Anda di halaman 1dari 69

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sungai merupakan suatu saluran drainase yang terbentuk secara alamiah

dan memiliki bentuk-bentuk yang berbeda-beda, seperti halnya sungai yang

bercabang dan berbelok-belok. Sungai sangat penting untuk memenuhi kebutuhan

hidup manusia, sehingga keadaan sungai perlu dijaga agar tetap berada pada

kondisi yang baik. Pada sungai sering mengalami perubahan morfologi yang

diakibatkan oleh adanya faktor alam maupun faktor campur tangan manusia.

Faktor alam disebabkan oleh sungai itu sendiri dan faktor dari campur tangan

manusia, seperti adanya perubahan tata guna lahan di daerah sungai tentunya

dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menimbulkan permasalahan pada

sungai.

Terjadinya perubahan tata guna lahan pada daerah sungai yang dulunya

hutan lebat menjadi area terbuka, sebagai tempat pemukiman dan pertanian

menyebabkan limpasan permukaan (run off) meningkat berdampak pada daya

resap air (infitrasi) berkurang dan mengakibatkan debit banjir yang terjadi pada

sungai, peningkatan debit berpengaruh terhadap kecepatan aliran di sungai yang

dapat menyebabkan gerusan tebing, khususnya di daerah morfologi sungai yang

berbelok-belok.
2

Gerusan tebing sungai menambah sedimentasi di dasar sungai yang

menyebabkan berkurangnya luas penampang sungai, pada saat terjadi debit banjir

maka air akan meluap dan dapat membahayakan area di sekitar pinggiran sungai.

Pencegahan dan penanganan gerusan tebing telah dilakukan pada

umumnya menggunakan krib sebagai pengarah arus dan mengurangi kecepatan

aliran, namun belum optimal dalam menanggulangi gerusan tebing, sebab masih

terjadi gerusan yang cukup besar pada belokkan sungai walaupun telah ada krib.

Konstruksi krib yang mengarah pada bagian dalam sungai akan

menciptakan aliran turbulensi pada ujung krib dan belakang krib, munculnya

aliran turbulensi yang besar dipengaruhi oleh faktor pemasangan biasanya

terdapat pada krib tipe impermeabel, apabila aliran turbulensi ini besar maka

resiko terjadinya gerusan akan besar. Sehingga, perlu untuk melakukan

penanganan dalam mengurangi terjadinya aliran turbulensi yang besar melalui

pemasangan krib yang sesuai, agar krib dapat berfungsi dengan baik sesuai

dengan fungsinya. Sementara kendala yang dihadapi pada saat ini adalah

kurangnya informasi mengenai pemasangan krib yang sesuai, sebelumnya telah

dilakukan percobaan mengenai bangunan krib ini, mengenai variasi sudut

pemasangan krib impermeabel. Namun variasi sudut yang digunakan terbatas

sehingga kami mencoba untuk mengambil percobaan dengan menggunakan

variasi sudut yang berbeda dari yang pernah dilakukan.


3

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka penelitian mengenai krib

tipe impermeable dalam mengurangi kecepatan aliran untuk meminimalisir

gerusan tebing sungai perlu dilakukan, oleh karena itu kami mengambil judul

“ Pengaruh Sudut Pemasangan Bangunan Krib Impermeabel Terhadap

Kecepatan Aliran Di Tikungan Sungai”.

B. Rumusan Masalah

1) Bagaimana pengaruh variasi sudut pemasangan krib impermeabel (600, 900,

1200) terhadap kecepatan aliran di tikungan sungai?

2) Bagaimana pengaruh sudut krib impermeabel terhadap kedalaman gerusan dan

perubahan luasan penampang melintang saluran terhadap masing-masing sudut

pemasangan krib?

3) Bagaimana pengaruh perubahan luasan penampang melintang saluran terhadap

masing-masing sudut pemasangan krib?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini

yaitu:

1) Mengetahui pengaruh variasi sudut pemasangan krib impermeabel (600, 900,

1200) terhadap kecepatan aliran di tikungan sungai.

2) Mengetahui pengaruh sudut krib impermeabel terhadap kedalaman gerusan.

3) Mengetahui perubahan luasan penampang melintang saluran terhadap masing-

masing sudut pemasangan krib.


4

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang ingin menambah

pengetahuan dan informasi mengenai bangunan krib tipe impermeabel

khususnya yang berkaitan dengan sudut pemasangan krib tipe impermeabel.

2) Dapat digunakan oleh pihak pemerintah dalam mengatasi masalah sungai

dengan bangunan krib jenis impermeabel.

3) Untuk kalangan masyarakat penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi

mengenai bangunan krib tipe impermeabel yang dapat menanggulangi

gerusan tebing sungai.

E. Batasan Masalah

Untuk mendapatkan hasil dalam variasi sudut pemasangan krib (600, 900,

1200) yang optimal dalam penelitian tentang bangunan krib tidak tembus air (krib

impermeabel) maka perlu ditetapkan batasan masalah. Adapun batasan masalah

yang digunakan dalam studi ini adalah:

1) Penelitian ini difokuskan pada sudut pemasangan kribtipe impermeabel di

tikungan luar sungai.

2) Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah saluran terbuka dengan

bentuk trapesium.

3) Pemasangan krib tipe impermeabel diletakkan pada tikungan bagian luar

saluran.

4) Tidak meneliti tentang jenis tanah


5

F. Sistematika Penulisan

Bab I pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

Bab II kajian pustaka yang berisi tentang teori-teori yang berhubungan

dengan permasalahan yang diperlukan dalam melakukan penelitian ini, meliputi

teori tentang sungai, hidrolika sungai, perilaku aliran di tikungan sungai, proses

erosi pada tebing, gerusan, penanganan gerusan tebing dan kerangka pikir

penelitian.

Bab III metode penelitian yang berisi tentang metode penelitian yang

terdiri atas waktu dan tempat penelitian alat bahan, prosedur penelitian, gambar

desain krib, dan flow chart penelitian.

Bab IV hasil dan pembahasan yang berisi tentang hasil penelitian yang

menguraikan tentang analisa mengenai perubahan kecepatan aliran terhadap

gerusan pada tebing dengan adanya krib impermeabel pada tikungan sungai

Bab V penutup yang berisi tentang kesimpulan dan dari hasil penelitian

ini, serta saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan faktor pendukung dan

faktor penghambat yang dialami selama penelitian berlangsung, yang tentunya

diharapkan agar penelitian ini berguna untuk pengembangan ilmu aplikasi

kerekayasaan khususnya bangunan air dimasa yang akan datang.


6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Sungai

1. Defenisi Sungai

Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk

secara alamiah, mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar dibagian hilir.

Air hujan yang jatuh diatas permukaan bumi dalam perjalanannya sebagian kecil

menguap dan sebagian besar mengalir dalam bentuk alur-alur kecil, kemudian

menjadi alur-alur sedang seterusnya mengumpul menjadi satu alur besar atau

utama. Dengan demikian dapat dikatakan sungai berfungsi menampung curah

hujan dan mengalirkannya ke laut ( Joerson Loebis, dkk, 1993)

Defenisi di atas merupakan defenisi sungai yang alami, sedangkan

menurut Undang-undang tentang peraturan pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991

tentang sungai yaitu dalam peraturan pemerintah pasal 1 ayat 1 ini yang

dimaksud dengan sungai adalah suatu tempat dan wadah-wadah serta jaringan

pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan

kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan.

Sedangkan undang-undang persungaian Jepang menjelaskan mengenai

daerah sungai sebagai berikut (Suyono Sosrodarsono, dkk, 2008):

1) Suatu daerah yang di dalamnya terdapat air yang mengalir secara terus

menerus.
7

2) Suatu daerah yang topografisnya, keadaan tanamannya dan keadaan lainya

mirip dengan daerah yang di dalamnya terdapat air yang mengalir secara

terus-menerus termasuk tanggul sungai, tetapi tidak termasuk bagian daerah

yang hanya secara sementara memenuhi keadaan tersebut di atas, yang

disebabkan oleh banjir atau peristiwa alam lainnya.

2. Perilaku Sungai

Sungai adalah suatu saluran drainase yang terbentuk secara alamiah. Akan

tetapi disamping fungsinya sebagai saluran drainase dan dengan adanya air yang

mengalir di dalamnya, sungai menggerus tanah dasarnya secara terus-menerus

sepanjang masa existensinya dan terbentuklah lembah-lembah sungai (Suyono

Sosrodarsono, dkk, 2008). Volume sedimen yang sangat besar yang dihasilkan

dari keruntuhan tebing-tebing sungai di daerah pegunungan dan tertimbun di dasar

sungai tersebut, terangkut ke hilir oleh aliran sungai. Karena di daerah

pegunungan kemiringan sungainya curam, gaya tariknya sangat menurun. Dengan

demikian beban yang terdapat dalam arus sungai berangsur-angsur diendapkan.

Karena itu ukuran butiran sedimen yang mengendap di bagian hulu sungai lebih

besar dari pada bagian hilirnya.

Dengan terjadinya perubahan kemiringan yang mendadak pada saat alur

sungai ke luar dari daerah pegunungan yang curam dan memasuki dataran yang

lebih landai, maka pada lokasi ini terjadi proses pengendapan yang sangat intensif

yang menyebabkan mudah berpindahnya alur sungai dan berbentuk apa yang

disebut kipas pengendapan. Pada lokasi tersebut sungai bertambah lebar dan

dangkal, erosi dasar sungai tidak lagi dapat terjadi, bahkan sebaliknya terjadi
8

penendapan yang sangat intensif. Dasar sungai secara terus menerus naik, dan

sedimen yang hanyut terbawa arus banjir, bersama dengan luapan air banjir

tersebar dan mengendap secara luas membentuk dataran alluvial. Pada daerah

dataran yang rata alur sungai tidak stabil dan apabila sungai mulai membelok,

maka terjadilah erosi pada tebing belokan luar yang berlangsung sangat intensif,

sehingga terbentuklah meander.

