Anda di halaman 1dari 33

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

PRODUKSI KAKAO

BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : tbtlkm@bi.go.id
DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ........................................................................ 2
a. Latar Belakang .................................................................................................. 2
b. Tujuan .................................................................................................................. 3

2. Kemitraan Terpadu ............................................................... 4


a. Organisasi ........................................................................................................... 4
b. Pola Kerjasama ................................................................................................. 6
c. Penyiapan Proyek ........................................................................................... 7
d. Mekanisme Proyek .......................................................................................... 8
e. Perjanjian Kerjasama.................................................................................... 9

3. Aspek Pemasaran ............................................................... 11


a. Peluang Pasar .................................................................................................. 11
b. Produksi ............................................................................................................. 14
c. Persaingan ........................................................................................................ 16

4. Aspek Produksi ................................................................... 19


a. Kesesuaian Lahan .......................................................................................... 19
b. Pembukaan....................................................................................................... 19
c. Penanaman dan Penaungan....................................................................... 19
d. Pemupukan....................................................................................................... 19
e. Pemberantasan Hama .................................................................................. 21
f. Panen dan Pasca Panen................................................................................ 22

5. Aspek Keuangan ................................................................. 27


a. Asumsi ................................................................................................................ 27
b. Biaya Investasi ............................................................................................... 27
c. Proyeksi Laba/Rugi ........................................................................................ 28
d. Neraca ................................................................................................................ 29
e. Proyeksi Aliran Kas ........................................................................................ 29

6. Aspek Dampak Lingkungan ................................................ 31

LAMPIRAN .............................................................................. 32

Bank Indonesia – Produksi Kakao 1


1. Pendahuluan

a. Latar Belakang

Peranan sektor pertanian cukup strategis dalam pertumbuhan Produk


Domestik Bruto Nasional. Hal ini terlihat bahwa selama 10 tahun terakhir ini,
peranan sektor ini terhadap PDB menunjukkan pertumbuhan yang cukup
baik, yaitu rata-rata 4% per tahun. Selain dituntut harus mampu
menciptakan swasembada pangan, Sektor ini juga harus mampu
menyediakan lapangan dan kesempatan kerja serta pengadaan bahan baku
bagi industri hasil pertanian. Sektor ini juga dituntut untuk meningkatkan
perolehan devisa negara dengan jalan meningkatkan volume dan nilai ekspor
hasil pertanian.

Salah satu sub-sektor di sektor pertanian adalah sub-sektor perkebunan.


Sub-sektor ini dalam menunjang perekonomiannasional menjadi makin
penting, mengingat makin terbatasnya peranan minyak bumi yang selama ini
merupakan sumber devisa utama bagi Indonesia. Dalam tahun 1994/1995,
sub-sektor perkebunan telah menyumbangkan sekitar 12,7% dari perolehan
devisa yang dihasilkan dari sektor non-migas.

Keunggulan komparatif dari sub-sektor perkebunan dibandingkan dengan


sektor non-migas lainnya disebabkan antara lain oleh adanya lahan yang
belum dimanfaatkan secara optimal dan berada dikawasan dengan iklim
yang menunjang serta adanya tenaga kerja yang cukup tersedia dan
melimpah sehingga bisa secara kompetitif dimanfaatkan. Kondisi tersebut
merupakan suatu hal yang dapatmemperkuat daya saing harga produk
produk perkebunan Indonesia di pasaran dunia.

Salah satu komoditas perkebunan yang sangat penting dalam menyumbang


perolehan devisa negara adalah kakao. Pada tahun 1997, ekspor kakao dari
Indonesia diperkirakan telah mencapai US$ 378 juta. Walaupun nilai tersebut
masih merupakan angka estimasi, namun nilai tersebut lebih tinggi dari
tahun sebelumnya yang mencapai US$ 377,5 juta.

Di Indonesia, kakao merupakan salah satu komoditas yang tidak diatur


tataniaganya oleh pemerintah, sehingga harga kakao di tingkat petani
ditentukan oleh mekanisme pasar bebas dan petani juga bebas menjual hasil
panennya ke siapa saja. Sebetulnya hal ini merupakan salah satu kendala
dalam kaitannya dengan penterapan pola kemitraan yang terpadu untuk
pengembangan produksi komoditas ini. Namun demikian ada beberapa
pengusaha (eksportir) kakao untuk diekspor. Kemitraan tersebut sangat
diperlukan mengingat bahwa 73,68% produksi kako di Indonesia merupakan
produksi perkebunan rakyat yang memerlukan penanganan khusus agar bisa
mencapai kualitas yang tinggi untuk ekspor.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 2


Dalam pengembangan kakao, peranan perbankan belum begitu besar.
Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan dimana pada tahun 1997 sekitar 40%
nilai ekspor kakao berasal dari propinsi ini, jumlah kredit yang disalurkan
oleh perbankan untuk posisi bulan Maret 1998 adalah Rp. 4,152 juta dan
nilai ini hanya 0,46% dari keseluruhan kredit di sektor pertanian atau 1,49%
dari kredit yang disalurkan di sub-sektor perekebunan. Dari kredit yang
disalurkan tersebut, belum ada yang menerapkan pola kemitraan terpadu.
Untuk itulah suatu model pengembangan kakao yang bisa ditunjang dengan
kredit bank, dalam bentuk kemitraan yang melibatkan usaha perkebunan
kakao rakyat perlu ditulis dan disebarluaskan untuk bisa dijadikan acuan bagi
bank.

Dalam penulisan model kemitraan ini akan dibahas aspek kelayakan usaha,
yang meliputi aspek pemasaran, teknis budidaya, finansial, sosial dan
ekonomi serta pola kemitraan terpadu yang sesuai antara usaha besar (inti)
dan petani plasma.

b. Tujuan

Tujuan dari penulisan Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu Produksi


Kakao ini adalah untuk :

1. Memberikan informasi kepada perbankan tentang model kemitraan


terpadu yang sesuai dan layak dibiayai dengan kredit bank untuk
komoditas kakao.
2. Dipergunakan oleh para mitra usaha petani yang berminat dalam
pengembangan kemitran dalam budidaya kakao.
3. Mendorong pengembangan usaha produksi kakao sebagai komoditas
penghasil devisa.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 3


2. Kemitraan Terpadu

a. Organisasi

Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu


yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan
bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan
dalam nota kesepakatan. Tujuan PKT antara lain adalah untuk meningkatkan
kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling
menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam
meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien.

Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti (Industri


Pengolahan atau Eksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai
kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai
pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi,
bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi.

Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang


usaha melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha
kecil, (2) Pengusaha Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA.

Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan


bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil
dengan Pengusaha Pengolahan atau eksportir dalam PKT, dibuat seperti
halnya hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti
Rakyat (PIR). Petani/usaha kecil merupakan plasma dan Perusahaan
Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian
menjadi terpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan
pinjaman bagi pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal
sebagai PKT yang disiapkan dengan mendasarkan pada adanya saling
berkepentingan diantara semua pihak yang bermitra.

1.Petani Plasma

Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas
(a) Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk
penanaman dan perkebunan atau usaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil
yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan
dalam untuk itu memerlukan bantuan modal.

Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan
penanaman atau penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan
dimulai dari telah adanya kebun atau usaha yang berjalan, dalam batas
masih bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan perbaikan pada aspek
usaha.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 4


Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang
dimiliki oleh masing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok
tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap
Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah mengadakan
koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para
petani anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi
dan instansi lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua
kelompok wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang
waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok.

2. Koperasi

Parapetani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi


anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan
kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan
kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas KKPA hanya bisa diperoleh
melalui keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan KKPA harus
sudah berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup
baik untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para
anggotanya. Jika menggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran
koperasi primer tidak merupakan keharusan

3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir

Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama


sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan
dan fasilitas pengolahan untuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia
membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan
atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan
teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk
keperluan petani plasma/usaha kecil.

Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk


mengadakan pembinaan teknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan
dengan sekurang-kurangnya pihak Inti memiliki fasilitas pengolahan untuk
diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi
petani atau plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecil
dimungkinkan untuk mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual
kepada Perusahaan Inti.

Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan
pembibingan harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan
bantuan tenaga pihak Dinas Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan
oleh Koperasi. Apabila koperasi menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuan Dinas Perkebunan setempat
dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 5


Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang
memiliki keterampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing
petani/usaha kecil dengan dibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga-tenaga ini
bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang bisa kemudian dibebankan kepada
petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut besarnya produksi.
Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakin
besar pula honor yang diterimanya.

4. Bank

Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak


Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir
sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal
kerja pembangunan atau perbaikan kebun.

Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek


budidaya/produksi yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak
bank di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana
pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat
menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan digunakan untuk
pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai
dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya
pendapatan bersih petani yang paling besar.

Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan
mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional
lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian
pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk ini, bank agar membuat perjanjian
kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak
petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil
penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama
untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan
dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit
dibuat oleh pihak petani/Kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan
memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang
disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya
potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada
waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank.

b. Pola Kerjasama

Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra,


dapat dibuat menurut dua pola yaitu :

a. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan


perjanjian kerjasama langsung kepada Perusahaan Perkebunan/ Pengolahan
Eksportir.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 6


Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa KKPA
kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai
Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok
tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan oleh Perusahaan
Mitra.

b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui


koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi (mewakili
anggotanya) dengan perusahaan perkebunan/pengolahan/eksportir.

Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian KKPA kepada petani plasma
dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah
pembinaan teknis budidaya tanaman/pengelolaan usaha, apabila tidak dapat
dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra, akan menjadi tanggung jawab
koperasi.

c. Penyiapan Proyek

Untuk melihat bahwa PKT ini dikembangkan dengan sebaiknya dan dalam
proses kegiatannya nanti memperoleh kelancaran dan keberhasilan, minimal
dapat dilihat dari bagaimana PKT ini disiapkan. Kalau PKT ini akan
mempergunakan KKPA untuk modal usaha plasma, perintisannya dimulai dari
:

a. Adanya petani/pengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi


dan lahan pemilikannya akan dijadikan kebun/tempat usaha atau
lahan kebun/usahanya sudah ada tetapi akan ditingkatkan
produktivitasnya. Petani/usaha kecil tersebut harus menghimpun diri
dalam kelompok dengan anggota sekitar 25 petani/kelompok usaha.
Berdasarkan persetujuan bersama, yang didapatkan melalui

Bank Indonesia – Produksi Kakao 7


pertemuan anggota kelompok, mereka bersedia atau berkeinginan
untuk bekerja sama dengan perusahaan perkebunan/
pengolahan/eksportir dan bersedia mengajukan permohonan kredit
(KKPA) untuk keperluan peningkatan usaha;
b. Adanya perusahaan perkebunan/pengolahan dan eksportir, yang
bersedia menjadi mitra petani/usaha kecil, dan dapat membantu
memberikan pembinaan teknik budidaya/produksi serta proses
pemasarannya;
c. Dipertemukannya kelompok tani/usaha kecil dan pengusaha
perkebunan/pengolahan dan eksportir tersebut, untuk memperoleh
kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra. Prakarsa bisa dimulai
dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihak
yang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa
dimanfaatkan untuk mengadakan identifikasi dan menghubungkan
pihak kelompok tani/usaha kecil yang potensial dengan perusahaan
yang dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitas yang
diperlukan oleh pihak petani/usaha kecil;
d. Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para
anggotanya oleh pihak koperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan
di dalam mengorganisasikan dan mengelola administrasi yang
berkaitan dengan PKT ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untuk
peningkatannya dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari
perusahaan mitra. Koperasi kemudian mengadakan langkah-langkah
yang berkaitan dengan formalitas PKT sesuai fungsinya. Dalam
kaitannya dengan penggunaan KKPA, Koperasi harus mendapatkan
persetujuan dari para anggotanya, apakah akan beritndak sebagai
badan pelaksana (executing agent) atau badan penyalur (channeling
agent);
e. Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan PKT ini oleh pihak
instansi pemerintah setempat yang berkaitan (Dinas Perkebunan,
Dinas Koperasi, Kantor Badan Pertanahan, dan Pemda);
f. Lahan yang akan digunakan untuk perkebunan/usaha dalam PKT ini,
harus jelas statusnya kepemilikannya bahwa sudah/atau akan bisa
diberikan sertifikat dan buka merupakan lahan yang masih belum jelas
statusnya yang benar ditanami/tempat usaha. Untuk itu perlu adanya
kejelasan dari pihak Kantor Badan Pertanahan dan pihak Departemen
Kehutanan dan Perkebunan.

d. Mekanisme Proyek

Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu dapat dilihat pada skema berikut ini :

Bank Indonesia – Produksi Kakao 8


Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip
bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota
kesepakatan (Memorandum of Understanding = MoU) yang mengikat hak
dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra (inti, Plasma/Koperasi
dan Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau
plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke
rekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana
produksi, dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak
akan menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah
sarana produksi pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau
koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman
plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU.
Perusahaan inti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk
diserahkan kepada bank sebagai angsuran pinjaman dan sisanya
dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih.

