Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resin Komposit

1. Pengertian Resin Komposit

Resin komposit dapat didefinisikan sebagai gabungan dari dua atau

lebih bahan yang berbeda sifat dan strukturnya yang bertujuan untuk

menghasilkan sifat lebih baik yang tidak dapat didapatkaan apabila bahan-

bahan tersebut berdiri sendiri (Mc Cabe & Walls, 2008). Bahan komposit

alamiah adalah dentin dan email gigi. Komponen enamelin pada email

mewakili matriks organik, sementara dalam dentin, matriks terdiri atas

kolagen (Anusavice, 2003).

2. Komposisi Resin Komposit

Resin komposit terdiri dari beberapa campuran material yaitu resin

matriks, filler, dan coupling agent. Sistem aktivator-inisator juga diperlukan

untuk mengubah pasta resin dari lunak, moldable, sampai keras. Komponen

lain ditambahkan untuk meningkatkan kualitas kinerja, penampilan, dan

durabilitas material. Pigmen atau zat warna ditambahkan untuk menyesuaikan

warna gigi. Ultraviolet (UV) absorber dan bahan tambahan lain berfungsi

untuk meningkatkan stabillitas warna, dan inhibitor dapat mempercepat waktu

kerja pada pengaktifan resin secara kimiawi (Anusavice, 2003).

a. Matriks Organik

8
9

Kebanyakan bahan komposit menggunakan campuran monomer

diakrilat aromatik atau alipatik seperti yang paling sering digunakan yaitu

bisphenol-A-glycidyl methacrylate (Bis-GMA), urethane dimethacrylate

(UDMA), dan trietilen glikol dimetakrilat (TEGDMA) yang secara

sederhana dapat dituliskan dengan formula:

CH2 = C – R – C = CH2

CH3 CH3

dimana R merupakan beberapa kelompok monomer organik seperti

methyl-, hydroxyl-, phenyl-, carboxyl-, dan amide- (O’Brien, 2002).

Ketiga komponen diatas banyak digunakan untuk membentuk

struktur polimer cross-linked yang besar pada komposit dan material

sealant (O’Brien, 2002; Anusavice 2003; Foroutan et al., 2011).

Gambar 1. Struktur Kimia Bis-GMA, Bis-EMA, UDMA dan TEGDMA


(Gajewski, et al., 2012).
10

Molekul monomer dengan berat molekul tinggi memiliki viskositas

yang tinggi, sehingga untuk memudahkan proses manufaktur dan

penanganan klinisnya, resin memerlukan bahan tambahan untuk

mengencerkannya. Bahan tersebut berupa monomer lain yang

kekentalannya lebih rendah (berat molekul rendah), seperti bisphenol A

dimetakrilat (Bis-DMA), etilen glikol dimetakrilat (EGDMA),

trietilenglikol dimetakrilat (TEGDMA) , metil metakrilat (MMA) atau

urethane dimetakrilat (UDMA) ( O’Brien, 2002; Hervás-García et al.,

2006). Sayangnya, penambahan TEGDMA atau dimetakrilat dengan berat

molekul rendah meningkatkan polimerisasi shrinkage (Anusavice, 2003).

b. Filler

Filler adalah partikel anorganik yang umumnya dihasilkan dari

penggilingan atau pengolahan quartz atau kaca untuk menghasilkan

partikel yang berkisar dari 0,1-100 µm. Tipe, konsentrasi, ukuran partikel

dan penyebaran ukuran partikel filler yang digunakan untuk resin

komposit mempengaruhi sifat dari resin itu sendiri. Filler yang paling

sering digunakan adalah quartz, campuran silika dan beberapa jenis glass

termasuk alumino- silicates dan borosilicates, beberapa mengandung

barium oxide. Generasi pertama komposit mengandung quartz atau glass

sebanyak 60%-80%, berdasarkan berat, dengan ukuran partikel antara 1–

50 μm. Distribusi ukuran partikel filler dapat bervariasi dari satu produk

ke produk lain, beberapa mengandung jumlah partikel besar yang lebih


11

banyak, mendekati 50 μm, sedangkan yang lain mengandung partikel kecil

dengan jumlah yang lebih banyak. Bahan yang mengandung partikel filler

jenis ini biasanya disebut komposit konvensional (O’Brien, 2002;

Anusavice, 2003; Mc Cabe & Walls 2008).