3. Struktur Sungai

Menurut Forman dan Gordon (1983) dalam Agus Maryono (2009),

morfologi sungai pada hakekatnya merupakan bentuk luar, yang secara rinci

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Bentuk Morfologi Sungai Dimodifikasi

Keterangan:

A = bantaran sungai

B = tebing/jering sungai

C = badan sungai

D = batas tinggi air semu

E = dasar sungai

F = vegetasi riparian
9

Lebih jauh Forman (1983) dalam Agus Maryono (2009), menyebutkan

bahwa bagian dari bentuk luar sungai secara rinci dapat dipelajari melalui bagian-

bagian dari sungai, yang disebut dengan istilah struktur sungai. Struktur sungai

dapat dilihat dari tepian aliran sungai (tanggul sungai), alur bantaran, bantaran

sungai dan tebing sungai, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut:

1) Alur dan tanggul sungai

Alur sungai adalah bagian dari muka bumi yang selalu berisi air yang

mengalir yang bersumber dari aliran limpasan, aliran sub surface run-off, mata air

di bawah tanah (base flow).

2) Dasar dan gradien sungai

Dasar sungai sangat bervariasi dan sering mencerminkan batuan dasar

yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadang kala bentuknya

bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya sering terendapkan material yang

terbawa oleh aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat

dipengaruhi oleh batuan dasarnya.

3) Bantaran sungai

Bantaran sungai merupakan bagian dari struktur sungai yang sangat rawan.

Terletak antara badan sungai dengan tanggul sungai, mulai dari tebing sungai

hingga bagian yang datar.Perananan fungsinya cukup efektif sebagai penyaring

(filter nutrient), menghambat aliran permukaan dan pengendali besaran laju erosi.

Bantaran sungai merupakan habitat tetumbuhan yang spesifik (vegetasi riparian),

yaitu tetumbuhan yang komunitasnya tertentu mampu mengendalikan air pada

saat musim penghujan dan kemarau.


10

4) Tebing sungai

Bentang alam yang menghubungkan antara dasar sungai dengan tanggul

sungai disebut dengan “tebing sungai”. Tebing sungai umumnya membentuk

lereng atau sudut lereng, yang tergantung dari medannya. Semakin terjal akan

semakin besar sudut lereng yang terbentuk. Tebing sungai merupakan habitat dari

komunitas vegetasi riparian, kadangkala sangat rawan longsor karena batuan

dasarnya sering berbentuk cadas.

B. Hidrolika Sungai

Saluran yang mengalirkan air dengan suatu permukaan bebas disebut

saluran terbuka, menurut asalnya saluran dapat digolongkan menjadi saluran alam

(natural) dan saluran buatan (artificia) (Ven Te Chow. 1992 dalam Rosalina

Nensi. E.V).

Saluran alam meliputi semua alur air yang terdapat secara alamiah di

bumi, mulai dari anak selokan kecil di pegunungan, selokan kecil, kali, sungai

kecil dan sungai besar sampai ke muara sungai. Aliran air di bawah tanah dengan

permukaan bebas juga dianggap sebagai saluran terbuka alamiah.

Sifat-sifat hidrolik saluran alam biasanya sangat tidak menentu. Dalam

beberapa hal dapat dibuat anggapan pendekatan yang cukup sesuai dengan

pengamatan dan pengalaman sesungguhnya sedemikian rupa, sehingga

persyaratan aliran pada saluran ini dapat diterima untuk menyelesaikan analisa

hidrolika teoritis. Studi selanjutnya tentang perilaku aliran pada saluran alam

memerlukan pengetahuan dalam bidang lain, seperti hidrologi, geomorfologi,


11

angkutan sedimen dan sebagainya. Hal ini merupakan ilmu tersendiri yang disebut

hidrolika sungai.

1. Sifat-sifat Aliran

1) Aliran Seragam dan tak seragam

Aliran saluran terbuka dikatakan seragam apabila kedalaman aliran sama

pada setiap penampang saluran. Suatu aliran seragam dapat bersifat tetap dan

tidak tetap tergantung apakah kedalamannya berubah sesuai dengan perubahan

waktu. Sedangkan aliran disebut berubah (varied), bila kedalaman aliran berubah

disepanjang saluran. Aliran berubah dapat bersifat tetap maupun tak tetap (Ven Te

Chow. 1992 dalam Rosalina Nensi. E.V).

2) Aliran Laminer dan Turbulen

Aliran adalah laminer bila gaya kekentalan relatif sangat besar

dibandingkan dengan gaya inersia sehingga kekentalan berpengaruh besar

terhadap perilaku cairan. Dalam aliran laminer butir-butir air seolah-olah bergerak

menurut lintasan tertentu yang teratur dan lurus dan selapis cairan yang sangat

tipis seperti menggelincir di atas lapisan di sebelahnya. Sedangkan aliran turbulen

adalah bila gaya kekentalan relative lemah dibandingkan dengan gaya

kelembamannya. Pada aliran turbulen, butir-butir aliran air bergerak menurut

lintasan yang tidak teratur, tidak lancar maupun tidak tetap, walaupun butir-butir

tersebut tetap menunjukan gerak maju dalam aliran secara keseluruhan (Ven Te

Chow. 1992 dalam Rosalina Nensi. E.V)

Menurut ilmu mekanika fluida aliran fluida khususnya air diklasifikasikan

berdasarkan perbandingan antara gaya-gaya inersia (inertial forces) dengan gaya-


12

gaya akibat kekentalannya (viscous forces) menjadi tiga bagian, yaitu: aliran

laminer, aliran transisi, dan aliran turbulen (French, dalam Robert J. Kodatie

2009). Variable yang dipakai untuk klasifikasi ini adalah bilangan Reynold yang

didefinisikan sebagai :
ῡ.𝐿
𝑅𝑒 = ................................................................................................... (1)
𝑣

Dimana:

𝑅𝑒 = Angka Reynold

ῡ = Kecepatan rata-rata aliran (m/det)

L = Panjang karakteristik (m)

υ = Viskositas kinematis cairan (m2/det)

Beberapa penelitian disimpulkan bahwa bilangan Reynold untuk saluran

terbuka adalah:

R< 500 = Aliran laminer

500<r<12,500 = Aliran transisi

R>12,500 = Aliran turbulen

3) Aliran kritis, subkritis, dan superkritis

Aliran dapat dikatakan kritis apabila kecepatan aliran sama dengan

kecepatan gelombang gravitasi dengan amplitude kecil. Gelombang gravitasi

dapat dibandingkan dengan merubah kedalaman. Jika kecepatan aliran lebih kecil

dari pada kecepatan kritis, maka aliran disebut sub kritis, sedangkan jika

kecepatan alirannya lebih besar dari pada kecepatan kritis, maka alirannya disebut

superkritis.
13

Apabila yang diinginkan adalah besarnya perbandingan antara gaya-gaya

kelembaman dan gaya-gaya gravitasi maka aliran dapat dibagi menjadi:

(1) Aliran Kritis

Apabila FR = 1, berarti gaya-gaya kelembaman dan gaya gravitasi seimbang

dan aliran disebut dalam aliran kritis.

(2) Aliran Subkritis

Apabila FR< 1, berarti gaya gravitas menjadi dominan dan aliran dalam

keadaan aliran subkritis.

(3) Aliran Superkritis

Apabila FR> 1, berarti gaya kelembaman yang dominan dan aliran menjadi

superkritis.

Parameter tidak berdimensi yang membedakan tipe aliran tersebut adalah

angka Froude (FR) yaitu angka perbandingan antara gaya kelembaman dan gaya

gravitasi :

𝑣̅
𝐹𝑅 = .................................................................................................. (2)
√𝑔𝐿

Dimana:

FR = Angka Froude

𝑣̅ = Kecepatan rata-rata aliran (m/det)

L = Panjang karakteristik. Dalam saluran terbuka panjang karakterisrik diambil

sama dengan D = A / T diambil T = lebar permukaan bebas, A = luas

penampang (m)

g = gaya gravitasi (m/det)


14

2. Kecepatan Aliran

Kecepatan aliran disebabkan oleh tekanan pada muka air akibat adanya

perbedaan fluida antara udara dan air dan juga akibat gaya gesekan pada dinding

saluran (dasar maupun tebing saluran) maka kecepatan aliran pada suatu potongan

melintang saluran tidak seragam (Addison, 1944; Chow 1959 dalam Robert. J

Kodatie, 2009). Ketidakseragaman ini juga disebabkan oleh bentuk tampang

melintang saluran, kekasaran saluran dan lokasi saluran (saluran lurus atau pada

belokan).

Selanjutnya Chow mengatakan bahwa kecepatan maksimum umumnya

terjadi pada jarak 0,05 sampai 0,25 dikalikan kedalaman airnya dihitung dari

permukaan air seperti pada gambar (3.a). Namun pada sungai yang sangat lebar

dengan kedalaman dangkal (shallow), kecepatan maksimum terjadi pada

permukaan air (Addison, 1994 dalam Robert. J Kodatie, 2009). Makin sempit

saluran kecepatan maximumnya makin dalam. Kekasaran dasar saluran juga

mempengaruhi distribusi kecepatan seperti ditujukan pada gambar (3.b)

Gambar 2. Jarak kecepatan maksimum dan efek kekasaran dasar saluran


dgdgdgggggggg(Addison. 1944; Chow.1959 dalam Robert. J Kodatie, 2009)
15

Gambar 3. Contoh distribusi kecepatan aliran untuk beberapa macam bentuk


kkkkkkkkkksaluran (Chow, 1959 dalam Robert. J Kodatie, 2009)

3. Mengukur Kecepatan Aliran

Pada prinsipnya kecepatan aliran dapat diukur dengan tiga metode (Yuni

Cahya, 2012), yaitu:

1) Metode Apung

Prinsip pengukuran kecepatan metode apung adalah:

(1) Kecepatan aliran (v) ditetapkan berdasarkan kecepatan pelampung (vp)

Dengan v = vp x k ..................................................................................... (3)

Dimana: vp = kecepatan pelampung (m/det)

k = koefisien pelampung

2) Metode Current-meter/Flow-meter

Ada dua tipe current-meter yaitu tipe baling-baling (propeller type) dan

tipe canting (cup Type). Oleh karena distribusi kecepatan aliran disungai tidak

sama baik arah vertikal maupun horizontal, maka pengukuran kecepatan aliran

dengan alat ini tidak cukup pada satu titik.


16

3) Tabung pilot

Alat ukur kecepatan lainnya adalah menggunakan tabung pilot atau

menggunakan penggaris penahan tinggi tekanan. Tinggi kenaikan muka air pada

tabung pilot atau pada penggaris adalah tinggi tekanan akibat kecepatan (h).

Untuk mengukur nilai h, tabung pitot diletakkan berlawanan dengan arah aliran

pada aliran air bagian permukaan.

