menyangkut hak-hak
kebebasan bergerak dan hak kepeinilikan sering dilanggar para
petugas tanpa berdasar ketentuan hukum yang berlalu, terutama
yang menyangkut pelaksanaan upaya paksa seperti penangkapan,
penahanan, penyitaan dan penggeledahan, sehingga seolah-
olah bagi mereka yang disangka atau didakwa melakukan tidak
pidana sudah tidak mempunyai hak-hak tersebut.
Dari berbagai pandangan yang mengungkapkan masalah
pelanggaran HAM dalam proses peradilan pidana setidak-
tidaknya ada dua masalah yang sering mendapat perhatian yaitu
pertama dari segi aparat penegak hukum dan yang kedua dari
sisi peraturan hukum acara yang berlaku. Istilah aparat penegak
hukum dapat dipersamakan dengan istilah Law Enforcement
Officer yang terdiri atas polisi dan jaksa. Namun di Indonesia
cakupannya diperluas sehingga meliputi juga para Hakim dan
para pengacara / advokat dan Lembaga Pemasyarakatan.
Dengan demikian jelaslah bahwa latar belakang munculnya
KUHAP adalah dilandasi oleh spirit untuk memberikan jaminan
perlindungan HAM yang Iebih baik dibandingkan dengan suatu
acara pidana yang ada sebelumnya. Hal ini tentunya harus Iebih
terjabarkan secara progresif utamanya di tangan-tangan para
aparat penegak hukum yang terkait dalam suatu mata rantai SPP
yang ada di Indonesia.

16 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


BAB II
TEORI HUKUM PROGRESIF

A. TEORI KEADILAN

1. Pengertian Keadilan
Dalam encyclopedia Americana (The Liang Gie, 1979:17 —
18) disebutkan pengertian keadilan itu yang mencakup (a)
kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada
setiap orang haknya (the contestant and perpetual disposition to
render everyrnan his due), (b) tujuan dari masyarakat, manusia (the
end of civil society, (c) hak untuk memperoleh suatu pemeriksaan
dan keputusan oleh badan pengadilan yang bebas dan prasangka
dan pengaruh yang tak selayaknya (the right to obtain a hearing and
delision by courth which is free of prejudice and improper), (d) semua
hak wajar yang diakui maupun hak-hak menurut hukum dalam
arti teknis (all recognized equitable right as well technical rights), (e)
suatu kebenaran menurut persetujuan dan umat manusia pada
umumnya (the dictate of right according to the consent of making
generally), (f) persesuaian dengan asas-asas keutuhan watak,
kejujuran, dan perlakuan adil (conformity with the principles of
integrity, restitude, and just dealing).
Maidin Gultom (2008:22) memberikan pengertian keadilan
sebagai penghargaan terhadap setiap orang yang menurut harkat
dan martabatnya sebagai pribadi dan dalam hubungannya
dengan segala sesuatu yang ada di luar pribadinya.
Secara analisis MuIyana W. Kusuma (1981 :53) membagi
keadilan dalam komponen prosedural dan Substantif atau
keadilan formil dan materil. Komponen prosedural berhubungan
dengan gaya suatu sistem hukum Seperti rule of law dan negara

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 17


hukum (rechtstaat), sedangkan komponen substantif atau
keadilan materil menyangkut hak-hak sosial, yang menandal
penataan politik, ekonomi di dalam masyarakat.
Hans Kelsen (Budiono Kusumohamidjojo 1999:129)
menyatakan bahwa norma keadilan itu sering ditetapkan atau
didapatkan sebagai hukum positif yang semata-mata bersumber
dari akal budi manusia. Dalam keadaan itu bisa juga terjadi risiko
bahwa norma keadilan bertentangan dengan hukum positif.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Theo Hujbers (1982:43)
bahwa yang pertama kali meletakkan gagasan keadilan dalam
konteks tertentu adalah Thomas Aquinas yang terkenal dengan
sebutan keadilan distributif (iustia distributive) sebagian keadilan
yang berkenaan dengan pembagian jabatan. Pendapat lain juga
dikemukakan Arif Sidharta (Maidin Gultom, 2008:26) bahwa
keadilan menurut setiap orang tanpa kecuali berkewajiban untuk
bertindak sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh
hukum, pengertian hukum di sini tidak selalu berarti hal yang
positif.

b. Prinsip Keadilan
Pengertian keadilan Aristoteles, sebenarnya tidak lepas dari
beberapa konsep klasik yang tertuang dalam Kitab Hukum
Justinianus, antara lain bahwa keadilan adalah kehendak yang
ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing
bagiannya (iustitia est constant et perpetua voluntas ius suun cuique
tribuendi), dan dari Cicero (iustitia est habitus animi, communi ultilita
te conservata, suun cuique tribunes dignitatem). Dari konsep ini
melahirkan pemahaman yang mengkristal di kalangan penganut
aliran hukum alam bahwa dalam semesta ini diciptakan dengan
prinsip keadilan. Prinsip-prinsip keadilan dimaksud antara
lain, “berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya
(unicuique suum tribuere)”, dan “jangan merugikan orang (neminem
Iaedere)”. Pengertian keadilan aristoteles tersebut, meskipun
terlihat masih sangat sederhana akan tetapi secara substansial
aristoteles merupakan filosof pertama yang mengangkat tema

18 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


keadilan sebagai wacana yang terus dikaji oleh para filosof
hingga akhir millenium kedua ini. (Nuh, 2002:20)
Dalam hubungannya dengan proses hukum yang adil teori
keadilan Aristoteles telah memberi semacam landasan filosofis
secara tidak langsung,meskipun dalam bentuknya yang paling
awal. Refleksi peradilan yang adil sebagai perwujudan peradilan
yang progresif adalah dimaksudkan untuk mencapal nilai
keadilan yang tidak berdasarkan keadilan prosedural menurut
hukum acara, melainkan bagaimana menciptakan keadilan
yang substantif sebagai manifestasi dan keadilan komutatif,
mengindikasikan bahwa Aristoteles telah menaruh peduli
terhadap keadilan daIam hal penyelesaian konflik antar sesama
manusia.
Teori tentang keadilan yang mendapat sambutan hangat di
kalangan masyarakat luas adalah teori keadilan dari John Rawls.
Teori keadilan Rawls pada dasarnya adalah teori keadilan yang
mengutamakan kebebasan individual yang bertanggung jawab.
Buah pemikiran Johns Rawls tentang kedilan merupakan sinerji
dari pemikir-pemikir teori keadilan sebelumnya, termasuk teori
keadilan klasik Aristoteles dan Thorns Aquinas, serta tokoh-
tokoh utilitarianisme, seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill,
dan Hume. Namun demikian John Rawls dikenal bukan sebagal
tokoh utilitarianisme, Ia Iebih dikenal sebagal penganut realisme
hukum. (Nuh, 2002: 38 - 39).

1) Posisi Asal(original Position)


John Rawls mengintrodusir tiga syarat yang harus dipenuhi
agar dapat sampai pada original posting, yaitu pertama, diandaikan
bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih
seseorang pribadi tertentu di kemudian hari. Ia tidak mengetahui
bakatnya, kekayaannya kesehatanya, rencana hidupnya,keadaan
psikisnya. Juga Ia tidak mengetahui situasi sosial, politik,
ekonomi, hukum, dan buaya masyarakat dimana Ia hidup.
Dengan ketidaktahuannya Itu maka orang dapat lebih obyektif
dalam merumuskan Prinsip-prinsip keadilan Kedua secara

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 19


konsisten, yakni kesediaan atau sikap untuk tetap berpegang
teguh pada sasaran-sasaran individual yang dituju harus
diterima bagi pihak tertentu. Namun ini harus dilaksanakan agar
tercipta kesungguhan yang sistematis untuk memperhatikan
kepentingan bersama secara dewsa. Dengan cara ini, perbedaan
antara yang kaya dan yang miskin tidak terlalu tajam, sekurang-
kurangnya tidak tampak selama perbedaan antara dia dan orang
lain tidak melampaui batas-batas tertentu. Ketiga, diandaikan
bahwa dalam mengupayakan kepentingan bersama, setiap orang
mendahulukan kepentingan pribadinya. Hal ini dinilai wajar,
mengingat setiap orang hendak berkembang sebagai pribadi
yang mandiri, yang dapat mengatasi persoalan hidupnya serta
persoalan hidup orang-orang terdekatnya dan seterusnya. Dalam
menentukan prinsip-rinsip keadilan, kecnderungan manusia ini
harus diperhatikan juga (Nuh, 2002 : 44).
Stuart Hampshire (1993 : 41) mengemukakan teori keadilan
dalam perspektif penegakann hukum (law enforcement). Menurut
Hampshire, dunia penegakann hukum seringkali mengabaikan
aspek substansi dari persoalan hukum yang dihadapi. Para
penegak hukum Iebih cenderung menghabiska energinya untuk
berdebat soal prosedur dan pada mengkaji soal-soal substansial.
Mempersoalkan aspek prosedural memang tidak salah, tapi
selain aspek prosedural, yang harus diperhatikan pula adalah
aspek substansial. OIeh karena itu, dalam menegakkan hukum
seharusnya kedua aspek itu (prosedur dan substansi) mendapat
porsi perhatian yang sama.
Dalam hubungan itu, Hampshire mengajukan teori
keadilanya dengan mengacu pada sifat aturan hukum, sehingga
melahirkan dua jenis keadilan yaitu kedilan prosedural (procedural
Justice) dan keadiIan substantif (substantive justice).

B. TEORI PENEGAKANN HUKUM


Penegakann hukum adalah suatu proses dilakukannya suatu
upaya untuk menegakkan atau memfungsikan norma-norma
hukum secara nyata sebagal pedoman perilaku dalam lalu lintas

20 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


atau hubungan-hubungan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Untuk itu, Subroto (2001 : 34 - 35) menyatakan bahwa
penegakann hukum dapat dilihat dari dua sisi yaitu :
a. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakann hukum itu dapat
dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakann hukum itu melibatkan semua
subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja
yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan
atau menegakkan aturan. Dalam arti sempit, dari segi
subyeknya itu, penegakann hukum itu hanya diartikan
sebagai upaya aparatur penegakann hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan
untuk menggunakan daya paksa.
b. Ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam
hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakann hukum itu mencakup
pada nllai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakann hukum
itu hanya menyangkut penegakann peraturan yang formal
dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law
enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan
perkataan “Penegakann Hukum” dalam arti luas dapat pula
digunakan istilah “Penegakann Peraturan” dalam arti sempit.
Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis
dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungannya ini
bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan
berkembangnnya istilah the rule of law’ atau dalam istilah
“the rule of law and not of a man” versus istilah “the rule by law’
yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “the rule
of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi
bukan dalam artian yang formal, melainkan mencakup pula

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 21


nilal-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu,
digunakan istilah “the rule of just law’
Purwatiningish (2000: 21) menyatakan bahwa: istilah “the
rule of law; dimaksudkan untuk menegaskan pada hakikatnya
pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan
oleh hukum, bukan oleh orang. lstilah sebaliknya adalah
“the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan
oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang
dimaksud dengan penegakann hukum itu kurang lebih
merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum,
baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti
materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap
perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang
bersangkutan maupun oleh aparatur penegak hukum yang
resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang
untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang
berlaku dikehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sementara itu, Baharuddin Lopa (1987 : 4) menulis
bahwa ada tiga komponen atau unsur yang memungkinkan
tegaknya hukum dan keadilan di tengah masyarakat; pertama,
dilakukan adanya peraturan hukum yang sesuai dengan
aspirasi masyarakat; kedua, adanya aparat penegak hukum
yang profesional dan bermental tangguh atau memiliki
integritas moral yang terpuji; ketiga, adanya kesadaran hukum
masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegak
hukum. Oleh karena itu, demikian Baharuddin Lopa, baik
pembuat undang-undang maupun pelaksana undang-undang
harus menyelami dan merasakan hati nurani masyarakat yang
selalu mendambakan keadilan, keadilan obyektif, keadilan
yang dikehendaki umumnya oleh berpikiran sehat.
Kepada pengertian penegakann hukum, Soerjono
Soekanto (1985:5 - 6) menulis bahwa penegakann hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin faktor-

22 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
mempunyal arti yang dampak positif atau negatifnya terletak
pada isi faktor tersebut, adalah sebagal berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakann
hukum;
4. Faktor masyarakat yakni Iingkungan di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan; dan
5. Faktor kebudayaan yakni sebagal hasil karya, cipta,
dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.

Istilah penegakann hukum dan keadilan sesungguhnya


selaras dengan amanat Pasal 27 dan Undang-undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1974 jo. Undang-Undang
Republik Indonesia No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang no. 14 Tahun 1970 tentang Undang-
Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Jo. Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman yang menegaskan :
Hakim sebagal penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, sekaligus menumbuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Sementara itu, Setsuo Miyazawa (1983:223) menyatakan
bahwa kesadaran hukum mempunyai tiga elemen yaitu :
persepsi (perception), pertimbangan nilai (value judgement),
emosi (emotion) yang mengacu kepada tiga elemen sikap yang
diberikan oleh Rosenberg dan Hovland. Analisis kesadaran
hukum yang diharapkan untuk mengadakan penjelasan
tingkah laku hukum individu pada tingkat terdekat yaitu
tingkat motivational.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 23


C. KONSEPSI HUKUM PROGRESIF DAN
PENEGAKANNNYA
Mewujudkan masyarakat madani tentunya tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan, juga bukan proses yang
instant. Proses menuju masyarakat madani adalah berliku dan
memakan waktu yang panjang. ini karena dianggap sebagaj
tantangan untuk mewujudkannya. Begitu pula hukum dalam
menjalankan fungsinya bukan tanpa tantangan dinamika
berkarya hukum di tengah masyarakat akan selalu mengalami
hambatan maupun tantangan sebagaimana dikatakan Mahmud
Kusuma (2009:1) bahwa hal demikian terjadi karena hukum
bukanlah makhluk biologis sebagaimana manusia, hukum
hanyalah idealitas jika tidak dipraktekkan.
Kehadiran konsep hukum progresif bukanlah sesuatu yang
lahir tanpa sebab hukum progresif adalah bagian dari proses
pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak dapat,
tidak pernah berhenti. Hal senada sejalan dengan pandangan
Satjipto Rahardjo (2005:3) yang menyatakan bahwa hukum
progresif dapat dipandang sebagai konsep yang mencari jati diri,
bertolak dengan realitas empirik tentang bekerjanya hukum di
tengah masyarakat berupa ketidakpuasan terhadap kineja dalam
kualitas penegak hukum.
Di tengah ketidakberdayaan paradigma hukum positivistik
legalistic dalam mengatasi masalah penegak hukum di Indonesia,
maka dalam posisi demikian dibutuhkan penegakann hukum
progresif. Pengamatan selama ini menunjukkan meskipun
bangsa ini telah memeriakkan supremasi hukum dengan keras,
hasilnya tetap amat mengecewakan.
Dibandingkan dengan konsep hukum yang lain, hukum
progresif memiliki keunggulan, namun demikian pada saat
yang bersamaan hukum progresif bukanlah konsep yang berdiri
sendiri. Hal ini dapat dilihat dan eksplanasi terhadap persoalan
hukum yang tidak bisa melepaskan diri dari kebersinggungan
atau hubungannya dengan konsep hukum yang lain, seperti: (1)
responsive law atau hukum responsif; (2) legal realism atau realism

24 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


hukum; (3) sociological jurisprudence; (4) natural law atau hukum
alam; (5) serta critical legal studies atau studi hukum kritis.
Sehubungan dengan kebersinggungan hukum progresif
dengan konsep hukum yang lain sebagaimana tersebut di
atas, maka dalam melakukan eksplorasi teoritik terhadap
hukum progresif juga bersinggungan dengan konsep hukum
responsif (responsif law), realism hukum (legal realism), sociological
(jurisprudence), hukum alam (nature of law) dan studi hukum kritis
(critical legal studies).

1. Konsepsi Hukum Progresif


Gagasan hukum pada prinsipnya bertolak dari dua
komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku
(rules and behavior). Hukum progresif berangkat dan asumsi
dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.
Berangkat dan asumsi dasar ini, maka kehadiran hukum bukan
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas
dan besar itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan di dalam
hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki,
bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam
skema hukum.
Hukum progresif juga berangkat dari asumsi dasar bahwa
hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena
hukum selalu berbeda dalam proses untuk terus menjadsi (law
as process, law in the making). Untuk melukiskan bahwa hukum
senantiasa berproses, Satjipto Rahardjo (2005 : 6) menulisnya
dengan sangat menarik sebagai berikut:
“Hukum adalah institusi yang secara terus menerus
membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat
kesempurnaan yang Iebih baik. Kualitas kesempurnaan
di sini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain.
lnilah hakekat ‘hukum yang selalu dalam proses menjadi’
(law as a process, law in the making). Hukum tidak ada untuk
hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia.

Verifikasi yang pertama, berupa pertanyaan apakah

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 25


hukum sudah mewujudkan keadilan, sudah barang tentu
mempunyai dimensi yang sangat luas, karena dalam bekerjanya
hukum, terpenuhinya prosedur hukum belum tentu menjamin
terwujudnya keadilan.Terpenuhinya prosedur hukum baru
menciptakan apa yang disebut dengan prosedural justice,
sementara bisa saja justru substancial justice-nya terpinggirkan
Verifikasi yang kedua, berupa pertanyaan apakah hukum
sudah mencerminkan kesejahteraan, juga menyangkut ranah
kajian yang sangat luas. Memang kesejahteraan manusia tidak
hanya ditentukan oleh bekerjanya hukum, tetapi diharapkan
bekerjanya hukum dapat menyumbangkan kesejahteraan
manusia.
Demikian juga dengan verifikasi ketiga, dengan pertanyaan
apakah hukum sudah berpihak kepada rakyat. Pertanyaan ini
menjadi penting dan bernilai strategis, terkait dengan realitas
bekerjanya hukum yang seringkali Iebih berpihak kepada
pemegang kekuasaan (ekonomi maupun politik) dari pada
berpihak kepada rakyat, sehingga sering muncul adagium bahwa
“The haves come out a head.”
Dengan melakukan verifikasi dalam setiap proses bekerjanya
hukum, sudah dengan sendirinya, bekerjanya hukum bukan
merupakan sesuatu yang final, dan absolute, tetapi selalu dalam
proses untuk mencari, dan selau terbuka untuk diverifikasi.
Itulah sebabnya hukum disebut sebagai law as process, law in the
making.
Hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa
konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks
penegakann hukum selain untuk mengatasi ketertinggalan
hukum, mengatasi timpangan hukum juga dimaksudkan untuk
membuat terobosan-terobosan hukum inilah yang diharapkan
dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya
hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo (2005 : 7) diistilahkan
dengan hukum yang membuat bahagia.
Kreativitas penegak hukum dan memaknai hukum
tidak akan berhenti pada “mengeja undang-undang” tetapi

26 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


menggunakannya secara sadar untuk mencapai tujuan
kemanusiaan. Menggunakan hukum secara sadar sebagian
sarana pencapaian tujuan kemanusiaan berarti harus peka dan
responsive terhadap tuntutan social.
Menurut Satjipto Rahardjo (2005 6-8) wajah hukum progresif
dapat diidentifikasi sebagal berikut:
1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat
kajian hukum yang semula menggunaakn optik hukum
menuju ke perilaku.
2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya
dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat,
meminjam istilahnya Nonet & Selznick bertipe responsif.
3. Hukum progresif berbagai paham dengan legal realism karena
hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendini,
melainkan dilihat dari dinila dan tujuan sosial yang ingin
dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological
jurisprudence dari Rescoe Pund yang mengkaji hukum tidak
hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan
melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.
5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum
alam, karena peduli terhadap hal-hal yang “meta-juridical”.
6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical legal
studies namun cakupanya Iebih luas.

Dilihat dari latar belakang kelahirannya, sebagal bentuk


ketidak puasan dan keprihatinan atas kualita penegakann
hukum di indonesia, maka spirit hukum progresif adalah Spirit
pembebasan. Pembebasan yang dimaksudkan di sini adalah:
1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori yang
selama ini dipakai,
2. Pembebasan terhadap kultur penegakann hukum
(administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa
menghambat usaha hukum untuk menyeesaikan persoalan.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 27


Spirit pembebasan yang dibawa oleh hukum progresif
dirasa penting, karena berangkat dan realitas bahwa tipe,
cara berpikir asas dan teori hukum yang dikembangkan di
Indonesia mencerminkan dominasi positivisme. Bahkan dalam
penyelenggaraan adiministration of justice pun, juga didominasi
oleh positivisme. Berangkat dari realitas ini, karena dipandang
bahwa dengan model ini hukum dinilal belum berhasil
menyelesaikan persoalan dalam pencapaian kesejahteraan
manusia, maka kehadiran hukum progresif dimaksudkan untuk
membebaskannya.
Selain asumsi dasar, spirit dan karakter hukum progresif
sebagaimana tersebut di atas, hukum progresif juga memiliki
karakter yang progresif dalam hal:
1. bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses
untuk menjadi (law in the making)
2. peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik
lokal, nasional maupun global.
3. menolak status-quo manakala menimbulkan dekadensi,
susunan korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat,
sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan
yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.

Dikaitkan dengan spirit hukum progresif yang dimaksudkan


untuk membebaskan tipe, cara berpikir asas dan teori serta
pembebasan atas penyelenggaraan administration of justice, maka
karakter hukum progresif yang berwatak “progresif” menduduki
posisi penting, karena pembebasan ini jelas tidak mungkin
terjadi, manakala masih memandang hukum sebagai sesuatu
yang absolute, tidak peka terhadap perubahan, dan berpihak
kepada status-quo.
Deskripsi tentang hukum progresif sebagaimana di-
uraikan di atas, Yudi Kristina (2009:38) mengelaborasinya
dalam bentuk tabel berikut ml:

28 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Tabel 1 Hukum Progresif
No Identifikasi Hukum progresif
1 Asumsi 1. Hukum untuk manusia bukan sebaliknya
2. Hukum bukan merupakan insititusi yang mutlak dan
final tetapi selalu dalam proses untuk menjadi (law
as a process, law in the making)
2 Tujuan Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
3 Spirit 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan
teori yang selama ml dipakai (mendominasi)
2. Pembebasan terhadap kultur penegakann
hukum (administration of justice) yang selama ini
berkuasa dan dirasa menghambat hukum dalam
menyelesaikan pesoalan
4 Progresif 1. Bertujuan untuk kesejahtraan dan kebahagiaan
manusia dan oleh karenanya memandang hukum
selalu dalam proses untuk menjadi (law in the
making)
2. Peka terhadap perubaan yang terjadi di masyarakat,
baik lokal, nasional maupun global.
3. Menolak status-quo manakala menimbulkan
dekadensi suasana korup dan sangat merugikan
kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan
perlawanan dan pemberontakan yang berujung
penafsiran progresif terhadap hukum
5 Karakter 1. Kajian hukum progresjf berusaha mengalihkan titik
berat kajian hukum yang semula mengguna optik
hukum menuju ke perilaku.
2. Hukum progresif secara sadar menempatkan
kehadirannya dalam hubungan erat dengan
manusia dan masyarakat,
3. Hukum progresif berbagai paham dengan legal realism
karena hukum tidak dipandang dari kacamata
hukum itu sendrin, melainkan dilihat dan dinilai
dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat
yang timbul dari bekerjanya hukum.
4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan
sociological junsprudence dan Roscoe Pound yang
mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi
tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek
dari hukum dan bekerjanya hukum.
5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori
hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang
“meta-juridical’.
6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical
legal studies namun cakupannya lebih luas.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 29


2. Penegakann Hukum Progresif
Penegakann hukum pada hakikatnya merupakan suatu
proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi
kenyataan. Namun demikian, penegakann hukum dinilai masih
sangat Iemah. Lemahnya penegakann hukum terlihat dari
masyarakat yang tidak menghormati hukum, demikian pula
kewibawaan aparat penegak hukurn yang semakin merosot
sehingga hukum sudah tidak dapat memberi rasa aman dan
tenteram.
Penampakan hukum di masyarakat (law in action), semakin
menambah jarak dengan hukum yang dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan (law in the books), apalagi
dengan tujuan hukum yang dikehendaki oleh masyarakat
sebagaimana dikemukakan oleh Esmi Warassih (2008:83) sebagai
berikut:
“Masalah yang sering tampak adalah pola-pola perilaku
yang dihasilkan oleh hukum tidak selalu cocok dengan pola-
pola perilaku yang dijalankan oleh pelaku-pelaku hukum
dalam proses penegakann hukum. Dengan kata lain, hukum
merupakan rumusan-rumusan hitam putih yang tertulis
dalam peraturan-peraturan hukum tidak selalu cocok
dengan kenyataan empiris atau terjadi perbedaan atara law
in books dan law in action”.

Bertolak dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, sudah


barang tentu persoalan penegakann hukum tidak hanya beruang
Iingkup pada persoalan peraturan perundang-undangan semata,
tetapi juga persoalan lembaga penegak hukum dan budaya
hukum (baik budaya birokrasi maupun budaya penegak hukum
itu sendiri). Dengan demikian aspek kelembagaan juga perlu
mendapat perhatian secara seksama, karena perwujudan tujuan
hukum tidak dapat dilakukan tanpa adanya lembaga hukum
yang diserahi tugas untuk mewujudkan dan menegakkan
hukum.
Perbedaan interpretasi dan pemahaman terhadap norma
hukum yang disebabkan oleh perbedaan budaya hukum para
pelaku (stake holders) baik Penegak hukum birokrat maupun

30 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


warga masyarakat, juga dapat menimbulkan Persoalan tidak
tercapainya keadilan. Di sisi lain harus diakui bahwa dalam
bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
hukum sebagaimana yang dipelopori oleh Robert B. Seidman
(Kristina 2009 : 60), bahwa peraturan perundang-undangan tidak
akan berjalan sendiri dalam upaya social enggineering, karena
masih ditentukan oleh pelaksana dan pemegang peran. Masing-
masing masih dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan pengaruh
yang lain. Bertolak dan konsep ini, sudah barang tentu perhatian
yang hanya terfokus pada satu unsur tidak akan cukup, oleh
sebab itu perlu perhatian yang menyeluruh.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman (1975 : 14-15)
menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dan 3 (tiga) komponen
yaitu, legal structure, legal substance dan legal culture. Komponen
legal structure adalah lembaga penegak hukum yaitu institusi
pelaksana dan bekerjanya hukum. Legal substance adalah
peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan bekerjanya
lembaga penegak hukum, dan legal culture adalah budaya hukum
yang diwujudkan dalam pola perilaku penegak hukum dan
masyarakat.
Ketika hukum progresif dijabarkan ke dalam tataran praktis,
maka agenda hukum progresif termasuk juga pembebasan
terhadap kultur penegakan hukum (administration of Justice)
yang selama ini berkuasa, yang dirasakan mengha usaha
menyelesaikan persoalan. Satjipto Rahardjo (2005:15) secara
spesifik menyebutkan kasus korupsi, di mana hukum gagal
untuk memberantasnya. Sehingga timbul Pertanyaan apakah
tidak dapat ditemukan kultur penegakann hukum yang baru ?,
Penegaican hukum progresif adalah jawabannya.
Menurut Lawrence M. Friedman (1975 : 6 — 8), ada tiga
faktor yang mempengaruhi penegakann hukum yaitu:
a. substance, the substance is composed of rules about how institutions
should behave.
mencakupi seluruh aturan hukum baik yang tertulls maupun
yang tidak tertuils, baik hukum materil (hukum substantif)

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 31


maupun hukum forimil (hukum acara);
b. structure, we describle the structure of a judicial system when we
talk about the number of judges, the jurisdiction of courts, how
higher courts are staked on top of lower courts, what persons are
attached to various courts, and what their roles consist of
(kita menggambarkan struktur suatu sistem peradilan ketika
kita membicarakan tentang para hakim, kompetensi masing-
masing pranata peradilan, bagaimana pengadilan yang Iebih
tinggi mengatur pengadilan yang Iebih rendah, person-person
apa yang bekerja di berbagai peradilan dan apa peranan yang
mereka mainkan);
c. legal culture, . . . refers, then, to those parts of general culture
- customs, opinions, ways of doing and thining that bend social
toward or away form the law and in particular ways. The trem
rughly describes attitudes about law, more or less analogous to the
political culture...
(...menunjuk pada bagian-bagian dan kultur pada umumnya
mencakup kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara-cara
bertindak dan berfikir yang membolehkan kekuatan-kekuatan
sosial menuju hukum atau menjauhi hukum dan dengan
cara-cara khusus lstilah itu secara kasar dapat digambarkan
sebagai sikap-sikap tentang hukum, lebih atau kurang dapat
disamakan dengan kultur politik...)

Buku Reformasi Hukum di Indonesia (Diagnostik Assessment,


1999;7), menyimpulkan hasil penelitian tentang penegakann
hukum di Indonesia yang kendalanya disebutkan antara lain:
a. kurangnya rasa hormat masyarakat pada hukum;
b. tidak adanya kosisitensi Penerapan peraturan oleh aparat
pengadilan;
c. pengelolaan pengadilan yang tidak efektif (maksudnya
mekanisme pengawasan yang Iemah);
d. peranan yang dominan dari pemerintah sehingga memberikan
pengaruh yang tidak sehat terhadap pengadilan (peradilan
yang tidak independen, karena dualisme kekuasaan

32 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


kehakiman);
e. penegakann hukum yang berbau praktek korupsi, dan
keberpihakan yang menguntungkan pemerintah.

Saat ini hukum di Indonesia memang tengah berada dalam


masa transisi. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick
(Ahmad Ali, 1998: 123) pemerintah dalam menerapkan hukum
dapat menerapkan hukum bertipe represif, otonom atau
menerapkan hukum yang responsif. Hukum yang represif hanya
mengandalkan kebijakan oportunis, yang lemah sekali mengikat
pembuatnya, sebab hukum hanya tunduk pada kekuasaan,
sementara hukum yang otonom yaitu hukum sebagai institusi
yang dibedakan dan mampu untuk menjinakkan represi serta
untuk melindungi integritasnya sendiri, dan hukum responsif
adalah hukum yang mempunyai tujuan memberi keadilan
substantif, sebagai jaminan bagi kompetensi dan perlakuan adil,
hukum dipakal sebagai sarana merespons terhadap kebutuhan
dan fakta sosial yang sekaligus menjadi dasar dan tujuan
penerapan dan pelaksanaan hukum.
Mengamati kejadian di Indonesia dengan meminjam kata-
kata Dahrendorf (Satjipto Rahardjo 2002: l8)perlu dikemukakan
bahwa:
Masyarakat sedang mengalami dekomposisi masyarakat
“no go areas”, atau wilayah abu-abu di mana berlangsung
ketidakpatuhan terhadap hukum dan kaidah sosial yang
kian meluas, maka dalam prognosis yang paling buruk
masyarakat dapat menuju kepada anom, yaitu masyarakat
tanpa norma sama sekali, dan hukum tidak lagi bekerja
dan berfungsi. Indonesia sekarang berada di tengah-tengah
suasana seperti itu, dan teori-teori positivisme dengan
metode analistisnya sangat mengalami kesulitan untuk
memberikan penjelasan. Contoh yang konkrit tentang
turunnya Soeharto, di mana kita tidak dapat menjelaskan
berdasarkan analisis positivistis Hukum Tata Negara
karena hanya akan memberikan alasan berdasar peraturan
dan logika hukum tata negara saja, dan tidak dapat
menjelaskan peranan demonstrasi mahasiswa, penyerbuan
dan pendudukan kantor DPR, termasuk Tragedi Trisakti.
Maka sebuah teori yang memuaskan akan mengakomodasi
itu semua, sehingga mungkin akan dikatakan, bahwa

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 33


mahasiswa yang berdemonstrasi sebagai ujung tombak
people power itu sedang menulis sebuah ketetapan Hukum
Tata Negara untuk menurunkan Soeharto.

Dalam prakteknya ruang Iingkup penegak hukum adalah


luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara Iangsung
dan secara tidak Iangsung berkecimpung dibidang penegakann
hukum yang berdiri atas sub-sistem kepolisian, kejaksaan,
kehakiman dan lembaga pemasyarakatan, serta profesi
kepengacaraan. Sistem itu dikenal dengan nama integrated crminal
justice system. Setiap sub-sistem mempunyai tujuan tertentu yang
harus dihayati oIeh setiap sub-sistem, mereka diibaratkan seperti
“bejan berhubungan”, karena kegiatan masalah atau pemecahan
masalah dalam suatu sub-sistem akan menimbulkan dampak
pada sub-sistem berikutnya dan seterusnya.
Sebagaimana diketahui bahwa keempat instansi (badan)
tersebut masing-masing secara administratif berdiri sendiri.
Kepolisian baru saja melepaskan diri dari Departemen Pertahanan
dan Keamanan, kejaksaan mempunyai puncak pada Kejaksaan
Agung, pengadilan memang secara fungsionai masing-masing
berdiri sendiri, namun secara administratif dikendalikan oleh
Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia) dan secara judikatif diarahkan oleh Mahkamah
Agung, sedangkan lembaga permasyarakatan berada dalam
struktur organisasi Departemen Kehakiman, maka keempat
komponen ini bekerja sama secara terpadu (integrated).
Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, para law
enforcement officer berpedoman pada sepuluh asas yang ditegaskan
dalam Penjelasan KUHAP, yang dapat dibedakan menjadi tujuh
asas umum dan tiga asas khusus (Mardjono Reksodiputro, 1994 :
53 -54) yaitu : Asas umum mencakup:
1. perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskrminasi apa
pun;
2. praduga tidak bersalah
3. hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan
rehabilitasi;

34 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


4. hak untuk mendapat bantuan hukum;
5. hak kehadiran terdakwa di muka Pengadilan;
6. peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan
sederhana;
7. peradilan yang terbuka untuk umum

Asas khusus mencakup:


1. pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan penahanan,
penggeledahan dan penyitaan) harus berdasarkan undang-
undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis)
2. hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan
dan pendakwaan terhadapnya dan
3. kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan
putusan-putusannya.

Kesepuluhan asas-asas di atas tidak dapat dilepaskan dari


desain prosedur (prosedural design) dari SPP.
Schuyt (1971 : 95 - 96), menjelaskan bahwa faktor manusia
(penegak hukum) merupakan faktor terbesar dan penentu
dalam membicarakan masalah penegakann hukum dan suatu
hal yang aneh dalam membicarakan penegakann hukum tanpa
menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakann itu.
Sehubungan dengan itu, apabila ingin membalas persoalan
Penegakan hukum yang hanya berpegang teguh pada bentuk
keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-
ketentuan hukum, maka hanya diperoleh gambaran yang
bersifat streotipis yang kosong dan baru menjadi berisi manakala
dikaitkan dengan pelaksanaannya yang konkrit yaitu manusia.
Selanjutnya menurut Pandangan Van Doom (Satjipto
Rahardjo, 1986: 23) dalam Pembicaraan mengenai penegakann
hukum haruslah memberikan perhatian yang seksama
terhadap peranan faktor manusia, sebab melalui faktor manusia
penegakann hukum itu dijalankan. Hal ini dikemukakannya
secara jelas di bawah ini:
Kebersamaan dan keadaan keterikatan dan sejumlah

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 35


manusia yang tidak hanya keluar dan kerangka organisasi,
karena manusia selalu cenderung untuk keluar dan setiap
kali terjatuh di luar skema (organisasi), disebabkan oleh
karena Ia cenderung untuk memberikan tafsirannya
sendiri mengenai fungsinya dalam organisasi, berdasarkan
kepribadiannya, asal-usul sosial dan tingkat pendidikan,
kepentingan ekonomi serta keyakinan politik serta
pandangan hidupnya sendiri.”:

D. TEORI PERLINDUNGAN HUKUM


Perlindungan hukum bagi hak warga di suatu tempat
merupakan suatu keharusan karena merupakan bagian integral
hak asasi manusia, yang diatur dalam konstitusi maupun
instrumen HAM Internasional yang diratifikasi oleh pemerintah.
Sebagai suatu konsep, hak asasi manusia mengandung makna
sangat luas, mengingat Persoalan HAM bersifat universal, tidak
mengenal batas : wilayah negara, politi, konomi, sosial, budaya
dan hukum. Sebagai anugrah,HAM merupakan hak mendasar
yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada umat
manusia tanpa mempersoalkan perbedaan latar belakang Sosial,
kultur, Politik dan ekonomi.
Menurut Soedikno Mertokusumo (1993:14) bahwa:
Subjek hukum selaku pemikul hak-hak dan kewajiban-
kewajiban (de dragger Van do rechten en Plichten), baik itu
manusia (naturlijkepersoon) badan hukum (rechtspersoon),
maupun jabatan (ambt), dapat melakukan tindakan-tindakan
hukum berdasarkan kemampuan (bekwaamheid) atau
kewenangan (bevogdheid) yang dimilikinya. Dalam pergaulan
di tengah masyarakat, banyak terjadi hubungan hukum yang
muncul sebagal akibat adanya tindakan-tindakan hukum
dan subjek hukum itu. Tindakan hukum ini merupakan awal
lahirnya hubungan hukum (rechtsbetrekking) mempunyai
akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum antar subjek
hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil
dalam arti setiap subjek-subjek hukum mendapatkan apa
yang menjadi haknya dan menjalankan kewajiban yang
dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan
main dalam mengatur hubungan hukum tersebut. Hukum
diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum.

36 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Di samping itu, hukum juga berfungsi sebagal instrumen
perlindungan bagi subjek hukum. Lebih lanjut Sudikno
Mertokusumo berpendapat bahwa:
“hukum berfungsi sebagal perlindungan kepentingan
manusia. agar kepentingan manusia terlindungi, hukum
harus dilaksnakaan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung
secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena
pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika
subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang
seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak
subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hak-
haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.

Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep


universal, dalam arti dianut dan diterapkan oIeh setiap negara
yang mengedepankan diri sebagai negara hukum, namun
seperti disebutkan Paulus Lotulung (1993:123) bahwa masing-
masing negara mempunyai cara dan mekanisme Sendiri tentang
bagaimana mewujudkan perlindungan hukum dan sampai
seberapa jauh perlindungan hukum itu diberikan.
Selanjutnya Paulus Lotulung menyatakan :
“mengenal bidang-bidang perlindungan hukum, perlu
pula dikemukakan mengenai macam-macam perbuatan
pemerinfah yang memungkinkan Iahirnya kerugian
bagi masyarakat dan / atau bagi seseorang atau badan
hukum perdata. Secara umum ada tiga macam perbuatan
pemerintah yaitu perbuatan pemerintah dalam bidang
pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling),
perbuatan pemerintah dalam penerbitan ketetapan (materiele
daad). Dua bidang pertama terjadi dalam bidang publik, dan
karena itu tunduk dan diatur berdasarkan hukum publik,
sedangkan yang terakhir khusus dalam bidang perdata
dan oleh karenanya tunduk dan diatur berdasarkan hukum
perdata.

Perlindungan bagi warga negara terhadap tindakan


pemerintah. Menurut Phipus M. Hadjon, (1987 : 2) perlindungan
hukum itu ada dua yaitu:
Perlindungan hukum preventif dan represif. Pada
perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau
pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 37


bentuk yang definitive. Artinya perlindungan hukum yang
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,
sedangkan sebaliknya perlindungan hukum preventif sangat
signifikan bagi tindak pemerintah yang didasarkan kepada
kebebasan bertindak,karena dengan adanya Perlindungan
hukum yang preventif Pemerintah terdorong untuk bersikap
hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan
pada diskresi.

38 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DUE PROCESS OF LAW DALAM PERSPEKTIF


TEORITIS NORMATIF

1. Sejarah Perkembangan Sistem Peradilan Pidana di Eropa


dan Amerika Serikat.
Secara historis, kejahatan yang dikenal sekarang menurut
literatur di Amerika serikat, sesungguhnya adalah “torts”. Semua
kesalahan dalam bentuk berat dan ringan merupakan kesalahan
yang bersifat individu, antara pihak yang dirugikan dan pihak
yang merugikan, atau sengketa para pihak dan tidak bersifat
publik (Hazel B. Kerper, 1979: 600).
Dalam perkembangan hukum di lnggris, negara yang
diwakili oleh raja tidak menaruh perhatian sama sekali
terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang
lain, kecuali jika kejahatan itu dilakukan terhadap negara atau
raja. Pembalasan dan seorang yang dirugikan terhadap pelaku
kejahatan masih diperkenankan, bahkan seluruh keluarga
korban dapat melaksanakan pembalasan tersebut. Tetapi lama-
kelamaan cara tersebut dirasakan sangat merugikan baik di
tinjau dan segi nilai kehidupan seseorang maupun dilihat dari
segi nilai kehidupan para pihak yang bersengketa. Di lain pihak
cara pelaksanaan seperti ini juga dinilai sangat mengganggu
ketertiban dan keamanan masyarakat. Lebih jauh lagi raja tidak
menghendaki terjadinya akibat buruk yang lebih merugikan
bagi kepentingan raja di mana sebagain besar abdi raja menjadi
korban pembalasan dendam karena terlibat dalam pertikaian
tersebut. (Hazel B. Kerper, 1979:78) .
Perbedaan mendasar antara kejahatan dan torts antara lain:
1. Dalam kejahatan alat untuk menanggulanginya adalah

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 39


melalui penuntutan, sedangkan dalam torts, dilakukan
tuntutan ganti rugi yang dilakukan pihak dirugikan.
2. Penuntutan dilakukan di pengadilan pidana, sedangkan
dalam torts dilakukan di pengadilan sipil;
3. Tujuan penuntutan dalam perkara kejahatan adalah untuk
menjatuhi hukuman kepada pelanggar hukum, sedangkan
dalam torts, tujuannya adalah memperoleh kompensasi dalam
bentuk ganti rugi dari pihak yang dirugikan;
4. Penuntutan dalam kejahatan hanya dapat dicabut atas izin
pengadilan pidana, sedangkan dalam torts, hal itu dapat
dilakukan setiap saat oleh Si penuntut atau pihak yang
merugikan.
5. Dalam menghadapi kejahatan, tertuduh dianggap tidak
bersalah dapat dibuktikan bahwa benar-benar bersalah,
sedangkan dalam torts tidak terdapat semacam praduga
dimaksud baik untuk kepentingan yang dirugikan maupun
bagi kepentingan yang merugikan;
6. Dalam hal kejahatan berat, perkaranya diadili oleh Hakim
dan para juri, sedangkan dalam torts, hampir semua kasus
ditangani oleh seorang Hakim. (Redmond, 1974:314).

Penjatuhan pidana dilakukan melalui proses peradilan


pidana mulai dari penyidikan, penuntutan, peradilan, dan
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Pelaksanaannya
melalui Sistem Peradilan Pidana, sebagai pencegahan kejahatan.

a. Sistem inquisitoir dan Accusatoir


Perkembangan sistem peradilan pidana sudah sejak abad
ke 13 dimulai di Eropa dengan diperkenalkan dan dianutnya
sistem Inquisitoir sampai dengan awal pertengahan abad ke 19
(Inirjan Damaska, 1973:503). Proses penyelesaian perkara pidana
berdasarkan sistem inquisitoir di masa itu dimulai dengan adanya
inisiatif dan penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki
kejahatan. Cara penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan secara
rahasia. Tahap pertama yang dilakukan secara rahasia.

40 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Kepada tersangka diberitahukan secara jelas isi tuduhan
dan jenis kejahatan yang telah dilakukan serta bukti yang
memberatkan tersangka. Satu-satunya tujuan pemeriksaan
waktu itu adalah untuk memperoleh pengakuan (confession) dan
tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya
atau kesalahannya, dan bukti yang dikumpulkan menimbulkan
dugaan berat, apabila tersangka tidak mau secara sukarela
mengakui perbuatannya atau kesalahannya, dan bukti yang
dikumpulkan menimbulkan dugaan kuat akan kesalahannya,
maka petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan
tersangka melalui cara penyiksaan (torture) sampai diperoleh
pengakuan. (Inirjan damaska, 1973:555).
Selama pemeriksaan perkara berlangsung, tertuduh tidak
dihadapkan ke muka sidang pengadilan secara terbuka, karena
dalam kenyataannya dilaksanakan secara tertutup selama
penyelesaian perkara berlangsung, tertuduh tidak berhak
didampingi pembela. (Inirjan Damaska, 1973:558) Apabila
diteliti maka tampak proses penyelesaian perkara pidana masa
itu demikian singkat dan sederhana, dan tidak tampak sama
sekali perlindungan dan jaminan akan hak asasi seseorang yang
tersangkut dalam perkara pidana (tersangka atau terdakwa).
Gambaran yang sangat buruk terhadap pelaksanaan sistem
inquisitoir pada masa itu sesungguhnya disebabkan karena sangat
kejamnya hukum acara pidana yang berlaku saat itu. Di lain
pihak keadaan demikian disebabkan pula karena kekurangan
pengertian tentang proses peradilan pidana sehingga keadaan
tersebut memperburuk pandangan terhadap sistem inquisitoir
selanjutnya yang dianggap sebagai lembaga penyiksaan yang
harus selalu ada.
Timbulnya gerakan revolusi Prancis mengakibatkan banyak
bentuk prosedur lama dalam peradilan pidana dianggap tidak
sesuai dengan peraturan iklim sosial dan politik secara revolusi.
Khususnya dalam bidang peradilan pidana, muncul bentuk
model baru sebagai pengganti bentuk inquisitoir, yakni the inixed
type menunjukkan, tahap pemeriksaan pendahuluan, pada

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 41


dasarnya mempergunakan bentuk inquisitoir, akan tetapi proses
penyelidikan dapat dilaksanakan oleh the public prosecutor. Dalam
pelaksanaan penyelidikan ini terdapat seorang investigating
judge atau pejabat yang tidak memihak yang ditunjuk untuk
menyelidiki dan melaksanakan pengumpulan bukti bukti.
Apabila ditinjau dari perspektif common law system baik sistem
inquisitoir maupun sistem campuran (the inixed type) menganut
landasan peinikiran non adversary proceedings. Namun demikian,
hal ini tidaklah berarti bahwa non adversary proceedings dapat
dihentikan dengan inquisitoir, oleh karena semua ciri penting dari
sistem inquisitoir sesungguhnya telah lama ditinggalkan seperti
proses pemeriksaan tertutup, tuduhan rahasia dan pemeriksaan
melalui penyiksaan. Sejak pertentangan abad 19 di daratan Eropa
telah dianut sistem campuran (the inixed type), tidak lagi dianut
sistem inquisitoir sesungguhnya.
Di sinilah letak perbedaan fundamental system accusatoir
dengan system inquisitoir yang benar-benar tidak membatasi
ruang gerak dalam penyelidikan maupun pemeriksaan. Perbedan
lain antara sistem tersebut, pada sistem accusatoir, tertuduh
berhak mengetahui dan mengikuti setiap tahap proses peradilan,
dan juga berhak mengajukan sanggahan atau argumentasinya.
Sedangkan dalam sistem inquisitoir, proses penyelesaian perkara
dilakukan sepihak dan tertuduh dibatasi dalam mengajukan
pembelaannya.

b Adversary System dan Non Adversary System


Dikotomi dalam sistem peradilan pidana yang dapat
dijadikan sebagai studi perbandingan telah kehilangan perbedaan
ketajamannya, dengan telah ditemukannya sistem campuran
dalam sistem peradilan pidana. Karena itu batas pengertian
antara sistem inquisitoir dan accusatoir sudah tidak dapat dilihat
lagi secara jelas, untuk menghindarkan kesimpangsiuran, maka
di negara yang menganut common law system di Eropa, dikenal
dua model dalam sistem peradilan pidana yaitu the adversary
model dan the non adversary model (Milono, 1 994;54).

42 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Dalam menangani perkara pidana, pihak yang menjadi
penggugat adalah negara, yang mewakili Si korban dan
kepentingan masyarakat, dan tergugat adalah terdakwa.
Terdakwa biasanya diwakili oleh penuntut umum (prosecuting
Attorney), pihak yang bertugas menemukan kebenaran atas
fakta dan tidak memihak diwakili oleh para juri. Yang bertugas
menerapkan hukum yang berlaku dan tidak memihak adalah
Hakim sebagai penemu kebenaran atas fakta yang diajukan dalam
persidangan. Adversary system atau Iebih dikenal Accusatorial
System biasanya selalu dipertentangkan dengan non-adversry
system atau inquisitorial system. Satu-satunya ciri accusatorial
system ialah adanya perlindungan terhadap hak asasi seorang
terdakwa yang dilandaskan pada Klausula Due Process of Law.
Perbedaan Adversary System dan Non Adversary System
(Inilono, 1994: 55 — 56) tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Adversary system menghendaki agar kebenaran dapat
diungkapkan secara akurat dalam suatu keadaan dimana
masing masing pihak yang berperkara dalam posisi yang
bertentangan, sedangkan dalam non-Adversary System
kebenaran tersebut dapat diungkapkan melalui penyelidikan
yang tidak memihak yang dilakukan oleh suatu badan
peradilan. Maka pihak peradilan merupakan pihak yang aktif
menemukan fakta yang relevan dengan bukti yang diajukan.
2. Dalam non-adversary system, pemanggilan saksi merupakan
tugas peradilan, dan bukan tugas pihak yang berperkara.
Begitu pula dalam memastikan dan memutuskan bahwa
sesuai bukti yang relevan telah diperoleh.
3. Dalam non-adversary system, masing-masing pihak yang
berperkara diwajibkan membantu peradilan dengan
mengajukan bukti sebagaimana dikehendaki oleh peradilan,
bukan hanya merupakan keharusan, melainkan justru
merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan
karena dengan cara demikian akan memperkuat eksistensi
antara pihak yang berperkara (tertuduh dan penuntut umum),
dan secara akurat memberikan batasan antara permintaan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 43


dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana.
4. Para pihak meiniliki fungsi yang otonom dan jelas. Peranan
penuntut umum adalah melakukan penuntutan kepada
terdakwa. Penuntut umum bertugas menetapkan fakta mana
saja yang akan dibuktikannya disertai bukti yang menunjang
tersebut. Terdakwa bertugas menentukan fakta mana
saja yang akan diajukan di persidangan yang akan dapat
menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan
bukti lain sebagai penunjang fakta dimaksud.

Jika diteliti yang dianut dalam adversary model maupun non


adversary model terlihal kedua model tersebut mencerininkan
suatu dilema antara menjunjung tinggi nilai kebenaran suatu
perkara pidana dan menjunjung tinggi nilai perlindungan
hukum atas hak asasi tersangka/terdakwa. Menghadapi dilema
tersebut, sesungguhnya baik adversary model maupun non
adversary model meiniliki pandangan yang sama tentang nilai
kebenaran dan proses penyelesaian perkara pidana. Tetapi dalam
mengungkapkan dan menemukan nilai kebenaran antara kedua
model tersebut terdapat perbedaan yang fundamental.
Adversary model berpendapat bahwa kebenaran hanya dapat
diproses dengan memberikan kesempatan yang sama kepada
tertuduh dan penuntut umum mengajukan argumentasi disertai
bukit penunjangnya. Sedangkan non adversary model berpendapat
bahwa kebenaran suatu proses pidana hanya dapat diperoleh atau
diungkapkan melalui suatu penyelidikan oleh pihak pengadilan
yang tidak memihak. (Zimbring dan Fraze, 1980: 305) .

c. Bail System
Sistem jaminan yang berkembang di Inggris dan Amerika
yang disebut dengan bail system terus berjalan, walaupun
banyak terlontar kecaman yang dianggap membedakan Si kaya
dan Si miskin yang dengan sendirinya merusak citra equality
before the law. Pembahasan terhadap bail system pada tahun
1960 didasarkan kepada dua hal, pertama dalam kenyataannya
banyak tertuduh yang hendak memperoleh kebebasannya

44 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


tidak sanggup memberikan uang jaminan sekalipun uang
jaminan yang ditetapkan sudah demikian rendah. Kedua karena
kenyataan menunjukkan kepadatan penghuni rumah tahanan
yang menimbulkan pelbagai ekses negative di mana keadaan
penghuni Iebih buruk daripada mereka yang telah dijatuhi
hukuman dan menempati rumah-rumah penjara.
Terdapat empat alternative bagi kemungkinan seseorang
tertuduh memperoleh kebebasan sambil menunggu persidangan
dimulai baginya yakni:
a. Pembebasan dengan surat persidangan dimulai baginya
persidangan (release on summons).
b. Pembebasan atas dasar janji yang telah diberikan oleh
tertuduh yang bersangkutan (release on personal recoqnition).
c. Pembebasan di bawah pengawasan pihak ketiga (release under
the supervision of a third party) dan
d. Pembebasan dengan syarat penyerahan 10% dan seluruh
uang jaminan yang ditentukan (release under a ten percent bail).

Konstitusi Amerika Serikat tidak secara tegas menetapkan


adanya hak untuk memperoleh kebebasan sementara dengan
uang jaminan (A right to bail), akan tetapi amandemen kedelapan
(The eight amendemenl) hanya menyatakan excessive bail shall not
be required, atau dikatakan uang jaminan yang menyalahi batas
kelayakan tidak diperkenankan. Perkembangan Bail System
di Amerika sudah sedemikian rupa, di samping kesadaran
hukum masyarakat dan kesejahteraan sosial masyarakat pada
umumnya sudah tinggi, maka walaupun kecaman selalu
muncul, sistem ini masih dianggap Iayak oleh sebagain besar
warga masyarakatnya untuk tetap dikembangkan dalam system
Peradilan Pidana di Amerika Serikat. The Advisory coinitee of the
American Bar Associations project on ininimum standards for criminal
justice (Zimbring dan Fraze, 1980 : 304 — 305) dinyatakan sebagai
berikut:
The bail system as it now generally exist is unsatisfactory from either
the public’s point of view. Its very nature requires the practically
impossible task of translating risk of night into dollars and conts

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 45


and even its basic preinise — thal risk of financial — is itseff of
doublful validity the requirement thal virtually every defendant
must post bail. Conses discriinination against defendants who are
poor and on the public which must bear the cost of their detention
and frequently support their dependants on welfare
(Sistem uang tebusan yang sekarang lazim tidak memuaskan
dari sudut pandang publik. Sifatnya yang demikian
memerlukan tugas yang tidak mungkin secara praktis
menerjemahkan resiko pelarian ke dalam resiko finansial
yang merupakan validitas yang meragukan, persyaratan
yang hampir sama pada semua terdakwa yang iniskin
yang harus membayar biaya penahanannya yang masih
mempunyai tanggungan yang harus dibantu)

Bail System dianggap tidak memuaskan baik dilihat dan segi


pandangan tertuduh maupun masyarakat umum. Sifat dasar dan
system tersebut praktis tidak mungkin dapat menjabarkan risiko
lainnya dan tertuduh dalam bentuk dolar atau sen, sekalipun
landasan peinikiran dan sistem ini yakni risiko kehilangan harta
kekayaan dapat mencegah tertuduh menghindari penuntutan,
tetap diragukan kebenarannya. Persyaratan bahwa tertuduh
harus menyerahkan uang jaminan mengakibatkan diskriminasi
terhadap tertuduh yang iniskin dan terhadap masyarakat umum
yang harus menanggung biaya penahanan dan sering menunjang
kesejahteraan sosial tertuduh. Di Amerika Serikat sejak
berlakunya Yudiciary Act tahun 1789, kongres telah menetapkan
bahwa bail diperkenankan dalam semua perkara pidana, kecuali
jika perkara tersebut dapat diancam dengan hukuman mati.
Penetapan berapa besar uang jaminan dalam konsitutis Amerika
Serikat ditegaskan tidak boleh melebihi batas kelayakan yang
dijabarkan dalam Federal rules of Criminal Procedure Rules 46 (c)
sebagai berikut:
If defendant is adinitted to bail, the amount there of shall be snach
as in judgement of the coininissioner or court or judge or justice
will insure the presence of the defendant, having regard to the
nature and circumstances of the offense charged, the weight of the
evidence against him, the financial ability of the defendant to give
bail, and the character of the defendant.
(jika tertuduh diperkenankan menyerahkan uang jaminan,
besarnya uang jaminan dimaksud harus sedemikian rupa
sesuai dengan penilaian pengadilan atas Hakim pada

46 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


pengadilan yang Iebih rendah atau Hakim tinggi atau pejabat
tertentu atas kepastian akan hadirnya tertuduh dengan
memperhatikan sifat dan keadaan yang berkenaan dengan
kejahatan yang dituduhkan, berat ringannya bukti yang
memberatkan tertuduh, kemampuan keuangan tertuduh,
dan karakter tertuduh). (Zimbring dan Fraze, 1980 : 299).

d. Plea Bargaining System


Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan
hukum menyeluruh (criminal justice system), pleabargaining
jelas akan selalu terjadi dalam rangkaian penanganan perkara
pidana. Dengan criminal justice system dimaksudkan : the system
by which society identifies, accauses, tries, convicts and punishes those
who violated the criminal law. (Hazel B. Kerper, 1979:173). Sedang
yang dimaksud dengan criminal justice process adalah : the series
of procedures by which society identifies, accuses, tries, convicts and
punisher offenders. (Hazel B. Kerper, 1979:169) .
Proses penanganan-penanganan perkara pidana melalui
beberapa tahapan, dimulai dari penyelidikan atas penangkapan
atau penahanan-penuntutan, penentuan kesalahan, penetapan
putusan, dan akhirnya pelaksanaannya hukumannya. The
criminal justice system yang berlaku di Amerika pada umumnya
menjelaskan bahwa plea bargaining terjadi pada tahap arraignment
dan preliininary hearing. Apabila terdakwa menyatakan dirinya
bersalah atas kejahatan yang dilakukan, proses selanjutnya adalah
penjatuhan hukuman tanpa melalui trial. Tahap arraignment on
information or indictment merupakan suatu proses singkat guna
mencapai dua tujuan:
a. Memberitahukan kepada terdakwa perihal dakwaan yang
dijatuhkan padanya, dan
b. Memberikan kesempatan pada terdakwa untuk menjawab
dakwaan tersebut dengan menyatakan : not guilty atau guilty
ata nob contendere (no contest).

