Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung

atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,

fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu

sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. Menurut Brain Injury Assosiation

of America cedera kepala merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan

ataupun benturan fisik dari luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat

menimbulkan kerusakan fungsi kognitif maupun fungsi fisik (Riskanto R. et al.

2016).
Diperkirakan 1,7 juta orang di Amerika Serikat mengalami cedera kepala

setiap tahunnya, 50.000 meninggal dunia, 235.000 dirawat di rumah sakit, dan

1.111.000, atau hampir 80% dirawat dan dirujuk ke Departemen Instalasi Gawat

Darurat. Menurut laporan World Health Organization (WHO), setiap tahunnya sekitar

1,2 juta orang meninggal dengan diagnosis cedera kepala yaitu akibat kecelakaan lalu

lintas (KLL) dan jutaan lainnya terluka atau cacat. Sebagian besar kematian dapat

dicegah. di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah, banyak

pengguna kendaraan roda dua, terutama pengguna sepeda motor, dan lebih dari 50%

terluka atau meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Kejadian cedera kepala di

Indonesia sebesar 27% dari total cedera yang dialami akibat kecelakaan lalu lintas.

Kejadian cedera otak berat di Indonesia antara 6 hingga 12% dari semua kasus cedera

otak dengan angka kematian berkisar antara 25% hingga 37% (Astrid C. et al. 2016).
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang

terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu

1
cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial,

hipoksia, hiperkapnea/hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang

terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari

kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron

berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan

neurokimiawi (Miranda. 2014).


Penegakan diagnosa trauma kepala diperoleh dengan anamnesa yang cermat,

pemeriksaan klinis awal yang teliti, dan ditunjang oleh pemeriksaan penunjang, dan

salah satu pemeriksaan penunjang yang akurat untuk menentukan letak kelainan pada

trauma kepala adalah dengan pemeriksaan CT (Computerized Tomography) yang

selanjutnya disebut dengan CT-scan. Namun tentunya sebelum CT-scan dilakukan,

baiknya dipergunakan modalitas awal yang lebih terjangkau seperti foto Roentgen

kepala. Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosa sedini

mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa

yang baik (Rasad. 2018).


Hadirnya modalitas imajing seperti CT scan telah merevolusi cara

mengevaluasi diagnosis trauma kepala. Penelitian menunjukkan tindakan operasi

pada trauma kepala berat dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat

menyelamatkan kurang lebih 70% pasien. Sebaliknya, tingkat mortalitas dapat naik

sampai 90% bila tindakan intervensi dilakukan lebih dari 4 jam. Penegakan diagnose

trauma kepala diperoleh dengan pemeriksaan klinis awal yang diteliti dan tentu

ditunjang oleh diagnose imajing (Miranda. 2014).


BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI

I. ANATOMI KEPALA

2
Kepala merupakan bagian superior tubuh yang menempel dengan batang tubuh

melalui leher. Kepala terdiri dari :


2.1.1 KULIT KEPALA (SCALP)
Kulit kepala menutupi cranium, dan meluas dari linea nuchalis superior pada os

occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala

meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima

lapis jaringan; tiga lapis pertama saling berhubungan secara erat satu dengan yang

lain dan bergerak sebagai satu kesatuan.


1. Skin (kulit). Merupakan kulit yang tipis, mengandung banyak kelenjar

keringat dan kelenjar minyak (kecuali daerah occipital), serta folikel rambut.
2. Connective tissue (jaringan ikat). Merupakan lapisan subkutan, memiliki

banyak pembuluh darah dan saraf.


3. Aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica). Selembar jaringan ikat yang

kuat dan merupakan lembar tendo bagi m. occipitalis dan m. frontalis.


- M. frontalis: menarik kulit kepala ke depan, mengerutkan dahi, dan

mengangkat kedua alis.


- M. occipitalis: menarik kulit kepala ke belakang dan mengerutkan kulit

tengkuk.
4. Loose connective tissue (jaringan ikat longgar). Bentuknya menyerupai

spon karena berisi banyak ruang potensial yang dapat mengembang karena

menyerap cairan yang terbentuk akibat cedera atau infeksi; lapis ini

memungkinkan ketiga lapis di atasnya bergerak secara bebas terhadap lapis

terdalam.
5. Pericranium. Selapis jaringan ikat padat, melekat erat pada ossa cranii
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium

dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgleal ( hematoma

subgalea). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi

perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah

3
terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap

sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.

