Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PORTOFOLIO

PPOK EKSASERBASI AKUT

Disusun oleh :
dr. Valerie Hirsy Putri

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RUMAH SAKIT ANNISA KABUPATEN BEKASI
SEPTEMBER 2018 – SEPTEMBER 2019
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 5 Mei 2019 di Wahana RS Annisa Kabupaten Bekasi telah dipresentasikan
portofolio oleh :
Nama : dr. Valerie Hirsy Putri
Kasus : Medik (Pulmologi)
Topik : PPOK Eksaserbasi Akut
Nama Pendamping : dr. Cecep Awaludin
Nama Wahana : RS Annisa Kabupaten Bekasi

No Nama Peserta Tanda tangan

1 1.

2 2.

3 3.

4 4.

5 5.

6 6.

7 7.

8 8.

9 9.

10 10.

11 11.

12 12.

13 13.

14 14.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Mengetahui,
Dokter Internship Dokter Pendamping

dr. Valerie Hirsy Putri dr. Cecep Awaludin

2
BAB I
ILUSTRASI KASUS

Kasus Medik (Pulmologi)


Nama Peserta: dr. Valerie Hirsy putri
Nama Wahana: RS Annisa Cikarang
Topik: PPOK Eksaserbasi Akut
Tanggal (kasus): 1 Mei 2019
Tanggal Presentasi: 4 Mei 2019 Nama Pendamping: dr. Cecep
Tempat Presentasi: RS Annisa Cikarang
Obyektif Presentasi:
 Keilmuan □ Keterampilan Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik Manajemen  Masalah □ Istimewa
□Neonatus □Bayi □Anak □Remaja Dewasa □Lansia □Bumil
Deskripsi: Pasien datang dengan keluhan sesak dan batuk berdahak sejak  2 tahun yang
memberat sejak 1 hari SMRS
Tujuan:
1. Menegakkan diagnosis PPOK Eksaserbasi Akut
2. Memberikan penatalaksanaan awal yang tepat terhadap pasien dengan PPOK Eksaserbasi
Akut
Bahan Bahasan: □ Riset  Tinjauan Pustaka  Kasus □ Audit
Cara Membahas: □ Diskusi  Presentasi dan Diskusi □ Email □ Pos
Data Pasien: Nama: Tn. N Tempat Tanggal Lahir: Bekasi, 04-03-1964 (55 thn)
Nama RS: RS Annisa Kab. Bekasi No. RM : 517533 Terdaftar sejak : 1-5-19

Data Utama untuk Bahan Diskusi :

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
PPOK Eksaserbasi Akut Derajat Sedang

2. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RS Annisa dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak 1 hari
SMRS. Sesak nafas timbul setelah pasien selesai bekerja dan tidak membaik dengan perubahan
posisi. Keluhan sesak nafas sudah sering dirasakan sekitar 2 tahun terakhir, namun keluhan ini

3
semakin sering muncul dalam 2 bulan terakhir dan dirasa semakin lama semakin memberat,
terutama sejak 1 hari SMRS. Sesak nafas dirasakan pasien terutama setelah melakukan aktivitas
seperti berjalan dari kamar tidur menuju luar rumah. Sesak tidak dipengaruhi waktu dan cuaca.
Pasien mengeluh sering merasa cepat lelah. Keluhan nyeri dada disangkal. Keluhan sesak nafas
ini juga disertai dengan batuk berdahak. Dahak berwarna putih dan kadang dikeluhkan
berwarna kehijauan. Ketika malam pasien mengeluh sering sulit tidur akibat batuk
berdahaknya. Keluhan demam dan flu disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat kaki bengkak.
Nafsu makan pasien sedikit menurun karena sempat merasa mual jika batuk. Tidak ada muntah.
Riwayat batuk darah disangkal. Adanya penurunan berat badan disangkal. Keluhan keringat
pada malam hari disangkal. Riwayat kontak dengan pasien TB dan sedang pengobatan 6 bulan
disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat TB paru dan belum pernah melakukan pengobatan
selama 6 bulan sebelumnya. Riwayat trauma dada disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat
hipertensi, diabetes, penyakit jantung dan asma. Riwayat alergi juga disangkal. Riwayat infeksi
berulang saat masa kecil dan BBLR tidak diketahui.
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak terdapat riwayat asma, penyakit jantung, diabetes dan darah tinggi dalam keluarga. Tidak
ada riwayat TB paru pada keluarga. Riwayat alergi obat dan makanan serta keganasan pada
keluarga juga disangkal.
5. Riwayat Kebiasaan:
Pasien memiliki riwayat merokok kurang lebih selama 20 tahun. Pasien mengaku
menghabiskan 1-2 bungkus rokok per-hari (IB = sedang). Pasien mengaku telah berhenti
merokok 3 bulan ini. Riwayat konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang disangkal.
6. Riwayat Sosial Ekonomi:
Pasien bekerja sebagai pedagang. Ketika bekerja pasien mengaku sering terpapar polusi asap
kendaraan bermotor dijalanan. Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Pasien
menggunakan jaminan BPJS.
Daftar Pustaka