Pada langkah ini pengadilan akan membacakan dakwaan


yang diajukan kepada terdakwa dan bagaimana jawaban
terdakwa atas dakwaan tersebut. Jika terdakwa menyatakan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 47


not guilty, maka perkaranya disiapkan untuk dilanjutkan dan
kemudian diadili di muka persidangan oleh juri. Apabila
terdakwa menyatakan guilty atau nob contendere maka perkaranya
siap untuk diputus. Khususnya pernyataan nob contendere (no
contest) pada hakekatnya meiniliki implikasi yang sama dengan
tertuduh harus mengakui kesalahannya, selain cukup jika ia
menyatakan bahwa dia tidak akan menentang tuduhan jaksa di
muka persidangan juri (Hazel B Kerper, 1979:174).
Alschuler secara teliti telah mengungkapkan perkembangan
plea bargaining sistem pada masa Common Law sampai sekarang.
Pada Common Law System terhadap terdakwa telah diberikan
perlakuan yang tidak kejam, karena ia telah membantu penuntut
umum dalam melakukan penuntutan terhadap orang lain
dalam perkara tertentu, akan tetapi bukan berarti terdakwa
telah mengakibatkan penuntutan menjadi lebih mudah, atau
karena terdakwa telah berbuat baik terhadap korban, dimana
ia melakukan kejahatan. Praktek negosiasi guna kepentingan
memperoleh suatu informasi (bargaining for information),
sebagaimana halnya praktek negosiasi untuk kepentingan
suatu restitutie (bargaining for restitution), secara nyata tidaklah
menempatkan seorang terdakwa yang terlibat dalam praktek
negosiasi dalam kedudukan yang sama dengan penuntut umum,
di mana terdakwa menyatakan mengakui dirinya bersalah
(bargaining for his plea guilty) (Hazel B. Kerper, 1979 : 4—5).
Pada tahun 1958 Supreme Court of Justice Amerika Serikat
menyatakan bahwa praktek plea bargaining adalah illegal. Akan
tetapi atas keberatan Departemen KeHakiman (Department of
justice) kehendak tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan akhirnya
pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan pendapatnya
bahwa plea bargaining was inherent in the criminal law and its
adininistration (Brady V. United States, 397 U.S. 742 (1970) (Hazel
B. Kerper, 1979:8). Hingga saat ini tidak ada perhatian yang
sungguh-sungguh untuk menghapuskan sistem ini, oleh karena
dengan adanya sistem tersebut tampaknya telah diperoleh suatu
fair trial accuracy dalam penanganan perkara pidana.

48 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Berdasarkan kepada beberapa batasan plea bargaining, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
c. Bahwa plea bargaining pada hakekatnya merupakan negosiasi
antara pihak penuntut umum dengan terdakwa atau
pembelanya.
d. Motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk
mempercepat proses penanganan perkara pidana.
e. Sifat negosiasi harus dilandaskan pada kesukarelaan terdakwa
untuk mengakui yang dikehendaki penuntut umum atau
pembelanya.
f. Keikutsertaan Hakim sebagai wasit yang tidak memihak
dalam negosiasi dimaksud tidak diperkenankan.

Pelaksanaan teknis adininistrati dan plea bargaining system ini


menimbulkan beberapa masalah. Zimring dan Frase (1980:497)
mengetengahkan beberapa masalah tersebut sebagai berikut:
1. Plea bargaining system in practice usually made the presentace
reports and other investigatons into the back ground of the offender
ineffective. (Sistem permintaan keringanan hukuman dalam
prakteknya biasanya menjadikan laporan dan penyidikan
lainnya pada latar belakang tertuduh tidak efektif) .
2. The informality and wide variation in practice among prosecutors
and trial judge regarding plea bargains of ten cause bewilderment
and a sense of injustice among defendants. (Informalitas serta
berbagai variasi dalam praktek di antara para jaksa dan
Hakim sidang pengadilan mengenai permintaan keringanan
hukuman menyebabkan kebingungan serta rasa ketidakadilan
di antara terdakwa).
3. Plea bargaining system gave the habitual and professional criminals
to take full advantage to obtain leniency in sentencing, than the poor
offenders who can not afford a legal expert. (Sistem permintaan
keringanan hukum menjadikan penjahal professional
memanfaatkan sepenuhnya untuk rnernperoleh keringanan
hukuman daripada terdakwa yang iniskin yang tidak mampu
membayar ahli hukum).

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 49


4. The innocent defendant may plead guilty because of the fear thal he
will be sentenced more harshly if he is convicted after trial or thal
he will subjected to damaging publicity because repugnant charge.
(Terdakwa yang tidak bersalah dapat dijadikan bersalah
karena kekhawatiran bahwa dia akan dihukum lebih berat lagi
jika dia divonis sesudah sidang peradilan atau dia merusak
publisitas karena tuduhan yang sangat tidak menyenangkan).

Kenyataan tersebut tidak berarti bahwa prosedur pelaksanaan


sistem ini tidak memerlukan peninjauan atau perubahan. Pada
tahun 1967 usaha kearah restrukturisasi sistem plea bargaining
telah dilakukan oleh satuan tugas yang dikenal sebagai President
Commossion on Law Enforcement and Criminal Justice, yang
mengemukakan alasan utama mengapa perlu diadakan suatu
model administrasi plea negotiation yang dapat menghindarkan
pertentangan antara kepentingan terdakwa dengan masyarakat.
Sehingga dapat diharapkan seorang terdakwa yang nyata-nyata
tidak bersalah dapat dicegah untuk tidak terjerat dalam sistem
ini.
Dalam dunia ilmu pengetahuan (acara) pidana dewasa ini
mengenai dan mengakui eksistensi dua sistem yang berbeda
dalam penanganan perkara pidana, yakni pertama sistem
accusatoir, dan kedua sistem inquisitoir. Sistem yang pertama lebih
dikenal sebagai “the Anglo-American mode!’ sedangkan sistem
yang kedua lebih dikenal dan diagungkang di daratan Eropa,
sehingga dikenal sebagai “the continental model”.
Dalam praktek peradilan, sesungguhnya kedua sistem
tersebut di atas tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya
sehubungan dengan berbagai hal yang timbul dan tumbuh dalam
pelaksanaannya. Salah satu kesulitan terbesar dalam pelaksanaan
sistem accusatoir menyangkut pembuktian, sebagaimana
ditegaskan oleh (Inirjan Damaska, 1973: 505) bahwa:
“One such belief, frequently voiced, is thal the rules of evidence
under the common law adversary system of barriers to conviction
than do corresponding rules in the non-adversary civil law system.
This belief is then related to more a general feeling thal the higher
evidentiary barricades to conviction somehow emanate from the

50 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


very nature of adversary proceedings and thal their lowering
smacks of the inquisitorial, continental procedure.”
(Sekali keyakinan tersebut disuarakan, aturan-aturan bukti
dalam hambatan-hambatan sistem “adversary” kekuasaan
hukum tidak tertulis pada putusan daripada aturan yang
sama pada sistem hukum perdata yang “non adversary”.
Keyakinan ini kemudian diartikan dengan perasaan
umum bahwa semakin tinggi hambatan pada putusan
bagaimanapun berasal dari sifat prosiding “adversary” itu
juga dan bahwa perlakuan mereka dan prosedur kontinental
yang sulit dan tidak menyenangkan).

2. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia


Dengan dikeluarkannya kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (Undang-UndangNo. 8/ 1981), diharapkan
akan membawa gagasan baru dengan nafas humanisme dan
nilai keadilan yang didambakan oleh semua pihak dalam
masyarakat Indonesia. Nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa
nilai yang dapat memelihara dan keadilan yang sesuai dengan
Indonesia, haruslah merupakan nilai yang dpat memelihara dan
mempertahankan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
antara kepentingan individu di satu pihak, dan kepentingan
masyarakat di lain pihak.
Nilai keadilan adalah merupakan nilai yang terpenting dan
setiap peraturan perundang - undangan, termasuk KUHAP.
Dengan kata lain, kaidah-kaidah hukum itu tidak hanya
merupakan kaidah yang sah (yang mempunyai validity saja),
akan tetapi juga harus merupakan kaidah yang adil (harus
mempunyai value). Selain itu penegakan dan pelaksanaan
hukum tidak boleh dilakukan sedemikian rupa, sehingga sama
sekali menghilangkan nilai etika pada umumnya, dan martabat
kemanusiaan khususnya. Sekalipun nilai keadilan itu sendiri
dari dulu menjadi bahan perdebatan di kalangan para ahli
hukum, namun demikian, pertentangan pendapat dimaksud
yang pada akhirnya menjurus kepada realitivisme nilai keadilan
tidaklah dengan sendirinya mengurangi usaha para ahil hukum
untuk setidak-tidaknya merumuskannya sesuai dengan falsafah
Pancasila.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 51


Adanya kehendak untuk menanamkan identitas Pancasila
dalam tubuh peraturan per Undang-Undangan di Indonesia
bukanlah sekedar tuntutan emosional dan sikap tidak
simpati terhadap hukum liberal atau sosialis, melainkan sudah
(seharusnya) merupakan tuntutan negara Republik Indonesia
sebagai negara hukum dengan latar belakang etnis, geografis,
sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda dengan negara yang
sudah maju, khususnya negara barat sebagaimana diutarakan
oleh Satjipto Rahardjo (1997:59) bahwa motivasi pembentukan
peraturan perUndang-Undangan nasional di atas perlu
ditingkatkan dan dipelihara oleh karena dewasa ini di dunia
ditingkatkan dan dipelihara oleh karena dewasa ini, di dunia
ketiga tampak kecenderungan untuk meniru model hukum barat
walaupun risiko sosial dan kultural (akan) besar pula.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Achmad Ali
(2005 : 61) bahwa keterpurukan dalam law enforcement, yang
mengakibatkan hilangnya kepercayaan warga masyarakat,
merupakan lingkaran setan yang hanya mampu dipecahkan jika
penyelesaian masalah dilakukan oleh sumber masalah itu sendiri.
Terjadinya tindakan main Hakim sendiri oleh Arief
Gosita (2004: 53) dipandangnya sebagai perwujudan gagalnya
pemerintah dalam memberikan perlindungan dan jaminan rasa
aman kepada masyarakat, baik terhadap harta bendanya. Lebih
jauh Arief menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh 4 hal
yaitu:
1. Pengabaian hukum (disregarding the law);
2. Ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law);
3. Ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law);
4. Penyalahgunaan hukum (inisuse of the law).

Secara eksplisit tidaklah dapat ditemukan apa yang menjadi


tujuan pengaturan tentang tatacara pelaksanaan peradilan pidana
berdasarkan Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini. Namun
demikian apabila diteliti kembali beberapa pertimbangan yang
menjadi alasan disusunnya KUHAP ini. Jelaslah bahwa secara

52 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


singkat KUHAP ini meiniliki lima tujuan sebagai berikut:
1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka
atau terdakwa) .
2. Perlindungan kepentingan hukum dan pemerintahan.
3. Kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana.
4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum.
5. Mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan
Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945.

Secara positif dapat dikatakan bahwa dengan Undang-


Undang Hukum Acara Pidana ini maka pihak aparat penegak
hukum (kepolisian) tidak akan sewenang-wenang melakukan
penangkapan, penahanan, dan peradilan terhadap tersangka,
atau terdakwa. Akibat buruk akan terjadi lebih jauh lagi apabila
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
ternyata tidak mengatur secara Iengkap tata cara peradilan
pidana pada umumnya dan tidak mencerininkan nilal (keadilan)
yang tumbuh dalam masyarakat.
Dorongan dan motivasi yang mengejar keabsahan (validity)
Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu semata-mata bukanlah
tindakan yang patut dan dianggap benar, melainkan hal tersebut
justru akan mengakibatkan bencana terhadap kehidupan
hukum masyarakat pada umumnya, khususnya terhadap para
pencari keadilan. Hal ini dapat dilihat dari kemungkinan besar
dilaksanakannya asas persamaan di muka hukum dalam konteks
Pasal 31 KUHAP.
Asas persamaan di muka hukum tidak secara eksplisit
tercantum dalam ketentuan KUHAP. Asas ini hanya dicantumkan
dalam Penjelasan resini KUHAP. Walaupun demikian merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dan Kitab Undang-Undangitu
sendiri. Asas ini dijabarkan dalam kalimat: “Perlakuan yang
sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan perbedaan perlakuan” (lihal penjelasan resini Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Ditempatkannya asas
ini sebagai asas kesatu menunjukkan betapa pentingnya asas ini

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 53


dalam tata kehidupan hukum (acara) pidana di Indonesia.
Adanya asas ini dalam KUHAP merupakan suatu arah
pembaharuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Bahkan
hal tersebut menunjukkan adanya sikap politik pemerintah Orde
Baru ketika itu dalam masalah penanganan perkara pidana yang
terbuka dan bertujuan menegakkan Hukum di mana supremasi
hukum tidak Iagi akan hanya merupakan slogan belaka.
Guna menguji sejauhmana asas persamaan di muka hukum ini
benar dipertahankan dan dianut dalam KUHAP, dapat dilihat
yang mengatur perihal Penangguhan Penahanan. Peinilihan
Pasal 31 di atas didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
1. Pasal ini merupakan pasal penutup dan kesatuan yang
mengatur soal penahanan (Bab V) dan sekaligus merupakan
kekecualian dan pasal-pasal sebelumnya yang mengatur
soal penahanan. Apabila pasal-pasal sebelumnya mengatur
bagaimana penahanan seharusnya dilaksanakan, maka pasa 31
justru mengatur bagaimana penahanan dapat ditangguhkan.
2. Pengaturan tentang penahanan pada umumnya menyangkut
hak asasi tersangka atau terdakwa. Khususnya pengaturan
tentang penangguhan penahananpun tidak dapat dilepaskan
dari hak asasi dimaksud. Bahkan tidak jarang pula
apabila terjadi salah pengaturan dalam Undang-Undang,
penangguhan penahanan akan mengakibatkan diskniininasi
penlakuan terhadap tersangka atau terdakwa.
3. Pasal 31 di atas sebagai pasal penutup dan pasal pengecualian
atas pasal-pasal sebelumnya telah ditetapkan secara tidak
Iengkap. Hal ini mengakibatkan kemungkinan akan
timbulnya diskriminasi perlakuan terhadap tersangka atau
terdakwa di satu pihak, dan lain pihak kemungkinan akan
timbulnya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak
hukum semakin besar.

Secara historis, Iembaga jaminan uang atau orang yang


telah dikenalkan dalam HIR berasal dan sistem jaminan yang
pernah berkembang di negara lnggris dan dikembangkan pula

54 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


di Amerika, oleh Hazel B. Kerper (1976:269) dengan sebutan “bail
sistem”. Kemampuan terdakwa untuk memperoleh kebebasannya
sambil menunggu peradilan baginya dengan memberikan atau
menyerahkan uang jaminan, tetap diberlakukan sampai saat ini.
Dapat dikemukakan bahwa Undang-UndangNo. 8 Tahun
1981 tentang “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”
telah secara jelas dan tegas mewujudkan falsafah Pancasila ke
dalam pasal-pasalnya. Tampak dicantumkan asa depedensi
secara tegas dalam ketentuan pasal 197 ayat (1) a UU No. 8 tahun
1981 yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Asas interdepedesi tampak
dicantumkan dalam bab menimbang sub. a yang berbunyi:
Bahwa negara Republik Indonesia negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Selain itu asas ini terdapat pula dalam penjelasan resini atas
Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981, butir ke-2 yang berbunyl:
“Undang - Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa
negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Hal itu berarti
bahwa Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945, menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan menjamin warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya.
Pengaturan asas interpendensi ini pun terdapat dalam
beberapa bab dalam Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981, antara
lain dalam Bab IV: Penangkapan, Penahanan, Penggeledehan
Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat,
Bab VII: Bantuan Hukum; Bab XII: Ganti rugi dan Rehabilitasi.
Dapat dikemukakan bahwa perbedaan falsafah hidup di
antara bangsa-bangsa di dunia (untuk sementara terbatas pada
sosialisme, liberalisme, dan Pancasila) menimbulkan implikasi yang
mendalam terhadap pandangan hidup anggota masyarakat

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 55


bangsa-bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks kedudukan
tersangka/ terdakwa yang terkait pada “criminal justice process”
tampak jelas perbedaannya.
Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan sebagaimana
dimuat dalam Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981, maka “criminal
justice system” di Indonesia terdiri dan komponen Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga pemsayarakatan dan
dengan Iahirnya Undang-UndangNo. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, maka kedudukan para advokat itu sendiri masuk
dalam ruang lingkup sistem peradilan pidana. Kelima lembaga
tersebut meiniliki hubungan yang sangat erat antara satu sama
lain bahkan dapat dikatakan menentukan penegakan hukum
berdasarkan Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981 dan merupakan
usaha yang bersifat sistematis. Dalam kaitannya dengan sistem,
Buckley (1 967;32) memberikan batasan sistem sebagai berikut:
(a) system maybe described generally as a complex of elements or
components directly or indirectly related in a casual network,
such thal each components is related to at least some others in a
more or less stable way within any particular period of time
(sistem ... dapat dideskripsikan secara umum sebagai
unsur-unsur kompleks atau komponen baik secara
Iangsung maupun tidak Iangsung terkait dengan jaringan
kasual, seperti setiap komponen dikaitkan sekurang-
kurangnya dengan yang lain dengan cara yang kurang
lebih stabil dalam waktu tertentu...).
(b) The particular kinds of more or less stable interrelation-
ships components thal become established of any time the
particular structural of the system at thal the time, thus
achieving a kinds of “whole” with some degree of continuity
and boundary”. (Jenis tertentu yang kurang Iebih
komponen hubungannya stabil yang telah dibuat setiap
saat merupakan struktur sistem khusus pada saat itu, jadi
mencapai jenis keseluruhan dengan derajat kontinuitas
serta batas tertentu).

Dengan berlakunya Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981


tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jelaslah
bahwa:
1. Telah terjadi perubahan peinikiran dan pandangan tentang
kedudukan tersangka dan tertuduh atau terdakwa, dalam

56 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia.
2. Perubahan peinikiran perkara pidana dimaksud tampak
terlalu menitik beratkan pelindungan atas hak dan
kepentingan tersangka, dan terdakwa, akan tetapi sangat
kurang memperhatikan efisiensi mekanisme penyelesaian
perkara pidana itu sendiri oleh aparat yustisi.
3. Sistem peradilan di Indonesia telah menganut sistem
campuran (lihal uraian di muka) dan mulai meninggalkan
sistem lama yang kurang memperhatikan kedudukan
seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana.
4. Adanya perubahan peinikiran dan sikap pembentuk
Undang-Undangno. 8 tahun 1981 beserta penjelasannya, juga
sudah seharusnya dapat diikuti oleh perubahan sikap dan
pandangan aparat yustisi di dalam implementasi Undang-
Undangdimaksud.
5. Secara tehnis operasional, pelaksanaan Undang-
Undangdimaksud akan merupakan pencerininan kebenaran
akan adanya perubahan sikap dan pandangan “the law
inforcement agencies” di Indonesia terhadap kedudukan
tersangka/ terdakwa dalam mekanisme pelaksanaan “criminal
justice system”

Istilah Sistem Peradilan Pidana (SPP) Terpadu sepadan


dengan istilah dalam bahasa inggris Integrated Criminal Justice
System (ICJS). Adanya kata terpadu (integrated) dihubungkan
dengan istilah SPP sebenarnya yang kontradiktif. Mengapa
dikatakan demikian ? karena istilah sistem yang ada dalam SPP
sebenarnya harus mengandung suatu keterpaduan (integrasi) di
antara sub-sub sistem yang ada dalam SPP.
Kata sistem berasal dan kata majemuk dalam bahasa Yunani
yaitu suntidhemai yang berarti meletakkan bersama-sama. Oleh
karena itu, sistem berkaitan dengan masalah bangunan, susunan,
satu kesatuan namun di dalamnya terdapat bagian-bagian
sebagai unsur yang membentuk keseluruhan. Sistem merupakan
suatu keterpaduan antara konsep totem dan partes, dan tentu saja

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 57


relasi struktural merupakan kenyataan dasarnya. (Buyung, 1986
: 4).
Pada bagian lain Buyung (1986:8) menyatakan bahwa
sesuatu dapat disebut sistem apabila memenuhi kriteria berikut:
(1) Terdiri dan unsur, elemen-elemen atau bagian-bagian, (2)
elemen-elemen, unsur-unsur atau bagian-bagian itu satu sama
lain jalin menjalin; pengaruh mempengaruhi; terjadi interaksi dan
interdependensi; (3) keseluruhannya terpadu menjadi kesatuan
yang utuh, suatu totatalitas, (4) kesatuan itu mempunyai tujuan,
fungsi atau output tertentu.
Menurut Zahara Idris (1992:72) kata sistem diberi pengertian
sebagai berikut:
Suatu kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen atau
elemen-elemen atau unsur-unsur sebagai sumber-sumber
yang mempunyai hubungan fungsional yang teratur, tidak
sekedar acak, dan sating membantu untuk mencapai suatu
hasil (produk).

Ryan (Zahara ldnis, 1992 : 72) mendefinisikan kata sistem


sebagai berikut:
Any identifiable assemblage of element (objects, person, activities
information records, etc) which are interrelated by process or
structure and which are presumed to function as an organization
entinity generating an observable (or the same times merely
inferable) product.
(setiap kumpulan unsur yang dapat diidentidifikasi
(objek, orang, aktivftas, informasi, catatan, dll) yang saling
berhubungan oleh proses atau struktur yang dianggap
berfungsi sebagai kesatuan organisasi yang menurunkan
(atau waktu yang sama hanyalah dugaan) produk yang
dapat diamati).

Dari beberapa pengertian kata sistem tersebut di atas secara


sederhana kata sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan
unsur-unsur atau komponen-komponen atau dapat juga disebut
sebagai sub-sub sistem yang saling berinteraksi secara struktural
fungsional yang dapat melakukan proses masukan (input) menjadi
keluaran (out put), hal ini secara jelas dapat dilihat dan pendapat
Ryan di atas bahwa di datam suatu sistem terdapat unsur-unsur

58 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


yang dapat dikenali, unsur-unsur itu saling berkaitan secara
teratur, mekanisme saling berhubungan berkaitan secara teratur,
mekanisme saling berhubungan antar unsur itu merupakan suatu
kesatuan organisasi, sedang kesatuan organisasi itu berfungsi
dalam menciptakan tujuan yang akan dicapai, dan berfungsinya
organisasi itu dapat membuahkan hasil yang dapat diamati atau
setidak-tidaknya dapat diketahui hasilnya.
Berdasarkan pengertian kata sistem tersebut, menurut
Pranarka (1991: 38) istilah sistem di dalamnya harus mengandung:
(a) adanya satu kesatuan utuh; (b) adanya bagian-bagian
yang membentuk kesatuan yang utuh; (c) adanya hubungan
keterkaitan antara bagian dengan bagian maupun antara bagian
dengan keseluruhan; (d) adanya gerak atau dinainika; dan (e)
adanya arah serta produk dan sistem tersebut sehingga tidak
jarang kata sistem disamaartikan dengan pengertian cara kerja
sesuatu.
Pandangan Pranarka tersebut di atas kurang lebih hampir
sama dengan identifikasi ciri-ciri sistem menurut Zahara Idris
(1992 : 37) yang mengemukakannya sebagai berikut:
(a) Mempunyai tujuan .
(b) Mempunyal fungsi-fungsi karena adanya tujuan yang harus
dicapaioleh suatu sistem menuntut terlaksananya berbagai
fungsi yang diperlukan untuk menunjang usaha mencapai
tujuan tersebut;
(c) Mempunyal komponen-komponen yaitu bagian dan sistem
yangmelaksanakan suatu fungsi untuk menunjang usaha
mencapai tujuan sistem, suatu sistem mempunyai beberapa
komponen yang masing-masing mempunyai fungsi khusus;
(d) Di dalam sistem harus ada saling hubungan atau
interaksi, masing-masing saling mempengaruhi dan saling
membutuhkan;
(e) Suatu penggabungan antar seluruh komponen yang berfungsi
akan menimbulkan jalinan perpaduan;
(f) Proses transformasi, karena semua sistem mempunyai inisi

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 59


untuk mencapai tujuan untuk itu diperlukan proses yang
akan mengolah masukan (input) menjadi keluaran (out put);
(g) Umpan balik untuk keperluan fungsi kontrol untuk monitoring
dan koreksi; dan
(h) Bahwa suatu sistem mempunyai daerah batasan dan
lingkungan, antara suatu sistem dan bagian-bagian lain
atau lingkungan di sekitarnya akan terjadi interaksi,
namun demikian antara suatu sistem dan batasan yang lain
mempunyai daerah batasan tertentu, suatu sistem dapat pula
merupakan subsistem dari sistem lain yang lebih besar (supra
sistem).

Dengan memperhatikan pengertian kata sistem yang telah


diuraikan tersebut di atas maka jelaslah bahwa kata sistem
sebenarnya memang harus mengandung suatu keterpaduan di
antara sub-sub sistem yang ada. Lalu bagaimana memahami
munculnya istilah SPP terpadu?
Menurut Mardjono Reksodiputro (1993:2) munculnya istilah
SPP terpadu sebenarnya dapat dipahaini sebagai manifestasi
penegasan keinginan untuk mewujudkan adanya SPP yang
benar-benar terpadu, sesuatu yang nampaknya belum benar-
benar terwujud, atau seperti yang pernah dikemukakan oleh
Muladi pemakaian kata “integrated’ dalam SPP diarahkan untuk
memberikan tekanan agar integrasi dan koordinasi dalam SPP
Iebih diperhalikan, sebab fragmentasi dalam SPP nampaknya
masih menjadi “disturbing issues” di berbagai negara.
Sebagai suatu sistem, peradilan pidana didukung oleh
komponen- komponen sistem (sub-sub sistem) peradilan pidana.
Namun demikian dalam kerangka yang lebih luas (makro) SPP
sendiri sebenarnya hanyalah merupakan sub sistem dan sistem
lain yang lebih besar (supra sistem). Hal ini wajar saja mengingat
seperti yang dikatakan oleh Pranarka bahwa suatu sistem yang
di dalamnya didukung oleh sub-sub sistem, namun ia pun
sebenarnya tidak akan terlepas dan suatu sistem lain atau bahkan
menjadi bagian dari suatu sistem yang lebih besar (supra sistem).

60 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Komponen-komponen SPP terutama terdiri dan kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan , sedang
menurut Coffey (Mardjono Reksodiputro, 1993 : 25) masih
ditambah dengan komponen pembela atau penasehat hukum.
Secara parsial masing-masing komponen tersebut dapat
dipisahkan dengan jelas baik dari segi instansional, aparat,
fungsi, cara kerja, dan tujuannya.
Keterkaitan dan kesinambungan antar seluruh komponen
SPP yang membentuk jalinan kerja dalam rangka mencapai
tujuan sistem tersebut tidak sekedar seperti penjumlahan antar
komponen secara matematis, namun harus menghasilkan suatu
tujuan yang Iebih besar (semacam sinerji).
Pillai (Mordjono Reksodipuro, 1993:93) memberikan
penjelasan mengenai kata “an integrated’ dalam criminal justice
adininistration, bahwa penggabungan lebih besar antar berbagai
komponen SPP tidak dapat memberikan gambaran seluruh
sistem bekerja sebagai suatu unit atau departemen atau sebagai
seksi-seksi yang berbeda dan suatu pelayanan yang disamakan.
Menurut Pillai hal itu lebih baik disebut sebagai bekerja atas dasar
prinsip “satu dalam perbedaan” (unity in diversity) sebagaimana
analogi dalam bekerjanya sistem dalam angkatan bersenjata.
Menurut Pillai suatu angkatan bersenjata setidak-tidaknya
terdapat tiga macam pembagian angkatan yaitu angkatan
darat, udara dan laut, yang masing-masing dapat dipandang
sebagai sub sistem dan sistem angkatan bersenjata. Masing-
masing sub sistem mempunyal perbedaan baik dalam hal cara
rekruitmen personil, metode pelatihan, personil, metode bekerja,
dan bahkan tujuan masing-masing juga berbeda. Namun
demikian mereka mempunyal tujuan bersama yaitu melindungi
keamanan seluruh negara, apabila diperlukan mereka harus
bekerjasama tanpa kompromi dengan tidak melihat lagi peranan
individual masing-masing. Demikian juga halnya dengan SPP,
meskipun masing-masing subsistem mempunyai peran, cara
kerja, dan tujuan sendiri-sendiri, namun mereka harus sadar
bahwa secara keseluruhan mereka mempunyai tujuan bersama

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 61


yaitu memerangi kejahatan (the war against crime). (Mardjono
Reksodiputro, 1993: 93) .
Apabila diinginkan SPP dapat mencapai tujuan secara efektif
perlu dicegah terjadinya hambatan (fragmentasi). Efektivitas
SPP bisa terhambat jika masing-masing subsistem bekerja
sendiri-sendiri tanpa memperhatikan saling keterhubungan
(interrelationship) dengan keseluruhan subsistem, dalam hal ini
Coffey menyatakan sebagai berikut:
Criminal justice can function systematically only to the degrees thal
each segment of the system takes into account all other segments. In
order wods, the system is no more systematic than the relationships
between Police and Presecution, Police and Court, Presecution
and Correction, Correction and Law, and so forth. in the absence
of functional relationship between segments, the criminal justice
system is vulnerable to fragmentation in effectiveness. (Mardjono
Reksodiputro, 1993 : 82)
(Pengadilan pidana dapat berfungsi secara sistematis hanya
untuk tingkatan-tingkatan bahwa setiap segmen dan sistem
mempertimbangkan semua segmen lainnya. Dengan kata
lain, sistem itu tidak lebih sistematis daripada hubungan
antara polisi dan penganiayaan, polisi dan pengadilan,
penyiksaan dan perbaikan (koreksi), koreksi dan hukum,
dsb. Dengan ketidakadaan hubungan fungsional antara
segmen, sistem peradilan pidana rapuh pada keefektifan
bagian-bagiannya)

Untuk mengorganisaikan komponen-komponen SPP,


Coffey mengajukan gagasan sistem sebagai suatu sistem linear
yang terdiri dan tiga bagian penting yaitu masukan (input),
proses (process), dan keluaran (output). Konfigurasi tunggal dan
tiga bagian sistem linear tersebut digambarkan sebagai berikut:

Dengan mempergunakan perbedaan-perbedaan antara


bagian input, process, dan out put tersebut kita dapat melihat

62 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


SPP secara lebih sistematis. Bagian input SPP adalah bagian
pertama yang menyeleksi kamus-kamus pelanggaran hukum
yang menjadi bahan masukan SPP. Yang dapat dipakai sebagai
bahan masukan hanyalah sejumlah kejahatan yang dilaporkan/
tercatat (reported crimes) sebagai bagian SPP yang berhubungan
dengan korban, atau pelaku, atau bahkan keduanya. Sedang
untuk kejahatan yang tidak dilaporkan/ tersembunyi (unreported
crimes / hidden crimes) hanya menjadi perkiraan atau menjadi
dark number yang tidak dapat diseleksi sebagai bahan input.
(Mardjono Reksodiputro, 1993;85)
Untuk memahami pengertian peradilan dalam kerangka
sistem, analisis mengenai bagaimana seseorang menjadi pelanggar
hukum dalam konteks sistem, hal tersebut dikemukakan oleh La
Patra sebagai berikut:
When someone become a law violator, he may be considered to be
crossing the boundary between society and the criminal justice
system. After leaving the CJS, the individual teruns to society, if
he returns to the CJS at the later time, he is called a recidivist.
(Bila seseorang menjadi pelanggar hukum, dia dapat
dianggap melintasi batas antara masyarakat dan sistem
peradilan pidana. Setelah CJS, individu berpaling pada
masyarakat. Jika dikemudian kembali pada CJS, dia disebut
residivis).

Untuk memberikan gambaran pendekatan SPP sebagai


suatu proses rangkaian interaksi sebab akibat diberikan contoh
oleh Coffey sebagai berikut:
The interaction of an armed robber with the victim is the effect
of the robbery, but it is also the cause of another interaction with
police (hopefully), and with prosecution, corrections and so on. The
interaction of police with prosecution is siinilarly a variety of both
causes and effects, as are the interactions of corrections with courts
and police (Mardjono Reksodiputro, 1983: 85)
(lnteraksi perampok bersenjata dengan korban adalah efek
perampokan, tetapi juga penyebab interaksi lain dengan
polisi, dan dengan penuntutan, perbaikan, dsb. Interaksi
polisi dengan penuntutan sama dengan variasi sebab dan
akibat, demikian pun perbaikan (koreksi) dengan pengadilan
dan polisi).

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 63


Dalam kerangka pandangan Coffey tersebut dalam hal
SPP, maka fungsi-fungsi individual dari kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat/pengacara dan Lembaga Pemasyarakatan
idealnya dapat berfungsi sama dengan cara kerja system pemanas.
Meskipun tidak dapat disangkal bahwa sistematik cara kerja
SPP yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan,
sedang sistem pemanas hanya disebabkan oleh satu macam
kemungkinan yaitu tingkat suhu ruangan. Dengan kata lain
bahwa SPP harus bisa memberikan respon terhadap bermacam-
macam variabel, seperti variabel perubahan sosial, perubahan
peraturan perundang-undangan, dan perubahan ekonomi
yang secara langsung dapat mempengaruhi polisi, pengadilan,
penuntut umum, pembela, dan Lembaga Pemasyarakatan,
yang kesemuanya itu sebenarnya adalah sejumlah “thermostat”
(Mardjono Reksodiputro, 1993 : 87)

B. CRIME CONTROL MODEL (CCM) DAN DUE


PRO­CESS MODEL (DPM) DALAM PROSES PE­
RADILAN PIDANA (CRIMINAL JUSTICE SYSTEM)
Tujuan pemidanaan dapat dicapai melalui proses
pemidanaan dan mulai Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan sebagai pencegahan kasus terhadap
pelaku kejahatan. Proses adalah perjuangan pelaku kejahatan
dari awal sampai akhir, melalui proses-proses yang harus dilalui
sampai dijatuhkannya sanksi pidana.
Hal senada dikemukakan oleh Polak (Rush Effendy,
1986:110) bahwa tujuan pemidanaan adalah suatu pembalasan
yang tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang dan apa yang
telah dilakukannya.
Bagaimana proses itu dilaksanakan, Herbert Packer (1978:153)
mengetengahkan dua kerangka peinikiran yang dikembangkan
menjadi suatu model dan berlomba mendapat prioritas dalam
proses kriminal, yaitu Crime Control Model (CCM) dan Due
Process Model (DPM). Kedua model tersebut bukan merupakan
suatu realitas tetapi suatu cara untuk mengukur, bagaimana

64 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


suatu proses berjalan. Karena tidak ada suatu negara yang seratus
persen menjabarkan salah satu model apa sistem tersebut, bahkan
kedua model tersebut tidak dapat dipertentangkan atau dinilai
model mana yang lebih baik (is and ought) tetapi dapat dibedakan
dalam cara menilai proses kriminal.
CCM yang lebih represif dalam menanggulangi perilaku
jahal selalu cenderung ke arah mencapai angka penghukuman
yang tinggi, dan bersifat finalty, melalui Screening yang telah
dilakukan polisi dan jaksa sebagai indikator untuk menentukan
penilaian seorang tersangka/terdakwa bersalah atau tidak dalam
proses.
Terkait dengan hal tersebut di atas, lebih lanjut Herbert
Packer (1978: 157-158) menyatakan ciri-ciri model tersebut antara
lain adalah:
1. The Crime Control Model tends to the emphasize this adversary
aspect of the process. The Process Model tends to make it central;
(Model pengendalian kejahatan cenderung menekankan
aspek yang berlawanan dan proses itu. Model proses itu
cenderung menjadikannya pusat) .
2. The value system thal underlies the Crime Control Model is based
on the pmposition thal the repression ofcriminal conduct is byfar
the most important function to be performed bythe criminal process.
In order to achieve this high purpose, the Crime Control Model
requires thal primary attention be paid to the efficiency with which
the criminal process operates to screen suspect deterinine guilt
and secure appropriate dispositions of prison convicted of crime;
(Sistem nilal yang mendasari model pengendalian kejahatan
didasarkan pada proposisi bahwa repsesi perilaku kriminal
adalah fungsi yang paling penting dilakukan oleh proses
kriminal. Untuk mencapal tujuan yang tinggi ini, model
pengendalian kejahatan menuntut perhatian utama untuk
efisiensi yang dengannya proses kriminal beroperasi untuk
melindungi kesalahan tersangka dan mengamankan disposisi
yang cocok untuk penjara karena melakukan kejahatan).
3. The presumption of guilt, as it operates in the Crime Control Model,

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 65


is the operation expression of thal confidence. It would be a inistake to
think of the presumption of guilt as the opposite of the presumption
of innocence thal we are so used to thinking of as the polestar of the
criminal process and thal was we shall see, occupies an important
position in the Due Process Model; (Anggapan bersalah, seperti
yang berlaku pada Model Pengendalian Kejahatan, adalah
pernyataan perlakuan dan keyakinan itu. Adalah salah bila
anggapan bersalah itu sebagai lawan dan anggapan tidak
bersalah bahwa kita sangat terbiasa memikirkan sebagai
bintang kutub dan proses kriminal dan itu yang akan kita
lihal, menempati posisi penting pada Model Perlindungan
Hak).
4. If the Crime Control Model resembles an assembly line, the Due
Process Model looks very much like an obstacle course. (Jika
Model Pengendalian Kejahatan menyerupai sistem pekerjaan,
Model Perlindungan Hak kelihalannya persis sama dengan
rangkaian kesulitan yang harus dilewati).

Ada beberapa hal menarik tentang kedua model tersebut.


CCM mengutamakan efisiensi dalam pencegahan kejahatan.
Yang dimaksud dengan efisiensi disini ialah kemampuan pihak
yang berwenang untuk melakukan penahanan, pemidanaan,
dan pembinaan pelaku kejahatan yang diketahui melakukan
perbuatan melanggar hukum. Oleh karena CCM tersebut
mengutamakan efisiensi dalam pencegahan kejahatan, maka
model tersebut dinamakan juga assembly line conveyor belt atau
sistem “ban berjalan”. Dengan mengandalkan pada sistem “ban
berjalan” tersebut, tentu ada tindakan-tindakan yang dilakukan
tanpa dianalisis secara seksama, dan hal seperti itu akan
mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum.
Apabila sistem “ban berjalan” atau assembly line conveyor
belt dibandingkan dengan Pasal 17 Undang-UndangNo. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa
di Indonesia “sistem ban berjalan” tidak dianut, oleh karena
penangkapan bagi seorang hanya dimungkinkan apabila ada
dugaan keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

66 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


yang cukup.
Di dalam penjelasan Pasal 17 Undang-UndangNo. 8 Tahun
1981 ditentukan bahwa: “yang dimaksud bukti permulaan
yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya
tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14. Pasal ini
menunjukkan perintah penangkapan tidak dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang
betul-betul melakukan tindak Pidana.
Harus diakui bahwa dalam praktek seringkali terdapat
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum pada saat
petugas melakukan penangkapan, penahanan, dan penuntutan
terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Nampaknya pembentuk Undang-Undang sudah menyadari
sebelumnya, akan terjadi penyimpangan-penyimpangan
pada saat petugas melakukan penangkapan, penahanan, dan
penuntutan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak
pidana, sebab seseorang yang merasa dirugikan dalam masalah
penangkapan, penahanan, dan penuntutan dapat mengajukan
praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Undang-
Undang No. 8 1981 mengenai KUHAP.
Hyman Gross (1979 : 6-7) juga memberikan gambaran
mengenai sistem peradilan pidana, berdasarkan kenyataan
yang ada di masyarakat. Hyman Gross melihat sistem peradilan
pidana itu antara lain sebagai:
1. Criminal justice as Social Criticism; In any modem society criminal
justice has three stages In the first there is an accusation thal is
critical of some act by a person who is said to have thereby broken the
law. But the accusation itself must then be critically tested in order
to deterinine guilt or innocence, and this takes place in the second
stage. If the accusation survives the test and proves to be sound,
there is a third stage to allow for condemnation of was done through
punishment of the accused with critical activities are governed by
social rules of the highest authority the law it seems to speak of
criminal justice as social criticism.
(Peradilan Pidana sebagai Kritikan Sosial; pada masyarakat

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 67


modern peradilan pidana mempunyai tiga tahap. Pertama
ada tuduhan yang kritis bagi tindakan oleh seseorang yang
dikatakan telah melanggar hukum. Namun tuduhan itu
sendiri harus diuji secara kritis untuk menentukan bersalah
atau tidak bersalah, dan ini terjadi pada tahap kedua. Jika
tuduhan sesuai dengan pemeriksaan dan ternyata benar, ada
tahap ketiga yang mengisinkan penghukuman terhadap apa
yang telah dilakukan melalui hukuman orang yang tertuduh
dengan aktivitas kritis diatur oleh aturan-aturan sosial dan
penguasa tertinggi yakni hukum yang akan berbicara tentang
peradilan pidana sebagai kritikan sosial)
2. Criminal justice as moral criticism. Crime is morally wrong, and
punishment or it is morally right. (Peradilan pidana sebagai
kritikan moral. Kejahatan secara moral salah dan hukumannya
adalah benar secara moral).

Due Process Model lebih cenderung mengarah pada Adversary


System yang menganggap penjahal bukan sebagai objek. Proses
merupakan suatu arena rangkaian bagaimana dapat melakukan
penangkapan, penahanan, penuntutan dan mengadili serta
mempersalahkan pelaku kejahatan.
Melalui praduga tidak bersalah yang dianut oleh Due Process
Model, seseorang baru dapat dinyatakan bersalah oleh suatu
autoritas yang sah melalui peradilan. Karena itu semua usaha
polisi atau jaksa untuk dapat menghukum seorang terdakwa
hanya dapat dilakukan melalui proses kriminal di pengadilan.
Di dalam pelaksanaannya selalu timbul hambatan yang dapat
menggagalkan seluruh proses bahkan menyampingkan tujuan
pidana itu sendiri.
Pada prinsipnya DPM adalah suatu negative model, sedangkan
CCM adalah suatu affirmative model. Dengan negative model
dimaksudkan bahwa DPM menegaskan perlunya pembatasan
atas kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan oleh aparat
penegak hukum. Dengan affirmative model dimaksudkan bahwa
crime control model menekankan pada eksistensi kekuasaan dan
penggunaan kekuasaan secara maksimal oleh aparat penegak

68 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


hukum. Dan hal tersebut di atas dapat dikatakan CCM lebih
menekankan kepada penanggulangan (pengawasan) kejahatan,
sedangkan DPM lebih menekankan kepada penegakan
hukumnya.

Ada dua sudut pandang dalam penyelesaian perkara pidana


di Amenika dalam prosesnya (Inilano, 2004: 119 — 120) yaitu:
1. CCM yang Iebih menekankan kepada penanggulangan/
pengawasan kejahatan. Karakteristik atau ciri sfat yang
menonjol adalah efisiensi, yang dapat didambakan
karena yang ingin dicapai adalah penanggulangan. Dapat
dipastikan sekali masuk kepolisian akan sampai ke Lembaga
Pemasyarakatan. Semakin banyak perkara yang masuk dan
dapat diselesaikan sudah merupakan sukses.
2. DPM sebenarnya mengandung arti suatu proses yang adil,
artinya hak-hak asasi manusia nampak menonjol. Meskipun
demikian CCM maupun DPM keduanya pada dasarnya ingin
menanggulangi kejahatan tetapi pada DPM kepentingan
tersangka terdakwa jauh lebih diperhalikan dan pada CCM.
Perlindungan terhadap individu (protection of the individual)
Iebih diperhalikan, yang dalam CCM tidak demikian. Dalam
CCM diharapkan pada waktu yang singkat dapat mencapai
hasil yang diharapkan.

Tinjauan CCM dalam proses kriminal polisi dapat


melakukan penangkapan bila ada dugaan keras (seseorang)
melakukan kejahatan. Orang yang ditangkap boleh dibawa ke
kantor polisi. Karena dapat diduga orang yang bersangkutan
telah melakukan tindak pidana. Pandangan DPM tidak semata-
mata boleh menangkap orang kecuali ada alasan-alasan yang
sangat kuat, karena dianggap melanggar hak asasi seseorang dan
kemungkinan untuk menghindari tindakan polisi yang salah/
ilegal tanpa bukti-bukti yang sah. CCM maupun DPM meiniliki
sistem yang berbeda terhadap pernyataan kasus pidana, di mana
pada:

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 69


a. Crime Control Model:
b. Harus dapat diinterogasi pribadi tersangka sebelum
timbul masalah untuk tidak mau bekerja sama, karena
kerjasama dan tersangka sangat diharapkan. Untuk
adanya kerja sama dan tersangka harus segera diperiksa
setelah tertangkap.
c. Penahanan luar harus dihindari sehingga tersangka harus
diasingkan dan teman-temannya atau keluarganya.
d. Berat ringannya kejahatan merupakan faktor yang
menentukan sampai berapa lama seseorang dapat ditahan.
e. Tersangka/ terdakwa tidak dapat diasingkan dari hal-hal
kewajaran. Keluarganya harus diberitahu, tetapi dilarang
berdiam dengan keluarganya karena dianggap akan
mempersulit.
f. Tujuan pemeriksaan untuk mendapatkan kebenaran
materil, sehingga dituntut profesionalisme polisi. (Inilono,
2004:124)

b. Due Process Model


a. Jika syarat penangkapan dilaksanakan secara tepat dan
baik, maka tidak perlu mencari keterangan dan tersangka/
terdakwa;
b. Tersangka/ terdakwa harus segera disidangkan.
c. Setiap orang yang ditangkap/ ditahan berhak menguji
kesalahan penangkapannya.
d. Tersangka/ terdakwa berhak mendapat bantuan hukum.
e. Tidak dibenarkan menahan seseorang hanya untuk tujuan
interogasi, dan tidak bisa terus dibawa ke pengadilan jika
belum memenuhi syarat formalitas yang utama. (Inilono,
2004: 125)

Salah satu hal yang menonjol dalam DPM adalah menjunjung


tinggi masalah Presumption of Innocence (praduga tidak bersalah),
sedangkan praduga bersalah (Presumption of guilt) berkaitan

70 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


dengan jalan yang mengutamakan efisiensi seperti apa yang
dikehendaki oleh CCM.
Paul Weston dan Kenneth Wells (1972:89) menyatakan
sebagai dasar bagi polisi untuk melakukan penangkapan ada
dua cara:
1. Broad Powers (kekuatan diperbesar), wewenangnya
diperbesar.Metode ini sering juga disebut metode Iangsung
(direct method)
2. Broad Definitions (Scope yang diperluas), disebut indirect method
yaitu dengan memperluas perbuatan-perbuatan yang dapat
dilakukan penangkapan berdasarkan Undang-Undang.

Menurut Weston (1972:39-40) di Amerika Serikat menganut


sistem terbuka, sehingga pada umumnya polisi yang melakukan
penyidikan, kecuali dalam hal-hal tertentu public attorney dapat
terjun langsung dalam penyidikan perkara. Hal ini dapat
disimpulkan tulisan Weston sebagai berikut:
“The prosecuting attorney is the key law enforcement, offices in
the particular area over which he has jurisdiction. In this area the
potentialities of the office are liinited only by intelligence, skill, and
legal and political capacity of the incumbent. In the forinidable list
of duties often assigned to this public official, the interest, of the
state is almost entirely in his hand. He is a guasi judicial offices
who deterinines from his own investigation, or evidence sunnitted
to him bypolice or other whether a criminal offence has been
coininited.
(Jaksa penuntut adalah kunci penegakan hukum, kantor-
kantor di daerah tertentu yang menjadi kekuasaannya. Di
daerah ini potensialitas kantor terbatas oleh intelegensia,
keterampilan dan hukum serta kemampuan politik dan
penguasa sekarang. Dalam daftar tugas yang sulit sering
ditugaskan pada pejabat publik, kepentingan negara
hampir seluruhnya ada pada kekuasaannya. Dia adalah
pejabat hukum yang menyamar yang menentukan dan
penyelidikannya sendiri, atau bukti baginya oleh polisi atau
apakah tuduhan kriminal telah dilakukan).

Dalam hal ini, Herbert Packer (1978 : 79) mencoba untuk


mengambil abstraksi dan kenyataan berjalannya peradilan
pidana di Amerika Serikat yang menganut model adversary,

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 71


dan kemudian menciptakan dua model (kerangka pikiran) yang
kemudian dikembangkan menjadi teori. Kedua model yang
dimaksudkan tersebut adalah CCM dan DPM. Menurut Packer
kedua model tersebut saling berkompetisi (berlomba) untuk
mendapatkan prioritas dalam pelaksanaan proses pidana.
Sebenarnya selain kedua model yang dikemukakan Herbert
Packer tersebut masih ada satu model lagi yang dikemukakan
oleh John Griffith (1970 372) sebagai suatu pandangan yang
mengkritik CCM dan DPM yang ada dalam sistem adversary.
Model ketiga yang dimaksud dinamakan sebagai The Family
Model. Selain itu, sebenarnya Roeslan Saleh (1983 : 15) juga
mengemukakan mengenai dua macam model peradilan pidana
yang dinamakannya sebagai Model Yuridis dan Model Kemudi
atau stuurmodel

c. Persamaan Crime Controll Model dan Due Process Model


1. Persamaan CCM dan DPM
a) Kedua model tersebut sebenarnya sama-sama
mendasarkan pada asas due process of law (proses
peradilan yang adil), yang meletakkan individu
sederajat dengan aparat penegak hukum.
b) Bahwa kedua model tersebut sama-sama mendasarkan
pada prinsip legalitas, dalam arti memisahkan perilaku
kriminal (criminal conduct) dan proses criminal. Oleh
karena itu sebelum proses kriminal diterapkan terlebih
dahulu harus ada perilaku yang berdasarkan suatu
peraturan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya
dinyatakan sebagai perilaku kriminal,
c) Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan
ataupun penyalahgunaan kekuasaan, kedua model
tersebut menganggap penting adanya limits of power,
batas-batas kekuasaan yang dimaksudkan untuk
membatasi kekuasaan aparat penegak hukum dalam
tindakan kriminal.
d) Kedua model tersebut sebenarnya bekerja dalam sistem

72 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


peradilan pidana yang sama yaitu berdasarkan sistem
adversary.

d. Karakteristik Pembeda CCM dan DPM


Tentu saja kedua model tersebut mempunyai karakteristik
yang dapat membedakan ciri-ciri di antara kedua model
tersebut. Menurut Herbert Packer, (1978 : 174) nilai dasar CCM
adalah. affirmative model yang cenderung untuk memperluas atau
memperbesar kewenangan, sedang DPM merupakan negative
model yang cenderung untuk selalu mempertanyakan apakah
kita (petugas penegak hukum) mempunyai kewenangan untuk
melakukan tindakan tertentu. Berikut ini akan diuraikan secara
singkat seberapa karakter pembeda di antara kedua model
tersebut.

Karakteristik CCM
Dalam CCM terdapat anggapan bahwa penanggulangan
kejahatan merupakan hal yang paling didambakan masyarakat,
oleh karena itu diperlukan suatu represi terhadap perilaku
kriminal. Menurut anggapan ini gagalnya penegak hukum
mengatasi kejahatan dapat meruntuhkan tertib masyarakat
(public order) dan menjurus kepada hilangnya kemerdekaan
sosial (social freedom). Oleh karena itu CCM menganggap proses
kriminal jaminan atas social freedom yang positif.(Herbert Packer,
1978: 176)
Berdasarkan anggapan tersebut di atas terdapat suatu
konsekuensi harus adanya efisiensi dan efektivitas dalam proses
kriminal. Kemampuan aparat penegak hukum untuk melakukan
penangkapan, penahanan, dan menjatuhkan hukuman
kepada pelaku kejahatan dipakai sebagai ukuran keberhasilan.
Sehubungan dengan itu aparat penegak hukum harus diberi
kepercayaan yang besar sesuai dengan profesionalismenya.
Profesionalisme merupakan tuntutan utama bagi aparat
penegak hukum dalam tahap pendahuluan untuk menghindari
kemungkinan kesalahan selama mereka bertindak dalam proses

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 73


kriminal. Menurut Scholnick (Roeslan Saleh, 1983: 20) seorang
polisi dipandang sebagai seorang pematung atau pemahal
(craftsman) dibandingkan sebagai seorang legal actor, sehingga
meskipun dalam melaksanakan tugasnya dapat terjadi suatu
kesalahan namun hal itu jarang sekali, seorang pematung
professional tidak pemah melakukan kesalahan dalam
melaksanakan pekerjaannya.

Karakteristik DPM
Sebagaimana CCM, sebenarnya DPM tidak menolak tindakan
represi terhadap pelaku kriminal, hanya saja mempunyal prioritas
yang caranya berbeda. Asas due process of law lebih berakar dalam
DPM, hal ini dapat dilihat dan adanya struktur formal peraturan
perundang-undangan atau hukum untuk melaksanakan due
process of law, sehingga dengan demiikian kita lebih mudah
membayangkan bahwa DPM merupakan suatu obstacle course
yaitu suatu jalan yang banyak hambatan yang berfungsi untuk
mengontrol cocok tidaknya tindakan yang dilakukan aparat
penegak hukum menurut peraturan hukum yang ada.
DPM menyerang praktek-praktek proses kriminal yang
dilakukan berdasarkan cara-cara seperti dalam CCM. Dalam hal
ini DPM melihat adanya kemungkinan kesalahan (possibility error)
seperti terjadinya salah tangkap, salah menahan, pemaksaanp
emaksaan dalam memperoleh pengakuan di tingkat penyidikan
dan lain sebagainya yang banyak terjadi dalam praktek
pelaksanaan proses kriminal berdasarkan CCM.
Karena itu DPM Iebih mempercayai proses ajudikasi atau
proses persidangan dalam melaksanakan proses kriminal. Namun
demikian pada akhirnya tingkat kemampuan penanganan
perkara dalam DPM menjadi rendah karena terlalu banyaknya
hambatan yang memaksa penegak hukum untuk berhali-hali
dan menaatinya. Namun demikian hal ini tidak menjadi masalah
karena DPM tidak menuntut adanya kecepatan dan ketuntasan
dalam proses kriminal sebagaimana halnya pada CCM, yang
lebih penting adalah bagaimana suatu proses kriminal dapat

74 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


dilakukan sesuai dengan rambu-rambu yang diperbolehkan
menurut peraturan yang ada.

e. Family Model
Menurut Griffith (1980:70) kedua model peradilan pidana
yang dikemukakanoleh Herbert Packer sebenarnya sama-sama
berada dalam kerangka sistem adversary, atau yang menurut
julukan yang diberikan oleh Griffith dinamakan sebagai model
peperangan (battle model).
Model peperangan memandang proses kriminal sebagai
suatu konnik atau pertentangan kepentingan yang tidak dapat
dipertemukan (irreconciliable disharmony of interest) antara
individu (pelaku kejahatan) di satu sisi yang berhadapan dengan
negara (yang diwakili oleh aparat penegak hukum polisi dan
jaksa penuntut umum) pada sisi yang lain. Dalam hal ini pelaku
kejahatan dipandang sebagai musuh masyarakat (enemy of
society) yang harus disingkirkan sehingga tidak mengherankan
apabila tujuan utama proses kriminal adalah mengasingkan
atau menyingkirkan pelaku kejahatan dan masyarakatnya (exile
function of punishment). (Griffith, 1980 71-72).
Karena titik tolak ideologis dan Family model adalah cinta
kasih antar sesama, konsep pemidanaan yang ditonjolkan bukan
dalam kerangka untuk mengasingkan atau menyingkirkan
pelaku, menurut konsep ini pelaku kejahatan pun diberi
perlakuan dengan penuh kasih sayang. Dalam gambar Family
model pelaku kejahatan diumpamakan seperti anak dalam
keluarga yang melakukan kesalahan, Ia dapat diberi sanksi tanpa
diasingkan dari masyarakatnya, karena dalam kerangka kasih
sayang ia masih dianggap sebagai bagian dan keluarga.

f. Model Yuridis dan Model Kemudi


Secara garis besar menurut Roeslan Saleh terdapat tiga
macam model peradilan pidana yaitu model yuridis, model
kemudi (stuurmode!), dan model alternatif.
Model yuridis mengandung pandangan yang idealistis

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 75


mengenai hukum pidana, yang dijadikan sebagai dasar dan
model ini. Hal ini tersimpul dari pandangan idealistisnya bahwa
badan-badan yang bertugas dalam bidang peradilan pidana
harus berusaha memperjuangkan tercapainya keadilan, menurut
pandangan ini Hakim hanya pengabdi belaka dan Dewi Keadilan.
Menurut pandangan model ini, instansi keHakiman diberi posisi
khusus, yang mengambil sebagain dan kedaulatan negara yang
ada, dan kekuasaan yang secara fungsional ada pada instansi
keHakiman terlepas dan kekuasaan-kekuasaan lain yang ada
dalam negara.
Menurut model yuridis acara pidana diberi tugas untuk
mewujudkan hukum pidana materiil. Dalam hal ini Undang-
Undang diberi peranan yang fundamental. Kekuasaan dan
wibawa undang harus diusahakan selalu diperbesar. Hubungan
antara hukum pidana materiil dengan acara pidana seperti
itu mengakibatkan bahwa hal menetapkan hukum berarti
menetapkan undang-undang, atau dengan istilah lain bahwa
uraian dalam Undang-Undangharus bereneksi melalui kata-kata
Hakim. Seluruh tindakan peradilan harus bertujuan untuk itu.
Petugas keHakiman selain Hakim hanyalah sebagai pembantu
Hakim, karena hanyalah Hakim yang boleh menjatuhkan
hukuman dalam arti yang sesungguhnya.
Stuurmodel, yaitu model kemudi, justru memberikan
penekanan kepada kegunaan sosial, tertib sosial, dan menegakkan
hukum sebagai fungsi dan tertib sosial, dalam hal ini diantara
badan-badan keHakiman ada kesamaan yang prinsipiil.
Model ini terlihal dinainis dan terbuka bagi kenyataan sosial.
Bandingkan dengan model yuridis yang memberikan penekanan
pada masalah keadilan, Undang-Undangdan Hakim sebagai
puncak dan hirarki badan-badan keHakiman, dan putusan
Hakim sebagai faktor penentu dalam penegakan hukum, yang
dengan demikian bersifat statis normative dengan sistemnya yaitu
tertutup.
Model kemudi terlihal mempunyai ciri-ciri yang berbeda
dengan model yuridis. Model kemudi berorientasi pada ilmu

76 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


pengetahuan tentang kelakuan manusia, khususnya sosiologi.
Dalam pandangan ini hukum tidaklah sesuatu yang berada
di atas kehidupan bermasyarakat, tetapi merupakan bagian
dan kehidupan bermasyarakat. Atau dengan kata lain hukum
bukanlah untuk kenyataan hidup melainkan adalah sebagai
bagian dari kenyataan hidup. Hukum bahkan terjadi karena aksi
dan interaksi dalam hidup bermasyarakat itu sendiri.
Salah satu kritik model kemudi terhadap model yuridis
adalah meskipun model yuridis meletakkan dasar pandangannya
pada sifat idealistis hukum pidana, namun yang terlihal adalah
bahwa sifat idealistis dan hukum pidana justru kurang mendapat
perhatian, karena yang mendapat perhatian lebih hanyalah
fungsi dan peradilan pidana itu sendiri.
Dengan adanya pembaharuan hukum acara pidana
di Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981, yaitu dengan
diberlakukannya Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah
terjadi beberapa perubahan jika dibandingkan dengan hukum
acara pidana lama yang digantikannya yaitu Ilet Herziene Inlands
Reglemen (HIR).
Komponen-komponen utama (sub-sub sistem utama)
pendukung Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia terdiri
dan lima (lima) macam komponen/ subsistem yaitu kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan advokat.
Apabila dilihat secara parsial, komponen-komponen
pendukung SPP tersebut masing-masing mempunyal tingkat
otonoini yang tinggi, sehingga dapat menimbulkan kesan
bahwa masing-masing komponen terpisah antara satu dengan
yang lainnya. Hal ini terjadi tidak saja karena masing-masing
komponen diatur dengan peraturan perundang-undangan
tersendiri, namun Iebih dari itu mereka masing-masing
mempunyai mekanisme, cara kerja, dan tata organisasi yang
terpisah dengan kewenangan dan kekuasan masing-masing.
Dalam kerangka sistem pembagian komponen-komponen
dalam SPP tidak dapat hanya dipandang secara parsial, karena

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 77


seluruh komponen harus saling mendukung dan bekerja sama
dalam satu kesatuan dan keterpaduan, untuk mencapai tujuan
sistem secara keseluruhan, bukan sekedar mencapai tujuan dan
masing-masing komponen itu sendiri.

C. PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SEBA­


GAI PERWUJUDAN PRINSIP PROSES HUKUM
YANG ADIL
Sebagaimana diketahui bahwa motivasi utama dari
pembentukan KUHAP No. 8 Tahun 1981 adalah untuk
menampung cita-cita ataupun ide perlindungan hak-hak asasi
dan harkat martabat manusia. Dalam penjelasan umum KUHAP
No. 8 Tahun 1981 dikemukakan bahwa hukum acara pidana
dalam Reglement Indonesia yang diperbaharui atau HIR yang
berlaku berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-UndangDarurat No.
1 Drt. Tahun 1951 belum memberikan jaminan dan perlindungan
terhadap harkat martabat manusia sebagaimana wajarnya
dimiliki oleh suatu negara hukum.
Mengapa seorang yang bersalah masih perlu dihormati hak
asasinya sebagai manusia? Dalam konteks ini menarik sekali
ucapan Montesquieu (Mardjono Reksodipuro, 1993:15) yang
menyatakan bahwa “apabila warga negara tidak mempunyai
perlindungan untuk membela diri dalam kesalahannya, maka dia
tidak mempunyai perlindungan pula dalam mempertahankan
kemerdekaannya.”
Salah satu bentuk perlindungan yang sangat penting dalam
negara hukum adalah perlindungan hukum. Tetapi berbicara
tidak semudah pelaksanaannya. Sahetapy (1984:7) dalam tulisan
mengatakan “bahwa berbicara tentang hukum rasanya tidaklah
begitu sulit, bertindak dengan hukum acapkali tidaklah muda.
Tetapi paling sulit ialah menapik hukum yang tidak benar yang
tidak adil, yang sewenang-wenang”.
Manusia sebagai hamba Tuhan juga sebagai mahluk yang
sama derajatnya dengan manusia lain, harus ditempatkan
pada keluhuruan harkat dan martabatnya sebagai mahiuk

78 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Tuhan. Setiap manusia yang jahal sekalipun mempunyai hali
dan perasaan baik, dan ini merupakan anugerah yang besar
sekali bagi manusia. Bagi bangsa Indonesia hal ini merupakan
perjanjian luhur sebagaimana dicantumkan dalam dasar negara
Pancasila kedua yakni “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Di atas landasan persamaan derajat, hak dan kewajiban itulah
diperlukan adanya pembinaan sikap aparat penegak hukum
agar bersikap manusiawi dalam memperlakukan tersangka/
terdakwa meskipun yang dihadapi oleh aparat penegak hukum
itu seorang tersangka, namun mereka sebagai manusia yang
meiniliki harkat kemanusiaan, tidak boleh diperlakukan dengan
sikap dan cara semena-mena.
Hak-hak asasi adalah hak-hak yang diakui sebagai hak-
hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodratnya.
Tiadanya hak sertamerta akan menyebabkan manusia tak akan
mungkin dapat dalam harkat martabatnya sebagai manusia.
Salah satu hak yang dipandang sangat asasi adalah hak untuk
berkebebasan. Tanpa akan kebebasan manusia tidak akan dapat
mengembangkan potensi dirinya secara wajar sebagai manusia
dalam kualitasnya yang utuh.
Apabila bertolak dan tingkat kriminalitas saat ini yang
tergambar dalam “crime index” terlihal bahwa pencurian dengan
kekerasan, pencurian dengan pemberatan, pencurian kendaraan
bermotor masih menempati tingkat teratas di Indonesia.
Sementara itu masih banyak jenis kejahatan lain terutama
yang bersifat “white collar crime” belum mendapat perhatian yang
serius, statistic criminal , hanya menggambarkan kejahatan dan
kelompok lemah (khususnya ekonomi lemah) dalam masyarakat.
Dalam kesadaran seperti itu, maka sistem peradilan pidana
harus lebih toleran kepada pelaku-pelaku kejahatan yang masuk
dalam sistem ini. Sikap toleran ini didasarkan pada kenyataan
serta pemahaman bahwa kejahatan-kejahatan yang Iebih serius,
Iebih besar, tidak dapat terjaring oleh sistem ini, iniisalnya “illegal
corporate behavior” maupun “white collar clime”.
Bila aparat penegak hukum menyadari dan menjiwai ini,

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 79


setidaknya mereka akan bersikap Iebih selektif, mengayomi
dalam menghadapi sebagain besar pelaku tindak pidana.
Tindakan emosional, berorientasi pada target semata, ataupun
untuk mendapatkan tujuan-tujuan non hukum serta tidak
manusiawi dapat ditekan seminimal mungkin. Titik sentral
dalam memeriksa dan menyelesaikan suatu kasus pidana adalah
pemahaman atas manusia dan kemanusiaan. Walaupun tindakan
penegakan hukum untuk mempertahankan dan memperlindungi
kepentingan masyarakat, penegakan hukum tidak boleh sampai
mengorbankan hak asasi dan martabat tersangka. Atau juga
sebaliknya demi untuk memperlindungi dan menjunjung harkat
dan martabat individu tidak boleh dikorbankan kepentingan
masyarakat. Harus mampu meletakkan antara kedua kepentingan
yang harus dilindungi oleh hukum tersebut sama-sama tidak
boleh dikorbankan.
Menurut Marc Ancel (Muladi, 1992:55), di samping
pendekatan rasional, kejahatan harus didekati dengan pende­
katan humanistis karena kejahatan juga merupakan masalah
kemanusiaan dan masalah sosial.
Pendekatan humanistis dalam proses peradilan pidana tidak
hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar
harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab
tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar
akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup
bermasyarakat. Oleh karena itu pemidanaan termasuk dalam hal
ini proses pemidanaan itu selayaknya berfungsi sebagai proses
pembinaan, yakni pembangkitan kesadaran si pelanggar akan
nilai kemanusiaan dan nilal pergaulan hidup kemasyarakatan
yang baik.
Dengan perkataan lain KUHAP merupakan prosedur untuk
meningkatkan dan melindungi hak asasi manusia khususnya
hak untuk diadili menurut proses hukum yang adil. Hal ini perlu
dipahaini dan ditafsirkan secara konkrit dalam proses peradilan
pidana oleh para aparat penegak hukum terutama dalam
melakukan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan.

80 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Tetapi dalam batang tubuh KUHAP itu sendiri tidak ada pasal-
pasal yang menyinggung tentang proses hukum yang adil,
HAM, pembinaan tersangka atau terdakwa maupun terpidana.
Untuk itu harus dilihat sikap batin atau jiwa dan KUHAP itu
sendiri sebagaimana ditegaskan dalam asas-asas penegakan
hukum dalam penjelasan umum KUHAP. Pelaksanaan proses
hukum yang adil di Indonesia berarti melaksanakan ketentuan
dalam peraturan perundang undangan hukum acara pidana
yang dijiwai oleh asas-asas yang melandasinya sebagaimana di
tentukan dalam penjelasan umum KUHAP.
Dengan prinsip proses hukum yang adil di harapkan dapat
dibangun keseimbangan antara penegak hukum yang efektif
dan efisien, dengan upaya perlindungan HAM sesuai dengan
harkat martabatnya. Keseimbangan ini dapat menjadi benteng
pertahanan yang kuat untuk melindungi hak-hak masyarakat
dalam rangka mengembangkan potensi sosial dan ekonomi
mereka.
Selanjutnya setiap tindakan upaya paksa penahanan
tidak hanya sekedar pelaksanaan rutinitas berlaku melainkan
sebagai pengayoman terhadap warga negara yang berarti harus
mengandung prinsip-prinsip pendidikan dan pembinaan. Dalam
konteks kebijakan kriminal tindakan yang sewenang-wenang
dan tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Undang-
Undang membawa konsekuensi tidak terpenuhinya tujuan
pemidanaan. Hal itu berarti tidak tercapainya salah satu tujuan
nasional sebab tujuan pemidanaan merupakan bagian dan tujuan
sosial Iebih luas.
Terdapat sepuluh asas yang melindungi hak warga negara
dan diberlakukannya proses hukum yang adil dalam KUHAP
yaitu:
1) Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi
apapun .
2) Praduga tak bersalah .
3) Pelanggaran atas hak-hak individu warga negara (dalam hal
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan)

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 81


harus didasarkan pada Undang-Undang dan dilakukan
dengan surat perintah.
4) Seorang tersangka berhak diberitahu tentang persangkaan
dan pendakwaan terhadapnya.
5) Seseorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat
penasehat hukum.
6) Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan.
7) Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan cepat serta
sederhana .
8) Peradilan harus terbuka untuk umum.
9) Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi
(ganti rugi) dan rehabilitasi serta .
10) Adalah kewajiban pengadilan untuk mengendalikan
pelaksanaan putusan-putusannya.

Menurut Mardjono Reksodiputro (1994:42) bahwa kesepuluh


asas tersebut telah dapat memenuhi asas minimal yang dituntut
oleh “due process of law”, yaitu hearing, cousel, defense, evidence and
a fair and impartial court.
Prinsip proses hukum yang adil tidak hanya sekedar untuk
melindungi sebagai suatu keadaan yang hendak diwujudkan
dalam pelaksanaan hukum pidana, untuk menciptakan kondisi
lingkungan sosial yang kondusif dalam pencapaian tujuan
pemidanaan.
Ketiadaan konsistensi antara isi Undang-Undang dengan
kenyataan merupakan faktor kriininogen. Sehubungan dengan
hal ini Sahetapy (1 984:12) menulis bahwa salah satu faktor
timbulnya kejahatan adalah pelaksanaan Undang-Undang
yang tidak konsekuen dan sikap atau tindak tanduk dan para
penegak hukum. Ini berarti kenyataan sosial yang dihadapi para
tersangka atau terdakwa di mana terjadi diskrepansi yang besar
antara yang seharusnya dengan yang dialaminya dalam proses
peradilan pidana, dapat menjadi faktor kriininogen.
Penerapan prinsip proses hukum yang adil adalah suatu

82 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


kebutuhan dan bukan sekedar penerapan aturan-aturan hukum
acara pidana kepada tersangka atau terdakwa. Arti dan “due
process of law’ adalah Iebih luas dan sekedar penerapan hukum
atau peraturan perundang-undangan secara formal. Pemahaman
tentang proses hukum yang adil mengandung pula sikap
batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga
masyarakat, meskipun Ia menjadi pelaku kejahatan.
Bila sikap batin ini telah mengejawantah dalam proses
peradilan pidana sehari-hari, maka proses pembinaan tersangka
pelaku tindak pidana telah berlangsung sejak dini. Hal itu
berarti proses peradilan pidana sejak pemeriksaan pendahuluan
merupakan proses terapeutik bagi pembinaan diri pribadi
tersangka.

D. PERLINDUNGAN TERHADAP HAK YURIDIS


TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM
PROSES PERADILAN PIDANA
Gerakan atau aktivitas aparat penegak hukum dapat dimulai
karena adanya bahan masukan perkara yang berupa laporan,
pengaduan, atau pun karena sebab-sebab yang lain seperti hasil
pengamatan atau pengetahuan aparat sendiri melalui proses
penyelidikan dan lain sebagainya.
Untuk menyelesaikan perkara pidana yang masuk ke dalam
sistem peradilan pidana diperlukan waktu yang lamanya (cepat
atau lambatnya) sangat relative sehingga tidak bisa ditentukan
secara pasti. Sebagaimana dikemukakan Frank dan Gallati
(Mardjono Reksodiputro, 1993 : 29), bahwa waktu kejahatan
dilakukan sampai pelakunya dapat diidentifikasi, mungkin
terdapat jarak waktu dan hitungan detik hingga tahunan,
demikian juga dalam berbagai bentuk tindakan proses yang
lain Misalnya seperti penangkapan, penahanan, persidangan
dan lain sebagainya. Dengan kata lain, cepat atau lambatnya
proses peradilan dipengaruhi oleh berbagai sebab seperti jenis
pelanggaran hukum pidana yang terjadi, serta situasi, dan
kondisi lainnya yang mengelilinginya.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 83


Dalam proses pemeriksaan pada tahap pendahuluan saja,
khususnya di tingkat penyidikan, seringkali ditemui keadaan
atau situasi dan yang paling ringan hingga yang paling berat,
yang pada akhirnya dapat mempengaruhi cepat lambatnya
penyelesaian/ perkara sebagaimana yang dapat diilustrasikan
berikut ini.
Isu sentral masalah penegakan hukum pidana di Indonesia
sejak zaman penjajahan, baik semasa berlakunya IR hingga HIR
hingga masa sesudah kemerdekaan yang masih memberlakukan
HIR sebagai peraturan hukum acara pidana adalah kurang
baiknya hukum acara pidana mengatur pemberian jaminan
perlindungan terhadap harkat dan martabat umat manusia
terutama bagi mereka yang terlibat sebagai pihak tersangka
atau terdakwa. Dengan kata lain hukum acara pidana terlalu
berorientasi kepada pemberian kewenangan aparat penegak
hukum sehingga mengesampingkan perlunya perlindungan
hukum terhadap pihak tersangka dan terdakwa.
Munculnya KUHAP sebagai hukum acara pidana untuk
menggantikan HIR dilatarbelakangi oleh isu sentral mengenai
wawasan perlindungan HAM untuk mengimbangi kewenangan
besar yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.
Mengingat masalah perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia bersifat universal, karena itu sudah sewajarnya bilamana
dinyatakan bahwa deklarasi-deklarasi atau konvensi-konvensi
internasional seperti Universal declaration of Human Rights yang
diterima dan disahkan oleh Sidang Umum PBB 10 Desember
1948, serta The International Covenant on Civil and Political Rights
beserta Optional Protocolnya yang diterima dan disahkan pada
Sidang Umum PBB 16 Desember 1966 dapat digunakan untuk
mengukur nilai muatan jaminan hak asasi manusia yang terdapat
dalam hukum acara pidana di Indonesia.
Pembahasan mengenai suatu pengaturan hukum acara
pidana yang mencrerininkan wawasan tentang HAM setidak-
tidaknya meliputi beberapa aspek jaminan mengenai hak yuridis
tersangka dan terdakwa beserta asas-asas pokok yang mendasari

84 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


pelaksanaan dan jaminan atas hak yuridis tersebut. Hal itu secara
terperinci dikemukakan sebagai berikut:
Jaminan Hak Yuridis tersangka dan Terdakwa meliputi:
(1) Adanya jaminan dalam penangkapan dan penahanan;
(2) Adanya perlindungan terhadap pengakuan yang dipaksa;
(3) Adanya hak untuk mendapatkan bantuan hukum;
(4) Adanya hak untuk segera didengar keterangannya setelah di
tangkap;
(5) Adanya hak untuk menangguhkan penahanan;
(6) Adanya hak untuk mendapatkan keterangan yang Iengkap
apabila ada pengaduan atau laporan;
(7) Adanya hak untuk disidangkan perkaranya;
(8) Adanya hak sesuai dengan Pasal 1 KUHP;
(9) Adanya hak untuk mendapatkan suatu peradilan yang cepat
dan terbuka;
(10)Adanya hak untuk melawan saksi-saksi jaksa/penuntut
umum;
(11) Adanya hak untuk mengajukan saksi-saksi sendiri;
(12) Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan
diri sendiri serta hak untuk berdiam diri (right to remain silent);
(13) Hak untuk mendapatkan perlindungan’ terhadap
diajukannya bukti-bukti yang tidak sah;
(14) Hak perlindungan terhadap Pasal 76 KUHP yaitu asas ne bis
in idem;
(15) Hak untuk melawan penahanan atas dirinya (habeas corpus);
(16) Hak perlindungan terhadap pemidanaan yang kejam;

Asas-asas Pokoknya adalah:


(1) Persamaan di muka hukum (equality before the law);
(2) Praduga tak bersalah (presumption of innocence);
(3) Keterbukaan peradilan dalam setiap tingkatan (open-baarheid)

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 85


dan
(4) Peradilan yang adil dan tidak memihak (just and fair trial).

Beberapa perubahan penting yang terdapat dalam KUHAP


dalam rangka penyelarasan tujuan KUHAP untuk Iebih
memperhatikan perlindungan hak Si manusia yang pada masa
berlakunya HIR. belum mendapatkan porsi pengaturan adalah:
(1) Hak-hak tersangka dan terdakwa;
(2) Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan;
(3) Ketentuan yang ketat mengenai dasar hukum dan prosedur
upaya paksa yang ketat;
4) Ganti kerugian dan rehabilitasi;
(5) Penggabungan perkara perdata pada perkara pidana untuk
memeriksa gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh
korban;
(6) Pengaturan mengenai masalah upaya
(7) Pemeriksaan koneksitas;
(8) Pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan Hakim
pengadilan; dan
(9) Praperadilan.

Semua hal mengenai jaminan yuridis terhadap hak-hak


tersangka beserta dengan asas-asas pokok untuk mencapai tujuan
hukum acara pidana yang berwawasan HAM sebagaimana yang
telah dipaparkan tersebut merupakan gambaran dan suatu istilah
yang dikenal sebagai due process of law atau dapat diterjemahkan
sebagai proses hukum I peradilan yang adil, sebagai lawan dan
istilah arbitrary process atau proses peradilan yang sewenang-
wenang. Indikator adanya peradilan pidana yang adil adalah
: notice, hearing, counsel, defence, evidence, and fair and impartial
court (Pemberitahuan tertulis, mendengar tersangka, penasehat
hukum, pembelaan, pembuktian, dan pengadilan yang adil dan
tidak memihak).
Meskipun secara normatif hak-hak asasi manusia khususnya

86 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


bagi tersangka dan terdakwa telah diatur sedemikian rupa
sehingga memperoleh kedudukan yang cukup baik, namun
untuk menguji apakah pengaturan mengenai masalah itu
sudah cukup memadai untuk dapat melindungi sepenuhnya
dan kemungkinan tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh
aparat penegak hukum pidana yang melanggar hak-hak yuridis
tersangka dan terdakwa, berikut ini akan dikaji beberapa hal
penting untuk menjawab masalah tersebut.

a. Masalah Pemeriksaan Tersangka oleh Penyidik


Proses pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik menurut
ketentuan KUHAP bertujuan untuk mengumpulkan pembuktian
agar memperjelas tentang perbuatan pidana yang terjadi serta
untuk menemukan tersangkanya.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa
tugas utama penyidikan sebenarnya terkonsentrasi untuk
mengumpulkan bahan pembuktian dan menemukan tersangka.
Menurut Pasal 184 (1) KUHAP alat bukti yang diakui sah hanyalah
terdiri dan lima macam alat bukti yaitu: (1 keterangan saksi,
(2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, dan (5) keterangan
terdakwa.
Menurut O’Hara (Bawengan, 1989 : 21) untuk memahami
pengertian dan sifat dan penyidikan dianjurkan untuk selalu
mengingat metode yang dinamakan sebagai “tiga i”, yaitu:
informasi, interogasi, dan instrumentasi.
Istilah interrogation atau interogasi menurut O’Hara
(Bawengan, 1989 : 23) adalah termasuk salah satu metode untuk
mendapatkan informasi berupa keterangan dan orang lain
melalui metode tanya jawab. Meskipun dalam beberapa hal
mempunyai persamaan dengan metode wawancara, namun
interogasi sangat berbeda dengan wawancara.
Tugas penyidikan yang berkaitan dengan pemeriksaan
terhadap tersangka sangat potensial menimbulkan pelanggaran
atas hak asasi tersangka. Hal ini bukan saja karena penyidik
mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa,

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 87


namun juga dapat dikarenakan adanya kebutuhan bagi penyidik
untuk mendapatkan keterangan, khususnya berupa pengakuan
bersalah dari pihak tersangka dan juga keterangan lain yang
bersifat untuk lebih membuka tabir atas perbuatan pidana yang
terjadi, dan yang dianggap paling mengerti atas masalah ini
adalah tersangka.
Banyak variasi mengenai kemungkinan bentuk atau jenis
penyalahgunaan kewenangan penyidik yang dapat melanggar
hak asasi tersangka, namun dalam bagian ini hanya akan dilihat
yang berkaitan dengan masalah penyiksaan untuk memperoleh
keterangan berupa pengakuan bersalah dan tersangka secara
paksa. Sedang bentuk pelanggaran yang lainnya akan dibahas
tersendiri dalam bagian yang lain.
Mengingat belum adanya suatu definisi mengenai istilah
operasional untuk memberi pengertian mengenai istilah
penyiksaan dalam konteks proses peradilan pidana, oleh karena
itu penulis mengambil pengertian mengenai istilah penyiksaan
(torture) dan Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi
dan merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture
and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment),
yaitu suatu konvensi penting dalam bidang hak asasi manusia
yang telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10
Desember 1984.
Yang dimaksud dengan istilah penyiksaan atau torture
adalah:
Segala tindakan yang menimbulkan rasa sakit yang parah
atau penderitaan baik fisik atau mental, secara terus menerus
pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti memperoleh
pengakuan atau informasi dan orang tersebut atau orang
ketiga, menghukum orang tersebut atas tindakan yang telah
dilakukan orang itu atau orang ketiga, atau mengintimidasi
atau memasak orang tersebut atau orang ketiga, atau
berdasarkan alasan apapun yang dilandasi segala macam
diskriminasi, bila rasa sakit atau penderitaan itu dibebankan
oleh atau atas dorongan atau dengan ijin atau persetujuan
pejabat negara atau orang lain yang bertindak dalam
kapasitas resini. Hal tersebut tidak termasuk rasa sakit

88 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


atau penderitaan yang hanya timbul dan, melekat pada,
atau timbul secara kebetulan pada sanksi-sanksi hukum
(diterjemahkan oleh Elsam, Jakarta, 1984).

KUHAP tidak mengharuskan adanya keterangan yang


berupa pengakuan terdakwa yang mengakui telah melakukan
perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya, hal itu bisa
dilihat dan ketentuan Pasal 189 (4) yang menyatakan bahwa
keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk embuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Menurut Pasal 189 (2) KUHAP keterangan tersangka yang
dikemukakan diluar persidangan tidak dapat dipakai sebagai alat
bukti, namun hanya dapat dipakai untuk membantu menemukan
bukti di persidangan asalkan didukung dengan bukti lain yang
sah.
Memberikan keterangan di persidangan yang berbeda
atau bahkan bertentangan sama sekali dengan keterangan
dalam berita acara penyidikan ditakuti oleh banyak terdakwa
mengingat mereka seringkali melihat kenyataan bahwa cara
seperti itu sering dipakai seperti dalih bahwa terdakwa telah
mempersulit persidangan dengan cara memberikan keterangan
yang berbelit-belit, yang pada akhirnya akan dipakai sebagai
alasan yang memperberat hukuman.
Sedang bagi saksi yang enggan atau takut memberi
keterangan di persidangan yang berbeda dengan berita acara atau
penyidikan terletak pada kekhawatiran mereka dapat dituduh
sebagai pelanggar hukum pidana karena membebani keterangan
palsu kepada pejabat negara atau penyidik, atau bahkan dituduh
melakukan sumpah palsu di pengadilan.
Meskipun kekhawatiran tersebut secara yuridis tidak
beralasan, namun demikianlah kenyataan yang terjadi. Dan hal
ini diakui oleh para penasehat hukum yang tergabung dalam
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, (Wawancara,
Tanggal 25 April 2010) di Pusat Konsultan dan Bantuan Hukum
(PKBH) UMI Makassar, (Diskusi Tanggal 30 April 2010) mereka

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 89


dikonfirmasi mengenai masalah tersebut. Kenyataan seperti itu
pada akhirnya justru akan merugikan pembelaan terdakwa, dan
pada sisi yang lain menjadi keadaan yang menguntungkan bagi
pihak penuntut umum.
Kasus peradilan “sesat” yang sangat terkenal di Indonesia
antara lain adalah kasus Lingah-Pacah di Pengadilan Negeri
Ketapang, ternyata inirip dengan kasus Sengkon-Karta di
Pengadilan Negeri Bekasi. Kesesatan terjadi akibat Hakim terlalu
mempercayai BAP dan penyidik yang ternyata dikemudian han
terungkap dibuat berdasarkan suatu penyiksaan. (Pamungkas,
2010 : 4) .
Dengan adanya kenyataan seperti tersebut di atas, praktek
pemeriksaan terhadap tersangka seringkali diwarnai dengan
tindakan-. tindakan berupa kekerasan dan intimidasi terhadap
tersangka agar penyidik memperoleh pengakuan. Para tersangka
yang mengalami hal itu akan sulit untuk mencabut keterangan
dalam BAP apabila Hakim tidak secara seksama memperhatikan
keluhan tersangka.
Dari kasus Lingah-pacah tersebut sebenarnya Hakim tidak
perlu terpaku pada BAP penyidikan, jika terdakwa atau saksi
memberikan keterangan yang berbeda di persidangan, menurut
Pasal 185 (1) dan 189 (1) KUHAP yang harus dipakai adalah
keterangan di persidangan. Ketentuan tersebut sebenarnya
memang harus menjadi pedoman karena model pemeriksaan
di pengadilan secara obyektif bersifat lebih terbuka untuk
dibandingkan dengan pemeriksaan penyidikan, dan hal itu
sejalan dengan hak tersangka atau terdakwa untuk memberikan
keterangan bebas agar hasil pemeriksaan mereka tidak bisa.
Untuk menghindari pemaksaan untuk memperoleh
keterangan khususnya yang berupa pengakuan tersebut,
sebenarnya sudah disediakan salah satu sarana pencegahannya
berupa hak bagi tersangka dan terdakwa baik di tingkat
penyidikan atau di pengadilan untuk memberikan keterangan
bebas (Pasal 52).
Apabila dicermati kembali ketentuan Pasal 52 KUHAP

90 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


ternyata KUHAP tidak secara eksplisit membolehkan tersangka
untuk tidak membantu proses peradilan dengan cara berdiam diri
atau menolak untuk tidak berbicara atau menjawab pertanyaan
yang diajukan penyidik atau Hakim, yang secara eksplisit
disebutkan adalah ia mempunyai hak untuk memberikan
keterangan bebas.
Menurut Lamintang (1984 : 197) hak tersangka dan terdakwa
sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 52 tersebut merupakan
suatu asas penting yang disebut sebagai beginsel van fair play in
het process atau asas kewajaran dalam proses peradilan. Asas ini
wajib diketahui oleh setiap penegak hukum agar mereka betul-
betul memahami bahwa:
a. Tersangka atau terdakwa itu tidak boleh diperlakukan
semata-mata sebagai obyek dan pemeriksaan, yang tidak
berhak untuk berbuat lain kecuali menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang disampaikan kepadanya atau;
b. harus mengetahui apa yang disangkakan atau didakwakan
kepadanya. b. Tidak ada kewajiban dan tersangka atau
terdakwa untuk mengakui apa yang disangkakan atau
didakwakan kepadanya di semua singkatan pemeriksaan;
c. Tidak boleh dipergunakan segala bentuk pemaksaan untuk
memperoeh pengakuan atau keterangan tersangka atau
terdakwa, baik secara fisik maupun psikis.
d. Tersangka atau terdakwa boleh tidak menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari Hakim, dan perilaku yang demikian tidak
boleh membuat pidana yang dijatuhkan bagi terdakwa
menjadi diperberat.

Menurut keterangan dari pihak penyidik yang dijadikan


sebagai responden yang diwawancarai, mereka mengemukakan
bahwa praktek kekerasan yang dilakukan oleh penyidik terhadap
tersangka bukan hanya dilakukan untuk sekedar mempercepat
dan mempermudah pekerjaan penyidik namun justru seringkali
terjadi karena pihak penuntut umum sendiri meminta adanya
keterangan tersangka yang berupa pengakuan tertulls secara

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 91


eksplisit dalam berita acara pemeriksaan terhadap tersangka.
Dalam Iingkungan Kepolisian sendiri meskipun terdapat
larangan untuk melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi
terhadap tersangka, namun praktek ini masih ditoleransi secara
diam-diam oleh atasan penyidik, dalam arti bukan menjadi
kebijakan resini, sepanjang tidak sampai menimbulkan luka
parah apalagi hingga cacat dan bahkan meninggal dunia.
Tidak banyak data mengenai bagaimana praktek penyiksaan
terhadap tersangka yang dapat diungkapkan melalui wawancara
dengan para tersangka, apalagi dan tersangka yang sedang
ditahan.
Kesulitan untuk mengungkapkan data tersebut karena
para tersangka enggan atau takut untuk menceritakan secara
detil bagaimana penyiksaan itu dilakukan, namun mereka pada
umumnya mengakui juga bahwa penyiksaan itu ada, dan yang
ringan sampai yang berat.
Meskipun KUHAP telah memberikan nilai dasar
perlindungan HAM bagi tersangka dan terdakwa dengan
mewajibkan kepada aparat penegak hukum selalu menjunjung
tinggi hak serta martabat kemanusiaan namun hal itu ternyata
tidak efektif jika dilihat dan segi praktek pemeriksaan
pendahuluan.
Ketidakefektifan perlindungan tersangka atau terdakwa
dan perbuatan penyiksaan yang dilakukan aparat penyidik
besar kemungkinannya disebabkan oleh tidak adanya
pengaturan mengenai akibat hukum jika hal itu dilanggar.
Apabila pelanggaran berupa penyiksaan dapat menimbulkan
konsekuensi tidak dapat diterimanya semua hash penyidikan
termasuk bahan-bahan atau alat bukti yang diperoleh, tentunya
akan mencegah penyidik melakukan penyiksaan terhadap
tersangka mengingat beratnya akibat hukum yang akan timbul.
Dengan mengingat hal itu tentu saja harapannya tergantung
dan sikap Hakim memberikan penilaian mengenai masalah
itu. Namun sangat disayangkan bahwa menurut Hakim yang
diwawancarai, tanggal 15 April 2010 menyatakan seorang Hakim

92 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


sering bersifat tidak mau tahu mengenai hal itu, dan kalaupun
dipersoalkan Hakim selalu meminta pembuktian adanya
penyiksaan yang sangat sulit dilakukan.
Kenyataan demikian pernah juga dialami penulis ketika
bertindak selaku ketua tim penasehat Hukum Born Sampaddo
di Kota Palopo. Lima dan tujuh orang tersangka / terdakwa yang
diajukan ke persidangan telah membantah semua keterangannya
yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), karena
menurut mereka ketika mereka dimintai keterangannya di bawah
tekanan yang bersifat fisik. Hal ini seharusnya tak perlu terjadi
andaikata penyidikan terhadap tersangka tindak pidana teroris
didampingi oleh penasehat hukumnya sehingga pemeriksaan
dapat berlangsung secara fair.
Bukan hanya kasus Born Sampaddo di kota Palopo yang
penulis alami, kasus kasus Born di Makassar yang dikenal dengan
tragedi Mc. Donald, juga pemeriksaannya di tingkat penyidikan
tidak bisa didampingi oleh penasehat hukumnya, kecuali dalam
proses persidangan.
Edi Sartono (ES) yang pada waktu itu (12 November 2003)
masih berstatus sebagai pelajar SMP dan usianya juga belum
genap 16 tahun bersama dengan teman tetangganya bernama
Fajar Bawono (FB) telah ditangkap dan ditahan oleh kepolisian
sektor Kasihan Bantul dan Potres Bantul dengan tuduhan
melakukan perkosaan terhadap gadis di bawah umur yang
berusia 13 tahun. (Nova, 5 Mei 2003).
Berdasarkan hasil putusan dan Pengadilan Negeri Bantul
kedua tersangka terdakwa tersebut akhirnya diputus bebas murni
karena dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Meskipun dalam persidangan terdakwa mengungkapkan adanya
penyiksaan yang dialami pada waktu penyidikan namun kasus
ini tidak diputuskan berdasarkan hal itu karena tidak adanya
pernbuktian mengenaih al penyiksaan. Jadi putusan bebas murni
tersebut karena dakwaan memang tidak terbukti secara sah dan
keyakinkan.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 93


b. Masalah Upaya Paksa yang Melawan Hukum
Upaya paksa adalah bentuk tindakan yang dapat dipaksakan
oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kemerdekaan dan
kebebasan seseorang untuk bergerak maupun untuk meiniliki
dan menguasai sesuatu barang, ataupun terhadap kemerdekaan
pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapa
pun. Tindakan berupa upaya paksa tersebut diperlukan
untuk memperlancar proses pemeriksaan ataupun untuk
mengumpulkan bahan pembuktian.
Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia
berdasarkan batasan pengertian tersebut yang dimaksud
dengan upaya paksa adalah berupa tindakan untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan badan ataupun
rumah, dan penyitaan, serta pemeriksaan surat (Pasal 16-49 KU
HAP).
Pada bagian awal telah dikemukakan mengenai berbagai
macam asas pokok yang termuat dalam KUHAP yang
dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas hak-hak yuridis
tersangka dan terdakwa. Salah satu di antara ketentuan untuk
melindungi hak-hak yuridis tersangka dan terdakwa adalah
bahwa segala macam bentuk upaya paksa yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum pidana meskipun dengan maksud
untuk memperlancar pemeriksaan dan mengumpulkan bahan
pembuktian harus didasarkan pada suatu perintah dan atau ijin
tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang diberikan kewenangan
menurut ketentuan perundang-undangan (KUHAP).
Jaminan terhadap hak yuridis tersangka dan terdakwa yang
berkaitan dengan upaya paksa sangat penting untuk diperhalikan
mengingat bahwa tindakan upaya paksa bagaimana termasuk
sebagai bentuk gangguan terhadap hak asasi manusia yang
sangat prinsip yang diakui tidak saja oleh bangsa Indonesia,
namun juga oleh masyarakat Internasional sebagaimana yang
dapat dibaca dan Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi
Manusia yang telah disahkan PBB.
Bagaimanakah KUHAP mengatur masalah upaya paksa

94 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


dalam perspektif perlindungan terhadap hak yuridis tersangka
dan terdakwa berikut ini dipaparkan kajian mengenai masalah
tersebut.

a. Penggeledahan dan Penyitaan


Penggeledahan dan penyitaan sebenarnya merupakan
bentuk gangguan serius terhadap hak-hak seseorang untuk
meiniliki kebebasan dan hak inilik pribadi.
Setiap orang mempunyai hak untuk tidak dapat dipaksa
secara sewenang-wenang atas segala tindakan yang dilakukan
orang lain yang dapat mengganggu kebebasan dan terdapat
jaminan yuridis untuk melindungi hak-hak tersebut. (Pasal 12
dan 17(1 —27) UDHR).
Pengaturan tersebut pada dasarnya merupakan bentuk
kompromi dalam rangka pemenuhan kepentingan secara
proporsional antara pihak penyidik dengan pihak masyarakat
khususnya tersangka.
Penggeledahan dan juga penyitaan hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan penyelidikan. Pada dasarnya yang dapat
melakukan penyitaan hanyalah penyidik, namun apabila
diperlukan atas perintah tertulis dan penyidik petugas kepolisian
dapat memasuki rumah. (Pasal 32, 33, (2) dan 38 KUHAP).
Untuk dapat melakukan penggeledahan rumah dan
melakukan penyitaan, penyidik harus mendapatkan ijin dari
Ketua Pengadilan Negeri setempat, hanya dalam hal yang sangat
perlu dan mendesak hal itu dapat dilakukan tanpa ijin ketua
Pengadilan Negeri terlebih dahulu, khusus untuk penyitaan
yang dilakukan dalam keadaan yang sangat mendesak dan
perlu sehingga tidak mungkin didahului dengan ijin dari
Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu, penyitaan tetap
dapat dilakukan namun hanya terbatas pada benda bergerak,
dan sesudah itu penyidik wajib segera meminta persetujuan
penyitaan kepada ketua Pengadilan Negeri. (Pasal 33 (1), (2), dan
38 (1), (2) KUHAP.
lstilah dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 95


adalah bilamana di tempat yang akan digeledah diduga keras
terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan
segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau
benda yang akan disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau
dipindahtangankan sedangkan surat ijin dari ketua Pengadilan
Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dalam
waktu yang singkat. (Penjelasan pasal 34 (1) KUHAP).
Sebelum melakukan penggeledahan rumah, tentunya
didahului dengan tindakan memasuki rumah, dalam hal ini
penyidik terlebih dahulu harus menunjukkan tanda pengenal
atau identitas (Pasal 125 KUHAP). Dalam hal tersangka atau
penghuni rumah setuju, penyidik harus ditemani dua orang saksi
yang berasal dari warga lingkungan setempat, namun apabila
tersangka tidak menyetujui atau Ia tidak hadir penggeledahan
harus disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan
setempat dan ditambah dengan dua orang saksi.
Semua tindakan penyidik baik dalam rangka penggeledahan
dan penyitaan harus dibuatkan berita acara selambat-lambatnya
dua hari setelah tindakan tersebut, dan peinilik atau penghuni
rumah tersebut harus diberi turunan dan berita acara tersebut.
(Pasal 33 (5), 125, dan 129 KUHAP).
Larangan yang harus ditaati penyidik tercantum dalam
Pasal 35 KUHAP yaitu bahwa kecuali dalam keadaan tertangkap
tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki ruang sidang
di mana sedang berlangsung ibadah dan upacara keagamaan.
Ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Bentuk pelanggaran prosedur penggeledahan dan penyitaan
yang paling banyak ditemui adalah:
a. Sebagain besar penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan
tanpa terlebih dahulu mendapatkan ijin dari ketua Pengadilan
Negeri. Hampir semua penyitaan dilakukan terlebih dahulu
surat perintah penyidik, dan ijin ketua Pengadilan Negeri
menyusul kemudian. Namun demikian dalam berita acara
tidak satupun alasan yang dicantumkan bahwa penggeledahan
dan penyitaan tersebut dilakukan dalam keadaan memaksa

96 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


dan sangat diperlukan.
b. KUHAP mewajibkan bagi penyidik untuk menyampaikan
turunan atau tembusan berita acara penggeledahan rumah
dan penyitaan kepada pihak peinilik rumah, atau dalam hal
penyitaan juga disampaikan kepada orang dari mana benda
itu disita dan kepada kepala desanya, namun penelitian
menunjukkan bahwa hal itu tidak ada yang pernah dilakukan
oleh penyidik.
c. Persyaratan untuk adanya dua orang saksi dari lingkungan
dalam hal tersangka menyetujui, atau harus adanya dua
orang saksi dan dua orang ketua lingkungan setempat jika
tersangka tidak menyetujui atau tidak hadir ternyata juga
belum sepenuhnya ditaati penyidik. Meskipun selalu ada
saksi namun saksinya tidak seperti yang diininta oleh KUHAP,
karena kebanyakan saksi yang ikut menandatangani berita
acara adalah saksi yang nota bene adalah anggota kepolisian
itu sendiri.

Data tersebut menunjukkan bahwa proses penggeledahan


dan penyitaan yang dilakukan penyidik ternyata masih belum
sepenuhya mengikuti ketentuan KUHAP, meskipun sebenarnya
KUHAP telah mengatur secara detail masalah tersebut.
Terjadinya pelanggaran ketentuan KUHAP mengenai
penggeledahan dan penyitaan tersebut kemungkinan besar
disebabkan karena KUHAP tidak mengatur mengenai akibat
hukum jika terjadi pelanggaran hukum atas prosedur tersebut
kecuali yang diatur dalam ketentuan mengenai peradilan.
Wewenang praperadilan yang berkaitan dengan
penggeledahan dan penyitaan serta kemungkinan sah tidaknya
penggeledahan dan penyitaan serta kemungkinan pemberian
ganti rugi dalam hal tindakan tersebut menimbulkan kerugian.
Dilihat dari ruang lingkup dan wewenang peradilan tersebut
tidak memungkinkan Hakim peradilan untuk memutuskan akibat
hukum yang lain berkaitan dengan penggeledahan dan penyitaan
yang tidak sah. Dalam perspektif proses peradilan pidana yang

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 97


adil terdapat larangan atau sanksi terhadap penyalahgunaan
barang bukti yang diperoleh secara tidak sah dan melawan
hukum (sanction or illegally obtained evidence). Jika hal itu terjadi,
terdakwa mempunyai hak untuk melawan dan menolak bukti
tersebut sehingga bukti tersebut dapat dikesampingkan.
Namun sangat disayangkan bahwa KUHAP tidak
menempatkan adanya larangan pemakaian barang bukti yang
diperoleh secara tidak sah dan melawan hukum, meskipun sah
tidaknya proses penggeledahan dan penyitaan barang dalam
rangka mengumpulkan pembuktian dapat dinilai oleh Hakim
praperadilan, namun apapun hasil putusan praperadilan itu
tidak dapat mempengaruhi pemeriksaan terhadap pokok
perkara yang menyangkut terdakwa. Dengan kata lain apabila
barang bukti tersebut diperoleh secara tidak sah dan melawan
hukum, hal itu tetap dapat dipergunakan sebagai barang bukti
(pandangan beberapa advokat yang bergabung dalam Peradi
Makassar, tanggal 20 April 2010).

b. Penangkapan dan Penahanan


Sesuai dengan Definisinya, penangkapan dan penahanan
merupakan bentuk tindakan yang mengganggu keamanan dan
hak seseorang untuk merdeka sehingga bebas bergerak dan
beraktivitas dalam kehidupannya, dan hal ini merupakan hak
yang telah diakui secara universal oleh masyarakat dunia yang
beradab, oleh karena itu setiap tindakan yang mengganggu hak-
hak tersebut harus dilakukan menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
KUHAP mengatur secara mendetail persyaratan dan
prosedur yang harus dipenuhi para petugas penegak hukum
yang akan melakukan penangkapan dan penahanan.
a. Prinsip Umum Prosedur Penangkapan
Penangkapan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan
penyelidikan atau penyidikan terhadap seseorang yang
diduga keras telah melakukan kejahatan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.

98 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Tersangka pelaku pelanggaran tidak boleh dikenakan
penangkapan kecuali dalam hal yang bersangkutan telah
dipanggil dua kali berturut-turut secara sah namun tidak
menghadiri panggilan tersebut tanpa alasan yang sah.
Penangkapan hanya dapat dilakukan selama waktu satu
hari (1 kali 24 jam), sehingga meskipun pemeriksaan belum
selesai apabila waktunya telah mencapai 24 jam tersangka
harus dilepaskan demi hukum, meskipun demikian jika
memang terdapat alasan untuk kepentingan pemeriksaan
lebih lanjut tersangka dapat diberi tindakan penahanan
sepanjang persyaratan dapat dipenuhi.
Petugas yang melakukan penangkapan mempunyai
kewajiban untuk segera menyampaikan tembusan surat
perintah penangkapan tersebut kepada keluarga tersangka.
b. Prinsip Umum Prosedur Penahanan
Hampir sama dengan ketentuan penangkapan, KUHAP
mengatur secara cukup ketat masalah yang berkaitan dengan
persyaratan dan prosedur penahanan (Lihal Pasal 20 -
31KUHAP).
Penahanan dapat dilakukan untuk kepentingan
pemeriksaan baik di tingkat pemeriksaan penyidikan,
penuntutan, maupun untuk keperluan persidangan di
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah agung.
Sama seperti dalam penangkapan, tindakan penahanan
hanya dapat dielakkan terhadap tersangka atau terdakwa yang
berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga keras telah
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara lima tahun atau Iebih meskipun demikian
terdapat pengecualian bahwa terdapat beberapa jenis tindak
pidana yang ancaman pidananya kurang dari lima tahun
namun dapat juga dilakukan penahanan. Dalam literatur
hukum acara pidana di Indonesia syarat ini sering dinamakan
sebagai syarat obyektif untuk melakukan penahanan.
Selain harus dipenuhinya syarat obyektif, untuk
melakukan penahanan harus juga terpenuhi persyaratan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 99


subyektif sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 21
(1) KUHAP yaitu harus ada kekhawatiran mengenai
kemungkinan tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi
tindak pidana.
Prinsip penting Iainnya adalah bahwa penahanan hanya
dapat dilakukan jika terdapat alasan untuk kepentingan
pemeriksaan sesuai dengan jenjang kewenangan pada setiap
tahapan proses dan sekaligus di dalamnya terkandung prinsip
pembatasan waktu sesuai dengan jenjang atau tahapan proses
tersebut. (Lihal Pasal 20, 24-29 KUHAP).
Masa penangkapan dan penahanan yang telah dikenakan
terhadap tersangka atau terdakwa dikurangkan seluruhnya
dengan masa penjatuhan pidana yang dikenakan. Cara
penghitungannya tergantung dari jenis penahanan yang
dikenakan, yaitu apakah penahanan rumah tahanan negara,
rumah, atau kota. (Pasal 22 (1-5)KUHAP).
Prosedur untuk melaksanakan penahanan sebenarnya
hampir sama dengan penangkapan. Untuk melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik
atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa
dengan memberikan surat perintah penahanan atau
penetapan Hakim yang mencantumkan identitas tersangka
atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan
atau penetapan Hakim yang mencantumkan identitas
tersangka atau terdakwa. (Pasal 21 (2 dan 3) KUHAP)
Pihak tersangka atau terdakwa dapat mengajukan
keberatan terhadap penahanan yang ditimpakan kepadanya
dan untuk itu dimungkinkan untuk mengalihkan,
menangguhkan atau melepaskan tersangka atau terdakwa
yang ditahan, baik dengan jaminan berupa orang atau uang,
atau bahkan tanpa jaminan sekalipun. Namun demikian
keputusan untuk mengabulkan ataupun tidak terhadap
keberatan tersebut tidak dilakukan melalui suatu persidangan
di pengadilan, namun sepenuhnya tergantung dari pihak

100 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


yang melakukan penahanan.
Keabsahan terhadap tindakan penangkapan atau
penahanan dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa,
keluarganya atau melalui penasehat hukumnya melalui
proses acara praperadilan. Melalui acara praperadilan itu
pula dapat dimintakan permohonan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi apabila Hakim memutuskan bahwa penangkapan
dan penahanan tersebut tidak sah dan melawan hukum.
Kalau diperhalikan ketentuan-ketentuan yang
menyangkut penangkapan apalagi penahanan, terlihal bahwa
kewenangan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum untuk
mengganggu hak asasi manusia sangatlah besar. Dilihat
dari batas waktu penahanan Misalnya kalau dilihat dari
kewenangan yang dimiliki menurut tahapan pemeriksaan
nampaknya tidak terlalu lama, namun jika terdakwa
mengalami penahanan mulai dari tingkat penyidikan hingga
Mahkamah Agung maka secara kumutatif menjadi demikian
besar juiniahnya, juiniah hitungannya bisa mencapai Iebih
dari satu tahun atau tepatnya 400 hari atau 401 hari jika
ditambah dengan masa penangkapan selama satu hari.
Pelanggaran terhadap ketentuan yang seharusnya
dipenuhi untuk melakukan penangkapan dan penahanan
terlihal pada banyaknya aparat penegak hukum yaitu
penyidik, dan penuntut umum yang tidak memberikan
tembusan surat perintah penangkapan dan penahanan
kepada keluarga tersangka dan terdakwa.
Pelanggaran Iainnya yang terlihal adalah tidak ditaatinya
prinsip pembatasan waktu yang berjenjang sesuai dengan
tahapan pemeriksaan apabila melakukan tindak penahanan.
Hal ini terlihal dari adanya kenyataan bahwa meskipun
perkara tersebut telah beralih dari penyidik kepada penuntut
umum, namun jika masa penahanan di tingkat sebelumnya
masih belum habis, ternyata penahanannya masih diteruskan
tanpa ada penahanan baru sesuai dengan jenjang kewenangan
yang ada. Demikian juga halnya terhadap terdakwa yang

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 101


ditahan oleh penuntut umum, ketika perkara tersebut beralih
dan penuntut umum kepada Hakim, namun Hakim terus
melanjutkan sisa penahanan yang ada, dan juga dari Hakim
Pengadilan Negeri ke Hakim banding.
Herbert Packer (1968 : 170) menulis secara panjang lebar
mengenai masalah yang berkaitan dengan penangkapan
dan penahanan dengan suatu perbandingan : cara pandang
menurut Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model
(DPM) Meskipun penelitian yang dilakukannya berdasarkan
sistem peradilan pidana di Ameriika Serikat. Namun
cara pandang kedua model peinikiran terhadap proses
kriminal tersebut masih relevan untuk dipakai sebagai cara
menganalisis kecenderungan model proses peradilan kita.
Sebagai dasar acuan analisis dalam penulisan ini bukan
sistem peradilan yang ada di Amerika Serikat, namun cara
pandang aparat penegak hukum dan juga kecenderungan
regulasi untuk mengatur masalah penangkapan dan
penahanan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Packer dalam
CCM dan DPM.
Polisi tidak mempunyai alasan untuk menyalahgunakan
kekuasaan yang dimilikinya dengan cara menangkap dan
menahan mereka yang patuh terhadap hukum. Yang tidak
bersalah tidak perlu merasa takut. Cukuplah bagi polisi untuk
menentukan diskresi atau kebijaksanaan untuk menentukan
kapan dan berapa lama seseorang boleh ditahan untuk
diusut. Namun jika Undang-Undang menganggap perlu
untuk membatasi kebijaksanaan polisi untuk bisa menahan,
maka hal itu tetap harus memberi kelonggaran agar dapat
mengakomodir semua kemungkinan, atau akan lebih baik
lagi jika dibatasi dengan pedoman yang jelas mengenai
perilaku seseorang yang secara wajar dapat dicurigai dalam
segala keadaan. (Herbert Packer, 1968: 181).
Kecenderungan lainnya mengenai sanksi hukum
(lebih tepatnya akibat hukum) terhadap penangkapan yang
tidak sah adalah diadakannya tort action terhadap polisi

102 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


yang melakukan kesalahan, dan penyediaan sarana untuk
menampung dan menyelesaikan keluhan terhadap tindakan
polisi oleh suatu dewan sipil, dan terakhir meskipun
pengendalian judicial melalui penyingkiran barang bukti
yang diperoleh dan penangkapan yang tidak sah sebenarnya
dipandang tidak efektif, namun tetap dipandang sebagai
sanksi yang menarik dibandingkan sanksi yang lainnya.
c. Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan hak yuridis tersangka atau
terdakwa yang sangat penting, dengan adanya bantuan
hukum seorang tersangka atau terdakwa mempunyai hak
untuk mengadakan pembelaan bagi dirinya secara lebih baik
selama dalam proses pemeriksaan pendahuluan ataupun
pada tingkat pemeriksaan persidangan nantinya.
Selain berfungsi untuk membantu pembelaan, bantuan
hukum juga berguna sebagai suatu kontrol terhadap perilaku
aparat penegak hukum, yaitu apakah perilakunya berdasarkan
ketentuan hukum atau tidak. Jika tersangka atau terdakwa
tidak didampingi penasehat hukum hal itu akan menciptakan
suatu peluang terjadinya perilaku yang menyimpang yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Demikian pentingnya masalah bantuan hukum sehingga
hal ini juga diatur sebagai salah satu hak dasar umat manusia
menurut ketentuan yang terdapat dalam ICCPR Pasal 14 ayat
3 b dan d.
Pasal ayat 14 ayat 3 b ICCPR menentukan bahwa seorang
tersangka untuk dberi cukup waktu guna mempersiapkan
pembelaannya dan menghubungi yang dipilihnya sendiri.
Sedang pasal 14 ayat 3 d mengatur bahwa pengadilan
memeriksa dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri
secara inperson atau melalui bantuan penasehat hukum
yang dipilihnya sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini.
Jika ia tidak mampu untuk membayar penasehat hukum Ia
dibebaskan dari pembayaran itu.
Apa yang tercantum dalam salah satu komponen

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 103


hukum internasional (ICCPE) mengenai bantuan hukum
bagi tersangka terdakwa tersebut menunjukkan bahwa hak
bantuan hukum memang menjadi kebutuhan bagi siapa saja
yang terlibat dalam perkara pidana. Bagaimanakah dengan
pengaturan masalah ini dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia?
Ketentuan yang memberikan hak yuridis tersangka atau
terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum cukup banyak
terdapat dalam KUHAP, hal ini dapat dilihat dan Pasal 54 —
57, dan bahkan masalah bantuan hukum juga diatur tersendiri
dalam satu bab yaitu bab VII dan pasal 69 hingga 74.
KUHAP membedakan pengaturan bantuan hukum
sebagai suatu pihak yang pemanfaatannya tergantung dari
pihak tersangka atau terdakwa, dan bantuan hukum yang
merupakan suatu hak sekaligus suatu kewajiban (keharusan)
atau demi hukum harus ada kepentingan proses peradilan,
baik hal itu dikehendaki ataupun tidak oleh tersangka atau
terdakwa.
Bantuan hukum sebagai suatu hak semata dapat dilihat
dari ketentuan Pasal 54 dan 55 KUHAP, bahwa untuk
kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau Iebih penasehat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan (Pasat 54). Untuk mendapatkan penasehat
hukum tersebut Ia boleh meinilih sendiri (Pasal 55).
Bantuan hukum yang tidak semata-mata sebagai suatu
hak, namun demi kepentingan peradilan harus ada dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 56 KUHAP, yaitu dalam hal
tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam pidana mati, atau diancam
pidana penjara lima belas tahun atau lebih, atau bagi mereka
yang tidak mampu meskipun hanya diancam Iima tahun
pidana penjara atau Iebih namun tidak mempunyal penasehat
hukum sendiri, hal itu menimbuIkan suau kewajiban
terhadap péjabat yang sendiri, hal itu menimbulkan suatu

104 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


kewajiban terhadap pejabat yang bersangkutan pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk
penasehat hukum bagi mereka. Dan bagi penasehat hukum
yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma kepada mereka.
Bahkan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
keHakiman disebutkan bahwa: Setiap orang yang tersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum, dan negara
menanggung biaya perkara bagi para pencari keadilan yang
tidak mampu. (Pasal 56 ayat 1 dan2)
Betapa pentingnya arti bantuan hukum bagi setiap orang
yang tersangkut perkara (pidana), maka Instrumen hukum
nasional melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
keHakiman tersebut telah menyebutkannya dalam Pasal 57
bahwa:
1. Pada setiap Pengadilan Negeri dibentuk pos bantuan
hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam
memperoleh bantuan hukum.
2. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat
peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
kekuatan peraturan perundang-undangan.

