Anda di halaman 1dari 12

Penerapan Konsep Edu-Ekowisata Sebagai Media Pendidikan Karakter Berbasis

Lingkungan Hidup

1. Aliet Noorhayati Sutisno


aliet,noorhayati@umc.ac.id
2. Arief Hidayat Afendi
Arief.hidayat@umc.ac.id
3. Halim Purnomo
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
Kampus I JL. Tuparev NO. 70 Cirebon Telp. 0231-204276 FAX. 0231-209608 Email. informatika@umc.ac.id

ABSTRAK

Lokasi wisata Gronggong desa Patapan Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon merupakan kawasan
dengan potensi wisata cukup tinggi. Diminati sejak tahun 90an Lokasi gronggong selalu menjadi
alternatif bagi pengunjung yang hendak berhibur sebatas melepas lelah dari aktifitas kerja sepekan.
Hanya dengan menikmati indahnya pemandangan malam kota Cirebon serta jagung bakar di
pinggiran jalan tepat dipuncak tikungan jalan perbukitan Gronggong. Sangat sederhana, namun jelas
di sana para pengunjung mendapatkan hiburan.

Konsep Edu-ekowisata merupakan bentuk pendidikan berbasis wisata. Melalui penelitian kualitatif
yaitu penelitian yang mengkaji perspektif partisipan dengan strategi-strategi yang bersifat interaktif
dan fleksibelity. Sehingga analisis deskripsi mampu melihat bahwa pengembangan pola edu-
ekowisata di kawasan Gronggong dalam pendidikan karakter berbasis lingkungan diyakini memiliki
peran yang sangat strategis dalam meningkatkan taraf pendidikan warga, membantu membuka
cakrawala warga terkait filsafat alam, filsafat budaya. Melalui alternatif wisata pendidikan lingkungan
hidup di kawasan ini niscaya mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan. Pola edu-ekowisata
disini memunculkan hiburan berbasis pendidikan. Aktifitas yang meng-explore antara perasaan
senang peserta didik dengan daya kritis dan rasa tanggung jawab peserta didik. Belajar sambil
berwisata, perlu kiranya kita wujudkan bersama. Semata-mata usaha mensinergiskan antara
pendidikan lingkungan hidup dan pariwisata dalam hal ini.

Kata Kunci: Wisata Gronggong, pola Edu-ekowisata, pendidikan karakter, pembangunan berkelanjutan.

The Implementation of Edu-Ecotourism Concept


as Educatonal Media Character Based-Environment

ABSTRACT
Location of Gronggong Patapan village, Beber district Cirebon Regency is an area with high
potential tourism. Since the 90s, location of Gronggong has always been an alternative for visitors
who want to entertain unlimited refreshing from the work week by week by enjoying the beautiful
night scene of Cirebon city and roasted corn on the edge of the road right bend of the Gronggong
Hills. It is very simple, obviously the visitors get such wonderful and natural education environment
for entertainment.
Edu-ecotourism concept ia a form of tourism-base education. Through qualitative research, the
study is examined participants perspective with an interactive and flexible strategi. Description
analysis is able to see that the development of edu-ecotourism pattern in Gronggong area is
environment-base character education, it is believed to have the role of caracter of education in
improving the citizens it helps to open the knowladge natural philosophy, cultural philosophy.
Trhough an alternative environment education visit in the region undobtedly reduce public pressure
on forests. This concept finding the pettern tourism-base education. The Activities exploring fun
aspect, critical power and sanse of responsibility learners.We have to realized the studying while on
a tour. A step of Sinergization the environmental education and tourism essentialy.

Keywords: Gronggong tourism, Edu-ecotourism pattern, Character education, environmrntal


education.