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy For The Diagnosis,
Management, and Prevention of COPD. 2019.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit paru Obstruktif Kronik),
pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2011.

4
3. Wibisono MJ, Winariani, Hariadi s. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Paru. Surabaya, 2010: 37-51
4. Agustin H, Yunus F. Proses Metabolisme pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). J
Respir Indo Vol. 28, No. 3. Jakarta : Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi Universitas Indonesia, 2008. 155-16

Hasil Pembelajaran
1. Definisi dan pengertian PPOK
2. Patogenesis terjadinya PPOK
3. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang pada PPOK
4. Penegakkan diagnosis PPOK
5. Penatalaksanaan PPOK
6. Edukasi dan perawatan pasien PPOK

5
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subyektif:
Seorang pria usia 55 tahun datang ke IGD RS Annisa Cikarang dengan keluhan utama sesak
yang memberat sejak 1 hari SMRS terutama setelah melakukan aktivitas. Sesak tidak
dipengaruhi perubahan posisi. Keluhan disertai batuk berdahak berwarna putih. Pasien
memiliki riwayat merokok selama 20 tahun dengan intensitas merokok 1-2 bungkus perhari
(IB = sedang) dan riwayat sering terpapar asap kedaraan bermotor.

2. Objektif:
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis (8 November 2018)
1. Keadaan Umum : Gelisah
2. Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
3. Tanda-tanda Vital
o Frekuensi Nadi : 77 x/menit
o Tekanan Darah : 120/80 mmHg
o Frekuensi Nafas : 30 x/menit
o Suhu : 36˚C
o SpO2 : 95%
4. Kepala : Normocephali
5. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil bulat isokor.
6. Telinga : Normotia, normosepta, serumen (-)
7. Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-), napas cuping hidung (-)
8. Tenggorok : T1-T1, faring tidak hiperemis
9. Mulut : Mukosa bibir kering, pursed lips breathing (+)
10. Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea tidak deviasi, JVP 5-2 cmH2O
11. Kulit : Turgor baik, tidak tampak ikterik

6
12. Jantung
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
c. Perkusi :
i. Batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dextra
ii. Batas jantung kiri pada ICS V linea midclavicula sinistra
iii. Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop.
13. Paru
a. Inspeksi
Bentuk dan gerak : Normal dalam keadaan statis dan dinamis. Pelebaran sela iga
(+),barrel chest (+) penggunaan otot bantu nafas (+) hipertrofi SCM
(-)
Tipe pernafasan : Abdominotorakal
Retraksi : Interkostal (-)
b. Palpasi
Fremitus taktil dan fremitus vokal normal.
c. Perkusi
Sonor pada seluruh lapang paru.
d. Auskultasi
Suara nafas dasar vesikuler +/+ dengan ekspirasi memanjang, ronkhi +/+,
wheezing -/-
14. Abdomen
a. Inspeksi : Datar, simetris, tidak tampak sikatriks
b. Auskultasi : Bising usus positif normal
c. Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
d. Palpasi : Supel, tidak teraba pembesaran lien dan hepar, nyeri
tekan (-).
15. Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema pada keempat
ekstremitas, tidak terdapat deformitas, tidak terdapat clubbing finger.