2.1.2 TULANG TENGKORAK (CRANIUM / SKULL)

Cranium (skull) adalah bagian superior tengkorak yang bulat dan besar, yang

menutupi otak dan terbuat dari tulang-tulang cranial.

4
Terdiri dari :

a. Neurocranium (cranial bone)

Merupakan bagian cranium yang melapisi otak dan pelapis membranousnya,

cranial meninges. Juga mengandung bagianproximal cranial nerve dan perdarahan

otak.
Neurocranium terdiri dari :
- calvaria (skull cup) : bagiap atap tengkorak
- floor (cranial base) : basis cranii

5
b. Viscerocranium (facial bone)

Merupakan bagian tengkorak yang berasal dari arkus brakhialis dan terdiri dari

tulang wajah yang berkembang dari mesenkim embrionik pharyngeal arches.

c. Anterior Aspect of the Skull

 Frontal Bone
Frontal bone membentuk dahi (bagian anterior cranium), lubang mata (orbit), dan

sebagian besar bagian anterior cranial floor.


 Glabela  tonjolan kecil di frontal superior nasal
 Nasion  pertemuan antara sutura internasal dengan frontonasal
 Squama frontalis  melekuk ke inferior dari coronal suture
 Zygomatic Bones
 Maxilla (upper jaws)
 Mandible (lower jaws)

d. Lateral Aspect of the Skull

 Pterion  pertemuan antara tulang sphenoid, temporal, frontal dan parietal bones

(H shape)
 External acoustic opening
 Parietal Bone
Parietal Bone membentuk bagian besar pada sisi dan atap dari cranial cavity.
Permukaan internal parietal bone mengandungtonjolan dan penekanan yang

memuat pembuluh darah yang menyuplay dura matter.


 Temporal Bone
Temporal Bone membentuk aspek inferior lateral cranium dan bagian cranial floor.
 Squama temporal  tipis, datar, yang membentuk bagian anterior dan superior
 Proyeksi dari bagian squama temporal adalah zygomatic process, yang

berartikulasi dengan temporal process pada tulang zygomatic.

6
 Zygomatic process pada tulang temporal dan temporal process pada tulang

zygomatic membentuk zygomatic arch.


 Sphenoid Bone
Sphenoid Bone memanjang pada bagian midline basis cranii.
Bergabung dengan tulang frontal anteriorly, dengan tulang temporal laterally,

dengan occipital posteriorly.


 Ethmoid Bone
Ethmoid Bone seperti spons dan terletak pada midline pada anterior cranial floor

medial terhadap orbit.


Anterior terhadap sphenoid dan posterior terhadap nasal bone.
Merupakan struktur pendukungnasal cavity.

e. Posterior Aspect of the Skull

 Occipital Bone
Occipital Bone membentuk bagian posterior dan sebagian besar basis cranii.
 Lambda pertemuan antara sutura sagittal dengan sutura lambdoid
 Bregma  pertemuan sutura coronal dengan sagittal.
 Vertex  superior point dari neurocranium di midline skull
 Foramen magnum  bagian inferior occipital Bone
 External occipital protuberance  proyeksi penonjolan midline pada

permukaan posterior tulang di atas foramen magnum

f. Persarafan

- Depan auricula: melalui cabang-cabang ketiga divisi nervus cranialis V.


- Belakang auricula: berasal dari saraf-saraf kulit spinal (C2 dan C3).

g. Vaskularisasi

arcus aorta a.brachiocephalic a.carotid communis:


- a. carotis externa a. occipitalis: bagian belakang kepala
a. auricularis posterior: bagian belakang telinga

a. temporalis superficialis: bagian depan auricular


- a.carotis interna a. supratrochlearis: bagian depan/dahi kepala
a. supraorbitalis: bagian depan/dahi kepala
v. supraorbitalis v. occipitalis v. temporalis superficialis

7
v. supratrochlearis (dari daerah v. auricularis posterior
occipitalis) (dari depan dan belakang
Auricular)
v. facialis
(dari depan)

v. retromandibularis anterior v. retromandibularis posterior


v. jugularis interna v. jugularis eksterna

v. subclavia

h. Limfe

Penyaluran limfe kulit kepala adalah ke lingkaran kelenjar-kelenjar superficial:


- Nodi lymphoidei submentalis
- Nodi lymphoidei submandibularis
- Nodi lymphoidei parotidei
- Nodi lymphoidei mastoidei
- Nodi lymphoidei occipitals
Limfe dari kelenjar-kelenjar ini disalurkan ke nodi lymphoidei cervicales profundi di

sepanjang v.jugularis interna.

i. Vaskularisasi Otak

Vaskularisasi otak terjadi melalui cabang a.carotis interna dan a.vertebralis:


j. carotis communis di leher dipercabangkan a. carotis interna

cabang terminal a. cerebri anterior dan a. cerebri media.


k. a. subclavia di pangkal leher, dipercabangkan a. vertebralis

bersatu di tepi kaudal pons a. basilaris melintas lewat cisterna

pontis ke tepi superior pons a. cerebri posterior dextra dan a.

cerebri posterior sinistra.


Circulus arteriosus cerebri (Willis), terdapat di dasar otak, dibentuk oleh a. cerebri

posterior, a. communicans posterior, a. carotis interna, a. cerebri anterior dan a.

communicans anterior.

Arteri Asal Distribusi

8
a. vertebralis a. subclavia Meninges dan cerebellum
a. inferior posterior a. vertebralis Aspek postero-inferior cerebellum

cerebelli Dibentuk melalui Truncus encephali, cerebellum, dan cerebrum


a. basilaris
persatuan kedua a.
Aspek inferior cerebellum
a. inferior anterior vertebralis
a. basilaris Aspek superior cerebellum
cerebelli Melepaskan cabang-cabang dalam sinus
a. superior cerebelli a. basilaris
a. carotis interna a. carotis communis pada cavernosus dan merupakan pemasok darah

tepi atas cartilage utama untuk otak


a. cerebri anterior Hemisfer-hemisfer serebrum, kecuali lobus
thyroidea
a. cerebri media a. carotis interna occipitalis
Bagian terbesar permukaan lateral hemisfer-
Lanjutan a. carotis interna
a. cerebri posterior hemisfer serebrum
di sebelah distal dari a.
a. communicans ant. Aspek inferior hemisfer-hemisfer serebrum
a. communicans post. cerebri anterior
cabang terminal a. dan lobus occipitalis
Circulus arteriosus cerebri (Willis)
basilaris Circulus arteriosus cerebri (Willis)
a. cerebri anterior
a. cerebri posterior

9
2.1.3 MENINGEN

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan

yaitu :
a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan

ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak

melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial

(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering

dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang

berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau

disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan

subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan

sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan

hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium

(ruang epidural). Laserasi pada arteri ini dapat menyebabkan laserasi dan

menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah

arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media)

b. Selaput Arakhnoid

10
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang

meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut

spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh

liquor serebrospinalis. Perdarahan umumnya disebabkan akibat cedera kepala.


c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk

kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh pia mater.

2.1.4 OTAK

Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari

serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak

11
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Serebrum terdiri dari

hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falk serebri yaitu lipatan dura mater

yang berada di inferior sinus sagitalis superior.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan

fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan

dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori

tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang otak

terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla oblongata. Mesensefalon dan

pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan

kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum

bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

2.1.5 CAIRAN SEREBROSPINAL

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui

foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.

CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang

terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat

12
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan

kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa

volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

2.1.6 TENTORIUM

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial

(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi

fosa kranii posterior). Nervus okulomotorius (saraf otak ke 3) berjalan di sepanjang

tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang umumnya

diakibatkan oleh adanya masa supratentorial atau edema otak.


Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata

berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut ini yang disebabkan

oleh penekanan akan mengakibatkan dilatsi pupil karena aktivitas serabut simpatik

tidak dihambat. Bila penekanan ini terus berlanjut akan menimbulkan paralisis total

okulomotorik yang menimbulkan gejala deviasi bola mata ke lateral dan bawah.
Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah

sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi unkus juga

menyebabkan penekanan traktur piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Traktus

piramidalis atau trunkus motorik menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan

pada level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan

paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia

kontralateral dikenal sebagai sindrom kalsik herniasi. Jadi, umumnya perdarahan

intracranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun

tidak selalu.
2.2 FISIOLOGI

13
A. Tekanan intracranial (TIK)
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan

perubahan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi

otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan

intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi otak dan

mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial

(TTIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak,

tetapi justru merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat

kira-kira 10 mmHg (136mmH2O). TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap

tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke dalam kenaikan TIK

berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk prognosisnya.
B. Doktrin Monro-Kellie
Merupakan suatu konsep sederhana yang dapat menjelaskan pengertian

dinamika TIK. Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume

intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan

rongga yang tidak mungkin terekspansi/mekar. TIK yang normal tidak berarti

tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas

normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki

fase ekspansional kurva tekanan-volume.(Gambar 1) .