Gambar 4. Cara mengukur kecepatan aliran dengan tabung pilot

Sehingga kecepatan adalah :

v = √2 𝑔ℎ ......................................................................................................... (4)

dimana: v = kecepatan (ft/det atau m/det)

g = percepatan gravitasi (m/det2)

h = tinggi tekan akibat kecepatan (m)

4. Debit Aliran

Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang

melewati suatu penampang melintang sungai persatuan waktu. Dalam sistem


17

satuan SI besarya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m 3/det)

(Chay Asdak, 2014).

Pengukuran debir aliran di lapangan pada dasarnya dapat dilakukan

melalui empat kategori (Gordon et al, 1992 dalam Chay Asdak, 2014):

1) Pengukuran volume air sungai.

2) Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan

luas penampang melintang sungai dan menggunakan rumus:

(Q=V.A) .................................................................................................. (5)

Dimana:

Q = debit aliran (m3/det)

V = kecepatan aliran (m/det)

A = luas penampang (m2)

3) Mengukur debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan

dalam aliran sungai (substance tracing method).

4) Pengukuran debit dengan dengan membuat bangunan pengukur seperti weir

(aliran air lambat) atau flume (aliran air cepat).

5. Menghitung Luas Penampang Aliran

Pengukuran luas penampang aliran dilakukan dengan membuat profil

penampang melintangnya dengan cara mengadakan pengukuran ke arah

horizontal (lebar aliran) dan ke arah vertikal (ke dalam aliran). Luas aliran

merupakan jumlah luas tiap bagian (segment) dari profil yang terbuat. Ada dua

cara menghitung luas penampang melintang (Yuni Cahya, 2012) yaitu:


18

1) Mean Section Method

]]]]]]]]]]]]]]Gambar 5. Penampang Mean Section Method

(1) Menghitung luas penampang :

bn + bn+1
an = x dn
2

dimana:

bn = lebar sungai ke n

bn+1 = lebar sungai ke n+1

dn = kedalaman seksi ke n

(2) Menghitung kecepatan:


vn + vn+1
Vn = 2

Dimana:

Vn = kecepatan pada seksi ke n

Vn+1= kecepatan pada seksi ke n+1

(3) Menghitung debit seksi

Qn = ῡ . an

Dimana :

ῡn = kecepatan rata-rata seksi ke n

an = luas seksi n
19

(4) Menghitung debit sungai (Q)

Q = ∑𝑛𝑖=1 qi

2) Mid Section Method

Gambar 6. Penampang Mid Secion Method

(1) Menghitung luas penampang


vn + vn+1
Vn = 2

Dimana:

Vn = kecepatan pada seksi ke n

Vn+1= kecepatan pada seksi ke n+1

(2) Menghitung debit seksi

Qn = ῡ . an

Dimana :

ῡn = kecepatan rata-rata seksi ke n

an = luas seksi n

(3) Menghitung debit sungai (Q)

Q = ∑𝑛𝑖=1 qi
20

C. Perilaku Aliran di Tikungan Sungai

Gaya sentrifugal pada tikungan saluran akan menyebabkan timbulnya arus

melintang sungai yang selanjutnya bersama dengan aliran utama akan membentuk

aliran helicoidal. Besarnya kecepatan arus melintang ini berkisar antara 10%-15%

dari kecepatan arah utama aliran (Legono, 1990 dalam Ayu Marlina H, 2014).

Dengan demikian pada sungai yang bermeander, erosi akan terjadi pada sisi luar

belokan dan pengendapan terjadi pada sisi dalam belokan. Pada daerah tikungan

pengikisan terjadi di awal tikungan dan pengendapan terjadi di akhir tikungan dan

pengikisan paling banyak dibagian luar tikungan dan pengendapan dibagian dalam

tikungan. Pengaruh kemiringan (superelevasi tikungan), memperbesar pengikisan

bila superelevasi miring ke arah dalam tikungan dan akan berkurang bila

kemiringan sebaliknya. Tetapi penggerusan masih besar akibat aliran yang

terpuntir (turbulensi) di tikungan.

D. Proses Erosi pada Tebing

Proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan: pengupasan

(detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation).

Erosi tebing sungai (streambank erosion) adalah pengikisan tanah pada tebing-

tebing sungai dan penggerusan dasar sungai oleh aliran air sungai (Chay Asdak,

2014).

Dua proses berlangsungnya erosi tebing sungai adalah oleh adanya

gerusan aliran sungai dan oleh adanya longsoran tanah pada tebing sungai. Proses

yang pertama berkorelasi dengan kecepatan aliran sungai. Semakin cepat laju
21

aliran sungai (debit puncak atau banjir) semakin besar kemungkinan terjadi erosi

tebing.

E. Gerusan

Gerusan merupakan penurunan dasar sungai karena erosi di bawah

permukaan alami atau datum yang diasumsikan. Gerusan adalah proses semakin

dalamnya dasar sungai karena interaksi antara aliran dengan material dasar sungai

(Legono, 1990 dalam Yuni Cahya, 2012).

Gerusan didefinisikan sebagai pembesaran dari suatu aliran yang disertai

pemindahan material melalui aksi gerakan fluida.Gerusan lokal (local scouring)

terjadi pada suatu kecepatan aliran dimana sedimen ditranspor lebih besar dari

sedimen yang disuplai. Transpor sedimen bertambah dengan meningkatnya

tegangan geser sedimen, gerusan terjadi ketika perubahan kondisi aliran

menyebabkan peningkatan tegangan geser dasar (Laursen, 1952 dalam Yuni

Cahya, 2012)

Sifat alami gerusan mempunyai fenomena sebagai berikut:

a. Besar gerusan akan sama selisihnya antara jumlah material yang diangkut

keluar daerah gerusan dengan jumlah material yang diangkut masuk ke dalam

daerah gerusan.

b. Besar gerusan akan berkurang apabila penampang basah di daerah gerusan

bertambah. Untuk kondisi aliran bergerak akan terjadi keadaan gerusan yang

disebut gerusan batas, besarnya akan asimbotik terhadap waktu.


22

1. Tipe Gerusan

Tipe gerusan yang diberikan oleh Raudkivi dan Ettema adalah sebagai

berikut :

1) Gerusan umum di alur sungai, tidak berkaitan sama sekali dengan ada atau

tidak adanya bangunan sungai.

2) Gerusan dilokalisir di alur sungai, terjadi karena penyempitan aliran sungai

menjadi terpusat.

3) Gerusan lokal disekitar bangunan, terjadi karena pola aliran lokal disekitar

bangunan sungai.

Gerusan dan jenis (2) dan (3) selanjutnya dapat dibedakan menjadi gerusan

dengan air bersih (clean water scour) maupun gerusan dengan air bersedimen

(live bed scour). Gerusan dengan air bersih berkaitan dengan air keadaan dimana

dasar sungai di sebelah hulu bangunan dalam keadaan diam (tidak ada material

yang mengangkut) atau secara teoritik τ0< τc. Sedangkan gerusan dengan air

bersedimen terjadi ketika kondisi aliran dalam saluran meyebabkan material dasar

bergerak. Peristiwa ini menunjukkan bahwa tegangan geser pada saluran lebih

besar dari nilai kritiknya atau secara teoritik τ0< τc..

2. Gerusan dalam Perbedaan Kondisi Angkutan

1) Kondisi clear water scour dimana gerusan dengan air bersih terjadi jika

material dasar sungai di sebelah hulu gerusan dalam keadaan diam atau tidak

terangkut.
𝑈
Untuk ≤ 0,5 gerusan lokal tidak terjadi dan proses transportasi sedimen
𝑈𝑐𝑟

tidak terjadi.
23

𝑈
Apabila 0,5 ≤ 1,0 gerusan lokal terjadi secara terus-menerus dan proses
𝑈𝑐𝑟

sedimen tidak terjadi.

2) Kondisi live bed scour dimana gerusan yang disertai dengan angkutan

sedimen material dasar saluran, jika:


𝑈
> 1,0 ................................................................................................... (6)
𝑈𝑐𝑟

Dimana :

U = Kecepatan aliran rata-rata (m/det)

Ucr = Kecepatan aliran kritis (m/det)

F. Penanganan Gerusan Tebing

1. Bangunan pengatur sungai

Gerusan tebing sungai harus diatasi untuk menjaga agar tebing sungai

tetap stabil dan tidak terancam longsor, untuk itu diperlukan bangunan pengatur

sungai. Bangunan pengatur sungai adalah suatu bangunan air yang dibangun pada

sungai dan berfungsi mengatur aliran air agar tetap stabil dan sebagai pengendali

banjir. Adapun jenis-jenis bangunan pengatur sungai yaitu sebagai berikut

(Sidharta, SK. 1997):

1) Perkuatan lereng

2) Pengarah arus (krib) atau pelindung tidak langsung

3) Tanggul

4) Dam penahan sedimen (check dam)

5) Ground sill
24

2. Krib

1) Defenisi Krib

Problem perbaikan alur sungai yang berubah karena terjadi erosi dan

sedimentasi, tidak dapat diselesaikan secara teoritis, karena karakteristik alirannya

yang sangat komplek (Jansen dkk, dalam M. Haris, 2013). Pengujian model dan

formulasi empirik merupakan alat utama yang digunakan untuk merencanakan

perbaikan sungai.

Salah satu metode untuk melindungi tebing sungai adalah dengan

menggunakan bangunan krib yang berfungsi untuk mengarahkan aliran dan

menghindarkan kuat arus dari sepanjang tepi sungai, termasuk pada belokan

sungai perlindungan semacam ini merupakan perlindungan tak langsung.

Krib adalah bangunan yang dibuat mulai dari tebing sungai ke arah tengah

guna mengatur arus sungai dan tujuan utamanya adalah (Suyono Sosrodarsono,

dkk, 2008):

(1) Mengatur arah arus sungai

(2) Mengurangi kecepatan arus sungai sepanjang tebing sungai, mempercepat

sedimentasi dan menjamin keamanan tanggul atau tebing sungai terhadap

gerusan.

(3) Mempertahankan lebar dan kedalaman air pada alur sungai.

(4) Mengkonsentrasikan arus sungai dan memudahkan penyadapan.

2) Klasifikasi Krib

Secara garis besarnya terdapat 3 tipe konstruksi krib yaitu: tipe permeabel

(permeabel type) dimana air sungai dapat mengalir melalui krib tersebut, tipe
25

impermeabel (impermeabel type) dimana air sungai tidak dapat mengalir melalui

krib tersebut dan tipe semi-permeabel (combined of both the permeabel type and

the impermeabel type). Berdasarkan formasinya, krib dapat diklasifikasikan ke

dalam 2 tipe, yaitu tipe silang (transversal type) dan tipe memanjang (longitudinal

type).