PENDAHULUAN

Kebijakan pembangunan pariwisata yang dikaitkan dengan upaya pengelolaan


lingkungan hidup, hakikatnya merupakan peluang bagi hadirnya ruang edukasi sebagai media
pendidikan karakter berbasis lingkungan hidup, dimana disitulah penerapan literasi budaya
mencintai lingkungan, pertama dikenalkan. Salah satu kegiatan wisata yang banyak
dibicarakan akhir-akhir ini, bahkan telah menjadi isu global yaitu pengembangan ekowisata
(ecotourism) sebagai kegiatan wisata alam yang berdampak memberi ruang pendidikan
terhadap lingkungan. Mensarikan pendapat Hadi (2007) tentang prinsip ekowisata adalah
meminimalisir dampak, menumbuhkan kesadaran lingkungan dan budaya, memberikan
pengalaman positif pada turis (visitors) maupun penerima (host), memberikan manfaat dan
pemberdayaan masyarakat lokal. Yang demikian itu tidak lain merupakan sarana membangun
informasi yang benar terhadap alam serta lingkungan sekitar, yang pada hakikatnya telah
termaktub dalam surat keputusan bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri
Pendidikan Nasional No. Kep.07/MenLH/06/2005 dan No. 05/VI/KB/2005 tentang
pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup.
Merujuk kepada keputusan bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri
Pendidikan Nasional No. Kep.07/MenLH/06/2005 dan No. 05/VI/KB/2005 tentang
pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup, maka sebagaimana Berlia
menjelaskan hasil risetnya bahwa pengintegrasian pendidikan lingkungan hidup dapat
melalui pendekatan transdisipliner (Barlia, 2008: 82). Sehingga wisata dengan penanaman
fondasi pendidikan lingkunagn tersebut sesuai dengan apa yang pemerintah cita-citakan
berdasakan keputusan yang mereka cita-citakan. Dengan demikian pendidikan karakter
berbasis lingkungan hidup mendapat dukungan kuat dalam hal ini. Karena bagaimapun tujuan
pendidikan lingkungan hidup sedini mungkin bukan sekedar mengenalkan anak-anak
terhadap permasalahn lingkungan, akan tetapi lebih kepada menanamkan cara pandang serta
sikap yang benar terhadap alam. Sehingga diharapkan mereka memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap lingkungan (Keraf 2014). Dengan demikian jelaslah bahwa edu-ekowisata
dalam era pembangunan berwawasan lingkungan merupakan suatu misi pengembangan
wisata alternatif.
Damanik dan Weber (2006) menyatakan bahwa, ide dasar pembangunan
berkelanjutan adalah kelestarian sumber daya alam dan manusia. Yakni Pembangunan yang
dilakukan harus merupakan pembangunan yang selaras dengan cita-cita pendidikan. Ide
kemudian diturunkan ke dalam konsep pariwisata berkelanjutan. Artinya adalah
pembangunan sumber daya (atraksi, aksesibilitas, amenitas) pariwisata, di samping bertujuan
memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan dan nilai kepuasan optimal
bagi wisatawan dalam jangka panjang, juga bertujuan menghadirkan ruang edukasi untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat seutuhnya.
Edu-ekowisata pada prinsipnya bukan hanya menjual destinasi alam, tetapi menjual
ilmu pengetahuan dan filsafat lokal, atau filsafat ekosistem dan sosiosistem. Hutan wilayah
Gronggong kabupaten Cirebon telah menurun kualitasnya. Untuk mengurangi tekanan
masyarakat terhadap hutan, maka masyarakat sekitar hutan perlu diberdayakan dalam
kegiatan wisata. Dengan demikian masyarakat akan terserap dalam kegiatan edu-ekowisata,
sehingga secara tidak langsung kerusakan hutan lebih lanjut dapat dihindari.
Sementara ini pengelolaan kawasan Gronggong masih minim. Hal ini
mengakibatkan koordinasi antar sektor atau lintas sektor kurang efektif. Pola pemanfaatan
sumberdaya alam oleh masyarakat dan pemerintah belum sepenuhnya dapat mendukung
