Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada saat ini banyak sekali penelitian di bidang ilmu Genetika tentang
pewarisan sifat yang menggunakan Drosophila sp sebagai bahan penelitian, karena
Drosophila sp memiliki siklus hidup yang cepat serta sangat mudah dalam
perkembangbiakannya. Drosophila sp memang sangat mudah sekali ditemukan pada
sekitar lingkungan tempat tinggal kita. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Susanto
(2011) yang menyatakan bahwa organisme yang memiliki daur hidup pendek seperti
lalat Drosophila sp sangat cocok untuk digunakan sebagai materi percobaan genetika.
Penanganan kultur lalat buah sangat mudah dilakukan dan hanya dengan media yang
komposisi dan pembuatannya sederhana serta tumbuh dan berkembang biak dengan
cepat. Selain itu, Drosophila juga mudah didapatkan di alam bebas, biasanya sering
dijumpai pada buah-buahan yang telah membusuk. Akan tetapi, Drosophila sp yang di
dapatkan dari alam bebas tentu saja bukan galur murni karena mereka telah
melakukan perkawinan dengan beberapa spesies Drosophila yang berbeda, karena ada
banyak sekali spesies dari Drosophila yang tersebar di alam bebas. Sehingga tidak
menutup kemungkinan jika terjadi perbedaan spesies pada tingkat populasi.
Keberadaan jenis Drosophila beragam dan memiliki pola penyebaran dalam
ruang(tempat) dan waktu (harian dan musim). Hal ini telah dijelaskan oleh Warsini
(1996:25) yang menyatakan bahwa marga Drosophila mempunyai jumlah anggota
yang sangat besar. Bermacam – macam dan habitatnya luas. Anggotanya dapat
ditemukan mulai dari dataran rendah hingga daerah pegunungan dan dari daerah
tropis hingga daerah tundra. Daratan subur, gurun pasir, rawa dan savanna, semua
merupakan habitat dari anggota – anggota Drosophila, tak terkecuali daerah hutan dan
pegunungan.
Untuk melihat jauh dekatnya hubungan kekerabatan pada jenis Drosophila
tersebut dapat dilakukan dengan melakukan kajian terhadap hubungan kekerabatan
dari jenis Drosophila tersebut berdasarkan persamaan ciri morfologi yang dimiliki
oleh masing-masing jenis Drosophila. Studi mengenai kekerabatan merupakan bagian
dari studi sistematik. Menurut banyak ahli, sistematik meliputi studi mengenai
identifikasi, taksonomi, tatanama, keanekaragaman organisme dan studi mengenai
berbagai hubungan kekerabatan antara organisme. Menurut Kastawi (2003),
kemiripan struktur suatu organisme dapat dipakai untuk menentukan suatu jenis
kekerabatan.
Drosophila sp memiliki anggota-anggota yang sangat banyak dan tersebar di
semua daerah, habitat dari anggota-anggota Drosophila tersebut hampir tak terkecuali
di semua daerah. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya kesamaan maupun
perbedaan spesies Drosophila pada suatu kota. Adanya kesamaan ciri yang dimiliki
oleh spesies Drosophila dari kota yang berbeda itu menunjukkan bahwa spesies
tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, dan sebaliknya jika tingkat
kemiripan cirinya lebih sedikit maka hubungan kekerabatan dari spesies tersebut
semakin jauh.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam proyek penelitian ini kelompok
kami ingin melakukan penelitian tentang “Kajian Hubungan Kekerabatan Drosophila
Sp tangkapan yang Ada Di Kota Batu, Probolinggo dan Wajak Berdasarkan Ciri
Morfologinya”.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana hubungan kekerabatan Drosophila berdasarkan ciri morfologi pada daerah
Batu, Probolinggo dan Wajak?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui hubugan kekerabatan Drosophila berdasarkan persamaan ciri
morfologi pada Daerah Batu, Probolinggo dan Wajak.

1.4 Kegunaan
Bagi peneliti
a. Mengetahui hubungan kekerabatan Drosophila pada tiga daerah yang meliputi
Daerah Batu, Probolinggo dan Wajak

b. Menjadi bahan acuan untuk penelitian kekerabatan pada spesies lain.


Bagi pembaca
a. Memberikan informasi mengenai ciri-ciri morfologi pada spesies Drosophila.
b. Dapat memberikan informasi mengenai kekerabatan pada beberapa spesies
Drosophila berdasarkan ciri-ciri morfologi.
1.5 Batasan Masalah
a. Penelitian ini terbatas pada pengamatan ciri-ciri morfologi Drosophila pada tiga
daerah yaitu Batu, Probolinggo dan Wajak.
b. Bagian yang diamati adalah kepala, dada, abdomen, sayap, dan bagian kaki.
1.6 Definisi Operasional

 Meremajakan yaitu mengawinkan 3-4 pasang Drosophila jantan dan betina yang
berasal dari kota yang sama dengan cara memindahkannya ke dalam botol yang
berisi medium baru.

 Pemurnian merupakan upaya untuk mendapatkan spesies yang benar-benar


berasal dari galur murni dan membuktikan bahwa spesies tersebut bukan
merupakan mutan. Pemurnian ini dilakukan dengan cara menyilangkn sampai
mendapatkan keturunan F3.

 Mengampul yaitu mengambil pupa yang sudah menghitam dan ditempatkan


pada selang hingga menetas, dalam satu selang diisi dua pupa dengan sekat di
bagian tengah untuk memisahkan kedua pupa dan pada kedua ujungnya ditutup
dengan gabus.

 Menyilangkan yaitu mempertemukan antara lalat jantan dan betina dalam satu
botol, dalam satu botol tersebut hanya diisi satu pasang lalat jantan dan betina
saja.

 F1 yaitu keturunan pertama yang didapatkan dari hasil persilangan parental dari
strain.