7
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (1 Mei 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 16,2 g/dl 13,2-17,3
Hematokrit 51 % 40-52
Leukosit 12.080 /L 3.800-10.600
Trombosit 259.000 /L 150.000-440.000

Foto toraks (1 Mei 2019)

Interpretasi:
CTR < 50%, Hiperinflasi, diafragma mendatar, jantung menggantung, aorta tidak elongasio,
trachea tidak deviasi, hili tidak melebar, corakan bronkovaskuler bertambah, tidak terdapat

8
infiltrat pada kedua paru, sudut sinus costofrenicus dan diafragma baik, jaringan lunak dan
tulang-tulang dinding dada baik.
Kesan: PPOK
EKG (1 Mei 2019)

Kesan: Irama sinus ritme


3. Assessment:
Pasien datang ke IGD RS Annisa dengan keluhan sesak nafas yang sudah sering dirasakan
sekitar 2 tahun terakhir, namun keluhan ini semakin sering muncul dalam 2 bulan terakhir dan
dirasa semakin lama semakin memberat. Keluhan sesak nafas ini juga disertai dengan batuk
berdahak. Sejak 1 hari SMRS, sesak dirasa semakin berat disertai produksi dahak yang semakin
banyak berwarna putih. Pasien mengaku merupakan bekas perokok selama 20 tahun dan sering
terpapar polusi asap kendaraan bermotor di jalan saat bekerja.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan laju respirasi yang meningkat yaitu 34x/menit, disertai
pursed lips breathing dan penggunaan otot bantu pernafasan. Ditemukan pula gambaran barrel
chest dengan sela iga yang melebar pada dada. Terdengar ronkhi pada lapang paru kanan dan
kiri. Pemeriksaan darah menunjukan angka leukosit yang meningkat, yang menandakan adanya
infeksi. Dari gambaran rontgen dada ditemukan kesan PPOK dengan gambaran paru hiperinflasi,
diafragma mendatar, jantung menggantung.

9
A. Definisi dan Klasifikasi
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) merupakan penyakit paru yang dapat dicegah dan
ditanggulangi, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/berbahaya.
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lajut dari respon inflamasi dalam saluran napas
pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau polusi lingkungan. PPOK
eksaserbasi akut didefinisikan sebagai perubahan dari gejala dasar pasien (sesak, batuk, atau
produksi dahak) diluar variabilitas sehari-hari (sesak dan batuk memberat, produksi dahak
bertambah, dahak berubah warna).

Gambar 1. Klasifikasi PPOK


Klasifikasi
PPOK eksaserbasi akut dibagi menjadi 3 bagian :

1. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala yaitu, sesak bertambah, produksi sputum
meningkat, perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)
2. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 dari 3 gejala eksaserbasi yaitu sesak bertambah,
produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)
3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran napas atas lebih
dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau
peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline

B. Epidemiologi

10
Di Indonesia, angka penderita PPOK diperkirakan mencapai 4,8 juta orang dengan prevalensi
5,6%. Prevalensi perokok lebih tinggi 16 kali pada perokok laki-laki dibanding perempuan. Selain
itu, terdapat hubunga antara dosis rokok yang dihisap dengan tingginya risiko PPOK. PPOK juga
lebih banyak ditemui pada usia >40 tahun. Angka ini terus bertambah karena semakin banyak
pajanan terhadap partikel berbahaya, peningkatan jumlah perokok, polusi udara dan bahan bakar
lainnya.