kelestarian Gronggong kabupaten Cirebon. Terjadinya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan
perkebunan untuk berbagai fasilitas pendukung kegiatan wisata memberikan kontribusi
terhadap terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran berbagai pihak terhadap lingkungan dan
isu-isu tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan telah memberikan kontribusi
terhadap pandangan pentingnya prinsip-prinsip wisata berkelanjutan. (hasil analisis Bappeda
Prov Jabar 2016). Prinsip wisata yang diharapakan dapat mempertahankan kualitas
lingkungan, mempertahankan budaya, meningkatkan kualitas pendidikan, memberdayakan
masyarakat lokal, dan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal, kawasan dan
pemerintah. Berkenaan hal ini diperlukan adanya upaya pengelolaan wisata yang dapat
mendukung kelestarian lingkungan melalui penerapan pola edu-ekowisata sebagai media
pendidikan karakter berbasis lingkungan hidup .
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas telah diketahui terjadinya
permasalahan dalam pengembangan lingkungan, sehingga belum ditemukannya pola
ekowisata yang efektif sebagai ruang edukasi pendidikan karakter, sehingga terkait hal
tersebut dapat diinventarisir beberapa permasalahn sebagai berikut:
Bagaimana pola edu-ekowisata sebagai media pendidikan karakter berbasis lingkungan?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan inventarisasi permasalahan dalam bentuk pernyataan
penelitian yang telah dikemukakan. Tujuan penelitian ini adalah: Menemukan pola edu-
ekowisata yang akan dikembangkan sebagai media pendidikan karakter berbasis lingkungan
sekaligus usaha mensinergiskan antara pendidikan lingkungan hidup dan pariwisata dalam hal ini
sdan langkah dalam strategi implemantasi pembangunan berkelanjutan.
Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini secara teoritis dapat digunakan sebagai dasar penerapan literatur
pembelajaran sekolah dasar khususnya tema lingkungan hidup.
b. Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menumbuhkembangkan partisipasi aktif
masyarakat lokal dari sektor pemerintah maupun sektor swasta sekalipun dalam
pengembangan wisata di wilayah kabupaten Cirebon. Disamping memprasarani ruang
edukasi, bagi siswa sekolah dasar sebagai media pendidikan karakter berbasis
lingkungan hidup melalui konsep wisata.
Kajian Teori
Edu-ekowisata merupakan pengembangan dari ekowisata. Dimana ekowisata
pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Sociaty pada tahun 1990, yakni suatu
bentuk pariwisata yang bertanggung jawab dengan memperhatikan konservasi lingkungan,
melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat (Chafid Fandeli, 2000:5).
Ekowisata sendiri pada dasarnyaharus dapat menjamin kelestarian lingkungan
dengan maksud hampir sama dengan konservasi, yakni: menjaga tetap berlangsungnya proses
ekologis yang tetap mendukung kehidupan, melindungi keanekaragaman hayati serta
menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya (Chafid Fandeli, 2000).
Adapun edu-ekowisata sendiri pada hakikatnya ada pada faktor dimana intensitas pengenalan
dan pembelajaran budaya sejak dini mulai terjadi.
Apa yang dimaksud dengan ecotourism dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
menjadi “ekowisata” yaitu pariwisata yang berwawasan lingkungan. Maksudnya melalui
aktivitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari kedekatan,
menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai
alam. Sebagaimana Nandi dalam penelitiannya (2013: 4) menyimpulkan bahwa berada di
dekat alam, menyadarkan kita akan kebesaran Tuhan sang pencipta alam semesta, meyakini
bahwa tidak ada sekalipun makhluk yang dapat menyerupai dan menciptakan sesuatu seperti
yang tuhan ciptakan.