(1) Krib permeabel

Pada tipe permeable air dapat mengalir melalui krib (permeable spur).

Krib permeabel tersebut melindungi tebing terhadap gerusan arus sungai dengan

cara meredam energi yang terkandung dalam aliran sepanjang tebing sungai dan

bersamaan dengan itu mengendapkan sedimen yang terkandung dalam aliran

tersebut.

Gambar 7. Konstruksi krib permeable

(2) Krib impermeable

Krib dengan konstruksi tipe impermeabel yang disebut pula krib padat,

karena air sungai tidak dapat mengalir melalui tubuh krib. Krib tipe ini

dipergunakan untuk membelokkan arah arus sungai dan karenanya sering terjadi

gerusan yang cukup dalam didepan ujung krib tersebut atau bagian sungai di

sebelah hilirnya.
26

Gambar 8.Konstruksi krib impermeable

(3) Krib semi-permeabel

Krib semi-permeabel ini berfungsi ganda yaitu sebagai krib permeabel dan

krib padat. Biasanya bagian yang padat terletak disebelah bawah dan berfungsi

pula sebagai pondasi, sedang bagian atasnya merupakan konstuksi yang

permeabel disesuaikan dengan fungsi dan kondisi setempat.

(4) Krib-krib silang dan memanjang

Krib yang formasinya tegak lurus atau hampir tegak lurus arah arus sungai

dapat merintangi arus tersebut dan dinamakan krib melintang (transversal dyke),

sedang krib yang formasinya hampir sejajar arah arus sungai disebut krib

memanjang (longitudinal dyke).

3) Fungsi Krib

Krib dibangun untuk merubah arah arus sungai sehingga arah arus utama

akan bergeser menjauhi tepi tikungan luar sungai, dengan demikian juga akan

mengurangi kecepatan aliran pada tebing sungai dan kaki tanggul dan berguna

untuk melindungi bahaya gerusan pada tebing sungai serta agar terjadi endapan

pada tebing sungai tersebut. Disamping itu juga berfungsi untuk memperbaiki

maupun mengatur lebar palung sungai dan kedalaman air yang dibutuhkan serta
27

melindungi bangunan pengambilan yang membutuhkan konsentrasi aliran air (M.

Haris, 2013).

4) Perencanaan krib

Dalam mempersiapkan perencanaan (planning) Krib, maka denah, bentuk

memanjang, debit air sungai, kecepatan arus sungai, bahan-bahan dasar sungai

haruslah disurvei, dipelajari dan ditelaah secara mendalam dan tipe krib serta

metode pembuatannya ditetapkan secara empiris dengan memperhatikan

pengalaman-pengalaman pada krib-krib yang telah dibangun diwaktu-waktu yang

lalu.

Secara umum, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan

krib-krib adalah sebagai berikut (Suyono Sosrodarsono, dkk, 2008):

(1) Mengingat metode pembuatan krib-krib sangat tergantung dari resim

sungainya perlu diperoleh data mengenai pengalaman pembuatan krib pada

sungai yang sama atau yang hampir sama, kemudahan pelaksanaanya dan

besarnya pembiayaan.

(2) Pada sungai-sungai yang terlalu lebar dan untuk mengurangi turbulensi aliran,

maka permukaan air sungai normalnya harus dinaikkan sedemikian rupa

dengan krib yang panjang, akan tetapi panjangnya harus dibatasi secukupnya,

karena krib yang terlalu panjang disamping biaya pembangunannya lebih

tinggi, pemeliharannya akan lebih mahal dan lebih sulit.

(3) Jika krib yang akan dibangun antara lain untuk melindungi tebing sungai

terhadap pukulan air, maka panjang krib sepanjang ini harus dibatasi, karena
28

krib yang terlalu panjang akan menyebabkan timbulnya pukulan air pada

tebing sungai di sebelahnya.

(4) Krib-krib tidak dapat berfungsi dengan baik pada sungai-sungai yang kecil

atau yang sempit alurnya.

(5) Apabila pembuatan krib-krib yang dimaksudkan untuk menaikan permukaan

normal air sungai, maka perlu dipertimbangkan kapasitasnya disaat terjadinya

debit yang lebih besar atau debit banjir dan juga pertimbangan mengenai trase

serta kapasitas alur sungai, guna mempertahankan stabilitas sungai secara

keseluruhan.

5) Formasi Krib

Terdapat 3 macam formasi krib yang umum diterapkan yaitu tegak lurus

arus, condong kearah hulu dan condong ke arah hilir.

Gambar 9. Formasi Krib

6) Dimensi Krib

(1) Penetapan Tinggi Krib

Tinggi mercu krib sebaiknya paling tidak sama dengan elevasi bantaran.

Kemiringan lapis lindung tanggul dan krib biasanya berkisar antara 1:2,5 sampai
29

1:3,5 untuk kemiringan dibawah muka air dan 1:1,5 sampai 1:2,5 untuk

kemiringan di luar air. Kemiringan ujung krib kadang-kadang diambil 1:5 sampai

1:10 untuk mengurangi pusaran air/vortex dan efeknya (KP. 02, 2010)

(2) Panjang Krib ( Lb)

Penetapan panjang krib yang dilakukan dengan pendekatan Akikusa dkk,

dalam M. Haris. 2013, dimana panjang krib kurang dari 20% dari lebar saluran.

(3) Jarak antar Krib (L)

Jarak antara masing-masing krib adalah (KP. 02, 2010):

𝐶 2ℎ
𝐿<𝛼 .............................................................................................. (7)
2𝑔

Dimana: L = jarak antar krib, m

𝛼 = parameter empiris (≈ 0,6)

C = koefisien Chezy, m1/2/det

g = percepatan gravitasi, m/det2 (≈ 9,8)

Untuk menentukan koefisien Chezy dapat menggunakan rumus bazin

dimana koefisien Chezy berdasarkan Bazin (1869), adalah fungsi dari jari-jari

hidraulis (R) dan berat jenis fluida (𝛾)

87
𝐶 = 𝛾 ......................................................................................... (8)
1+ 𝐵
√𝑅

Dimana : R = Jari-jari hidrolis

𝛾𝐵 = Koefisien yang tergantung pada kekasaran dinding


30

Tabel 1. Tabel bazin untuk koefisien yang tergantung pada kekasaran dinding

Jenis Dinding 𝜸𝑩

Dinding sangat halus (semen) 0,06

Dinding halus (papan,batu,bata) 0,16

Dinding batu pecah 0,46

Dinding tanah sangat teratur 0,85

Saluran tanah dengan kondisi biasa 1,3

Saluran tanah dengan dasar batu 1,75


pecah dan tebing rumput
Sumber : Ir. V Sunggono kh, 1995
31

G. Kerangka Pikir Penelitian

Peningkatan Kecepatan Aliran di


Tikungan Sungai

Model Saluran Terbuka

Model Krib Impermeabel

Variabel terikat : Variabel bebas :


1. Kecepatan Aliran(v)
2. Kedalaman Gerusan (hg) 1. Luas penampang saluran (A)
3. Angka Froude (Fr) 2. Sudut Krib (0)
4. Angka Reynold (Re)

Analisis perubahan kecepatan


yang terjadi di tikungan sungai

Besarnya pengaruh sudut pemasangan


krib Impermeabel terhadap perubahan
kecepatan aliran (v) dan kedalaman
Gambar 10. Kerangka
gerusan Pikir Penelitian

Semakin besar sudut krib


impermeabel, semakin kecil
kecepatan aliran yang terjadi

Gambar 10. Kerangka Pikir Penelitian


32

H. Review Penelitian Sebelumnya

Kajian penelitian terdahulu dimaksudkan agar peneliti sebagai landasan

dalam melakukan penelitian yang berisi beberapa teori dan hasil penelitian yang

telah ada sebelumnya yang memiliki relevansi. Berdasarkan teori dan kajian yang

telah ada tersebut yang akan menjadi bahan pertimbangan peneliti untuk melihat

fakta kasus yang terjadi di lapangan. Oleh karna itu peneliti melakukan kajian

terhadap beberapa hasil penelitian berupa skripsi dan jurnal. Pengaruh sudut

pemasangan bangunan krib Impermeabel terhadap perubahan kecepatan aliran di

tikungan sungai, terdapat beberapa sumber penelitian yang berkaitan dengan

penelitian tersebut sebagai berikut :

Pertama, Judul : Analisa hidrolika bangunan krib permeabel pada saluran

tanah. Disusun oleh Ayu Marlina Humirah pada tahun 2014.

Penelitian ini ditekankan pada pemasangan bangunan krib pada belokan

sungai yang bertujuan untuk menganalisis perubahan dasar saluran, elevasi dasar

saluran (morfologi) dan gerusan di hulu krib akibat pemasangan krib permeabel

pada belokan saluran tanah.

Saluran terbuka berbentuk trapesium dengan sudut tikungan 900, terdapat

5 buah krib permeabel pada tikungan dan air tidak bersedimen (clean water).

Pengamatan dilakukan dengan debit 63,32 Lt/menit, 3 variasi sudut pemasangan

krib permeabel yaitu sudut krib 450,900 dan 1350 ke arah hulu aliran.

Hasil penelitian menunjukan, kecepatan pada awal tikungan sampai akhir

tikungan semakin berkurang dan perubahan yang terjadi hanya pada dasar saluran.

Perubahan dasar saluran (Bt/Bo) maksimum untuk sudut pemasangan krib


33

permeabel 45°, 90° dan 135°sebesar 1,376 cm, 1,346 cm dan 1,452 cm.

Kedalaman gerusan (ds/y) maksimum untuk sudut pemasangan

krib permeabel 45°, 90° dan 135°sebesar 1,05 cm, 0,95 cm dan 1,17 cm. Sehingga

sudut pemasangan krib permeabel krib 90° lebih baik karena perubahan dasar

salurannya (Bt/Bo) lebih kecil yaitu 1,346 cm (1,346 kali dari saluran awal) dan

koefisien determinasi (R2) hampir mendekati 1 yaitu 0,9384 serta kedalaman

gerusannya (ds/y) juga lebih kecil yaitu 0,95 cm dan koefisien determinasi (R2 )

hampir mendekati 1 yaitu 0,8317 dibandingkan dengan sudut pemasangan krib

permeabel 45° dan 135°.

Kedua, Judul : Pengaruh pemasangan krib pada saluran di tikungan 1200.