Bagi tersangka atau terdakwa yang dikenakan upaya


paksa penahanan diberi hak untuk menghubungi penasehat
hukumnya.
Agar penasehat hukum dapat memberikan bantuan
hukum secara baik tentunya harus mendapatkan keleluasaan
atau kebebasan dalam rangka hubungan penasehat
hukum dengan kliennya (tersangka atau terdakwa) untuk
mempersiapkan pembelaan yang diperlukan. Berbagai
ketentuan yang terdapat dalam Bab VII KUHAP ternyata

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 105


telah mengatur hal itu dengan cukup terperinci, yaitu bahwa:
(1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka
ditangkap atau ditahan .
(2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat
pemeriksaan;
(3) Penasehat hukum dapat menghubungi dan berbicara
dengan tersangka atau terdakwa pada semua tingkat
pemeriksaan pada setiap waktu, tanpa gangguan atau
pengawasan dan pejabat, kecuali jika penasehat hukum
menyalahgunakan haknya, namun pengurangan
kebebasan ini tidak boleh dilakukan jika perkaranya
telah dilimpahkan kepada pengadilan untuk disidangkan.
Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara
pembatasan hak penasehat hukum tersebut dapat
dilakukan di semua tingkat pemeriksaan.
(4) Pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita
acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaan jika hal
itu diininta oleh tersangka atau penasehat hukumnya;
(5) Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat
dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya.

Jika diperbandingkan dengan HIR, tentu saja KUHAP


lebih baik dalam hal mengatur masalah bantuan hukum,
artinya kepentingan bantuan hukum bagi tersangka atau
terdakwa cukup mendapatkan perhatian. Namun dalam
praktek hal itu tidaklah berjalan seiring.
Praktek menunjukkan bahwa KUHAP kurang
memperhitungkan kemungkinan kendala yang akan muncul
berkaitan dengan masalah bantuan hukum tersebut. Pertama,
dalam hal kurang tersedianya secara merata para pekerja
bantuan hukum.
Dan sejumlah advokat yang terhimpun dalam organisasi
Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) di Kota Makassar
(Wawancara tanggal 20 April 2009) mengungkapkan bahwa
kurangnya pemahaman para saksi, tersangka dan terdakwa

106 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


tentang betapa pentingnya mereka didampingi oleh penasehat
hukum, yang seharusnya hal ini dijelaskan lebih awal oleh
penyidik, atau oleh Hakim yang menyidangkan perkaranya
agar kebenaran materil dapat tertangkap dengan terang.
Namun tak dapat dipungkiri, bahwa di tingkat penyidikan
kebanyakan penyidik lebih senang bilamana tersangkanya
tidak didampingi oleh penasehat hukum, karena mereka
kadang berpandangan bahwa keberadaan penasehat hukum
hanya akan mempersulit jalannya proses pemeriksaan.
Kendala kedua, jika bantuan hukum dapat atau wajib
diberikan di setiap waktu dalam setiap tahap pemeriksaan.
Hal ini akan menimbulkan kesulitan terutama bagi penyidik
jika tersangka ditangkap pada malam hari dan pada waktu
itu juga tersangka meminta untuk menghubungi penasehat
hukumnya atau meminta pejabat tersebut mencarikan
penasehat hukum untuknya. Hal ini dianggap penyidik
sebagai suatu beban yang tidak ringan mengingat batas
waktu untuk penangkapan menurut KUHAP hanya selama
24 jam, dan bagaimana mungkin dapat mencarikan penasehat
hukum pada waktu tengah malam ? oleh karena itu menurut
penyidik yang diwawancarai dalam kondisi seperti itu
terpaksa diakui bahwa hak atau kewajiban tersebut tidak
dapat dilaksanakan oleh penyidik setidak-tidaknya sampai
keesokan harinya, namun tersangka pada malam hari itu juga
tetap diinterogasi untuk mengejar batas waktu penangkapan
yang diperbolehkan menurut KUHAP. (Wawancara dengan
beberapa responden dari penyidik Polrestabes Makassar, 22
April 2010).
Berdasarkan data primer dan penelitian ini juga terungkap
bahwa di tingkat pemeriksaan pendahuluan dan juga bahkan
di tingkat pemeriksaan pengadilan hampir semua tersangka
tidak mendapatkan bantuan hukum termasuk dalam hal yang
menurut KUHAP seharusnya ada atau wajib diadakan oleh
pejabat yang memeriksa disetiap tingkat pemeriksaan karena
ancaman pidananya lebih dari lima belas tahun penjara,

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 107


namun mereka belum mempunyai penasehat hukum sendiri,
atau dalam hal tersangka diancam pidana lima tahun penjara
atau lebih yang belum mempunyai penasehat hukum sendiri
namun mereka termasuk orang yang tidak mampu.
Dari kalangan penasehat hukum yang dijadikan
responden didapatkan keterangan bahwa mereka tidak
heran atas data yang dikemukakan tersebut mengingat
mereka memang sering melihat hal itu terjadi dalam praktek.
Menurut mereka terdapat kecenderungan daripada pejabat
untuk dengan berbagai cara agar tersangka mau melepaskan
hak bantuan hukum yang semestinya dapat dinikmati atau
yang seharusnya harus dinikmati menurut hukum.
Menurut para responden yang berasal dan kalangan
penasehat hukum, berita acara tidak sepenuhnya dapat
dijadikan pegangan bahwa tersangka betul-betul melepaskan
hak bantuan hukumnya secara sukarela. Yang terjadi
kebanyakan karena tidak tahu haknya, atau meskipun tahu
dipengaruhi bahkan ditakut-takuti supaya tidak memakai
penasehat hukum karena hanya akan memperberat
perkaranya. Kondisi itu lebih diperparah karena KUHAP
tidak mengatur akibat hukum dari suatu perkara yang
seharusnya ada penasehat hukum tersangka atau terdakwa
namun hal itu tidak dilaksanakan, dan juga tidak ada
kewajiban bagi penyidik atau Hakim untuk memberitahu hak
bantuan hukum tersebut.
Para Hakim yang dijadikan responden ternyata masih
menganggap bahwa penasehat hukum dalam keadaan
apapun adalah suatu hak tersangka atau terdakwa semata-
mata, termasuk dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 64
KUHAP tersebut terpenuhi. Karena hanya dipandang sebagai
suatu hak jika pejabat di semua tingkatan sudah menanyakan
hal itu kepada tersangka atau terdakwa namun, mereka
menyatakan tidak akan memakai hak itu, berarti sebagai
suatu proses pelepasan hak yang tidak boleh dipaksa untuk
mencari atau diberi penasehat hukum.

108 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Apabila masalah tersangka yang tidak didampingi
penasehat hukum sejak di tingkat pemeriksaan pendahuluan
tidak diatur secara jelas akibat hukumnya sehingga praktek
menunjukkan banyaknya hak bantuan hukum yang tidak
dinikmati tersangka, namun justru dalam peradilan iniliter
yang dasar hukum acara pidananya juga dan KUHAP
ternyata menunjukkan adanya kemajuan pihak iniliter untuk
memikirkan masalah akibat hukumnya jika hak tersebut tidak
diberikan meskipun pada tahap pemeriksaan pendahuluan.
Dari sisi penasehat hukum didapatkan suat keterangan
mengenai hambatan yang mereka alami dalam memberikan
bantuan hukum, yaitu pertama karena mereka tidak cukup
bebas jika mendampingi tersangka ketika menghadapi
interogasi penyidik. Penasehat hukum hanya boleh melihat
dan mendengar jalannya pemeriksaan, bahkan dalam hal
kejahatannya menyangkut keamanan negara mereka hanya
boleh melihat namun tidak diperbolehkan mendengarkan
isi pembicaraan. Kedua, meskipun KUHAP memberikan
hak kebebasan untuk dapat menghubungi tersangka atau
terdakwa setiap waktu pada semua tingkat pemeriksaan
namun prakteknya tidaklah demikian.
Menurut para responden advokat, istilah setiap waktu
dalam petunjuk pelaksanaan KUHAP sebagaimana yang
dikeluarkan oleh Peraturan Menteri KeHakiman No. M. 04 -
UM.01.06 tahun 1983 ditafsirkan sebagai hanya pada jam kerja
saja. Namun demikian hal itu tidak disertai dengan suatu
larangan bagi penyidik untuk memeriksa tersangka di luar
jam kerja. Dengan demikian menurut responden hal itulah
yang sering menjadikan hambatan penasehat hukum untuk
sepenuhnya mendampingi tersangka, dan menurut mereka
pemeriksaan tersebut meskipun tidak dihadiri oleh penasehat
hukum tetap dinilai sah oleh Hakim jika hal itu dipersoalkan
di Pengadilan.
Baik para A advokat, dan aparat penegak hukum Iainnya
sependapat bahwa hak bantuan hukum itu penting, namun

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 109


kalau mereka ditanyakan mulai kapan hal itu sebenarnya
danggap perlu ternyata jawabannya tidaklah sama.
Bagi penasehat hukum hak bantuan hukum yang
diberikan oleh KUHAP yang menyebutkan bahwa hal
itu bisa diberikan pada setiap waktu dan setiap tingkat
pemeriksaan seharusnya sebagai suatu hak mutlak harus
ada jika tersangka meminta, apalagi jika menurut KUHAP
pejabat wajib menunjuk penasehat hukum dalam hal tertentu
semestinya itu juga haurs dilaksanakan, jika hak bantuan itu
tidak dilaksanakan seharusnya pemeriksaannya batal demi
hukum. Dan oleh karena itu sebaiknya KUHAP memberikan
kewajiban bagi setiap pejabat untuk memberitahukan hak
tersebut sebelum memulai pemeriksaan, jika tidak maka hasil
pemeriksaanya batal demi hukum.
Meskipun aparat penegak hukum sependapat bahwa
hak bantuan hukum penting, namun menurut aparat
penegak hukum yang dijadikan responden sebaiknya cukup
diberikan pada tingkat persidangan, karena memang hal itu
merupakan tahap yang paling penting untuk menentukan
nasib terdakwa sehingga mereka memerlukan orang yang
mampu memberikan bantuan pembelaan. Sedang di tingkat
pendahuluan yang lebih diperlukan bukan hak penasehat
hukum namun suatu peraturan yang lebih baik agar aparat
tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Apabila diamati pandangan kelompok advokat tersebut
nampaknya pandangannya lebih mendekati pada model
DPM, sedang pandangan aparat penegak hukum lebih
mendekati model CCM. Namun demikian jika kita perhalikan
KUHAP cenderung mendekati atau menyerupai model
DPM yang menginginkan pemberian bantuan hukum sejak
di tingkat pendahuluan hingga selesainya proses peradilan.
Namun demikian KUHAP tidak mengatur akibat hukum
jika hal itu tidak dilaksanakan, sedang DPM menginginkan
adanya akibat hukum batalnya pemeriksaan jika hak bantuan
hukum yang dipunyai oleh tersangka atau terdakwa tidak

110 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


diberikan secara tidak sah, bahkan menurut Herbert Packer
jika aparat penegak hukum tidak memberitahu adanya hak
bantuan hukum, hasil pemeriksaannya harus batal.
Sebagaimana yang ditulis oleh Mardjono Reksodipturo
(1994, 26) sangatlah keliru bila proses hukum yang adil
hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum
acara pidana dalam proses terhadap tersangka atau
terdakwa. Sebab menurut Mardjono Reksodipturo, proses
hukum yang adil adalah lebih jauh dan sekedar penerapan
hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal.
Dalam pengertian proses hukum yang adil, menurut
Mardjono Reksodiputro, terkandung penghargaan akan
hak kemerdekaan seorang warga negara. Dengan demikian,
meskipun warga masyarakat telah melakukan suatu perbuatan
tercela (tindak pidana), hak-haknya sebagai warga negara
tidaklah hapus atau hilang. Apalagi bila disadari bahwa tak
seorang pun dapat mendisiplinkan diri untuk tidak melakukan
pelanggaran hukum, sehingga semua orang tidak pernah
dapat bebas dari resiko menjadi tersangka atau terdakwa. Di
sinilah letak pentingnya memperjuangkan tegaknya hak-hak
tersangka/terdakwa untuk didengar, didampingi penasehat
hukum dan diberi kesempatan membela diri serta dibuktikan
kesalahannya di depan pengadilan yang jujur dan tidak
memihak (fair and impartial court).
Hak individu untuk didampingi penasehat hukum di
semua tingkat pemeriksaan merupakan hal yang sangat
penting dalam rangka mewujudkan prinsip proses hukum
yang adil. Dengan kehadiran penasehat hukum akan dapat
dicegah tindakan yang dapat merugikan hak tersangka
khususnya mereka yang berada dalam tahanan. Tindakan
yang dimaksud seperti penyiksaan atau intimidasi ketika
dilakukan interogasi guna memperoleh pengakuan dari
tersangka.
Dalam KUHAP tidak hanya diatur hubungan antara
penasehat hukum dengan pihak tersangka atau terdakwa,

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 111


tetapi Iebih dari itu, ditentukan pula bahwa dalam hal
tersangka / terdakwa disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, atau
diancam lima belas tahun atau lebih dan mereka ini tidak
mampu untuk mendapatkan sendiri penasehat hukum, maka
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses pidana wajib menunjuk penasehat hukum bagi
mereka.
Dalam pada itu, salah satu penelitian menunjukkan
bahwa keberadaan penasehat hukum sangat membantu
tersangka karena:
Peranan institusi bantuan hukum dalam penegakan hak-
hak asasi manusia sangat penting, khususnya dalam
sistem peradilan pidana. Tidak semua subjek hukum yang
berhubungan dengan suatu perkara pidana memahami
hak-haknya, termasuk tindakan apa yang harus dilakukan
serta bagaimana prosedur mempertahankan dan mendapat
hak-hak tersebut. (Aswanto, 1999 : 248).

Menurut hemat penulis, hak tersangka untuk


didampingi oleh penasehat hukum selama pemeriksaan
di tingkat penyidikan sangat penting. Oleh karena nasib
seorang tersangka kelak sangat bergantung pada hasil
penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, meskipun
sesungguhnya hasil penyidikan itu masih harus dibuktikan
kebenarannya di muka pengadilan.
Sebagaimana pendapat Lon L. Fuller (1996 : 29) bahwa
seorang yang disangka melakukan tindak pidana, seyogianya
harus dibuktikan dalam sidang pengadilan yang terbuka
dengan proses hukum yang adil.Menurutnya, jika seorang
pengacara menolak permintaan seorang tersangka atau
terdakwa untuk menangani kasusnya karena tampaknya
yang bersangkutan bersalah, maka si tersangka atau terdakwa
sebenarnya sudah divonis di luar pengadilan dan tidak diberi
kesempatan atas pemeriksaan formal yang menurut hukum
adalah haknya. Selanjutnya dikatakan bahwa penampilan
seorang sering memperdayakan; sudah banyak orang yang

112 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


tampaknya seakan Ia bersalah, sampai keadilan menunjukkan
kemudian bahwa Ia tidak bersalah. Bahkan pengakuanpun
tidak selalu dapat diandalkan. Tidak jarang seorang wanita
mengaku bersalah guna menyelamatkan suaininya. Atau
di bawah tekanan mental yang sangat menekan seseorang
tergerak untuk menghukum dirinya dengan mengaku
bersalah sehingga Ia dapat menebus dosanya melalui
kejahatan yang imajiner.
Salah satu contoh dapat dikemukakan adalah tatkala
Marcellus Thopson dihadapkan ke suatu sidang pengadilan
di lnggris dengan tuduhan menggelapkan sejumlah uang
inilik kendal union Gas and Water Company. Ketua perusahaan
tersebut, Crewdson telah menguatkan tuduhan tersebut
kepada Hakim dengan alat bukti pengakuan dari Marcellus
Thompson kepadanya. Untung pengacara Marcellus
Thompson cukup jeli dan dapat mengungkapkan bahwa
adanya pengakuan tersebut sesungguhnya karena hasil
bujukan Crewdson lewat ipar Marcellus Thompson sehingga
Marcellus mau mengadakan pengakuan kepadanya (Sudibyo
Triatmojo, 2001 : 38).
Dengan fakta tersebut di atas, Hakim pun lalu
berpendapat bahwa pengakuan Marcellus Thompson tersebut
tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah, karena
pengakuan itu dilakukan tidak dengan sukarela. Lebih lanjut
Hakim berpendapat bahwa pada hakekatnya dasar pokoknya
bukanlah bahwa pengakuan yang dilakukan secara terpaksa
dan tidak sukarela dapat dinyatakan tidak berlaku, melainkan
bahwa kesaksian demikian itu adatah tidak valid bilamana
diterima oleh karena adanya tekanan dan ketakutan. (Sudibyo
Triatmojo, 2000: 39).
Pengabaian alat bukti yang diperoleh dari kekerasan
atau ancaman kekerasan telah diterapkan pula di Indonesia
yaitu dalam perkara Marsinah. Hal ini dapat disimak dari
putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1174 K / Pid /1994 atas
nama terdakwa Ny. Mutiari. Putusan Mahkamah Agung RI

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 113


Nomor 429 K I Pid I 1995 atas nama terdakwa Yudi Susanto,
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 381 K I Pid / 1995 atas
nama terdakwa Yudi Astono, Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 1592 K I Pid / 1994 atas nama terdakwa Bambang
Wuryanto dan Widayat serta AS Prayogi, dan Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1706 K I Pid /1994 atas nama
terdakwa Suwono dan Suprapto.
Dalam perkara tersebut di atas, para terdakwa
dibebaskan karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Salah satu alasan Majelis Hakim yang diketuai oleh Adi
Andoyo Soetjipto, karena para terdakwa mencabut semua
keterangannya (tentunya termasuk pengakuannya) di depan
penyidik karena adanya tekanan pisik dan psikis selama
penahanan yang dapat dtbuktikan secara nyata. (Varia
Peradilan, No. 120, 1995:13).
Pada hakikatnya, dengan memperlakukan para tersangka
atau terdakwa (khususnya mereka yang berada dalam
tahanan) sesuai dengan hak-haknya, berarti secara tidak
langsung para aparat penegak hukum telah melakukan proses
pembinaan. Paling tidak, seorang tersangka I terdakwa dapat
mengetahui hak-haknya ketika pertama kali bersentuhan
dengan proses hukum yang melibatkan dirinya. Dengan
demikian proses pembinaan terhadap seseorang yang terlibat
dalam suatu kasus tidak selalu harus berstatus naripidana.
Proses pembinaan terhadap para tahanan di sini tentunya
tidak perlu sama dengan seorang narapidana. Namun prinsip
dasarnya harus sama. Misa
lnya, dalam sistem permasyarakatan dikenal prinsip
bahwa satu-satunya derita yang dialami oleh naripidana
adalah dihilangkannya kebebasan bergeraknya. Jadi selain
itu, hak-hak yang Iainnya harus tetap dijunjungi tinggi dan
masih berlaku asas praduga tak bersalah kepadanya.
Namun patut ditegaskan bahwa sesungguhnya terdapat
perbedaan pelayanan bantuan hukum (legal aid) dalam kasus
perdata dan kasus pidana. Dalam kasus pidana, bantuan

114 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


hukum merupakan suatu kebijakan yudisial.
Dalam pada itu, Frans Hendra Winarta (2006:104)
menulis bahwa kurangnya penghargaan terhadap hak hidup
(right to life), hak inilik (right to property), dan hak kemerdekaan
(right to liberty) juga merupakan penyebab tingginya angka
penyiksaan, perlakuan dan hukuman yang tidak manusiawi
dan merendahkan martabat manusia.
Peranan institusi, bantuan hukum dianggap penting
dalam rangka penegakan HAM, khususnya dalam sistem
peradilan pidana, di sinilah pentingnya mereka terkena kasus
didampingi oleh penasehat hukumnya, karena tidak semua
subjek hukum yang berhubungan dengan suatu perkara
pidana memahami hak-haknya, termasuk tindakan apa yang
harus difakukan serta bagaimana prosedur mempertahankan
dan mendapatkan hak-haknya tersebut (Aswanto, 1999 : 248).

E. EKSISTENSI HAK-HAK TERSANGKA DAN


TERDAKWA DALAM SISTEM PERARADILAN
PIDANA YANG ADIL
Pada bagian ini ingin dikemukakan kedudukan hak-hak
tersangka/ terdakwa dalam sistem peradilan pidana terutama
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam rangica suatu
Proses hukum yang adil (due process of law).
Berdasarkan hal tersebut, perlu diketahui, apa relevansi
hak-hak tersangka atau terdakwa dalam sistem Peradilan Pidana
yang adil dan layak tersebut.
Tujuan utama adanya hak-hak tersangka atau terdakwa
adalah untuk mengakui dan menjamin terhadap harkat dan
martabat manusia, baik selaku individu maupun sebagai
anggota masyarakat. Pengakuan dan jaminan terhadap harkat
dan martabat tersebut, merupakan HAM baik bersifat nasional
maupun bersifat universal atau internasional.
Pelanggaran HAM atas hak-hak tersangka/ terdakwa karena
perbuatan sewenang-wenang aparat penegak hukum dapat

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 115


menyebabkan negara harus mengganti rugi atau rehabilitasi
terhadap mereka yang diperlakukan demikian.
Menurut Tanusubroto (1995:73), praperadilan sebagai
lembaga baru dalam KUHAP merupakan sarana bagi Hakim
untuk melakukan pengawasan terhadap masalah penegakan
hukum umumnya, khususnya tindakan penegakan hukum
dalam proses pemeriksaan pendahuluan (non ayudiksi).
Namun jika dikaitkan dengan makna sistem peradilan
sebagai “rangkaian tindakan terpadu”, keputusan yang
menyatakan tindakan penangkapan tidak sah dalam penyidikan
seharusnya dapat membawa pengaruh terhadap proses
lanjutannya dalam KUHAP ternyata pernyataan tidak sah oleh
aparat Penegak hukum, tetapi tidak menyangkut hasil kerja atau
akibat dan penggunaan wewenang tersebut.
Hal demikian tersebut karena proses praperadilan terbatas
hanya memeriksa apakah syarat formal Suatu penangkapan
penahanan telah dipenuhi atau tidak. Menurut Loebby Loqman
(1987:60) seharusnya bukan hanya syarat formal saja karena
: meskipun Hakim praperadilan hanya berfungsi sebagai
exaininating judge saja, dalam mengeksaminasi sahnya suatu
penangkapan harus juga melihat dasar dilakukannya suatu
penangkapan yakni adanya bukti permulaan yang cukup.
Hal ini tidak lain haruslah dilihat juga syarat material suatu
penangkapan.
Berdasarkan kenyataan atas pengaruh putusan praperadilan
memang tidak ada tahap hasil proses lanjutan yang dilakukan
oleh penegak hukum terhadap pokok perkara sekalipun proses
tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan.
Namun demikian makna praperadilan sebagai kontrol untuk
membatasi kekuasaan penegak hukum yang dilakukan secara
sewenang-wenang secara tersirat dianut oleh KUHAP.
Untuk mendukung hal tersebut di atas, praperadilan perlu
dijamin prosesnya, ini dikemukakan atas dasar dalam praktik
seringkali gagalnya proses praperadilan karena dibatasi oleh
waktu yang sangat singkat di dalam proses pemeriksaannya

116 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


(7 hari harus ada keputusan) dan menladi batal apabila mula
diperiksa pokok perkaranya Disamping itu, pemeriksaan yang
tidak seimbang karena tidak hadirnya tersangka, sehingga
kesulitan pembuktian yang diajukan tersangka/ terdakwa,
dan akhirnya menimbulkan kesan pemeriksaan Praperadilan
hanyalah formalitas saja.
Karena itu, Praperadilan sebagai sarana pengawasan
terhadap tindakan penegak hukum dalam proses nonajudikasi
perlu diperluas dan dipertegas agar makna dan praperadian
sebagaimana tersebut di atas, yaitu mengontrol dan membatasi
penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang terhadap
tersangka/ terdakwa dapat berfungsi.
Konkritnya dalam proses penegakan hukum hak dan
kewajiban yang telah disepakati diberikan kepada individu
ataupun kepada masyarakat (yang telah dituangkan dalam
undang-undang) tidak boleh dilanggar secara sewenang-
wenang oleh penegak hukum. Pelanggaran atas kesepakatan
tersebut dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap undang-undang, sehingga menimbulkan perpecahan
(desintegrasi) di kalangan masyarakat pendukung hukum
tersebut karena hukum dianggap tidak berfungsi.
Hal senada juga dikatakan oleh Muladi (2005:3) bahwa
hukum berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat (law
as an integrative mechanism). Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (1982:45) yang menyatakan:
Hukum itu merupakan bagian dari Perangkat kerja sistem
sosial. Fungsi sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasi
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sehingga
tercipta suatu keadaan yang tertib, Iebih lanjut dikatakan,
masyarakat dengan sistem sosial yang tertentu akan
memberikan pedoman-pedoman kepada para anggotanya
tentang bagaima hendaknya hubungan-hubungan antar
mereka itu dilaksanakan .

Apabila hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana tersebut


di atas, maka solidaritas masyarakatnya akan terganggu.
Masyarakat tidak lagi memperhatikan “perangkat kerja dari

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 117


sistem sosial” tersebut, sehingga masyarakat meragukan hukum
dan sekaligus meragukan lembaga maupun penegak hukum,
maka akibatnya masyarakat tersebut akan mengambil tindakan
sendiri (eigen richting) dalam menyelesaikan masalah hukum dan
terjadi anarki.
Dalam kaitannya dengan proses peradilan pidana tampak
penggunaan kekuasaan atau penyalahgunaan oleh penguasa,
sangat dominan. Proses peradilan pidana, Misalnya pada
proses non adyudikasi seringnya digunakan kekuasaan yang
melampaui kewajaran (unnecessary force) yang sering terjadi
dilakukan oleh polisi. Sebagai contoh tembak di tempat terhadap
pelaku kejahatan yang hendak ditangkap dengan alasan penjahal
tersebut hendak melarikan diri.
Apabila solidaritas masyarakat terganggu, karena hukum
tidak berfungsi lagi, maka penegakan hukum sebagai suatu
sistem terpadu akan menjadi sektoral atau fragmentasi maka
akibatnya tujuan SPP tidak akan tercapai. Dalam keadaan
demikian kekerasan dalam proses nonajudikasi biasanya sangat
menonjol dibandingkan dalam proses ajudikasi.
Menjadi fatal, dalam kenyataan polisi biasanya yang
dianggap belum menegakkan HAM secara baik sehingga sebagai
ujung tombak dalam SPP dianggapnya sebagai kegagalan dalam
penegakan hukum. Dengan demikian polisi dianggap sebagai
aparat penegak hukum yang tidak professional.
Apabila cara-cara penegak hukum seperti itu terus
dilakukan, maka tidak hanya berpengaruh terhadap citra aparat
penegak hukum tetapi juga berpengaruh terhadap solidaritas
masyarakat. Di dalam era globalisasi dimana dikehendaki
penegak hukum yang didasarkan suatu kerangka hukum yang
baik atau baku (good legal system), maka suatu negara apabila
melakukan penegakan hukum yang melanggar HAM sudah pasti
akan dikritik dan bahkan diisolir oleh negara-negara lainnya
sebagai anggota masyarakat dunia yang mempunyai komitmen
terhadap HAM.
Beberapa ciri hukum responsif yang bertujuan agar hukum

118 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


lebih tanggap terhadap kebutuhan terbuka pada pengaruh dan
lebih efektif dalam menangani masalah sosial, antara lain adalah:
1) Dinainika perkembangan hukum meningkatkan otoritas
tujuan.
2) Mengendalikan tuntutan pada ketaatan serta mengurangi
pada kekakuan hukum .
3) Bantuan hukum menamplikan suatu dimensi politik.
4) Terdapatnya perencanaan pranata hukum Secara Iebih
kompeten.

Keinginan untuk mewujudkan Suatu peradilan pidana yang


jujur berdasarkan prinsip-prinsip dasar kebebasan pengadilan
pada akhir-akhir ini semakin meningkat, peradilan yang jujur
dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak (a
fair trial and public hearing by an independent and impartial tribunal).
Demikian juga peradilan bebas dan campur tangan sewenang-
wenang baik pribadi, keluarga ataupun surat menyurat
(freedom from arbitrary interference with privacy, Family, home or
correspondence).
Jaminan atas suatu peradilan yang jujur tersebut merupakan
suatu kewajiban dari setiap negara yang bersendikan negara
hukum dan demokrasi, antara lain diawali adanya pengakuan
secara konstitusional (safeguards constitutions) dan dalam
perundang-undangan lainnya dalam suatu negara.
Dalam hubungannya dengan KUHAP, ketentuan-ketentuan
di atas diatur secara lebih rinci yang menunjukkan suatu proses
untuk mewujudkan peradilan yang jujur, namun demikian
menurut Wahyu Afandi (1987:19) peranan penegak hukum
(Hakim) dalam mewujudkan keadilan adalah sangat menentukan.
Dengan kata lain walaupun instrumen- instrumen internasional
maupun nasional telah cukup, tetapi jika penegak hukumnya
baik dari segi mental (sebagai produk budaya tertentu) maupun
dari segi kemampuannya tidak mendukung dan serasi, maka
peradilan yang jujur akan terganggu.
Pada prinsipnya keuntungan Yang akan didapat dalam

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 119


hubungannya dengan hak-hak tersangka/ terdakwa dalam SPP,
adalah sebagai suatu konsekuensi dan apa yang telah diuraikan
kepada bagian-bagian di atas antara lain dapat diperinci sebagai
berikut :
1) Menimbulkan dan memelihara suatu kepercayaan dan
wibawa dari masyarakat pendukung atas institusi (lembaga
peradilan) maupun terhadap aparat penegak hukum yang
melaksanakannya. Peradilan dianggap sebagai suatu proses
yang jujur dan adil karena dalam mekanismenya didasarkan
atas peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati,
peraturan mana tidak hanya memberikan kekuasaan atau
legitimasi kepada pelaksananya sehingga dapat mencabut
hak-hak dari setiap pelanggar, tetapi juga memberi batasan
bagaimana kekuasaan itu dijalankan, serta pengakuan dan
sekaligus jaminan atas hak-hak pelanggar sebagai bagian dari
HAM tidak dilanggar secara sewenang-wenang.
2) Masyarakat tidak akan berpikir atau berasumsi bahwa sistem
peradilan pidana hanyalah alat dan rekayasa dari penguasa
dalam rangka untuk mempengaruhi pendapat masyarakat
yang bertujuan memperkuat pendapat masyarakat yang
bertujuan memperkuat kedudukannya (penguasa).
Keuntungan ini dapat tumbuh apabila sistem peradilan
pidana dilaksanakan Secara konsisten, tidak diskriminasi, dan
represif, yaitu mengabaikan hak-hak tersangka/ terdakwa.
Hal ini karena sistem peradilan pidana dijalankan hanya atas
dasar ketentuan hukum yang berlaku, tidak Semata-mata
berdasarkan diskresi.
3) Sistem peradilan pidana yang memperhatikan hak-hak
tersangka/ terdakwa sebagai bagian dari HAM yang
diakui tidak hanya secara nasional tetapi juga antar bangsa
(internasional) menunjukkan negara yang melaksanakannya
komitmen terhadap asas universal yang telah diakui. Karena
asas-asas hukum internasional adalah juga bagian dari
hukum nasional (the principle of international law is part of the
law land). Berdasarkan hal tersebut, maka tidak hanya pranata

120 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


hukum tetapi juga lembaga hukum kita meiniliki ciri dan
dapat dikualifikasikan sebagai hukum modern.
4) Sistem peradilan pidana yang harus mampu secara konsisten
melaksanakan hak-hak tersangka/ terdakwa sebagai bagian
dari HAM. Merupakan komitmen terhadap prinsip negara
hukum yang dianut oleh UUD RI 1945 dan asas-asas hukum
yang berlaku di Iingkungan bangsa-bangsa beradab seperti
the basic principles of the independence of judiciary. Dengan
demikian prinsip negara hukum dan asas hukum bangsa
itulah yang mampu menghindari para penegak hukum dan
praktek-praktek negatif akibat pengaruh lingkungan politik,
ekonomi, sosial budaya dan iptek serta hankam.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan ada


keterkaitan antara konsep negara hukum di satu pihak dengan
konsep HAM di lain pihak, di mana keduanya merupakan
gambaran dari adanya supermasi hukum. Supermasi hukum
sendiri menunjukkan suatu konsep dianggap sebagai suatu
keharusan dalam negara-negara yang menganut demokrasi yang
berintikan persamaan (equality). Dalam perkembangan lebih
lanjut persamaan tersebut tidak hanya terbatas pada pengertian
politik, tetapi juga persamaan di muka hukum sebagai salah
satu pilar untuk menjamin adanya fair trial dan mendukung
hak-hak tersangkalterdakwa. Jadi keuntungan hak-hak
tersangkalterdakwa dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana
dalam suatu negara, adalah menunjukkan atau memberikan
gambaran eksistensi negara hukum dan negara demokrasi di
satu pihak, serta eksistensi pelaksanaan HAM di lain pihak.
Dengan kata lain pelaksanaan hak-hak tersangka l terdakwa
secara konsisten dalam negara hukum maupun demokrasi yang
dianut oleh suatu negara, akan mampu memberi gambaran
bahwa pelaksanaan HAM tersebut tidak hanya simbol keadilan
belaka (symbolic Justice)
KUHAP mengatur proses peradilan pidana yang lebih
menjamin hak-hak asasi manusia, yaitu dengan memberikan hak-
hak kepada tersangka/terdakwa OIeh karena itu tersangka &

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 121


terdakwa tidak hanya dianggap sebagai pelanggar hukum (obyek
pemeriksaan melainkan sebagai manusia yang mempunyai hak
dan kewajiban (subyek hukum).
Penegak hukum dalam proses peradilan pidana menghadapi
tugas cukup berat, mereka menghadapi kepada dua pilihan
sekaligus yang tidak dapat disingkirkan. Satu pihak menghadapi
tersangka / terdakwa sebagai manusia pribadi dari anggota
masyarakat yang mempunyal hak, di lain pihak menghadapi pula
fakta bahwa tersangka/ terdakwa yang patut diduga melakukan
perbuatan itu sehingga hak-haknya dapat dikesampingkan.
Seorang tersangka/ terdakwa dalam proses peradilan
pidana belum tentu bersalah sebagaimana yang dilaporkan,
diadukan atau didakwakan, maka selayaknya perwujudan dan
perlindungan hak-hak asasi tersangka/ terdakwa mendapat
perhatian dalam pelaksanaan proses peradilan pidana sesuai
dengan prinsip-prinsip negara hukum.

F. KONSEP KEJAHATAN DALAM SISTEM


PERADILAN PIDANA

a. Pengertian Korban Kejahatan


Menurut Arif Gosita (1983:41) korban kejahatan adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
dan hak asasi yang menderita.
Korban kejahatan merupakan topik masalah yang mulai
banyak menarik perhatian dunia, karena masalah korban
kejahatan sudah cukup lama terlupakan oleh para ahli. Mereka
Iebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada perlindungan
terhadap pelaku kejahatan. Besarnya perhatian para ahli terhadap
korban kejahatan membuka cakrawala baru dalam krininologi.
Pengertian korban kejahatan cakupannya mulai diperluas,
yang mulanya hanya menitikberatkan pada korban kejahatan
konvensional, Misalnya pembunuhan, perkosaan, penganiayaan

122 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


dan pencurian, kemudian diperluas pengertiannya menjadi
kejahatan yang non-konvensional; seperti terorisme, pembajakan,
perdagangan narkotika, kejahatan terorganisir dan kejahatan
melalui komputer. Selanjutnya menurut Mardjono Reksodiputro
(1987:96) pembicaraan mengenai korban kejahatan meliputi pula
pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, yang bersumber
dari illegal abuses of econoinic power dan illegal abuses of public power.
Jadi perhatian dunia sekarang bukan hanya terhadap korban
kejahatan konvensional atau non-konvensional melainkan juga
terhadap illegal abuse of power (econoinic and public). Hal ini bisa
dilihat dari rumusan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang The
Declaration of Basic principle of Justice for Victims of Crime and Abuse
of Power, di Inilan Tahun 1985 (Arif Gosita, 1987:76) sebagai
berikut:
“Victims means person who, individually or collectively, have
suffered herm, Including physical or mental injury, emotional
suffering, econoinic loss or Substantial impairment of their
fundanmental rights, criminal laws operative with Member States,
including those laws Proscribing criminal abuse of power.”
(Korban berarti orang, baik secara individu maupun secara
kolektif menderita kesakitan termasuk fisik atau mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan
substansial dan hak-hak fundamentalnya hukum pidana
yang berlaku dengan negara anggota termasuk hukum-
hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan).

Dengan rumusan tersebut tampak bahwa ruang lingkup


kajian mengenai korban kejahatan tidak lagi dibatasi oleh ruang
Iingkup hukum pidana. Jadi, kajian mengenai korban kejahatan
tidak lagi memadai untuk dipelajari dalam kriininologi,
maka dirasakan perlu untuk mempelajari secara mandiri
dan dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan sendiri yang
viktimologi atau victimology.
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan
baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi in-
ternasional yang membahas mengenai korban kejahatan,
antara lain sebagai berikut:
a. Arief Gosita (1987: 78) menyatakan:

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 123


Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang
lain yang berrtentangan dengan kepentingan hak asasi pihak
yang dirugikan.
b. Ralph de Sola (1998:188) menyatakan:
Korban (victim) adalah person who has injured mental or
physical Suffering, loss of Property or death resulting from an
actual attempted criminal offense Cominitted by another...”
(orang yang telah menderita secar fisik dan mental mengalami
kerugian harta atau kematian akibat dan usaha tuduhan
kriminal yang dilakukan oleh orang lain ...“)
c. Cohen (Roinii Atmasasiinita, tt: 9) menyatakan pula bahwa:
Korban (victim) adalah “.. whose pain and suffering have been
neglected by the state while it spends immense resources to hunt
down and punish the offender who responsible for thal pain and
suffering.”
(...rasa sakit dan penderitaan yang telah diabaikan oleh negara
sementara menghabiskan sumber daya yang luar biasa untuk
memburu dan menghukum pelaku yang bertanggungjawab
untuk itu rasa sakit dan penderitaan).
d. Separovic (Romli Atmasasiinita, tt: 29) menyatakan:
Korban (victim) adalah : “….the person who are threatened,
injured or destroyed by an actor or oinission of another (mean,
structure, organization, or institution) and consequently; a victim
would by anyone who has suffered from or been threatened by a
punishable act (not only criminal act but also other punishable acts
as inisdemeanors, econoinic offences, non fulfill ment of work duties)
or an accidents. Suffering may be cowed by another man a structure
where people are also involved.
(“...orang yang terancam, tersakiti atau terluka oieh pelaku
atau penghapusan oleh orang lain (cara, struktur, organisasi,
atau institusi) dan konsekuensinya, korban yang telah
menderita atau terancam oleh tindakan yang dapat dihukum

124 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


(tidak hanya tindakan kriminal namun juga tindakan lain
yang dapat dihukum seperti pelanggaran hukum yang ringan,
tuduhan ekonomi, tidak dipenuhinya kewajiban pekerjaan)
atau kecelakaan. Penderitaan dapat dilakukan oleh orang lain
dimana orang juga terlibat).
e. Muladi (2002:108) menyatakan pula bahwa:
Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara
individual maupun kolektif telah menderita kerugian,
termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau
gangguan substansi terhadap hak-haknya yang fundamental,
melalui perbuatan atau koinisi yang melanggar hukum
pidana di masing-masing negara, termasuk Penyalahgunaan
kekuasaan .
f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, menyebutkan:
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan I atau
ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
g. Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Koinisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, menyebutkan:
Korban adalah orang yang perseorangan atau kelompok orang
yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian,
pengurangan, atau prampasan hak-hak dasarnya, sebagai
akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk
korban adalah ahil warisnya.
h. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban
dan Saksi dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat Yang memerlukan perlindungan fisik
dan mental dan ancaman, gangguan terror, dan kekerasan
pihak manapun.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 125


i. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice
Victim of Crime and Abuse of Power 1985
Koban (victim) means persons who, individually encollectivelly,
have suffered harm, including physical or mental injury, emotional
suffering, econoinic loss or substantial impairment of their
fundamental right, through acts or oinission of criminal laws
operative within Member States, including those laws proscribing
criminal abuse of power’... through acts or inissions thal do not yet
constitute violation of national criminal laws but of internationally
recognized norms relating to human rights.
(Korban berarti orang yang biak secara individu maupun
kelompok telah menderita baik pisik atau pun mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau pengambilan
hak fundamental mereka, melalui tindakan atau penghilangan
hukum kriminal yang berlaku dalam Negara-negara
anggota, termasuk hukum-hukum yang melarang kejahatan
penyalahgunaan kekuasaan”... melalui tindakan-tindakan
atau inisi-inisi yang belum termasuk pelanggaran hukum
kriminal nasional maupun norma-norma yang diakui secara
internasional sehubungan dengan hak-hak asasi manusia) .

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban


di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak
hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung
menderita akibat dan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan
kerugian I penderitaan bagi diri I kelompoknya, bahkan, Iebih
luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan
Iangsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian
ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk
mencegah viktimisasi.
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat
untuk Iebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah
jenis korban hingga kemudian muncullah beberapa jenis korban
yaitu sebagal berikut:
a. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli

126 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


terhadap upaya penanggulangan kejahatan.
b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter
tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
c. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulikan rangsangan
terjadinya kejahatan.
d. Participating victims, yang dengan perilakunya memudahkan
dirinya menjadi korban.
e. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
perbuatan yang dibuatnya sendiri.

Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki


kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut
keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut:
a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya
sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan
pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhya terletak
pada pelaku.
b. Provactive victims, Yaitu seseorang Yang Secara aktif
mendorong dirinya menjadi korban misalnya pada kasus
selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
c. Participating victims, Yaitu seseorang yang tidak berbaut akan
tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi
korban.
d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik
memiliki kelemahan yang menyebabkan Ia menjadi korban.
e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan
sosial yang lemah yang menyebabkan Ia menjadi korban.
f. Self victmizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban
karena kejahatan yang dilakukan sendiri, misalnya korban
obat bius, judi, aborsi, prostitusi (Chaeruddin, 2004:42).

Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu


sebagai berikut:
a. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 127


perorangan (bukan kelompok)
b. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya
badan hukum.
c. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
d. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahul,
misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu
produksi. (Suryono, 2001 : 176)

Di beberapa negara di Amerika Serikat serta Michigan telah


ada suatu lembaga yang didirikan khusus untuk membantu
korban kejahatan dan Orang-orang yang membantu korban
yang bukan karena kesalahannya, telah menderita kerugian
sebagai akibat dari suatu kejahatan. Lembaga ini dinamakan
The Crime Victim’s Compensation Board. Bantuan yang disediakan
adalah bantuan untuk pelayanan kesehalan, atau Pelayanan-
pelayanan lain yang diperlukan, seperti biaya pemakaman,
bantuan karena kehilangan penghasilan, dan sebagainya. untuk
memperoleh bantuan ini, harus diajukan kepada The Crime
Victim’s Compensation Board, PO.BOX 30026, Lansing, Michigan
48909, biasanya dalam jangka waktu 30 hari sesudah terjadinya
kejahatan, atau 90 hari setelah kematian korban. (Arif Mansyur,
2006:52)
Berdasarkan Pasal 10 dan Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT), korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak Iainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehalan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban;
d. Pendampinga oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada
setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;

128 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


e. pelayanan bimbingan rohani;

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/A/Res/34


Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi)
agar Iebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam
proses peradilan, yaitu:
a. Compassion, respect and recognition;(Perasaan simpatik, respek,
dan pengakuan)
b. Receive information and explanation about the progress of the case;
(menerima informasi dan penjelasan tentang kemajuan kasus)
c. Provide information (memberi Informasi,)
d. Providing proper assistance; (memberi bantuan sewajarya)
e. Protection of privacy and physical safety; (perlindungan privasi dan
keselamatan)
f. Restitution and compensation; (restitusi dan kompensasi)
g. To access to the mechanism of justice system (Akses pada mekanisme
slstem peradilan)

b. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan


Dalam hal pelayanan dan perlakuan terhadap korban
kejahatan secara formal sering dituntut, karena merupakan salah
satu bentuk perlindungan dan konsekuensi hukum.
Sebelumnya tidak ada ketentuan terperinci mengenai
bentuk perlindungan korban sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan dalam pengayoman hukum antara korban
dan pelaku kejahatan yang pada akhirnya akan menimbulkan
ketidakadilan dengan kurangnya perlindungan hukum terhadap
korban dapat menyebabkan korban bersikap pasif dan cenderung
non-kooperatif dengan petugas, bahkan terdapat korban antara
kurangnya perlindungan dengan keengganan korban untuk
melapor kepada aparat,terlebih lagi setelah korban melapor,
peran dan antara kurangnya perlindungan dengan keengganan
korban untuk melapor kepada aparat, terlebili lagi setelah
korban melapor, peran dan kedudukannya bergeser sedemikian
rupa sehingga aparat pengadilan satu-satunya pihak yang dapat

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 129


mewakili semua kepentingan korban.(Yulia, 2010: 58) .
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban
kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional,
tetapi juga internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu
memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan
korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat
dari bentuknya Declaration of Basic Prinsipal of Justice for Victims
of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The sevent
United Nation Conggres on the Prevention of Crime the Treatment
of Ofenders, yang berlangsung di milan, Italia, September 1985.
(YUIia, 2010 : 60)
Dalam deklarasi PBB tersebut telah dirumuskan bentuk-
bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
1. Access to justice and fair treatment
2. Restitution
3. Compensation
4. Assistance
Dalam penegakan hukum pidana nasional (baik KUHP
maupun KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi
ketentuan hukum pidana nasional tersebut, yang telah diatur
secara tegas tanpa memperhatikan kedudukan dan kepentingan
korban ternyata hingga sekarang hanyalah sebuah regularitas
yang bersifat rutin namun makna etika harus berhadapan dengan
pentingnya perlindungan hukum korban kejahatan.
Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting
karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat
menjadi korban atau bahkan sebagal pelaku kejahatan.
Perlindungan hukum korban kejahatan sebagal bagian
dari perlindungan kepada masyarakat dapat diwujudkan
dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan
kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.
Beberapa bentuk perlindungan terhadap korban, yaitu:

a. Ganti rugi

130 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Istilah ganti kerugian digunakan oleh KUHAP dalam Pasal
99 ayat (1) dan (2) dengan penekanan pada penggantian biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban.
Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti
kerugian terkandung dua manfaat yaitu pertama untuk memenuhi
kerugian material dan segala biaya yang telah dikeluarkan dan
kedua merupakan pemuasan emosional korban.Sedangkan dilihat
tdari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian
dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan
dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan
dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.
Gelaway (Chaeruddin, 2004:65) merumuskan lima tujuan
dan kewajiban mengganti kerugian, yaitu:
1. Meringankan penderitaan korban;
2. Sebagal unsur yang meringankan hukuman yang akan
dijatuhkan;
3. Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana;
4. Mempermudah proses peradilan
5. Dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam
bentuk tindakan balas dendam.

Dari tujuan yang dirumuskan Gelaway di atas, pemberian


ganti kerugian harus dilakukan secara terencana dan terpadu.
Artinya, tidak semua korban patut dibenikan ganti kerugian
karena adapula korban, baik langsung maupun tidak langsung
turut terlibat dalam suatu kejahatan yang perlu dilayani dan
diayomi adalah korban dan golongan masyarakat kurang
mampu, baik secara finansial maupun sosial.

b. Restitusi (restitution)
Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku
terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga
sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian
yang diderita korban. Tolak ukur yang digunakan dalam
menentukan jumlah restitusi yang diberikan untuk mudah dalam

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 131


merumuskannya. Hal ml tergantung pada staus sosila pelaku
dan korban. Dalam hal korban dengan status sosial Iebih rendah
dan pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk
materi, dan sebaliknya jika status korban Iebih tinggi dan pelaku
maka pemulihan harkat serta nama balk akan lebih diutamakan.

c. Kompensasi
Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat
dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Adanya
gagasan mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat dengan
berlandaskan pada komitmen kontrak sosial dan solidaritas
sosiaI menjadikan masyarakat dan negara bertanggungjawab
dan berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya
khususnya mereka yang mengalami musibah sebagai korban
kejahatan kompensasi sebagai bentuk santunan yang sama sekali
tidak tergantung bagaimana berjalannya proses peradilan dan
putusan yang dijatuh bahkan sumber dana untuk itu diperoleh
dari pemerintah atau dana umum.
Dalam “International Penal Reform Conference” yang
diselenggarakan di Royal Halloway College, University of
London, pada tanggal 13 - 17 April 1999 diidentitikasikan sembilan
strategi pengembangan dalam melakukan pembaharijan hukum
pidana, yaitu mengembangkan I membangun;
1. Restorative justice (keadilan restoratif)
2. Alternative dispute resolution (alternatif penyelesaian sengketa)
3. Informal justice (keadilan informal)
4. Altemntive to Custody (alternatif untuk kustodian)
5. Alterantive ways of dealing with juvenile (cara alternatif untuk
menghadapi remaja)
6. Dealing with violent crime (berurusan dengan kejahatan
kekerasan)
7. Reducing the prison population (mengurangi populasi penjara)
8. The proper management of prison (pengelolaan yang tepat dari
penjara).

132 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


9. The rule of civil Society in penal reform (aturan masyarakat sipil
dalam reformasi hukum Pidana) (Barda Nawawi Arif, 1984:16)

Dalam Dekairasi Wina, Kongres p ke-10/2000 (dokumen


A/CONF. 187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk
memberikan Perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya
diintrodusir mekanisne mediasi dan peradilan restorative
(restorative justice). Pada Maret 2001, Uni Eropa membuat the EU
Council Framework Decision tentang “kedudukan korban di dalam
proses pidana” (the standing of victims In criminal proceedings) —
EU (2001/220/JBZ) yang didalamnya termasuk juga masalah
mediasi. Selanjutnya pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB)
telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai “basic Principles the
Use of restoratIve Justice Pro grames in Criminal Matters” yang di
dalamnya juga mencakup masalah mediasi. (Barda Nawawi Arif,
1984: 19).

c. Kedudukan Korban dalam Undang-Undang No. 13 Tahun


2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Setelah sekian lama banyak pihak menunggu Iahirnya
undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai
perlindungan saksi dan korban, akhirnya pada tanggal 11
Agustus 2006 undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan diberlakukan.
Sekalipun beberapa materi dalam undang-undang ini masih
harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan berlakunya
undang-undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya
perlindungan korban kejahatan.
Dasar pertimbangan Perlunya diatur undang-undang
mengenai perlindungan saksi (korban) kejahatan yang dapat
dilihat pada bagian pertimbangan undang-undang ini, yang
antara lain menyebutkan dalam proses peradilan pidana sering
mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan
tenang tindak pidana yang dilakukan pelaku. Hal ini terjadi
karena tidak hadirnya saksi di persidangan yang disebabkan
adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 133


Padahal diketahui bahwa peran saksi (korban) dalam suatu
proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya
mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang
dilakukan pelaku. Korban dan I atau saksi diakui keberadaannya
dalam proses peradilan pidana. (Arif Mansyur, 2004:152).
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 menganut pengertian
korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami
penderitaan, tidak hinya kombinasi di antara ketiganya. Hal
ini terdapat pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006 yang menyebutkan korban ,adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan I atau kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006, dapat dilihat tentang hak yang diberikan kepada saksi dan
korban, yang meliputi:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,
dan harta bendanya, serta bebas dan ancaman yang berkenaan
dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
I. Mendapat identitas baru;
j. Menapatkan tempat kediaman baru;
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
I. Mendapatkan nasihal hukum dan I atau
M.Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai waktu
perlindungan terakhir.

134 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


d. Kedudukan Korban dalam Undang-undang No. 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia,
aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang
dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan
kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam
lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan
pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin han semakin
meningkat, untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan
dalam rumah tangga tersebut diperlukan suatu perangkat hukum
yang lebih terakomodir, hal ini ditanggapi oleh pemerintah
dengan mengeluarkan Undang-undang nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
disahkan pada tanggal 14 September 2004.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
diharapkan dapat menjadikan solusi untuk mencegah dan
menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam
upaya penegakan hukum. Sesuai dengan asas yang diatur dalam
Pasal 3, yakni:
a. Pengohormatan HAM;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Nondiskriminasi ; dan
d. Perlindungan korban

Mengenai korban kekerasan dalam rumah tangga dapat


berasal dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, tingkat
sosial ekonomi agama dan suku bangsa. Yang dimaksud dengan
korban menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
KDRT adalah orang yang mengalami kekerasan dan / atau
ancaman kekerasan dalam Iingkup rumah tangga.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 135


Arif Gosita memberikan pengertian tentang korban yaitu
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
dan hak asasi yang menderita. Suatu terobosan baru dalam
perundang-undangan kita, bahwa dalam UU Penghapusan
KDRT ini diatur mengenai hak-hak korban, sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 10: Korban berhak mendapatkan:
f. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, Kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak Iainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
g. Pelayanan kesehalan sesuai dengan kebutuhan medis;
h. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban;
I. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada
setiap ingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undang; dan
j. Pelayanan bimbingan dan rohani

e. Kedudukan Korban dalam Declaration of Basic Principles


of Justice Victim of Crime and Basic Abuse Power
Korban dalam declaration of basic principles of justice for victims
of crime and abuse of power meliputi dua hal, yaitu korban kejahatan
dan korban penyalahgunaan kekuasaan.
Pengertian korban kejahatan dalam declaration of basic
principles of justice for victims of crime and abuse of power adalah:
“Victims” means persons who, individually or collectively, have
suffered harm, including physical or mental injury, emotional
suffering, economic loss or substantial impairment of their
fundamental rights, through acts or omissions thal are in violation
of criminal laws operative within Member States, including those
laws proscribing criminal abuse of power.
(korban berarti orang yang secara individu atau pun
kelompok telah menderita kerugian baik fisik maupun

136 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


mental, emosional, ekonomi atau pengambilan hak-hak
fundamental mereka melalui tindakan-tindakan atau
penghapusan yang melanggar hukum kriminal yang berlaku
dalam negara-negara anggota termasuk hukum-hukum
yang melarang kejahatan penyalahgunaan kekuasaan)
(Yutia, 2010: 117)

lstilah korban juga termasuk keluarga atau orang yang


bergantung kepada orang lain yang menjadi korban. Dengan
demikian korban yang dimaksud bukan hanya korban yang
mengalami penderitaan secara langsung, melainkan keluarga
atau orang-orang yang mengalami penderitaan akibat dari
menderitanya si korban tadi.
Dalam declaration of basic principles of justice for victims of crime
and abuse of power terdapat beberapa hak yang fundamental bagi
korban (Yulia, 2010:118 — 120), yaitu:

1. Access to justice and fair treatment


Korban harus diperlakukan dengan rasa kasihan dan rasa
hormat. Mereka berhak atas akses kepada mekanisme-mekanisme
dan keadilan dan untuk mengganti kerugian.
Mekanisme-mekanisme administratif dan hal tentang
pengadilan hams dibentuk I mapan dan diperkuat di mana perlu
memungkinkan korban-korban untuk memperoleh mengganti
kerugian melalui prosedur-prosedur formal atau informal
yang bersifat cepat dan efisien, adil, dapat diakses dan yang
murah. Korban-korban harus diberitahukan kerugian melalui
mekanismem ekanisme seperti itu.
Kemampuan reaksi dan proses-proses adiministratif dan
hal tentang pengadilan sesuai dengan kebutuhan korban harus
dimudahkan oleh:
Kebutuhan korban yang berkaitan dengan proses pengadilan
di antaranya:
(a) memberi tahu korban-korban dari peran mereka dan Iingkup,
pemilihan waktu dan kemajuan dari cara bekerja dan disposisi
kasus-kasus mereka, terutama kejahatan-kejahatan yang

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 137


serius dilibatkan dan mereka sudah meminta informasi;
(b) Korban didengar keinginannya untuk dipertimbangkan;
(c) Bantuan yang tepat kepada korban-korban sepanjang proses
yang hukum;
(d) Memperlakukan korban dengan baik dan menjamin
keselamatan keluarga korban dan saksi dan ancaman
intimidasi;
(e) Menghindari penundaan dalam mengabulkan putusan
korban-korban.

2. Restitution
Pelaku kejahatan atau pihak ketiga bertanggung jawab untuk
mengganti kerugian kepada korban-korban, keluarga-ketuarga
atau orang yang bergantung kepada korban. Penggantian
kerugian seperti itu termasuk kembalinya harta atau pembayaran
untuk kerugian yang diderita dan pemulihan hak-hak.
Pemerintah, perlu meninjau ulang pelaksanaan dan
peraturan undang-undang untuk mempertimbangkan
penggantian kerugian dalam perkara pidana. Termasuk alam
kasus kejahatan Iingkungan. Lebih balk dilakukan pemulihan
hngkungan atau ganti kerugian.