Pada dasarnya ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan
kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan
budaya, adat istiadat, kebiasaan hidup (the way of life), menciptakan ketenangan, kesunyian,
memelihara flora dan fauna, menumbuhkan spiritualitas serta terpeliharanya lingkungan
hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam sekitarnya.
Ecotourism adalah pariwisata yang berwawasan lingkungan dan pengembangannya selalu
memperhatikan nilai-nilai.
Pendekatan Pengembangan Ekowisata
Wasidi, Amran Achmad, Dan M. Hatta Jamil dalam penelitian Strategi
Pengembangan Ekowisata Karst Pada Objek Wisata Karst (2013: 7) menegaskan bahwa
ekowisata yang dikembangkan saat ini antara lain : 1) Aspek Konservasi; 2) Aspek
Pendidikan; 3) Aspek Ekonomi.Pertumbuhan wisata alam yang dilakukan bersamaan dengan
usaha peningkatan mutu pendidikan secara psikografis dan demografis. Sekaligus
menciptakan kelompok pasar dengan penghasilan yang tinggi dan harapan yang berbeda
dalam melakukan perjalanan wisata. Kondisi ini menyebabkan paket-paket wisata
konvensional mulai ditinggalkan dan makin besarnya permintaan perjalanan wisata jenis baru
yang lebih berkualitas dan mengandalkan lingkungan sebagai obyek dan daya tarik wisata
yang dikunjungi. Mereka memiliki pandangan yang berubah, terutama penghargaan akan
lingkungan dan perbedaan budaya. Pergeseran paradigma gaya hidup wisatawan dengan
demikian, tentunya akan sangat penting dicermati agar dalam pengembangan dan pembinaan
edu-ekowisata diberbagai kota dan kabupaten tidak hanya sekedar membuat kebijakan
pengembangan ekowisata, akan tetapi memiliki pendekatan dalam perencanaan yang holistis
dengan menerapkan berbagai lintas sektoral, memunculkan keseimbangan hubungan mikro
(manusia) dan makro (alam) untuk mencegah ketidakadilan, kesalahan dan perusakan
terhadap alam dan budaya. Pendekatan yang berkesinambungan tersebut, mengingatkan
kepada para pelaku yang terkait alam dalam pengembangan ekowisata untuk senantiasa
mengendalikan diri (self control), mempertimbangkan manfaat sebesar-besarnya dalam
melestarikan alam dan lingkungannya serta keseimbangan budaya yang pada gilirannya
secara menyeluruh.
Konsep Pengembangan Ekowisata
Menurut hasil penelitian Siti Nuriska Sulistiani, dkk (2011: 1). Dalam
pengembangan ekowisata, ada dua strategi yang bisa diterapkan. Pertama, merancang
berbagai produk wisata; kedua mengembangkan kemampuan, keterampilan, dan kompetensi
masyarakat sekitar.
Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai lingkungan merupakan salah satu
kunci pengembangan ekowisata, sehingga jelas bahwa hal ini akan memberikan implikasi
munculnya berbagai tuntutan di semua sektor pembangunan. Tuntutan-tuntutan tersebut telah
dan akan mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru, cara cara pendekatan baru dalam berbagai
kegiatan baik bisnis pariwisata secara langsung yang dilakukan dunia usaha pariwisata dan
usaha-usaha masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan mereka maupun
mendorong peran aktif institusi pemerintah terkait. Kondisi tersebut makin meyakinkan
bahwa lingkungan bukan lagi beban, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai sarana meningkatkan
usaha-usaha ekonomi sekaligus sarana terintegrasinya hampir semua institusi formal. Dalam
maksud lain, lingkungan mempunyai peran penting dalam usaha mendorong semua lapisan
masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai ruang pembangunan dalam bidang pendidikan
masyarakat, bisnis, sehingga diharapkan dapat mendorong semua pihak untuk dapat
menyelesaikan masalah-masalah dan mampu mendorong keikutsertaan semua unsur secara
bersama-sama menanggulangi masalah lingkungan secara bersama-sama.