 F2 yaitu keturunan yang didapatkan dari hasi persilangan antar sesama F1

 F3 yaitu keturunan yang didapatkan dari hasil persilangan antar sesama f2

 Identifikasi ciri merupakan pengamatan pada ciri morfologi Drosophila dari


ketiga daerah
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistematika
Berikut ini klasifikasi Drosophila sp menurut Teti (2011)

Kingdom : Animalia
Phillum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Drosophilidae
Genus : Drosophila
Spesies : Drosphila sp

2.2 Morfologi Drosophila

Drosophila merupakan lalat kecil yang biasanya berwarna kuning pucat ke


coklat kemerahan hingga hitam, dengan mata merah. Sebagian besar berukuran kecil,
panjangnya sekitar 2-4 milimeter. Lalat buah dan Artrophoda lainnya mempunyai
kontruksi modular, suatu seri segmen yang teratur. Segmen ini menyusun tiga bagian
tubuh utama, yaitu; kepala, thoraks, dan abdomen (Gambar 2.1). Seperti hewan
simetris bilateral lainnya, Drosophila ini mempunyai poros anterior dan posterior
(kepala-ekor) dan poros dorsoventral (punggung-perut) (Campbell dkk. 2002: 423—
424.

Gambar 2. 1. Bagian tubuh utama Drosophila sp (kepala, thorax dan abdomen)


2.1.1 Kepala
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk (mata facet) (Gambar
2.2a). Tiga mata tunggal (gambar 2. 2b), sepasang antena (Gambar 2.3a) yang
terbagi atas beberapa segmen, yaitu :
a. segmen I disebut scepe, kecil dan bentuknya menyempit seperti cincin
mengelilingi bagian basal
b. segmen II disebut precdicle, ukurannya lebih besar dari segmen pertama dan
bentuknya mengembung
c. segmen III besar dan bentuknya menyerupai bola lampu
d. segmen IV dan segmen V mengalami reduksi dan terletak pada bagian dorsal
segmen VI
e. segmen VI disebut arista bentuknya bercabang-cabang dan pada bagian ujung
batangnya yang utama terdapat percabangan menggarpu
f. Mulut Drosophila merupakan penonjolan dari bagian kepala dan berbentuk
kerucut pipi(gena) mempunyai diameter yang berbeda pada setiap jenis.
Pasangan antena terletak di bagian frontal kepala (Fishilevich & Vosshall,
2005). Sebuah sketsa D. struktur antena melanogaster disediakan pada gambar 2c.
Antena lalat buah dewasa terdiri dari enam segmen. Dari proksimal ke distal yang
disebut a1, a2, a3, a4, a5 dan arista (Gambar 2.3d). Segmen yang berbeda dari
antena melayani set fungsi berbeda termasuk hygrosensation (arista),
thermosensation (a3), penciuman (a3), dan audisi (arista dan a2) (Carlson, 1996;
Eberl, 1999; Goepfert dan Robert, 2001; Sayeed dan Benzer, 1996).

Gambar 2. 2. Bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk (mata facet) (a), dan tiga mata tunggal
(b).
A
B

Gambar 2. 3. Sepasang antena yang terbagi atas beberapa segmen (a & b)

2.1.2 Mulut

Organ mulut pada Drosophila (Gambar 2. 4) disokong oleh formasi hidung.


Morfologi hidung sulit untuk digambarkan, sebab merupakan hasil modifikasi dari
reduksi maksila, dan merupakan perluasan dari daerah membran. Hidung
beradaptasi untuk mengisap cairan, namun untuk memasukkan partikel padat pada
saluran makanan membutuhkan waktu yang lama. Kondisi ini membuat bibir
menjadi berefleksi dengan lovat menuju ke puncak gigi dengan menggunakan alat
pemotong. Mulut lalat ini berwarna hitam dan posterior mulut terdapat rambut-
rambut vibrissa. Semua alat mulut menambah bentukan proboscis. Mulut terdiri
dari:

a. Labrum, bagian dorsalnya berscelea baik, tetapi bagian ventral kebanyakan


berupa membran, dan bagian luarnya kadang-kadang berupa membran.
b. Mandibula, tidak ada, bila ada merupakan menghisap.
c. Maxilla, sangat jarang, yang komplek terdiri dari sclerite, basal berpisah dan
tersendiri. Sungut maxilla merupakan bagian yang penting unuk identifikasi.
Sungut maxila ini terdiri dari 4 segmen, dimana segmen keempat tereduksi
menjadi organ single.
d. Labium, membentuk hidung pada bagian distalnya, biasanya elebar
berpasangan.
e. Hypopharink, pada umumnya ada dan keduanya tebentuk lanceolus,
(Strickberger, 1985).
Gambar 2.4. Bagian-bagian pada mulut Drosophila sp

2.1.3 Dada

Pada dada terdiri 3 atas segmen, yaitu prothorax, mesothorax, dan metathorax.
Pada tiap-tiap segmen terdapat sepasang kaki. Pada mesothorax terdapat sepasang
sayap, dan pada metathorax terdapat halter.

Gambar 2. 5. Bagian-bagian pada thorax

Gambar 2.6 . Letak halter pada metathorax

Pada gambar di atas menunjukkan bahwa Notum terdiri atas dua bagian
utama yaitu scutum di depan scutellum yang dipisahkan oleh jahitan scutoscutellar.
Sedangkan rambut-rambut yang ada pada bagian thorax tersebut disebut dengan
Macrochaetae yang memiliki ukuran lebih besar sedangkan Microchaetae yang
berukuran lebih kecil. Thorax terdiri dari:
1. Sayap
Terdiri satu pasang dan masing-masing terdiri dari delapan rambut-rambut jalan
yang disebut aerostichol pada bagian anteriol dorso-ventral. Drosophila
melanogaster nomal posisi sayapnya tidur dan menutupi, panjang sayapnya lebih
panjang dari abdomennya, sedangkan mutan sayapnya mengalami perubahan yang
bermacam-macam (Gambar 2. 7).

a
b c d e

Gambar 2.7 . Sayap drosophila sp yang normal (a) dan beberapa sayap yang mengalami
mutasi (b-e).

Pada bagian sayap Drosophila memiliki venasi khusus yang berbeda


dengan famili Insekta lainnya. Pada bagian pangkal sayap tersusun atas (dari atas
ke bawah) sel costal, vena auksiler, vena melintang humeral, costa, alula, sel basal,
sel anal, sel aksiler. Pada bagian sayap juga terdapat venasi longitudinal
yang menyusun bagian proksimal sayap antara lain (dari bagian atas ke bawah):
vena longitudinal 1, vena longitudinal 2, vena longitudinal 3, vena longitudinal 4
vena longitudinal 5, vena longitudinal 6 dan juga terdapat vena longitudinal
melintang anterior serta vena longitudianal posterior. Venasi longitudinal
tersebut membentuk beberapa sel penyusun sayap, antara lain sel marginal, sel sub
marginal, sel posterior 1, sel posterior 2 dan sel posterior 3. Semua bagian venasi
sayap ditunjukan melalui gambar 2.8.
Gambar 2. 8. Bagian venasi sayap

2. Kaki
Setiap segmen thorax mendukung satu pasang kaki. Bagian kaki dari
proximal ke distal adalah coxa, trocahanter, femur, tibia, segmen tarsal 1 dan
segmen tarsal 2, jadi setiap kaki terdiri dari 6 segmen yang semuanya
ditumbuhi oleh rambut-rambut (Gambar 2. 9). Lalat buah jantan memiliki sex
comb antara batas tarsal 1 dan tarsal 2. Rambut-rambut disebelah permukaan
tibia bagian proximal apex disebut preatikal tibia spur. Trochanter adalah satu
bangunan berbentuk segitiga kecil yang menghubungkan antara coxa dan
femur, (Sinnot, 1958).