3. Compensation
Kompensasi diberikan kepada korban oleh pelaku. Akan
tetapi pada saat pelaku tidak sanggup untuk membayar maka
kompensasi itu harus dibayar oleh negara.
Korban yang mendapat kompensasi yaitu:
(a) Korban yang menderita luka fisik maupun psikis akibat dari
kejahatan yang berbahaya;
(b) Keluarga korban

4. Assistance/bantuan
Korban perlu menerima bantuan baik medis, sosial dan
psikologis. Bantuan ini disalurkan melalui bidang pemerintahan

138 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


atau masyarakat. Korban harus dijamin kesehalannya.
Para aparat terakit harus mempunyai pengetahuan yang
cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan korban. Sehingga
bantuan yang dibenikan optimal dan profesional. Bantuan yang
diberikan harus tepat sasaran.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 139


140 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
BAB IV
PROSES PERADILAN PIDANA
DI INDONESIA

Sebelum penulis membahas Iebih jauh beberapa indikator


variabel yang diketengahkan dalam buku ini sebagai suatu bentuk
dari proses peradilan pidana yang adil sebagai perwujudan
dari peradilan yang progresif, maka terlebih dahulu diuraikan
beberapa hal yang berhubungan dengan SPP, terutama aspek-
aspek yang sangat bertalian dengan penyelenggaraan proses
hukum yang ada.
Untuk itu, sebelum membahas Iebih jauh konsep proses
hukum yang adil, terlebih dahulu penulis akan uraikan beberapa
hal yang bertalian dengan SPP, terutama aspek-aspek yang
sangat berkait dengan penyelenggaraan proses hukum yang adil.
SPP pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum
pidana dan ahli dalam “criminal justice science” di Amerika
Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme
kerja aparatur penegak hukum. Ketidakpuasan terbukti dan
meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-
an. (Romli Atmasasmita, 1996 : 6-7). Pada masa itu pendekatan
yang dipergunakan dalam penegak hukum adalah hukum
dan ketertiban (law and order approach) dan penegakan hukum
dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah “law
anforcemenf’. lstilah ini menunjukkan bahwa aspek hukum dalam
penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian
sebagai pendukung utamanya. Keberhasilan penanggulangan
kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektifitas dan
efisiensi kerja organisasi kepolisian. Namun dalam penegakan
hukum demikian, pihak kepolisian menghadapi berbagai
kendala baik yang bersifat Operasional maupun proceduralle legal

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 141


dan kemudian kendala ini tidak memberikan hasil yang optimal
dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkan
terjadi sebaliknya.
Hagan (Romli Atmasasmita, 1993:8) membedakan antara
criminal justice process dan criminal justice system. Menurutnya
criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan
yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang
membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan
criminal justice system adatah interkoneksi antara keputusan dan
setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Sedangkan Mardjono Reksodiputro (1994:93) menulis bahwa
proses peradilan pidana merupakan suatu rangkaian kesatuan
(continuum) yang menggambarkan peristiwa yang maju secara
teratur; mulai dan penyidikan, penangkapan, penahanan,
penuntutan, periksa oleh pengadilan, diputus oleh Hakim, di
pidana dan akhirnya kembali pada masyarakat.
Sementara itu, Barda Nawawi Arief (1992:197) mengartikan
SPP sebagai suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena
itu berhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu
sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara
pidana. Pada dasarnya, lanjut Barda Nawawi Arief, Perundang-
undangan pidana merupakan penegakan hukum pidana in
abstracto yang akan diwujudkan ke dalam penegakan hukum in
concrecto.
Terkait filosofi yang mendasari jalannya SPP, Patut
dikemukakan pendapat Geoffrey Hazard Jr sebagaimana yang
dikutip oleh Romli Atmasasmita (1996:17) bahwa dalam SPP
dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu pendekatan normatif,
administratif dan sosial.
Dalam kaitannya dengan SPP ini, Herbert Packer (1986:153)
memperkenalkan dua model, yaitu crime control mode dan dua
process model. Dua model ini, merupakan antinomi normative di
pusat hukum pidana. Keduanya berupaya mengabtrasikan dua
sistem nilai yang berbeda dalam pelaksanaan proses peradilan
pidana.

142 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


CCM dan DPM memang tidak sama namun tidak
bertentangan, keduanya bertumpu pada sistem perlawanan (The
Adversary System). CCM percaya pada keahlian penegak hukum,
polisi, jaksa dan Hakim, sehingga orang yang diajukan ke
pengadilan dianggap Sembilan puluh persen sebagai pelakunya
sedangkan DDM percaya pada pertarungan pengacara sebagai
upaya mencari kebenaran materil. Dengan cara ini dapat
diminimalisasi terjadinya error.
Dalam adversary system ini, penasehat hukumlah yang
mengendalikan perkara. Mereka menyusun strategi, menggali
dan menyajikan alat bukti di pengadilan. Sedangkan Hakim
hanya mengawasi agar kedua belah pihak mematuhi aturan
main yang telah ditetapkan. Jadi, peran Hakim di sini tidak lebih
sebagai seorang wasit.
Menurut Fuller (1995:27) filsafat peradilan dengan sistem
perlawanan ini adalah suatu filsafat yang menekankan perbedaan
antara fungsi penasehat hukum di satu sisi, dan fungsi Hakim
dan dewan yuri di sisi lain. Dalam sistem perlawanan ini putusan
perkara terletak pada Hakim atau dewan yuri. putusan harus
dijauhkan dari sifat subyektivitas dan prasangka.
Akhirnya, Fuller (1996 : 27) menulis bahwa sistem
perlawanan ini pembenarannya terletak pada kenyataan bahwa
ia merupakan suatu sarana, di mana kemampuan individu dapat
ditingkatkan sampal titik di mana ia memperoleh kekuatan
untuk melihat realitas dengan mata yang bukan matanya sendiri,
di mana ia mampu untuk menjadi bebas dari keberpihakan dan
bebas dari prasangka sebagaimana “dapat dimungkinkan oleh
keadaan manusia”.
Berbeda dengan adversary system, di negara civil law seperti
Perancis, Jerman dan Belanda dikenal adanya sistem peradilan
yang disebut sistem selidik (inquisitorial system). Sistem selidik
ini sangat berbeda dengan sistem perlawanan. Dalam sistem
selidik ini, peranan Hakim cukup besar, karena merekalah
yang membangun dan memutus perkara. Untuk itu, mereka
menyelidiki fakta dan mengumpulkan alat bukti bertalian

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 143


dengan perkara yang ditanganinya. Namun di sisi lain, peranan
penasehat hukum dalam sistem selidik ini tidak sedominan
dengan peranan penasehat hukum pada sistem perlawanan.
Mengingat Indonesia bekas jajahan Belanda, maka
sebagaimana negara-negara Eropa kontinental lainnya, sistem
peradilan pidana di Indonesia pun Iebih berorientasi kepada civil
law system.
Selanjutnya, bila menyimak model yang dikemukakan oleh
Herbert packer, yaitu CCM dan DPM sangat mempengaruhi
Hukum Acara Pidana Indonesia. Due process model misalnya,
nilai-nilai yang terdapat di dalamnya sejalan dengan apa yang
dikandung dalam KUHAP, yaitu adanya perlindungan atas
hak-hak tersangka seperti dijunjung tingginya asas praduga
tidak bersalah dan asas persamaan di muka hukum serta adanya
kesempatan tersangka/ terdakwa untuk didampingi oleh
penasehat hukum. Sedangkan secara operasional CCM ini masih
cenderung mewarnai proses peradilan pidana kita, khususnya di
tingkat penyidikan.
Bagi Muladi (1995:5) baik CCM, DPM maupun Family
Model masing-masing mempunyai kelemahan. CCM tidak
cocok diterapkan, karena model ini memandang penjahat
sebagian musuh masyarakat yang harus dibasmi atau
diasingkan, ketertiban umum berada di atas segalanya dan
tujuan pemidanaan adalah pengasingan sedangkan due process
model tidak sepenuhnya menguntungkan karena bersifat anti
authoritarian values family model dari Griffiths kurang memadai
karena terlalu offender juga memerlukan model sistem Peradilan
Pidana Yang oriented, karena masih terdapat korban (victim)
yang juga memerlukan perhatian serius. Untuk itu, lanjut Muladi,
model sistem peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah
model yang mengacu kepada “daad dader strafrecht” yang disebut:
model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model
yang realistik memperhatikan kepentingan negara, kepentingan
umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana
dan kepentingan korban kejahatan .

144 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Bahkan pengalaman telah menunjukkan, kritik terhadap
buruknya pelaksanaan SPP tidak hanya bertalian dengan
perlakuan terhadap tersangka melainkan juga terhadap korban
dan saksi. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Andrew
Karmen (1984:125) sebagai berikut:
The criminal justice system is a branch of government thal comes
under scathing attack all quarters. Conservatives, liberals, and
radicals; feminist’ law and order advocates; civil rights activists’
and civil libertarians; all find fault with its rules and operations.
Even its officials joint the chorus of critics calling change. If there
is one word thal describe how the criminal justice sistem treats
victim of crimes and witnesses to crimes, it is “badIy”.
(Sistem peradilan pidana adalah cabang pemerintah yang
datang dari serangan dan semua penjuru. Konservatif, liberal,
dan radikal, hukum feminis dan advokat lain. Aktifitas
hak-hak sipil serta libertarian sipil; semua mendapatkan
kesalahan pada aturan dan pelaksanaannya. Bahkan pejabat
turut bersama-sama kritikus meneriakkan perubahan. Jadi
ada satu kata yang melukiskan bagaimana sistem peradilan
pidana memperlakukan korban kejahatan dan saksinya,
maka itu tidak baik).

Untuk itu, dalam upaya perbaikan SPP seyogianya tidak hanya


difokuskan pada perlndungan hak-hak tersangka/ terdakwa
saja. Akan tetapi pula memperhatikan hak-hak korban dan saksi.
Bertalian dengan tujuan SPP Mardjono Reksodiputro (1994:85)
merumuskan sebagat berikut:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah dipidana;
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan.

Sedangkan Romli Atmasasmita (1996:9-10) menulis bahwa ciri


pendekatan sistem dalam peradilan pidana ialah:
a. Titik berat koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan
pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan);

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 145


b. Pengawasan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh
komponen peradilan pidana;
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama
dan efesiensi penyelesaian perkara;
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan
“the administrasi of justice”

Menurut Muladi (1997 : 30-31) ada beberapa hal yang patut


diperhatikan apabila diinginkan sebuah SPP yang baik dan
otomatis berwibawa antara lain:
1. Asas-asas dasar prosedural
a. Kewenangan untuk menangani tindak pidana merupakan
Kewenangan negara.
b. Perlunya pemantapan apa yang dinamakan mechanism for
jurdical control.
c. Perlunya kriteria-kriteria yang jelas terhadap discretionary
powers.
d. Kebebasan peradilan harus ditegakkan.
2. Asas-asas prosesuai
a. Setiap perorangan dan lembaga baik publik maupun privat
harus bekerjasama dengan pengadilan apabila diminta.
b. Penundaan yang tidak beralasan (undue delay) harus
dihindarkan.
3. Hak-hak terdakwa
a. Harus didampingi penasehat hukum sejak pemeriksaan
pendahuluan kecuali yang bersangkutan menolak.
b. Hak untuk didampingi penterjemah apabila diperlukan.
c. Larangan penggunaan kekerasan, ancaman, iming-iming
dan sebagainya untuk memperoleh pengakuan .
d. Perlu sanksi kriminal atau disiplin yang tegas bagi para
penegak hukum yang melanggar asas-asas peradilan.
e. Bukti-bukti yang diperoleh secara tdak sah harus dtoIak
oleh pengadilan .

146 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


f. Bantuan hukum yang dipilih secara bebas harus pula
dimungkinkan pada setiap tahap peradilan pidana,
termasuk pada saat yang bersangkutan harus menjalani
pidana .
g. Kerahasiaan komunikasi antara terdakwa dan penasehat
hukumnya harus dijamin.
h. Kebebasan praktek profesional pengacara harus dijamin
oieh negara .
i. Asas proporsionalitas dalam penggunaan upaya-
upaya paksa hendaknya selalu digunakan dengan
mempertimbangkan secara khusus gravitas tindak
pidananya dengan segala konsekuensinya.
j. Peradilan yang cepat harus selalu diperhatikan .
k. Penahanan hendaknya selalu rnemperhatikan keabsahan
penahanan dan kebutuhan penahanan (ultima ratio
principles).
l. Tindakan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia harus dihindarkan dalam penahanan.
m. Proses peradilan harus terbuka untuk umum, kecuali hal-
hal tertentu dan harus diadili oleh berbagai unsur yang
akan menentukan penilaian terhadap pelaku .
n. Saksi ahli sedapat mungkin diajukan .
o. Asas praduga tak bersalah dan asas in dupic pro reo harus
dijamin.
p. Negara harus rnengatur kemungkinan untuk perbaikan.
apabila terjadi judicial error atau malfunctioning of the’
administration or justice.

Pandangan Muladi yang bertalian dengan syarat SPP yang


baik sesungguhnya sudah selaras dengan jiwa dan semangat
proses hukum yang adil yang menghendaki adanya perlindungan
terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa.
Bertalian dengan keadilan procedural, John Rawis (Andre Ata
Ujan, 2001:40) mengetengahkan tulisannya tentang due procedural

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 147


justice. John Rawls selanjutnya memperkenalkan dua macam
keadilan yang disebutnya perfect procedural justice dan imperfect
procedural justice. Perfect procedural justice bisa digambarkan
dengan pembagian yang adil atas sebuah kue. Demi menjamin
keadilan, orang yang memotong atau bertugas membagi kue
haruslah menjadi orang yang terakhir mengambil bagian kuenya.
Dengan demikian, si pembagi akan berusaha membaginya seadil
mungkin, hanya dengan cara ini Ia memberikan jaminan bagi
dirinya sendiri untuk mendapatkan bagian yang besar. Apabila
Ia tidak bertindak adil, maka sebagai orang yang terakhir akan
mengalami resiko memperoleh bagian yang sedikit.
Dari ilustrasi di atas menampakkan bahwa ciri pokok suatu
peradilan prosedur sempurna adalah: pertama, terdapat patokan
yang sudah disepakati terlebih dahulu mengenai prosedur yang
akan ditempuh; dan kedua, para kontestan sejak awal sudah dapat
merancang hasil yang akan dicapai, yaitu ada kepastian bahwa
semua orang akan mendapatkan bagian yang sama. Dengan
demikian, hasil dan prosedur sudah diketahui sebelumnya oleh
semua orang yang terlibat dalarn proses tersebut.
Dalam konteks hukum pidana, Perfect Procedural Justice ini
sejalan dengan asas legalitas yang memberikan kepastian hukum
baik kepada aparat hukum maupun kepada masyarakat yang
terlibat dalam suatu perkara pidana.
Tentang peradilan prosedural yang sempurna, John Rawis
(Andre Ata Ujan, 2001 : 41) mengambil contoh dari proses
peradilan pidana. Proses peradilan seperti ini dirancang untuk
mencari dan menemukan bukti-bukti sehubungan dengan
tuduhan yang ditujukan kepada tersangka/ terdakwa. Meskipun
telah dirancang sedemikian rupa, dan dilengkapi dengan standar
peraturan yang baik, namun hasil dari prosedur ini masih patut
dipertanyakan. Oleh karena hasil akhir acapkali sangat jauh
berbeda dengan apa yang telah diperkirakan semula. Hal ini
terjadi karena pemeriksaan terhadap suatu kasus tertentu dapat
diatur sedemikian rupa untuk dilaksanakan dalam suasana yang
berbeda. Karena suasana yang berbeda itu sulit diharapkan

148 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


bahwa prosedur seperti itu dapat memberikan hasil yang dapat
diterima secara umum sebagai sesuatu yang benar. Dengan
demikian meskipun semua hukum yang mengatur prosedur
peradilan telah dipenuhi dan prosedur yang mendahuluinya
dipandang adil, hasil akhir dari proses peradilan pidana bisa
salah, karena dalam situasi yang berbeda mengakibatkan
pemeriksaan bisa berubah. Dalam prosedur seperti ini, keadilan
yang sesungguhnya mungkin tidak terpenuhi karena orang
yang tidak bersalah pada akhirnya dapat dinyatakan bersalah,
sebaliknya yang bersalah dapat dinyatakan tidak bersalah.
Menurut John Rawls (Andre Ata Ujan, 2001 : 92), prinsip
pertama keadilan harus merupakan hasil dari suatu prosedur
yang tidak memihak. Bagi John Rawls, keadilan sebagai fairnees
adalah pure procedural justice. Artinya, keadilan sebagai fairness
harus berproses dan sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur
yang adil. OIeh karena itu, kemungkinan penerimaan terhadap
prinsip-prinsip pertama keadilan juga sangat bergantung pada
penerimaan publik atas prosedur yang diterapkan dalam proses
perumusan prinsip-pninsip keadilan.
Bila menyimak pengaturan hak-hak tersangka/ terdakwa
serta asasa sas yang terdapat dalam KUHAP, tampaknya sudah
s&aras dengan unsur ininimal dan proses hukum yang adil yang
telah dikemukakan oleh Tobias dan Petersen serta Kongies PBB
Kesepuluh Prevention of Crime and the Treatment of offenders. ini
berarti, hak-hak tersangka dan asas-asas yang terkandung dalam
KUHAP otomatis dapat pula dijadikan sebagai suatu pedoman
terhadap terselenggaranya proses hukum yang adil dalam proses
peradilan pidana di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan proses hukum yang adil, Paul
Sieghart (1986:133) menulis, bahwa sejarah telah menunjukkan di
mana hukum banyak dikuasai dipengaruhi oleh kasta, kelas atau
kelompok tertentu yang tidak sedikit mengorbankan pihak lain.
Bahkan menurut Paul Sieghart, hukum kadang dibuat berlaku
surut untuk kepentingan pihak penguasa; tragisnya, lembaga
peradilan dan pengacarapun tunduk kepada negara atau partai

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 149


politik yang sedang berkuasa; demikian halnya muncul sikap
praduga bersalah kepada seseorang jauh sebelum ada bukti yang
mendukungnya. Di samping itu, demikian Paul Sieghart, kadang
masyarakat sudah memastikan bahwa putusan pengadilan
mempersalahkan terdakwa dengan mengabaikan alat bukti
atau pembelaan. Kesemuanya ini tentu tidak mencerminkan
adanya suatu kebebasan peradilan (independent yudiciary) yang
merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang menjunjung
tinggi rule of law. Padahal, kebebasan peradilan itu sendiri
merupakan salah satu unsur yang esensial dalam kerangka
terlaksananya proses hukum yang adil.
Proses hukum yang adil ini sejalan dengan konsep hukum
yang otonom dan Philippe Nonet dan Philip Selznick yang
memandang bahwa hukum otonom sebagian besar digunakan
untuk menggambarkan cita-cita pemerintahan oleh hukum dan
bukan pemerintahan oleh orang-orang. (Peters, 1990:170)
Selain itu, konsep hukum otonom memfokuskan perhatiannya
pada kondisi sosial empiris dan kekuasaan berdasar hukum.
Sifat paling penting dari hukum otonom adalah: a) penekanan
pada aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi
kekuasaan resmi dan swasta; b) terdapatnya pengadilan yang
independen dan tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasaan politik
dan ekonomi. Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah
terpisahnya dari politik. Ahli hukum dan pengadilan adalah
spesialisasi dalam menafsirkan dan menerapkan hukum, namun
substansi hukum tidak ditentukan oleh mereka, melainkan hasil
dari tradisi atau keputusan politik. Berdasarkan suatu sistem
hukum otonom, pengadilan tidak dapat menjamin bahwa hukum
itu adil, namun mereka dapat mengusahakan agar hukum
diterapkan secara adil. Sumbangannya yang paling penting
bukanlah keadilan substantif, melainkan keadilan prosedural.
(Peters, 1990: 174).
Sejalan dengan hal tersebut, Abdul Mannan (2005: 155)
menyatakan bahwa meskipun profesi hukum memiliki
intelektualitas yang tinggi dalam bidang hukum, tetapi jika hal

150 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


tersebut tidak didukung oleh integritas moral yang solid, maka
kesemuanya yang dimilikinya itu tidak akan mempunyai arti
sama sekali .
Pada prinsipnya, peradilan yang jujur dan tidak memihak,
sejak dulu telah menjiwai proses peradilan pidana adat di
Indonesia khususnya hukum pidana adat di Sulawesi Selatan.
Hal ini tampak dari syarat-syarat peradilan jujur (bicara lempu)
yang dikemukakan oleh La Tadampare Puang ri Maggalatung
sebagaimana yang ditulis oleh Andi Zainal Abidin (1983
:165) antara lain menyatakan : pertama, bicara watakkale yaitu
peradilan Iaksana diri sendiri yang diadili. Artinya para pabbicara
(Hakim) harus menganggap orang-orang yang diadili itu sebagai
dirinya sendiri; kedua, bicara napuji tomaeqae artinya peradilan
yang disukai oleh orang banyak; ketiga, segala hal ada sebab-
sebabnya sehingga benar dan baik. Juga menanak nasi pun a
da bicaranya (aturannya) sehingga benar dan baik. Yang disebut
perbuatan yang patut dan sedang-sedang saja (normal), adalah
tak berlebih-lebihan. Dalam konteks KUHAP, proses hukum
yang adil tercermin dari asas-asas KUHAP (menurut penjelasan)
oleh Mardjono Reksodiputro (1994:32- 33) dibagi atas:
Asas-asas umum:
1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi
apapun;
2. Praduga tak bersalah;
3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan
rehabilitasi;
4. Hak untuk mendapat bantuan hukum;
5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan
sederhana;
7. Peradilan yang terbuka untuk umum; serta Asas-asas khusus:
8. Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan
pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 151


(tertulis);
9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya; dan
10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan
putusan-putusannya.

Salah satu aspek penting dari kekuasaan hukum adalah


adanya prinsip-prinsip hukum acara pidana yang memberi
jaminan di mana individu yanq disangka/didakwa melakukan
tindak pidana akan diadili secara adil. Misalnya, adanya hak
untuk tidak menyalahkan diri sendiri/ hak dari seorang untuk
tidak dipaksa di dalam perkara pidana manapun agar menjadi
saksi terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain tak seorang pun
dapat dipaksa untuk membuat pernyataan yang akan merupakan
kesaksian terhadap dirinya sendiri.
Bila berbicara proses hukum yang adil, maka sangat relevan
mengemukakan asumsi yang dikemukakan oleh Herbert Packer
(1968:155- 157) bahwa asumsi ini dipandang sebagai dasar yang
umum bagi pelaksanaan setiap model proses peradilan pidana.
Adapun asumsi-asumsi yang dimaskud adalah:
Pertama, Herbert Packer mengemukakan prinsip undang-
undang tidak berlaku surut. Artinya, penetapan perbuatan
yang dianggap sebagai suatu tindak pidana harus mendahului
proses identifikasi dan penanganan seorang tersangka;
kedua, ada asumsi bahwa ada batas-batas kekuasaan negara
untuk menyelidiki dan menangkap orang-orang yang diduga
melakukan tindak pidana. Hal ini bertolak dari asumsi umum
bahwa keamanan dan privasi individu tidak dapat semau-
maunya diganggu. Lebih lanjut Herbert Packer menulis bahwa
ada suatu kompleks asumsi yang dikenal dengan istilah “the
Adversary System”, yang terdiri atas “procedural due process (hak
atas proses yang adil), “notice and an opportunity to be heard” dan
day incourt (hak tersangka untuk diberitahu secara resmi tindak
pidana yang disangkakan kepadanya serta adanya hak membela
diri).

152 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Sistem pembuktian berdasarkan adversary model tersebut di
atas dapat meminimalisasi kemungkinan dituntutnya seseorang
yang nyata-nyata tidak bersalah, meskipun kemungkinan
seseorang yang benar-benar bersalah dapat terhindar dari jeratan
hukum. Di sinilah tampaknya nilai terpenting yang dianut oleh
adversary model.
Pada kenyataannya, di negara demokrasi aparat kepolisian
selalu dihadapkan pada dua konflik kepentingan yaitu:
kepentingan memelihara ketertiban di satu sisi dan kepentingan
mempertahankan asas legalitas di sisi lain. Konflik yang sama
juga terjadi di Amerika Serikat, bahkan semakin kompleks
sifatnya sebagaimana ditulis oleh Romli Atmasasmita (1983: 5)
sebagai berikut:
1. Polisi di Amerika Serikat harus konsisten dengan undang-
undang.
2. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Komisi Wickersham
dari The National Committee of Law Observence and enforcement
ditemukan beberapa praktek yang sangat sadis dan
mengerikan sehingga sangat jauh dari sentuhan intelektuaI
seperti tehnik interogasi yang mengakibatkan tersangka
membuat pengakuan yang merugikan dirinya di sidang
pengadilan.

A. ASPEK-ASPEK PERADILAN YANG ADIL


Ada tiga aspek yang melingkupi proses hukum yang adil
sebagai pokok bahasan dalam kajian ini, yaitu the rule of law,
equality before the law dan presumption of innocence. Ketiga aspek
ini dianggap mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerangka pelaksanaan proses hukum yang adil (due process of
law). Untuk menciptakan adanya perlindungan terhadap hak
asasi seseorang dari segala bentuk penindasan yang sewenang-
wenang dari aparat penegak hukum, maka kehadiran dari ketiga
aspek tersebut di atas perlu diimplementasikan Iebih jauh dalam
tataran praktisnya. Untuk itu, pembahasan ketiga aspek berikut ini

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 153


akan lebih memperjelas keterkaitannya dengan penyelenggaraan
due process of law khususnya di Indonesia. Ketiga aspek tersebut
adalah sebagai berikut:

1. The Rule of Law


Di bawah the rule of law, bukan hanya masyarakat yang
dituntut taat hukum, melainkan juga pemerintah beserta segenap
perangkatnya termasuk penegak hukum sendiri. Salah satu
wujud ketaatan penegak hukum kepada hukum adalah adanya
kesungguhan untuk menaati hak-hak tersangka/ terdakwa
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.
lstilah atau pengertian the rule of law paling sedikit dapat
dipakai dalam dua arti, yaitu dalam arti formal atau materil. Di
samping arti formal ini, the rule of law menjadi alat yang paling
efektif dan efisien untuk menjalankan pemerintahan yang tiranis.
Menurut Seorjono Soekanto (1982:65) bahwa the rule of
law dalam arti materil atau ideologis mencakup ukuran-ukuran
hukum yang baik dan hukum yang buruk yang antara lain
sebagai berikut:
1. Ketaatan dari segenap warga masyarakat terhadap kaidah-k
aidah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan
legislatif, eksekutif dan yudikatif .
2. Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hak-hak asasi
manusia.
3. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-k
ondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-a
spirasi manusia dan penghargaan yang wajar terhadap
martabat manusia.
4. Terdapatnya tata cara yang jelas dalam proses mendapatkan
keadilan terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari
penguasa dan
5. Adanya badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan
dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang
sewenang-wenang dari badan-badan eksekutif dan legislatif.

154 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Sedangkan Dicey (Oemar Seno Adji, 1981:231)
mengetengahkan tiga pengertian the rule of law pertama,
bahwa setiap orang tak dapat dipidana dan hak tak akan
menderita jasmaniah ataupun materil, kecuali jika tampak
adanya suatu pelanggaran hukum yang jelas, yang ditetapkan
menurut hukum oleh pengadilan; kedua, berbicara the rule
of law, khususnya sebagai suatu karakteristjk untuk Inggris,
maka tidak saja bahwa tak seorangpun adalah di atas hukum,
melainkan bahwa setiap orang, apapun jabatan ataupun
pangkatnya ataupun kondisinya, adalah tunduk pada hukum
biasa dan termasuk juridiksi dan peradilan umum. Di Inggris
ditumbuhkan ide mengenai legal equality, bahwa setiap orang,
segala golongan tunduk pada suatu hukum yang ditetapkan
oleh pengadilan umum, ketiga, atribut khusus bagi lembaga-
lembaga di Inggris ialah pninsip-prinsip umum, apa yang dikenal
sekarang sebagai hak-hak asasi manusia yang merupakan
ketentuan-ketentuan konstitusional, adalah di Inggris suatu
hasil dari putusan-putusan pengadilan yang menetapkan hak-
hak seseorang dalam perkara-perkara khusus.
Sedangkan Wade dan Godfrey Philip (Philipus M. Hadjon,
1987:81-82) mengetengahkan tiga konsep yang berkaitan dengan
the rule of law. Pertama, the rule of law mendahulukan hukum dan
ketertiban dalam masyarakat dari pada anarki; dalam pandangan
ini, the rule of law merupakan pandangan filosofis terhadap
masyarakat yang dalam tradisi barat berkenaan dengan konsep
demokrasi; kedua, the rule of law menunjukkan suatu doktrin
hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan
hukum; ketiga, the rule of law menunjukkan suatu kerangka
pikir politik yang harus diperinci dalam peraturan-peraturan
hukum, baik hukum substantif maupun hukum acara, misalnya
apakah pemerintah mempunyai kekuasaan untuk menahan
warga negara tanpa melalui proses peradilan dan mengenai
proses misalnya presumption of innocence.
Bertolak dari pandangan Dicey dan Wade di atas, Hadjon
menyimpulkan bahwa tampaknya pikiran-pikiran Dicey adalah

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 155


pikiran-pikiran murni (meskipun sempit) yang berdasarkan
pada praktek common law di inggris. Sedangkan kritik serta
konsep Wade dipengaruhi oleh pola pikir dan keadaan di
Eropa pada umumnya Dijelaskan oleh Hadjon bahwa dikatakan
pandangan murni dan sempit karena dari tiga pengertian dasar
yang diketengahkan oleh Dicey mengenai the rule of law intinya
adalah common law sebagai dasar perlindungan bagi kebebasan
individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Jadi the
rule of law bertentangan dengan kekuasaan oleh manusia.
Jadi, meskipun manusia yang memerintah dan menggunakan
kekuasaan, namun mereka harus melakukannya sesuai prinsip
hukum.
Dalam hubungan ini, Lon Fuller (1974:64-65) memberikan
delapan persyaratan formal dan the rule of law yaitu: pertama,
generally, artinya segala keputusan otoritas yang dibuat atas suatu
dasar sementara dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan
atas dasar aturan-aturan yang umum; kedua, promulgation,
artinya aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak
boleh dirahasiakan, melainkan harus diumumkan; ketiga, non-
retroactive laws, bahwa aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi
pedoman bagi kegiatan-kegiatan di kemudian hari. Aturan tidak
boleh berlaku surut. Persyaratan ini sejalan dengan asas legalitas
yang terdapat dalam hukum pidana; keempat, The clarity of
laws, artinya hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga
mudah dimengerti oleh masyarakat. Fuller menamakan hal ini
sebagai hasrat untuk kejelasan, kelima, bertentangan antara satu
dengan yang lainnva: keenam laws requiring the imposible, yang
berarti aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di
luar kemampuan pihak-pihak yang terkena. Dengan kata lain,
hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan; ketujuh, constancy of the law through time, artinya dalam
hukum harus ada ketegasan, hukum tidak boleh diubah-ubah
setiap waktu, sehingga orang tidak bisa lagi mengorientasikan
kegiatannya kepada hukum; kedelapan, congruence between
official action and declared rule. Artinya harus ada konsistensi
antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan

156 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


pelaksanaan senyatanya.
Dari persyaratan formal yang dikemukakan Fuller tersebut
di atas tampak bahwa ia sangat formalistik dalam memandang
the rule of law. Hal ini terlihat dari sikapnya yang memberikan
syarat yang bersifat limitative. Akibatnya, the rule of law
sangat berorientasi kepada kepastian hukum. Padahal, pada
kenyataannya acapkali terjadi pertentangan antara kepastian
hukum dan kepatutan hukum yang ada dalam masyarakat.
Menurut Yash Ghai, (1981:9) perumusan perbedaan antara
the rule of law dan the rule by law merupakan awal yang baik
untuk lebih memahami rule of law secara lebih luas. Dalam
perspektif sejarah, the rule of law Iebih mementingkan legalitas
daripada demokrasi. timbulnya mandahului demokrasi; terjadi
peran antara legalitas dan demokrasi, kedaulatan dan hak
rakyat, dan ketika berbicara the rule of law, tidak selalu berpikir
prosedur.
Sesungguhnya, di samping istilah the rule of law juga dikenal
istilah rechtsstaat. Moch Yainin (Frans Hendra Winarta, 2000:45)
mendefenisikan negara hukum (rechtsstaat) sebagai kekuasaan
yang dilakukan oleh pemerintah hanya berdasarkan dan berasal
dari undang-undang dan sekali-kali tidak berdasarkan kekuasaan
senjata, kekuasaan sewenang-wenang, atau kepercayaan bahwa
kekuatan badanlah yang boleh menuntaskan segala pertikaian
dalam negara.
Menurut Philipus M. Hadjon, (1987:72) dari latar belakang
dan sistem hukum yang menopangnya terdapat perbedaan antara
konsep rechtsstaaf dengan konsep the rule of law. Namun demikian,
dalam perkembangan dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi
perbedaan antara keduanya karena pada dasarnya kedua konsep
itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu
pengakuan konsep itu dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia.
Lebih lanjut, Philipus M. Hadjon menulis bahwa konsep
rechtssfaat dari suatu perjuangan menentang absolutism
sehingga sifatnya revolusioner, sedangkan konsep the rule of law

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 157


berkembang secara revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau
kriteria rechtsstaat dan sistem hukum kontinental yang disebut
civil law sedangkan the rule of law bertumpu atas sistem hukum
yang disebut common law. Adapun salah satu ciri utama negara
hukum (rechtsstaat) terletak pada kecenderungannya untuk
menilai tindakan-tindakan yang dilakukan dalam masyarakat
atas dasar peraturan hukum.
Namun Peters (1988:52-53) mengingatkan bahwa the rule
of law tidak dapat dipersamakan dengan suatu perangkat pasti
dari aturan-aturan yang konkrit yang seharusnya diikuti dalam
semua keadaan. Alasannya, pertama, kekuasaan hukum tidak
terdiri dan aturan-aturan yang kongkrit, melainkan lebih terdiri
dari prinsip-prinsip; kedua, terdapat suatu ketegangan yang
terus menerus antara kekuasaan hukum dan nilai-nilai yang
bersaing tata tertib umum, pencegahan kejahatan, keamanan
nasional, dan pandangan-pandangan moral yang berpengaruh.
Apa yang dilakukan oleh kekuasaan hukum adalah menambah
suatu dimensi kritis kepada nilai-nilai tersebut.
Oleh karena itu, kekuasaan hukum tidak dapat direduksikan
menjadi suatu perangkat pasti dan aturan-aturan konkrit yang
dilkuti atau dilanggar, melainkan lebih dengan nilai-nilai lain.
Pertanyaan apakah di beberapa negara atau beberapa daerah
hubungan sosial kekuasaan hukum berpengaruh atau tidak. Hal
ini selalu akan merupakan pertanyaan lebih atau kurang. Tidak
ada satu negara pun. di Timur atau di Barat, yang kekuasaan
hukumnya dapat tercapai sepenuhnya.
Godfrey Philips mengemukakan tiga konsep yang
berkaitan dengan the rule of law yakni, pertama the rule of
law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat
daripada anarki, dalam pandangan ini the rule of law merupakan
the rule of law merupakan suatu pandangan historis terhadap
masyarakat yang dalam tradisi barat berkenaan dengan konsep
demokrasi, kedua, the rule of law menunjukkan suatu doktrin
hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan
hukum; ketiga, the rule of law menunjukkan suatu kerangka

158 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


pikir politik harus diperinci dalam peraturan hukum, baik hukum
substantif maupun hukum acara, misalnya apakah pemerintah
mempunyai kekuasaan proses peradilan dan mengenai proses,
miisalnya presumption of innocence (Philipus M. Hadjon, 1987 : 81-
82).
Dalam konsep the rule of law yang bertumpu pada sistem
hukum common law, kaidah hukumnya kurang dirumuskan
secara umum, seperti halnya pada sistem Romawi Jerman. Ciri
Common Law terletak pada kaidahnya yang bersifat kongkrit, yang
sudah menyerah pada penyelesaian suatu kasus tertentu. Kaidah
itu tercipta melalui keputusan Hakim sehingga menempatkan
pengadilan sebagai pemegang peran pokok. Meskipun demikian
tidak berarti sistem common law mengabaikan perundang-
undangan, karena perundang-undangan yang ruang Iingkupnya
umum sangat sedikit diternukan. Hukum perundang-undangan
bersifat karuistis, pada dengan yang ada di Eropa daratan.
Menurut mereka, perumusan perundang-undangan umum
yang memuat prinsip-prinsip umum tidak layak disebut sebagai
penciptaan kaidah hukum, melainkan hanya mengekspresikan
keinginan moral atau menyatakan suatu rencana kebijakan
(Satjipto Rahardjo, 1991 : 250).
Eksistensi civil law system dan common law system seolah-olah
membagi dunia atas dua kubu padahal realitasnya masih juga
dijumpai adanya sistem hukum lain yang patut menyandang
sebutan sistem hukum. Dalam konteks itu dikenal adanya sistem
hukum sosial di Negara-Negara sosialis dan komunis, disamping
hukum lslam yang berdasarkan Al-Quran (Satjipto Rahardjo,
1991: 252).
Patut di tengahkan hasil wawancara penulis dengan salah
seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar (Wawancara
tanggal 21 Juni 2010) mengungkapkan bahwa apa yang
terkandung dalam ajaran tentang The Rule of Law adalah landasan
pemikiran yang dimaksudkan untuk melindungi Hak Asasi bagi
mereka yang tersangkut dengan kasus hukum, dan di mana hal
tersebut adalah sejalan dengan amanah dalam UU No. 48 Tahun

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 159


2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jika di simak pernyataan tersebut di atas tampaknya pihak
Hakim yanq dijadikan responden tersebut hanya memahami The
Rule of Law dalam arti Sempit saja yaitu hanya menempatkan The
Rule of Law dalam ruang sidang Pengadilan saja, padahal inti
ajaran dari The Rule of Law tidak sampai di situ saja, melainkan juga
terhadap sikap pemerintah terhadap semua warga negaranya
agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang dalam proses
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pandangan lain juga dikemukakan oleh beberapa orang
advokat yang tergabung dalam Peradi Makassar (wawancara
tanggal 18 Juni 2010) mengungkapkan bahwa salah satu
implementasi dari The Rule of Law adalah adanya suatu proses
hukum yang adil (Due Process of Law) yang tertuang dalam proses
pemeriksaan perkara pidana sebagaimana terlihat dalam KUHAP
telah mencermikan nilai-nilai yang terkandung dalam Due Process
of Law, yang menawarkan prosedural yang ketat dengan didukung
oleh sikap baik oleh aparat penegak hukum untuk menghormati
hak-hak warganya, meskipun dalam kenyataannya formulasi
aturan model yang demikian itu biasanya tidak memperlihalkan
hubungan signifikan terhadap komitmen dalam praktek, yaitu
menyangkut persoalan subtantif yang sering dikesampingkan,
yang pada akhirnya hanya memunculkan prosedur formalnya
saja. Sebagai contoh digambarkan oleh responden adanya
penahanan terhadap anak dibawah umur, tidak adanya batas
waktu dalam hal pra penuntutan dan sebagainya.
Penulis sependapat dengan pendapat tersebut di atas, betapa
tidak akibat dari formulasi model demikian dapat menimbulkan
permasalahan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di
pengadilan. Pemeriksaan umumnya berlangsung lama, berbelit-
belt, penuh keberpihakan, rumit dan tidak sederhana sebagaimana
yang disebutkan dalam aturan normatif yang terkandung dalam
KUHAP. Pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan biasanya
menunjukkan kepada pelayanan status, biasanya memihak status
yang Iebih tinggi atau yang berbobot materinya, dibandingkan

160 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


dengan status yang Iebih rendah atau yang kurang materinya,
dan nilai yang dinamakan prilaku diskriminatif.

2. Asas Persamaan di Muka Hukum (Equality Before the Law)


Asas persamaan di muka hukum ini sesungguhnya telah
menjadi ciri dalam masyarakat yang beradab, dan telah diatur
dalam Pasal 6 dan 7 Universal Declaration of Human Right yang
menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk diakul sebagai
manusia di hadapan hukum di manapun ia berada. “Kemudian
dilanjutkan bahwa semua orang punya kesederajatan di
depan hukum dan berhak tanpa diskriminasi apapun untuk
mendapatkan perlindungan yang sama oleh hukum. Pernyataan
tersebut diulangi lagi dalam bahasa yang hampir sama, dalam
CPR (Convenant) Pasal 14 (1) 16 dan 26), dalam American
Convention (Pasal 3 dan 24), dan The African Charter (Pasal 3
dan 5) (Paul Sieghart, 1984:134). Lebih lanjut dalam Pasal 10
UDHR juga ditegaskan menurut Baharuddin Lopa (1996:34)
bahwa “setiap orang berhak penuh diperlakukan sama untuk
didengar keterangannya di depan umum oleh pengadilan
yang bebas dan tidak memihak untuk menjamin hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya serta atas setiap tuduhan kriminal
terhadap dirinya”. Isi Pasal 10 UDHR ini sungguhnya sangat
relevan dengan salah satu unsur-unsur proses hukum yang adil
yang telah dikemukakan oleh Tobias dan Petersen yaitu hearing,
counsel, delence, evidence and a fair and impartial court.
Hal yang bertalian dengan pengaturan asas persamaan
di muka hukum juga terdapat dalam Pasal 14 dan Traktat
Internasional mengenai hak-hak kewarganegaraan dan politik
yang isinya sebagai berikut: (1) semua orang adalah sama
di depan pengadilan dan badan-badan peradilan. Di dalam
penentuan tuduhan pidana kepadanya, atau mengenai hak-
hak dan kewajibannya di dalam perkara perdata, setiap orang
berhak untuk diperiksa secara adil dan terbuka oleh suatu badan
peradilan yang didirikan menurut undang-undang, bebas serta
tidak memihak. Persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk
umum dengan alasan-alasan kesusilaan, ketertiban umum atau

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 161


demi kepentingan nasional, atau bilamana publikasi dapat
dianqqap menimbulkan prasangka terhadap kepentingan
peradilan. Namun demikian, setiap keputusan yang diberikan di
dalam suatu perkara pidana atau perdata harus dipermaklumkan
ke khalayak ramai; (2) setiap orang yang dituduh melakukan
suatu kejahatan berhak untuk diperlakukan berdasar praduga
tak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan sesuai
dengan hukum; (3) di dalam menentukan setiap tuduhan pidana
terhadapnya, setiap orang berhak mendapat jaminan-jaminan
minimum berikut dalam kesamaan yang penuh:
a. Untuk diberitahu secepatnya dalam detil dan dalam bahasa
yang dapat ia mengerti mengenai sifat dan sebab dari tuduhan
terhadapnya.
b. Untuk memperoleh cukup waktu dan fasilitas bagi persiapan
pembelaannya dan untuk berkomunikasi dengan pembela
yang ia pilih sendiri .
c. Untuk diperiksa tanpa penundaan yang tidak beralasan .
d. Untuk diperiksa dalam kehadirannya, dan untuk membela
dirinya secara pribadi atau melalui penasehat hukum yang
dipilihnya sendiri. Bila ia tidak didampingi penasehat hukum,
Ia berhak disampaikan atas haknya itu. Bagi mereka yang
tidak mampu, pengadilan dapat menyediakan secara cuma-
cuma .
e. Untuk memberikan kesempatan yang baik kepada saksi-
saksi yang memberatkannya maupun saksi-saksi yang
meringankannya.
f. Untuk mendapatkan bantuan penterjemah secara cuma-cuma
apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam
bahasa yang dipergunakan di pengadilan.
g. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang dapat
merugikan dirinya sendiri atau untuk mengaku salah. (Peters,
1988: 34) .

Pada prinsipnya, jaminan minimum atas kesamaan tersebut


di atas, telah sejalan dengan hak-hak tersangka yang terdapat

162 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


dalam KUHAP. Namun, khusus huruf g, apabila ternyata
suatu pengakuan dilakukan oleh tersangka karena didasari
oleh paksaan dari pihak penyidik, maka seyogianya pengakuan
tersebut tidak boleh diakui sebagai alat bukti yang sah, sehingga
harus ditolak oleh Hakim.
Pengaturan asas persamaan di muka hukum lebih lanjut
diatur dalam Pasal 19 ayat a dan b Deklarasi Cairo (Baharuddin
Lopa, 1996:35) yang menegaskan sebagai berikut:
a. Semua individu adalah sederajat di muka hukum tanpa
perbedaan antara yang memerintah dan yang diperintah.
b. Hak untuk mendapatkan keadilan dijamin bagi setiap orang.

Menurut Herbert Packer (1978:169), norma persamaan


ini sesungguhnya bertujuan untuk mencegah situasi di mana
ketidakmampuan finansial menjadi hambatan bagi pelaksanaan
hak yang dimilikinya. Di samping itu, norma persamaan ini
dapat menjadi dasar bagi suatu tuntutan yang secara teoritis
membuat semacam hambatan yang tersedia bagi terdakwa yang
mempunyai kesempatan menekan. Misalnya seorang terdakwa
yang punya kesempatan diwakili untuk mencegah kasus yang
menimpanya untuk dibawa ke pengadilan, dengan memaksa
aparat hukum untuk membuktikan dalam pemeriksaan awal.
Norma persamaan dapat pula diartikan bahwa kesempatan yang
sama harus tersedia pula bagi yang lain.
Uraian yang bertalian dengan asas persamaan di muka
hukum di atas, pada hakikatnya merupakan upaya untuk
menghapus diskriminasi di antara para warga negara, termasuk
kepada tersangka dan terdakwa. Oleh karena itu, dalam
proses peradilan pidana, para penegak hukum dituntut untuk
memberikan perlakuan yang sama kepada para tersangka dan
terdakwa tanpa pandang bulu. Hanya dengan cara ini hasil suatu
proses pemeriksaan sungguh dapat dipertanggungjawabkan.
Namun harus diakui, bahwa pelaksanaan asas persamaan
di muka hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia
masih sangat mengecewakan. Bahkan mungkin tidak berlebihan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 163


bila dikatakan masih sebatas retorika yang lebih banyak diwarnai
oleh pernyataan-pernyataan yang bersifat kamuflase.
Banyaknya kasus yang tidak tuntas karena berlindung di
balik kekuasaan justru semakin membenarkan ungkapan Solon,
filsuf Yunani bahwa hukum itu bagaikan sarang laba-laba yang
biasanya hanya dapat menjerat si lemah, akan tetapi dengan
mudah dapat djhancurkan oleh si kuat. Atau kata-kata Oliver
Goldsmith yang menyatakan bahwa Law grind the poor, and rich
men rule the law artinya hukum itu hanya menggilas si miskin,
dan sebaliknya Si kaya akan menguasai hukum. Begitupun
apa yang dikemukakan oleh Greenberk bahwa Downward
law (hukum mengarah ke bawah Iebih besar daripada upward
(hukum mengarah ke atas) (David Greenberg, 1983 : 357). Black
selanjutnya menafsirkan proposisi Greenberg ini bahwa yang
mempunyai pangkat yang lebih tinggi sangat jarang ditangkap,
dituntut dan dihukum dibanding mereka yang berpangkat lebih
rendah terlepas dan perilaku aktual golongan berpangkat lebih
rendah.
Upaya menegakkan asas persamaan di muka hukum
memang melalui proses yang panjang. Hal ini tampak dari tulisan
Paul Sieghart (1986:134) bahwa bagi mereka yang mempelajari
sejarah Amerika akan mengakui bahwa ungkapan yang terkenal
perlindungan yang sama (equal protection) merupakan hasil dari
perjuangan Amandemen keempat belas konstitusi Amerika yang
diberlakukan sebagai akibat buruk perang sipil Amerika untuk
meyakinkan bahwa negara bagian tidak akan mengembalikan/
membangun kembali perbudakan yang diatur oleh hukum di
mana mendiskriminasikan orang-orang negro yang pada saat ini
berjuang menuntut persamaan. Ketentuan itu melarang setiap
negara bagian mengingkari kesamaan perlindungan hukum bagi
orang-orang yang berada dalam wilayah yuridiksinya.
Akan halnya dengan istilah equality before the law Ramly
Hutabarat (1983:39) menulis bahwa istilah ini sesungguhnya lasim
digunakan dalam hukum tata negara. Alasannya, karena hampir
setiap neqeri mencantumkan masalah ini dalam konstitusinya.

164 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Adapun alasan mencantumkan equality before the law dalam
suatu konstitusi adalah karena hal ini merupakan norma hukum
yang melindungi hak-hak asasi warga negara. Semua warga
negara sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Equality
before the law, berarti persamaan di muka hukum. Jika dalam
konstitusi hal ini dicantumkan, maka konsekuensi logisnya
penguasa dan penegak hukum haruslah melaksanakan dan
merealisasikan asas ini dalam kehidupan bernegara, sebab jika
asas ini tidak dilaksanakan berarti terjadi penyelewengan dari
konstitusi meskipun tampaknya bukan merupakan pelanggaran
yang terang-terangan, namun sangat dirasakan oleh rakyat
betapa ketimpangan hukum merupakan siksa batin yang
berkepanjangan.
Lebih lanjut Ramly Hutabarat (1985:76) mengemukakan
bahwa equality (persamaan) terdiri atas persamaan alamiah
(natural equality), adalah persamaan yang dibawah sejak lahir.
Manusia punya rasio,sehingga natural equality berarti bahwa
manusia sama karena memiliki akal atau rasio. Persamaan
(civil equality), adalah hak sipil yang sama bagi semua anggota
masyarakat. Pengakuan akan persamaan ini berarti bahwa setiap
warga negara diperlakukan sama dalam menikmati hak-hak
dan perlindungan. Contohnya, persamaan di hadapan hukum.
Persamaan politik (political equality), adalah hak yang sama
bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan negara.
misalnya memberikan hak untuk ikut memilih dalam pemilihan
umum. Persamaan politik ini adalah basis demokrasi (political
equality is the basic of democracy). Terakhir, persamaan ekonomi
(economic equality) adalah persamaan hak dalam meningkatkan
taraf ekonomi dalam kehidupan. Persamaan ini dititikberatkan
pada persamaan kesempatan dan bukan persamaan pembagian
hasil. Sebab banyak sedikitnya hasil bergantung pada usaha
setiap orang dalam menggunakan kesempatan yang digunakan
dalam meningkatkan taraf ekonomi.
Dalam kaitan itu, Suwarno (1999:14) menulis bahwa ide
kesamaan dapat dibedakan antara kesamaan dalam liberalisme

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 165


dan kesamaan dalam demokratisme. Kesamaan dalam liberalisme
berarti kesamaan dalam mendapatkan perlindungan hukum baik
atas dirinya maupun atas hak miliknya. Sedangkan kesamaan
dalam demokratisme berarti kesamaan partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan hukum dan pemerintahan.
Tidak adanya kesamaan partispasi dalam hal pengambilan
keputusan hukum (terutama yang bertalian dengan masalah
kebijakan hukum pidana), dapat menimbulkan ketimpangan
dalam proses peradilan pidana. Oleh karena menurut Sudarto
sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief (1996:27)
bahwa masalah kebijakan hukum pidana sangat berkait
dengan pertama, bagaimana mewujudkan peraturan-peraturan
yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
kedua, menyangkut kebijakan dari negara melalui badan
yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan
yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Selain itu, ketika
menghadapi problema-problem sosial seperti di Amerika Serikat,
hubungan antar ras, keselamatan umum, penggunaan narkotik,
polusi dan sejenisnya, maka kebutuhan untuk menggunakan
hukum sebagai suatu alat kebijakan akan semakin meyakinkan
dengan menggunakannya secara bersama-sama dengan alat
kebijakan sosial lainnya. (Stuart S. Nagel, 1970:77)
Hal ini patut dikemukakan karena pengaruh kelompok
sangat memainkan peran dalam lahirnya suatu undang-
undang. Artinya, apakah suatu produk perundang-undangan
sebagian besar dipengaruhi oleh mereka yang berasal dari
lapisan masyarakat atas atau rendah. Demikian halnya pengaruh
kekuasaan yang turut bermain untuk mempengaruhi lahirnya
suatu produk perundang-undangan sehingga seolah hanya
memberikan perlindungan kepada kepentingan golongan sosial
tertentu. Kondisi semacam ini telah lama menjadi perhatian
Upendra Baxi (Bambang Sunggono, 2001:108) bahwa di
negara yang mekanisme demokrasinya tidak tumbuh dengan

166 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


baik, maka keberpihakan hukum ini menjadi akibat yang tak
dapat dielakkan karena semua produk hukum pada dasarnya
merupakan pancaran dari hasil kerja ejective autocracy yang atas
bawah (top down approach). Rakyat banyak terkucil dan partisipasi
nyata karena elective autocracy tersebut sudah diandalkan sebagai
hasil dari representational democracy.
Akibatnya, produk hukum acapkali hanya mencerminkan
kepentingan kelompok yang dominan, sedangkan nilai moral
yang harus dikandungnya sering terabaikan. Padahal, ada
ungkapan “Quid Leges sine moribus” (Bertens, 1994:41): Apa
artinya undang-undang kalau tidak disertai oleh moralitas.
Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian
besar ditentukan oleh mutu moralnya. Undang-undang moral
tidak boleh tidak harus diganti, bila dalam suatu masyarakat
kesadaran moral mencapai tahap cukup matang.
Dalam pada itu, Max Weber (Peters, 1990:392) mengemukakan
bahwa pengaruh arus hukum terhadap pembentukan hukum,
dan khususnya kepada sumbangan mereka terhadap rasionalitas
hukum sangat besar. Namun pada akhirnya, demikian Max
Weber, kekuasaanlah yang membuat hukum menjadi penentu
perilaku sosial, dan di belakang kekuasaan itu terdapat
kepentingan-kepentingan kelas ekonomi serta kepentingan-
kepentingan politik para penguasa .
Demikian halnya Mahfud (1997:20) menulis bahwa studi
hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum
menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan
pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya.
Artinya, setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan
oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). Hal ini selaras
dengan apa yang dikemukakan oleh Holmes (Curzon, 1979:186-
187) bahwa standars-standar serta prinsip-prinsip moral
masyarakat memainkan suatu bagian dalam pembentukan
aturan-aturan hukum. Meskipun demikian, lanjut Holmes,
perkembangan suatu corpus juris lebih berkait langsung dengan
keinginan-keinginan dari kekuatan-kekuatan dominan yang ada

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 167


di dalam masyarakat yang didukung oleh suatu kekuatan yang
bersifat mengancam (the threat of force).
Terjadinya ketimpangan di bidang produk hukum,
dengan sendirinya beimplikasi pula terhadap pelaksanaan asas
persamaan di muka hukum. Dengan kata lain, produk hukum
yang diskriminatif otomatis akan menimbulkan diskriminasi
pula dalam pelaksanaannya.
Dalam konteks ini, dapat dikemukakan contoh terjadinya
kesenjangan antara ancaman pidana yang bertalian dengan
pajak yang jauh lebih rendah dibanding dengan kejahatan
konvensional. Padahal bila dilihat dari dampaknya, kejahatan
yang bertalian jauh lebih besar dengan pajak jauh lebih besar
ketimbang kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan pencurian.
Demikian halnya dalam perlakuan terhadap tersangka dalam
kategori kejahatan konvensional cenderung Iebih tidak
manusiawi, seperti pemeriksaan dan penahanan yang kadang
tidak memenuhi standar minimal yang sangat merendahkan
martabat tersangka/ terdakwa. Sangatlah berbeda dengan
perlakuan terhadap pelanggar pajak yang dapat digolongkan
sebagai white collar crime justru cenderung lunak.
Terjadinya diskriminasi semacam ini menurut Roeslan Saleh
(1988:54-55) kemungkinan disebabkan; pertama, dalam kejahatan
penggelapan pajak dan sekian banyak delik yang termasuk white
collar crime adalah tidak adanya korban individual. Jadi, segenap
masyarakat menjadi korban. Padahal masyarakat telah membayar
pajak yang lebih tinggi tarifnya dan pada yang diperlukan, karena
banyak wajib pajak tidak membayar pajak mereka dengan baik.
Dikatakan pula bahwa kepedihan bersama akan lebih mudah pula
mengatasinya. Sedangkan pencurian menimbulkan Iebih banyak
emisi, terutama jika secara seseorang menjadi korban kejahatan;
kedua, kiat pembuat delik antara lain yang mengakibatkan
begitu berbedanya tata cara penyelesaian perkara itu. Pencurian
telah dipandang dalam tradisi selalu sebagai suatu delik yang
merupakan ciri lingkungan masyarakat rendah. Jadi, dipandang
berlebihan jika diadakan perlakuan-perlakuan yang Iebih lunak

168 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


kepadanya. Sebaliknya, Penggelapan pajak acapkali dilakukan
oleh mereka yang ada di luar lingkungan masyarakat rendah,
yang biasanya adalah sopan dan terhormat.
Hal ini senada dengan pendapat Henderson, Ross serta
Morris (Sahetapy, 1994:15) pelaku kejahatan korporasi (termasuk
penggelapan pajak) adalah mereka memiliki kekayaan (yang
berhmpah), dan kekuasaan dan kedudukan sosial, juga
merekapun dipandang terhormat dalam masyarakat.
Kurang baiknya kondisi undang-undang sebagai salah
satu faktor timbulnya kejahatan, antara lain dikemukakan oleh
Sahetapy. Walaupun itu dikemukakan pula adanya faktor
lain yaitu pelaksanaan undang-undang yang tidak konsekuen
atau tindak-tanduk dari penegak hukum. Sedangkan Wolk
Middendorf menyatakan bahwa keseluruhan efektifitas peradilan
pidana yang bergantung pada tiga faktor yang saling berkaitan
yaitu adanya undang-undang yang baik (good legisiation),
pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement),
dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and uniform
sentencing). (Barda Nawawi Arief, 1992 : 200)
Asas persamaan di muka hukum tanpa diskriminasi,
tidak hanya terdapat dalam penjelasan KUHAP, tetapi juga
tercantum dalam bagian menimbang dan UU No. 8/ 1981.
Mardjono Reksodiputro (1994:35.36) berpendapat bahwa hal
ini menunjukkan betapa pentingnya perlakuan yang sama atau
bersamaan kedudukannya di muka atau di dalam hukum itu.
Perlakuan yang sama ini tidak hanya harus ditafsirkan di sini
dalam menghadapi tersangka dan terdakwa yang berbeda dalam
kedudukannya di muka atau di dalam hukum itu. Perlakuan yang
sama ini tidak hanya harus ditafsirkan di sini dalam menghadapi
tersangka dan terdakwa yang berbeda dalam kedudukannya atau
keyakinan, tetapi harus Iebih dari itu. Pengaturan yang serupa
juga terdapat dalam Pasal 17 Undang-undang RI No. 39 Th. 1999,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165
Hak Asasi Manusia yang isinya sebagai berikut: Setiap orang,
tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 169


mengajukan permohonan pengaduan, dan gugatan, baik dalam
perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili
melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara pidana yang menjamin pemeriksaan yang
obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar.
Dalam kaitannya dengan asas persamaan di muka hukum,
kiranya sangat relevan diketengahkan masalah penahanan
tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana. Hal
ini sangat menarik untuk dikaji, karena masalah penahanan
menyangkut masalah diskresi dan penegak hukum yang Iangsung
bersentuhan dengan hak asasi tersangka/terdakwa. Selain itu,
penggunaan lembaga penahanan senantiasa memperhadapkan
dua kepentingan yang mendasar yaitu kepentingan untuk
menjunjung tinggi hak asasi individu (tersangka/terdakwa)
serta adanya hak negara untuk membatasi kebebasan bergerak
dari seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Untuk
itu, lembaga penahanan ini harus dilaksanakan secara hati-
hati, karena sebagaimana yang dikemukakan oleh Van
Bemmelen (Sudibyo Triatmodjo, 1981:41) bahwa penahanan
sementara adalah sebagai pedang yang memenggal kedua
belah pihak, karena tindakan yang bengis itu dapat ditekankan
kepada orang-orang yang belum menerima putusan Hakim,
jadi mungkin juga kepada orang-orang yang tidak bersalah.
Sedangkan Yahya Harahap (1993:25) menulis bahwa masalah
penahanan merupakan persoalan yang paling esensial dalam
sejarah kehidupan manusia. Menurutnya, setiap yang namanya
penahanan dengan sendirinya menyangkut nilal dan makna:
1. Perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan.
2. Menyangkut nilai-nilai perikemanusiaan dan harkat martabat
kemanusiaan dan
3. Menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri
pribadi atau tegasnya, setiap penahanan dengan sendirinya
menyangkut pembatasan dan pencabulan sementara sebagian
hak-hak asasi manusia.