Dewasa ini sebagaimana penelitian Tri Rikziana Y dan Endah S tahun 2016 bahwa
perkembangan pesat ekowisata tidak disertai dengan usaha pengendalian terhadap
perkembangannya sehingga banyak sekali kerusakan alam yang disebabkan oleh kegiatan
wisata. Melalui usaha evaluasi pengelolaan ekowisata di lokasi wisata Tangkahan, Taman
Nasional Gunung Leuser Sumatra Utara, maka dikembangkanlah konsep Edu-Ekowisata di
Pantai Baros Bantul oleh Dedi Wijayanti, Soeparno, dan Denik Wirawati tahun 2016. Di
sana konsep edu-ekowisata terhenti hanya sebatas kampanye konservasi alam melalui
penanaman mangrove di Pantai Baros Kabupaten BantulYogyakarta, belum sampai pada
memunculkan pola/disain seperti apa yang ditawarkan pada wisata alam berbasis pendidikan
karakter lingkungan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang mengkaji perspektif
partisipan dengan strategi-strategi yang bersifat interaktif dan fleksibel. Penelitian kualitatif
ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut pandang partisipan.
Dengan demikian arti atau pengertian penelitian kualitatif tersebut adalah penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah dimana peneliti merupakan instrumen
kunci (Sugiyono, 2013).
Proses Pengumpulan Data dan Analisis Informasi
Data Persepsi Masyarakat
Data dikumpulkan secara langsung di lokasi penelitian melalui wawancara secara
terstruktur dengan responden (pedoman dengan kuisioner) dengan jumlah responden
sebanyak 10 orang. Metode pengambilan sampel/responden yang digunakan adalah purposive
sampling, yaitu metode pengambilan sampel tidak secara acak melainkan berdasarkan
pertimbangan tertentu atau sengaja. Pertimbangannya adalah bahwa sampel/responden
tersebut bersifat spesifik, sehingga penentuannya harus dilakukan secara sengaja (purposive).
Dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah responden (masyarakat) yang
memanfaatkan obyek wisata dan bersedia untuk diwawancarai. Data yang dikumpulkan
meliputi:
1. Data karakteristik responden (umur, pendidikan formal, pekerjaan)
2. Kegiatan Pemanfaatan Kawasan wisata oleh Masyarakat
3. Pemahaman atau persepsi masyarakat tentang ekowisata
4. Keterlibatan Masyarakat
Data Persepsi Pengunjung
Data dikumpulkan secara langsung di lokasi penelitian melalui wawancara secara
terstruktur dengan responden (pedoman dengan kuisioner) dengan jumlah responden
sebanyak 30 orang. Metode yang digunakan untuk pengambilan sampel/responden adalah
metode purposive sampling. Pertimbangan yang digunakan adalah responden (pengunjung)
yang berada di sekitar lokasi penelitian dan bersedia diwawancarai. Data yang dikumpulkan
meliputi:
1. Data karakter responden (umur, pendidikan, pendapatan, asal wisatawan)
2. Pemahaman atau persepsi wisatawan tentang ekowisata yang dikunjungi serta
sarana dan prasarana
3. Keinginan untuk berwisata
Pengambilan Data sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-
dokumen hasil studi/penelitian, peraturan perundang-undangan dan data pendukung lainnya.
Sumber data berasal dari Pemerintahan Daerah dari Dinas/Instansi terkait dengan penelitian,
yaitu : Kantor Wilayah/Dinas Perikanan Kehutanan dan Kelautan, Dinas Pariwisata Seni dan
Budaya, Kantor Kepala Desa, dan Perguruan Tinggi.
Analisis Data
Data yang didapat dari hasil wawancara, verifikasi, pengamatan lapang, studi
pustaka dan penyebaran kuesioner diolah dengan cara dianalisis dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif menurut Lexy moleong yaitu
pengambilan data ditempatkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Hal ini
berkemungkinan menjadi kunci terhadap objek yang sudah teliti (Sugiyono, 2013). Setelah
data terkumpul, penulis olah secara deskriptif analitis.