Gambar 2. 9. Bagian kaki dari proximal ke distal

Fenotip sisir kelamin pada drosophila sp jantan (Gambar 2. 10) telah dipelajari
oleh Santamaría, dan Docquier (1993) Randsholt dan Santamaría yang hasil
tidak dipublikasikan. Dimorfisme seksual dari kaki depan yang praktis ini
selalu hadir pada Drosophila sp jantan.
Gambar 2. 10. Gambar akhir tibia dan tarsii dari kaki prothoracic. (A) Drosophila
takahashii. (B) Drosophila subobscura. (C) Drosophila bocqueti (dari Montium yang
subkelompok). (D) Drosophila melanogaster. (E) dacMtlT5, mutan dari Drosophila melanogaster.
(F) crm mutan Drosophila melanogaster. (G) scd mutan Drosophila melanogaster.

2.1.4 Perut
Perut terdiri atas segmen-segmen yang biasanya memiliki pigmentasi. Pada
ujung abdomen terdapat ovopositor yang dipakai sebagai pembeda antara jantan
dan betina (Gambar 2. 11).

Gambar 2. 11. Perbedaan ujung abdomen pada Drosophila jantan dan betina

2.1.5 Persebaran Drosophila


Persebaran dari Marga Drosophila sangat luas hampir diseluruh wilayah
daratan, selain itu marga dari Drosophila tersebut juga memiliki jumlah yang
sangat besar. Hal ini telah dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Warsini
(1996) yang menyatakan bahwa anggota dari marga Drosophila dapat ditemukan
mulai dari dataran rendah hingga daerah pegunungan dan dari daerah tropis hingga
daerah tundra. Daratan subur, gurun pasir, rawa dan savanna, semua merupakan
habitat dari anggota – anggota Drosophila, tak terkecuali daerah hutan dan
pegunungan.
Dalam hal ini Warsini (1996) juga menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi perbedaan persebaran tersebut yaitu karena adanya perbedaan
penyebaran habitat tersebut adalah adanya rintangan alam yang dapat menjadi
penyebab isolasi bagi penyebaran jenis – jenis Drosophila dari daerah satu ke
daerah yang lain. Kondisi inilah yang menyebabkan jenis Drosophila yang ada di
suatu kawasan tertentu mungkin akan berbeda dengan jenis-jenis Drosophila
yang ada di kawasan lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga
adanya perpindahan Drosophila ke daerah lain yang jaraknya jauh atau
kondisi daerahnya berbeda dengan habitat aslinya. Hal ini misalnya saja terjadi
karena terbawa oleh transportasi hasil bumi dari daerah pegunungan ke daerah
kota. Jarak dari suatu tempat ke tempat yang lain juga bisa menjadi salah satu
faktor penyebab perbedaan ciri morfologi dari Drosophila sp menjadi
berbeda-beda. Pendapat tersebut didukung oleh Kusrini dkk (2010) yang
menyatakan bahwa terjadinya pengelompokan yang terlihat pada dendogram
dikarenakan oleh adanya faktor kedekatan lokasi geografi. Selain perbedaan
temperature, penyebab lain yang dapat membedakan Drosophila satu dengan yang
lain adalah karena pengaruh kelembaban dan ketinggian tempat.

2.1.6 Hubungan kekerabatan drosophila


Hubungan kekerabatan taksonomi makhluk hidup dapat diketahui dengan
melihat banyaknya persamaan ciri yang dimiliki oleh kelompok makhluk hidup
tersebut. Apabila kesamaan ciri yang dimiliki oleh kelompok tersebut banyak maka
dianggap bahwa hubungan kekerabatannya semakin dekat. Cara untuk mengetahui
hubungan kekerabatan dengan sudut pandang yang demikian dikenal dengan sudut
pandang fenetik (Sulasmi, Eko Sri, 1997:24). Sehingga untuk mengetahui
hubungan kekerabatan Drosophila dari suatu kota dengan drosophila dari kota
lainnya dapat dilakukan dengan sudut pandang fenetik tersebut.
Menurut Indriwati (2011), untuk mengetahui hubungan kekerabatan dengan
melihat sudut pandang fenetik tersebut lebih sering digunakan karena, untuk
penerapan klasifikasi secara filogenetik tidak tersedia bukti-bukti yang cukup
sebagai penunjang pelaksanaan sistem klasifikasi tersebut. Bila cukup banyak sifat-
sifat yang dipertimbangkan, biasanya kekerabatan fenetik akan
menggambarkan kekerabatan filogenetik. Untuk mendapatkan hasil penelitian
sesuai dengan yang diharapkan maka paling sedikit diperlukan 50 karakter atau
ciri yang bersifat mantap yaitu ciri yang tidak mudah dipengaruhi oleh lingkungan
(Sulasmi, Eko Sri, 1997:25). Ciri morfologi (fenotip) merupakan bentuk luar atau
kenyataan karakter yang dikandung suatu individu. Selain itu fenotip juga
dapat dikatakan sebagai hasil kerja sama antara genotip dengan lingkungan
(Yatim, 1991:48). Oleh karena itu kemiripan struktur pada organisme dapat dipakai
sebagai kriteria untuk menentukan kekerabatan (Kastawi, 2005:3).