e. Perjanjian Kerjasama

Untuk meresmikan kerja sama kemitraan ini, perlu dikukuhkan dalam suatu
surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak
yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan mereka. Dalam perjanjian
kerjasama itu dicantumkan kesepakatan apa yang akan menjadi kewajiban
dan hak dari masing-masing pihak yang menjalin kerja sama kemitraan itu.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 9


Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak
Mitra Perusahaan (Inti) dan petani/usaha kecil (plasma) antara lain sebagai
berikut :

1. Kewajiban Perusahaan Perkebunan/Pengolahan/Eksportir sebagai mitra


(inti)

a. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penaganan


hasil;
b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana
produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan), penanaman serta
pemeliharaan kebun/usaha;
c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca
panen untuk mencapai mutu yang tinggi;
d. Melakukan pembelian produksi petani plasma; dan
e. Membantu petani plasma dan bank di dalam masalah pelunasan kredit
bank (KKPA) dan bunganya, serta bertindak sebagai avalis dalam
rangka pemberian kredit bank untuk petani plasma.

2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma

a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya;;


b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya yang
lahan usahanya berdekatan dan sama-sama ditanami;
c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca-
panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan;
d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang
disediakan dalam rencana pada waktu mengajukan permintaan kredit;
e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi budidaya
oleh pihak Dinas Perkebunan/instansi terkait setempat yang tidak
termasuk di dalam rencana waktu mengajukan permintaan kredit;
f. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan
sesuai petunjuk Perusahaan Mitra untuk kemudian seluruh hasil panen
dijual kepada Perusahaan Mitra ; dan

Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga produk
sesuai kesepakatan dalam perjanjian dengan terlebih dahulu dipotong
sejumlah kewajiban petani melunasi angsuran kredit bank dan pembayaran
bunganya.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 10


3. Aspek Pemasaran

a. Peluang Pasar

Perkembangan ekspor biji kakao dari Indonesia menunjukkan peningkatan


dari tahun ke tahun. Sebagian besar biji kakao dari sini diekspor ke luar
negeri, walaupun pada saat ini sudah ada beberapa industri pengolahan biji
kakao menjadi produk setengah jadi. Kendala utama yang dihadapi
komoditas kakao yang diekspor adalah kualitasnya. Mutu biji kakao dari
Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan yang berasal dari negeri
lain. Rendahnya kualitas tersebut ditunjukkan dengan harga jual kakao
dipasaran luar negeri. Sebagai contoh, jika pada bulan Maret 1996, harga biji
kakao Indonesia di luar negeri rata-rata adalah US$ 1.349 per ton, maka
hargajual produk yang sama dari Pantai Gading (Cote d Ivoire) mencapai
US$ 1.521 per ton. Untuk meningkatkan kualitas biji kakao tersebut telah
dilakukan usaha-usaha penyuluhan dan action program, baik oleh dinas-
dinas terkait, maupun melalui Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) dan
usaha-usaha tersebut nampaknya mulai memperlihatkan hasilnya.

Tabel 1.
Realisasi Ekspor dan Impor Kakao di Indonesia

Tahun Volume/Nilai Impor Ekspor

1992 Volume (ribu ton) 1.780 176.001


Nilai (ribu US$) 3.492 158.835

1993 Volume (ribu ton) 1.641 228.799


Nilai (ribu US$) 5.220 210.934

1994 Volume (ribu ton) 2.438 231.639


Nilai (ribu US$) 6.044 280.373

1995 Volume (ribu ton) 3.592 233.593


Nilai (ribu US$) 8.479 308.328

1996 Volume (ribu ton) 4.260 323.076


Nilai (ribu US$) 9.760 377.502

1997 Volume (ribu ton) - 306.000


Nilai (ribu US$) - 378.000

1. Ekspor

Bank Indonesia – Produksi Kakao 11


Indonesia selain sebagai pengekspor kakao, juga mengimpor kakao. Dari
Tabel 1. terlihat bahwa ekspor kakao dari Indonesia cenderung meningkat
setiap tahunnya. Jika pada tahun 1992, volume ekspor kakao mencapai
176.001 ribu ton dengan nilai US$ 158.835 ribu, maka pada tahun 1997,
volumenya meningkat 73,9% menjadi 306.000 ribu ton dengan nilai US$
378.000 ribu. Namun demikian, volume ekspor pada tahun tersebut lebih
rendah dari tahun sebelumnya, yaitu 323.076 ribu ton. Penurunan ini
disebabkan antara lain oleh penurunan produksi akibat kekeringan yang
cukup lama pada waktu itu.

Kegiatan impor kakao dari luar negeri cenderung meningkat setiap tahunnya.
Dalam periode 1992 -1996, impor kakao ke Indonesia meningkat 179,5%,
yaitu dari US$ 3.492 ribu, pada tahun 1994, meningkat menjadi US$ 9.760
ribu pada tahun 1996.

Permintaan biji kakao di pasaran dunia, dimasa mendatang cukup cerah.


Adanya kegagalan panen di beberapa negara Amerika Latin karena pengaruh
El Nino dan berkurangnya stock dunia, menyebabkan harga kakao cenderung
meningkat. Pada Tabel 2. dapat dilihat produksi dan konsumsi kakao dunia.

Tabel 2.
Produksi dan Konsumsi Kakao Dunia (ribu ton)

Uraian 1992/93 1994/95 1995/96 1996/97

Gross crop 2.485 2.348 2.916 2.695

Net crop 2.460 2.325 2.887 2.668

Grindings 2.402 2.541 2.732 2.815

Surplus/Deficit +58 -216 +155 -147

Total stock 1.540 1.227 1.382 1.235

Free stocks 1.310 1.099 1.305 1.209

Total Stock/grind. Ratio 64,1% 48,3% 50,6% 43,9%

Free stocks/grind. Ratio 54,5% 43,3% 47,8% 42,9%


Sumber : icco market news, 1998, htpp://www.icco.org

2. Pasar Dalam Negeri/Lokal

Indonesia selain mengekspor biji kakao juga mengimpornya (lihat Tabel 1 di


atas). Walaupun demikian pangsa pasar biji kakao di dalam negeri masih
relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh belum berkembangnya industri
pengolahan biji kakao di Indonesia, tetapi sejak tahun 1996 telah disetujui
usaha penanaman modal, baik dengan fasilitas PMA ataupun PMDN untuk

Bank Indonesia – Produksi Kakao 12


mendirikan industri Pengolahan biji kakao. Pada Tabel 3. dapat dilihat daftar
perusahaan pengolah biji kakao yang telah disetujui oleh BKPM, baik yang
menggunakan fasilitas PMDN, maupun PMA. Dengan melihat kondisi pada
tabel tersebut, pasar biji kakao untuk konsumsi dalam negeri cukup cerah.