PEMBAHASAN
Pola Edu-Ekowisata Sebagai Media Pendidikan Karakter Berbasis Lingkungan Hidup

Konsep Edu-Ecowisata sebagai media pendidikan karakter lingkungan Hidup


merupakan bentuk pendidikan berbasis wisata. Edu Ekowisata bertujuan sebagai instrumen
pendidikan karakter berbasis lingkungan hidup sekaligus strategi implementasi pembangunan
berkelanjutan. Melalui aplikasi ruang pembelajaran yang enjoyment di alam terbuka. Hasil
riset terkait konsep edu-ekowisata sejauh ini terhenti hanya sebatas kampanye konservasi
alam melalui kegiatan penanaman mangrove d Pantai Baros Kabupaten Bantul Yogyakarta.
(Wijayanti, dkk: 2016). Belum sampai pada memunculkan pola/disain seperti apa yang akan
menjadi langkah strategi pengimplemantasian wisata berbasis pendidikan karakter
lingkungan.
Adapun hasil survey penelitian kami dari sumber didapat maka muncul pola edu-
ekowisata sebagai disain pendidikan karakter melalui wisata berbasis lingkungan hidup:

tempat
Lingkungan tempat ngobrol
produktif
membangun
komunitas

Lingkungan tempat
belajarelajar leraning cafe pengembangan
mandiri bakat

perpustakaan
alam
smalloffice trend setter
Gambar 7: Profil pengembangan pola edu-ekowisata

Pola edu-ekowisata sebagai media pendidikan karakter berbasis lingkungan kami ini
adalah kembangan dari temuan Harry Santosa tentang tahapan Fitrah base education (2015) .
Dimulai dari Lingkungan: Melalui aplikasi ruang pembelajaran yang enjoyment di alam
terbuka, sebuah objek wisata alam yang aman dan nyaman untuk belajar secara natural dan
terstruktur, hal inilah yang peneliti maksud dengan perpustakaan alam dilengkapi mentor
pemandu (dalam hal ini bisa dilakukan oleh seorang guru). Peserta didik atau wisatawan
umum dapat langsung memilih tema materi: manusia dengan materi, manusia dengan Udara,
manusia dengan air, manusia dengan tanah dan lahan, serta manusia dengan kependudukan.
Masing-masing tema materi menentukan arah lorong-lorang kepustakaan yang berbeda
(small office). Dalam perjalanan lorong materi ini peserta maupun wisatawan umum
mendapatkan informasi materi secara menarik, baik melalui media langsung, seperti: pohon-
pohon, sungai, bebatuan, satwa, atmosfeer. Media permainan seperti puzzel, motor bike,
papan cerita. Multi media seperti video, permainan karikatur, minicraf, papan petunjuk arah,
papan id di bebebrapa item alam, dan lain-lain. Akhir dari kegiatan perpustakaan alam ini
adalah ruang diskusi, dimana para pengunjung telah disediakan lerning cafe, dalam format
lesehan, surau/masjid panggung kayu, ruang meeting/kelas, dll (pilihan disesuaikan dengan
kapasitas pengunjung).Objek wisata ini dilengkapi pula oleh kantin karena akhir dari kegiatan
belajar di lorong kepustakaan ini adalah kongkow (nyemil santai di tempat ngobrol
produktif). Small office yang disediakan merupakan area uji coba lebih lanjut. Dimana
peserta didik ketika berada pada tempat ini mendapatkan akses untuk dapat belajar mandiri
menggali sumber informasi ilmu pengetahuansecara langsung. Melalui bantuan mentor
peserta didik distimulus dengan diskusi dan dilanjut exsplorasi (pencarian) objek belajar,
kemudian mengenal objek dengan mengamati karakteristik, mengenal permasalahan sampai
pada mencari solusi dari masing-masing permasalahan tiap objek. Proses ini membantu
peserta didik belajar secara terstruktur. Objek wisata alam dengan pola edu-ekowisata
merupakan tempat pengembangan bakat, dimana pendidikan lingkungan hidup sedini
mungkin bukan sekedar mengenalkan anak-anak terhadap permasalahn lingkungan, akan
tetapi lebih kepada mengembangkan bakat baik anak, melalui penanaman cara pandang serta
sikap yang benar terhadap alam. Sehingga diharapkan mereka memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap lingkungan (Dumouchel 2003). Alam dengan segala komponennya
merupakan media belajar paling menjanjikan dalam memperantarai aspek kognitif dengan
keterampilan proses anak. Maka sudah saatnya sistem pembelajaran hadir sebagai tempat
dimana penghargaan terhadap keunikan masing-masing peserta didik dimulai. Dengan begitu
maka lahirlah peserta didik sebagai penentu life style (trend setter) sebagai konsekuensi
logis dari program belajar yang mendorong peserta didik dalam skill proses.