Disusun oleh Sunaryo, Darwizal Daoed dan Febby Laila Sari pada tahun 2010.

Masalah yang diteliti pada penelitian yaitu bagaimana pengaruh

pemasangan bangunan krib terhadap keruntuhan tebing di tikungan sungai.

Penelitian ini dilakukan simulasi (uji) fisik di laboratorium dengan

pemasangan krib tidak lolos air (krib Impermeabel) serta variasi sudut dan jarak

pemasangan krib. Perlakuan dan pengamatan dilakukan melalui variasi debit

aliran terhadap keruntuhan tebing tikungan. Tebing saluran dibuat dari pasir halus

setebal 10 cm di saluran dengan belokan 1200.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pengaruh pemasangan krib dapat

mengurangi volume keruntuhan dan pemasangan yang terbaik adalah dengan

jarak pemasangan krib sama dengan tinggi tebing. Kemudian arah sudut

pemasangan krib terbaik adalah 1350 ke arah hulu aliran air.


34

Ketiga, Judul : Kajian Perubahan pola gerusan pada tikungan sungai akibat

penambahan debit. Disusun oleh Yuni Cahya S. Daties pada tahun 2012.

Masalah yang diteliti dalam peneltian ini adalah bagaimana pengaruh debit

terhadap pola gerusan pada tikungan sungai dan menentukan hubungan antara

debit aliran sungai, dengan pola gerusan dalam fungsi waktu pada tikungan

sungai.

Saluran terbuka berbentuk trapesium dengan kemiringan dinding 1:1,

disaring dan lolos ayakan no.4 dan tertahan ayakan no. 200. Waktu pengaliran

diberikan dengan selang waktu 10 menit, 20 menit, dan 30 menit untuk tiap debit

yang berbeda. Variasi kedalaman gerusan dari daerah pantauan dan titik bantu

yang diukur sangat bervariasi.

Hasil penelitian menunjukkan gerusan terjadi di sebagian besar sisi luar

tikungan, hal ini terjadi karena adanya peningkatan kecepatan aliran air. Namun

angkanya tidak terlalu signifikan karena keruntuhan tebing pada sisi luar belokan.

Ketika tinggi aliran h = 6,9 cm, gerusan mencapai kedalaman 3,5 cm. Kerusakan

dinding di bagian luar saluran terjadi ketika pengaliran berlangsung selama 20

menit. Keruntuhan dinding maksimal terjadi ketika h = 6,9 cm diakhir

pengambilan data. Endapan yang terjadi pada saluran lebih nampak di sisi bagian

dalambelokan. Ketika pengaliran saluran setinggi h = 6,90 cm, pengendapan

mencapai 8,5 cm. Dengan bertambahnya debit yang diberikan, semakin banyak

pula material yang terbawa dari hulu kemudian menumpuk di bagian dalam

belokan.
35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknik Universitas

Muhammadiyah Makassar, penelitian dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih

5 bulan.

B. Jenis penelitian dan Sumber Data

Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen laboratorium. Menurut

Moh. Nasir, Ph. D (1988) dalam Yuni Cahya, 2012 observasi dibawah kondisi

buatan (artificial condition), dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh

peneliti dengan mengacu pada literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian

tersebut, serta adanya kontrol dengan tujuan untuk menyelidiki ada tidaknya

hubungan sebab akibat tersebut dengan memberikan perlakuan-perlakuan tertentu

pada beberapa kelompok eksperimental dan menyelidiki kontrol untuk

pembanding.

Pada penelitian ini akan menggunakan dua sumber data, yaitu :

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari uji simulasi fisik di

laboratorium.

2. Data sekunder data yang diperoleh dari literatur dan hasil penelitian yang

sudah ada, baik yang telah dilakukan di laboratorium maupun dilakukan di


36

tempat yang berkaitan dengan penelitian pengaruh variasi sudut pemasangan

bangunan krib impermeabel.

C. Alat, dan Bahan

Secara umum, alat dan bahan yang digunakan dalam penunjang penelitian

ini terdiri dari:

1. Alat

1) Model saluran terbuka

Gambar 11. Model Saluran

2) Krib yang terbuat dari batang pohon dan Papan

3) Bak penampungan air

4) Pompa sentrifugal berkapasitas 1050 ltr/menit dipakai untuk mensuplai aliran

Gambar 12. Pompa air


37

5) Pintu air untuk mengatur/mengontrol debit aliran

6) Meter lipat

7) Mistar

8) Busur untuk mengukur jari-jari lingkaran

9) Kamera digital untuk pengambilan dokumentasi

10) Alat tulis dan tabel data

11) Current meter

12) Palu

13) Gergaji

14) Stopwatch

2. Bahan

1) Air

2) Tanah timbunan

3) Paku

4) Batang pohon

5) Papan ketebalan 2 cm

D. Langkah-langkah Penelitian

1. Persiapan

Adapun kegiatan persiapan yang kami lakukan dalam penelitian ini adalah

melakukan kegiatan pembersihan pada area yang akan dibangun saluran dan

mempersiapkan data-data perancangan maupun alat dan bahan yang

dibutuhkan.
38

2. Perancangan Model

Adapun bentuk perancangan model yang kami lakukan dalam penelitian


Pintu pengatur debit
Bak penampungan air
ini yaitu :
Krib Impermeabel Bagian Hulu
Bak Penampungan air
1) Denah saluran
2.0 m Arah Aliran Titik I Titik II

Pintu pengatur debit Krib Impermeabel Bagian Hulu


55°
Bak penampungan air
1.50 m 1.50 m Titik III
55°
Krib Impermeabel Bagian Hulu
Bak Penampungan air
1.5 m

2.0 m Arah Aliran Titik I Titik II

Krib Impermeabel Bagian Hulu 1.50 m


55°
1.50 m 1.50 m Titik III
55°
DENAH SALURAN
1.5 m
SKALA : 1 cm : 100 cm

1.50 m

DENAH SALURAN

SKALA : 1 cm : 100 cm

Pintu pengatur debit


Bak penampungan air

Krib Impermeabel
Bak Penampungan air

1.50 m Titik I Titik II Titik III


I
Pintu pengatur debit II
Bak penampungan air
1.50 m 1.50 m

Krib Impermeabel I II 1.50 m


Bak Penampungan air

1.50 m Titik I Titik II Titik III 1.50 m


I II

1.50 m 1.50 m POTONGAN MEMANJANG SALURAN

I IISKALA : 1 cm : 100 cm 1.50 m

1.50 m
Gambar 13. Rancangan Model Saluran
POTONGAN MEMANJANG SALURAN

SKALA : 1 cm : 100 cm
39

Batang Pohon
Paku 5 cm
Papan Tebal 1.5 cm

2) Model krib impermeabel 75 cm

Batang Pohon
25 cm
Paku 5 cm
Papan Tebal 1.5 cm

75 cm 10 cm
50 cm

POTONGAN II-II
25 cm
SKALA : 1 cm : 10 cm

10 cm
50 cm

POTONGAN II-II

SKALA : 1 cm : 10 cm

Batang Pohon

Papan Tebal 1.5 cm


Paku 5 cm

Batang Pohon

Papan Tebal 1.5 cm


Paku 5 cm

DET. KRIB IMPEMEABEL

SKALA : 1 cm : 20 cm

Gambar 14. Model Krib Impermeabel


40

3. Pembuatan Model

Adapun tahap-tahap pembuatan model yaitu sebagai berikut:

1) Pembuatan model saluran

(1)Pembuatan bak penampungan air.

(2)Pembuatan dimensi saluran dengan bentuk trapesium dengan dimensi saluran

yaitu b = 50 cm dan Y = 25 cm dengan kemiringan 1:1 (Kp.03 Tabel 3.3)

(3)Pembuatan tikungan sungai dengan panjang jari-jari tikungan sebesar 550

dengan dua tikungan sungai.

2) Pembuatan model krib

(1)Krib menggunakan papan dengan setebal 2 cm dan batang pohon sebagai

perkuatan terhadap tekanan air.

(2)Untuk penempatan dimensi krib didapat menggunakan ketetapan seperti yang

terdapat pada bab II mengenai penentuan dimensi krib yang dilakukan pada

saat mendapatkan data running kosong, dengan tinggi disesuaikan dengan

tinggi muka air banjir atau tinggi bantaran sungai dan panjang krib adalah

20% dari lebar saluran sehingga didapat dimensi sebagai berikut:

 Tinggi krib (T) = 25 cm atau 0,25 m

 Panjang krib (Lb) = 20% dari lebar saluran, dimensi lebar saluran adalah 50 cm

sehingga panjang krib = 50 x 20% = 10 cm atau 0,1 m

 Jarak antar krib dapat menggunakan rumus dari KP. 02 tentang penentuan jarak

krib dan rumus hidrolis saluran yaitu sebagai berikut:

𝐶 2 .2ℎ 𝛾𝐵
𝐿<𝛼 dimana 𝐶 = 87/(1 + )
2.𝑔 √𝑅
41

Perhitungan jarak antar krib :

A= (b+m.y)y

P = b+2h.√1 + 𝑚2

R = A/P
87
𝐶= 𝛾𝐵
1+
√𝑅

𝐶 2 .2ℎ
𝐿<𝛼 2.𝑔

4. Pengambilan Data

Adapun data-data yang kami ambil dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1) Debit air (Q)

Debit air diukur dengan menggunakan pengukur debit pintu Thomson,

dengan rumus debit :

8 𝛼
𝑄= 𝐶𝑑. 𝑡𝑔 √2. 𝑔𝐻 5/2
15 2

𝑄 × 15
𝐶𝑑 =
8 × 𝑡𝑔. 45°. √2. 𝑔𝐻 5/2

Dimana:

Q = debit aliran (m3/det)

H = kedalaman air pada bak pengukur debit (m)

Cd = koefisien Thompson

g = Percepatan grafitasi (m/det2)


42

2) Kedalaman air (y)

Untuk data kedalaman air (y) diambil dari kedalaman pada hulu dimana

aliran belum melewati krib pada pada bagian kiri, bagian kanan, dan bagian

tengah saluran yang dirata-ratakan, yang disimbolkan dengan (y0), kemudian

kedalaman air pada pertengahan dari bangunan krib yang disimbolkan dengan

(y1) dan kedalaman air setelah melewati bangunan krib (y2).