Partikel filler ditambahkan ke fase organik untuk meningkatkan

sifat fisik dan mekanik dari matriks organik. Partikel filler dapat

mengurangi shrinkage pada resin komposit, mengurangi penyerapan air

dan koefisien ekspansi thermal, memberikan sifat radiopak dan

meningkatkan sifat mekanis seperti kekuatan, kekakuan, kekerasan, dan

ketahanan abrasi. Sebelum dilakukan pencampuran dengan matriks, filler

perlu diberikan perlakuan khusus terlebih dahulu. Perlakuan khusus

tersebut berupa pelapisan permukaan partikel filler dengan suatu bahan

penghubung, yang dapat meningkatkan perlekatan antara partikel filler

dengan matriks. Bahan penghubung ini biasa disebut dengan coupling

agent (Hervás-García et al., 2006; Mc Cabe & Walls 2008).

c. Coupling agents

Ikatan antara partikel filler dan matriks resin didapatkan dengan

penggunaan campuran silikon organik, atau silane coupling agent.

Melapiskan partikel filler dengan coupling agent contohnya vinyl silane

akan memperkuat ikatan antara filler dan matriks. Coupling agent

memperkuat ikatan antara filler dan matriks resin dengan cara bereaksi

secara kimia dengan kedua material. Ikatan yang terjadi ini akan
12

memungkinkan matriks resin menyalurkan tekanan kepada partikel filler. (

O’Brien,2002; Rodrigues Junior et al., 2007; Khaled, 2011).

Selama polimerisasi, ikatan ganda pada molekul silane juga akan

bereaksi dengan matriks polimer. Ikatan antara filler dan matriks yang

terbentuk akan memungkinkan terjadinya distribusi tekanan yang dapat

dikendalikan. Ikatan tersebut akan membentuk material dengan sifat yang

lebih kuat daripada partikel filler dan matriks resin yang berdiri sendiri.

Ikatan tersebut juga dapat meningkatkan retensi partikle filler selama

terjadinya abrasi di permukaan komposit ( O’Brien, 2002 ).

d. Inisiator dan akselerator

Polimerisasi komposit dapat dihasilkan secara kimiawi dan sinar.

Pada sistem pengaktifan secara kimiawi, inisiator benzoyl peroxide (atau

katalis), ketika bereaksi dengan akselerator tertiary amine (contohnya N,

N-dimethyl-p-toluidine), akan menghasilkan radikal bebas yang akan

menyerang ikatan rangkap molekul oligomer sehingga akan terjadi

polimerisasi (Anusavice, 2003; O'Brien, 2002).

Pengaktifan resin komposit dengan sinar yan pertama kali

digunakan adalah sinar UV. Namun sekarang, pengaktifan resin diganti

dengan menggunakan visible light cure, yang secara nyata meningkatkan

kemampuan berpolimerisasi lapisan yang lebih tebal sampai 2 mm. Resin

radikal bebas pemulai reaksi terdiri atas molekul foto-inisiator dan

aktivator amin. Bila kedua komponen dibiarkan tidak terpapar sinar,


13

komponen tersebut tidak berinteraksi. Namun, pemaparan terhadap sinar

dengan panjang gelombang 468 nm merangsang fotoinisiator dan interaksi

dengan amin untuk membentuk radikal bebas yang mengawali

polimerisasi tambahan. Fotoinisiator yang umum digunakan adalah

camphoroquinone, yang memiliki penyerapan berkisar 400 dan 500nm

yang berada pada regio biru dari spektrum sinar tampak. inisiator ini

dalam pasta sebesar 0,2% berat atau kurang. Juga terdapat sejumlah

akselerator amin yang dapat berinteraksi dengan camphoroquinone seperti

dimetilaminoetil metakrilat 0,15% (Anusavice, 2003a).

e. Inhibitor

Untuk meminimalkan atau mencegah polimerisasi spontan dari

monomer, inhibitor ditambahkan pada sistem resin. Inhibitor ini

mempunyai potensi reaksi yang kuat dengan radikal bebas. Bila radikal

bebas telah terbentuk, karena ada paparan sinar saat pasta dikeluarkan dari

kemasan, inhibitor akan bereaksi dengan radikal bebas dan kemudian

menghambat perpanjangan rantai dengan cara menghentikan radikal bebas

untuk mengawali proses polimerisasi. Inhibitor yang umum dipakai adalah

butylated hydroxytoluene dengan konsentrasi 0,01% berat (Anusavice,

2003a).
14

f. Modifier Optik

Untuk mencocokan dengan warna gigi, resin komposit harus

memiliki warna visual ( shading ) dan transulensi yang dapat menyerupai

struktur gigi (Anusavice, 2003a).