170 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Namun demikian pentingnya lembaga penahanan ini
tampaknya sulit dipungkiri, sebab di samping demi kepentingan
penyidikan, juga secara sosiologis sangat bermanfaat terhadap
kepentingan hukum tersangka dan terdakwa sendiri. Namun
masalahnya adalah bagaimana menghilangkan kesan bahwa
lembaga penahanan ini justru lebih menonjolkan perampasan
kemerdekaan ketimbang kepentingan penyidikannya sendiri.
Untuk itu, perlu adanya pengaturan yang tegas bertalian dengan
lembaga penahanan ini sehingga tindakan yang sewenang-
wenang kepada para tahanan dapat diminimalisasi. Hal ini
selaras dengan apa yang telah diingatkan oleh Moeljatno bahwa
penegak hukum haruslah hati-hati menggunakan lembaga
tersebut dan perlu di dalam peraturan mengadakan jaminan-
jaminan agar supaya kepedihan (leed) dapat dibataskan kepada
yang sangat diperlukan saja; hanya dengan jalan yang demikian
lembaga ini dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam pada itu, tampaknya KUHAP telah memberikan
pengaturan sedemikian rupa terhadap perlindungan hak-
hak tersangka maupun terdakwa. Hal ini tampak dari adanya
pengaturan hak-hak tersebut di dalam KUHAP antara lain:
jaminan atas hak-hak tersangka/ terdakwa selama penahanan
yang meliputi hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap
tingkat pemeriksaan (Pasal 54), hak untuk segera diperiksa,
diajukan ke pengadilan dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2) dan (3).
Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka/terdakwa yang
ditahan (Pasal 58), hak untuk diberitahu kepada keluarganya
atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa
yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau bagi jaminan
atas bagi penangguahnnya dan hak untuk berhubungan dengan
keluarga dengan maksud yang sama di atas (Pasal 59 dan 60).
Demikian halnya prosedur penahanan yang menentukan
bahwa seseorang hanya dapat ditahan bila memenuhi dua syarat
yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif. Syarat subyektif
ini terdapat dalam Pasal 21 ayat 4 yang menentukan bahwa
penahanan hanya dapat dilakukan:

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 171


1. Terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
5 tahun atau lebih; atau
2. Tindak pidana tertentu seperti tersebut dalam Pasal 21 ayat
(4) huruf KUHAP, meskipun ancaman pidananya kurang 5
tahun penjara. Tindak pidana yang dimaksud adalah yang
terdapat dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, ayat (1), Pasal
335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372,
Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal
459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dan beberapa ketentuan perundangan-undangan
pidana lainnya.

Adapun syarat subyektif adalah:


1. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri ;
2. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa merusak atau
menghilangkan barang bukti .
3. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa mengulangi tindak
pidana .

Andi Hamzah (1983:133) mengemukakan bahwa syarat


subyektif yang telah diuraikan di atas, pada hakikatnya bukan
merupakan syarat sahnya penahanan, melainkan hanya
merupakan perlunya penahanan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak semua
orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana
dapat ditahan. Oleh karena untuk melakukan penahanan harus
memenuhi syarat obyektif yang telah ditetapkan secara limitative
dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Demikian pula sebaliknya,
tidak semua tersangka atau terdakwa yang telah memenuhi
Pasal 21 ayat (4) KUHAP otomatis harus ditahan. Hal ini sangat
bergantung penilaian subyektif dari masing-masing aparat yang
berwenang. Bila menurut penilaiannya tersangka/ terdakwa
tidak mungkin melanggar Pasal 21 ayat (1), maka penahanan
tidak perlu dilakukan.

172 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Sekarang timbul pertanyaan, apakah dengan adanya syarat
obyektif maupun syarat subyektif dari lembaga penahanan ini
sungguh-sungguh akan memberikan perlindungan kepada
tersangka dan tindakan sewenang-wenang pihak aparat hukum.
Atau, apakah dengan adanya kedua syarat penahanan tersebut
justru potensial menimbulkan diskriminasi/disparitas terhadap
tersangka atau terdakwa.
Bilamana dicermati secara mendalam bahwa, bila syarat
obyektif dpakai dalam melakukan penahanan, hampir tidak
menimbulkan masalah. Oleh karena hal ini secara tegas telah
diatur bahwa dapat dikenakan penahanan hanyalah mereka
yang melakukan tindak pidana yang disebutkan secara limitatif
dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP. Artinya, seorang yang melakukan
tindak pidana yang termasuk dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP ini
kepadanya tidak boleh dikenakan penahanan.
Berbeda dengan syarat subyektif dan penahanan, di sini
berkait dengan masalah diskresi dari aparat hukum yang akan
melakukan penahanan. Jadi, keputusan untuk melakukan
penahanan sangat bergantung kepada pertimbangan pribadi dari
masing-masing aparat hukum. Oleh karena mereka mempunyai
kewenangan yang luas untuk menafsirkan alasan penahanan
yang telah disebutkan dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP. Dengan
adanya kewenangan yang luas ini, bukan tidak mungkin akan
menimbulkan diskriminasi antara tersangka atau terdakwa
yang satu dengan yang lainnya. Artinya, meskipun masing-m
sing tersangka atau terdakwa telah memenuhi unsur obyektif,
namun pada kenyataannya terdapat perlakuan yang berbeda di
antara mereka, yang satu ditahan sedangkan yang Iainnya diberi
kesempatan menghirup udara segar di luar tahanan dengan
alasan tidak ada indikasi yang bersangkutan akan melanggar
Pasal 21 ayat 1 yaitu, adanya kekhawatiran melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi
tindak pidana.
Kesemuanya ini dapat menimbulkan kontroversi di tengah
masyarakat, sebab kadang bertentangan dengan perasaan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 173


keadilan masyarakat yang menghendaki penahanan kepada
tersangka atau terdakwa untuk menunjukkan bahwa asas
persamaan di muka hukum (equality before the law) sungguh
dapat ditegakkan.
Untuk itu, kemandirian yudisial seyogianya tidak selalu
diartikan kemandirian dalam arti kekuasaan mengadili di mana
dalam setiap pemeriksaan di muka persidangan harus dilakukan
secara jujur dan tidak memihak (fair and impartial court). Akan
tetapi Iebih dari itu, di tingkat penyidikan pun harus diwarnai
oleh kejujuran perlakuan kepada para tersangka.
Hal ini selaras dengan pendapat Barda Nawawi Arief
(2001:28-29) bahwa kekuasaan kehakiman yang mandiri dan
merdeka harus pula terwujud dalam keseluruhan proses
penegakan hukum pidana. Artinya, keseluruhan kekuasaan
kehakiman di bidang penegakan hukum pidana (kekuasan
penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan
kekuasaan eksekusi pidana), seharusnya merdeka dan mandiri,
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/ eksekutif.
Jadi menurut Barda Nawawi Arief pengertian kekuasaan
merdeka dan mandiri, juga harus diperluas, tidak hanya pada
kekuasaan peradilan atau kekuasaan mengadili. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan mandiri, harus terwujud dalam
keseluruhan proses atau sistem peradilan pidana. Lebih lanjut
Barda Nawawi Arief menulis bahwa keseluruhan proses dalam
sistem peradilan pidana harus merdeka dan mandiri. Tidak ada
artinya apabila kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri
itu hanya ada pada salah satu subsistem (yaitu kekuasaan
mengadili).
Kembali kepada syarat subyektif, di sini tampak bahwa
betapa mudah disalahgunakannya syarat-syarat subyektif dan
lembaga penahanan ini. Penegak hukum amat mudah berlindung
dibalik pasal 21 ayat I guna menutupi perbuatan kolusi, korupsi
dan nepotisme yang dilakukannya. Sementara itu, betapa banyak
tersangka atau terdakwa yang sesungguhnya tidak ada indikasi
sama sekali untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti

174 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


maupun mengulangi tindak pidana namun akhimya harus
menjalani penahanan. Salah satu penyebabnya karena acapkali
aparat penegak hukum hanya terjebak oleh kehendak atau
tertekan dari masyarakat.
Bila kondisi semacam ini dibiarkan, justru dapat berdampak
buruk terhadap hak-hak asasi seseorang. Apalagi dewasa ini
terdapat fenomena di mana tekanan dari masyarakat dapat
dikondisikan, sehingga tekanan massa ibarat pisau bermata
dua, di samping dapat dikondisikan dapat digunakan untuk
melakukan tekanan (pressure) agar seseorang ditahan, juga
dapat digunakan sebagai suatu kekuatan untuk membebaskan
seseorang dari tahanan. Sekali lagi, di sini dituntut adanya
kemandirian dan keberanian dari aparat penegak hukum.
Dalam rangka meminimalisasi pelanggaran terhadap
hak-hak tersangka atau terdakwa, hendaknya setiap aparat
hukum yang akan melakukan penahanan terlebih dahulu harus
memperhatikan apakah seorang tersangka sungguh-sungguh
telah memenuhi syarat Pasal 21 ayat 4. Jika hal ini tidak dipenuhi
maka otomatis penahanan kepada tersangka diterapkan. Karena
pada hakekatnya, Pasal 21 ayat 1 hanya bersifat asesoir terhadap
Pasal 21 ayat 4. Artinya, syarat subyektif saja tidak dapat dijadikan
alasan untuk melakukan penahanan.
Hal ini penting diperhatikan oleh penyidik dan penuntut
umum guna menghindari terjadinya penahanan secara sewenang-
wenang kepada seorang tersangka atau terdakwa. Oleh karena
itu, berbagai dalih seperti penahanan “demi mengamankan
seseorang” sama sekali tidak diperkenankan.
Demikian halnya bertalian dengan perpanjangan penahanan
hendaknya dilakukan secara selektif. Untuk itu, pihak yang
memberikan perpanjangan penahanan harus sungguh-sungguh
memantau apakah perpanjangan itu memang sangat diperlukan.
Bila hal ini tidak dilakukan dikhawatirkan pihak penyidik atau
penuntut umum sengaja mengulur waktu untuk melakukan
pemeriksaan dengan harapan akan menggunakan perpanjangan
penahanan yang memang dimungkinkan oleh undang-undang.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 175


Yang lebih tragis , salah satu penelitian menunjukkan bahwa
perpanjangan penahanan ternyata sering dilakukan meskipun
pemeriksaan sudah selesai. Padahal merupakan hak tersangka
terdakwa untuk segera diperiksa dan diajukan ke pengadilan.
Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 50 KUHAP yang isinya
sebagai berikut:
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh
penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut
umum .
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan
oleh penuntut umum .
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan .

Di samping itu, tindakan tersebut di atas sangat bertentangan


dengan alasan penahanan dan perpanjangan penahanan yang
ditetapkan oleh undang-undang yang menegaskan bahwa
penahanan/ perpanjangan penahanan hanya dikeluarkan untuk
kepentingan penyidikan/ pemeriksaan yang belum selesai.
Potensi terjadinya pelanggaran terhadap asas persamaan
di muka hukum ini juga dapat terjadi dalam hal penangguhan
penahanan. Masalah penangguhan penahanan ini diatur dalam
Pasal 31 ayat 1 dan 2 KUHAP yang isinya sebagai berikut:
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau
penuntut umum atau Hakim, sesuai dengan kewenangan
masing-masing dapat mengadakan penangguhan penahanan
dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,
berdasarkan syarat yang d itentukan .
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau Hakim
sewaktu-waktu dapat mencabut penagguhan penahanan
dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Bila menyimak isi Pasal 31 KUHAP di atas, di situ terdapat


kata “dapat” pada ayat 1 maupun ayat 2. Hal ini menunjukkan
bahwa masalah penangguhan penahanan adalah menyangkut

176 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


masalah diskresi dan instansi yang melakukan penahanan.
Artinya, aparat yang bersangkutan diberikan kebebasan untuk
menentukan sendiri keputusan yang akan diambil dari berbagai
kemungkinan sebagai alternatif.
Secara umum masalah diskresi ini dapat menimbulkan
masalah dalam hubungan kemanusiaan, yaitu bilamana ada
perbedaan kekuatan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Alasannya, karena pada umumnya keadaan seperti ini melibatkan
hubungan antara pemerintah dan warganegaranya, sehingga
masalah diskresi ini lebih khusus diarahkan kepada tindakan-
tindakan penguasa.
Namun di sini perlu dibedakan antara penangguhan
penahanan dengan pembebasan dan tahanan. Pada penangguhan
penahanan, diberikan kepada tahanan yang penahanannya
masih sah menurut undang-undang. Namun, pelaksanaan
penahanan dihentikan setelah adanya kesepakatan antara
instansi yang menahan dengan pihak tahanan tentang syarat-
syarat penangguhan yang harus dipenuhi oleh tahanan atau
orang lain yang bertindak menjamin penangguhan. Sebaliknya,
dalam pembebasan dari tahanan harus didasarkan pada
ketentuan undang-undang Tanpa dipenuhinya unsur-unsur
yang diterapkan undang-undang, pembebasan dari tahanan tidak
dapat dilakukan. Misalnya, seorang dikeluarkan dari tahanan
karena pemeriksaan terhadapnya sudah dianggap cukup atau
sebaliknya seseorang harus dikeluarkan dari tahanan karena
batas waktu penahanan sudah cukup meskipun pemeriksaan
terhadap dirinya belum selesai.
Syarat penangguhan penahanan, tampaknya tidak dijelaskan
secara rinci dalam Pasal 31 KUHAP, melainkan ditegaskan dalam
penjelasan Pasal 31 KUHAP yang terdiri atas:
1. Wajib lapor;
2. Tidak keluar rumah atau;
3. Atau tidak keluar kota.

Dengan demikian, ketiga syarat tersebut di atas merupakan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 177


syarat mutlak terhadap adanya suatu penangguhan penahanan.
Artinya, tanpa dipenuhinya syarat-syarat tersebut penangguhan
penahanan tidak mungkin dapat dilakukan.
Namun, apakah ketiga syarat tersebut dapat ditetapkan
sekaligus dalam pemberian penangguhan penahanan. Menurut
Yahya Harahap (1993 :230) yang paling logis hanya dua syarat
yaitu syarat wajib lapor ditambah salah satu syarat Iainnya.
Misalnya, syarat wajib lapor dengan syarat tidak keluar rumah
atau tidak keluar kota. Sebab menurut Yahya Harahap, bila sudah
ditetapkan tidak keluar rumah, otomatis ke luar kota pun tidak
mungkin dapat dilakukan. Jadi tidak masuk akal bila ditetapkan
tiga syarat sekaligus dalam pemberian suatu penangguhan
penahanan.
Diskresi yang bertalian dengan masalah penangguhan
penahanan ini sesungguhnya berpotensi menimbulkan
diskriminasi, di antara para tahanan. Karena bagaimanapun
juga, faktor perbedaan sosial ekonomi dan para tersangka atau
terdakwa sudah pasti berimplikasi terhadap dapat tidaknya
mereka penangguhan penahanan.
Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 31 ayat 1
KUHAP bahwa penangguhan penahanan dapat diberikan
kepada tersangka/terdakwa dengan atau tanpa jaminan uang
atau jaminan orang dengan digunakannya kalimat “dengan atau
tanpa” dalam Pasal 31 KUHAP tersebut di atas, berarti lembaga
jaminan ini tidak merupakan condition sine qua non dalam setiap
pemberian penangguhan penahanan.
Asas equality before the law membawa konsekuensi
ditegakkannya di dalam setiap di bidang hukum, termasuk
acara pidana. Berkaitan dengan itu, semangat dari asas equality
before the law di dalam bidang hukum acara pidana, khususnya
di dalam proses peradilan pidana yang merupakan sub sistem
peradilan pidana terdapat suatu asas yang merupakan pilar,
yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), bahwa
setiap tersangka dan terdakwa harus dianggap tidak bersalah
sebelum kesalahannya dibuktikan di dalam peradilan dan

178 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


dinyatakan daam putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap.
Asas praduga tak bersalah tidak secara tegas diatur
dalam UUD NRI 1945, demikian pula tidak dicantumkan pada
perubahan (amandemen) kedua UUD NRI 1945. Akan tetapi,
ketentuan tersebut dapat dijumpai dalam Pasal 8 UU No. 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Pasal 8 menyebutkan
(1) Setiap orang yang disangka, ditetapkan, ditahan, dituntut,
atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim


wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahal dan
terdakwa.

Demikian pula secara tersirat di dalam Pasal 35 dan 36 UU.


No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, tersirat dalam
Pasal 66 yang menyatakan “tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian.
Selain itu, di dalam penjelasan umum butir 3 huruf c secara
tegas dinyatakan tentang asas praduga tak bersalah, bahwa:
…setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap”

Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 18 ayat


(1) menyatakan bahwa:
“setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena
disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap
tidak bersalah, tanpa dibuktikan kesalahannya secara
sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala
jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 179


Selain itu, dalam pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan HAM disebutkan:
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini,
hukum acara atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.

Dan uraian di atas ditemukan bahwa ternyata pengaturan


asas praduga tak bersalah tidak secara tegas diatur dalam UU No.
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, melainkan secara
tersurat diatur dalam Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman.
Terkait dengan uraian di atas ditemukan bahwa temyata
pengaturan asas praduga tak bersalah tidak secara tegas diatur
dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
melainkan secara tersurat dalam pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman.
Terkait dengan uraian tersebut di atas, Inien Rukmini
(2003 : 87) berpendapat bahwa ketentuan tersebut tidak sesuai
dengan makna asas praduga tak bersalah, karena seolah-olah
asas praduga tak bersalah hanya diberlakukan pada tingkat
persidangan di pengadilan, yang seharusnya makna asas praduga
tak bersalah harus dimulai dari tahap adanya jangkauan sampai
adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, termasuk juga dalam tahap penyidikan.
Di dalam dokumen internasional, asas praduga tak bersalah
ditemukan dalam Pasal 11 ayat (1) HIR 1948 yang menyatakan:
“Everyone change a with penal offence has the right to be presumed
innocent until proved guilty according to law in public trial at
which he has had all guarantees necessary for his defense”
(Setiap orang yang dituduh melanggar hukum mempunyai
hak untuk dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan
bersalah dalam pengadilan dimana dia mendapatkan semua
jaminan yang perlu untuk pembelaannya)

Demikian pula halnya hal tersebut disyaratkan dalam pasal


14 ayat (2) ICCPR 1966 yang menyatakan:
Everyone change with a criminal offence shall have the right to be

180 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


presumed innocent until proved guilty according to law”
(Setiap orang yang dituduh melakukan perbuatan kriminal
mempunyai hak untuk dianggap tidak bersalah hingga
dibuktikan bersalah menurut hukum)

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa kedua asas


hukum yang fundamental ini yaitu asas praduga tak bersalah
dan asas persamaan dimuka hukum bersumber dan berakar dari
sumber dan akar yang sama yattu HAM yang bersifat universal
serta mendapat pengaturan baik di dalam perundang-undangan
nasional maupun di dalam dokumen internasional.
HAM yang terimplementasikan ke dalam asas praduga tak
bersalah dan asas persamaan di muka hukum adalah hendaknya
ditegakkan dan dilindungi sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis Hal ini adalah sejalan dengan ketentuan pasal
28 ayat (5) UUD NRI 1945 amandemen kedua yang menyatakan
bahwa:
“untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam perundang-undangan”.

Dalam tataran praktisnya, Mien Rukmini (2003: 68-69)


berpendapat bahwa makna asas praduga tak bersalah dan
asas persamaan di muka hukum belum terdapat kesamaan
mengenai rnakna yang terkandung di dalamnya, dan sering
terjadi penyimpangan atau pelanggaran ditambah lagi dengan
pengaturan yang tidak jelas dan sering terjadi kehancuran bahkan
berbenturan dengan adanya tindakan upaya paksa yang tidak
sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh kasus yang penulis alami kasus tindak
perdagangan orang (Human Trafficking) yang menempatkan
Hafiyuddin dan Jenny Thiorits selaku tersangka pada Polwil
Bone dalam perkara No. 871/P,d.B/2009 Disini terlihat ada
perlakuan tidak adil diantara kedua tersangka/terdakwa
tersebut. Ketika perkara Hafiyuddin sudah diputuskan oleh
Pengadilan Negeri Watampone, tersangka lainnya Jenny Thiorits

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 181


berkas perkaranya tidak diteruskan Setelah penulis mengadakan
penelusuran lebih jauh, ternyata setelah BAP Jenny Thiorits
dikembalikan oleh pihak Kejaksaan Negeri Watampone kepada
penyidik sebagaimana petunjuknya, tetapi pihak penyidik tidak
menindaklanjuti BAP tersebut sampai sekarang disinilah dilihat,
bahwa soal prapenuntutan tidak mengatur batas bolak-baliknya
SAP dalam KUHAP dan berakibat ketidakpastian hukum, dan
hal ini rawan dijadikan barang dagangan ,.
Contoh kasus lainnya yang penulis alami kasus Tindak
Pidana Korupsi yang menyeret Besse Mattayang (Mantan Kadis
Sosial Kabupaten Luwu) yang terkenal dengan kasus sejuta Al-
Qur’an, telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Palopo dengan
Nomor 58/Pid.B/2009. Dalam kasus tersebut, tampaknya pihak
Kejaksaan Negeri Palopo dianggap berlaku diskriminatif diantara
pihak yang terlibat karena hanya Besse Mattayang saja diajukan
ke persidangan sehingga demikian perlakuan yang diperlihalkan
oleh pihak penyidik adalah bertentangan dengan asas Equality
Before Law.
Demikian halnya dengan kasus NH dalam perkara Tindak
Pidana Korupsi dalam perkara No.900/Pts.Pid.B/1998/
PN.Ujung Pandang. Selama terdakwa diajukan ke persidangan,
ternyata yang bersangkutan tidak pernah ditahan oleh pihak
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, terdakwa hanya di kenakan
tahanan kota. Namun, ketika perkaranya dilimpahkan ke
Kejaksaan Negeri Ujung Pandang, penahanan kota atas diri
tersangka dicabut dengan alasan tidak ada indikasi melanggar
Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Tidak ditahannya NH ternyata ada
kaitannya dengan telepon tertulis dari pihak Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Khusus, yang isinya menyatakan: Untuk
Kejati, dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tanggal
18 Nopember 1998, diminta perhatiannya agar perkara Nurdin
Khatik tidak ditahan, diulangi tidak ditahan (Tahir, 2010: 71).
Dari contoh diatas terlihat betapa masih banyaknya perilaku
aparat penegak hukum yang sangat diskriminatif diantara para
pihak yang didudukkan dalam perkara yang sama. Disamping

182 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


itu masih terlihat adanya campur tangan pihak yang mempunyai
kedudukan yang Iebih tinggi dan pihak yang mempunyai
kedudukan yang lebih rendah dari pihak yang melakukan
penyidikan, sehingga terlihat adanya ketidak mandirian
untuk mengajukan seseorang dalam proses peradilan yang
sudah didukung oleh fakta-fakta hukum yang berujung pada
ketidakadilan dalam proses peradilan pidana.
Guna mewujudkan kemandirian yudisial yang seyogianya
tidak selalu diartikan kemandinan dalam arti kekuasaan mengadili
di mana dalam setiap pemeriksaan di muka persidangan, maka
harus dilakukan secara jujur dan tidak memihak (Fair and Impartial
Court) akan tetapi Iebih dari itu ditingkat penyidikanpun harus
diwarnai oleh kejujuran perlakuan kepada para tersangka.

3. Asas Praduga tak Bersalah (Presumption of Innocence)


Asas praduga tak bersalah pada dasarnya merupakan
manifestasi dari fungsi peradilan pidana (modern) yang
melakukan pengambilalihan kekerasan atau sikap balas dendam
oleh suatu institusi yang ditunjuk oleh negara. Dengan demikian,
semua pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang harus
diselesaikan melaui prosedur hukum yang berlaku.
Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah tidak
dicantumkan secara tegas, namun hanya terdapat dalam
penjelasan umum butir 3c KUHAP yang isinya: Setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Demikian halnya dalam Pasal 18 ayat 1 undang-undang RI
No. 39 Th. 1999 yang isinya sebagai berikut: Setiap orang yang
ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan
sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampal
dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang dan
diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 183


undangan .
Di sini sungguh-sungguh dibutuhkan adanya alat bukti
yang sah dan cukup. Dalam hal ini, asas praduga tak bersalah
mutlak dijunjung tinggi guna menghadapi terjadinya kekeliruan
mengenai orangnya. Contoh kasus yang cukup monumental
adalah kasus salah tangkap terhadap Budi Hardjono yang dituduh
membunuh ayah kandungnya bernama Ali Harta Winata, namun
empat tahun kemudian selepas Budi Hardjono mendekam pada
Lembaga Permasyarakatan Klas II A Buluk kapal, petugas dari
Unit II Jatanras Polda Metrojaya berhasil menangkap pembunuh
yang sebenarnya bernama Marsis (Pamungkas, 2010; 157) .
Selain itu, asas praduga tak bersalah diatur pula dalam
Bab III Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor M.01. PW.07.03 Tahun 1982 Pedoman Pelaksanaan Kitab
undang-undang Hukum Acara Pidana yang isinya antara lain:
Sebagai seseorang yang belum dinyatakan bersalah maka Ia
mendapat hak-hak seperti: hak segera mendapat pemeriksaan
oleh pengadilan dan mendapat putusan seadil-adilnya hak untuk
diberitahu apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya
dengan bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan
pembelaannya, hak untuk mendapat juru bahasa, hak untuk
mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk mendapatkan
kunjungan keluarganya.
Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah, maka
seorang terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian.
OIeh karena Penuntut Umum yang mengajukan tuduhan
terhadap terdakwa, maka Penuntut Umumlah yang dibebani
tugas membukikan kesalahan terdakwa dengan upaya-upaya
pembuktian yang diperkenankan oleh undang-undang.
Namun, tampaknya dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 140 Jo UU No. 20/ Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 134, telah terkandung jiwa asas pembuktian
terbalik. Hal ini dapat disimak dalam Pasal 37 dan Pasal 37 (A)

184 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


yang menetapkan sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi .
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dapat dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Pasal 37 (A)
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambah kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal
15 sampai dengan pasal 12 undang-undang ini, sehingga
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.

Penegasan lebih lanjut tentang “pembuktian terbalik”


diuraikan dalam penjelasan umum undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang
menegaskan bahwa ketentuan mengenai “pembuktian terbalik”
perlu ditambahkan dalam undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagian
ketentuan yang bersifat “premium remedium” dan sekaligus
mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 185


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dati Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Namun, dengan dianutnya sistem “pembuktian terbalik”
dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
undang Nomor 20/Tahun 2001 ini, bukan berarti asas praduga
tak bersalah tidak dihormati lagi. Sebab, dalam Pasal 37 ayat (1)
menegaskan bahwa pasal ini sebagai konsekuensi berimbang
atau penerapan pembuktjan terbalik terhadap terdakwa.
Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum berimbang
atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan
dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan
menyalahkan diri sendiri (non self incrimination) Bahkan, dalam
Pasal 37 A ayat (3) penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
Bertolak dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa antara pembuktian terbalik dan asas praduga tak bersalah
sesungguhnya tidak perlu dipertentangkan. Meskipun dalam
“pembuktian terbalik” terdakwa sudah dianggap bersalah,
namun pengertian bersalah di sini adalah bersalah secara faktual
(factual fact), dan bukan bersalah menurut hukum (legal fact)
sebagaimana yang terdapat dalam asas praduga tak bersalah.
Artinya, meskipun terdapat indikator yang cukup kuat untuk
mempersalahkan terdakwa, namun kesalahan terdakwa tersebut
harus senantiasa didasarkan pada putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Menurut Oemar Seno Adji (1981:251), presumption of
Innocence umumnya menampakkan diri pada masalah burden of
proof beban pembuktian. Meskipun dalam “pembuktian terbalik”
terdakwa sudah dianggap bersalah, namun pengertian bersalah
di sini adalah bersalah secara faktual (factual fact), dan bukan
bersalah menurut hukum (legal fact) sebagaimana yang terdapat
dalam asas praduga tak bersalah. Artinya, meskipun terdapat

186 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


indikator yang cukup kuat untuk mempersalahkan terdakwa,
namun kesalahan terdakwa tersebut harus senantiasa didasarkan
pada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Menurut Oemar Seno Adji (1981:251), presumption of
innocence umumnya menampakkan diri pada masalah burden of
proof, beban pembuktian. Menjadi kewajiban penuntut umum
untuk membuktikan kesalahan terdakwa, kecuali pembuktian
insanity yang dibebankan kepada terdakwa ataupun undang-
undang memberikan ketentuan yang tegas pembuktian terbalik.
Undang-undang Anti Korupsi di lnggris pada Tahun 1916
dan Malaysia pada tahun 1961 mengandung asas pembuktian
terbalik. Asas pembuktian terbalik mempunyai konsekuensi di
mana beban pembuktian terletak pada pihak terdakwa. Artinya,
terdakwalah yang berkewajiban membuktikan bahwa dirinya
tidak bersalah.
Sebagai konsekuensi dianutnya asas praduga tak bersalah
adalah seorang tersangka atau terdakwa yang dituduh
melakukan suatu tindak pidana, tetap tidak boleh diperlakukan
sebagai orang yang bersalah meskipun kepadanya dapat
dikenakan penangkapan/penahanan menurut undang-undang
yang berlaku. Jadi, semua pihak termasuk aparat hukum harus
tetap menjunjung tinggi hak asasi tersangka terdakwa.
Asas praduga tak bersalah ini hanya berlaku ketika orang
itu sedang diadili. Artinya, dalam memeriksa terdakwa, Hakim
harus adil dan tidak berpihak ke kiri atau ke kanan. Jadi, itu
makna asas praduga tak bersalah. Lebih lanjut dijelaskan, kalau
di luar pengadilan asas praduga tak bersalah tak boleh ditafsirkan
seperti itu. Sebab, kalau tafsirannya demikian, tidak akan ada
orang yang mau diperiksa polisi dengan alasan akan melanggar
asas praduga tak bersalah. Penyidik harus menafsirkan asas
praduga tak bersalah bahwa dalam pemeriksaan tak boleh
menekan. Dalam tiap tahap penyidikan hak asasi tersangka
dihormati. Hak mangkir diakui. (Trimoelja Soeryadi, 2000:19)
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa asas

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 187


praduga tak bersalah hanya diberikan kepada seseorang yang
telah dinyatakan berstatus terdakwa. Jadi, bila bertolak dari asas
argumenturn a contrario maka seseorang yang belum berstatus
terdakwa kepadanya belum bisa diterapkan asas praduga tak
bersalah.
Bila memang demikian, maka pandangan tersebut di atas
mengandung kelemahan. Alasannya, karena secara faktual,
tidak sedikit kasus main hakim sendiri seperti penganiayaan,
pembunuhan serta trial by the press justru menimpa seseorang
yang sama sekali belum berstatus tersangka. Tindakan semacam
ini terjadi karena terbentuknya sikap apriori dari sebagian
masyarakat yang menganggap bahwa apa yang dituduhkan
kepada seseorang memang benar adanya. Untuk itu, mereka
seolah berhak untuk mengadili sesuai dengan caranya masing-
masing.
Padahal, salah satu fungsi peradilan pidana (modern)
adalah adanya pengambil alihan tindakan kekerasan atau balas
dendam privat oleh negara sebagai upaya untuk menghilangkan
sifat main hakim sendin. Selain itu, sebagai bagian dari proses
hukum yang adil, asas praduga tak bersalah seyogianya tidak
hanya selalu dikaitkan dengan pelaksanaan hukum acara pidana,
melainkan harus pula merupakan manifestasi dari perlindungan
hak asasi manusia.
Pengakuan terhadap asas praduga tak bersalah dalam
maksud acara pidana yang berlaku di negara kita mengandung
dua maksud. Di satu pihak ketentuan tersebut adalah untuk
memberikan perlindungan dan jaminan terhadap seorang
manusia yang telah dituduh melakukan suatu tindak pidana
dalam proses pemeriksaan perkara jangan sampai diperkosa
hak asasinya, sedangkan di lain pihak, ketentuan tersebut
memberikan pedoman kepada petugas agar supaya membatasi
tindakannya dalam melakukan pemeriksaan oleh karena
yang diperiksanya itu bukanlah benda atau hewan. Akan
tetapi, manusia yang mempunyai martabat sama dengan yang
melakukan pemeriksaan.

188 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Menurut Mardjono Reksodiputro (1994:38) asas praduga
tak bersalah ini adalah asas utama proses hukum yang adil
(due process of law), yang mencakup sekurang-kurangnya; (a)
perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat
negara; (b) bahwa pengadilanlah yang berhak salah tidaknya
terdakwa; (c) bahwa sidang pengadilan harus terbuka (tidak
boleh bersifat rahasia); dan (d) bahwa tersangka dan terdakwa
harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri
sepenuhnya.
Di samping itu, bila menyimak isi Pasal 11 Universal
Declaration of Human Right dan Pasal 66 ayat I Statuta Roma yang
berkenaan dengan asas praduga tak bersalah, di situ digunakan
kata “setiap orang”. Dengan demikian, hal ini bisa ditafsirkan
bahwa asas praduga tak bersalah berlaku kepada siapa saja tanpa
harus menunggu status sebagai terdakwa.
Untuk Iebih jelasnya di bawah ini akan diketengahkan isi
Pasal 11 UDHR dan Pasal 66 ayat 1 Statuta Roma sebagai berikut:
1. Setiap orang yang dituduh melakukan pelanggaran pidana
berhak dianggap tidak bersalah sampal terbukti kesalahannya
menurut hukum oleh suatu sidang pengadilan terbuka
dimana Ia memperoleh semua jaminan yang diperlukan
untuk pembelaannya;
2. Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah melakukan
suatu perbuatan pidana berdasarkan suatu tindakan
atau kelalaian yang belum dinyatakan sebagai tindakan
pelanggaran pidana berdasarkan hukum nasional atau hukum
internasional pada waktu perbuatan tersebut dilakukan. Juga
tidak boleh menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada
ketentuan pidana yang telah ada pada saat perbuatan tersebut
dilakukan.

Sedangkan dalam Statuta Roma, asas praduga tak bersalah


dirumuskan sebagai berikut: “Setiap orang harus dianggap tak
bersalah sampai terbukti bersalah di depan Mahkamah sesuai
dengan hukum yang berlaku”. (Anonim, 2000 : 86)

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 189


Hal ini berbeda dengan Pasal 19 ayat e Deklarasi Cairo
(Baharuddin Lopa, 1993:35) yang menegaskan bahwa “terdakwa
dinyatakan tidak bersalah sampai Ia terbukti bersalah di
pengadilan di mana Ia diberi jaminan untuk membela diri.”
Jadi tampak dalam Deklarasi Cairo ini secara tegas
menggunakan kata “terdakwa” berkenaan dengan asas praduga
tak bersalah. ini berarti, pengertian asas praduga tak bersalah
dalam UDHR dan Statuta Roma tampaknya lebih luas dibanding
dengan pengertian asas praduga tak bersalah yang terdapat
dalam Deklarasi Cairo.
Menurut Herbert Packer (1968:160), di samping asas
praduga tak bersalah, dikenal juga asas praduga bersalah
(presumption of guilt). Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh
polisi dan jaksa merupakan indikator terpercaya kemungkinan
bersalahnya seseorang. Artinya, apabila seseorang telah
ditangkap dan diperiksa tanpa dikemukakannya kemungkinan
ketidakbersalahannya, atau bila suatu keputusan yang telah
dibuat menunjukkan adanya bukti untuk membawanya kepada
tindakan selanjutnya, maka semua Iangkah berikutnya diarahkan
kepada asumsi bahwa ia mungkin bersalah.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Herbert Packer (1978 : 61)
bahwa praduga tak bersalah bukanlah lawan praduga bersalah.
Praduga tak bersalah tidak relevan dengan praduga bersalah.
Dua konsep ini berbeda namun tidak bertentangan. Dalam hal ini
Packer mengemukakan contoh, seorang pembunuh, berdasarkan
alasan yang cukup didasarinya, memilih untuk menembak
korbannya di depan orang banyak. Ketika polisi tiba ia masih
menggenggam pistolnya sambil mengatakan bahwa dialah yang
membunuhnya. Kejadian itu disaksikan oleh orang banyak. Ia
pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dalam kasus
tersebut, tampak ekstrim namun secara faktual punya bukti
yang akurat, bahkan sangatlah keterlaluan bila kita mengatakan
bahwa tersangka tidak terlibat pembunuhan. Jadi bukanlah ini
yang dimaksud praduga tak bersalah.
Jadi menurut Packer, praduga tak bersalah merupakan

190 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


suatu arah/ pedoman bagi petugas mengenai bagaimana mereka
harus melakukan proses, bukan suatu prediksi hasilnya. Namun
praduga bersalah merupakan suatu prediksi hasilnya. Dengan
demikian, praduga tak bersalah merupakan suatu pedoman bagi
pihak yang berwenang untuk mengabaikan praduga bersalah
dalam memperlakukan tersangka. Praduga tak bersalah,
akibatnya mengarahkan kepada para petugas agar menutup
mata terhadap apa yang tampak pada kejadian faktualnya. Jadi
perlu diperhatikan bahwa praduga bersalah bersifat deskriptif
dan faktual, sedangkan praduga tak bersalah bersifat normatif
dan legal.
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya asas praduga tak bersalah mempunyai dua bentuk
masing-masing asas praduga tak bersalah yang murni dan asas
praduga yang semu. Asas praduga tak bersalah yang murni
ditujukan kepada seorang tersangka yang tidak tertangkap
tangan. Di sini sungguh-sungguh dibutuhkan adanya alat bukti
yang sah dan cukup. Dalam hal ini, asas praduga tak bersalah
mutlak dijunjung tinggi guna menghindari terjadinya kekeliruan
mengenai orangnya.
Sedangkan praduga tak bersalah yang semu berlaku
terhadap tersangka yang tertangkap tangan. Kepadanya berlaku
fiksi, artinya meskipun tidak ada yang bisa membantah bahwa
mernang dialah pelaku pembunuhan itu, tetapi dia harus tetap
dianggap tidak bersalah. Tujuannya, adalah agar masyarakat
tidak terjebak pada sikap main hakim sendiri, serta tetap
menghargai lembaga peradilan yang ada.
Dalam pada itu, Sahetapy (1998:1) menulis bahwa asas
praduga tak bersalah tidak sama dengan presumption of innocence.
Menurutnya asas praduga tak bersalah bertumpu pada KUHAP
sedangkan presumption of innocence bertumpu pada adversary
system.
Bila mengikuti pandangan Sahetapy tersebut di atas, maka
konsekuensinya adalah presumption of innocence hanya berlaku di
pengadilan, sedangkan asas praduga tak bersalah mulai berlaku

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 191


sejak seseorang berstatus sebagai tersangka. Akibatnya, dalam
penerapan prinsip akusator pun sangat berbeda. Dalam adversary
system prinsip akusator hanya berlaku di pengadilan, sedangkan
dalam KUHAP prinsip akusator telah berlaku sejak pemeriksaan
di tingkat penyidikan.
Bertalian dengan pengertian prinsip akusator Djoko Prakoso
(1986:62-63) menulis sebagai berikut:
1. Kedudukan atau posisi tersangka/ terdakwa
Tersangka terdakwa dan penuntut umum mempunyai
kedudukan yang sama. Kedua belah pihak saling berhadapan
sebagai pihak yang sama haknya dalam melakukan
pertarungan hukum di muka Hakim yang tidak memihak.
Jadi, dalam sistem akusator ada tiga subyek acara yaitu
terdakwa, orang yang mendakwa dan Hakim .
2. Sifat tugas Hakim yang pasif
Dalam sistem akusator pihak Hakim hanya akan bertindak
atau memulai tugasnya apabila telah diterima suatu
pengaduan/laporan perkosaan hukum, atau dan petugas
negara dalam soal kepidanaan. Hakim tidak memihak dan
berada di atas kedua belah pihak;
3. Sifat pemeriksaan yang terbuka untuk umum
Khalayak ramai harus diberi kesempatan untuk menyaksikan
jalannya persidangan, sehingga mereka dapat mengawasi
atau mengontrol jalannya persidangan atau pemeriksaan,
sehingga sifat kejujuran, kebebasan Hakim dan putusan yang
adil dan Hakim dapat diawasi dengan sebaik-baiknya.
4. Campur tangan pembela/ penasehat hukum
Dalam pemeriksaan perkara pidana dengan mempergunakan
sistem akusator, maka pembelal/penasehat hukum sejak
saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan terhadap
tersangka/ terdakwa diperbolehkan menghubungi
dan memberikan nasehal hukum kepadanya serta
mendampinginya setiap pemeriksaan terhadap tersangka/
terdakwa, baik di kepolisian, kejaksaan maupun dalam sidang

192 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


pengadilan.

Dengan asas praduga tak bersalah yang dimiliki KUHAP,


dengan sendirinya memberi pedoman kepada aparat penegak
hukum untuk mempergunakan prinsip akusator dalam
setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penegak hukum harus
menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkuisator
yang menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai obyek
yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang. Prinsip
inkuisator inilah yang menjadi landasan pemeriksaan dalam era
HIR yang sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang
wajib bagi tersangka atau terdakwa untuk membela diri dan
mempertahankan hak dan kebenarannya.
Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Yahya Harahap
(1993:39), bahwa konsekuensi dianutnya asas inkuisator ini
adalah:
1. Aparat hukum sudah apriori menganggap tersangka atau
terdakwa telah bersalah. Seolah Si tersangka sudah divonis
sejak saat pertama dia diperiksa di hadapan penyidik;
2. Para tersangka dianggap dan dijadikan sebagai obyek
pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusianya
dan haknya untuk membela serta mempertahankan martabat
serta kebenaran yang diimikinya. Akibatnya sering terjadi
dalam praktek penegakan hukum, seorang yang benar-benar
tidak bersalah terpaksa harus menerima siksaan di luar batas
perikemanusiaan.

Sistem inkuisator merupakan bentuk proses penyelesaian


perkara pidana yang semula berkembang di daratan Eropa sejak
abad ke 13 sampai dengan awal pertengahan abad ke 19. Proses
penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem inkuisator
pada masa itu dimulal dengan adanya inisiatif penyidik
atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan. Cara
penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan secara rahasia. Tahap
pertama yang dilakukan oleh penyidik ialah meneliti apakah
suatu kejahatan telah dilakukan, dan melakukan identifikasi

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 193


para pelakunya, maka tahap kedua ialah memeriksa pelaku
kejahatan tersebut. Dalam tahap ini, tersangka ditempatkan
terasing dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan
pihak lain atau keluarganya. Pemeriksaan atas diri tersangka
dan para saksi diakukan secara terpisah, dan semua jawaban
tersangka maupun para saksi dilakukan di bawah sumpah dan
dicatat dalam berkas hasil pemeriksaan. Kepada tersangka tidak
diberitahukan dengan jelas isi tuduhan dan jenis kejahatan
yang telah ia lakukan serta bukti yang memberatkannya. Satu-
satunya tujuan pemeriksaan pada saat itu ialah memperoleh
pengakuan (confession) dari tersangka. Khususnya dalam
kejahatan berat, Romli Atmasasmita (1996:46-47) berpendapat
bahwa apabila tersangka tidak mau secara sukarela mengakui
perbuatannya atau kesalahannya, dan bukti yang dikumpulkan
menimbulkan dugaan kuat akan kesalahannya, maka petugas
pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka melalui
cara penyiksaan (forture) sampai diperoleh pengakuan. Kondisi
ini sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai suatu viktimisasi
yuridis sebagaimana yang ditulis oleh Sahetapy (1995:vii)
viktimisasi yuridis dimensinya cukup luas, baik yang menyangkut
aspek peradilan (dan lembaga pemasyarakatan), maupun yang
menyangkut dimensi diskriminasi perundang-undangan,
termasuk menerapkan hukum kekuasaan, kematian perdata, dan
stigmatisasi kendatipun sudah diselesaikan aspek peradilannya.

B. MEKANISME SISTEM PERADILAN PIDANA


Mekanisme peradilan pidana sebenarnya adalah suatu
mekanisme bekerjanya komponen-komponen dari Sistem
Peradilan Pidana (SPP) untuk mencapai tujuan. Hal ini berarti
juga sebagai suatu tahap pelaksanaan kekuasaan negara di
bidang peradilan pidana. Mengingat hal itu, sudah barang tentu
diperlukan suatu peraturan hukum yang berfungsi tidak saja
sekedar untuk mengatur kewenangan-kewenangan apa saja
yang boleh dilakukan oleh komponen-komponen SPP, namun
Iebih dari itu juga mengatur mengenai larangan dan keharusan
yang harus dipatuhi dalam rangka perlindungan warga negara

194 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


khususnya yang terlibat dalam rangkaian proses peradilan
pidana. Peraturan hukum yang dimaksudkan tersebut tidak lain
adalah hukum acara pidana. Salah satu definisi yang memberi
pengertian hukum acara pidana adalah seperti yang ditulis oleh
Moeljatno (1986: 17) yaitu:
Hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar-
dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan
prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu
perbuatan pidana dapat dilaksanakan, apabila ada sangkaan
bahwa orang telah melakukan delik tersebut.

Dalam kamus hukum istilah criminal procedure diberi


istilah criminal procedure (Henry Campell Black, 1990:374) diberi
pengertian sebagai berikut:
The rules of law governing the procedures by which crimes are
investigated, prosecuted, adjudicated, and punished. Generic
term to describe the net work of laws and rules which govern the
procedural administration of criminal justice.
(norma hukum mengatur prosedur yang olehnya kejahatan
disidik, dituntut, ditetapkan, dan dihukum. lstilah umum
untuk menjelaskan jaringan hukum dan norma-norma yang
mencakup administrasi prosedur peradilan kriminal).

Menurut Moeljatno dalam pengertian hukum acara pidana


tersebut sebenarnya terkandung prinsip resmi (formal) bahwa:
“Selain yang diberi kewenangan oleh peraturan hukum tidak
boleh melakukan tindakan menurut hukum acara pidana”.
Pandangan ini tentu saja sejalan dengan maksud diadakannya
hukum acara pidana sebenarnya tidak lain adalah untuk
menghindari setiap orang dapat melakukan tindakan main
hakim sendiri meskipun dengan tujuan untuk melaksanakan
ketentuan yang terdapat dalam hukum pidana materil.
Pandangan Moeljatno tersebut dikemukakan sehubungan
dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar
Sementara (UUDS) Tahun 1950, yang pada waktu itu masih
berlaku, yaitu sebagaimana yang termuat dalam Pasal 12 yang
berbunyi : “Tidak seorang juapun boleh ditangkap selain atas
perintah untuk itu oleh kekuasaan yang sah”.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 195


Ketentuan hukum yang mengatur hukum acara pidana di
Indonesia terutama terdapat dalam undang-undang nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). KUHAP berinduk pada Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman No. 48 Thn. 2009, yang telah mengatur mengenai
dasar-dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dan juga
asas-asas dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dan
juga mengenai asas-asas pokok perlindungan hak asasi manusia
yang terlibat dalam proses peradilan pidana khususnya tersangka
dan terdakwa.
Mekanisme peradilan pidana dilakukan melalui beberapa
tahapan proses. Setiap SPP mempunyai ketentuan yang mungkin
sama atau berbeda dalam hal mengatur mengenai tahap-tahapan
proses peradilan pidana. Namun demikian secara garis besar
tahapan- tahapan tersebut setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi
tiga tahapan yaitu:
1. Tahapan Sebelum Sidang Pengadilan (Pra Adjudication, Pre-trial
Processes);
2. Tahapan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan (Adjudication, Trial
Processes);
3. Tahapan Sesudah Sidang Pengadilan Selesai (Post Adjudication
Post- trial Processes).

Meskipun proses peradilan pidana mengenai pembagian


tahapan-tahapan proses dan sekaligus juga mengenai pembagian
peran masing-masing komponen dalam setiap tahapan, namun
demikian pelaksanaan proses peradilan pidana tetap harus
dalam kerangka pemikiran SPP terpadu.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab II bahwa
kerangka pemikiran SPP terpadu bukan hanya suatu hubungan.
koordinatif antar instansi dan aparat penegak hukum dana,
namun Iebih dari itu adalah bagaimana agar semua hak yang
terlibat dalam proses atau sistem peradilan dana dapat berperan
secara maksimal untuk mencapai tujuan. Dengan demikian titik
berat perhatian bukannya kepada instansi dan aparat penegak

196 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


hukum pidana, tetapi juga terhadap si pelaku, korban dan
masyarakaf pada umumnya. Menurut Mardjono Reksodiputro
(1993:16) hal itu didasari pada pemikiran bahwa 99% perkara
adalah dari masyarakat maka harus kembali kepada masyarakat,
sebagaimana dapat dilihat dari bagan siklus proses dinamika
dalam proses peradilan pidana sebagai berikut:

Tahapan proses peradilan pidana menurut KUHAP


dapat dijelaskan seperti pembagian tahapan tersebut di
atas yaitu: (1) tahap pemeriksaan pendahuluan terdiri dari
tahapan penyelidikan, penyidikan, dan proses penuntutan (2)
tahap pemeriksaan perkara di pengadilan, (3) tahap sesudah
persidangan adalah tahapan pelaksanaan putusan Hakim.
Setiap tahapan proses tersebut dapat dianalisis berdasarkan
analisis input (masukan) proses, dan output (keluaran/hasil),
dan model analisis tersebut juga dapat diterapkan terhadap
keseluruhan proses peradilan pidana.

a. Pra-Ajudikasi
Tahap pemeriksaan pendahuluan adalah semua tahapan
proses sebelum sampai pada pemeriksaan perkara di pengadilan.
Menurut KUHAP tahap pemeriksaan pendahuluan dapat
dibagi menjadi dua tahapan yaitu: (1) proses penyelidikan dan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 197


penyidikan, dan (2) proses penuntutan.
Sumber bahan masukan perkara pidana ke dalam proses
peradilan pidana dapat melalui laporan, pengaduan, dan hasil
pengetahuan dan aparat penegak hukum pidana yang berasal dan
hasil penyelidikan. Laporan dan pengaduan dapat dikategorikan
sebagai bahan masukan yang berasal dari anggota masyarakat
kepada pihak aparat yang berwenang, sedang penyelidikan
dapat dikategorikan sebagai bahan masukan yang berasal dari
aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum itu sendiri (penyelidik). Namun demikian penyelidik
juga mempunyai peranan karena kewajibannya untuk menerima
laporan dan pengaduan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di wilayah hukum
Pengadilan Tinggi Yogyakarta, terlihat bahwa sebagian besar
masukan perkara terutama berasal dari laporan, khususnya
laporan dari korban kejahatan. Korban kejahatan yang pertama
kali mengetahui terjadinya kejahatan, khususnya yang menimpa
dirinya mempunyai peranan yang besar untuk memberikan
bahan masukan perkara pidana. Hal ini terlihat bahwa sebanyak
82,6% korban melakukan reaksi atas peristiwa yang menimpa
dirinya dengan cara melaporkan kepada polisi, sedang sisanya
sebanyak 3% memilih tidak lapor polisi meskipun pada akhirnya
Perkaranya yang menimpa dirinya masuk dalam proses peradilan
melalui laporan dari pihak lain. (Milono, 2004 : 241)
Dalam tataran yang bersifat normatif tersebut, kadang
dalam praktek keluar dari takaran undang-undang yang
ada. Sebagaimana yang telah di singgung pada pembahasan
terdahulu, yaitu kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human
Trafficking) yang terjadi pada jajaran Polres Watampone di mana
tersangka Jenny Thiorits yang berkas perkaranya dikembalikan
untuk kedua kalinya oleh pihak Kejaksaan Negeri Watampone
pada tanggal 5 Mei 2009, namun sampai sekarang berkas perkara
tersebut tidak di tindak lanjuti oleh pihak penyidik.
Di sini terlihat adanya kejanggalan dalam proses
penyelesaian BAP. Andai kata pihak penyidik berpendapat

198 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


bahwa dalam perkara tersebut tidak cukup bukti, maka janganlah
dipaksa-paksakan perkara tersebut untuk dilimpahkan ke proses
selanjutnya. Seharusnya penyidik harus bersikap tegas untuk
menghentikan perkara tersebut demi hukum. Sebagaimana
hakikat dari hukum progresif itu sendiri adalah hukum
hendaknya mampu memberi perlindungan kepada masyarakat.
Di tingkat penyidikan, sering dijumpai para tersangka tidak
didampingi oleh penasehat hukumnya, ketidakjelasan pentingnya
seorang penasehat hukum mendampingi para tersangka adalah
merupakan penjelasan awal terwujudnya Proses Peradilan Yang
adil (due process of law), sebab dikhawatirkan kalau tersangka
hanya berhadapan dengan penyidik dalam suatu ruang yang
tertutup maka dikhawatirkan terjadi intimidasi dari penyidik
yang berujung pada lahirnya pengakuan yang bersifat terpaksa.
Keberadaan penasehat hukum memang sangat penting
mulai dan tingkat penyidikan sampai pada putusan pengadilan,
sebab memang pada prinsipnya para tersangka mempunyai hak
sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 56 KUHAP jo. Pasal
56 dan 57 UU No. 98 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Di sinilah pentingnya pendekatan hukum progresif,
di mana aparat penegak hukum yang berbekal dan sumber
daya manusianya yang memadai mampu memecahkan setiap
permasalahan yang dihadapinya tidak terjebak oleh suatu aturan
formal belaka, tapi paling tidak dengan asas-asas yang mampu
keluar dari kebuntuan hukum yang ada, sebagaimana slogan-
slogan yang selalu dikumandangkan oleh Satjipto Rahardjo
bahwa hukum untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum.
Dalam praktek sering dijumpai suatu berkas perkara
yang bolak-balik dari penyidk ke Kejaksaan atau sebaliknya.
Praktek demikian berujung pada ketidakpastian hukum bagi
seorang tersangka. Sebenarnya persoalan ini tak perlu terjadi
andai kata pada saat dimulainya penyidikan oleh penyidik Polri
sudah harus menindak lanjuti surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan. Jadi, atas dasar uurat tersebut, koordinasi yang
bersifat instansional dan fungsional harus berjalan dengan baik

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 199


dalam arti bahwa pihak kejaksaan juga harus bersikap proaktif
untuk mengikuti perkara yang dikembalikan padanya, sehingga
asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dapat dicapai.
Semua bahan masukan perkara baik yang masuk kepada
penyelidik maupun penyidik selanjutnya dilakukan penyidikan,
yaitu serangkaian tindakan-penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Apabila proses penyidikan sudah dianggap cukup, bagi
penyidik terbuka beberapa kemungkinan untuk melakukan
tindakan yaitu: (1) penyidikan, (2) melimpahkan berkas
perkaranya kepada Penuntut umum agar dilakukan proses
penuntutan.
Penyidik dapat menghentikan penyidikan apabila temyata
perkara tersebut tidak ada atau kurang alat bukti, bukan
perkara pidana, dihentikan demi hukum, serta dihentikan demi
kepentingan umum berdasarkan asas oportunitas yang dimiiki
oleh Jaksa Agung.
Selama dalam tahap proses Penyidikan Penyidik
mempunyai, wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka dan saksi-saksi lain yang diperlukan, serta berwenang
pula untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa:
1. Penangkapan terhadap tersangka;
2. Penahanan terhadap tersangka;
3. Penggeledahan badan terhadap tersangka;
4. Penggeledahan terhadap rumah/bangunan dan
5. Melakukan penyitaan benda/barang yang akan dipakai
sebagai bahan pembuktian;

Secara skematis proses penyelidikan dan penyidikan


dapat digambarkan sebagai berikut:

200 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


SKEMA PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

Pemeriksaan pendahuluan tahap kedua (sesudah


penyidikan) adalah proses penuntutan yaitu:
Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di
sidang pengadilan.