Gambar 1. Kompensasi intracranial terhadap massa yang ekspansi


C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)
Mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera

kepala adalah sangat penting. Tekanan perfusi otak (TPO) merupakan

14
indikator yang sama penting dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai

berikut:
TPO = MAP – TIK
TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang

buruk pada penderita cedera kepala. Maka dari itu, mempertahankan tekanan

darah yang adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat penting,

terutama pada keadaan TIK yang tinggi.

D. Aliran Darah ke Otak (ADO)


Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit.

Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang

dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit, sel-sel otak mengalami kematian dan

terjadi kerusakan menetap. Pada penderita trauma, fenomena autoregulasi

akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila MAP 50-160

mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP

>160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat.

Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera

kepala. Akibatnya penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak

sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba.


Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan

eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita

yang mengalami hipotensi. Maka dari itu, bila terdapat TIK, harus

dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus

dipertahankan.

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III. 1 Trauma Kepala
Trauma kepala atau trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang

menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau

gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America,

trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat

mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik.


III. 1.1 Jenis Trauma
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi

trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara

garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup

merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala

setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma

kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-

16
tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala

terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater.

Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut:


III.1.1.1 Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4

jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed

fracture, compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai

berikut:

a. Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit

b. Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus

tanpa depresi, distorsi dan ‘splintering’.

c. Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.

d. Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada

tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma subdural.

Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya

retak atau kelainan pada bagian kranium. Yang pertama Fraktur basis kranii

retak pada basis cranium. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur

basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung)

dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang

pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf

dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior,

media dan posterior. Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada

tulang maxilofasial yang merupakan tulang yang kedua terbesar setelah

17
tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh menyebabkan kelainan pada

sinus maxilari.
III.1.1.2 Luka memar (kontosio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan

dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan

sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.

Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya

terjadi pada ujung otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio

yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance

Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang

mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup

besar dapat mengubah tingkat kesadaran.


III.1.1.3 Laserasi (luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul

atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda

bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek

adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit.

Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses

penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan

parut.
III.1.1.4 Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial.

Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai

pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-

ujung saraf yang rusak.


III.1.1.5 Avulsi

18
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,

tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain

intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan (Mansjoer, 2000).


II.1.2 Patofisiologi
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala.

Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada

tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya

benturan pada kepala dapat terjadi pada tiga jenis keadaan yaitu, kepala diam

dibentur benda yang bergerak, kepala yang bergerak membentur benda yang diam,

dan kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain

dibentur oleh benda yang bergerak.


Dalam mekanisme trauma kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan

coup. Contre coup dan coup pada trauma kepala dapat terjadi kapan saja pada

orang orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Trauma kepala pada

coup disebabkan hantaman otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan

contre coup pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.


Berdasarkan patofisiologinya trauma kepala dibagi menjadi trauma kepala

primer dan trauma kepala sekunder. Trauma kepala primer merupakan cedera yang

terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan ini merupakan suatu

fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak

banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang

sakit dapat menjal ani proses penyembuhan yang optimal Trauma kepala sekunder

merupakan proses lanjutan dari trauma kepala primer dan lebih merupakan

fenomena metabolik. Pada penderita trauma kepala berat, pencegahan trauma

kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan penderita. Penyebab

19
trauma kepala sekunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo

atau hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intrakranial

(tekanan intracranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift),

vasospasme, kejang, dan infeksi.


III.1.3 Jenis –Jenis Perdarahan pada Trauma kepala
III.1.3.1 Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater.

Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang

semakin menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin

terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan epidural di daerah frontal dan

parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran

(biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.