Pigmen anorganik ditambahkan dalam jumlah sedikit sehingga

resin komposit dapat memiliki warna yang sama dengan gigi. Pada

umumnya, resin komposit tersedia dalam 10 atau lebih tingkatan warna

yang dapat mewakili warna gigi normal pada manusia (kuning sampai

abu-abu) (Craig et al., 2004).

3. Sifat Resin Komposit

Menurut Anusavice (2003b), resin komposit memiliki beberapa sifat

yang menguntungkan sekaligus merugikan. Berbeda dengan amalgam, resin

komposit memiliki sifat yang lebih estetis. Namun, amalgam memiliki sifat

manipulasi yang mudah, sifat mekanik yang baik, tahan terhadap keausan,

serta resiko kebocoran tepi yang rendah. Meskipun demikian, resin komposit

digunakan secara luas karena sifat estetisnya, penghantar panas yang rendah,

relatif mudah dimanipulasi, tahan lama untuk gigi anterior dan tidak larut

dalam cairan mulut (Mukuan et al. 2013).

Sifat merugikan yang dimiliki oleh resin komposit adalah mudah

terjadinya penyusutan/shrinkage. Penyusutan ini disebabkan karena adanya

matriks resin dengan berat molekul yang rendah. Salah satu matriks resin yang

memiliki berat molekuler rendah adalah TEDGMA. Matriks resin tersebut


15

memiliki berat molekuler 286,3 g/mol (Barszczewska-rybarek & Jurczyk,

2015). Ada dua tehnik yang dapat digunakan untuk mengurangi resiko

terjadinya polimerisasi shrinkage pada resin komposit, yaitu dengan

pengaplikasian layer by layer atau dapat dilakukan restorasi indirect (inlay)

(Craig et al., 2004).

4. Polimerisasi Resin Komposit

Polimerisasi adalah reaksi kimia yang mengubah molekul-molekul

kecil menjadi polimer besar (Pires-de-Souza, et al., 2009). Proses polimerisasi

dimulai oleh activator (kimia atau sinar) yang menyebabkan molekul inisiator

membentuk radikal bebas.

Proses polimerisasi terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap inisiasi,

propagasi dan terminasi (Powers & Sakaguchi, 2006). Tahap inisiasi

merupakan pembentukan radikal bebas dari suatu molekul yang diperlukan

untuk tahap propagasi. Radikal dapat dihasilkan dari inisiator radikal. Tahap

propagasi merupakan tahap reaksi yang cepat karena radikal yang terbentuk

menyerang molekul lain dan menghasilkan radikal baru. Monomer yang telah

bereaksi dengan radikal bebas bereaksi dengan molekul lain sehingga terjadi

perpanjangan rantai. Pada tahap terminasi ini terjadi proses pemutusan rantai.

Terminasi terjadi karena reaksi penggabungan reaktan radikal yang

membentuk molekul tunggal (Handayani, 2010).

Reaksi polimerisasi resin komposit self-cured diinisiasi secara kimia

oleh inisiator peroxida dan akselerator amine sedangkan polimerisasi light-

cured di inisiasi oleh sinar biru. Polimerisasi yang terjadi pada resin komposit
16

adalah polimerisasi crossed linked yang terjadi karena adanya ikatan karbon

ganda.

Perbedaan polimerisasi pada resin komposit light-cured dipengaruhi

oleh jarak penyinaran dan durasi penyinaran (Powers & Sakaguchi, 2006).

Menurut Price et al., (2000), jarak sumber penyinaran yang paling ideal adalah

1-2 mm dengan ketebalan material resin komposit 1,5-2 mm. Jika jarak

sumber mencapai 5-6 mm, maka sinar yang diterima oleh resin komposit tidak

dapat mempolimerisasi resin komposit dengan baik. Polimerisasi yang tidak

sempurna akan menurunkan sifat fisik dan mekanis resin komposit.