Agar proses penuntutan dapat berjalan sesuai dengan yang


direncanakan diperlukan tindakan persiapan, yaitu mempelajari
seluruh berkas perkara penyidikan agar dapat dilakukan suatu
penilaian awal apakah berkas penyidikan sudah lengkap dalam
arti sudah memenuhi seluruh persyaratan untuk meneruskan
penuntutan atau belum.
Sesudah tindakan persiapan selesai, bagi penuntut umum
terbuka kemungkinan untuk melakukan Iangkah selanjutnya
yaitu:
(1) Apabila penyidikan dianggap cukup memenuhi syarat
penuntutan selanjutnya dibuatkan surat dakwaan dan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 201


melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan negeri agar
perkara tersebut dapat diperiksa dan diadili .
(2) Apabila penyidikan dinilai belum memenuhi syarat-
penuntutan, penuntut umum dapat mengembalikan berkas
penyidikan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan
tambahan dalam rangka penyempurnaan atau dapat juga
dilakukan penyidikan tambahan sendiri oleh penuntut umum
sepanjang tidak memeriksa tersangka .
(3) Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan apabila
terdapat keadaan bahwa perkara tersebut tidak ada atau
kurang alat bukti, bukan tindak pidana, atau dihentikan demi
hukum. Penghentian penuntutan dapat juga terjadi apabila
Jaksa Agung mempergunakan wewenangnya berdasar
asas oportunitas yaitu perkara tersebut dihentikan demi
kepentingan umum.

Sesuai dengan model pembagian kewenangan di antara


subsistem peradilan pidana menurut KUHAP, dalam tahap
proses pemeriksaan pendahuluan juga terjadi proses pemindahan
kewenangan dan tanggungjawab antara penyidik dengan
penuntut umum.
Perpindahan kewenangan dan tanggungjawab dari pihak
penyidik kepada penuntut umum terjadi apabila dalam waktu
14 (empat belas) hari sesudah penuntut umum meneriima berkas
penyidikan, ternyata penuntut umum tidak mengembalikan
berkas penyidikan tersebut kepada penyidik untuk
disempurnakan penyidikannya, atau sebelum berakhirnya batas
waktu tersebut secara tegas penuntut umum memberitahukan
kepada penyidik bahwa penyidikannya dinilai sudah cukup.
Apabila penuntut umum mengembalikan berkas penyidikan
tersebut kepada penyidik untuk disempurnakan sesuai dengan
petunjuk penuntut umum, penyidik mempunyai kewajiban
untuk segera dalam waktu selama-lamanya 14 hari sudah selesai
melakukan pemeriksaan tambahan dan menyempurnakan berkas
penyidikan dan menyerahkannya kepada penuntut umum.

202 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Selama dalam proses pra penuntutan tersebut kewenangan dan
tanggungjawab atas perkara pidana itu masih berada di tangan
penyidik, atau dengan kata lain belum terjadi perpindahan
kewenangan dan tanggungjawab.
Secara formal perpindahan kewenangan dan tanggungjawab
dari penyidik kepada penuntut umum terjadi sesudah
penyidikan selesai sebagaimana yang ditentukan menurut
Pasal 110 (4) KUHAP yaitu apabila dalam waktu 4 hari sesudah
penuntut umum menerima berkas penyidikan ternyata tidak ada
pra penuntutan atau sebelum itu secara tegas penuntut umum
menyatakan penyidikannya dinilai celah cukup memenuhi
syarat untuk melakukan proses penuntutan. Meskipun demikian
hal itu belum dianggap final sampai penyidik menyerahkan pula
wewenang dan tanggungjawab barang-barang bukti yang ada
beserta tersangkanya kepada penuntut umum, dan hal itu wajib
dilakukan segera sesudah penyidikan selesai.
Dengan terjadinya perpindahan kewenangan dan
tanggungjawab terhadap perkara pidana dan penyidik kepada
penuntut umum tersebut, penuntut umum mempunyai
kewajiban untuk merumuskan dakwaan dan melakukan
proses penuntutan kecuali jika terdapat cukup alasan untuk
menghentikan penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
140 (2) KUHAP.
Sehubungan dengan itu pula dengan telah diserahkannya
barang bukti dan tersangka, penuntut umum mempunyai
kewenangan penuh untuk membuat suatu keputusan yang
berkaitan dengan segala sesuatu yang telah diserahkan
kepadanya. Misalnya terhadap barang bukti yang semula
disita dapat diangkat status penyitaannya dan dikembalikan
kepada yang berhak, demikian juga terhadap tersangka yang
pada waktu penyidikan ditahan dapat dilepaskan, dirubah
status penahanannya, atau ditunda penahanannya, atau
bahkan sebaliknya semula tersangka tidak ditahan namun oleh
karena dianggap perlu ditahan dapat saja kemudian dilakukan
penahanan terhadap tersangka. sepanjang hal itu dilakukan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 203


menurut ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP.
Secara skematis pemeriksaan pendahuluan pada tahap
proses penuntutan dapat digambarkan sebagai berikut:

SKEMA PROSES PENUNTUTAN

b. Ajudikasi
Pengadilan negeri menerima bahan masukan perkara
pidana melalui proses penuntutan yang dilakukan oleh penuntut
umum. Dalam proses Penuntutan pengaduan negeri menerima
berkas perkara penyidikan lengkap beserta surat dakwaan
disertai permohonan agar perkara tersebut diperiksa dan diadili.
Tanpa proses penuntutan seperti ini, pengadilan tidak mungkin
mendapat perkara karena terdapat asas pasifitet yang melarang
pengadilan (Hakim) mencari perkara untuk disidangkan.
Sesudah pengadilan negeri (melalui kepaniteraan pengadilan
negeri) menerima berkas proses penuntutan, terhadap perkara
tersebut diberi nomor register perkara dan Ketua Pengadilan
Negeri membuat penetapan mengenai Hakim yang diberi tugas
untuk menyidangkan perkara tersebut.
Dengan adanya penetapan tersebut maka yang berwenang
dan bertanggungjawab secara penuh untuk menyelesaikan
perkara tersebut bukan lagi di tangan Ketua Pengadilan Negeri
melainkan ada pada Hakim yang telah ditunjuk. Untuk itu bagi
Hakim yang bertugas untuk menyidangkan perkara diberi
jaminan kebebasan dalam arti bebas dan pengaruh ekstra judicial
agar ia dapat menyelesaikan perkara secara adil.

204 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili
perkara tersebut kemudian menetapkan hari sidang, jenis acara
yang dipakai dalam persidangan, dan memerintahkan kepada
jaksa penuntut umum untuk menghadirkan tersangka beserta
barang bukti yang ada. Sepanjang ada dasar hukumnya Hakim
tersebut juga mempunyai kewenangan untuk menetapkan
apakah terdakwa akan ditahan atau tidak, mengalihkan status
tahanan atau menunda penahanan.
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili. Mengadili
adalah serangkaian tindakan hukum untuk menerima, memeriksa
dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan
tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut
cara yang diatur oleh KUHAP.
Hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk mengadili,
beban dan campur tangan, ancaman, paksaan, pengaruh termasuk
adanya rekomendasi atau surat sakti yang datangnya dari pihak
ekstra yudisial. Kebebasan Hakim dalam mengadili suatu perkara
bukan tugas mutlak sebab hakekat kebebasan Hakim adalah
kebebasan yang bertanggungjawab, bebas berdasarkan aturan
hukum yang ditentukan oleh undang-undang. Aktualisasinya
adalah Iahirnya keputusan pengadilan yang memenuhi rasa
keadilan kelompok masyarakat sekutu.
Menurut Ismail Saleh (Aswanto, 1999: 202) bahwa
pelaksanaan asas kebebasan/kemandirian Hakim, perlu
mempertimbangkan dua hal, yaitu pertama harus dicegah saja
sampai ada pihak yang dapat mempengaruhi Hakim, kedua
Hakim itu sendin harus sedemikian rupa agar tidak mudah
dipengaruhi atau terpengaruh.
Pada proses pemeriksaan perkara pidana di depan sidang
pengadilan,yang terlihat adalah jaksa selaku penuntut umum,
Hakim, terdakwa dan penasehat hukum. Untuk menjamin
bahwa tujuan peradilan adalah dimaksudkan untuk menegakkan
hukum dan keadilan dapat terlaksana dengan baik, undang-
undang menentukan aturan-aturan dalam proses pemeriksaan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 205


terdakwa. Pihak yang terhebat dalam proses masing-masing
diberikan hak oleh undang-undang untuk membela kepentingan
hukumnya.
Dalam proses persidangan, Hakim harus menempatkan diri
pada posisi yang objektif dengan perpandangan objektif, Hakim
tak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Peran Hakim disini
adalah bagaimana menciptakan suatu proses peradilan yang adil
dengan bertumpu pada fakta-fakta yang sebenarnya.
Dalam konteks demikian ini, peran Hakim sangat dibutuhkan
untuk memberikan pelayanan hak asasi terdakwa dalam bentuk
pentingnya seorang terdakwa didampingi oleh penasehat hukum
dalam persidangan. Semua ini dimaksudkan untuk menciptakan
proses peradilan yang adil dan terbuka sebagai gambaran
dan proses peradilan yang Progresif. Salah Satu contoh kasus
yang cukup menarik tentang pentingnya kehadiran seorang
penasehat hukum dalam mendampingi seorang terdakwa dalam
persidangan adalah kasus yang mendudukan terdakwa yang
bernama Sutiyem yang terkenal dengan kasus “Keadilan untuk
orang miskin”, di mana terdakwa diajukan ke persidangan
oleh Jaksa penuntut umum dengan melanggar Pasal 363 KUHP
yaitu mengambil sekitar 5 kg buah asam yang ada disamping
rumahnya untuk kebutuhan pembuatan sirup menjelang Lebaran
Idul Fitri 2010. Majelis Hakim yang menyidang perkara tersebut
pada Pengadilan Negeri Situbondo menyatakan bahwa dakwaan
penuntut umum cukup berat dan tidak sebanding dengan
kesalahan yang dilakukannya, dan olehnya itu persidangan
tidak dapat dilanjutkan dengan pertimbangan terdakwa tidak
didampingi oleh Penasehat hukumnya (Metro TV, 17 September
2010).
Sekarang ini terjadi kecenderungan bahwa jika tersangka
melepaskan haknya untuk didampingi penasehat hukum
meskipun sebenarnya wajib karena memenuhi kriteria Pasal
56 KUHAP, namun jika hal tersebut dilepaskan baik dengan
terpaksa atau dengan sukarela, penyidik dapat melampirkan hal
itu dalam suatu surat pernyataan diatas kertas bermaterai bahwa

206 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


tersangka tidak menghendaki penasehat hukum, dalam hal
terjadi seperti ini banyak Hakim yang kemudian berpendirian
pada pendapat kedua bahwa jika memang hal itu dilepaskan
maka pejabat yang bersangkutan tidak dikenakan kewajiban
untuk memberikan penasehat hukum karena khawatir justru
dipandang sebagai pemaksaan terhadap kebebasan terdakwa
atau terdakwa (Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri
Makassar, 21 Juni 2010).
Dalam KUHAP Hakim tidak hanya diberi peranan pada
tahap pemeriksaan perkara di persidangan, namun juga pada
tahap sesudah putusan yaitu dengan peranannya sebagai Hakim
pengawas dan pengamat untuk memeriksa dan meneliti apakah
putusan Hakim telah dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Untuk menyidangkan perkara pidana di pengadilan negeri
ada tiga jenis acara yang dapat dipakai yaitu: acara pemeriksaan
biasa, singkat, dan cepat.
Perbedaan acara pemeriksaan tersebut merupakan
manifestasi asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan
yang dianut oleh KUHAP. Perbedaán tersebut tidak bertujuan
untuk mengurangi ketelitian dan kecermatan dalam pemeriksaan
perkara. Misalnya untuk suatu perkara yang sifatnya sederhana
dan pembuktiannya mudah, cukup diperiksa dengan acara
singkat tidak perlu dengan acara biasa. Sedang untuk
pelanggaran-pelanggaran lalu lintas jalan dan tindak pidana
ringan cukup diperiksa dengan acara cepat. Untuk melihat pokok
perbedaan masing-masing jenis acara pemeriksaan tersebut lihal
skema di bawah ini.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 207


Skema Pemeriksaan Acara Biasa

Berdasarkan skema prosedur pemeriksaan perkara pidana


dengan acara biasa kiranya cukup jelas tergambarkan bagaimana
mekanisme proses persidangan untuk menyelesaikan perkara
pidana.
Mengenai acara pemeriksaan perkara dengan acara singkat
sebenarnya prosedurnya sama dengan acara biasa, perbedaan
pokoknya sebenarnya terletak pada sifat perkara yang Iebih
sederhana sehingga pembuktiannya pun relatif Iebih mudah,

208 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Misalnya jumlah saksi yang diperiksa tidak terlalu banyak.
Demikian juga tuntutan formalitas pembuatan dakwaan dan
putusan Iebih lunak dibandingkan dengan acara biasa karena
dakwaan tidak harus dalam bentuk tertulis lengkap, namun
cukup secara lisan, demikian juga dalam pembuatan putusan
dapat secara lisan namun harus dengan hadirnya terdakwa
sebagaimana dalam acara pemeriksaan biasa, kemudian putusan
itu dicatat dalam berita acara persidangan, namun demikian
kekuatan hukum putusannya sama dengan perkara yang
diperiksa dengan acara biasa.
Dengan demikian wajar apabila perkara yang diperiksa
dengan acara singkat diberi batas waktu maksimal selama 14
hari, jika waktunya diperkirakan Iebih dari itu. Hakim akan
memerintahkan kepada penuntut umum agar mengajukan
perkara itu dengan acara pemeriksaan biasa.
Persidangan yang dilakukan dengan jenis acara pemeriksaan
cepat dilakukan terhadap perkara tertentu yaitu: 1) Perkara tindak
pidana ringan (tipiirng) yaitu perbuatan pidana yang diancam
dengan pidana maksimal 3 bulan penjara atau kurangan dan
atau denda maksimal Rp. 750,00 dan atau perkara tindak pidana
penghinaan ringan, (2) Perkara pelanggaran lalu lintas tertentu
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan lalu
lintas.
Prosedur persidangan dengan acara cepat ini jauh
sederhana dalam semua hal dibandingkan dengan acara dan
singkat. Pembuktian hanya perlu didukung dengan satu jenis
alat bukti dan tidak ada acara pengujian alat bukti yang diajukan
sebagaimana yang harus dilakukan dalam acara pemeriksaan
biasa dan singkat.
Pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak dihadiri
oleh penuntut umum karena penyidik diberi wewenang sebagai
kuasa dan penuntut umum yang berkedudukan sebagai penuntut
umum. Khusus dalam acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas
jalan terdakwa diperkenankan hadir atau bisa mengirimkan
wakilnya, dan putusan dibacakan tanpa hadirnya terdakwa. 3.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 209


Post Ajudikasi
Salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang
telah diterima jaksa dan panitera pengadilan selanjutnya harus
dilaksanakan oleh jaksa sesuai dengan isi putusan. Dengan
demikian yang bertindak selaku eksekutor atas putusan Hakim
bukanlah jaksa penuntut umum melainkan jaksa.
Agar putusan Hakim yang menjatuhkan pidana berupa
perampasan kemerdekaan badan baik untuk sementara waktu
atau untuk seumur hidup dapat dipantau apakah sudah
dilaksanakan sebagaimana mestinya dan sekaligus dapat
memberi masukan bagi pengadilan mengenai ketepatan Hakim
dalam membuat putusan, pada setiap pengadilan ditunjuk
Hakim pengawas dan pengamat untuk melaksanakan tugas
tersebut.
Tahap pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam
Pasal 270 sampai 276 KUHAP. Pengaturan pelaksanaan putusan
pengadilan adalah aplikasi penghargaan terhadap harkat
dan martabat seorang yang telah dijatuhi pidana tidak boleh
diperlakukan secara semena-mena.
Fokus kajian disini adalah pelaksanaan pidana panjara yang
menempatkan peranan dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Keberadaan
Lapas adalah buah pemikiran untuk menerapkan konsep
Treatment Of Offender dan dapat dianggap sebagai pengganti
sistem kepenjaraan yang diganti sejak bulan Juli 1964 karena
dianggap tidak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Sistem kepenjaraan adalah Suatu sistem untuk
melaksanakan pidana penjara sebagai salah suatu jenis pidana
pokok sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Sistem
penjara meliputi subsistem bangunan yang dijadikan tempat
untuk memenjarakan seseorang. Subsistem yang kedua adalah
perlakuan terhadap seseorang yang telah dijatuhi pidana penjara.
Berdasarkan subsistem tersebut di atas dapat ditegaskan
bahwa sistem kepenjaraan adalah menempatkan seseorang yang
telah di jatuhi pidana dalam suatu bangunan yang tertutup dalam

210 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


artian terisolir dari pergaulan masyarakat dengan perlakuan
yang bertujuan agar terpidana dapat menjadi jera.
Tindakan petugas Lapas yang bertujuan untuk menjadikan
seorang warga binaan (Wabi) menjadi jera atau bertaubat tak
jarang pada tindakan kekerasan yang melecehkan Wabi, bahkan
tindakan tak terpuji dilakukan oleh salah seorang oknum jaksa
pada kejaksaan Tinggi Sulselbar telah menghamili tahanannya
yang ditempatkan pada Rutan kelas II B Majene (Fajar, 15 Mei
2010). Tindakan demikian sungguh bertentangan dengan falsafah
Negara Republik Indonesia yang sangat menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia. Keberadaan UU No. 12 Tahun
1995 (Lembaga Negara Republik Manusia Tahun 1995 No. 77)
latar belakang pertimbangannya adalah Wabi Permasyarakatan
sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan
dengan baik dalam artian manusiawi dalam suatu pembinaan
yang terpadu.
Dalam suatu penelitian lain yang dilakukan pada Lapas Kelas
I A Makassar, Lapas Il B Parepare dan Lapas Kelas II B Palopo,
dan 66 orang wabi yang dijadikan responden, 52 orang atau 78,78
% menjawab bahwa mereka tidak mengetahui hak-haknya dan
mereka menjalani kehidupannya di Lapas dengan apa adanya,
sedangkan 14 orang responden atau 21,21 % mengetahui hak-
haknya sebatas untuk makan, olahraga dan menjaIankan ibadah
(Baharuddin Badaru, 2004: 243).

C. PENGATURAN KORBAN KEJAHATAN DALAM


SISTEM PERADILAN PIDANA
Korban kejahatan pada awalnya memiliki peran yang
besar dan menentukan, bahkan polisi sangat tergantung pada
jasa korban dalam menangkap pelaku dan memberkas perkara
(melakukan penyidikan). Tetapi dalam proses berikutnya,
setelah pelaku tertangkap dan berkas perkara telah Iengkap,
korban kejahatan tidak lagi menjadi fokus perhatian. Artinya,
dalam tahap-tahap proses peradilan, korban tidak memperoleh
pelayanan yang memadai dan tidak memiliki hak-hak serta peran

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 211


yang seimbang dengan peran-peran yang diberikan sebelumnya.
Di lain pihak, pelaku kejahatan selalu menarik perhatian para ahli
dalam rangka memperoleh perlindungan hukum yang memadai
dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan kepentingannya.
Korban kejahatan sebagai pihak yang menjadi korban dan
perbuatan jahal orang lain belum ditempatkan sebagai pihak
dalam sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana disadari
atau tidak disadari, sengaja menyampingkan kepentingan korban
kejahatan, dengan dalih sistem peradilan pidana diselenggarakan
memang bukan untuk melayani kepentingan korban kejahatan.
(Randy Bamett, 1977 : 296)
Polisi dan jaksa dalam bertindak menangani masalah
kejahatan adalah melaksanakan tugas negara di bidang penyidikan
dan penuntutan, bukan dalam rangka melayani, melindungi,
atau memperjuangkan kepentingan korban kejahatan. Korban
kejahatan memang tidak mempunyai hubungan yang jelas
dengan polisi dan jaksa, seperti hubungan hukum antara pelaku
kejahatan (terdakwa) dengan penasehat hukum. Penasehat
hukum bertindak untuk membela dan mengejar kepentingan
pelaku kejahatan dengan berbagai cara dan sarana yang ada
termasuk di antaranya banding atau kasasi. Pelaku dapat terus
menerus berhubungan dan bekerja sama dengan penasehat
hukum untuk melakukan pembelaan atau memperjuangkan
kepentingannya. Hal yang semacam ini tidak bisa dilakukan
oleh korban kejahatan terhadap polisi dan jaksa. Di mata polisi
dan jaksa, korban kejahatan ditempatkan sebagai bagian dari alat
bukti (saksi) maka perlakuan polisi dan jaksa terhadap korban
hanya dalam kapasitasnya sebagai alat bukti (saksi).
Deskripsi mengenai perbedaan perlakuan sistem peradilan
pidana terhadap pelaku kejahatan dan korban kejahatan dapat
dijelaskan oleh Mudzakkir (2001 : 9 - 10) sebagat berikut :

212 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


IHTISAR PERBEDAAN PERAKU ANTAR KORBAN DAN
PELAKU KEJAHATAN
PELAKU KEJAHATAN KORRBAN KEJAHATAN

SETELAH TERJADINYA KEJAHATAN :


a. Probabilitas keuntungan lebih a. kerugian pasti diderita koban
besar
b. Probabilitas lolos Iebih besar dari b. Baik tertangkap atau tidak
pada tertangkap kerugian tidak akan kembali.
TINGKAT POLISI

a. L u k a - I u k a / k e s e h a l a n n y a a. Semua biaya pemulihan .


diperiksa dan diobati secara cuma- kesehalan dalam praktek
cuma. dibayar sendiri.
b. Berhak didampingi penasehat b. Tidak pernah di dampingi
hukum, dan bagi yang tidak penasihal hukum.
c. mampu diberi penasehat hukum c. Bertanggung jawab terhadap
yang dibayar oleh negara Icuma- sendiri terhadap pengambilan
cuma . barang yang hilang.
d. Jika tidak cukup bukti, atau d. Bertanggung jawab sendiri
waktu penahanan telah habis atau terhadap kerugian fisik,mental,
memengankan raperadilan dapat dan problem ekonomi
bebas. kejahatan.
e. Fasiltias selama dalam penahanan e. Membantu pejabat hukum
dibayar oleh egara. dengan melapor dan mencari /
mengumpulkan bukti-bukti.
f. Memiliki hak-hak tertentu yang f. Umumnya tidak dilapori hasil
dapat diperjuangkan penyidikan dan aturan hukum
yang dilanggar .
g. Dibebani kewajiban-kewajiban
oleh undang-undang untuk
kepentingan yustisi.
TINGKAT KEJAKSAAN

a. Disediakan fasilitas-fasiljtas dalam a. Hadir ke Kantor Kejaksaan


penahanan memenuhi panggilan jaksa
dengan biaya sendiri
b. Dapat melakukan konsultasi b. Meninggalkan pekerjaan
meidk dengan dokter dan
konsultasi hukum dengan
penasehat hukumnya

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 213


c. Memiliki hak-hak seperti pada c. Umumnya tidak diberi
tingkat kepolisian perkembangan perkaranya
pasal-pasal yang dilanggar
d. Dibebani kewajiban-kewajiban
oleh undang-undang untuk
kepentingan yustisi
TINGKAT PENGADILAN (PERSIDANGAN)

a. Transportasi ditanggung negara a. Transport ditanggung sendiri


b. Dapat melakukan perundingan b. Harus merekonstruksi kembai
(negosiasi) ingatannya tentang perubatan
terdakwa, kadang harus
merasionalisasikan perbuatan
dan kejadian yang pernah di
alami,dan harusmenanggalkan
emosi dan tekanan jiwa pada
saat kejadian.
c. Dapat meyakinkan hakim tentang c. Sebagai saksi utama, sering
ketidak benaran terdakwa menjadi fokus perhatian jaksa,
hakim dan penasehat hukum
d. Berusaha untuk merasionalisasikan d. Semua kepentingan korban
perbuatan atau mencari alasan – sepenuhnya diawali oleh jaksa,
alasan pembenar,mengaburkan tanpa konsultasi dengan korban
kejadian atau meringankan pidana
e. Mengajukan alasan-alasan karena e. Tidak punya pilihan lain
gangguan jiwa atau tekanan jiwa terhadap putusan pengadilan,
karena tidak memiliki hak
banding atau kasasi
f. Dapat mengajukan banding I f. Tekanan mental menghadapi
kasasi / grasi publik dan publisitas di
persidangan
g. Didampingi penasehat hukum g. Diperlakukan dalam
kapasitasnya sebagai alat bukti
h. Altenratif pidana sangat beragam h. Tidak pernah diberi tahu
tentang macam dan jenis
putusan hakim
i. Sikap santun terdakwa di
persidangan sering dijadikan
bahan pertimbangan hakim yang
menguntungkan bagi terdakwa
TINGKAT LEMBAGA PERMASYARAKATAN

214 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


a. Menerima fasilitas pembinaan di a. Tidak diberi tahu kapan
LP keluar, remisi dan dimintai
b. Pelayanan medik pertimbangan lainnya
c. Program rehabilitasi b. Menanggungi beban hidup,
dan terhadap korban tertentu
d. Pareole / remisi dan lain - lain
tidak diterima sepenuhnya
sebelum menjadi korban

Sikap dan dukungan korban kejahatan terhadap sitem


peradilan pidana banyak tergantung pada bagaimana pelayanan
yang diberikan secara langsung dan nyata terhadap korban
kejahatan. Semakin baik perhatian dan pelayanan (kemampuan
penegak hukum untuk menyelesaikan perkara) yang diberikan
kepada korban kejahatan, maka semakin besar dukungan korban
kejahatan terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana.
Dengan kata lain, sikap positif dan kepercayaan korban terhadap
kemampuan polisi dan jaksa sangat menentukan besar kecilnya
partisipasi korban terhadap peradilan pidana. Seperti ditulis oleh
Anne Scheiders (1976: 94) sebagai berikut:
If the victim has more positive attitudes toward the police, is more
trusting of the police, then the probability of reporting is greatei if
the victim believes the police and other law enforcement institutions
are effective, then the p bability of reporting is greatei
(Jika korban bersikap positif terhadap polisi, Iebih
mempercayai polisi, maka kemungkinan laporannya lebih
besar. Jika korban yakin polisi serta lembaga penegakan
hukum efektif, maka kemungkinan laporannya lebih besar) .

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya


hampir semua perkara pidana yang diproses oleh polisi
dan jaksa adalah berkat partisipasi korban kejahatan berupa
memberi laporan dan keterangan serta kesediaanya menjadi
saksi. Tanpa partisipasi korban kejahatan peradilan pidana
akan lumpuh karena polisi dan masyarakat tidak mungkin bisa
mendeteksi pelaku kejahatan secara baik. Seperti dikatakan
Andrew Karmen (1998 : 125) : Without the cooperation if victims
and witness in reporting and testifying about crime, it is impossible
in a free society to hold criminals accountable. (Tanpa kerja sama

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 215


dari korban dan saksi dalam pelaporan dan kesaksian tentang
kejahatan, tidak mungkin dalam suatu masyarakat yang bebas
untuk menahan penjahat akuntabel).
Sementara itu, perlakuan sistem peradilan terhadap
korban kejahatan tidak seimbang dengan besarnya peran yang
diberikan. Untuk kepentingan proses peradilan pidana jaksa
dan hakim selalu minta “jasa” korban kejahatan, akan tetapi
mereka hampir tidak pernah memikirkan apa yang seharusnya
dituntut dan diputus untuk kepentingan korban. Hukum pidana
ternyata juga tidak disusun untuk meletakkan kepentingan-
kepentingan korban atau perlakuan yang seharusnya terhadap
korban. Kecenderungan yang kuat untuk memperhatikan dan
mengedepankan kepentingan pelaku dan melupakan kepentingan
korban merupakan suatu national disgrace. Pengabaian
sistem peradilan pidana dalam melayani atau mengatur
kepentingan korban kejahatan, menurut Loisforren (1980:
16) merupakan a major source of public dissatisfaction with the law
(merupakan sumber utama ketidakpuasan masyarakat dengan
hukum). Jelas kiranya, penderitaan korban kejahatan akibat
menjadi sasaran kejahatan yang sudah cukup lama dilupakan
oleh sistem peradilan pidana itu harus segera dikurangi. Perhatian
terhadap korban merupakan hal yang utama dan penting baik
untuk masa sekarang maupun masa mendatang.
Diakui oleh para ahli hukum bahwa sistem peradilan pidana
Iebih banyak memperhatikan dan melindungi kepentingan
pelaku kejahatan (offender - centered) bahkan terkesan ‘berlebihan’,
sementara kepentingan korban dilupakan.Kenyataan semacam
ini menimbulkan kritik terhadap penyelenggaraan peradilan
pidana. Kritik ini muncul karena adanya pengembangan studi
terhadap kejahatan (kriminologi) yaitu viktimologi.
Viktimologi pada mulanya merupakan bagian dari
kriminologi. Pengkajian terhadap korban kejahatan telah menjadi
sedemikian luas sehingga tidak lagi memadahi sebagia bagian
dan bidang kriminologi. Akhirnya dikembangkan menjadi
disiplin ilmu pengetahuan sendiri yang dinamakan viktimologi.

216 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Menurut Mendelsohn viktimologi kedudukannya sejajar dengan
kriminologi atau sebagai “the revers or criminology” (Stephen
Schafer, 1968 : 42).
Dengan adanya arus pemikiran ini berarti telah membuka
dimensi-dimensi, baru dalam melihat gejala sosial kejahatan.
Korban kejahatan tidak lagi dipandang sebagai individu
yang menjadi target pelaku kejahatan melainkan diperluas
pengertiannya yang meliputi korban struktur yang bersifat
kolektif. Karena relatifnya pengertian korban, maka batasan
pengertian mengenai korban kejahatan menjadi bagian yang
penting. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam kongresnya
yang ketujuh Tahun 1985 di Milan, telah mengeluarkan deklarasi
tentang masalah korban kejahatan. Korban kejahatan diartikan
oleh Arif Gosita, (1987: 76) sebagai berikut:
Victim means persons who, individually or collectively, have
suffered harm, including physical or mental injury, emotional
suffering, economic loss or substantial impairment of their
fundamental rights, through active or omissions thal are in violation
of criminal laws operative within member states, including those
laws proscribing criminal abuse of power.
(Korban berarti orang yang baik secara individu maupun
kolektif telah mengalam penganiayaan pisik atau mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau ketidakadilan
substansial mengenai hak-hak fundamentaInya bahwa
dalam pelanggaran hukum kriminal yang berlaku dalam
negara-negara anggota termasuk hukum-hukum yang
melarang kejahatan penyalahgunaan kekuasaan).

Perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak hanya terhadap


korban kejahatan saja, tetapi juga terhadap penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power). Korban penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) didefinisikan sebagal berikut:
Victim means person who, individually or collectively, have suffered
harm, including physical or mental injury, emotional suffering
economic loss or substantial impairment of their fundamental
rights. through acts or omissions thal do not yet constitute violations
of national criminal laws but of internationally recognizej norms
relating to human right .
(korban berarti orang baik secara individu maupun kolektif
telah menderita penganiayaan pisik atau mental, penderitaan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 217


emosional, kerugian ekonomi atau ketidakadilan
substansial mengenai hak-hak fundamentainya melalui
tindakan-tindakan atau penghapusan yang belum termasuk
pelanggaran hukum kriminal nasional namun norma-norma
yang diakui secara internasional yang menyangkut ha-hak
asasi manusia (Arif Gosita, 1987 : 77)

Di samping Perserikatan Bangsa - Bangsa perhatian terhadap


korban kejahatan juga muncul di berbagai negara yang berbentuk
organisasi berskala national. Organisasi tersebut berusaha untuk
membantu dan melayani kepentingan korban, seperti National
Organization for Victims Assistance (NOVA) di Amerika, National
Association of Victim Support Schemes (NAVSS) di lnggris, National
Organization for Victim Assistance and Mediation di Perancis,
Victims of Crime Service (VOCS) di Australia, South East Chicago
Commission (SECC) atau Kenwood Program di Chicago dan Sherif’s
Separtement’s Victim, Advocate Program di Florida (William Mc.
Donald, 1976: 33).
Semakin meningkatnya perhatian terhadap korban kejahatan
tersebut menyadarkan para ahli hukum dan pembentuk hukum
untuk melihat kembali eksistensi korban kejahatan dalam
sistem peradilan pidana, yang sementara ini boleh dikatakan
telah terlupakan. Ada kecenderungan di berbagai negara
mulai memperhatikan kepentingan korban kejahatan dengan
cara miningkatkan pelayanan terhadap korban kejahatan serta
memberi peran aktif korban kejahatan dalam Sistem peradilan
pidana
Di Philadelphia dikembangkan model penyelenggaraan
peradilan pidana yang disebut The arbritration model to the criminal
justice system. Model ini mencoba melihat perbuatan pidana
bukan semata-mata urusan antara pelaku dengan negara Hak-
hak dan kepentingan - kepentingan korban tidak Secara otomatis
di “subrogate” pada negara. Pelaku dan korban kejahatan diajak
untuk mendiskusikan permasalahannya untuk mencapai suatu
penyelesajan dan tidak memaksa atau mengharuskan pihak-
pihak untuk membawa perkara tersebut ke peradilan pidana.
Dalam rangka membantu korban, diperlukan adanya

218 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


program Victim Advocate (pembela untuk korban). Pembela
korban ini tentunya tidak sama dengan pengertian “pembela”
pada umumnya, yang diasumsikan berjuang gigih untuk membela
hak-hak, kepentingan, dan keuntungan klien, melainkan dalam
rangka untuk memperbaiki atau memulihkan keharmonisan dan
membantu pelaku untuk hidup berdampingan dalam suasana
kedamalan. (Robert Reif, 1979: 38).

a. Kebijakan Terhadap Korban Kejahatan


Pada tahun 1970 pembentuk undang-undang telah
menerbjtkan undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan - ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian
mencabut undang-undang tersebut dengan undang-undang
yang baru, yaitu UU No. 24 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman.Karena UU No. 24 Tahun 2004 dianggap tidak sesuai
dengan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut UUD
NRI 1945, maka diberlakukanlah UU No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman yang baru. Undang-undang ini merupakan
landasan pokok dalam penyelenggaraan peradilan di Indonesia.
PenyeIenggar peradilan dimaksukkan untuk menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia, diserahkan kepada Badan-
Badan Peradilan, yang dalam perkara pidana dilaksanakan oleh
Peradilan Pidana. Tugas pokok badan peradilan adalah menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya.
Tugas menyelesaikan perkara merupakan tugas peradilan
yang perlu ditonjolkan, karena tugas ini berbeda dengan
sekedar mengadili. Menyelesaikan perkara mengandung
makna menyelesaikan substansi masalah yang menjadi pemicu
terjadinya pelanggaran hukum serta mempertautkan kembali
hubungan yang terganggu akibat pelanggaran. OIeh karena itu,
keberadaan dan keterlibatan kedua belah pihak yang berperkara
merupakan aspek yang penting dalam menyelesaikan perkara.
Kendatipun telah ada Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 219


membatasi jenis peradilan tetapi penyelesaian perkara di luar
peradilan pidana tetap masti dimungkinkan dan tetap diberi
peluang. Penyelesaian perkara di luar proses peradilan pidana,
misalnya dengan cara perdamaian atau melalui wasit (arbitrase),
tetap diperbolehkan sepanjang dengan cara itu masalah dapat
diselesaikan dan dapat membuahkan keadilan. (Pasal 58 - 60 UU
No. 48 Tahun 2009).
Perlu dicermati dalam konteks ini adalah mengenai
penyelesaian perkara yang tidak melalui prosedur peradilan.
Penyelesaian melalui institusi yang bukan peradilan pidana
tersebut bukan dalam rangka untuk menciptakan lembaga
peradilan baru atau menghidupkan kembali peradilan swapraja
atau peradilan adat yang bukan Peradilan Negara, yang secara
tegas tidak dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
Namun demikian, pembentuk undang-undang sekali-kali tidak
bermaksud untuk mengingkari adanya hukum tidak tertulis dan
penyelesaian perkara melaui cara-cara lain, melainkan hanya
akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu
kepada peradilan-peradilan negara. Dengan ketentuan bahwa
hakim, sebagai penegak hukum, wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
(Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009), yang dilakukan dengan cara
mengintegrasikan diri dalam masyarakat. Dengan demikian
perkembangan dan penerapan hukum yang tidak tertulis itu
dapat diberlakukan secara wajar.
Beranjak dari Al Qur’an antara lain Surah Al Baqarah ayat
178,179, Al Qur’an Surah An Nisaa ayat 92, 93, dan surah Al
Maidah ayat 45 dan 32, dapat dipahami bahwa sanksi hukum
atas delik pembunuhan adalah sebagai berikut:
1. Pelaku pembunuhan yang disengaja, pihak keluarga korban
dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu (1) qishash,
yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan
korbannya, (2) diat yaitu pembunuh harus membayar denda
sejumlah 100 ekor unta, atau 200 ekor sapi atau 1.000 ekor
kambing, atau bentuk lain seperti uang senilal harganya. Diat

220 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


tersebut diserahkan kepada pihak keluarga korban, (3) Pihak
keluarga memaafkan apakah harus dengan syarat atau tanpa
syarat.
2. Pelaku pembunuhan yang tidak sengaja, pihak keluarga
diberikan pilihan, yaitu (1) Pelaku membayar diat, (2)
membayar kifarah (memerdekakan budak mukmin; (3) Jika
tidak mampu maka pembunuhan diberi hukuman moral,
yaitu berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Sebagai contoh sidang adat Dayak yang menempatkan


Prof. Thamrin Amar Tomagola melawan masyarakat Dayak.
Persidangan tersebut berhasil mendamaikan kedua kubu yang
bertikai dan persidangan tidak berlangsung lama dan dapat
memuaskan semboyan mereka : Halangku mangenttu bunu,
hangkalu penang mamangun betang (bersatu bersama menyelesaikan
permasalahan, sepakat untuk membangun kebersamaan) Dan
juga mereka berpegang pada simbol : enyang hinye simpe, paturung
humba tamburak mangatang utus, yang bermakna bersama dalam
satu ikatan yang kuat mengangkat harkat dan martabat suku
Dayak (Fajar, 23 Januari 2011).
Sidang tersebut di atas pada hakikatnya menyerupai
pendekatan restorative justice yang berorientasi bagaimana
menyelesaikan permasalahan hukum secara damai dan dapat
memuaskan semua pihak, sebab teori restorative justice adalah
wahana untuk memperbaiki korban, pelaku dan masyarakat
akibat dari dampak kejahatan, sebagaimana dikemukakan oleh
Yulia (2010:182) bahwa ada tiga isu utama yang diemban oleh
restorative justice yaitu:
(1) memperbaiki dan memuaskan korban dalam sistem
peradilan pidana, (2) memperbaiki dan memuaskan pelaku, dan
(3) memperbaiki dan memuaskan masyarakat setelah proses
pidana.
Keberadaan lembaga-lembaga peradilan lain selain lembaga
peradilan negara tidak dikehendaki, tetapi bukan bermaksud
menghapus cara penyelesaian di luar lembaga peradilan negara

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 221


yang dalam praktek masih dilakukan oleh masyarakat dan diakui
oleh berbagai peraturan perundang-undangan.
Proses penyelesaian perkara pidana dapat dilakukan melalui
dua cara; pertama melalui peradilan pidana; dan kedua, di laur
peradilan pidana. Penyelesaian perkara melalui pengadilan
selanjutnya diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sedang proses di luar
peradilan melalui sarana yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan atau melaluj lembaga yang ada dalam
masyarakat (misalnya lembaga adat) atau melalui lembaga
perdamalan atau arbitrase.
Pendirian terakhir Mahkamah Agung RI melalui putusannya
yang secara tegas mengakui keberadaan lembaga adat sebagai
lembaga penyelesaian perkara pidana (adat). Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1644.K I Pid /1988, tanggal 15
Mei 1991, yang menolak mengadili suatu perkara pidana delik
adat yang telah diselesaikan melalui lembaga adat dengan alasan
no bis in idem. Penyelesaian perkara pidana melalui lembaga
adat, lebih mengutamakan keharmonisan dan keseimbangan
tata kehidupan masyarakat, bukan mengucilkan bagian dari
anggota masyarakat melainkan berusaha untuk mengembalikan
keseimbangan yang terganggu akibat dilakukannya pelanggaran.
Aspek korban menjadi bagian yang penting dalam penyelesaian
perkara. (Varia Peradilan No. 1, September 1991, hal 77-79)
Jika terjadi sebaliknya, Pengadilan Negeri telah mengadili
perkara pidana (adat), namun menurut hukum adat ada bagian
yang belum lengkap sehubungan dengan putusan pengadilan
tersebut, maka hakim perdamaian desa berwenang, setelah
pengadilan tersebut, menjatuhkan pidana, menghukum
yang bersalah untuk menyelenggaraa usaha-usaha adat yang
diwajibkan, seperti meminta maaf secara adat, selamatan guna
pembersihan dusun dan kotoran batin yang disebabkan oleh
perbuatannya dan lain sebagainya. Perbuatan hakim perdamaian
ini tidak berlaku prinsip ne bis in idem (Soepomo, 1984:131)
Penyelesaian perdamaian atau kekeluargaan terhadap

222 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


perkara pidana sering dijumpai pada perkara pidana yang
tergolong delik aduan (klacht delicti). Terhadap delik aduan,
polisi dan jaksa pada umumnya menawarkan jalan penyelesaian
secara perdamaian atau secara kekeluargaan. Apabila cara
demikian gagal baru kemudian memprosesnya lebih lanjut
melalui proses peradilan. Hal itu dimaksudkan agar hubungan
yang harmonis antara kedua bela pihak tetap terjalin dengan
baik. Proses peradilan pidana dapat membawa dampak negatif
antara lain merenggangkan hubungan kedua bela pihak yang
disebabkan karena hakim dalam memutus perkara pidana
selalu menyatakan bersalah atau tidak bersalah terhadap salah
satu pihak (yang diajukan sebagai terdakwa)
Dalam praktek, sering terjadi penyelesajan secara damai
atau kekeluargaan terhadap perkara pidana yang bukan delik
aduan (biasa). Penyelesaian secara damai atau kekeluargaan
sering ditempuh oleh polisi dalam menghadapi perkara-perkara
pidana biasa yang tergolong ringan sifatnya, tidak menimbulkan
keresahan masyarakat, pelakunya masih muda / pelajar /
mahasiswa yang memerlukan pembinaan yang intensif atau
ada hubungan keluarga antara pelaku dan korban, teman dekat,
tetangga, atau hubungan bisnis, baru pertama melakukan tindak
pidana (bukan residivis) yang apabila diteruskan justru akan
menimbulkan akibat yang Iebih buruk bagi pelaku, dan ada
permintaan baik dan pihak korban atau pelaku I keluarganya
(wawancara dengan penyidik polri, 15 April 2010).
Sesuai dengan hasil wawancara dengan penyidik (tanggal,
15 April 2009) yang mengaku pernah menyelesaikan perkara
pidana melalui proses perdamalan atau secara kekeluargaan.
dari jumlah perkara yang dapat diselesaikan di setiap sekta rata-
rata terdapat 10% - 20% perkara yang diselesaikan melalui proses
perdamalan atau kekeluargaan. Dalam data Statistik Kriminil,
data mengenai perkara yang diselesaikan secara kekeluargaan
atau perdamaian dimasukkan kategori perkara yang telah
dilaksanakan.
Kendatipun melapor kepada polisi, tidak semua korban

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 223


kejahatan selalu minta diteruskan ke pengadilan korban kejahatan
sering malah justru minta agar perkaranya diselesaikan secara
damai atau kekeluargaan dengan alasan setelah melapor ada
perkembangan baru di mana pelaku bersedia mengganti kerugian
yang ditimbulkan akibat terjadinya kejahatan atau tumbuhnya
perasaan kemanusiaan (empati) terhadap pelaku atau telah
terjalin hubungan baik antara pelaku dengan korban kejahatan,
disebabkan karena pelaku mengakui kesalahannya dan bersikap
positif terhadap korban, misalnya meminta maaf. (Wawancara
dengan Penyidik dan Keluarga Korban dalam Kasus Lalu lintas,
Pasal 359 KUHP).
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 18 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan adanya indikasi
peningkatan pelayanan dan perlindungan terhadap korban
kejahatan yaitu di samping ditempatkan sebagal saksi, korban
kejahatan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam
kapasitasnya sebagai alat bukti atau saksi, korban kejahatan
bersifat pasif. Artinya, memberi kesaksian kalau diminta dan
hanya sebatas memberikan keterangan mengenai perbuatan
pidana yaitu mengenai apa yang ia dengar, lihal, atau alami
sendiri (Pasal 1 ke 26 dan 27 KUHAP).
Sebagai pihak ketiga yang dirugikan atau pihak ketiga yang
berkepentingan, korban diberi hak untuk mengajukan gugatan
ganti rugi dalam proses peradilan pidana atau melalui proses
peradilan perdata dan dapat melakukan fungsi pengawasan
secara horizontal.
Pasal 98 KUHAP ayat (1) memuat ketentuan:
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di
dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan
negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim
ketua sidang atas permintaan itu dapat menetapkan untuk
menggabungakan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu;

Ganti kerugian sebagai salah satu sarana untuk memperoleh


kembali kerugian - kerugian akibat terjadinya kejahatan
memerlukan tindakan aktif korban yaitu harus mengajukan

224 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


permintaan kepada hakim. Apabila dalam batas waktu setelah
dibacakan penuntutan maka hak korban untuk memperoleh
ganti rugi melalui proses peradilan pidana menjadi gugur
dengan sendirinya.
Untuk memperoleh ganti kerugian, korban harus
aktif, dalam arti ia harus mengajukan permintaan, Ia juga
aktif mengikuti sidang, sehingga cepat mengetahui sampai
sejauhmana kegiatan jaksa penuntut umum. Untuk menghindari
batas waktu tersebut, dapat mengajukan jauh hari sebelum
penuntut umum membacakan tuntutannya. Karena, dalam
praktek, penuntut umum tidak pemah meminta pertimbangan
atau menginformasikan perkembangan perkara pidana kepada
korban kejahatan, tentang kesimpulan pemeriksaan sidang dan
tuntutan, menerima atau banding atau kasasi. Jadi, ganti rugi
itu dapat atau tidaknya diperoleh sangat tergantung kepada
kegiatan polisi dan jaksa dalam usaha untuk membuktikan
perkara pidana.
Dibolehkannya korban menuntut ganti rugi ini merupakan
langkah maju dalam rangka perlindungan terhadap hak dan
kepentingan korban kejahatan. Artinya, sistem peradilan pidana
Indonesia tidak hanya mengutamakan perlindungan hukum
terhadap hak dan kepentingan tersangka, seperti kritik yang
ditujukan terhadap penyelenggaraan peradilan pidana selama
ini. Kendatipun hak dan kepentingan korban mulai diperhatikan,
bukan berarti polisi dan jaksa bertindak sewenang-wenang
terhadap pelaku kejahatan dengan dalih melindungi hak dan
kepentingan korban. Keduanya, pelaku dan korban, harus
memperoleh perlindungan hukum yang sama. Dalam arti, tidak
boleh mengalahkan yang satu dan mengutamakan yang lain.
Pasal 80 KUHAP mengatur tentang kemungkinan peran
korban kejahatan dalam melakukan pengawasan terhadap proses
peradilan (pengawasan horizontal). Ketentuan pasal 80 KUHAP
mengatur sebagai berikut:
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan
oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 225


berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.

Dalam konteks ini korban kejahatan dapat dikategorikan


sebagal pihak ketiga yang berkepentinga Secara a-contrario,
korban kejahatan mempunyai hak untuk menyetujui penghentian
penyidikan atau penuntutan dengan cara tidak mengajukan
keberatan atau sebaliknya hak menyatakan keberatan jika perkara
dilanjutkan ke pengadilan. Jaksa dapat melakukan penghentian
penuntutan peikara pidana dengan pertimbangan : tidak cukup
bukti, perbuatan tersebut ternyata bukan merupakan perbuatan
pidana, demi kepentingan hukum, (Pasal 140 ayat 2 huruf a
KUHAP) atau demi kepentingan umum (asas oportunitas) (Pasal
35 huruf c UU. No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan).
Dengan adanya KUHAP, hubungan antara penegak
hukum polisi dan jaksa dengan korban kejahatan menjadi
berubah. Korban kejahatan menurut KUHAP dapat bertindak
aktif mengikuti proses perkara yang dilaporkan, dalam rangka
menuntut tegaknya hukum terhadap pelaku dan dalam
rangka mengejar kepentingan korban sendiri serta melakukan
pengawasan terhadap polisi dan jaksa.
Jika kiranya, dengan diberlakukannya KUHAP maka dalam
sistem peradilan pidana Indonesia mulai ada perhatian terhadap
korban, kendatipun oleh sementara pihak dinilai bahwa KUHAP
lebih banyak melindungi terdakwa dan melalaikan korban.
Prinsip-pnnsip pengaturan mengenai kedudukan dan hak-
hak korban dalam KUHAP dapat dijadikan dasar pengaturan
Iebih lanjut dalam berbagai ketentuan hukum Iainnya, dalam
rangka pembentukan sistem peradilan pidana Indonesia yang
berorientasi pada pengayoman.

b. Proyeksi penyelesaian perkara pidana di Indonesia

b.1 Penyelesaian Perkara Pidana dengan cara Perdamaian atau


Kekeluargaan sebagai Alternatif Pertama
Dengan diberlakukannya UU No. 48 Tahun 2009 tentang

226 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Ketentuan Kekuasaan Kehakiman, diharapkan adanya
perubahan yang cukup mendasar dalam bidang peradilan di
Indonesia. undang-undang tersebut berusaha untuk menata
peradilan di Indonesia yang sesuai dengan semangat UUD NRI
1945. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai sarana
penegakan hukum dan keadilan diserahkan kepada badan-
badan peradilan dengan tugas pokoknya menerima, memeriksa,
dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan oleh
masyarakat pencari keadilan. Undang-undang ini berusaha
untuk menyatukan peradilan dengan membentuk badan-badan
peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer dan melarang adanya
peradilan - peradilan lain yang dilakukan oleh bukan peradilan
negara. Undang-undang Kekuasaan Kehakiman ini merupakan
puncak dan serangkaian usaha untuk menyatukan (Unifikasi)
badan peradilan di Indonesia. Hal yang cukup menarik adalah
masih diakuinya (tidak dihapus) keberadaan peradilan desa.
Demikian juga, pengakuan atau dibolehaknnya penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
wasit (arbitrage).
Penegasan tentang pembentukan Peradilan Negara, oleh
pembentuk undang - undang dimaksudkan untuk menutup
semua kemungkinan adanya kekuatan atau diadakannya
lagi peradilan - peradilan Swapraja atau Peradilan Adat yang
dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Ketentuan ini
tidak dimaksudkan untuk mengingkari hukum tidak tertulis
- yang ada dan ditaati oleh masyarakat - melainkan hanya
akan mengalihkan perkembangan dan penetapan hukum
itu ke peradilan-peradilan negara.sebagai konsekuensinya,
mewajibkan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Hakim harus mengenai, merasakan
dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat, agar memberikan putusan yang sesuai
dengan hukum dan keadilan masyarakat.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 227


Dalam bidang hukum pidana, Undang-undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951, Pasal 5 ayat (3) sub b, memuat ketentuan:
Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada
bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman yang tidak Iebih
dan tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus
rupiah, yaitu hukuman pengganti bilamana hukuman
adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang
terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap
sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum…
…bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap perbuatan pidana dan ada bandingannya
dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam
dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya
yang paling mirip kepada perbuatan itu.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengaturan hukum


pidana pada dasarnya diatur dalam hukum tertulis, tapi tidak
menutup kemungkinan berlakunya hukum tidak tertulis yang
hidup dalam masyarakat. Sedang lembaga peradilan pidana
hanya diakui melalui lembaga yang dibentuk berdasarkan
undang-undang yaitu lembaga Peradilan Umum (Pidana)
yaitu Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama,
Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan banding, dan Mahkamah
Agung sebagai pengadilan kasasi. Ketentuan tersebut tidak
mengatur mengenai larangan selain penyelesaian perkara pidana
melalui prosedur lain selain peradilan pidana atau penyelesaian
secara perdamaian atau melalui proses peradilan pidana.
Sementara in hanya dikenal dalam bidang hukum perdata, pada
hal dalam praktek sering dilakukan, baik terhadap delik aduan
maupun bukan delik aduan.Kemungkinan ini Juga, diisyaratkan
dalam berbagai ketentuan, yaitu:
1. Undang - undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Jo Pasal 3
berbagai ketentuan dalam Undang - undang Nomor 14 Ayat
(1), Pasal 23 Ayat (1) dan Pasal 27 Ayat (1).
2. Undang - undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 60.
3. Pasal-pasal KUHAP antara lain : Bab VII Buku I, yaitu Pasal
72, 73, 74, dan 75, Pasal 82 dan Pasal-pasal yang mengatur

228 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


delik aduan mutlak (misalnya : 284, 287, 293, 320, 332, dan
367) dan delik aduan relatif (misalnya: Pasal 310, 311, 315,
3l7dan 318)
4. Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian,
pada Penjelasan Umum.
5. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Pasal 35 Huruf C.
6. Undang-unciang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 7 ayat (1) huruf
I dan j, Pasal 109 ayat (2), dan Pasal 46 ayat (1) huruf c, yang
mengatur kewenangan polisi, dan Pasal 14 huruf h, Pasal 140
ayat (2) huruf a, yang mengatur kewenangan jaksa mengenat
penyelesaian perkara tanpa melalui sidang pengadilan
pidana.
7. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi Jo. Pasal 29 Rechten Ordonantie
8. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Pasal 5 Ayat
(3) Sub b, Jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1644.K/Pid/1988.