III.1.3.2 Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan

araknoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian

iaitu:
a) Perdarahan subdural akut

a. Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan

kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah.

b. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi

psilateral pupil.

c. Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera

otak besar dan cedera batang otak.

b) Perdarahan subdural subakut

20
a. Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10

hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri

yang agak berat.

b. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan

penurunan tingkat kesadaran.

c) Perdarahan subdural kronis

a. Terjadi karena luka ringan.

b. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.

c. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran

vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas.

d. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau

beberapa bulan.

e. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil

dan motorik.

III.1.3.3. Perdarahan Subaraknoid


Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan

lapisan otak yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid.


III.1.3.4 Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada

ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi

perdarahan intraserebral.
III.1.3.5 Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan

otak. Di mana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar

dengan hentaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon.


III.1.4 Tingkat Keparahan Trauma Kepala

21
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma

kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat

kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah;


1. Proses membuka mata (Eye Opening)
2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu

tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).


Table 2.1 Skala Koma Glasgow

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8
a) Trauma Kepala Ringan
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan,

tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Trauma kepala

ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau

menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer,

2001). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar

22
penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala,

hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah

cedara otak karena tekanan atau terkena benda tumpul. Cedera kepala ringan

adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran

sementara. Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita

cedera kepala ringan 1,59 mmol/L.


b) Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas

dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi,

Barnes, 1999). Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu

untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian

penderita cedera kepala sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata

3,15 mmol/L.
c) Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah

Sakit. Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang

menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya

cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses

patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan.

Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan eksperimental

menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan

peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis

(CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles et al., 1986).

Penderita cedera kepala berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam

laktat 3,25 mmol/L.

23
III.1.5 Gejala Klinis Trauma Kepala
Gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut, Tanda-tanda klinis yang

dapat membantu mendiagnosa adalah:


a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os

mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

a) Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;

a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat

kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.

b) Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;

a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak

menurun atau meningkat.


b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi

abnormal ekstrimitas.
III.2 Gambaran CT Scan pada Trauma Kepala
Tomografi Computer adalah satu pemeriksaan yang menggunakan sifat

tembus sinar-x, di mana sumber sinar-x dan detektor berputar di sekitar objek

kemudian informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk menghasilkan

gambaran cross-sectional oleh komputer. Foto tomografi komputern akan tampak

sebagai penampang-penampang melintang dari objeknya. Tomografi Komputer

adalah modalitas alat pencitraan utama yang digunakan dalam keadaan akut dan

24
sangat bermanfaat pada dalam menegakkan serta menentukan tipe trauma kapitis

karena kemampuannya memberikan gambaran fraktur, hematoma dan edema yang

jelas baik bentuk maupun ukurannya. Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat

seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan alat yang paling baik untuk

mengetahui dan menentukan lokasi serta ukuran dari perdarahan intrakranial.

III.2.1Fraktur Tulang Kepala

Fraktur pada dasar tengkorak sering kali sukar di lihat. Fraktur dasar

tengkorak (basis kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan

teknik “Jendela Tulang” (bone window) untuk mengidentifikasi garis

frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang kanalis karotikus dapat

mencederai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis) perlu

dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan angiography cerebral.

Gambar 3.1 Gambaran Fraktur Basis Kranii pada CT Scan Kepala

25
Fraktur tulang temporal petrous kiri,yang melibatkan telinga tengah

(panah kecil). Dapat dilihat juga adanya gambaran sedikit udara pada fossa

posterior dari tulang tengkorak (panah terbuka).

III. 2.2 Perdarahan Epidural

Hematoma epidural di definisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang

antara duramater, yang tidak dapat dipisahkan dari periosteum tengkorak dan

tulang yang berdekatan. Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari

hematoma subdural dengan bentuk bikonveks dibandingkan dengan

crescent-shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti hematoma

subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma

epidural sangat sulit dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya

kecil. Dengan bentuk bikonveks yang khas, elips, gambaran CT scan pada

hematoma epidural tergantung pada sumber perdarahan, waktu berlalu sejak

cedera, dan tingkat keparahan perdarahan. Karena dibutuhkan diagnosis

yang akurat dan perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan

dengan cepat dan intervensi bedah saraf.

26
Gambar 3.2 Perdarahan

Epidural pada CT Scan Kepala Non-kontras

Peningkatan kepadatan (hiperdens) di daerah lenticular pada CT Scan

aksial non kontras di wilayah parietalis kanan. Ini biasanya terjadi akibat

pecahnya arteri meningeal media. Sedikit perdarahan juga terlihat di lobus

frontal kiri (perdarahan intraserebral).