Tabel 3.
Beberapa PMDN dan PMA Industri Kakao yang disetujui BKPM

No. Nama Perusahaan Lokasi Jenis Produk KapasitasProduksi

PMDN

1. PT. Argo Sarana Jateng Lemak kakao 2.860 ton


Satyamitra Tepung kakao 2.900 ton

2. PT. Davomas Abadi Jakarta Pasta coklat 2.880 ton


Bubuk kakao 2.880 ton

3. PT. Inkoma Kakao Jakarta Lemak kakao 2.400 ton


Primatunggal Tepung kakao 2.600 ton

4. PT. Mas Ganda Jabar Lemak kakao 1.440 ton


Tepung kakao 1.440 ton

5. PT. Sumut Coindo Sumut Lemak kakao 4.104 ton


Tepung kakao 2.188 ton
Coklat butir 3.283 ton
Kakao mutu 1.368 ton
rendah 2.737 ton
Bungkil coklat

6. PT. Sari Kakao Perkasa Sumut Lemak kakao 2.287 ton


Tepung kakao 2.572 ton

7. PT. Berhan Jabar Lemak kakao 2.287 ton


Intercontinental CAC Tepung kakao 7.600 ton

8. PT. Dana Bakti Wakaf Yogya Biji kakao 6.000 ton


kering

9. PT. Bujang Karya Jatim Lemak kakao 288 ton


Tepung kakao 165 ton

10. PT. Arya Pelangi Lampung Biji kakao 3.500 ton


kering

Bank Indonesia – Produksi Kakao 13


11. PT. Larat Indah Maluku Biji kakao 4.200 ton
kering

12. PT. Indokarya Gemasakti Kaltim Biji kakao 6.600 ton


kering

13. PT. Mahkota Bumi Kalsel Biji kakao 4.000 ton


kering

14. PT. Usaha Sejahtera Aceh Biji kakao 140 ton


Manikam kering

15. PT. Tulus Sintuwu Karya Sulteng Biji kakao 150 ton
kering

PMA

16. PT. Indo Cocoa Sumut Lemak kakao 5.300 ton


Specialities Tepung kakao 5.600 ton
Coklat 3.600 ton

17. PT. Frey Abadi Indonesia Jabar Coklat olahan 3.600 ton

18. PT. Effem Indonesia Sulsel Lemak kakao 5.000 ton


Tepung kakao 6.000 ton
Biji kakao 60.000 ton
kering

19. PT. FP Foods Cocoa Sumut Lemak kakao 1.500 ton


Indonesia Tepung kakao 1.400 ton

20. PT. Poleko Cocoa Sulsel Lemak kakao 1.140 ton


Industries Ind Tepung kakao 1.260 ton
Sumber : Harian Bisnis Indonesia tanggal 02-04-1996 dari BKPM

b. Produksi

Tanaman kakao (Theobroma cacao LINN) merupakan tanaman tropis yang


berasal dari hutan tropis Amerika Selatan. Oleh bangsa Maya buah tanaman
tersebut disebut ka-ka-wa dan dalam bahsa Nahuatl disebut xocoatl.
Kemudian oleh Linnaeus, tanaman tersebut diberi nama Theobroma yang
berarti makanan dewa-dewa (food of gods).

Bank Indonesia – Produksi Kakao 14


Di Indonesia, tanaman kakao dibudidayakan oleh rakyat dan perkebunan
besar di beberapa tempat, antara lain di Jawa Timur, Sulawesi (Selatan,
Tengah dan Tenggara), Sumatra (Utara dan Aceh), Maluku dan Irian Jaya.
Pada tahun 1997, luas areal perkebunan kakao diperkirakan mencapai
610.876 ha. Pada Tabel 4. dapat dilihat perkembangan luas areal dan
produksi kakao di Indonesia dan di beberapa daerah-daerah sentra produksi
kakao.

Tabel 4.
Luas Areal dan Produksi Kakao di Indonesia

Tahun
Deskripsi
1992 1993 1994 1995 1996 1997**)

Indonesia

Luas Areal (ha) 496.006 535.285 597.011 602.428 605.944*) 610.876

Produksi (ton) 207.147 258.059 269.981 304.866 317.729*) 332.929

Produktiv 853,57 858,05 832,53 888,69 912,31*) 944,88


(Kg/ha)

Sulawesi Selatan

Luas Areal (ha) 97.390 100.326 114.289 131.194 139.327 154.779

Produksi (ton) 66.749 71.459 83.631 95.857 116.394 130.192

Sulawesi Tengah

Luas Areal (ha) 35.849 36.236 36.517

Produksi (ton) 18.747 19.390 21.559

Sulawesi Tenggara

Luas Areal (ha) 88.434 89.084 90.760

Produksi (ton) 55.165 56.197 56.554

Sumatra Utara

Luas Areal (ha) 59.660 59.901 60.357

Produksi (ton) 47.446 48.173 49.171

Kalimantan Timur

Luas Areal (ha) 34.004 34.142 51.783

Bank Indonesia – Produksi Kakao 15


Produksi (ton) 10.322 10.555 12.007

Jawa Timur

Luas Areal (ha) 29.004 29.046 29.275

Produksi (ton) 11.761 15.327 15.305

Maluku

Luas Areal (ha) 19.296 19.352 19.412

Produksi (ton) 6.340 6.590 7.867

Irian Jaya

Luas Areal (ha) 25.454 25.645 25.801

Produksi (ton) 7.641 7.957 9.215


Keterangan : *) Angka sementara **) Angka estimasi per 11 Maret 1998
Sumber : website Deptan http://www.deptan.go.id, Disbun dan BPS Sulsel,
1998.