5. Klasifikasi Resin Komposit

Komposit pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan ukuran, jumlah

dan kandungan filler anorganik. Jenis-jenis resin komposit, sejak pertama kali

ditemukan, meliputi resin komposit makrofiller (resin komposit

konvensional), resin komposit mikrofiller, resin komposit hybrid (termasuk

hybrid tradisional, mikrohibrid, dan nanohibrid), dan resin komposit

nanofiller. Komposit juga di klasifikasikan berdasarkan viskositasnya, seperti

contohnya resin komposit flowable dan resin komposit packable (Heymann, et

al., 2006). Resin komposit jenis flowable memiliki viskositas yang lebih

rendah dibandingkan resin komposit packable (Anusavice, 2003).

Menurut Thompson dan Bayne (2006), polimerisasi pada resin

komposit dapat digolongkan menjadi resin komposit light cure, light-curing

sinar tampak, dual-curing, self-cure dan staged-cure. Resin komposit light-


17

cure memerlukan bantuan sinar UV selama polimerisasi, sedangkan resin

komposit self-cure tidak memerlukan sinar UV selama polimerisasi. Lain hal

dengan dual-cure, resin komposit jenis ini dapat terpolimerisasi dengan

sendirinya atau menggunakan sinar UV. Light-cure sinar tampak memerlukan

panjang gelombang sinar tampak selama polimerisasi sedangkan staged-cure

memerlukan polimerisasi secara bertahap.

a. Resin Komposit Makrofiller

Resin komposit makrofiller adalah resin komposit yang

pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960an. Namun, saat ini resin

komposit makrofill sudah jarang digunakan di klinisi. Resin komposit

makrofill pada umumnya mengandung 75% - 80% filler anorganik

berdasarkan berat. Rata-rata ukuran partikel pada resin komposit ini

kurang lebih 8µm. Ukuran partikel yang cukup besar dan sifatnya yang

sangat keras, menyebabkan resin komposit mempunyai struktur

permukaan yang kasar (Heymann et al., 2006).

b. Resin Komposit Mikrofiller

Resin komposit mikrofill diperkenalkan pada akhir tahun

1970an. Material ini didesain untuk menggantikan resin komposit

sebelumnya yang permukaannya kasar. Resin komposit ini memiliki

permukaan yang halus dan mengkilap yang menyerupai email. Resin

komposit mikrofill mengandung partikel koloida silika dengan

diameter 0,01 sampai 0,04 µm. Ukuran partikel yang kecil inilah yang
18

membuat resin komposit jenis ini memiliki permukaan halus dan

mengkilap (Heymann et al., 2006).

Resin komposit mikrofill umumnya memiliki kandungan filler,

berdasarkan berat, sebanyak 35% - 60%. Kandungan filler yang lebih

sedikit membuat sifat mekanis dan fisik resin komposit mikrofill lebih

rendah dibandingkan resin komposit makrofill (Heymann et al., 2006).

Menurut Powers dan Sakaguchi (2006), komposit mikrofill baik

digunakan untuk restorasi kelas 3 dan 5 yang membutuhkan nilai

estetis tinggi.

c. Resin Komposit Hibrid

Resin komposit hibrid dibuat dengan mengkombinasikan sifat

mekanis dan fisik dari komposit makrofill dengan permukaan yang

halus dan mengkilap yang dimiliki komposit mikrofill. Secara umum,

material ini mengandung filler sebanyak 75% - 85% berdasarkan berat.

Kandungan filler yang dimiliki oleh resin komposit hibrid merupakan

campuran antara mikrofiller dengan partikel filler yang kecil yang

menghasilkan ukuran rata-rata partikel yang lebih kecil (0,4-1µm)

dibandingkan dengan resin komposit konvensional (Heymann et al.,

2006). Anusavice (2003) mengemukakan bahwa resin komposit lain

yang memiliki kandungan dua atau lebih filler dengan ukuran partikel

yang berbeda dapat dikategorikan sebagai resin komposit hibrid.


19

d. Resin Komposit Nanofiller

Resin komposit jenis ini memiliki partikel filler yang sangat

kecil (0,005-0,01 µm). Ukuran partikel filler yang sangat kecil inilah

yang menyebabkan partikel mudah menggumpal. Oleh karena itu, pada

resin komposit ini dilakukan packaging yang optimal. Ukuran partikel

filler yang sangat kecil ini juga memudahkan proses pemolesan

(Heymann et al., 2006).

Keuntungan yang dimiliki resin komposit nanofiller menurut

Mitchell (2008), antara lain adalah

1. Kandungan filler yang tinggi dapat meningkatkan sifat fisik resin

komposit tanpa meningkatkan viskositasnya.