2.1.7 Dendogram
Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara Drosophila dari Kota
Baru, Probolinggi dan Wajak dengan menggunakan dendogram. Dendogram adalah
diagram yang menggambarkan silsilah suatu golongan makhluk hidup
(Poeponegoro, 2008). Dalam hal ini yang digunakan hanya sifat-sifat morfologi.
Alternatif sifat yang mungkin ada pada organisme tersebut diberi kode secara
numerik 1, 2, 3, dst sebagai pembeda. Sedangkan untuk organisme yang tidak
memiliki sifat yang ditampilkan diberi kode 0. Ada tiga tahap yang digunakan
untuk menentukan kesamaan atau similaritas, yaitu dengan mencari: koefisein
asosiasi, koefisien korelasi, dan jarak taksonomi.

2.1.8 Keadaan Topografi dan Klimatologi


a. Batu
Keadaan topografi Kota Batu memiliki dua karasteristik yang berbeda.
Karakteristik pertama yaitu bagian sebelah utara dan barat yang merupakan
daerah ketinggian yang bergelombang dan berbukit. Sedangkan karakteristik
kedua, yaitu daerah timur dan selatan merupakan daerah yang relatif datar
meskipun berada pada ketinggian 800 – 3000 m dari permukaan laut. Keadaan
Klimotografi Kota Batu memmiliki suhu minimum 24 – 18oC dan suhu
maksimum 32 – 28oC dengan kelembaban udara sekitar 75 – 98% dan curah
hujan rata-rata 875 – 3000 mm per tahun. Rata-rata kelembaban nisbi udara 86′ %
dan kecepatan angin 10,73 km/jam. Curah hujan tertinggi di Kecamatan Bumiaji
sebesar 2471 mm dan hari hujan mencapai 134 hari. Karena keadaan tersebut,
Kota Batu sangat cocok untuk pengembangan berbagai komoditi tanaman sub
tropis pada tanaman holtikultura dan ternak.
Secara astronomis Kota Batu terletak pada posisi 112°17’10,90″ –
122°57’11″ Bujur Timur dan 7°44’55,11″ – 8°26’35,45 Lintang Selatan. Wilayah
Kota Batu dibedakan menjadi enam kategori ketinggian yaitu mulai dari 600-
3000 meter dari permukaan laut. Dari enam kategori tersebut wilayah yang paling
luas berada pada ketinggian 1000-1500 meter dari permukaan laut yaitu seluas
6.493,64 ha. Kemiringan lahan (slope) di Kota Batu berdasarkan data dari peta
kontur Bakosurtunal tahun 2001 diketahui bahwa sebagian besar wilayah Kota
Batu mempunyai kemiringan sebesar 25-40% dan kemiringan >40 %
(mediaLABS, 2013).
b. Probolinggo
Wilayah Kota Probolinggo terletak pada ketinggian 0 sampai kurang dari
50 meter dari atas permukaan air laut. Ketinggian tersebut dikelompokkan atas:
ketinggian 0-10 meter, 10-25 meter, dan 25-50 meter. Semakin ke wilayah
selatan, ketinggian dari permukaan laut relatif lebih besar. Namun secara
keseluruhan, wilayah Kota Probolinggo relatif berlereng datar (0,25%). Pada
umumnya wilayah Kota Probolinggo beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan
mencapai + 961 millimeter dengan jumlah hari hujan mencapai 55 hari. Curah
hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Desember, sedangkan hujan
terendah terjadi pada bulan Agustus. Temperatur rata-rata terendah mencapai
26ºC dan tertinggi mencapai 32ºC. Kota Probolinggo mempunyai perubahan
iklim sebanyak 2 musim setiap tahunnya, yaitu musim penghujan dan musim
kemarau. Pada kondisi normal, musim penghujan berada pada bulan Nopember
hingga April, sedangkan musim kemarau berada pada bulan Mei hingga Oktober
setiap tahunnya. Jumlah curah hujan pada tahun 2008 dari hasil pemantauan pada
4 stasiun pengamatan hujan yang ada di Kota Probolinggo, rata – rata tercatat
sebesar 1.072 mm dan hari hujan sebanyak 63 hari. Apabila dibandingkan dengan
rata-rata curah hujan tahun 2007 sebesar 1.368 mm dengan 74 hari hujan, maka
kondisi tahun 2008 lebih kering dibandingkan tahun 2008, dimana curah hujan
per hari pada tahun 2008 sebesar 3,75 mm/hari, sedangkan curah hujan per hari
pada tahun 2008 sebesar 2,94 mm/hari. Curah hujan terlebat terjadi pada bulan
Pebruari dan Maret rata-rata sebesar 19,84 mm per hari. Selain itu pada bulan Juli
sampai dengan September di Kota Probolinggo terdapat angin kering yang
bertiup cukup kencang (kecepatan dapat mencapai 81 km/jam) dari arah tenggara
ke barat laut, angin ini populer dengan sebutan ”Angin Gending” (Rahadianarya,
2010).
c. Wajak
Kecamatan Wajak secara geografis terletak di sebelah Timur 25 Km kota
Malang, terletak pada ketinggian wilayah 525 m/dpl, suhu maksimum/minimum
yaitu 32-20 oC. Dalam rupa bumi terletak dikoordinat sebellah Timur pada
112”43” dan garis lintang selatan pada 08’06’. Memiliki curah hujan rata-rata
pertahun antara 1297 s/d 1925 mm setiap tahunnya dengan batas-batas lain (Situs
Pemerintah Kabupaten Malang, 2010).

2.1.9 Kerangka Konseptual


Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang adanya hubungan kekerabatan
spesies Drosophila. Spesies Drosophila yang digunakan dalam penelitian ini adalah
spesies drosophila dari kota Batu, Probolinggo, dan Wajak.

Drosophila memiliki banyak spesies yang berbeda dan tersebar di setiap daerah,
sehingga dalam setiap daerah bisa saja ditemukan lebih dari satu spesies
Drosophila

Hubungan kekerabatan makhluk hidup dapat diketahui dengan melihat


persamaan ciri secara menyeluruh

Persamaan dan perbedaan ciri morfologi dapat dijadikan sebagai kunci untuk
menentukan suatu hubungan kekerabatan

Drosophila dari kota Batu, Pobolinggo dan Wajak dapat diketahui hubungan
kekerabatannya dengan mengamati persamaan dan perbedaan ciri morfologi
yang dimiliki oleh Drosophila dari masing-masing kota tersebut

Pengamatan ciri morgologi yang dilakukan pada F3


Drosophila yang memiliki persamaan paling banyak berarti memiliki hubungan
kekerabatan yang paling dekat