Di antara negara-negara penghasil kakao di dunia, produksi kakao Indonesia


berada di tingkat ketiga sesudah Cote d'Ivoire dan Ghana, walaupun
berdasarkan luas kebun yang dipanen berada diurutan ketujuh. Produksi
kakao di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya, sejalan dengan
semakin luasnya areal dan produktivitas kebun. Pada Tabel 4. terlihat bahwa
produksi kakao pada tahun 1992 mencapai 207.147 ton dan meningkat
menjadi 332.929 ton pada tahun 1997. Demikian juga luas arealnya yang
pada tahun 1992 hanya 496.006 ha menjadi 610.876 ha pada tahun 1997.
Dengan meningkatnya pengetahuan petani kakao akan pentingnya
perawatan tanaman dan penggunaan pupuk, produktivitas kebunnya
meningkat dari 853,57 kg/ha pada tahun 1992 menjadi 944,88 kg/ha pada
tahun 1997.

c. Persaingan

Penghasil kakao, selain Indonesia adalah negara-negara di Afrika, Amerika


latin dan Asia. Benua Afrika merupakan kawasan yang terbesar yang
menghasilkan kakao, tetapi dalam kurun waktu 1991/1996, kawasan ini
mengalami penurunan produksi, demikian juga di kawasan Amerika latin.
Kawasan Asia pada kurun waktu tersebut mengalami peningkatan produksi,
dan dari kawasan ini, yang sebagian besar produksinya dihasilkan dari
Malaysia dan Indonesia , hanya Indonesia yang mengalami peningkatan
produksi. Hal ini menunjukkan bahwa persaingan dalam hal perdagangan
komoditi kakao di dunia, peranan Indonesia cukup besar. Hal ini selain

Bank Indonesia – Produksi Kakao 16


terlihat dari adanya peningkatan produksi, juga volume dan nilai ekspor dari
komoditi yang juga semakin meningkat, lihat Tabel 5.

Tabel 5.
Posisi Indonesia dalam Perdagangan Internasional Kakao

Produksi * 1991-93 1994 1995 1996 **


Rata-rata ( �000 ton, nilai bahan baku )

World total 2.410 2.487 2.832 2.510

Brazil 330 330 215 180

Dominican Rep. 48 58 55 55

Ecuador 92 81 85 85

Cameroon 100 100 120 120

Cote dIvoire 749 809 1.200 950

Ghana 265 270 375 300

Nigeria 148 135 145 150

Indonesia 201 271 295 330

Malaysia 223 177 120 120


* Production of beans in crop year beginning 1 october in the year shown.
** Provinsional

Ekspor* 1991-93 1994 1995

World total ** 1.863 1.727 1.710

Brazil 88 87 19

Dominican Rep. 43 51 49

Ecuador 44 43 64

Cameroon 96 77 90

Cote dIvoire 646 648 922

Ghana 241 238 239

Nigeria 125 142 133

Indonesia 161 200 193

Bank Indonesia – Produksi Kakao 17


Malaysia 134 83 53
*Beans only, ** Excluding re-exports.
Sumber : ICCO market news, 1998, http://www.icco.org

Bank Indonesia – Produksi Kakao 18


4. Aspek Produksi

a. Kesesuaian Lahan

Tanaman kakao (Theobroma cacao LINN) yang ditanam di perkebunan


rakyat pada umunya adalah kakao jenis Forastero (bulk cocoa atau kakao
landak), Criolo (fine cocoa atau kakao mulia) dan hibrida (hasil persilangan
antara jenis Forastero dan Criolo). Tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman
kakao digolongkan menjadi sesuai (S1), cukup sesuai (S2), agak sesuai (S3)
dan tidak sesuai (N). Penilian tersebut didasarkan atas kondisi agroklimat,
sifat fisik dan kimia tanah. Pada Tabel 6. dapat dilihat tingkat kesesuaian
lahan untuk tanaman kakao.

b. Pembukaan

Lahan yang dipergunakan untuk penanaman kakao dapat berasal dari lahan
alang-alang dan semak belukar, lahan primer atau lahan konversi.

Pada lahan alang-alang dan semak belukar cara pembukaan lahan dilakukan
dengan pembabatan secara manual atau dengan menggunakan herbisida.
Pada lahan primer dilakukan dengan cara menebang pohon-pohon ,
sedangkan yang dari lahan konversi dilakukan dengan menebang atau
membersihkan tanaman yang terdahulu.

c. Penanaman dan Penaungan

Penanaman kakao ditanam dengan jarak tanam 3 x 3 m pada tanah datar


dan 4 x 2 m pada tanah miring, dengan demikian jumlah pohon kakao
sekitar 1.100 pohon/ha. Sebelum tanaman kakao ditanam, harus ditanam
terlebih dahulu tanaman pelindung, seperti lamtoro gung, yang berfungsi
untuk melindungi tanaman muda kakao dari sinar matahari langsung.
Semakin lama umur tanaman muda, semakin dikurangi jumlah naungannya.
Untuk tanaman kurang dari 2 bulan, penyinaran matahari hanya diperlukan
25 - 30% penyinaran, 3 bulan diperlukan 30 - 40%, umur 4 bulan 50 - 70%
dan lebih besar dari 5 bulan diperlukan persentase penyinaran 70%.

d. Pemupukan

Pupuk yang digunakan pada umunya harus mengandung unsur-unsur


Nitrogen, Phospat dan Kalium dalam jumlah yang cukup banyak dan unsur-
unsur mikro lainnya yang diberikan dalam jumlah kecil. Ketiga jenis tersebut
di pasaran dijual sebagai pupuk Urea atau ZA (Sumber N), Triple Super
Phospat (TSP) dan KCl. Selain penggunaan pupuk tunggal, dipasaran juga

Bank Indonesia – Produksi Kakao 19


tersedia penggunaan pupuk majemuk, y!ng mana pupuk tersebut berbentuk
tablet atau briket dan didalamnya, selain mengandung unsur NPK, juga
unsur-unsur mikro. Penggunaan pupuk tersebut, walaupun harganya relatif
lebih mahal dari pupuk tunggal, akan mengurangi penggunaan tenaga kerja.

Pemberian pupuk dilakukan 2 - 3 kali per tahun dengan meletakkan pupuk


tersebut di dalam tanah (sekitar 10 - 20 cm dari permukaan tanah) dan
disebarkan di sekeliling tanaman.