2. Mudah dilakukan pemolesan, tahan lama serta memiliki nilai

estetis yang tinggi.

3. Mengingkatkan ketahanan terhadap keausan.

4. Mengurangi volumetric shrinkage (1,5% - 1,7%) dibandingkan

dengan resin komposit jenis lain.

e. Resin Komposit Packable

Packable merupakan suatu istilah yang digunakan untuk

menyebut resin komposit pasta yang memiliki viskositas tinggi

(Powers & Sakaguchi, 2006). Viskositas yang tinggi ini akan

memudahkan saat diaplikasikan pada gigi. Pengembangan resin

komposit jenis ini memiliki dua tujuan, yaitu (1) memudahkan

pengaplikasian pada restorasti di area kontak proksimal dan (2) cara


20

pengaplikasian yang sama dengan amalgam. Viskositas yang tinggi

membuat resin jenis ini sulit untuk mencapai adaptasi marginal yang

optimal, untuk mengatasi ini, klinisi dapat mengaplikasikan flowable

resin komposit terlebih dahulu sepanjang marginal bagian proximal

untuk memperbesar adaptasi (Heymann et al., 2006).

f. Resin Komposit Flowable

Flowable komposit umumnya memiliki kandungan filler yang

lebih sedikit dan memiliki sifat fisik serta mekanis yang lebih rendah

dibandingkan dengan resin komposit jenis lain yang mengandung filler

lebih banyak. Resin jenis ini juga memiliki resiko polimerisasi

shrinkage yang lebih tinggi (Heymann et al., 2006).

Resin komposit aktivasi sinar ini memiliki viskositas yang

rendah. Material ini cocok digunakan untuk restorasi pada daerah

cercival, restorasi pada anak-anak dan restorasi pada bagian yang tidak

mendapatkan tekanan yang tinggi (Powers & Sakaguchi, 2006).

B. Sisal

1. Pengertian Sisal

Sisal adalah suatu jenis tanaman yang tergolong dalam family

Agavaceae, merupakan tanaman yang dapat terurai dan ramah lingkungan

(Kumaresan, et al., 2015). Tanaman sisal hanya tumbuh di daerah tropis dan

subtropis (Subyakto, et al., 2009). Tanaman sisal memiliki ketersediaan

melimpah, mudah dibudidayakan serta murah, dan memiliki sifat fisik dan

mekanis yang baik (Ahmad, 2011). Menurut Rojas et al (2015), daun nanas
21

dan jerami merupakan sisal yang baik karena melimpah, proses pembuatannya

murah, dan mengandung selulosa yang tinggi 60-70%. Serat sisal merupakan

material yang bersifat kuat, tahan lama, stabil dan serbaguna dan diketahui

merupakan sumber serat yang penting untuk komposit (Kumaresan et al.,

2015).

Serat selulosa mengandung elementary fibrils/microfibrils yang

merupakan struktur dasar penyusun serat. Elementary fibrils atau nanofibrils

ini memiliki diameter sekitar 2-20nm dengan tambahan beberapa mikrometer.

Setiap nanofiber tersusun dari 30-100 rantai selulosa. Terdapat rantai yang

tersusun secara teratur (crystalline) di daerah diantara nanofiber dan juga

terdapat rantai yang tersusun tidak teratur (amorphous). Kumpulan dari

beberapa nanofiber disebut dengan mikrofibiril. Setiap mikrofibril terdiri dari

selulosa nanocrystal yang bertautan dengan selulosa nanofiber. Selulosa

nanocrystal digambarkan seperti area kristal yang berbaris dan berbentuk

seperti batang, sedangkan struktur selulosa nanofiber berbentuk seperti jaring

dan rasio panjang dengan diameternya sangat tinggi (Rojas et al, 2015).

Gambar 2. Tanaman Agave sisalana


22

2. Komposisi Sisal

Satu tanaman sisal memproduksi sekitar 200-250 daun dan setiap daun

mengandung 1000-1200 kumpulan serat. Setiap kumpulan serat dari sisal

mengandung 4% serat, 0.75% kutikula, 8% material kering dan 87.25% air

(Ahmad, 2011). Namun, kandungan didalam serat sisal memiliki komposisi

yang berbeda-beda tergantung dari cara pengolahan (Kusumastuti, 2009).