III.2.3 Pendarahan Subdural

Perdarahan terjadi di antara duramater dan arakhoid yang disebabkan

robekan vena - vena di daerah korteks serebri atau bridging vein oleh suatu

trauma. Lokalisasi terutama di daerah frontoparietotemperoral. Hematoma

subdural dibagikan dalam tiga jenis: akut, subakut dan kronik. Subdural

hematoma akut dapat ditemukan area hiperdens tipis, merata berbentuk

semilunar atau bulan sabit (crescentic appearance) di antara tabula dan

parenkim otak. Pada minggu kedua dan ketiga (fase subakut), subdural

hematoma menjadi isodense terhadap otak dan sering menjadi bentuk lensa

sehingga dapat membingung dengan epidural hematoma. Setelah beberapa

27
minggu kemudian, akan timbul hematoma subdural kronik, ditemukan area

hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens dan berbentuk bikonveks yang

berbatas tegas. Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi

heterogen padat dengan fluid level antara (hipodens) komponen akut dan

(hiperdens) komponen kronis hematoma.


Gambar A Gambar B Gambar C

Gambar 3.3 Gambaran Perdarahan Subdural pada CT Scan


Gambar A : Menunjukkan Hematoma subdural akut. Gambaran TK ditemukan

hiperdens diantara duramater dan araknoid, umumnya akibatkan robekan dari briging

vein. Gambaran seperti bulan sabit, disertai mildline shift


Gambar B : Menunujukkan Hematoma subdural subakut. Gambaran hematoma

berbentuk bulan sabit yang kurang densitas berbanding daripada gambaran TK

hematoma subdural akut


Gambar C : Menunjukkan Hematoma subdural kronik dan disertai midline shift

28
Gambar D
Gambar D :

Kronis subdural hematoma

(SDH) umumnya bilateral

dan memiliki area

perdarahan akut, yang mengakibatkan densitas yang heterogen. Tampak

kurangnya pergeseran garis tengah karena adanya hematoma bilateral

III.2.4 Pendarahan Subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid yang terjadi karena trauma biasanya terletak

di atas gyri pada konveksitas otak. SAH yang disebabkan oleh pecahnya

aneurisma otak biasanya terletak di cisterns subarakhnoid pada dasar otak.

SAH dapat terjadi sendiri atau dalam hubungan dengan hematoma

intraserebral atau ekstraserebral lainnya. Pada gambaran CT, SAH terlihat

mengisi ruangan subaraknoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi cairan

serebrospinal di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang biasanya hitam

mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat

dalam rongga subaraknoid yang besar. Jika pemeriksaan CT dilakukan

beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan akan tampak

lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan

tampak sebagai abu-abu SAH dapat menyebabkan hidrosefalus dan konfusi

29
akibat trauma, pecahnya pembuluh darah arteri (aneurisme) atau malformasi

arteriovenosa (AVM). Selain menentukan SAH , gambaran CT juga dapat

digunakan untuk melokalisir sumber perdarahan.

Gambar 3.4 Gambaran Perdarahan Subarakhnoid pada CT Scan Kepala


Gambar Kiri : Menunujukkan perdarahan subarachoid. Gambaran TK kepala

ditemukan adanya perdarahan di ruang subarakhoid (tanda panah hitam)


Gambar Kanan : Menunjukkan pasien mengalami hematoma esktradural di

sebelah kanan dan perdarahan subarakhnoid di sebelah kiri

III.2.5 Pendarahan Intraserebral

Pendarahan intraserebral adalah perdarahan parenkhim otak

disebabkan pecahnya pembuluh darah, sehingga timbulnya hematom

intraparenkim sesudah 30 menit hingga 6 jam trauma. Hematom ini boleh

timbul di daerah kontralateral (contrecoup). Pada gambaran CT sesudah

beberapa jam akan tampak daerah hematom (hiperdens) dan tepi yang tidak

rata.

Gambar 3.5 Gambaran Perdarahan Intraserebral pada CT Scan Kepala

30
Di temukan perdarahan parenkim otak dengan adanya gambaran lesi

hiperdens (panah putih), jaringan di sekitar tampak densitasnya lebih rendah

akibat infark atau edema.