3) Data kecepatan aliran (v)

Untuk data kecepatan aliran (v) diambil dari kecepatan aliran pada titik

dimana aliran belum melewati bangunan krib pada bagian kiri, bagian kanan,

dan bagian tengah saluran yang dirata-ratakan, yang disimbolkan dengan (v0),

kemudian kecepatan aliran pada pertengahan dari bangunan krib yang

disimbolkan dengan (v1) dan kecepatan aliran setelah melewati bangunan krib

(v2).

4) Data kedalaman gerusan (hg)

Pengambilan data kedalaman gerusan diukur langsung pada tebing saluran

yang mengalami gerusan tepatnya pada titik dimana terdapat bangunan krib

impermeabel.

5. Model Analisis

Dalam penelitian ini data-data yang telah diambil seperti data kecepatan

aliran data tinggi muka air dengan gerusan diolah dalam bentuk tabel dan kurva,

untuk tiap-tiap data dapat digunakan sebagai berikut :

1) Kecepatan aliran dan tinggi muka air digunakan untuk mencari nilai debit
43

aliran (Q) dengan rumus Q = V.A

A = (b+m.y)y

Dimana : V = kecepatan aliran (m/det)

A = luas penampang saluran (m2)

b = lebar penampang bawah saluran trapesium (m)

y = tinggi muka air (m)

m = nilai kemiringan

selain itu data kecepatan aliran dijadikan sebagai perbandingan dari pengaruh

sudut krib impermeabel.

2) Data kedalaman gerusan digunakan untuk menggambarkan profil melintang

dan memanjang serta kontur dari saluran pada setiap pemasangan krib

impermeable.

3) Untuk masing-masing datayang telah diambil akan dibuatkan kurva

perbandingan kecepatan aliran (v) pada setiap titik pengamatan untuk masing-

masing sudut pemasangan krib impermeabel.

6. Prosedur penelitian

Adapun prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Mempersiapkan peralatan di laboratorium termasuk membuat model fisik

saluran terbuka

2) Melakukan kalibrasi untuk penentuan debit pada pintu Thompson.

3) Mengisi tanah kedalam saluran

4) Menghitung jarak antar krib yang akan diletakkan di tikungan saluran


44

5) Memasang krib pada tikungan sesuai dengan sudut dan jarak yang akan

digunakan.

6) Melakukan pengaliran dan mengukur kecepatan (V) dan kedalaman aliran

(Y) pada area sekitar krib.

7) Setelah pengukuran kecepatan (V) dan kedalaman aliran (Y) telah selesai

maka aliran dihentikan.

8) Mengukur kedalaman aliran yang terjadi pada saluran.

9) Ulangi langkah ke dua dengan variasi sudut yang berbeda.

10) Mengolah data yang didapatkan pada saat penelitian.


45

3. Bagan Alur Penelitian

Mulai

Studi Literatur

Perancangan Model

Pembuatan Model

Persiapan Sarana Model Penyetelan Prasarana Model


1. Pembuatan sarana dan prasarana model 1. Masukkan Material pada saluran

2. Pembuatan Saluran 2. Pengaturan alat ukur

3. Merakit Krib 3. Pengaturan arah sudut dan jarak krib

Pengambilan Data

Varibel Terikat: Varibel Bebas:


1.Kecepatan Aliran (v) 1.Sudut Krib (0)
2.Kedalaman Gerusan (hg) 2.Jarak Krib (L)
3.Angka Frude (Fr) 3.Luas Penampang Saluran (A)
4.Angka Reynold (Re)

Pengolahan data/validasi:
1. Kecepatan Aliran (v) Tidak
2. Perubahan Penampang Saluran
3. Kedalaman gerusan (hg)

Ya
Analisis Data/Pembahasan:
Sudut Krib (0)

Selesai

Gambar 16. Bagan alur penelitian


46

BAB IV

Hasil dan Pembahasan

A. Penentuan Dimensi Krib

1. Tinggi krib (T)

Sesuai yang dijelaskan pada bab II bahwa penentuan tinggi mercu krib

dapat disesuaikan dengan elevasi bantaran atau sama dengan tinggi muka air

tertinggi pada saat banjir sehingga tinggi krib adalah 25 cm atau 0.25 m

2. Panjang krib (Lb)

Penetapan panjang krib yang dilakukan dengan pendekatan Akikusa dkk,

bahwa panjang krib adalah kurang dari 20% dari lebar saluran sehingga didapat

panjang krib adalah sebagai berikut:

Diketahui :

1) Lebar saluran (b) = 0.5 m

2) Panjang krib (Lb) = 0.2 x 50 = 0.10 m

3. Jarak antara krib (L)

Jarak antara krib dapat menggunakan rumus dari KP. 02 tentang penentuan

jarak krib dan rumus hidrolis saluran yaitu sebagai berikut :

1) Perhitungan koefisien Chezy

𝑚
𝐶 = 87/(1 + )
√𝑅

R = A/P

R = 0.14 /1.06= 0.13 m


47

Dimana : R= 0.13 m, 𝛾𝐵 = 0.85 (tabel bazin koefisien kekasaran saluran)

87 87
𝐶= 𝛾𝐵 = 0.85 = 26.00
1+ 1+
√𝑅 √0.13

2) Perhitungan jarak maksimum antar krib:

𝐶 2 .2ℎ
𝐿<𝛼 2.𝑔

𝐶 2 . 2ℎ 26.002 . 2.0.2
𝐿<𝛼 = 𝐿 < 0.6 = 4.13 m atau 413 cm
2. 𝑔 2.9.8

Sehingga diambil jarak krib 0.2 m < 4.13 m

B. Analisis Koefisien Debit (Cd) pada Pintu Thompson

Pada penelitian ini menggunakan pintu thompsonsebagai pengatur debit

aliran. Sehingga sebelum melakukan pengambilan data maka perlu untuk

menentukan besarnya koefisien debit yang dilakukan dengan pengamatan

menggunakan pintu thompson. Adapun penentuan koefisien debitnya dapat dilihat

pada table berikut:

Tabel 2. Perhitungan koefisien debit pada pintu Thompson

Tinggi Air (H) Waktu (T) Volume (V) Debit (Q)


No.
(m) (det) (m3) (m3/det)

1 0.20 60 1.98 0.033

2 0.20 60 1.98 0.033

3 0.20 60 1.98 0.033


48

8 𝛼
𝑄= 𝐶𝑑. 𝑡𝑔 √2. 𝑔𝐻 5/2
15 2

𝑄 × 15
𝐶𝑑 =
8 × 𝑡𝑔. 45°. √2. 𝑔𝐻 5/2

0.0330 × 15
𝐶𝑑 = = 0.781
8 × 𝑡𝑔. 45°. √2.9.81. 0.25/2

8
𝑄= 0.781. 𝑡𝑔. 45°√2.9.81𝐻 5/2
15

𝑄 = 1.84. 𝐻 5/2

Perhitungan debit (Q) Thompson untuk ketinggian diambang0.20m

𝑄 = 1.84. 𝐻 5/2

𝑄𝑡ℎ𝑜𝑚𝑝𝑠𝑜𝑛 = 1.84. 0.25/2 = 0.0330 𝑚3 /𝑑𝑒𝑡

C. Analisis Bilangan Froude (Fr) dan Bilangan Reynold (Re)

Berdasarkan data-data hasil penelitian di atas maka dapat dihitung debit

saluran (Q), bilangan Froude (Fr) dan bilangan Reynold (Re) sebagai berikut:

1. Perhitungan Luas Penampang (A)

Perhitungan luas penampang pada saluran tanpa krib pada titik I (bagian hulu)

Rumus :A = (b+m.y)y

Dimana :b = 0.5 m, m = 1, y = 0,07 m

A = (0.5+1.0.07) 0.07 = 0.90 m2

Untuk hasil perhitungan luas penampang (A) pada titik berikutnya dapat

dilihat pada tabel 3.


49

2. Perhitungan penampang basah (P)

Perhitungan penampang basah (P) pada saluran tanpa krib pada titik I (bagian

hulu)

Rumus :P = b+2h.√1 + 𝑚2

Dimana : b = 0.5 m, h = 0.07 m

P = 0.5+2.0.07.√1 + 12 = 0.71 m

Untuk hasil perhitungan penampang basah (P) pada titik berikutnya dapat

dilihat pada tabel 3.

3. Perhitungan jari-jari hidrolis (R)

Perhitungan jari-jari hidrolis (R) pada saluran tanpa krib pada titik I (bagian

hulu)

Rumus : R = A/P

R = 0.04 /0.71= 0.06 m

Untuk hasil perhitungan luas penampang (A) pada titik berikutnya dapat

dilihat pada tabel 3.

4. Perhitungan kemiringan saluran (I)

Perhitungan kemiringan saluran (I) pada saluran tanpa krib pada titik I

(bagian hulu)

Rumus : I = (V /( 1/n x R2/3)1/2= (0.98 / (1/0.020 x 0.062/3)1/2= 4.00

5. Perhitungan debit saluran (Q)

Perhitungan debit saluran (Q)pada saluran tanpa krib pada titik I (bagian

hulu)

Rumus : Q = V.A
50

Q = 0.98 x 0.04 = 0.041 m3/det

6. Perhitungan bilangan Froude (Fr)

Untuk perhitungan bilangan Froude (Fr) menggunakan rumus sebagai berikut:


𝑉
Rumus :𝐹𝑟 =
√𝑔.𝑌

Dimana : V = kecepatan aliran (m/det)

g = Percepatan grafitasi bumi (9.81 m/det2)

Y = kedalaman aliran (m)

Perhitungan bilangan Froude (Fr) untuk saluran tanpa krib pada titik I (bagian

hulu) .

𝑉 0.98
𝐹𝑟 = = = 1.16
√𝑔. 𝑦 √9.81 × 0.07

Untuk perhitungan hasil perhitungan bilangan Froude (Fr) pada titik

selanjutnya dan pada saluran dengan krib impermeabel pada masing-masing

sudut dapat dilihat pada tabel 3 berikut:


51

Tabel 3.Perhitungan bilangan Froude (Fr) untuk setiap sudut pemasangan krib impermeable.