Daun sisal terdiri dari serat mekanis, ribbon, dan xylem. Serat mekanis

didapatkan dari hasil ekstraksi bagian tepi daun (periphery). Serat mekanis

merupakan serat yang kasar dan tebal berbentuk seperti sepatu kuda dan

jarang dipisahkan saat proses ekstraksi. Serat ini merupakan bagian terpenting

dari serat sisal. Serat ribbon terbentuk di bagian tengah daun. Struktur

jaringan ribbon sangat kuat dan merupakan bagian serat yang terpanjang.

Dibandingkan dengan serat mekanis, serat ribbon lebih mudah dipisahkan

secara membujur selama proses berlangsung. Serat xylem mempunyai bentuk

yang tidak teratur dan terletak diseberang serat ribbon. Serat xylem tersusun

atas dinding sel tipis sehingga mudah rusak dan hilang selama proses ekstraksi

(Ahmad, 2011).

Gambar 3. Serat Sisal (Kusumastuti, 2009).


23

Serat alam dimanfaatkan sebagai alternatif filler komposit untuk

berbagai komposit polimer karena keunggulannya dibanding serat sintetis

(Kusumastuti, 2009). Serat sisal memiliki sifat mekanis yang lebih baik.

Pemanfaatan sisal sebagai filler komposit telah digunakan dalam bidang

otomotif dan konstruksi (Rojas et al., 2015). Pemanfaatannya tidak terbatas

pada bidang tersebut saja tetapi sisal juga digunakan sebagai tali, benang,

karpet, dan kerajinan (Kusumastuti, 2009).

Sisal diolah melalui beberapa proses. Poses pertama serat sisal

dipotong dengan menggunakan grinder sampai diperoleh serat partikel halus.

Serat kemudian direndam dalam larutan natrium hidroksida 4% (b/b%) pada

suhu 80 ºC selama 2 jam sambil diaduk dengan magnetic stirrer. Kemudian

dilakukan bleaching dengan menggunakan larutan buffer asetat (27 gram

NaOH dan &5 ml asam acetic glacial, diencerkan dalam 1L aquades) dan

larutan aqueous chlorite (1.7 wt % NaClO2 dalam air). Bleaching dilakukan

pada suhu 80 ºC selama 4 jam sambil diaduk dengan magnetic stirrer.

Selanjutnya serat kemudian di keringkan dalam oven pada suhu 60 ºC selama

24 jam. Serat kering tersebut kemudian dihaluskan dengan grinder.

Kemudian dilakukan hidrolisis asam pada suhu 50 ºC selama 50 menit

dengan menggunakan 65 wt% sulphuric acid sambil diaduk dengan magnetic

stirrer.

Suspensi yang dihasilkan kemudian diencerkan dengan balok es untuk

menghentikan reaksi. Kemudian dilakukan centrifugasi pada suhu 10 ºC dan

kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Setelah itu dilakukan dialisis pada
24

aquades untuk menghilangkan asam bebas pada dispersi. Dispersi yang

sempurna dari nano whiskers didapatkan dalam tahap sonifikasi. Dispersi

kemudian disaring dengan kertas saring nomor 1 untuk menghilangkan sisa

agregat, kemudian serat dikeringkan dengan menggunakan freeze drier

(Ahmad, 2011).

C. Ikatan Natural Fiber dengan Matrix

Interface bonding antara resin alami dengan matriks dapat terjadi

melalu tiga ikatan, yaitu :

1. Mechanical Bonding

Mechanical Bonding merupakan mekanisme ikatan yang

saling mengunci yang terjadi pada dua permukaan yaitu resin dan

serat yang kasar. Dalam mechanical bonding beban yang diterima

harus paralel terhadap interface.

Gambar 4. Mechanical Bonding


2. Electrostatic Bonding

Electrostatic Bonding terjadi akibat adanya gaya tarik

antara dua permukaan yang berbeda muatan listrik pada skala

atomik. Ikatan ini akan sempurna apabila tidak terdapat gas pada

permukaan serat
25

Gambar 5 Electrostatic Bonding.


3. Chemical Bonding

Electrostatic Bonding terjadi akibat adanya energy yang lebih

bersifat kimia. Besarnya ikatan ini diperoleh dari sekumpulan

ikatan kimia yang bekerja pada luas penampang serat sesuai jenis

ikatan kimia yang ada pada serat maupun resin (Betan, et al., 2014)

Gambar 6. Chemical Bonding


Interface dan interphase merupakan dua hal yang berbeda, Istilah

interface itu sendiri di definisikan sebagai dua regio dimensional antara serat

dan matrik yang memiliki ketebalan nol. Molekul matriks dapat dihubungkan

dengan serat melalu reaksi kimia maupun dengan cara absorbsi, kedua hal

tersebut menentukan kekuatan interfacial antara matriks dengan serat.