III.2.6 Pendarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada

ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi

perdarahan intraserebral. Pada perdarahan intraventrikular akan terlihat

peningkatan densitas dari gambaran CT scan kepala. Jika terlambat

ditangani, perdarahan intraventrikular akan menyebabkan terjadinya

ventrikulomegali pada sistem ventrikel (hidrosefalus) dari gambaran CT

scan.

31
Gambar 3.6 Gambaran

Perdarahan Intraserebral

disertai Perdarahan Intraventrikular pada CT Scan Kepala

III.3 Sistematika Pembacaan CT- Scan

a. Apakah tampak area hipo/hiperdens pada bagian otak

b. Apakah terdapat perdaraan intraserebral/ ekstraserebral

c. Apakah system ventrikel dalam batas normal

d. Apakah cysterna basalis terbuka / tertutup

e. Apakah terdapat deviasi midline struktur dan sejauh berapa deviasi tersebut

f. Sulcy dan giri tampak baik/ merapat

g. Pons, fossa posterior, sinus paranasalis, mastoid, cavum orbita tampak baik

h. Apakah tampak kalsifikasi abnormal

i. Apakah terdapat fraktur tulang

III.4 CT – Scan Normal


Pada CT- Scan kepala Normal, dapat membedakan otak dari liquior

cerebrospinalis, yang terlihat sbagai densitas air di dalam system ventrikel dan cavitas

32
sub arachnoidea. Dengan scanner modern dan penggunaan penjelasan (enhancement)

oleh pemberian kontras secara intravena. Mungkin membedakan substansia ala dan

grissa otak. Arteri lebih besar pada basis otak mauun pada sinus venosus sehingga

dapat dikenal bila opasifikasi dalam medium kontras. Falx tampak lebih padat dari

pada otak. Regio supraperitonial terlihat tampak baik, tetapi penilaian fossa posterior

mungkin d kaburkan oleh kalsifikasi dari os occcipitalis dan os temporalis.


Pemeriksaan Computed Tomography (CT) scan adalah modalitas pilihan utama

pada pasien dengan cedera kepala akut karena mampu melihat seluruh jaringan otak

dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intrakranial dan

ekstrakranial. Lesi intrakranial sering terjadi pada cedera kepala sedang dan berat,

tetapi juga dilaporkan sebanyak 14% pada pasien cedera kepala ringan. Sebagian

besar pasien cedera kepala ringan tidak menunjukkan abnormalitas pada hasil CT

scannya
Computerized tomography scanning merupakan modalitas diagnostik penting

dalam praktek neuradiologi dan merupakan langkah utama untuk menunjukkan

adanya lesi intrakranial, perluasan serta lokasinya. Pemeriksaan ini merupakan

metode diagnostik standar terpilih (gold standart) untuk kasus cedera kepala

mengingat selain prosedur ini tidak invasive (sehingga aman), juga memiliki

kehandalan yang tinggi.

33
Gambar : CT-Scan Normal

Gambar: Irisan aksial CT pada berbagai tingkat sistem ventrikel

dengan gambar pusat yang menggambarkan aliran CSF normal. A: ventrikel

lateral B: ventrikel ketiga C: ventrikel keempat ventricle D: Tingkat

sumsum tulang belakang

34
Gambar : irisan aksial CT pada tingkatan pons.
III.5 Indikasi pada CT-Scan
III.5.1 Indikasi Umum Pada CT Scan

a. Menemukan patologi otak dan medulla spinalis dengan teknik

scanning/pemeriksaan tanpa radioisotope

b. Menilai kondisi pembuluh darah misalnya pada penyakit jantung koroner,

emboli paru, aneurisma (pembesaran pembuluh darah) aorta dan berbagai

kelainan pembuluh darah lainnya

c. Menilai tumor atau kanker misalnya metastase (penyebaran kanker), letak

kanker, dan jenis kanker

d. kasus trauma/cidera misalnya trauma kepala, trauma tulang belakang

dantrauma lainnya pada kecelakaan biasanya harus dilakukan bila timbul

penurunan kesadaran, muntah, pingsan, atau timbulnya gejala gangguan

saraf lainnya

e. Menilai organ dalam, misalnya pada stroke, gangguan organ pencernaan dll

f. Membantu proses biopsy jaringan atau proses drainase/pengeluaran cairan

yang menumpuk di tubuh

35
g. alat bantu pemeriksaan bila hasil yang dicapai dengan pemeriksaan

radiologilainnya kurang memuaskan atau ada kondisi yang tidak

memungkinkan andamelakukan pemeriksaan selain CT scan

III.5.2 Indikasi CT –Scan pada Trauma Kepala

a. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma kepala

sedang dan berat.

b. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.

c. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.

d. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan

kesadaran.

e. Sakit kepala yang hebat.

f. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan

otak.

g. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

(Irwan, 2009).