Tabel 6.
Kriteria Kesesuain Lahan Untuk Kakao

Penilaian
Kriteria
S1 S2 S3 N

ELEVASI (m dpl)
1.Kakao Mulia 0-600 600-700 700-800 > 800
2.Kakao lindak 0-300 300-450 450-600 > 600

CURAH HUJAN
1. Bulan kering (< 60 0-1 1-3 3-5 >5
mm/bln ) 250-150 150-125 125-110 < 110
2. Rata-rata tahunan 250-300 300-400 >400
(cm)

KONDISI TANAH Baik Agak ter- Agak cepat Sangat ter-


1.Drainase tanah Lempung Hambat, Liat Hambat,
2.Tekstur tanah Berpasir, Agak baik Berdebu, Terhambat
Lempung Pasir ber- liat Kerikil
Liat Lempung, Pasir, liat
Berpasir, Liat Masif
Lempung berpasir
Berdebu,
Debu
Lempung
Berliat,
Lempung
Liat
Berdebu

Bank Indonesia – Produksi Kakao 20


> 150 150 - 100 100 - 60 < 60
3.Kedalaman perakaran 0 -8 8 15 15 - 45 > 45
(cm)
4.Lereng (%)

SIFAT KIMIA TANAH


1.KPK (me/100 gr tanah) > 15 10 - 15 5 - 10 <5
2. pH 6,0 - 7,0 5,0 - 6,0 7,5 - 8,0 > 8,0
3. C organik (%) 2-5 7,5 7,0 4,0 - 5,0 < 0,5
1-2 0,5 - 1

KETERSEDIAN UNSUR
HARA Sedang Rendah Sangat
1.N total Sedang Rendah rendah
2. P2O5 tersedia Rendah Sangat Sangat
3.K2O tersedia rendah rendah

TOKSITAS
1. Salinitas (mmhos/cm) <1 1-3 3-6 >6
2. Kejenuhan AI (%) <5 5-20 20-60 >60
Sumber : Soetanto A. 1996. Penilaian lahan untuk budidaya kakao : Materi
Pelatihan Teknis Budidaya Kakao. Dirjenbun dan Pusat Penelitian Kopi &
Kakao. Jember.

e. Pemberantasan Hama

Hama yang sering menyerang tanaman kakao antara lain adalah belalang,
ulat jengkal (Hypsidra talaka Walker), kutu putih (Planoccos lilaci), penghisap
buah (Helopeltis sp) dan penggerek batang (Zeuzera sp). Sedangkan
penyakit yang sering diketemukan adalah penyakit jamur upas dan jamur
akar. Penyakit tersebut disebabkan oleh cendawan Oncobasidium thebromae.
Selain itu juga sering dijumpai penyakit busuk buah yang disebabkan oleh
Phytoptora sp.

Insektisida yang digunakan untuk pemberantasan ulat jengkal, kutu putih


dan belalang antara lain adalah Decis, Supraycide, Lebaycide, Coesar dan
Atabron. Helopletis sp dapat diberantas dengan Lebaycide, Cupraycide dan
Decis.

Fungisida yang sering digunakan untuk memberantas penyakit tersebut di


atas adalah Bayleton dan Meneb.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 21


f. Panen dan Pasca Panen

a. Pemetikan buah

Buah yang sudah masak dipetik dengan menggunakan pisau atau gunting
tanaman. Jumlah biji dalam buah berkisar antara 20 - 60 biji. Di Sulawesi
Selatan, untuk mendapatkan 1 kg biji kakao kering (kadar air 8 - 7%)
diperlukan sekitar 25 - 35 buah kakao. Produksi tanaman ditentukan oleh
tingkat kesuaian lahan. Pada Tabel 7. dapat dilihat produksi tanaman
berdasarkan tingkat kesuaian lahan.

Tingkat kematangan buah dapat dilihat dari perubahan warna buah, yaitu
jika alur buah sudah berwarna kuning, maka tingkat kematangannya adalah
C, sedangkan jika alur dan punggung buah berubah kuning, tingkatannya B.
Jika seluruh permukaan buah sudah berwarna kuning atau kuning tua, maka
tingkat kematangannya adalah A dan A+. Pada umumnya petani sudah
memanen buah kakao jika tingkat kematangannya sekurang-kurangnya
sudah B. Pemetikan buah pada umumnya dilakukan di pagi hari. Buah-buah
tersebut kemudian dikumpulkan di suatu tempat menunggu untuk
dipecahkan. Kegiatan tersebut dikenal dengan pemeraman buah.

b. Pemecahan buah

Buah yang sudah terkumpul kemudian dipecahkan dengan alat pemukul


yang terbuat dari kayu. Buah tersebut dipukul dengan punggung dengan
arah miring. Bila kulit telah terbagi dua, kulit bagian ujung dibuang dan
tangan kanan menarik biji dari placenta. Biji kemudian ditempatkan di atas
lembaran plastik atau di dalam keranjang bambu. Pada prinsipnya biji basah
ini sudah dapat dijual langsung ke pasar. Namun demikian harga biji basah
atau fermentasi tidak sempurna, rendah harganya.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 22


Tabel 7.
Produksi Tanaman Berdasarkan Umur Tanaman dan Tingkat
Kesesuaian Lahan (Kg/ha)

Asumsi
Tahun Ke S1 S2 S3 yang
Digunakan

3 600 500 450 500


4 750 650 600 700
5 1.050 900 850 900
6 1.300 1.100 1.000 1.050
7 1.450 1.250 1.150 1.200
8 1.600 1.350 1.250 1.300
9 1.750 1.500 1.400 1.450
10 1.800 1.550 1.450 1.500
11 1.800 1.550 1.450 1.500
12 1.900 1.650 1.500 1.600
13 1.900 1.650 1.500 1.600
14 1.900 1.650 1.500 1.600
15 1.900 1.650 1.500 1.600
16 1.900 1.650 1.500 1.600
17 1.900 1.650 1.500 1.600
18 1.900 1.650 1.500 1.550
19 1.900 1.550 1.500 1.550
20 1.800 1.350 1.450 1.500
21 1.600 1.300 1.250 1.300
22 1.500 1.250 1.200 1.200
23 1.450 1.250 1.150 1.150
24 1.450 1.150 1.150 1.150

c. Fermentasi

Fermentasi biji kakao dimaksudkan untuk mematikan lembaga biji agar tidak
dapat tumbuh dan menumbuhkan aroma yang khas coklat. Fermentasi
dilakukan di dalam suatu wadah/kotak kayu yang mana tebal tumpukkan biji
tidak boleh lebih dari 42 cm. Fermentasi yang sempurna dilakukan dalam
waktu 5 hari, dimana pada hari kedua harus dilakukan

Bank Indonesia – Produksi Kakao 23


pengadukan/pembalikan. Sesudah itu biji dibiarkan dalam tempat fermentasi
sampai hari kelima. Selama proses fermentasi sebagian air yang terkandung
dalam biji akan hilang dan aroma seperti asam cuka akan keluar dari tempat
fermentasi. Biji yang sudah difermentasikan kemudian diangin-anginkan
sebentar atau direndam dan dicuci sebelum dikeringkan.