Interphase merupakan daerah polymeric yang mengelilingi serat. Interphase

mengandung material polymeric dengan ikatan kimia antara matriks dengan

serat. Interphase antara serat dan matrik berperan dalam transfer beban pada

serat. Distribusi beban tidak akan berjalan dengan baik tanpa interface yang

baik. Interface yang kuat akan membuat transfer beban dapat terdistribusi
26

dengan baik meskipun terdapat serat yang rusak. Adhesi antara serat dan

matriks adalah factor yang penting untuk menentukan respon dari interface

dan integritasnya dalam menahan stress

Serat alami memiliki kelompok gugus hydroxyl yang dapat

membentuk ikatan hydrogen. Kekuatan ikatan antara serat alami dengan

komposit menjadi berkurang karena adanya absorbsi air pada permukaan yang

lembab. Serat yang bersifat hidrofilk menyerap air dari lingkungan yang

lembab kemudian akan terbentuk ikatan hydrogen. Molekul air akan berikatan

dengan gugus hidrofilik pada serat. Penyerapan air pada keadaan lembab ini

akan mempengaruhi stabilitas dimensi dari serat alami. Hal ini akan

menyebabkan ikatan yang lemah antara resin dengan matriks (Ilomäki, 2011).

Modifikasi secara kimiawi dapat dilakukan untuk mengoptimalkan

interface pada serat. Salah satu modifikasi kimiawi yang dapat dilakukan

adalah alkalisasi. Alkalisasi atau mercerisasi dapat memecah ikatan hydrogen

pada struktur jaringan sehingga akan meningkatkan kekasaran permukaan.

Perlakuan ini bekerja dengan cara menghilangkan sejumlah lignin, wax dan

minyak yang menyelimuti dinding sel serat, mendepolimerisasi selulosa dan

membuka kristalit. Pada proses alkalisasi, serat di rendam dalam larutan

NaOH selama beberapa waktu ( Li, et al, 2007).

D. Kekuatan Tekan

Selama proses mastikasi, material restorasi gigi terkena berbagai

macam pengaruh mekanis dan suhu. Proses tersebut dapat mempengaruhi

ketahanan material di dalam rongga mulut (Moezzyzadeh, 2012).


27

Gambar 7. Skema Pengujian Kekuatan Tekan (Powers & Sakaguchi, 2006)


Kekuatan tekan suatu material adalah kekuatan suatu material dalam

menahan fraktur di bawah tekanan atau karena beban dari atas (Soratur, 2002).

Powers and Sakaguchi (2006) dan Van Noort (2007) menyatakan bahwa

kekuatan tekan adalah sifat mekanis paling penting dalam material restorasi.

Material restorasi dengan kekuatan tekan yang lebih rendah daripada gigi akan

mudah rusak dan fraktur. Berdasarkan penelitian Banava & Salehyar (2008),

kekuatan tekan resin komposit akan meningkat 1 sampai 24 jam setelah

penyinaran.

Tabel 1. Kekuatan tekan beberapa material kedokteran gigi. (Craig et al.,


2004)

Material Kekuatan Tekan


(MPa)
Enamel 384
Dentin 297
Amalgam 189
Calcium hydroxide liner 8
Feldspathic porcelaine 149
28

High-strenght stone 81
Resin komposit 225
Semen Zink Fosfat 110

Tabel 2. Perbedaan Kekuatan Tekan Resin Komposit (Powers & Sakaguchi,


2006).