C. Etiologi dan Faktor Risiko


1. Riwayat merokok
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting dan
merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. Toksisitas dari
nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki peran dalam menimbulkan PPOK. Terhirupnya
asap rokok dan zat-zat berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi di saluran napas dan paru
yang berakibat pada kerusakan jaringan parenkim paru. Hal ini memicu terjadinya emfisema
dan fibrosis saluran napas kecil. Akibanya udara yang masuk terperangkap dan terjadi
hambatan udara yang bersifat progresif. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman
(IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja.
Polutan outdoor seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor, polutan
indoor yang dihasilkan dari memasak, serta polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu
organic, industri tekstil, dan lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan baja,
industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta, sebagainya dapat
berkontribusi menyebabkan PPOK.
3. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap
patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya
inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap
terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan

11
peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada
PPOK.
4. Genetik
Faktor risiko genetik yang paling besar adalah defisiensi alpha-1 antitrypsin (AAT) yang
merupakan protease serin inhibitor. Peran dari AAT ini adalah untuk melindungi jaringan
alveolar paru dari serangan protease yang dapat mendegradasi seluruh komponen protein di
matriks ekstraseluler yang pada PPOK sangat berkurang sehingga menyebabkan inflamasi
saluran napas yang didominasi oleh protein dan peningkatan protease dalam paru. Genetic
memberikan kontribusi 1–3% pada pasien PPOK.
5. Komorbiditas
Orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.
Salah satu ciri asma yang penting adalah adanya peningkatan respon bronkus berupa
bronkokonstriksi akibat adanya paparan stimulus eksogen seperti metakolin dan histamine.
Akan tetapi, banyak pasien PPOK yang memiliki ciri hipereaktivitas bronkus sehingga
hipereaktivitas bronkus ini juga menjadi salah satu risiko dari penurunan fungsi paru pada
PPOK.
Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada
dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun. Tuberkulosis juga merupakan suatu diagnosis
banding dan potensi komorbiditas untuk PPOK.

D. Patogenesis dan Patofisiologi


Obstruksi saluran napas pada PPOK terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas
kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos. Iritasi kronik seperti
paparan asap rokok dan zat-zat berbahaya yang terhirup menyebabkan inflamasi di saluran napas
dan menyebabkan kerusakan pada jaringan parenkim paru. Secara imunologis, terjadi peningkatan
kadar sel inflamasi pada saluran napas dan paru. Pada saluran napas proksimal, terjadi peningkatan
makrofag dan limfosit CD 8. Sementara itu, pada saluran napas distal/perifer terjadi peningkatan
makrofag, limfosit CD 8, kadar limfosit B, fibroblas, dan penurunan kadar neutrofil/eosinofil.
Parenkim paru (bronkiolus respiratori dan alveolus) juga dapat terjadi peningkatan sel makrofag,
limfosit T CD8 serta terjadi kerusakan dinding alveolus.
Ketidak-seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α-1 antitripsin juga
menjadi dasar patogenesis PPOK. Protease berusaha memecah jaringan paru, sedangkan
antiprotease pada akhirnya akan menghentikan kerja antiprotease sehingga tidak terjadi berlebihan.

12
Keseimbangan yang terganggu ini menyebabkan terjadinya jaringan paru yang berlebihan
sehingga terjadi emfisema. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini
menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian
menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.

Gambar 2. Patogenesis penyakit PPOK

Patofisiologi penyakit PPOK yaitu :


- Obstruksi aliran udara
Peradangan, penyempitan saluran napas, serta fibrosis dapat menurunkan volum ekspirasi paksa
(VEP) dan rasio VEP1/KVP pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada
saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru.
- Hiperinflasi
Udara yang sulit untuk keluar akibat obstruksi akan menyebabkan air trapping yang pada akhirnya
menyebabkan hiperinflasi. Hiperinflasi meningkatkan volum residual (VR) dan menurunkan
kapasitas inspirasi (KI). Secara mendasar, hiperinflasi merupakan mekanisme kompensasi
obstruksi saluran napas yang menyebabkan beberapa masalah seperti tidak terbentuknya tekanan
positif abdomen saat inspirasi serta lebih sulit untuk mengembangkan paru.
- Hipersekresi mukus