d. Perendaman dan Pencucian

Perendaman mempunyai pengaruh terhadap proses pengeringan dan


rendemen. Selama proses perendaman berlangsung, sebagian kulit biji
kakao terlarut sehingga kulit bijinya lebih tipis dan rendemennya berkurang.
Dengan demikian proses pengeringan menjadi lebih cepat.
Sesudah perendaman, dilakukan pencucian. Tujuan pencucian untuk
mengurangi sisa-sisa pulp yang masih menempel pada biji dan mengurangi
rasa asam pada biji. Bila kulit biji masih ada sisa-sisa pulp, biji mudah
menyerap air dari udara sehingga mudah terserang jamur dan juga
memperlambat proses pengeringan.

e. Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk menurnkan kadar air biji dari 60% sampai
pada kondisi dimana kandungan air dalam biji tidak dapat menurunkan
kualitas biji dan biji tidak dapat ditumbuhi cendawan. Pengeringan yang
terbaik adalah dengan sinar matahari. Untuk mengeringkan biji sampai pada
kadar airnya mencapai 7 - 8% diperlukan waktu 2 - 3 hari, tergantung dari
kondisi cuaca. Jika cuaca tidak memungkinkan, pengeringan dapat dilakukan
dengan alat pengering buatan.

Tabel 8.
Syarat Umum Kualitas Biji Kakao

Karakteristik Syarat Cara Pengujian

SP-SMP-345-1985
Kadar air (%) 7,50
ISO 2291 - 1980

Biji berbau asap dan atau Tidak Ada Organoleptik


Abnormal dan atau berbau asing

Serangan hidup Tidak Ada Visual

Kadar biji pecah dan atau 3 SP-SMP-346-1985


pecahan
Biji dan atau pecahan kulit

Bank Indonesia – Produksi Kakao 24


(% Bobot per bobot ), kas.

Kadar benda asing (% bobot per 0 SP-SMP-346-1985


bobot), maks.

f. Kualitas Biji Kakao

Kualitas biji kakao ditentukan berdasarkan standar uji yang berlaku, yaitu
menurut SP-45-1976 yang direvisi bulan Februari 1990 atas usulan dari
Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Dalam penentuan kualitas tersebut,
yang dimaksud dengan biji kakao adalah biji tanaman kakao (Theobroma
cacao LINN) yang telah difermentasikan, dibersihkan dan dikeringkan.
Kualitas biji kakao ditentukan berdasarkan syarat umum yang dapat dilihat
pada Tabel 8. dan syarat khusus yang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9.
Syarat Khusus Kualitas Biji Kakao

Kadar biji
Jumlah
Kadar biji tak Berserangga,
biji Kadar biji
Terfementasi Pipih dan
Jenis Mutu Per 100 Berkapang%
% (b/b), Berkecambah
gram, (b/b), maks
maks % (b/b),
maks
maks

Kakao Kakao . . . .
Mulia Lindak
(Fine (Bulk
Cocoa) Cocoa)

I-AA-F* I-AA 85 3 3 3

I-A-F I-A 100 3 3 3

I-B-F I-B 110 3 3 3

I-C-F I-C 120 3 3 3

Bank Indonesia – Produksi Kakao 25


II-AA-F II-AA 85 4 8 6

II-A-F II-A 100 4 8 6

II-B-F II-B 110 4 8 6

II-C-F II-C 120 4 8 6


Sumber : Standar Biji Kakao, Asosiasi Kakao Indonesia, 1990

Bank Indonesia – Produksi Kakao 26


5. Aspek Keuangan

a. Asumsi

Analisa ini diharapkan akan dapat menjawab apakah para petani plasma
akan mendapatkan nilai tambah dari proyek ini dan mampu mengembalikan
kredit yang diberikan oleh bank dalam jangka waktu yang wajar.

Perhitungan ini didasarkan pada kelayakan usaha setiap petani yang akan
mengembangkan (ekstensifikasi) kebun kakao seluas 2 ha. Dengan demikian
Perusahaan mitra (inti) dipandang sebagai terlibat kegiatan sejak awal, mulai
dari kegiatan pembukaan lahan sampai tanaman menghasilkan. Data-data
mengenai harga dan biaya yang dipergunakan untuk analisis ini, didasarkan
pada keadaan yang pada umumnya terjadi di lapangan sekitar bulan Juli
1998 yang dicantumkan dalam tabel lampiran 10, tabel lampiran 11, tabel
lampiran 12, tabel lampiran 13, dan tabel lampiran 14. Adanya pergeseran
dari harga-harga tersebut, tentunya akan diikuti dengan pergeseran hasil
analisis ini. Setiap proyek yang sedang dipersiapkan hendaknya melihat
kembali satuan harga-harga yang berlaku, dan meneliti hasil analisisnya
yang lebih sesuai dengan keadaan harga-harga yang bersangkutan.
Sementara kelayakan yang ditampilkan dalam perhitungan ini dapat
hendaknya dipergunakan sebagai acuan didalam mempertimbangkan
proyek-proyek perkembangan kakao petani.

Dalam analisis ini skim kredit yang digunakan adalah KKPA dengan bunga
16% per tahun dan pembayaran angsuran dilakukan pada waktu tanaman
petani sudah menghasilkan, yaitu pada tahun ketiga. Selama tanaman belum
menghasilkan petani diberikan grace periode dan bunga pinjamannya adalah
14% per tahun. Parameter teknis untuk perhitungan ini dapat dilihat pada
tabel lampiran 15.

b. Biaya Investasi

Biaya investasi tanaman pada tahun ke-0 (TBM 0) digunakan untuk


pembukaan lahan (land clearing), pembibitan, penanaman tanaman
pelindung dan tanam kakao. Sedangkan untuk Tahun 1 dan ke-2 digunakan
untuk perawatan tanaman, seperti penyulaman, pemupukan dan pencegahan
hama dan penyakit.

Investasi non-tanaman digunakan untuk pembangunan prasarana, seprti


jalan kebun dsb. Apabila diperlukan dana untuk pembayaran jaminan kredit,
jika kredit ini dijaminkan ke perusahaan penjamin kredit seperti Perum PKK,

Bank Indonesia – Produksi Kakao 27


Askrindo atau PKPL, maka biaya investasi untuk non-tanaman perlu
ditambah dengan itu.