III.6 Kontraindikasi CT-Scan

a. Pasien tidak mempunyai kesanggupan untuk diam tanpa mengadakan

perubahanselama 20-25menit

b. Pasien dengan alergi iodine

BAB IV

KESIMPULAN

36
Trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa

struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau

gangguan fungsional jaringan otak. Gejala klinis dari trauma kepala adalah

Battle sign ,Hemotipanum, Periorbital ecchymosis, Rhinorrhoe,

Otorrhoe ,Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun, Perubahan

keperibadian diri, Letargik. Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala

dibagi atas trauma kepala ringan (SKG 14-15), sedang (SKG 9-13) dan berat

(SKG 3-8). Trauma kepala dapat menimbulkan perdarahan intrakranial berupa

fraktur pada tulang kepala, perdarahan epidural, perdarahan subdural,

perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraventrikular, dan perdarahan

intraserebral. Pemeriksaan foto polos kepala digunakan untuk melihat

pergeseran fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada

tidaknya perdarahan intrakranial. tomografi computer adalah modalitas alat

pencitraan utama yang digunakan dalam keadaan akut. Pemeriksaan tomografi

computer (CT Scan) kepala sangat berguna pada trauma kepala karena isi

kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kepala,

fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun

ukurannya. Tomografi

DAFTAR PUSTAKA

37
Allan H. R., 2008, Concussion and Other Head Injuries, Harrison’s Principle of
Internal Medicine, 17th Edition, Volume 2, Mc Graw Hill, 2596-2601.
Astrid C. et al. 2016. Gambaran Cedera Kepala yang Menyebabkan Kematian di
Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof. R.D. Kandou periode Juni
2015-Juli 2016. Jurnal e-Clinic. Vol.4 No.2 2016
Bernath D. Head Injury (serial online). Dipublikasikan online: 7 Januari 2009,
Diunduh dari: http://e-medicine.com/head.injury.aspx
Huisman TA, Tschirch FT. Epidural hematoma in children: Do cranial sutures act
as a barrier. J Neuroradiol.2009; 36(2):93-7
Jeffrey R. Wasserman, 2014. Diffuseaxonalinjuryimaging. DO
DiagnosticRadiologist, Manatee Memorial
HospitalandLakewoodRanchMediccal Center. Availablefrom :
http://emedicine.medscape.com/article/339912-overview#a3 (accessed 07
Juli 2015)
Miranda, E. et all. 2014. Gambaran CT-Scan Kepala Pada Penderita Cedera
Kepala Ringan di BLU RSUP Prof. Dr. R. Kandou Manado. Jurnal e-
cliniC. Vol.2. No. 2
Misra R, Holmes E. A-Z of Emergency Radiology. New York; Cambridge
University Press; 2004. 1-20
Paci GM, Sise MJ, Sise CB, Sack DI, Swanson SM, Holbrook TL, et al., The
need for immediate computed tomography scan after emergency
craniotomy for head injury. J Trauma. 2008; 64(2):326-33; discussion
333-4 (ISSN: 1529-8809)
Rasad S. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta; Balai Penerbit FK UI;
2008. 382-391
Riskanto R. et al. 2016 Akurasi Revised Trauma Score Sebagai Prediktor
Mortality Pasien Cedera Kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti. Vol.
4 No.2 2016 Hal.76-90
Thomas. O, et al, 2016, How To Interpret An Unenhanced CT Brain Scan. South
Sudan Medical Jurnal, Vol. 9, No. 3

38
Yuh EL, Gean AD, Manley GT, Callen AL, Wintermark M., Computer aided
assessment of head computed tomography (CT) studies in patients with
suspected traumatic brain injury. J Neurotrauma. 2008; 25(10):1163-72
(ISSN: 0897-7151)
Zee CS. Neuroradiology: A Study Guide. Los Angeles; Mcgraw; 1996. 235-241

39

Anda mungkin juga menyukai