Nanokomposit Mikrofill Packable Flowable


Komposit Komposit Komposit
Kekuatan 460 240-300 220-300 210-280
Tekan
(MPa)

Uji kekuatan tekan menggunakan sampel berbentuk silindris dengan

dimensi tinggi berbanding diameter 2:1 sesuai dengan ISO 9917 (Wang, et al.,

2003). Uji kekuatan tekan dilakukan dengan universal testing machine yang

mempunyai kecepatan tekan 1mm/menit. Data yang didapat berupa nilai bebas

kompresi (kgf) kemudian diubah menjadi nilai kekuatan tekan menggunakan

rumus

Rc = F x 9,807/A

Keterangan :
Rc : kekuatan tekan (MPa)
F : gaya maksimal (kgf)
A : Luas area dasar sampel (πr2 )
9,087 : Gravitasi (Klymus et al., 2007)

E. Landasan Teori

Resin komposit merupakan salah satu bahan restorasi sewarna gigi yang

banyak digunakan karena nilai etsetisnya yang lebih tinggi dibandingkan bahan

restorasi lainnya. Resin komposit tersusun atas matriks, filler, coupling agent dan
29

bahan tambahan lain. Matriks berperan sebagai pembentuk sifat fisik resin

komposit agar dapat diaplikasikan. Filler berperan dalam kekuatan resin komposit

sedangkan coupling agent merupakan bahan pengikat antara matriks dan filler.

Resin komposit berdasarkan ukuran filler yang digunakan dibedakan

menjadi resin komposit makrofiller/konvensional, mikrofiller, resin komposit

hibrid dan resin komposit nanofiller. Karena kandungan filler yang sangat kecil,

resin komposit nanofiller memiliki estetik yang paling baik dibandingkan dengan

resin komposit jenis lain. Meskipun begitu, kekuatan dan ketahanan resin

komposit nanofiller hampir sama dengan resin komposit mikrofiller. Ukuran filler

yang terkandung di dalam resin dapat berpengaruh terhadap kekuatan fisik dan

mekanis dari resin komposit. Semakin kecil ukuran filler makan kekuatan

mekanis dan fisiknya semakin baik dan semakin mudah dipolish sehingga

menghasilkan restorasi yang mengkilap.

Filler resin komposit yang saat ini digunakan berasal dari bahan anorganik

(sintetis) seperti quartz, silikat, glass dan zikornia. Filler yang paling sering

digunakan pada resin komposit adalah glass, karena material glass memiliki sifat

mekanis yang baik. Namun, material glass memiliki kelemahan. Proses produksi

material glass adalah proses energi, yang sangat bergantung pada bahan bakar

fosil. Selain itu glass juga bersifat abrasif saat proses pengolahan sehingga

beresiko terhadap kesehatan. Material glass juga bersifat polutan sehingga tidak

ramah lingkungan. Glass bersifat non-biodegradable, tidak terbarukan dan non

daur ulang. Oleh karena itu, serat alam sebagai pengganti filler dalam resin

komposit mulai banyak dikembangkan.


30

Penggunaan serat ( fiber ) alam di bidang kedokteran gigi belum banyak

digunakan. Salah satu serat alam yang bisa dimanfaatkan adalah serat sisal (

Agave sisalana , namun saat ini pemanfaatan serat sisal masih terbatas di bidang

kelautan dan pertanian saja. Sifat mekanis serat alam sebagai filler dapat

ditingkatkan dengan surface treatment berupa alkalisasi menggunakan NaoH.

Setelah dialkalisasi, sisal dibuat dalam ukuran nani melalui tiga tahap proses,

yaitu: scouring, bleaching dan ultrasonifikasi, sehingga akan diperoleh

nanosisal/cellulose whisker.

Untuk mengetahui ketahanan suatu material restorasi dapat diukur sifat

mekanisnya, salah satunya adalah kekuatan tekan. Kekuatan tekan suatu material

adalah kekuatan suatu material dalam menahan fraktur di bawah tekanan atau

karena beban dari atas. Kekuatan tekan merupakan salah satu sifat mekanis paling

penting dalam material restorasi. Material restorasi dengan kekuatan tekan yang

lebih rendah daripada gigi akan mudah rusak dan fraktur.


31

F. Kerangka Konsep

Renewable,
Resin Komposit biodegradable
Daun Sisal
, murah

Coupling Filler Material resin


Agent Anorganik ( material Cellulose
organik )

Adhesi Sifat Fisik Nanosisal/cell Filler


filler dan Sifat Mekanis
ulose whiskser organik
matriks

Ukuran filler nano Nanosisal


bersifat lebih estetik komposit

Filler non Nano filler 60 wt% 65 wt% 70 wt%


renewable, sintetis
pembuatan
butuh energy

Kekuatan Tekan

Gambar 7. Kerangka Konsep


32

G. Hipotesis

Terdapat pengaruh persentase volume filler 60 wt%, 65 wt%, 70 wt%

terhadap kekuatan tekan resin komposit nanosisal.

Anda mungkin juga menyukai