Biaya investasi kebun digunakan untuk investasi tanaman dan non tanaman.
Dengan menggunakan keadaan harga-harga dan biaya yang pada umunya
terjadi dilapangan pada sekitar bulan Juni 1998, perincian biaya investasi
untuk 2 ha kebun kakao dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10.
Kebutuhan Biaya Investasi Kebun Kakao

KEBUTUHAN BIAYA (Rp/ha) (per petani 2


ha)

A. INVESTASI TANAMAN 4.463.843 8.927.686

- Tahun 0 (TBM 0) 1.522.500 3.045.000

- Tahun 1 (TBM 1) 1.183.250 2.366.500

- Tahun 2 (TBM 2) 7.169.593 14.339.186

Jumlah Investasi Tanaman 987.000 1.974.000

B. INVESTASI NON TANAMAN 987.000 1.974.00

- Prasarana

Jumlah Investasi Non Tanaman

Total Investasi Tanaman + Non 8.156.593 16.313.186


Tanaman
163.120 326.240
Fee / Overhead
8.319.713 16.639.426
JUMLAH INVESTASI
2.513.035 5.026.070
Bunga Masa Konstruksi (IDC)

JUMLAH KESELURUHAN 10.832.746 21.665.492

c. Proyeksi Laba/Rugi

Proyeksi laba/rugi memberikan gambaran tentang kegiatan usaha


perkebunan kakao rakyat dalam periode yang akan datang. Asumsi dasar

Bank Indonesia – Produksi Kakao 28


yang digunakan untuk perhitungan laba/rugi ini adalah menyangkut kualitas
biji kakao yang dijual petani. Kualitas biji kakao yang dijual petani adalah biji
kering, dengan kadar air 7 - 8% dengan harga jual Rp. 15.00/kg.
Berdasarkan asumsi tersebut, sejak tanaman mulai menghasilkan, yaitu
pada tahun ketiga sampai akhir analisa, yaitu tahun ke -23, petani kakao
mendapatkan keuntungan yang cukup memadai. Jika pada tahun pertama
berbuah keuntungan tersebut hanya 6,7 juta/tahun, maka pada tahun
berikutnya meningkat dua kali lipat, seiring dengan meningkatnya
produktivitas tanaman (lihat tabel lampiran 02).

d. Neraca

Hasil tabel neraca akhir tahun (Tabel lampiran 01) menunjukkan bahwa
kekayaan petani meningkat dari Rp. pada awal tahun meningkat menjadi Rp.
632.017.906 pada akhir tahun ke-22 jika perolehan hasil ditanamkan
kembali ke dalam proyek. Pada tahun tersebut, nilai sisa aktiva tetap adalah
Rp. 701.345 dan tidak memiliki hutang ke bank. Dengan posisi kas tersebut,
petani sudah mampu untuk mandiri untuk melanjutkan usahanya.

e. Proyeksi Aliran Kas

Dengan mengatur seluruh dana pembiayaan dari Bank dan adanya grace
period selama 2 tahun, maka selama masa proyek tidak terjadi defisit. Petani
dapat mengembalikan pokok serta bunga pinjaman dalam waktu yang telah
ditentukan, yaitu selama 5 tahun mulai dari tanaman menghasilkan pada
tahun ke-3 sesudah tanam, dan mendapatkan keuntungan yang wajar.
Proyeksi arus kas dapat dilihat pada tabel lampiran 03.

Setelah melunasi angsuran hutang pokok, pembayaran bunga pinjaman dan


pembayaran pajak, petani diperhitungkan akan mulai menerima sisa
pendapatan pertahun dengan 2 ha kebun kakao pada tahun ke-3 sesudah
tanam sebanyak Rp. 4,1 juta, yang kemudian meningkat tiap tahun hingga
mencapai Rp. 37,4 juta pada tahun ke-10 dan naik lagi menjadi Rp. 48 juta
pertahun dari tahun ke-12 sampai tahun ke-23 menjadi Rp. 28,0 juta.
Setelah ini, petani harus mengadakan investasi baru untuk peremajaan
tanamannya. Secara keseluruhan sampai pada tahun ke-23 sesudah tanam,
analisis finansial menunjukkan kriteria usaha seperti pada berikut ini.

Tabel 11.
Hasil Analisa Finansial Proyek

No. Kriteria Kelayakan Proyek Nilai

1. NPV (df=16%) Rp. 75.408.163

Bank Indonesia – Produksi Kakao 29


2. B/C 3,01

3. IRR 48,76%

4. Payback Period 3,7 tahun

Bank Indonesia – Produksi Kakao 30


6. Aspek Dampak Lingkungan

Pembukaan kawasan untuk proyek perkebunan dengan pola kemitraan yang


peserta plasmanya berasal dari masyarakat stempat, atau transmigran (baik
transmigran lokal maupun luar pulau), termasuk pembangunan pabrik
perusahaan Inti, mungkin akan bisa menimbulkan dampak negatif disamping
dampak positif seperti diatas, terhadap komponen ekosistem baik fisik,
hayati maupun sosial ekonomi.

Secara ekologis dampak dari proyek perkebunan ini akan bisa berpengaruh
terhadap keseimbangan ekosistem hutan dan berkaitannya dengan
ekosistem atau subekosistem lainnya. Perubahan ini mungkin dapat terus
berlanjut pada komponen-komponen lingkungan lainnya, antara lain satwa
liar, hama dan penyakit tanaman, air, udara, transpotasi yang akhirnya
berdampak pula pada komponen sosial, ekonomi, budaya serta komponen
kesehatan lingkungan.

Untuk itu perlu adanya telaah lingkungan yang berguna memberikan


informasi lingkungan, mengidentifikasi permasalahan lingkungan, kemudian
mengevaluasi dampak penting yang timbul untuk kemudian disusun suatu
alternatif tindakan pengelolaannya untuk penanggulangan dampak negatif
dan mengoptimalkan dampak positif.

Telaah Amdal yang berkaitan dengan pembangunan proyek perkebunan ini,


yang harus dilakukan antara lain, identifikasi permasalahan lingkungan, yaitu
telaah 'holistik' terhadap seluruh komponen lingkungan yang diperkirakan
akan mengalami perubahan mendasar akibat pengembangan proyek
perkebunan ini, seperti perubahan tata guna lahan, iklim mikro, tanah,
vegetasi, satwa, hama dan penyakit tanaman, sosial ekonomi, sosial budaya,
kesehatan lingkungan, dan sebagainya. Secara umum, dampak lingkungan
dari adanya pembangunan perkebunan cokelat ini tidak banyak yang harus
dikhawatirkan mengingat komoditi pertanian ini justru akan membuat lahan
petani lebih banyak terawat dan termanfaatkan.

Bank Indonesia – Produksi Kakao 31


LAMPIRAN

Bank Indonesia – Produksi Kakao 32

Anda mungkin juga menyukai