Lebar
Sudut Kedalaman Kecepatan Luas Keliling Jari-jari
Titik Dasar Bilangan
Pemasangan Rata-rata Aliran (v) Penampang Basah Hidrolis
Pengamatan Saluran Froude (Fr)
Krib (0) (y) m m/det) (A) m2 (P) m ( R ), m
(b) m
Tanpa Krib 0.07 0.50 0.98 0.04 0.71 0.06 1.16
Titik I
60 0.11 0.50 0.40 0.06 0.80 0.08 0.39
(bagian
90 0.11 0.50 0.30 0.06 0.80 0.08 0.29
hulu)
120 0.11 0.50 0.27 0.07 0.81 0.08 0.26
Tanpa Krib 0.08 0.50 0.96 0.05 0.73 0.06 1.08
Titik II
60 0.11 0.50 0.77 0.06 0.80 0.08 0.75
(bagian
90 0.11 0.50 0.70 0.06 0.80 0.08 0.68
tengah)
120 0.11 0.50 0.68 0.07 0.80 0.08 0.66
Tanpa Krib 0.10 0.50 0.94 0.06 0.78 0.08 0.95
Titik III 60 0.11 0.50 0.67 0.07 0.80 0.08 0.65
(bagian hilir) 90 0.11 0.50 0.65 0.07 0.80 0.08 0.63
120 0.11 0.50 0.63 0.07 0.81 0.08 0.61
52

Pada tabel 3.Perhitungan bilangan Froude (Fr) untuk setiap sudut

pemasangan krib impermeable di atas memperlihatkan bahwa pada titik

pengamatan I (bagian hulu) untuk saluran tanpa krib bilangan Froude (Fr) = 1.16,

untuk saluran dengan pemasangan krib impermeabel 600 bilangan Froude (Fr) =

0.39, untuk saluran dengan pemasangan krib impermeabel 900 bilangan Froude

(Fr) = 0.29 dan untuk saluran dengan pemasangan krib impermeabel 1200

bilangan Froude (Fr) = 0.26 untuk selanjutnya dapat dilhat pada tabel 3 di atas.

7. Perhitungan bilangan Reynold (Re)


𝑉×𝑅
Rumus :𝑅𝑒 = 𝜐

Dimana : V = Kecepatan aliran (m/det)

R = Jari-jari hidrolis (m)

𝜐 = Viskositas kinematis cairan (m2/det)

Perhitungan bilangan Reynold (Re) pada saluran tanpa krib pada titik

pengamatan I (bagian hulu)

𝑉×𝑅
𝑅𝑒 =
𝜐

Dimana 𝜐 = 0.84 (hasil interpolasi)

Untuk nilai viskositas (𝜐) dapat dilihat pada lampiran tabel viskositas

kinematik sebagai hubungan fungsi suhu.

0.98 × 0.059
𝑅𝑒 = = 70760.80
0.84

Untuk perhitungan bilangan Froude (Fr) pada titik selanjutnya dan pada

saluran dengan pemasangan krib impermeabel yang berbeda-beda dapat dilihat

pada tabel 4 berikut:


53

Tabel 4.Perhitungan bilangan Reynold (Re) untuk setiap sudut pemasangan krib impermeable.

Lebar
Sudut Kedalaman Kecepatan Luas Keliling Jari-jari
Titik Dasar Bilangan
Pemasangan Krib Rata-rata Aliran (v) Penampang Basah Hidrolis ( R ),
Pengamatan Saluran Reynold (Re)
(0) (y) m m/det) (A) m2 (P) m m
(b) m
Tanpa Krib 0.073 0.500 0.980 0.904 2.574 0.059 70760.8
Titik I 60 0.107 0.500 0.400 0.065 0.802 0.081 38436.9
(bagian hulu) 90 0.107 0.500 0.300 0.065 0.802 0.081 28827.7
120 0.110 0.500 0.267 0.067 0.811 0.083 26261.7
Tanpa Krib 0.080 0.500 0.960 1.040 2.763 0.064 74795.4
II (bagian 60 0.107 0.500 0.767 0.065 0.802 0.081 73670.7
tengah) 90 0.107 0.500 0.700 0.065 0.802 0.081 67264.6
120 0.108 0.500 0.683 0.066 0.805 0.081 66209.0
Tanpa Krib 0.100 0.500 0.940 0.060 0.783 0.077 87859.9
Titik III 60 0.108 0.500 0.667 0.066 0.805 0.081 64594.1
(bagian hilir) 90 0.108 0.500 0.650 0.066 0.805 0.081 62979.3
120 0.111 0.500 0.633 0.068 0.814 0.083 62872.8
54

Pada tabel 4. Perhitungan bilangan Reynold (Re) untuk setiap sudut

pemasangan krib impermeabel di atas memperlihatkan bahwa pada titik

pengamatan I (bagian hulu) untuk saluran tanpa krib bilangan Reynold (Re) =7

0760.80, untuk saluran dengan pemasangan krib impermeabel 600 bilangan

Reynold (Re) = 38436.9, untuk saluran dengan pemasangan krib impermeabel 900

bilangan Reynold (Re) = 28827.7 dan untuk saluran dengan pemasangan krib

impermeabel 1200 bilangan Reynold (Re) = 26261.7 untuk titik pengamatan

berikutnya dan pada masing-masing sudut pemasangan krib impermeabel dapat

dilhat pada tabel 4. Perhitungan bilangan Reynold (Re) untuk setiap sudut

pemasangan krib impermeabel di atas.

D. Analisis Kecepatan Aliran pada Sudut Pemasangan Krib Impermeabel

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dilapangan maka dapat di

analisis kecepatan aliran pada sudut pemasangan krib impermeabel pada saluran

tanpa krib impemeabel dan saluran dengan krib impermeabel dengan masing-

masing pemasangan sudut yang berbeda-beda yang diperlihatkan dalam bentuk

tabel dan grafik.

1. Analisis kecepatan aliran pada setiap sudut pemasangan krib impermeabel

pada titik pengamatan I (bagian hulu)

Adapun tabel pengamatan kecepatan aliran pada saluran tanpa krib dan

pada saluran dengan krib pada masing-masing sudut pemasangan krib

impermeabel yang berbeda-beda, yang diperlihatkan pada tabel berikut:


55

Tabel 5. Kecepatan aliran pada setiap sudut pemasangan krib impermeabel pada
llllllllllllltitik pengamatan I (bagian hulu)

Sudut Waktu Kecepatan (v) Flow Watch (m/dtk)


No
Krib(0) (Menit) Kiri Tengah Kanan Rata-rata
1 2 1.00 1.00 1.00 1.00
Tanpa
2 4 1.00 1.00 1.00 1.00
Krib
3 6 0.90 1.00 0.90 0.93
4 2 0.10 0.70 0.40 0.40
5 60 4 0.10 0.70 0.40 0.40
6 6 0.10 0.70 0.40 0.40
7 2 0.10 0.50 0.30 0.30
8 90 4 0.10 0.50 0.30 0.30
9 6 0.10 0.50 0.30 0.30
10 2 0.10 0.50 0.20 0.27
11 120 4 0.10 0.50 0.20 0.27
12 6 0.10 0.50 0.20 0.27

Berdasarkan pada tabel kecepatan aliran pada setiap sudut pemasangan

krib impermeabel pada titik pengamatan I (bagian hulu) di atas maka dapat dibuat

grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib impermeabel

seperti dibawah ini.

1.2

1.0
Kecepatan Aliran (m/det)

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0
30
0 60
60 90
90 120120
Sudut Pemasangan Krib Impermeabel(0)
TITIK PENGAMATAN I (BAGIAN HULU)

Gambar 17. Grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib
Impermeabel pada titik pengamatan I (bagian hulu)
56

Pada grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib

impermeabel pada titik pengamatan I (bagian hulu) diatas dapat dilihat bahwa

kecepatan aliran pada saluran tanpa krib sebesar 0.98 m/det sedangkan pada

saluran yang dipasangkan krib impermeabel, masing-masing kecepatan pada

setiap sudut pemasangan krib yaitu, 0.40 m/det pada sudut pemasangan krib

impermeabel 600, 0.30 m/det pada sudut pemasangan krib impermeabel 900 dan

0.27 m/det untuk sudut pemasangan krib impermeabel 1200.

2. Analisis kecepatan aliran pada setiap sudut pemasangan krib impermeable

pada titik pengamatan II (bagian tengah)

Adapun tabel pengamatan kecepatan aliran pada saluran tanpa krib dan

pada saluran dengan krib pada masing-masing sudut pemasangan krib

impermeabel yang berbeda-beda, yang diperlihatkan pada tabel berikut:

Tabel 6. Kecepatan aliran pada setiap sudut pemasangan krib impermeabel pada
lllllllllllllltitik pengamatan II (bagian tengah)

Sudut Waktu Kecepatan (v) Flow Watch (m/dtk)


No
Krib(0) (Menit) Kiri Tengah Kanan Rata-rata
1 2 1.00 1.00 0.90 0.97
2 0 4 0.90 1.00 0.90 0.93
3 6 0.90 0.90 0.80 0.87
4 2 0.80 1.00 0.50 0.77
5 60 4 0.80 1.00 0.50 0.77
6 6 0.80 1.00 0.50 0.77
7 2 0.80 0.90 0.40 0.70
8 90 4 0.80 0.90 0.40 0.70
9 6 0.80 0.90 0.40 0.70
10 2 0.80 0.85 0.40 0.68
11 120 4 0.80 0.85 0.40 0.68
12 6 0.80 0.85 0.40 0.68

Berdasarkan pada tabel kecepatan aliran pada setiap sudut pemasangan

krib impermeabel pada titik pengamatan II (bagian tengah) di atas maka dapat
57

dibuat grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib

impermeabel seperti dibawah ini.

1.2

1
Kecepatan Aliran (m/det)

0.8

0.6

0.4

0.2

0
30
0 60 90 120
120
Sudut Pemasangan Krib Impermeabel (0)

TITIK PENGAMATAN II (BAGIAN TENGAH)

Gambar 17.Grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib


impermeabel pada titik pengamatan II (bagian tengah)

Pada grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib

impermeabel pada titik pengamatan II (bagian Tengah) diatas dapat dilihat bahwa

kecepatan aliran pada saluran tanpa krib sebesar 0.96 m/det sedangkan pada

saluran yang dipasangkan krib impermeabel, masing-masing kecepatan pada

setiap sudut pemasangan krib yaitu, 0.77 m/det pada sudut pemasangan krib

impermeabel 600, 0.70 m/det pada sudut pemasangan krib impermeabel 900 dan

0.68 m/det untuk sudut pemasangan krib impermeabel 1200.