SIMPULAN
Keputusan bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional
No. Kep.07/MenLH/06/2005 dan No. 05/VI/KB/2005 tentang pembinaan dan pengembangan
pendidikan lingkungan hidup, maka sebagaimana Berlia menjelaskan hasil risetnya bahwa
pengintegrasian pendidikan lingkungan hidup dapat melalui pendekatan transdisipliner
(Barlia, 2008: 82). Sehingga wisata dengan penanaman fondasi pendidikan lingkunagn
tersebut sesuai dengan apa yang pemerintah cita-citakan.
Konsep Edu-Ecowisata sebagai media pendidikan karakter lingkungan Hidup
merupakan bentuk pendidikan berbasis wisata. Edu Ekowisata bertujuan sebagai instrumen
pendidikan karakter berbasis lingkungan hidup sekaligus strategi implementasi pembangunan
berkelanjutan. Melalui aplikasi ruang pembelajaran yang enjoyment di alam terbuka, pola
edu-ekowisata menjadi langkah strategi pengimplemantasian wisata berbasis pendidikan
karakter lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Barlia, Lily. 2008. Teori Pembelajaran Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar. Subang: Royyan
Press.
Borong, P. R. 1999. Etika Bumi Baru. BPK Gunung Mulia. Jakarta.
Bappeda Kab. Cirebon. 2013. Laporan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah
(Riparda).
Bappeda Prov Jabar. 2016. Laporan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Wilayah.
Damanik, J. dan Weber, H.F. 2006. Perencanaan Ekowisata – Dari Teori ke Aplikasi.
Penerbit Andi. Yogyakarta.
Fandeli, C dan Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. UGM. Yogyakarta.
Hadi, S. P. 2007. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Ife, J. 2005. Community Development. Longman London.
Jain, Nandita.Wendy Lama. Renzino Lepcha. 2000. Community–based Torism for
Conservation and Development: A Resource Kit. The Mountain Institute. Washington, USA.
Kaplan, D dan Manners, A.A. 2000. Teori Budaya. Terjemahan oleh Landung Simatupang.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Keraf, Sonny A DR. 2014. Filsafat Lingkungan HidupAlam Sebagai Sebuah Sistem
Kehidupan. Kanisius. Yogyakarta.
Nandi, Memaksimalkan Potensi Alam Di Jawa Barat, Jurnal Manajemen Resort Dan Laisure
Vol 1 No1, Oktober 2005.
Ndraha. 1987. Metodologi Penelitian Pembangunan Desa. Bina Aksara. Jakarta.
Noorhayati, Aliet. 2015. Telaah Filsafat Pendidikan. K-Media. Yogyakarta.
Rahardjo, Budi. 2005. Ekotourisme Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam. Pustaka Latin. Bogor. 24 Ramly, N. 2007. Pariwisata Berwawasan Lingkungan.
Grafindo Khazanah Ilmu. Jakarta.
Siti Nuriska Sulistiani, Lighar Dwinda Prisbitari, Kenny Apriliani, Pengembangan Wisata
Berbsis Masyarakat (Comunity Based Tourism/CBT) Di Taman Nasional Gunung Salak,
Institut Pertanian Bogor, 2011.
Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta.
Soerjani, M. 1997. Pembangunan dan Lingkungan. IPPL. Jakarta.
Sugandhy, A. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Sugiyono. 2013. Metodelogi Penelitian. Alfabeta. Bandung
Wasidi, Amran Achmad, M. Hatta Jamil, Strategi pengembangan ekowisata Pada Air Terjun
Sri Getuk Gunung Kidul, Badan Kepegawaian Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, 2013.
Wijayanti, Deddy, dkk. 2016. Pengembangan Pantai Baros Berkonsep Edu-Ekowisata. Jurnal
Riset Daerah Bappeda Yogyakarta Vol. XV, No. 3 Desember 2016.
Yusnikusumah, Tri R, dkk. 2016. Evaluasi Pengelolaan Ekowisata di Kawasan Tangkahan
Taman Nasional Gunung Leuser Sumatra Utara. Jurnal perencanaan wilayah dan kota ISSN
0853-9847 Vol 27, No. 3

Anda mungkin juga menyukai