Menentukan hubungan kekerabatan Drosophila dari kota Batu, Probolinggo dan


Wajak dengan dendogram
2.1.10 Hipotesis

Ada hubungan kekerabatan Drosophila di daerah kota Batu,


Probolinggo dan Wajak berdasarkan ciri morfologinya.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan mengamati ciri-ciri
morfologi Drosophila tangkapan dari masing-masing daerah, yaitu Batu,
Probolinggo dan Wajak. Selanjutnya dilakukan pemurnian hingga mendapatkan
keturunan ketiga. Setelah itu, dilakukan analisis terhadap persamaan ciri yang
diperoleh dengan indeks similaritas dan menyajikannya dalam bentuk dendogram
untuk mengetahui tingkat kekerabatan antar jenis Drosophila dari ketiga daerah
tersebut.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat pengambilan sampel adalah di sekitar rumah peneliti yaitu di
Batu, Probolinggo dan Wajak. Pelaksaan penelitian di ruang Genetika (ruang
310) gedung Biologi FMIPA UM.
3.3 Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini populasi adalah semua jenis Drosophila yang ada
di sekitar rumah yang ada di Batu, Probolinggo dan Wajak, sedangkan
sampelnya adalah Drosophila tangkapan yang digunakan dalam penelitian.
3.4 Variabel
Variabel bebas: Drosophila sp tangkapan dari kota Batu, Probolinggo, dan
Wajak
Variabel terikat: hubungan kekerabatan berdasarkan persamaan ciri morfologi
3.5 Alat dan Bahan
Alat:
1. Botol selai 10. Kardus
2. Selang kecil 11. Kertas pupasi
3. Selang besar 12. Panci
4. Kain kasa 13. Kompor gas
5. Kuas 14. Kantung plastik
6. Spons 15. Cutter/pisau
7. Mikroskop stereo 16. Timbangan
8. Pengaduk 17. Blender
9. Baskom 18. Kulkas
Bahan:
1. Drosophila tangkapan
2. Gula merah
3. Air
4. Tape singkong
5. Yeast
6. Berbagai jenis buah (apel, anggur, semangka, melon, pepaya)

3.6 Prosedur Kerja


1. Menangkap Drosophila
- Menentukan daerah penangkapan yaitu di sekitar rumah peneliti (Batu,
Probolinggo dan Wajak. )
- Memasang perangkap dalam toples atau botol selai yang berupa potongan
buah (Jeruk, Tomat, Pepaya, dan Pisang)
- Meletakkan perangkap pada daerah yang dikehendaki
- Menutup toples atau botol selai yang sudah terisi lalat buah dengan spons.
2. Membuat medium
- Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
- Mengupas pisang dan memotong pisang kecil-kecil, menimbang 700 gram
(satu resep)
- Menimbang tape singkong sebanyak 200 gram (satu resep)
- Menimbang gula merah sebanyak 100 gram (satu resep)
- Memblender pisang dan tape singkong serta menambah air secukupnya
- Memasak hasil blenderan selama 45 menit (satu resep), bila dua resep selama
1 jam
- Memasukkan ke botol sesuai yang dikehendaki (sesuai lalat buah yang akan
disilangkan)
- Mendinginkan
- Memberi kertas pupasi
- Memberi yeast secukupnya
Catatan: perbandingan 7 : 2 : 1
3. Mengidentifikasi Drosophila
- Mengambil beberapa Drosophila dengan menggunakan selang penyedot
- Memasukkan ke dalam plastik
- Mengamati ciri-ciri morfologi (kepala, badan, sayap, kaki) dengan
menggunakan mikroskop stereo.
- Mengelompokkan Drosophila yang memiliki ciri-ciri sama pada satu daerah
- Memisahkan lalat jantan dan betina (begitu pula pada daerah yang lain)
4. Melakukan pemurnian
- Mengampul pupa dari botol strain yang sudah menghitam.
- Ditunggu hingga pupa menetas.
- Setelah menetas, diamati Drosophila jantan dan betina yang memiliki fenotip
yang sama dari masing-masing kota (Batu, Probolinggo dan Wajak).
- Mengawinkan Drosophila yang berasal dari kota yang sama, betina dari kota
Batu dikawinkan dengan jantan dari kota Batu, sedangkan betina dari kota
Probolinggo dikawinkan dengan jantan dari kota Probolinggo, serta betina
dari Wajak dikawinkan dengan jantan dari Wajak. Dengan cara memasukkan
Drosophila jantan dan betina ke dalam botol selai yang berisi medium, pada
masing-masing botol diisi satu pasang.
- Menunggu sampai bertelur, lalu menjadi larva, hingga menjadi pupa
- Mengampul pupa yang sudah menghitam sebagai F1
- Setelah menetas, diamati 1 Drosophila jantan dan 1 betina yang memiliki
fenotip yang sama dari masing-masing kota (Batu, Probolinggo dan Wajak).
- Menyilangkan keturunan pertama (F1) dengan sesamanya yang memiliki ciri
morfologi sama pada strain dari masing-masing kota.
- Menunggu sampai bertelur, lalu menjadi larva, hingga menjadi pupa
- Mengampul pupa yang sudah menghitam sebagai F2
- Menyilangkan keturunan kedua (F2) dengan sesamanya yang memiliki ciri
morfologi sama dengan induknya pada strain dari masing-masing kota.
- Menunggu sampai bertelur, lalu menjadi larva, hingga menjadi pupa
- Mengampul pupa yang sudah menghitam sebagai F3
- Setelah mendapat F3, mengamati fenotipnya, dan mengidentifikasi.

3.7 Teknik Pengumpulan Data


Data diperoleh dari pengamatan ciri-ciri morfologi dari Drosophila
tangkapan yang berasal dari berbagai daerah dan menggambar ciri-ciri
morfologi ketiga spesies Drosophila sp yaitu Batu, Probolinggo dan Wajak. .
Tabel pengamatan ciri morfologi :
No Ciri yang morfologi Batu probolinggo Wajak
1
2
3
4

3.8 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian Drosophila
tangkapan ini yaitu dengan menghitung indeks similaritas ciri-ciri morfologi
dengan rumus
Ns
S=
Ns+ Nd

S = koefisien asosiasi organisma (tumbuhan/hewan) yang satu terhadap yang


kedua atau yang lain.