58

3. Analisis kecepatan aliran pada setiap sudut pemasangan krib impermeabel

pada titik pengamatan III (bagian hilir)

Adapun tabel pengamatan kecepatan aliran pada saluran tanpa krib dan

pada saluran dengan krib pada masing-masing sudut pemasangan krib

impermeabel yang berbeda-beda, yang diperlihatkan pada tabel berikut:

Tabel 7. Kecepatan aliran pada setiap sudut pemasangan krib impermeabel pada
lllllllllllllltitik pengamatan III (bagian hilir)

Kecepatan (v) Flow Watch (m/dtk)


Sudut Waktu
No
Krib(0) (Menit)
Kiri Tengah Kanan Rata-rata

1 2 1.00 1.00 0.90 0.97

2 0 4 0.90 1.00 0.80 0.90

3 6 0.80 0.90 0.80 0.83

4 2 0.70 0.95 0.30 0.65

5 60 4 0.70 0.95 0.30 0.65

6 6 0.80 1.00 0.30 0.70

7 2 0.80 0.90 0.25 0.65

8 90 4 0.80 0.90 0.25 0.65

9 6 0.80 0.90 0.25 0.65

10 2 0.80 0.90 0.20 0.63

11 120 4 0.80 0.90 0.20 0.63

12 6 0.80 0.90 0.20 0.63

Berdasarkan pada tabel kecepatan aliran pada setiap sudut pemasangan

krib impermeabel pada titik pengamatan III (bagian hilir) di atas maka dapat
59

dibuat grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib

impermeabel seperti dibawah ini.

1.2

1
Kecepatan Aliran (m/det)

0.8

0.6

0.4

0.2

0
30 0 6060 90
90 120 120
Sudut Pemasangan Krib Impermeabel (0)

TITIK PENGAMATAN III (BAGIAN HILIR)

Gambar 19. Grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib v
vvvvvvv impermeabel pada titik pengamatan III (bagian hilir)

Pada grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib

impermeabel pada titik pengamatan III (bagian hilir) diatas dapat dilihat bahwa

kecepatan aliran pada saluran tanpa krib sebesar 0.94 m/det sedangkan pada

saluran yang dipasangkan krib impermeabel, masing-masing kecepatan pada

setiap sudut pemasangan krib yaitu, 0.67 m/det pada sudut pemasangan krib

impermeabel 600, 0.65 m/det pada sudut pemasangan krib impermeabel 900 dan

0.63 m/det untuk sudut pemasangan krib impermeabel 1200.


60

1.2

1.0
Kecepatan Aliran (m/det)

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0
30
0 60 90
90 120
120
Sudut Pemasangan Krib Impermeabel (0)

TITIK PENGAMATAN I (HULU) TITIK PENGAMATAN II (TENGAH)

TITIK PENGAMATAN III (HILIR)

Gambar 20. Grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib y
v uimpermeabel pada setiap titik pengamatan

Pada grafik hubungan kecepatan aliran dengan sudut pemasangan krib

impermeabel pada titik pengamatan I (bagian hulu) di atas dapat dilihat bahwa

kecepatan aliran pada saluran tanpa krib sebesar 0.98 m/det sedangkan pada

saluran yang dipasangkan krib impermeabel, masing-masing kecepatan pada

setiap sudut pemasangan krib yaitu, 0.40 m/det pada sudut pemasangan krib

impermeabel 600, 0.30 m/det pada sudut pemasangan krib impermeabel 900 dan

0.27 m/det untuk sudut pemasangan krib impermeabel 1200. kecepatan aliran

dengan sudut pemasangan krib impermeabel pada titik pengamatan II (bagian

Tengah) kecepatan aliran pada saluran tanpa krib sebesar 0.96 m/det sedangkan

pada saluran yang dipasangkan krib impermeabel, masing-masing kecepatan pada


61

setiap sudut pemasangan krib yaitu, 0.77 m/det pada sudut pemasangan krib

impermeabel 600, 0.70 m/det pada sudut pemasangan krib impermeabel 900 dan

0.68 m/det untuk sudut pemasangan krib impermeabel 1200.

E. Kedalaman Gerusan dan Perubahan Penampang Melintang pada

Saluran untuk Masing-masing Sudut Pemasangan Krib Impermeabel

Adapun bentuk gerusan yang dapat diperlihatkan dalam bentuk kontur dari

masing-masing pemasangan krib dengan sudut yang telah ditetapkan adalah

sebagai berikut:

1. Kontur pada sudut pemasangan krib 60̊

Gambar 21. Kontur pada penampang saluran pada sudut pemasangan


kkkkkkkkkkkrib impermeable 600
62

Potongan Melintang A-A Potongan Melintang B-B


Gambar 22. Perubahan penampang saluran pada potongan A-A dan B-B

Potongan Melintang C-C Potongan Melintang D-D


Gambar 23. Perubahan penampang saluran pada potongan C-C dan D-D

Potongan Melintang E-E Potongan Melintang F-F

Gambar 24. Perubahan penampang saluran pada potongan E-E dan F-F
63

Pada potongan melintang A-A, B-B dan C-C pada bagian kanan tebing

saluran mengalami gerusan dan pada bagian kanan dasar saluran terjadi

sedimentasi akibat dari pemasangan krib impermeabel yang menangkap

sedimentasi, sedangkan pada potongan melintang D-D, E-E dan F-F mengalami

gerusan pada bagian kiri saluran dan pengendapan akibat dari adanya bangunan

krib impermeabel yang menangkap sedimentasi

2. Kontur pada sudut sudut pemasangan krib 90̊

A
B

A B
C

D
E
F

Gambar 25. Kontur pada penampang saluran pada sudut pemasangan


kkkkkkkkkkimpermeable 900
64

Potongan Melintang A-A Potongan Melintang B-B

Gambar 26. Perubahan penampang saluran pada potongan A-A dan B-B

Potongan Melintang C-C Potongan Melintang D-D

Gambar 27. Perubahan penampang saluran pada potongan C-C dan D-D

Potongan Melintang E-E Potongan Melintang F-F


Gambar 28. Perubahan penampang saluran pada potongan E-E dan F-F
65

Pada potongan melintang A-A, B-B dan C-C pada bagian kanan tebing

saluran mengalami gerusan dan pada bagian kanan dasar saluran terjadi

sedimentasi akibat dari pemasangan krib impermeabel yang menangkap

sedimentasi, sedangkan pada potongan melintang D-D, E-E dan F-F mengalami

gerusan pada bagian kiri saluran dan pengendapan akibat dari adanya bangunan

krib impermeabel yang menangkap sedimentasi.

3. Kontur pada sudut sudut pemasangan krib 120̊

A
B

A B
C

D
E
F

Gambar 29. Kontur pada penampang saluran pada sudut pemasangan krib
dvdvvdvdvimpermeable1200
66

Potongan Melintang A-A Potongan Melintang B-B


Gambar 30. Perubahan penampang saluran pada potongan A-A dan B-B

Potongan Melintang C-C Potongan Melintang D-D

Gambar 31. Perubahan penampang saluran pada potongan C-C dan D-D

Potongan Melintang E-E Potongan Melintang F-F


Gambar 32. Perubahan penampang saluran pada potongan E-E dan F-F
67

Pada potongan melintang A-A, B-B dan C-C pada bagian kanan tebing

saluran mengalami gerusan dan pada bagian kanan dasar saluran terjadi

sedimentasi akibat dari pemasangan krib impermeabel yang menangkap

sedimentasi, sedangkan pada potongan melintang D-D, E-E dan F-F mengalami

gerusan pada bagian kiri saluran dan pengendapan akibat dari adanya bangunan

krib impermeabel yang menangkap sedimentasi.


68

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang ada pada bab

sebelumnya maka dapat ditarik beberapa keseimpulan sebagai berikut:

1) Kecepatan aliran sangat berpengaruh dengan sudut pemasangan krib

impermeabel dimana semakin besar sudut pemasangan krib impermeabel

maka kecepatan aliran semakin berkurang.

2) Kedalaman gerusanpada setiap titik pengamatan untuk setiap sudut

pemasangan krib impermeabel memperlihatkan kedalaman gerusan yang

bervariasi.

3) Perubahan penampang pada saluran untuk masing-masing sudut pemasangan

krib impermeabel memperlihatkan perubahan yang berbeda untuk setiap titik

pengamatan.

B. Saran

1) Diharapkan pada penelitian selanjutnya dilakukan uji model krib

impermeabel dengan variasi sudut yang lebih banyak terutama dengan arah

sudut yang lebih besar dari 1200.

2) Pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan penelitian pada bentuk

penampangan dan besar jari-jari lingkaran saluran yang berbeda.


69

DAFTAR PUSTAKA

Asdak Chay, 2014. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.Penerbit


Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Cahya Yuni.2012 Kajian Perubahan Pola Gerusan Tikungan Sungai Akibat


Penambahan Debit (Jurnal), Universitas Hasanuddin. Makassar

Haris M. 2013.Studi Pola Aliran pada Krib Impermeabel di Tikungan Sungai


(Skripsi), Universitas Muhammadiyah Makassar, Makassar

Kodatie Robert J, 2009. Hidrolika Terapan Aliran pada Saluran Terbuka dan
Pipa. Edisi Revisi, Penerbit Andi. Yogyakarta

Kriteria Perencanaan. 02. 2010. Irigasi Perhitungan Dimensi Krib

LoebisJoerson, M. Eng, Drs. Soewarno, Drs Suprihadi B, 1993. Hidrologi Sungai.


Penerbit Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta
Marlina H Ayu. 2014. Studi Analisis Hidrolika Bangunan Krib Permeabel Pada
Saluran Tanah (Jurnal),Universitas Sriwijaya. Palembang
Maryono, A. 2009.Eko-Hidraulik Pengelolaan Sungai Ramah
Lingkungan.Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Nensi E.V Rosalina. 1992. Hidrolika Saluran Terbuka, Cetakan ketiga,


Diterbitkan oleh Erlangga, Jakarta.

S.K Sidharta. 1997. Irigasi dan Bangunan Air.Penerbit Gunadarma. Jakarta

SosrodarsonoSuyono.Masateru Tominang; penerjemah, Ir M. Yusuf Gayo, dkk,


2008.Perbaikan dan Pengaturan Sungai. Penerbit Pradnya Paramita.
Jakarta

Sughono, 1995.Buku Teknik Sipil.Penerbit Nova. Bandung

Undang-undang Republik Indonesia, 1991.LN 1991/44; TLN No. 3445.Peraturan


Pemerintah No. 35 Tahun 1991.Sungai
http://sda.pu.go.id:8183/panduan/unduh-referensi-
peraturan/PP_35_1991.pdf 08-Oktober-2016 pukul 13:30

Anda mungkin juga menyukai