Berbagai ketentuan tersebut mengisyaratkan adanya


beberapa alternatif penyelesaian perkara pidana. Dengan
demikian, peradilan pidana bukanlah merupakan altematif
satus atunya penyelesaian perkara pidana. Proses penyelesaIan
perkara melalui peradilan pidana mungkin dapat mendatangkan
kepastian hukum yang tinggi, sedang kepastian hukum tidak
secara otomatis mendatangkan keadilan atau kedamaian. Seperti
ungkapan yang mengkritik kelemahan penyelenggaraan hukum
yang hanya mengejar kepastian hukum berbunyi Summum IUS
Sumam iniuria (Keadilan - kepastian - yang tertinggi adalah
ketidakadilan yang tertinggi). Hukum yang menonjolkan
kepastian hukum menghendaki rumusan dalam mengejar
kepastian hukum, tetapi dapat mempersempit ruang gerak
hakim untuk menghasilkan putusan yang lebih adil. Hakim
ditempatkan sebagai “corong” undang-undang bukan sebagai

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 229


penegak hukum dan keadilan. Suatu peradilan pidana yang lebih
mengutamakan aspek kepastian hukum selalu terkait dengan
prosedur dan kaidah hukum formal yang kadang-kadang
mengabaikan aspek hubungan kemanusiaan antara pelaku
dengan korban. Alternatif penyelesaian perkara pidana melalui
cara perdamaian atau kekeluargaan, menurut persepsi korban,
dinilai lebih dapat mendatangkan kedamaian dan keutuhan
keluarga bagi kedua belah pihak daripada melalui peradilan
pidana.
Proses penyelesaian perkara pidana di luar proses peradilan
pada umumnya ditempuh dengan sepengetahuan lembaga-
lembaga formal atau non formal yang diakui keberadaannya
oleh hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis,
misalnya Kepolisian, Kejaksaan, RT/RW, Kelurahan, Lembaga
Adat Lembaga Keagam atau lembaga perdamaian desa. Yang
Perlu ditegaskan di sini, bahwa lembaga-lembaga tersebut bukan
berfungsi melaksanakan peradilan - karena, apabila mengadili
berarti tidak sesuai dengan peraturan Perundang - undang
yang berusaha untuk melakukan Unifikasi - melainkan hanya
menyelesajkan perl(ara atau perselisihan (konflik). Mahkamah
Agung Republik Indonesia sendin telah mengakui keberaaan
lembaga adat sebagai lembaga yang menyelesaikan perkara
pidana (adat), seperti dalam Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor l644.K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991.
Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung RI berpendirian
bahwa suatu pelanggaran pidana adat yang telah diperiksa dan
diselesaikan secara adat - dengan menjalankan sanksi adat - yang
diberikan oleh lembaga (kepala) adat maka hakim pada Badan
Peradilan Negara tidak berwenang untuk mengadili perkara
tersebut, dengan alasan ne bis in idem (Pasal 76 KU HAP).
Dalam praktek, proses penyelesaian perkara pidana
melalui lembaga peradilan pidana ditempuh manakala proses
penyelesaian secara kekeluargaan atau perdamaian mengalami
kegagaIan (ultimun remedium). Dalam praktek, cara perdamaian
atau kekeluargaan sering ditempuh lebih dulu kendatupun

230 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


tergolong perkara biasa (bukan delik aduan). Prosentase
penyelesaian secara perdamaian atau kekeluargaan ini cukup
besar. Mengingat pelanggaran hukum pidana terkait dengan
berbagai kepentingan yang hendak dilindungi oleh peraturan
hukum pidana maka kewenangan yang diberikan kepada
korban hendaknya juga dibatasi. Artinya, kewenangan korban
untuk menyelesaikan secara perdamaian atau kekeluargaan itu
dapat disimpangi manakala kepentingan lain menghendaki agar
perkara tersebut diproses melalui peradilan pidana. Sebaliknya
demi kepentingan lain yang hendak dilindungi oleh hukum
dapat mengalahkan tuntutan korban yang menghendaki agar
perkara diproses melalui peradilan. Mengenai pemberian
kewenangan kepada korban atau pihak yang dirugikan oleh
delik untuk melakukan penuntutan dianut di lnggris, Muangthai
dan Belgia. Artinya, orang biasa atau pihak yang dirugikan
dapat melakukan penuntutan dan dapat bekerja sama dengan
penuntut umum (Andi Hamzah, 1987: 24). Hal ini sesuai dengan
asas oportunitas yang dibantu di Indonesia sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, pasal 35 huruf c yang menyatakan bahwa
Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi mempunyai
tugas dan wewenang : mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum, yaitu kepentingan bangsa dan negara, dan
atau kepentingan masyarakat luas, termasuk kepentingan pelaku
dan korban kejahatan.
Kejaksaan sebagai bagian dan sistem peradilan pidana atau
dalam rangka keterpaduan Sistem peradjian pidana Indonesia juga
bertanggungjawa dalam meIaknakan tugas dan wewenangnya,
yaitu menetapkan serta mengendai kebijaksanaan umum,
penegak hukum dan keadilan, maka wewenang mengesampingka
perkara demi kepentingan umum (asas oportunitas haruslah
ditempatkan dalam kerangka penegakan hukum dan keadilan.
Asas oportunitas yang semula ditafsirkan secara negatif yaitu
kewajiban menuntut selalu harus dilakukan (asas legalitas),
meskipun dengan kemungkinan pengecualian berdasarkan

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 231


kepentingan umum. Menurut Mardjono Reksodiputro, (1990 :
5) bahwa asas oportunitas dalam kerangka keterpaduan sistem
peradilan pidana Indonesia sekarang perlu ditafsirkan secara
positif. Artinya, kewajiban menuntut hanya akan dilakukan,
apabila di samping harus didasarkan pada undang-undang
(peraturan perundang-undangan), dan dapat pula didasarkan
(secara kumulatif) pada kepentingan umum, yaitu kepentingan
tatanan hukum. Jadi, jaksa baru melakukan penuntutan manakala
benar-benar melanggar peraturan dan benar-benar dikehendaki
oleh / demi kepentingan umum.
Sejalan dengan itu, setiap pelanggaran hukum pidana tidak
secara otomatis masuk dalam proses sistem peradilan pidana.
Suatu perkara akan diproses melalui sistem peradilan pidana
manakala benar-benar perlu dan dikehendaki oleh kepentingan
umum. Prinsip ini sesuai dengan asas subsidiaritas yang dikenal
dalam hukum pidana.
Menurut Roeslan Saleh (1984 21 - 23) bahwa asas subsidiaritas
dapat diterapkan pada dua hal yaitu : pertama, pada tingkat pra
ajudikasi, kekuasaan menerapkan pidana tidak sampai bergerak
bilamana melalui stelsel sanksi yang bersifat sosial dapat
dicapal tujuan yang sama atau memang telah tercapai. Artinya,
sebanyak mungkin diusahakan untuk diselesaikan melalui cara-
cara yang di luar peradilan pidana. Jadi, suatu perkara akan
diteruskan ke peradilan pidana hanya bilamana baik dari segi
prevensi umum maupun prevensi khusus, atau pertimbangan
dampak perbuatan terhadap masyarakat adalah benar-benar
perlu untuk diselesaikan melalui hukum pidana. Pada tindakan
pra - ajudikasi, polisi dan jaksa cukup memberikan peringatan
kepada yang bersangkutan atau membuat transaksi. Dalam
praktek sering dijumpai model penyelesaian perkara pidana
dengan transaksi,yang pada umumnya dijumpai pada tingkat
polisi (penyelidikan / penyidikan) Transaksi tersebut dibuat
pada kertas yang bermaterai, dengan persetujuan korban
kejahatan dan diketahui oleh polisi yang berisi permintaan maaf
pelaku terhadap korban, permohonan untuk diselesaikan secara

232 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


perdamaian atau kekeluargaan dan janji pelaku untuk tidak
mengulangi perbuatan serta kesediaan menerima sanksi bila
melanggar janji tersebut. Kedua, pada tingkat ajudikasi, jaksa -
sesuai dengan asas oportunitas — selektif dalam menuntut dan
hakim selektif dalam menjatuhkan pidana. Artinya, jaksa selektif
dalam memilih perkara yang masuk dan menuntut atternatif
pidana terhadap terdakwa adan hakim juga selektif dalam
memilih alternatif pidana yang tepat dan dimulai dari yang
paling ringan jika dengan pidana yang paling ringan tersebut
telah dianggap cukup sebagaimana dikemukakan Roeslan Saleh
(1984 : 23) bahwa:
Jangan jatuhkan pidana penjara atau kurungan jika
dipandang cukup hanya dengan pidana denda. Jangan
jatuhkan pidana penjara atau kurungan yang tidak bersyarat
jika pidana bersyarat dipandang telah cukup. Jangan
jatuhkan pidana perampasan kemerdekaan yang lama jika
pidana yang waktunya pendek telah dapat menyelesaikan
persoalan itu.

Prinsip Subsidiaritas dalam penerapan pidana juga dianut


dalam Rancangan KUHP sebagaima termuat dalam Pasal 51 ayat
(1):
Dalam hal suatu tindak pidana diancam dengan pidana
perijara atau pidana denda, pidana pokok yang lebih ringan
harus lebih diutamakan apabila hakim berpendapat bahwa
hal itu telah sesuai dan dapat menunjang dicapainya tujuan
pemidanaan

Dalam penjatuhan pidana, hakim selalu berorientasi pada


tujuan pemidanaan dan mengutamakan I mendahulukan
jenis pidana yang ringan, sekiranya pidana yang lebih ringan
itu telah didukung atau memenuhi tujuan pemidanaan. Jika
tujuan pemidanaan ini dijadikan sebagal prinsip I dasar dalam
penyelenggaraan peradilan pidana, maka asas ini dapat dijadikan
pembenaran terhadap penyelesaian perkara pidana secara
damai atau kekeluargaan (arbitrase) manakala cara ini Iebih biasa
mencapai tujuan pemidanaan.
Untuk mengawasi jalannya penegakan hukum dan
keadilan dalam kaitannya dengan penyelesaian perkara di luar

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 233


proses peradilan pidana dan tindakan penyimpangan perkara
diperlukan adanya lembaga kontrol / pengawas. Lembaga
ini berfungsi mengawasi dengan cara mengajukan keberatan-
keberatan terhadap tindakan korban, polisi, jaksa dan sekaligus
untuk menghindari adanya persekongkolan antara pelaku
dengan korban atau keluarga korban atau antara pelaku dan I
atau korban dengan polisi atau jaksa untuk tujuan-tujuan yang
jahal. Persekongkolan antara korban dengan pelaku sering terjadi
pada kejahatan - kejahatan tertentu yang ada hubungannya
dengan klaim asuransi. Lembaga kontrol I pengawas ini
sebaiknya terdiri dan anggota masyarakat yang diangkat dalam
masa jabatan yang terbatas. Seperti halnya kiso - yuuyo atau
suspended prosecution (penangguhan penuntutan) yang berlaku
di Jepang. Kewenangan jaksa untuk menangguhkan penuntutan
ini juga diawasi oleh suatu lembaga pengawas yang diangkat
dari anggota masyarakat. Lembaga tersebut dapat mengajukan
keberatan terhadap penuntut umum (Tatsuya Ota, 1991 :16).
Sebagaimana dikemukakan di bagian sebelumnya bahwa
peradilan pidana sebagai bagian dan lembaga peradilan di
Indonesia diselenggarakan untuk menerima, memeriksa,
dan mengadili serta menyelesaikan perkara (pidana) yang
diajukan kepadanya. Penyelenggaraan peradilan pidana belum
menyentuh aspek keadilan yang substantif, kendatipun tersebut
telah berakhir dengan penjatuhan pidana.
Hakim dalam memeriksa perkara pidana pada umumnya
hanya mendasarkan diri pada dakwaan jaksa, sedang dakwaan
jaksa disusun berdasarkan atas hasil penyidikan polisi (berkas
pekara) yang telah menentukan bentuk perbuatan dan pasal yang
dilanggar. Polisi memiliki Peranan yang menentukan jalannya
proses peradilan pidana, maka tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa polisi sebagai penentu jahal tidaknya seseorang.
Polisi dalam melakukan penyidikan (pengumpulan
informasi) diarahkan pada informasi yang yuridis relevant bagi
unsur-unsur perbuatan pidana. Serangkaian fakta-fakta yang
kompleks sifatnya direduksi sedemikian rupa sehingga menjadi

234 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


kesimpulan-kesimpulan yuridis, berupa : apakah terdakwa
memang melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;
dan apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu memang
merupakan suatu perbuatan pidana, yang selanjutnya disusul
dengan apakah terdakwa dapat dijatuhi pidana atau ada
kesalahan. (Roeslan Sateh 1978 :11). Jadi jelas kiranya bahwa
proses peradilan pidana hanya ditujukan untuk membuktikan
benar tidaknya dakwaan pelanggaran tersebut. (Satjipto
Rahardjo, 2006: 16).
Proses peradilan pidana yang demikian itu pada umumnya
akan berakhir berupa pernyataan terbukti atau tidaknya dakwaan
jaksa dan ada atau tidaknya kesalahan terdakwa yang selanjutnya
penetapan sanksi pidana (penjatuhan pidana) sesuai dengan
ancaman pidana yang telah ditetapkan. Jika dihubungkan dengan
tujuan pemidanaan di masa mendatang – seperti yang dimuat
dalam RUU KUHP - proses yang demikian ini belum menyentuh
substansi perkara yang berupa Perselisihan atau terganggunya
tata pergaulan masyarakat khususnya hubungan antara pelaku
(terdakwa) dengan pihak korban kejahatan Sedangkan tujuan
pemidanaan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 47 ayat (1) RUU
KUHP bermaksud untuk:
1. Mencegah ciilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan, sehingga menjacil orang yang balk dan berguna;
3. Menyelesajican konflik yang ditimbulkan oleh tindakan
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

Bagaimana bisa mewujudkan tujuan pemidanaan yang


ketiga berupa penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat, jika hakim dalam memeriksa
perkara pidana hanya mendasarkan diri pada dakwaan jaksa

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 235


saja. Sedang dakwaan jaksa disusun berdasarkan berkas perkara
yang disusun oleh polisi yang telah mengeleminir berbagai fakta
yang sebenarnya, sehingga menjadi fakta hukum. Sementara itu,
korban juga ditempatkan sebagai bagian dari fakta, yaitu sebagai
bagian dari serangkaian alat bukti. Tepatnya sebaga saksi utama
atau saksi korban.
Peradilan pidana yang berorientasi pada penyelesaian
konflik, pemulihan keseimbangan mendatangkan rasa damai
serta pembebasan rasa bersalah tersebut sesuai dengan prinsip
penyelenggaraan peradilan yaitu dalam rangka penegakan
hukum dan keadilan.

b.2 Alternatif Penyetesaian Perkara Pidana melalui Lembaga


Adat

Ketentuan RUU KUHP Pasal 1 Ayat (4) memuat ketentuan


sebagal berikut:
Ketentuan dalam ayat 1 tidak mengurangi bertakunya
hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat
setempat seseorang patut dipidana bilamana perbuatan
itu tidak ada persamaannya dalam peraturan perundang -
undangan ini.

Kehadiran Pasal 1 Ayat (4) ini menunjukkan “karakteristik”


asas legalitas menurut pandangan dan pemikiran bangsa
Indonesia. Kendatipun demikian, pasal ini masih memerlukan
penjelasan Iebih lanjut mengenai apakah yang dimaksud dengan
hukum yang hidup tersebut. Sepintas lalu, Ayat (4) ini bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (1) yang memuat ketentuan “seseorang tidak
dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan pidana
dalam yang telah ada sebelumnya.”
Memberlakukan hukum yang hidup (yang tidak tertulis)
dalam jajaran hukum pidana mengundang permasalahan
menyangkut substansi dan prosedur. Secara substansial, apakah
yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam kaitannya
dengan ayat (1) tersebut? menurut konsep awalnya. Konsep
RUU KUHP Tahun 1963, Pasal 5 “Pengadilan hanya dapat

236 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


mengkualifikasikan suatu perbuatan sebagai tidak pidana,
apabila pembuat undang-undang atau hukum tak tertulis yang
hidup dalam kalangan masyarakat Indonesia dan yang tidak
menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur
telah menetapkan perbuatan itu sebagai tindak pidana dan
mengancamnya dengan pidana.” Kalimat tersebut berbunyi
hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam kalangan masyarakat
Indonesia dengan syarat harus hidup dalam kalangan masyarakat
Indonesia dan tidak menghambat perkembangan masyarakat
adil dan makmur. Di sini juga tidak secara tegas ditunjuk
maksud hukum yang tidak tertulis tersebut. Sedangkan tujuan
diadakannya ketentuan tersebut supaya undang-undang tidak
kaku, melainkan luwes (flexible), karena perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat selalu akan dapat direalisir oleh hakim.
Kedua rumusan tersebut secara tersirat yang dimaksud
adalah hukum adat, karena salah Satu sifat dan hukum
adat adalah tidak tertulis. Bila demikian, ketentuan Ayat (4)
bisa dinilai “bertentangan” dengan semangat Ayat (1) yang
menghendaki adanya ketentuan Perundang - undang (tertulis)
atau sebagai “penyimpangan” dalam anti pengecuaIian dalam
rangka menyesuaikan dengan kesadaran hukum masyarakat
seperti yang diisyaratkan dalam UUD NRI 1945.
Diakul bahwa pemberlakuan asas legalitas (secara murni)
seperti di negara-negara Eropa - yang merupakan embrio
lahirnya asas legalitas - tidak mungkin bisa dilakukan karena
masyarakat Indonesia secara kultural adalah berbeda dengan
masyarakat Eropa. Tumbuh dan berkembangnya asas legalitas
di Negara - Negara Eropa secara kultural relatif homogen dan
struktural masyarakatnya tergolong sudah mapan. Sebaliknya,
masyarakat Indonesia memiliki kultur dan struktur masyarakat
yang relatif heterogen. Dalam masyarakat Indonesia yang
sedang membangun, problem hukum yang dihadapi bukanlah
problem implementasi atau kepastian hukum melainkan
pengenalan medan yang penuh dengan variabel psikologik,
politik, sosial, dan kultural. Hukum belum dilihat sebagai suatu

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 237


sistem substantif yang bulat dan utuh, mandiri sebagai faktor
yang konstan, melainkan sebagai “variabel dependen dalam
hubungnya dengan supra sistem Sosio-budaya Maka problem
hukum di Indonesia yang sedang membangun sebenarnya
bukan terletak pada kesahihan logika, melainkan PengaIaman
dari lapangan (Soetandyo Wignyogsoebroto,1984 : 6)
Secara Prosedural, siapa yang berwenang menentukan
bahwa suatu perbuatan tertentu patut dipidana sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat ? jika kewenangan tersebut
diberikan kepada hakim, ini berarti hakim diberi wewenang
untuk menemukan hukum secara bebas (virje rechtsvinding) dan
menempatkan hakim sebagai “pembentuk hukum sendiri.”
Memberi wewenang yang bebas dan sedemikian luas kepada
hakim tersebut, tidaklah menggembirakan Menurut Moeljatno,
(1985 : 29) ditulis sebagal berikut:
Sebab bagaimanapun juga, untuk memutuskan suatu
perbuatan sebagai perbuatan pidana dan menjatuh, pidana
kepada pembuatnya, atas tanggung jawab sendiri, tanpa
mempunyai penguat atau pegangan dalam bentuk yang
tertulis maupun yang tidak (bukan adat), untuk hal itu
diperlukan keberanian dan keteguhan hati serta banyak
pengalaman yang kiranya tidak dapat diharapkan dan pada
tiap-.tiap pemegang palu pengadilan, lebih - lebih kalau
palu tadi baru dalam taraf permulaan.

Keragu-raguann tersebut sangat beralasan mengingat hakim


harus dihadapkan pada masyarakat yang struktur dan sosio-
budayanya relatif heterogen.
Menundukkan hakim sebagai pembentuk hukum
tersebut menjadi tidak berarti, manakala polisi dan jaksa tidak
ditempatkan dalam dimensi yang sama. Karena prosedur suatu
perkara untuk sampai pada hakim melewati dua instansi yaitu
polisi (sebagal penyidik) dan jaksa (sebagai penuntut umum).
Di samping itu, sikap dan pendirian penegak hukum yang
sementara ini dikenal dengan “dogmatis positivistis,” menutup
kemungkinan menempatkan posisi hakim sebagai pembentuk
hukum atau penemu hukum yang bebas.
Dengan berlakunya Pasal 1 Ayat (4) tersebut, maka diakui

238 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


bahwa batas-batas tindak pidana tidak hanya didasarkan pada
kriteria formal menurut undang-undang, tetapi juga kriteria
material menurut hukum yang hidup. Penyataan tersebut
mengandung makna diakuinya pendirian sifat melawan hukum
materil, seperti diatur dalam Pasal 13, 14 dan 15 RUU KUHP.
Sedangkan pendirian yang “dogmatis positivistis” cenderung
untuk menolak atau tidak mengakui adanya sifat melawan
hukum yang materil.
Hukum yang hidup, menurut Pasal I Ayat (4), mensyaratkan
perbuatan tersebut tidak ada persamaannya dalam peraturan
Perundang - undangan (tertulis). Terhadap perbuatan yang
ada “Persamaannya dengan undang - undang (tertulis) berarti
hakim memeriksa dan mengadili berdasarkan undang - undang
(tertulis) terhadap perbuatan yang secara kualitatif tidak sama,
yang oleh hakim “disamakan” dengan undang - undang (tertulis).
Tindakan “menyamakan” ini apakah tidak bertentangan dengan
Pasal 1 Ayat (3) yang melarang digunakannya analog dalam
menentukan adanya tindak pidana.
Kendala yang lain, jika yang dimaksud hukum yang hidup
adalah adat, maka bentuk dan jenis pelanggaran hukum adat
yang mana dinilai kriminal atau melawan hukum? Pelanggaran
hukum adat adalah relatif dan biasanya hanya diketahui dan
dirasakan oleh masyarakat adat setempat, karena pelanggaran
terhadap hukum adat bersifat religio magis. Jika sekiranya ada
laporan masyarakat tentang adanya pelanggaran hukum adat,
bagaimana reaksi polisi setelah menerima laporan kemudian
menyidik dan memberkas perkara, dan bagaimana jaksa
menuntut terdakwa?
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, dalam
kaitannya dengan Pasal 1 Ayat (4), maka alternatif yang paling
tepat adalah memfungsikan kembali lembaga adat (dulu
peradilan adat) sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk
menyelesaikan perkara pelanggaran hukum adat. Lembaga
adatlah yang paling tahu dan kompeten Untuk menyelesaikan
perkara peIanggar hukum adat.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 239


Menghidup kembali lembaga adat sebagai lembaga
penyelesaian Perkara pelanggaran adat, sebenarnya bukanlah
hal yang baru, karena Mahkamah Agung RI dalam Putusannya
Tanggal 15 Mei 1991 Nomor 1644.K/Pid/1988 - yang memperkuat
putusan-putusan sebelumnya - mengakui keberadaan lembaga
adat (peradilan adat) sebagai lembaga penyelesaian pelanggaran
hukum adat.
Sebenarnya, dalam praktek, cukup banyak perkara pidana
yang oleh masyarakat diselesaikan lewat lembaga-lembaga lain
di luar pengadilan, misalnya RT I RW I Lurah, Desa atau Lembaga
Adat. Masyarakat (korban) - sesuai dengan data hasil penelitian
yang disajikan pada Bab IV — pada umumnya menyetujui jika
sekiranya lembaga-lembaga tersebut diberi kewenangan secara
legal untuk menyelesaikan perkara pidana yang relatif ringan.
Legalisasi terhadap lembaga-lembaga tersebut sebagai lembaga
penyelesaian perkara pidana yang ringan dapat mengurangi
beban sistem peradilan pidana. Peradilan pidana dapat Iebih
mengkonsentrasikan pada pengurusan perkara-perkara besar
yang meresahkan masyarakat. Pernyataan tersebut tidak berarti
mengabaikan dampak negatif pada masyarakat terhadap perkara
pelanggaran yang ringan sifatnya. Karena suatu pelanggaran
hukum pidana bukan saja pelanggaran terhadap hak-hak
individu tetapi juga pelanggaran terhadap perkara pelanggaran
yang ringan sifatnya.Kkarena suatu pelanggaran terhadap hak-
hak individu tetapi juga pelanggaran terhadap ketertiban umum,
maka masyarakat dan penegak hukum memiliki kebijakan untuk
menilai suatu perkara yang tergolong berat atau yang ringan, di
samping ditentukan standar umum dalam undang - undang Di
samping itu, untuk mengurangi dampak negatif proses peradilan
pidana atau penjatuhan pidana singkat terhadap pelaku.
Pidana singkat atau ringan sebenarnya tidak sesuai dengan
tujuan pemidanaan itu sendiri. Dampak negatifnya Iebih besar
dan pada manfaatnya. Lama pidana yang dijatuhkan pada
umumnya imbas dengan Iamanya pelaku menjalani tahanan
pada tingkat polisi, jaksa dan hakim. Bahkan terkesan dalam

240 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


praktek jaksa dan hakim dalam menuntut dan menetapkan
pidana Iebih banyak mempertimbangkan mengenai Iamanya
tahanan dan pada mempertimbangkan tingkat kesalahan pelaku.
Sebagaimana dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya,
penyelesaian perkara pidana bisa melalui dua cara, yaitu
melalui peradillan pidana dan di luar peradilan pidana. Proses
penyelesaian perkara pidana melalui peradilan pidana sudah
merupakan prosedur yang lazim yang dimulai dengan adanya
pembentukan peraturan dan sanksi, adanya pelanggaran,
dan diterapkan aturan dan sanksi itu kepada pelanggar
(criminalization), yang bertujuan mengadakan pencegahan
(deterrence) kejahatan.
Proses penyelesajan perkara di luar pengadilan pada
umumnya menghindari dampak negatif yang Iebih besar dan
apabila diproses melalui sistem peradilan pidana. Prosedur
yang ditempuh selalu berusaha Untuk menghindarkan aspek
formalitas dan birokratik dan mencani jalan penyelesaian dengan
cara mengkompromikan tuntutan - tuntutannya (cooperation).
Proses yang ditempuh Iebih bersifat persuasif dan dilakukan
bukan dalam rangka menindak pelaku.
Kedua proses tersebut terdapat kelebihan dan kekurangan,
seperti terlihat pada gambar berikut ini:
Di Luar Peradilan
Peradilan Pidana
Pidana

Kualitas
Tinggi Rendah
Hukumnya

Efisiensi Rendah Tinggi


Aspek sosiologis /
Rendah Tinggi
korban

Penyelesaian perkara melalui proses peradilan pidana


memiliki kelebihan yaitu tingkat kualitas hukumnya tinggi,
karena menjamin adanya kepastian hukum dan ketaatan terhadap
prosedur formal (beracara) yang juga tinggi. Akan tetapi,

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 241


tingkat efisiensi dan aspek sosiologisnya termasuk penyelesaian
perselisihannya dengan korban – rendah.Sebaliknya, penyelesajan
Perkara melalui jalur di luar peradilan pidana aspek hukum
rendah, tetapi aspek efisiensi dan sosiolgoisnya tinggi.
Kedua model penyelesaian perkara pidana tersebut berpijak
pada dasar yang berbeda. Model peradilan pidana (criminalization)
berdasarkan pada mutual distrust, sedang model penyelesaian di
luar proses peradilan pidana (cooperation) mendasarkan diri pada
mutual trust dalam memberi reaksi terhadap pelanggar. (Van
Den Hauvel, 1991 : 2)
Pada model pertama esensinya adalah penegakan hukum
yaitu menindak pelaku, maka tindakannya merupakan reaksi -
yang sedikit banyak di dalamnya mengandung balas dendam
terhadap pelanggar sekaligus merupakan pencegahan. Reaksi
umumnya diberikan karena adanya aksi maka aspek prosedur
dan formalitas - keterkaitan dengan peraturan perundang -
undangan lebih menonjol. Dalam penyelesaian perkara aspek
“demokratisasi”nya kurang, artinya dalam proses penyelesaian
perkara dominasi penegak hukum lebih kuat dan pada pelaku.
Model kedua, esensinya adalah musyawarah mencari jalan
penyelesaian (solution) yang bersifat persuasif dan sukarela,bukan
menindak pelaku. Model kedua ini aspek “demokratsasi”nya
tinggi, karena antara pelaku dan korban diajak musyawarah
serta mengkompromikan Karena ketaatan terhadap prosedur
dan formalitas peraturan undang - undang -rendah, sering
disalahgunakann Sebab, semakian kendur ketaatan terhadap
prosedur / formalitas dan stimulasi atau daya “tawar” semakin
tinggi maka kontrol biasanya semakin mengendur. Salah satu
bahayanya adalah terJadinya Persekongkolan atau collusion
yang berubah menjadi kejahatan tersendiri yaitu sebagai
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dipandang dari sudut
negara, atau penyalahgunaan kepercayaan dilihat dari korban
(organisasi). Untuk menghinndari adanya persekongkolan
tersebut, perlu adanya mekanisme kontrol yang jelas. (Van Den
Heuvel, 1991 :13)

242 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


b.3. Pendapat Korban Kejahatan Terhadap Proses Penyelesaian
Perkara Pidana Melalui Peradilan Pidana

Proses penyelesaian perkara pidana melalui peradilan pidana


mengundang perhatian khususnya bagi pihak korban atau pihak
yang paling banyak menderita kerugian. Hal ini disebabkan
karena dalam proses peradilan pidana korban tidak dilibatkan
secara aktif. Peradilan pidana mengadili pelaku karena didakwa
melanggar hukum pidana, bukan Pelanggaran terhadap hak-
hak korban, kendatipun pihak korbanlah yang paling banyak
menderita kerugian OIeh karena itu, polisi dan jaksa bertindak
bukan mewakili kepentingan korban melainkan mewaklii negara
atau kepentingan masyarakat secara umum.
Sebagaimana dikemukakan pada awal bagian tulisan ini,
bahwa pada tahap awal Proses Penyelesaian Perkara melalui
peradilan pidana korban kejahatan mempunyai kewenangan yang
besar dan menentukan tapi pada tahap berikutnya kewenangan
itu menjadi hilang, sementara kewenangan polisi dan jaksa
semakin menguat. Hilangnya kewenangan korban dalam proses
penyelesaian perkara pidana sedikit banyak akan mengundang
problematik tersendiri khususnya mengenai peran-peran polisi,
jaksa, dan hakim serta mekanisme penyelesaian perkara pidana
melalui peradilan pidana menurut pandangan korban kejahatan.
Selanjutnya pandangan korban terhadap proses penyelesaian
perkara pidana yang digunakan oleh polisi, jaksa dan hakim
akan disajikan dalam sub bab berikut ini. Data penelitian ini
diperoleh dan korban yang secara Iangsung merasakan layanan
yang diberikan oleh aparat penegak hukum ditiga tingaktan.

1. Tawaran Penyelesaian secara damai atau kekeluargaan


Polisi setelah menerima laporan korban tidak secara otomatis
memproses / menyerahkan ke tahap berikutnya, melainkan
memberi alternatif lain, misalnya perdamaian atau penyelesaian
secara kekeIuarga. Karena tidak semua kejahatan yang dilaporkan
korban kepada polisi dengan harapan agar diproses melalui

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 243


peradilan pidana, akan tetapi ada juga yang mengharapkan
agar polisi sebagai mediator untuk menyelesaikan perkara yang
dihadapi. Deskripsi mengenai ada tidaknya tawaran alternatif
penyelesaian secara perdamaian dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Tabel 1
Tawaran Penyelesaian secara perdamaian atau kekeluargaan
oleh polisi kepada korban
NO Kualitifikasi Jumlah %

1 Pernah menawarkan 11 31

2 Tidak pernah menawarkan 24 69

N 35 100

Sumber Data: Responden (Korban), 2010

Tabel tersebut menunjukkan bahwa polisi yang tidak penah


menawarkan agar perkaranya diselesaikan secara perdamaian
atau kekeluargaan sebesar 60 % Iebih besar dan yang tidak .

2. Pendapat korban terhadap jaksa.


Setelah selesai tahap awal atau tahap penyidikan, dan
bilamana terdapat cukup alasan dan cukup bukti, perkara
selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan. Suatu perkara apabila
telah dilimpahkan dan tidak ada tindakan prapenuntutan
apabila telah dilimpahkan dan tidak ada tindakan prapenuntutan
berarti tanggungjawab sepenuhnya berada di pihak jaksa. Jaksa
selanjutnya mengada penuntutan
Sebagaimana dikemukakan di bagian depan bahwa
tindakan penuntutan berarti tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal menuntut cara yang diatur dalam undang
- undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim disidang pengadilan. Tindakan jaksa merupakan Iangkah
yang menentukan terhadap perkara. Keberhasilan jaksa dalam

244 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


membuktikan dakwaan di persidangan dapat mempengaruhi
citra polisi dan jaksa di mata korban.
Selanjutnya, bagaimana penilaian korban terhadap
kegiatan jaksa dalam proses penyelesaian perkara di tingkat
penuntutan dan proses pembuktian perkara di persidangan ?
pada umumnya korban menilai kegiatan jaksa dalam proses
penyelesaian perkara adalah baik, seperti terlihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 2
Penilalan korban terhadap kegiatan jaksa
NO Kualitifikasi jumlah %

1 Sangat baik 3 9
2 Baik 21 60
3 Sedang 6 17
4 Tidak baik 5 14
5 Sangat tidak baik - 0
N 35 100
Sumber Data : Responden (Korban),2010

jaksa dinilainya sudah cukup baik dalam menjalankan


tugasnya. Ini ada kaitannya dengan keberhasilan jaksa dalam
membuktikan dakwaannya yang berakhir dengan penjatuhan
pidana - terlepas Putusan tersebut diterima atau tidak oleh
terdakwa atau jaksa.

3. Sikap Korban Terhadap Putusan Hakim


Sikap positif korban juga ditujukan terhadap putusan
pengadilan. Putusan pengadilan terhadap perkara yang pemah
dilaporkan dinilai oleh korban memuaskan, dengan kategori
sangat memuaskan, sebesar 6 % dan memuaskan sebesar 46%.
Artinya, menurut korban, hakim telah menjatuhkan putusan
seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa,
kendatipun kerugian yang diderita tidak pulih kembali.
Penjatuhan pidana terhadap pelaku telah memuaskan korban,
dengan demikian, secara psikologis, telah mengurangi beban
yang pernah dialami saat menjadi target suatu kejahatan. Tidak

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 245


demikian bagi korban yang merasa tidak puas (20 %) atau
sangat tidak puas (11 %) terhadap putusan pengadilan.Putusan
pengadiIa tidak mempertimbangkan penderitaan korban akibat
dilakukannya kejahatan, dan pidana korban akibat dilakukannya
kejahatan, dan pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa
terlalu ringan tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa dan
kerugian dan penderitaan korban. Lebih lagi, tindakan pelaku
telah menghancurkan masa depan korban, bahkan untuk seumur
hidup.
Tabel 3
Sikap korban terhadap putusan pengadilan
No Kualifikasi jumlah %
1 Sangat memuaskan 2 6
2 Memuaskan 16 46
3 Biasa saja 6 17
4 Tidak memuaskan 7 20
5 Sangat tidak memuaskan 4 11
N 35 100

Sumber data: Responden (korban), 2010

Terlepas puas atau tidak puas, korban terpaksa harus


menerima putusan itu, karena korban tidak mempunyai
kewenangan untuk menentukan jumlah dan jenis tuntutan atau
mengajukan banding, sebagai perwujudan ketidak puasannya
itu.
Dari berbagai komentar diberikan korban, perasaan tidak
puas korban terhadap putusan ini bukan disebabkan semata-
mata karena berat atau ringannya pidana yang dijatuhkan,
melainkan putusan hakim tersebut tidak menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapi oleh korban. Di samping itu, putusan itu
tidak memuat diktum tentang pengembalian atau ganti kerugian
yang diderita korban karena perbuatan terdakwa.

246 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, 2008, Tanggapan Atas Rancangan undang-undang


Tentang Hukum Acara Pidana, Restu Agung,Jakarta.
Abdurrahman, 1979, Aneka Masalah Hukum dalam Pembangunan di
Indonesia, Alumni, Bandung.
Abdul Latif, 2010, Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang
Adil, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Vol. 7 No. 1.
Februari, Jakarta.
Abdul Mannan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada
Media, Jakarta.
Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empris Hukum, Tasrif,
Jakarta.
_________, 1999, Pengadilan dan Masyarakat, Hasanuddin
University
Presss, Makassar.
_________, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta .
________, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab
dan Solusinya), GhaIia Indonesia, Jakarta.
Adji Samekto, F.X, 2005, Perkembangan Ranah Kajian Ilmu Hukum,
FH Undip, Semarang.
Amartya Sen, 1994, On Ethies and Economic, Blackwell, Publishers,
Oxford.
Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan
Demokrasi Telaah Filsafat Politik, John
Rowis, Kanisius, Yogyakarta.
_________, 2009, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta.
Andi Hamzah, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,
Ghalia, Indonesia, Jakarta.
_________, 1988, Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan Negara

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 247


(Contempt of Court), Sinar Grafika Jakarta .
Andi Zainal Abidin, 1983 Persepsi Bugis,Makassar,Negara,Dunia
Luar,Alumni Bandung.
Andi Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Sinar Grafika
Jakarta.
Andrew Karnen, 1988, Crime Victims : An Introduction to
Victimology, California : Books/Cole Publishing Company.
Anne L.Schneider 1976, The Role of Attitudes Delicision to Report
Crimes to the Police, London, Publishing.
Anonim, 2000, Statuta Roma, Mahkamah
Pidana lnternasional, Lembaga
Studi dan Advokat Masyarakat, Jakarta.
Ansari Sabuan, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung.
Anton G. Tabah, 1993, Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum
Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Arif Gosita, 1987, Rekvansi Viktimologi dengan Pelayanan terhadap
para Korban Kejahatan, Perkosaan, Ind. Hill -CO, Jakarta.
_________, 1989, Crime Victims : An Introduction to Victimology,
California :Books I Cole Publishing Company .
Arif. T Surowidjoyo, 2006, Pembaharuan Hukum, FH-UI, Jakarta.
Arif Gosita, 1983, Masalah Korban Kejahatan; Kumpulan Karangan
Akademika Pressindo, Jakarta.
Aswanto, 1999, Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam
KUHAP dan Peranan Bantuan Hukum terhadap Penegakan Hak
Asasi Manusia di Indonesia, Disertasi, Unair, Surabaya.
Baharuddin Badaru, 2004, Perlindungan Hak Asasi Warga Binaan
oleh Hakim Pengawas dan Pengamat Dalam Sistim Peradilan
Pidana di Sulawesi Selatan, Tesis S2 Pascasarjana, Unhas,
Makassar.
_________, 2000, Instrumen Hukum Penegakan HAM, Clavia.
Vol. 1 No. 1, Makassar.
Baharuddin Lopa, 1996, Al-Quran dan Hak-Hak Asasi Manusia,
Dana Bhakti Prima Yasa, Jakarta.
Barda Namawi Arif, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,Alumni

248 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Bandung.
_________, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana, Ananta, Semarang.
_________, 1996, Bunga Rampai Kebjakan Hukum Pidana, Citra
Aditya, Bandung.
_________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya, Bandung.
_________, 2007, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan PDIH, Undip, Bandung .
Bambang Poernomo, 1984 Orientasi
Hukum Acara Pidana, Amarta Buku
Yogyakarta.
________,1993, Pola Dasar Teori Asas Umum Acara Pidana dan
Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.
Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum, Radja Grafindo
Persada, Jakarta.
_________, 2001, et.al, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Mandar Maju, Bandung.
Bambang Sutiyoso, 2009, Metode Penemuan Hukum, UII Presss,
Yogyakarta.
Bawengan, 1989, Penyidikan Perkara Pidana dalam Teknik Interogasi
Pradnya Paramita, Jakarta.
Bernard Arif Sidharta, 1996, Refleksi
tentang Pondasi dan Sifat Keilmuan,
Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum National
Indonesia, Unpad, Bandung.
Bertens, 1997, Etika Seri Filsafat, Atmajaya, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Bruggink, J.JH, 1999, Refleksi tentang
Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta,
Citra Aditya, Bandung.
Buckley, 1968, Sociology and Modem
System Theory. Eglewood Chiff, M.J.
Prentice Hall.
Budiman Tanurejo, 1995, Lingah Pancah Berjuang Menggapai

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 249


Keadilan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta .
Budiono Kusumahadimidjoyo, 1999, Ketertiban yang Adil
Problematik Filsa fat Hukum, Grassindo, Jakarta.
Chaeruddin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam
Perspektif Viktimoloig dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press,
Jakarta.
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana tanpa Kesalahan Menuju
kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan
Prenada Media, Jakarta.
Charles Samford, 1989, The Disorder of Law . A Critical Of Legal
Theory, Basic Blackell, Oxford, London.
Daniel S, Lev, 1973, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan
dan Perubahan, LP3ES, Jakarta.
Didik M. Arif Mansyur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan, Rajawali Press, Jakarta.
Dicey, A.V, 2008, Introduction to the Study of the Law of the
Constitution, Diterjemahkan Nurhadi, Nusa Media, Bandung.
Djoko Prakoso, 1986, Kedudukan Justisiabel di Dalam KUHAP,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Edward L. Kimball, 1983, Crime: Defenition of Crime, dalam Charles
Samford (ed), Encyclopedia of Crime and Justice (New York
: The Free press A Devision of Macmillon Inc, Vol. 1).
Edwards, G, 1976, Due Process of Law in Criminals Cases, Journal of
Criminal Law, Criminology and Police Science, Vol. 57.
Emilia, 2009, Perdagangan Perempuan dan Anak Dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia, Jurnal Perempuan, Jakarta.
Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rengkong Education,
Yogyakarta.
Frans Hendra Winata, 2000, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi
Manusia Bukan Belas Kasihan, Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Fernando Mamullang 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan,
Kompas, jakarta.
Forum Keadilan, 1999, Juni, Jakarta.

250 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Hart, H.L.A, 1971, The concept of Law, Oxport University, New
york.
Hans Kelsen, 2008, Dasar-Dasar Hukum Normatif diterjemahkan
oleh Nurulita Yusron, Nusamedia, Jakarta.
_________, 2008, Dasar-Dasar, Hukum Normatif diterjemahkan
oleh Nurulita Yusran, Nusa Media, Bandung .
Harvey Brenner, M., 1986, Pengaruh Ekonomi thadap Penlaku Jahat
dan Penyelenggara Peradilan Pidana, CV. Rajawali Jakarta .
Hazel B Kerper, 1979, Introduction to the Criminal Justice System.
Publishing Company.
Herbert L. Packer, 1978, The Limits of Criminal Sanction, Stanford
California, Stanford University Press.
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam, Sistim Peradilan
Pidana di Indonesia, LaksBang PRESSind0, Yogyakarta.
Hyman Gross, 1979, A Theory of Criminal Justice, New York,
Oxford University.
_________,2009, Law, Liberty and Morality, diterjernahan oleh Ani
Mualifatul Maisah, Genta Publisihing, Yogyakarta.
Jerome H. Scholnick, 1977, Crime and Justice, University California.
Jimmy Assidiqie, 2000, Penegakan Hukum di Indonesia, Mappi,
Jakarta.

John Brion, 1995, Chaos of Theory of Law, The Free Press, New
Jersey.
John Griffith, 1970, Ideologi in Criminal Procedure or A Third Model
of the Criminal Processs, Yale Journal, vol. 79.
_________, 1980 Ideology in Criminal Procedure A Third Model of
The Criminal Process, Yale Law Journal, Vol. 73, No. 2.
John Jasin, 2010, Tanggung Jawab Pemerintah Daerah terhadap
Perlindungan Hukum Hak Anak dalam Memperoleh Pendidikan
Disertasi, Unhas, Makassar.
John Rawls, 1971, A Theory Of Justice Harvard
University, Press, Cambridge.
Kaligis, O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka,

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 251


Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung.
Kanter. EY dan Sianturi. S.R, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM. PTHM, Jakarta.
Kelmen, H.C, 1996, Complience, Identification and Internalization,
Three Processes of Attidue Change, Prosanky, H and Seidberg,
B (Ed) Basic Studies in Social Psychology. Hold Rhinehard &
Winston, New York.
Kristi E. Poerlawandari, 2000, Kekuasaan Terhadap Perempuan,
Tinjauan Psikologi, Alumni, Bandung.
Kuffal, H.M.A, 2002, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum,
UMM, Malang.
Laica Marzuki, 1995, Siri’ Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis
- Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Hasanuddin
University Press, Ujung Pandang.
Lamintang, 1984, KUHAP dengan Pembahasan secara Yuridis
menuruf Jurisprudensi dan ilmu Pengetahuan Hukum Pidana,
Sinar Baru, Bandung.
Lawrence M Friedman, 1975, The Legal
System: A Social Perspecive, New
York: Russell Sage Foundation .
La Patra. J. W, 1978, Analyzing the Criminal Justice System,
Lexington Books, Toronto.
Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara pidana
(Penyelidikan dan Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta .
Lilik Mulyadi, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana , Kniminologi dan
Viktimologi, Djambatan, Jakarta .
Lilik Mullyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif,
Teoritis dan Prakfif. Alumni, Bandung.
Livingstone Hall, 1996, Hak Tertuduh dalam Perkara Pidana Ceramah-
Ceramah tentang Hukum Amerika Serikat, Ceramah Radio oleh
Profesor-Profesor, Harvard Law School, oleh Harold J.
Berman, diterjemahkan OIeh Gregory Churchil JD, Tata
Nusa Jakarta.
Lois G. Forer, 1980. Criminal and Victim : A Trial Judge Reflects on
Crime and Punishment, New York : W.W. Norton & Company.

252 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Lon Fuller, 1996, Sistim Perlawanan Ceramah Hukum Amerika Serikat,
Ceramah oleh Professor-Profeeor Harvard Law School, Disusun
oleh Harold J. Bermen, Diterjemahkan oleh Aregory, JD.
Tata Nusa, Jakarta.
Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif,
Antonylitu, Yogyakarta.

Maidin Gultom, 1997, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistim


Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Buku Kelima,
Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia.
2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistim Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta.
Majda EL. Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM, Rajawali Press,
Jakarta.
Mardjono Reksodiputro, 1987, Hak-Hak Tersangka Dan Terdakwa
Dalam KUHAP Sebagai Bagian Dari Hak-Hak Warga Negara
(Civil Right), Lembaga Kriminologi, Universitas indonesia.
_________, 1993,Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana,
Armico, Bandung.
_________, 1994, Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana,
Kumpulan Karangan Ketiga, Lembaga Kriminologi,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Marwanto Heru Santoso, 1998 Polisi dalam Era Reformasi, T.P,
Jakarta.
Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga
Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum,
Alumni, Bandung.
Milono, 2004, ImpIementasi Due Process of Law dalam Sistim
Peradilan Pidana Indonesia, UI, Jakarta.
Moeljatno, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta.
Moh. Hatta, 2008, Sistim Peradilan Pidana Terpadu Galang Press
Yogyakarta .
Moh. Mahfud, MD, 1998 Poiltik Hukum di Indonesia, LP3ES,
Jakarta.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 253


Muchsan, 1997, Sistim Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat
Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta .
Muchsin, 2010, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka (Independence
Judiciary), Untag Press, Surabaya.
Muh. Guntur, 2001, Pengaturan Hukum di Bidang Tata Niaga
Produk Pertanian Berdasarkan Ketentuan Pasal 33 UUD 1945,
Disertasi, UNAIR, Surabaya.
Muh. Yamin, 1971, Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid 1, Siguntang,
Jakarta.
Muladi, 1992, Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
_________, 1995, Kapita Selekta Sistim Peradilan Pidana, Undip,
Semarang .
_________, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistim Peradjian
Pidana, Undip, Semarang.
_________, 2002, Kapita Selekta Sistim Peradilan Pidana, Undip,
Semarang.
_________, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana
Umum dan Pidana Khusus, Liberty, Yogyakarta.
Mulyana W, Kusumah, 1981, Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia,
Studi Pemahaman Kritis, Alumni, Bandung.
Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian
Hukum, .UMM, Malang .
Musa Perdana Kusumah, 1987, Caraka Adyaksa,Tinjauan Filosofis
mengenai Masalah Kebenaran dan Keadilan dalam Hukum,
Yayasan Tridaya, Jakarta .
Muzakkir, 2001, Kedudukan Korban Kejahatan dalam Sistim Peradilan
Pidana, Ull, Yogyakarta.
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran Ke Arah
Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya, Bandung.
Oemar Seno Adji, 1981, Hukum (Acara) Pidana Prospeksi Erlangga,
Surabaya.
Padmo Wahyono, 1982, Indonesia Negara berdasarkan Atas Hukurn,
GhaIia Indonesia, Jakarta.

254 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Pamungkas, E.A, Peradilan Sesat Membongkar Kesesatan Hukum di
indonesia, NAVILA, idea, Yogyakarta.
Paulus E. Lotulung, 1993, Beberapa Sistim tentang Kontrol Segi
Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya, Bandung.
Paul Siegart, 1986, The Lawful Rights of Mankind, An Introduction to
the International Legal Code of Human Right, Oxford University
Press, New York .
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media
Group, Jakarta.
Peters, A.G.G, 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks
Sosiologi Hukum, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Pranarka A.M.W, 199, Tinjauan Kritikal Tethadap Upaya Membangun
Sistim Pendidikan Kita, Grassindo, Jakarta.
Philippe Nonet & Philip Solnick, 1978, Law and Society in Transation,
Toward Responsive Law, Harper and Row, New York.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di
Indonesia, Gina ilmu, Surabaya.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi
Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Pontang Moerad, 2005, Pembentukan Hukum melalui Putusan
Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung.
Puri Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi
Polri, Laksbang Mediatama, Surabaya.
Purwatiningsih 2000, Polisi dan Permasalahan ke depan,
Pembaharuan, Jakarta.
Ralph de Sola, 1988, Crime Dictionary, New York : Facts on File
Publicatim.
Randy E. Barnett, 1977, Assesing The Criminal Restitution and Legal
Process, Cambridge, Bellinger Publishing.
Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kejahatan Graha UIN, Yogyakarta.
Ridwan, H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo,
Jakarta.
Riyanti, 1998, Masalah Kejiwaan dalam Berbagai Profesi, Sinar

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 255


Grafika Jakarta.
Robert M. Linger, 1986, The Critical Legal Studies, Movement,
Harvard Law Review.
_________, 2007,TeoriHukumKritisditerjemahkanolehDariyatnodan
Derta Sri Widomatic, Nusa Media, Jakarta.
Robert Reif, 1979, The Invicible Victim, New York : Basic Books,
Inc. Publishers.
Roeslan Saleh, 1978, Suatu Orientasi dalam Hukum Acara Pidana,
Buta Aksara, Jakarta.
_________, 1983, Hukum Pidana sebagal Konfrontasi Manusia
dan Manusia Ghalia Indonesia, Jakarta.
_________, 1984, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
_________, 1988, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana,
Sinar Grafika, Jakarta.
Romli Atmasasmita t.t, Masalah Santunan Korban Kejahatan,
BPHN, Jakarta.
_________, 1983 Bunga Rampai Hukum Acara Pidana Bina Cipta,
Bandung.
_________, 1996, Sistim Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme Bina Cipta, Bandung.
Romly Hutabarat, 1985, Persamaan di Muka Hukum (Equality Before
the Law) di Indonesia Ghalia Indonesia .
Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia,
Rajawali Press, Jakarta.
Rusli Effendy, 1986, Azas-Azas Hukum Pidana, Leppen UMI,
Makassar.
Ruti G. Teitel, 2006, Keadilan Transionai Sebuah Tinjauan
Komprehensif diterjemahkan oleh Eddie Riyadi Terre, Elsam,
Jakarta.
Safroedin Bahar, 2002, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Sabiah Ustman, 2008, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.

256 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Safri Abdullah, 2008, Mahkamah Dari Keadilan Normatif Menuju
Keadilan Substantif Pustaka Refleksi, Makassar .
Sadjijono,2005, Fungsi Kepoilsian Dalam Pelaksanaan Good
Governance, LaksBang, Jakarta.
Sahetapy, 1987, Beberapa Catatan Umum tentang Masalah Korban
Kejahatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
_________, 1993, Bantuan Hukum dan Penyantunan Terpidana,
UI, Jakarta.
_________, 1994, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung.
_________, 1994, Pisau Analisis Kriminologi, Armico, Bandung.
_________, 1998, letter de Cachet, dalam Jurnal Hukum Pidana
dan Kriminologi, Vol. I No. 1, Unair, Surabaya.
_________, 1999, Kemandirian Yudisial, Pascasarjana, Unair,
Surabaya.
Samuel Walkers, 1984, Sense and Nonsense About Crime: A Policy
Guide, California : Books / Cole Publishing Company.
Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat Angkasa,
Bandung.
_________, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bakti, Bandung.
_________, 1992, Kajian Perlyakit Kambuhan Kedaulatan
Rakyat, Jakarta.
_________, 2000, Mengajarkan Keteraturan, Menemukan
Ketidakteraturan Undip, Semarang.
_________, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
_________, 2008, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas,
Yogyakarta.
_________, 2009, Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis,
Genta Publishing, Yogyakarta.
_________, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan
Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta.
_________, 2009, Hukum Progresif, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Schuyt, C.J.M, 1971, Rechtsociologi, EEN Terreinverkening

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 257


University Press, Rotterdam .
Setsuo Miyazawa, 1983, Law and Society Review, The Journal of
The Law and Society Association, Vol. 17 No. 12.
Sholehuddin, 2002, Sistim Sanksi Dalam Hukum Pidana, Rajawali
Press, Jakarta.
Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistim Peradilan Pidana, UMM,
Malang.
Soelidarmi, 2002, Kumpulan Putusan KontroversiaI Dari Hakim/
MajeIis Hakim Kontroversial, Ull Press, Yogyakarta.
Soeharto 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban,
Tindak Pidana Terorisme, Aditama, Jakarta.
Soejono Dirdjosiswaro 1984, Filsafat Peradilan Pidana dan
Perbandingan Hukum, Armico, Bandung.
Soepomo, 1984, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramitha,
Jakarta.
Soerjono Soekamto, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penegaka Hukum, Radja Grafindo Persada Jakarta.
_________, 1983, Beberapa Permasalahan dalam Kerangka
Pembangunan Hukum di Indonesia, UI Press, Jakarta .
_________, 1985, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hukum di
Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
_________, 1993, Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum
Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Soetandyo Wignyosoebroto 1984, Perkembangan Pemikiran Hukum
di Indonesia Makalah disampaikan pada Simposium Studi
Hukum dan Masyarakat Semarang.
_________, 2002,HukumParadigmaMetodedanDinamikaMasalahnya
Lembaga Studi dan Demokrasi, Masyarakat, Elsam, Jakarta.
Stanilaus Atalim, 1994, Era Hukum, Jurnal llmiah Ilmu Hukum
No.2 Universitas Tarumanegara .
_________, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya, Jakarta.
Stephen Schater, 1968, The Victim and His Criminal: A Study in
Functional Responsibility, New York, Random House.

258 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


Stuart Humpshire, 1983, Liberalism (The New York Twist), New
York Review of Books.
Sudibyo Triatmojo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Alumni,
Bandung.
Sudikno Mertokusumo 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty, Yogyakarta.
Suharsini Arikunto, 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik, Rineka Cipta, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo 1986, Mengenal Hukum, Liberty,
Yogyakarta.
_________, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya, Jakarta.
Sumarno, P.J, 1999, Tata Negara Baru, Sistim Pemerintahan yang
Demokratis dan Konstitusional Kanisius Yogyakarta.
Sunaryati Hartono, 1976 Peranan Kesadaran Hukum Masyarakaf
Dalam Pembaharuan Hukum, Binacipta, Jakarta.
Sunaryati Hartono, CFG, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia, pada
Akhir Abad ke - 20, Alumni, Bandung.
Syarif Muh, 2002, Prinsip Keadian dalam Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial di Indonesia Disertasi Unair, Surabaya.
Tatsuya Ota, 1991, Acara Peradilan Pidana di Jepang dan Sistim
“Kiso-yuuyo “ sebagai Diversion, Makalah pada Fakultas
hukum UI, Jakarta.
Taufik, M dan Moegono, 2007, Moralitas Penegak Hukum Dan
Advokaf ‘Profesi Sampah’,JP.Books, Jakarta.
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah
Kanisius, Yogyakarta.
Theo van Boven, 2002, Mereka yang Menjadi Korban, ELSAM,
Jakarta.
The Liang Gie, 1979, Teori-Teori Keadilan : Sumbangan Bahan untuk
Pemahaman Pancasila, Super, Yogyakarta.
Tobias Mare Weber, 1981, Pre Trial Criminal Procedure a Survey of
Constitutional Rights, Thomas Publisher Illosionis.
Utrecht tt. Hukum Pidana 1, Pustaka Tirta Mas, Surabaya.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 259


_________, 1974, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar,
Djakarta.
Van Apeldorn 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Van Den Burg, 1985, Rechtsbescheming tegen de Ovetheid, Neimegen.
Van den Heuvel, 1991, Corporate Crimes From an International
Perspective Makalah, Undip, Semarang.
Varia Peradilan 1995, No. 120, Jakarta.
Wendy Brown Scott, 2003, Oliver Wendell Holmes on Equality and
Addarand, Howard Law Journal.
Weston, Paul B & Kenneth, 1972, Law Entercement and Criminal
Justice Goodyear Publishing, California.
William F Mc. Donald, 1976, Criminal Justice and The Victim an
Introduction, London : Sage Publishing.
Wirjono Prodjodikoro, 1990, Hukum Acara Pidana di Indonesia,
Bale, Bandung.
Yahya Harahap, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta.
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana,
Grasindo Jakarta .
Yash Ghai, 1989, The Rule of law and Human right in Malaysia
and Singapore, A Report of Conference Hold at the European
Purchiament, Brusses 9-10 March.
Yudi Kristiana, 2009, Menuju Kejaksaan Progresif ,Studi tentang
Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana LSHP,
Yogyakarta.
Zaharia Idris, 1992, Pengantar Pendidikan, Jilid 2, Gramedia
Widiasana Jakarta.

260 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


BIODATA PENULIS

Prof. Dr. Syukri Akub, S.H., M. H. adalah


Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum
Acara Pidana Fakultas Hukum Unhas, lahir di
Soppeng 24 November 1953. Menyelesaikan
S1 Fakultas Hukum Unhas pada tahun 1978,
Magister (S2) Hukum Unhas pada Tahun
1998, dan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum
Unhas pada tahun 2006. Sebagai Dosen tetap
Fakultas Hukum Unhas tahun 1979-sekarang, Dosen Pascasarjana
Unhas tahun 2000 – sekarang, Sekretaris Jurusan Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unhas tahun 1989, Ketua Jurusan Hukum
Acara Fakultas Hukum Unhas tahun 1995-1999, Ketua Prodi S1
Non Reguler Fakultas Hukum Unhas tahun 2002, Wakil Dekan
I Fakultas Hukum Unhas tahun 2002-2003, Ketua Divisi SDM,
UPT- Unit Pengawasan Internal Unhas tahun 2007-2010, dan
menjabat Ketua bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Unhas
2010 - sekarang. Penulis aktif menjadi narasumber/pemakalah di
berbagai kegiatan ilmiah. Penulis mengajar mata kuliah Hukum
Pidana, Delik-delik di Luar Kodifikasi, Hukum Acara Pidana dan
Praktik Peradilan Pidana

Dr. Baharuddin Baharu, S.H., M.H., Lahir di


Makassar pada 3 Juli 1962. Meneyelesaikan
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum UMI
Makassar Tahun 1988, Magister Ilmu
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
Tahun 2002, dan Doktor ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Makasssar 2011. Sebagai Advokat sejak
tahun 1990 – sekarang, dan Dosen dosen Fakultas Hukum

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 261


Universitas Muslim Indonesia Tahun 1990- sekarang. Dan
menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Dasar Universitas
Muslim Indonesia Tahun 2010-sekarang.

262 Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana


BIODATA EDITOR

Dr. Amir Ilyas, S.H.,M.H., lahir di


Pangkajene, Sulawesi-selatan pada 10
Juli 1980. Lulus di Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin (UNHAS) pada
tahun 2005. Magister Hukum diperoleh
dari Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Airlangga (UNAIR)
pada tahun 2009. Gelar Doktor diperoleh di
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) pada tahun
2013. Semasa kuliah menjabat Ketua Majelis Tinggi Mahasiswa
(MTM) FH UNHAS tahun 2004/2005 dan Asesjen Ikatan Senat
Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI) tahun 2003/2004. Sejak
tahun 2006 menjabat sebagai Dosen di Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum UNHAS. Mengajar matakuliah antara lain
Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Pidana Lanjutan,
Hukum Kesehatan, Tindak Pidana Korporasi, Praktik Peradilan
Pidana, Sistem Peradilan Pidana, Kriminologi dan Kriminologi
Kontemporer. Saat ini diberi kepercayaan sebagai Kepala
Sekretariat Dekanat FH-Unhas Tahun 2010-Sekarang, Bagian
Hukum Rumah Sakit Universitas Hasanuddin 2010-Sekarang,
Ombudsman Kota Makassar sebagai Asisten Komisioner Tahun
2010 dan Staf Ahli DPRD Kota Makassar Tahun 2010, saat ini
menjabat sebagai Ketua Panwaslu Kota Makassar 2012-2013.

M. Syukri Akub & Baharudin Baharu 263

Anda mungkin juga menyukai