13
Metaplasi mukosa meningkatkan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa sebagai
renspon inflamasi akibat iritas terus-menerus. Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif
yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi.
- Pertukaran udara
Terjadi imbalans antara ventilasi : perfusi dengan mekanisme yaitu obstruksi saluran napas perifer
dan kerusakan alveolus yang pada tahap lanjut dapat menyebabkan hipoksemia arterial dengan
atau tanpa hiperkapnia.
- Hipertensi pulmoner
Terdapat 4 mekanisme mendasar yaitu (1) vasokonstriksi arteri pulmonalis yang disebabkan oleh
hipoksia arteri-arteri kecil paru, (2) disfungsi endotel (3) hiperplasia intima dan hipertrofi otot
polos akibat proses yang kronik (remodeling arteri pulmonalis), dan (4) kerusakakan kapiler-
kapiler paru (pulmonary capillary bad).

E. Pemeriksaan
a. Inspeksi :
- Pursed lips breathing (mulut mencucu) : pada pasien dapat ditemukan gambaran mulut
mencucu dan ekspirasi memanjang. Hal ini sebagai mekanisme dari tubuh untuk
mengeluarkan retensi dari CO2 akibat gagal napas yang kronik.
- Barrel chest : akibat adanya hiperinflasi paru akibat retensi kronik dapat ditemukan
gambaran perbandingan diameter antero-posterior dan transversal yang membesar menjadi
1:1.
- Peningkatan usaha bernapas yang ditandai dengan penggunaan otot bantu napas dan
hipertrofi otot bantu napas.
- Pelebaran sela iga (karena terjadinya hiperinflasi paru).
- Gagal jantung kanan: pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bunyi S2 yang mengeras
akibat hipertensi pulmonal, bunyi S3, edema perifer, distensi vena jugular, serta
hepatomegaly.
- Tanda penyakit kronik: muscle wasting, kehilangan berat badan, serta berkurangnya deposisi
lemak
- Penampilan pink puffer yaitu gambaran yang khas pada emfisema seperti penderita kurus,
kulit kemerahan dan pursed lips breathing atau blue bloater yaitu gambaran khas pada
bronkitis kronik, penderita gemuk, sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal
paru.

14
b. Palpasi : pada palpasi dapat didapatkan fremitus yang melemah serta sela iga yang melebar.
c. Perkusi : pada perkusi dapat ditemukan adanya hipersonor serta batas jantung yang mengencil,
batas paru-hati yang menurun karena letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
d. Auskultasi : pada auskultasi didapatkan suara napas vesikuler normal atau melemah serta
dapat ditemukan adanya ronki atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
Bunyi ekspirasi yang memanjang juga dapat ditemukan. Juga didapatkan suara jantung yang
menjauh.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK:
1. Pemeriksaan rutin
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan
setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga harus
digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada
saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1
second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (FEV1/FVC) untuk
menentukan ada tidaknya obstruksi jalan nafas, nilai normal FEV1/FVC adalah > 70%.
Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC. Adanya
nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai
FEV1 < 80% dari nilai prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel.
b. Darah lengkap
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis pada eksaserbasi akut,
polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk melihat terjadinya peningkatan hematokrit.
c. Radiologi
Dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding lain. Dapat dilakukan dengan foto
polos PA dan lateral dengan gambaran emfisema yaitu hiperinflasi, hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung atau pada bronchitis
kronis hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal atau gambaran corakan
bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus.

15
F. Tatalaksana
Kondisi eksaserbasi ini diklasifikasikan berkaitan dengan terapi yang diberikan pada
pasien, dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Ringan (mild): Pada kondisi ini dapat ditatalaksana hanya dengan SABA.
b. Menengah (moderate): Kondisi ini ditatalaksana dengan SABA dengan pemberian
antibiotik, untuk menangani pencetus eksaserbasi, dan/atau kortikosteroid oral.
c. Berat (severe): Kondisi ini membutuhkan rawat inap atau tatalaksana kondisi akut di
unit gawat darurat, karena biasanya disertai dengan gagal napas akut.