Ns = Jumlah sifat yang sama

Nd = Jumlah sifat yang berbeda

Kelompok didasarkan atas tingkat kesamaan tertinggi, kemudian berturut-


turut ketingkat kesamaan yang lebih rendah. Hasil perhitungan koefisien asosiasi
pasangan-pasangan STO tersebut kemudian dianalisis dengan indeks koefisien
similaritas dengan rumus:

r (A+B).C =
Keterangan:
r AB = kelompok dengan kesamaan terbesar
r AC dan r BC = kelompok selain kelompok AB

Analisis terakhir dengan memaparkan hasil perhitungan kekerabatan jenis-


jenis Drosophila dalam bentuk dendogram taksonomi hierarki (Endah, 2009).

BAB IV

DATA DAN ANALISIS DATA

4.1 DATA
Tabel 4. 1. 1 Data hasil pengamatan

No Ciri Batu Probolinggo Wajak


Kepala
1 Memiliki antena + + +
2 Memiliki mata majemuk + + +
3 Terdapat arista + + +
4 Mata mejemuk merah + + +
5 Terdapat pseoudopupil + + +
6 Memiliki faset mata halus + + +
7 Mmeiliki ocelli + + +
8 Terdapat rambut vibrissa pada posterior + + +
mulut
9 Memeiliki bulu post vertical + + +
10 Memiliki bulu ocellar + + +
11 Memiliki gena + + +
Abdomen
12 Warna tubuh kuning kecoklatan + + +
13 Warna tubuh bagian ventral kuning pucat + + +
14 Warna segmen melebur pada bagian ujung + - -
15 Ruas abdomen memiliki bristle + + +
16 Berukuran besar dan menggembung - + +
Sayap
17 Warna sayap bening - - -
18 Warna sayap metalic + + +
19 Memiliki sub marginal sel + + +
20 Terdapat marginal sel + + +
21 Memiliki posterior sel pertama + + +
22 Memiliki posterior sel kedua + + +
23 Memiliki posterior sel ketiga + + +
24 Terrdapat alula + + +
25 Terdapat urat halus L1 + + +
26 Terrdapat urat halus radikal L2 + + +
27 Teradapat urat halus medial L3 + + +
28 Terdapat urat halus cubital L4 + + +
29 Terdapat urat halus distal L5 + + +
30 Terdapat distal sel + + +
31 Memiliki sayap + + +
Tungkai
32 Terdapat coxa + + +
33 Terdapat trochanter + + +
34 Terdapat femur + + +
35 Terdapat tibia + + +
36 Terdapat tarsus + + +
37 Tarsus memiliki 5 segmen + + +
38 Terdapat humerus + + +
39 Terdapat anterior dan posterior notopleural + + +
40 Terdapat anterior dan posterior supra-alar + + +
41 Terdapat anterior dan posterior post-alar + + +
42 Terdapat anterior dan posterior dorsa-sentral + + +
43 Terdapat anterior dan posterior scutellar + + +
44 Memiliki anterior sternopleural + + +
45 Memiliki middle sternopleural + + +
46 Memiliki posterior sternopleural + + +
47 Terdapat rambut – rambut kecil pada + + +
skutellum
48 Terdapat rambut – rambut kecil pada skutum + + +
49 Terdapat presutural + + +
50 Humerus berambut + + +
51 Ruas abdomen gelap + - -
53 Koksa tampak jelas + + +

4.2 ANALISIS DATA

Berdasarkan data pengamatan ciri morfologi yang telah diperoleh pada


tabel 1 diatas, dapat diketahui bahwa karakter yang dimiliki oleh Drosophila dari
ketiga daerah tersebut diberi kode (+), sedangkan jika karakter tersebut tidak
dimiliki maka diberi kode (-). Selanjutnya karakter yang dimiliki tersebut
dijumlahkan dan demikian juga karakter yang tidak dimiliki. Hasil perhitungan
tersebut selanjutnya disusun dalam matrik jumlah karakter pasangan STO pada
tabel berikut:

Tabel 4.2.1 analisis data

A-B A-C B-C


No.
(Batu-Probolinggo) (Batu-Wajak) (Probolinggo-Wajak)
1 1 1 1
2 1 1 1
3 1 1 1
4 1 1 1
5 1 1 1
6 1 1 1
7 1 1 1
8 1 1 1
9 1 1 1
10 1 1 1
11 1 1 1
12 1 1 1
13 1 1 1
14 0 0 1
15 1 1 1
16 0 0 1
17 1 1 1
18 1 1 1
19 1 1 1
20 1 1 1
21 1 1 1
22 1 1 1
23 1 1 1
24 1 1 1
25 1 1 1
26 1 1 1
27 1 1 1
28 1 1 1
29 1 1 1
30 1 1 1
31 1 1 1
32 1 1 1
33 1 1 1
34 1 1 1
35 1 1 1
36 1 1 1
37 1 1 1
38 1 1 1
39 1 1 1
40 1 1 1
41 1 1 1
42 1 1 1
43 1 1 1
44 1 1 1
45 1 1 1
46 1 1 1
47 1 1 1
48 1 1 1
49 1 1 1
50 1 1 1
51 0 0 1
52 1 1 1
53 1 1 1
 50 50 53

Tabel 4. 2. 2. Matrik jumlah pasangan satuan taksonomi operasional

Spesies Batu (A) Probolinggo (B) Wajak(C)


Wajak (C) 50 53 1
Probolinggo (B) 50 1
Batu (A) 1

Berdasarkan tabel diatas kemudian dihitung indeks kesamaan dari tiap


pasangan STO dengan menggunakan rumus:
Ns
S=
Ns+ Nd
Keterangan:
S = koefisien asosiasi sepasang STO yang dibandingkan
Ns = Jumlah sifat yang sama (berkode +) untuk sepasang STO yang
dibandingkan
Nd = Jumlah sifat yang berbeda (tanpa kode) untuk sepasang STO yang
dibandingkan
Dari rumus tersebut diperoleh koefisien asosiasi dengan tingkat
kesamaan seperti perhitungan berikut:
50
S A-B = = 0,943396
50+ 3
50
S A-C = = 0,943396
50+ 4
53
S B-C = =1
53+ 0

Tabel 4.2.3 Koefisien asosiasi antar spesies


Spesies Batu (A) Probolinggo (B) Wajak (C)
Wajak (C) 0,943396 1 1
Probolinggo (B) 0,943396 1
Batu (A) 1

Indeks koefisien similaritas


r AB+r AC
r (A+B).C =
√( 2+ 2r BC)
0,943396+0,943396
=
√ (2+ 2.1)
1,886792
=
√( 2+ 2)
1,886792
=
√4
1,886792
=
2

= 0,943396

Berdasarkan dari nilai indeks koefisien similaritas tersebut maka dapat


dibuat grafik dendogram sebagai berikut:
Berdasarkan grafik dendogram diatas menunjukkan bahwa hubungan
kekerabatan Drosophila sp. pada daerah Batu, Probolinggo dan Wajak. Dengan
A=Batu, B=probolinggo dan C=Wajak.

BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui tingkat


kedekatan hubungan kekerabatan antara Drosophila dari daerah Batu, Probolinggo
dan Wajak. Hubungan kekerabatan Drosophila dari ketiga kota tersebut secara
skematis dapat dilihat melalui dendogram yang terbentuk. Drosophila dari daerah
Probolinggo memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Drosophila dari
daerah Wajak.
Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui pula bahwa tingkat
kekerabatan antara Drosophila dari daerah Batu dengan Probolinggo yaitu sebesar
0,943396. Batu dengan wajak yaitu 0,943396, Probolinggo dengan Wajak yaitu 1.
Sedangkan rerata indeks dari ketiga kota yaitu 0,943396. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan kekerabatan antara Drosophila dari daerah Batu, Probolinggo dan
Wajak. Hasil ini sesuai dengan perhitungan nilai indeks similaritas yang mendekati
nilai 1,00 memperlihatkan hubungan kekerabatan yang semakin dekat, sedangkan
nilai indeks similaritas menjauhi 1,00 menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan
semakin jauh (Endah, 2009). Pada hasil yang didapatkan tersebut dapat terlihat bahwa
Drosophila dari daerah Probolinggo dan Wajak dapat dikatakan sebagai satu spesies,
karena kedua jenis Drosophila dari daerah tersebut memiliki kesamaan ciri yang sama
dan memiliki indeks similaritasnya 1,00.
Perhitungan nilai indeks similaritas tersebut dilakukan dengan
memperhitungkan jumlah kesamaan ciri morfologi yang dimiliki oleh Drosophila dari
ketiga daerah. Alasan tentang penggunaan ciri morfologi sebagai kriteria dalam
menentukan hubungan kekerabatan makhluk hidup telah dijelaskan oleh Kastawi
(2003) bahwa kemiripan struktur pada organisme dapat dipakai sebagai kriteria untuk
menentukan kekerabatan. Drosophila yang memiliki kesamaan ciri lebih banyak
berarti hubungan kekerabatan dari Drosophila tersebut semakin dekat. Sebaliknya jika
kesamaan ciri morfologinya semakin sedikit maka hubungan kekerabatannya semakin
jauh. Pernyataan ini didukung telah sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
sejumlah ciri yang tinggi dapat digunakan sebagai indikator yang signifikan. Semakin
dekat hubungan kekerabatannya maka semakin banyak persamaan ciri morfologinya,
dan semakin jauh hubungan kekerabatanya, maka semakin sedikit persamaan ciri
morfologinya (Yatim, 1991).
Adanya perbedaan dan persamaan ciri dalam hubungan kekerabatan ini dapat
terjadi karena adanya beberapa faktor eksternal dan faktor internal yang mendorong
adanya pembeda penyebaran habitat Drosophila. Seperti yang telah dijelaskan oleh
Warsini (1996 ) yang mengemukakan bahwa faktor eksternal yang menjadi pendorong
adanya perbedaan penyebaran habitat tersebut adalah adanya rintangan alam yang
dapat menjadi penyebab isolasi bagi penyebaran jenis – jenis drosophila dari daerah
satu ke daerah yang lain. Selain itu, adanya perbedaan ini dapat diakibatkan oleh
kondisi khusus yang ada di daerah tersebut, misalnya jenis makanan tertentu yang
terdapat di daerah lain dan juga sifat adaptif dari Drosophila yang sudah terbiasa
dengan kondisi alam tertentu. Seperti yang diketahui bahwa ketinggian tempat dari
daerah Batu, Probolinggo dan Wajak memang berbeda..
Sedangkan faktor internal yang menyebabkan perbedaan penyebaran jenis
Drosophila pada suatu daerah dapat disebabkan karena adanya variasi genetik. Hal
tersebut telah dijelaskan oleh teori yang menyatakan bahwa fenotipe suatu individu
organisme dihasilkan dari genotipe dan pengaruh lingkungan organisme tersebut.
Variasi fenotipe yang substansial pada sebuah populasi diakibatkan oleh perbedaan
genotipenya (Suryo, 1996). Teori tersebut didukung dengan teori lain yang
menyatakan bahwa Variasi berasal dari mutasi bahan genetika, migrasi antar populasi
(aliran gen), dan perubahan susunan gen melalui reproduksi seksual. Variasi juga
datang dari tukar ganti gen antara spesies yang berbeda (Yatim, 1980).
Seleksi alam adalah proses di mana mutasi genetika yang meningkatkan
keberlangsungan dan reproduksi suatu organisme menjadi (dan tetap) lebih umum
dari generasi yang satu ke genarasi yang lain pada sebuah populasi. Kondisi-kondisi
ini menghasilkan kompetisi antar organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi
pada daerah tertentu. Oleh sebab itu, organisme dengan sifat-sifat yang lebih
menguntungkan akan lebih berkemungkinan mewariskan sifatnya, sedangkan yang
tidak menguntungkan cenderung tidak akan diwariskan ke generasi selanjutnya
(Widodo, dkk. 2003).
Berdasarkan teori tersebut dapat diketahui bahwa penyebaran jenis Drosophila
pada suatu daerah dapat ditentukan karena adanya faktor internal yang berhubungan
dengan variasi genetik. Variasi genetik tersebut terjadi karena adanya mutasi maupun
rekombinasi, dimana jika ada spesies berbeda yang dihasilkan dari adanya peristiwa
mutasi maupun rekombinasi maka spesies tersebut akan berkompetisi untuk bertahan
hidup dan bereproduksi melalui adanya seleksi alam. Spesies Drosophila yang mampu
menyesuaikan diri dan lolos dari adanya seleksi alam maka jenis Drosophila itulah
yang dapat bereproduksi dan mewariskan sifat pada keturunan berikutnya dalam suatu
daerah tersebut.
Dari hasil analisis yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa Drosophila
dari daerah Probolinggo dan Wajak merupakan pasangan yang memiliki hubungan
kekerabatan paling dekat. Sedangkan hubungan kekerabatan Drosophila kedua daerah
ini cukup jauh berbeda dengan Drosophila daerah Batu. Hal ini mungkin disebabkan
karena ketiga daerah tersebut memiki beberapa faktor eksternal yaitu ketinggian,
suhu, kelembaban dan curah hujan yang berbeda pada ketiga daerah tersebut. Seperti
yang telah diketahui bahwa kota Batu merupakan daerah yang memiliki ketinggian
sekitar 800-3000 m/dpl (mediaLABS, 2013), sedangkan daerah Wajak hanya 525
m/dpl (Situs pemerintah kabupaten Malang, 2010) dan Probolinggo 0-50 m dpl
(Rahadianarya, 2010). Dari teori tersebut dapat diketahui jika tingkat ketinggian
daerah Probolinggo dan Wajak memiliki perbedaan yang tidak terlalu jauh jika
dibandingkan dengan daerah Batu. Sehingga hal inilah yang mungkin dapat
menyebabkan Drosophila dari Probolinggo memiliki tingkat kekerabatan yang lebih
dekat dengan Drosophila dari Wajak jika dibanding dengan Drosophila dari Batu. Hal
ini sesuai dengan teori yang telah diungkapkan oleh Kusrini dkk (2010) bahwa
terjadinya pengelompokan yang terlihat pada dendogram dikarenakan oleh adanya
faktor kedekatan lokasi geografis.