Presentasi klinis pada pasien dengan PPOK eksaserbasi cukup beragam berdasarkan julah
pasien yang dirawat inap, tingkat keparahan eksaserbasi berdasarkan dengan tanda klinis
pasien. Klasifikasinya antara lain:
 Tidak ada gagal napas: laju pernapasan 20-30 kali per menit, tidak ada penggunaan otot
bantu napas, tidak ada perubahan status mental, hipoksemia membaik dengan
pemberian terapi oksigen dengan masker 28-35% (oksigen terinspirasi atau FiO2),
tidak ada peningkatan PaCO2.
 Gagal napas akut tidak mengancam nyawa : laju pernapasan > 30 kali per menit, adanya
penggunaan otot bantu napas, tidak ada perubahan status mental, hipoksemia membaik
dengan masker 25-30% FiO2; hiperkarbia yaitu PaCO2 meningkat dari baseline atau
menjadi 50-60 mmHg.
 Gagal napas akut yang mengancam nyawa : laju pernapasan > 30 kali per menit,
terdapat penggunaan otot bantu napas, adanya perubahan status mental secara akut,
hipoksemia tidak membaik dengan pemberian terapi oksigen oleh masker FiO2 > 40%,
hiperkaria PaCO2 meningkat dibandingkan baseline atau peningkatan >60 mmHg atau
adanya asidosis dimana pH < 7,25.

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi
yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera
atasi untuk mencegah kematian. Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah
(untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).
Terapi eksaserbasi akut meliputi:
1. Terapi oksigen adekuat

16
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama. Pada
PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ-organ lainnya. Dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU.
Sebaiknya dipertahankan Pao2 >60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat
hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks)
24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,
tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Pemeriksaan analisa gas darah dilakukan untuk
memeriksakan secara berkala oksigenasi yang baik tanpa retensi karbon dioksida
dan/atau perburukan asidosis. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi
oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi
mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila
tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
2. Pemberian obat-obatan yang maksimal
a. Antibiotik
Antibiotik lini I pertama yaitu amoksisilin dan makrolid (azitromisin, klaritromisin).
Lini II yaitu amoksisilin dan asam klavulanat/sefalosporin/kuinolon/makrolid baru.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan
dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat
digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser
yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter
untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan
bersamasama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena
dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.

c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat
sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat

17
diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat
yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi
mortalitas dan morbiditi, dan memperbaiki gejala.

Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah
diedukasi dengan cara :
- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang
- digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.

Indikasi potensial rawat inap adalah pasien PPOK dengan:


 Gejala eksaserbasi yang sedang dan berat termasuk memburuknya sesak ketika
beristirahat, meningkatnya frekuensi napas, desaturasi oksigen, delirium, mengantuk.
 Munculnya gejala klinis seperti sianosis atau edema perifer.
 Tidak adanya perbaikan dari eksaserbasi setelah diberikan penatalaksanaan awal.
 Adanya komplikasi gagal nafas atau kondisi komorbid yang serius seperti gagal jantung
dan aritmia yang baru muncul.
 Tidak adanya bantuan atau dukungan dari keluarga di rumah.

18
Gambar 3. Terapi awal PPOK
4. Plan:
a. Diagnosis kerja :
Observasi Dypsnea ec PPOK eksaserbasi akut derajat sedang
DD/ Asma bronchial
b. Terapi :
- O2 3 lpm
- Inhalasi Ventolin-Pulmicort (1:1)
- Injeksi Deksametason 1 ampul
- Rawat jalan (Salbutamol 3x1tab, Deksametason 2x1 tab, Cefixim 2x1tab)

c. Edukasi dan Rujukan:


Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser), manfaat dan
efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
6. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis paru apabila keluhan tidak membaik atau semakin
berat sehingga dapat berkonsultasi mengenai perawatan yang tepat dan perlunya pengobatan
maintenance pada pasien.

19
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam

20

Anda mungkin juga menyukai