BAB VI

PENUTUP

6.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari nilai koefisien asosiasi dan nilai koefisien


similaritas dapat dibuat dendogram yang menunjukkan bahwa tingkat
kekerabatan antara Drosophila dari daerah Batu dengan Probolinggo yaitu sebesar
0,943396. Batu dengan wajak yaitu 0,943396, Probolinggo dengan Wajak yaitu
1,00. Sedangkan rerata indeks dari ketiga kota yaitu 0,943396. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan kekerabatan antara Drosophila dari
daerah Batu, Probolinggo dan Wajak. Sehingga dapat diketahui bahwa
Drosophila sp. daerah Wajak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan
Drosophila sp. daerah Probolinggo dengan nilai indeks similaritasnya 1,00.
6.1 SARAN
1. Dalam melakukan praktikum proyek ini sebaiknya menggunakan kriteria ciri
morfologi yang lebih banyak lagi sehingga lebih jelas untuk melihat
persamaan maupunn perbedaan ciri morfologi yang dimiliki oleh Drosophila
dari daerah yang berbeda.
2. Sebaiknya pengamatan ciri morfologi dilakukan dengan tingkat ketelitian dan
kesabaran yang tinggi sehingga data yang diperoleh lebih dapat meyakinkan.
3. Sebaiknya lebih memperhatikan medium dalam pemeliharaan Drosophila
selama proses perkembangbiakannya, karena jika tidak maka medium yang
digunakan untuk persilangan permurnian yang dilakukan akan mengalami
tingkat kegagalan yang tinggi disebabkan oleh gangguan kutu.

Daftar rujukan

Ayeed, O. and Benzer, S. (1996). Behavioral genetics of thermosensation and


hygrosensation in Drosophila.Proc. Natl. Acad. Sci. USA 93, 6079-6084
Carlson, J. (1996). Olfaction in Drosophila: from odor to behavior. Trends
Genet. 12, 175-180
Campbell dkk. 2002. Biologi. Alih bahasa lestari, R. et al. Safitri, A., Simartama, L.,
Hardani, W.W (eds). Erlangga. Jakarta
Eberl, D., Hardy, R. and Kernan, M. (2000). Genetically similar transduction
mechanisms for touch and hearing in Drosophila. J. Neurosci. 20, 5981-5988.
Eberl, D. F. (1999). Feeling the vibes: chordotonal mechanisms in insect hearing. Curr.
Opin. Neurobiol. 9, 389-393.
Endah, Sri.2009.Suplemen Vertebrata.Universitas Negeri Malang
Goepfert, M. And Robert, D. 2001. Turning the key on Drosophila audition. Nature
411, 908.
MediaLABS. 2013. Keadaan Topografi dan Klimatologi.
http://ngalam.id/read/1158/geografi-kota-batu/ January 1, 2013. (Diakses
secara online pada tanggal 25 November 2015.
Nio, Tjan Kiauw. 1990. Genetika Dasar. Cetakan Pertama. PT Balai Pustaka. Jakarta
Poeponegoro, Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia I, Cetakan ke-2,
Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka, 2008 halaman 498
Rahadianarya. 2010. Iklim kota Probolinggo.
http://rahadianarya.blogspot.co.id/p/iklim-kota-probolinggo.html. (diakses
secara online pada tanggal 25 November 2015).
Sinnott, E.W. 1958. Principle of Genetic. 5th edition. McGraw Hill Book Company Inc.
New York Suryo. 2010. Genetika Manusia. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada,.
Situs Pemerintah Kabupaten Malang. 2010. Kecamatan Wajak.
http//wajak.malangkab.go.id/?page_id=447. (Diakses secara online pada
tanggal 25 November 2015).
Sulami, Eko Sri. 1997. Kekerabatan Fenetik Jenis-Jenis (Desmodium Desv) Di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal. Malang: FPMIPA Malang
Strickberger, M. W. 1985. Genetics. 3th Ed . Macmillan Publishing, New York. P. 565.
Susantini, Endang dan Ianawati. 2009. Lembar Kerja Mahasiswa Genetika. Jurusan
Biologi, FMIPA-UNESA
Susanto. Agus Hery. 2011. Genetika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suryo. 1996. Genetika. Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan
Nasional
Yatim, wildan. 1991. Genetika. Edisi IV . Cetakan ulang. Penerbit: Tarsito. bandung.
Warsini. 1996. Identifikasi Jenis-Jenis Drosophila di Kawasan Teluk Semut Pulau
Sempu Kabupaten Malang Jawa Timur. Skripsi tidak diterbitkan. Malang:
IKIP Malang.
Widodo, lestari, Umie & Amin Mohamad. 2003. Evolusi. Direktoral Jenderal
Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.

LAMPIRAN

Gambar 1. Drosophila dari Wajak (sumber: dokumentasi pribadi)


Gambar 2. Drosophila dari Probolinggo (sumber: dokumentasi pribadi)

Gambar 3. Drosophila dari Batu (sumber: dokumentasi pribadi)

Anda mungkin juga menyukai