Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kepala adalah cedera pada kepala yang dapat melibatkan seluruh
struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling “ringan”,
tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri; baik
berupa luka yang tertutup, maupun trauma tembus.
Trauma merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45
tahun dan lebih dari 50% merupakan trauma kapitis. Trauma kepala merupakan
salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental
yang kompleks. Defisit kognitif, psikis, intelektual dan lain-lain. Yang dapat
bersifat sementara ataupun menetap. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang
mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari
100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen.
Angka kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di
jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar-benar
rujukan yang terlambat.
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik. Pemeriksaan radiologis
yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala yang dilakukan

1
dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya penderita cedera
kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan
kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat.
Pemenksaan CT Scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera kepala
yang disertai dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit
kepala hebat, GCS<15s, atau adanya defisit neurologis fokal. Pemeriksaan CT
SCAN sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk menentukan adanya
kelainan Intrakranial terutama pada cedera kepala berat dengan Glasgow Coma
Score 8 (Normal 15) CT SCAN sangat bermanfaat untuk memantau
perkembangan pasien mulai dari awal trauma, pasca trauma, akan operasi, serta
perawatan pasca operasi sehingga perkembangan pasien senantiasa dapat
dipantau. Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada kasus trauma kepala
adalah unutuk menentukan adanya cedera intrakranial yang membahayakan
keselamatan jiwa pasien bila tidak segera dilakukan tindakan secepatnya.

2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
A. Anatomi Kepala
1. Anatomi Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu:
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi
perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.

Gambar 1:
Scalp

2. Tulang Tengkorak

3
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis
kranii, di regio temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga
cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak
yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan posterior. Fosa anterior
adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis dan fosa
posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum.

Gambar 2: Tulang Tengkorak

3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari
tiga lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Duramater tidak
melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat ruang subdural.
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan tabula interna
tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling sering mengalami

4
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis
(fosa media). Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan
lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater
yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal
bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam ruang sub
araknoid.
Gambar 3: Meningen

4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri (lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior).
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai
hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi
motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area
bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan
fungsi sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang
otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat vital
kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di

5
bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula
spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.

6
5. Tentorium
Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi
supratentorial dan infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer
serebri dengan batang otak berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli
yang disebut insisura tentorial. Nervus oculomotorius(N.III) berjalan di
sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadan herniasi otak
yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa supratentorial atau edema
otak. Bagian otak yang sering terjadi herniasi melalui insisura tentorial
adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi
Unkus menyebabkan juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan
pada otak tengah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral
dikenal sebagai sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya
perdarahan intrakranial tedapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang
berdilatasi, walaupun tidak selalu.

6. Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan


kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di
ventrikel lateralis baik kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen
monro ke dalam ventrikel tiga. Selanjutnya melalui akuaduktus dari
sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya keluar dari sistem ventrikel
dan masuk ke ruang subaraknoid yang berada diseluruh permukaan otak

7
dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra
kranial (hidrosefalus komunikans).

Gambar 5: Cairan Serebrospinal

B. Fisiologis
1. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat
mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan
mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat
menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya

8
mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan tekanan
intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius
dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal
pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH 2O), TIK lebih tinggi dari
20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk
dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya.

2. Hipotesa Monro-Kellie
Suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu
konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang
tidak mungkin mekar. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi
masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai
kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase
ekspansional kurva tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat
menunjukkan kedudukan pada garis datar kurva berapa banyak volume
lesi masanya.

3. Tekanan Perfusi Otak (TPO)


Mempertahankan tekanan daerah yang adekuat pada penderita
cedera kepala adalah sangat penting, dan ternyata dalam observasi
selanjutnya TPO adalah indikator yang sama pentingnya dengan TIK. TPO
mempunyai formula sebagai berikut:
TPO = TAR – TIK
(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan
yang buruk pada penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi
ternyata sangat penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang
normal. Beberapa penderita tertentu bahkan membutuhkan tekanan darah
yang diatas normal untuk mempertahankan TPO yang adekuat.
Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam
penatalaksanaan penderita cedera kepala berat.
4. Aliran Darah ke Otak (ADO)

9
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak
per menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka
aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak
mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non-
trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang
konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan arteri
rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO menurun curam dan bila tekanan arteri
rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan
ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan
pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut
sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat
hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja dan
terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang,
terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila
terdapat hematoma intra cranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan
tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Trauma Kepala
1. Definisi Trauma Kepala
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa
(trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan
kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut
Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Patofisiologi Trauma Kepala
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer
merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya
menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali
membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses
penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur
tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Farktur tulang kepala dapat
terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini
mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral

11
yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu
kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difusa berkaitan dengan
disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera
kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi
tingkat kesembuhan/keluaran penderita.
Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik
(hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia)
dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma,
edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural
(perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater),
perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan
arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan
arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang
terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak),
hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya
akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara
berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak
yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera
otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serebri
setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak .
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa
benturan langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal
atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak.Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup
dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang
yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup
disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena
sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan.
3. Pemeriksaan pada Trauma Kapitis

12
a. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem
skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu : pembukaan mata,
respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing
komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai
terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.
b. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi
terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih
besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi
menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor
ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.
c. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial
dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks
harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
d. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan
memar. Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus
dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur
yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.
e. Pemeriksaan Radiologis
1. X-Ray
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi
fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan
lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan.
X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State
of Colorado Department of Labor and Employment, 2006).
2. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan )
penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat
(Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT

13
scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-
penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas
yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik
bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai
CT scan abnormal.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di
dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di
substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi
yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada
pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan
awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger
dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).

B. CT-Scan pada Trauma Kepala


Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi
setiap pasien dengan cedera kepala. Berdasarkan gambaran CT scan kepala
dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien
cedera kepala (French, 1987). Jika tidak ada CT scan kepala pemeriksaan
penunjang lainnya adalah X ray foto kepala untuk melihat adanya patah
tulang tengkorak atau wajah (Willmore, 2002).
CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam
sudut 360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas.
Bayangan foto akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan
tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT-Scan akan tampak
sebagai penampangpenampang melintang dari objeknya. Dengan CT-Scan isi
kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis,
fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya (Sastrodiningrat, 2006). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus
trauma kepala adalah seperti berikut:

14
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak.
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral (Irwan, 2009).

Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami


trauma kepala jika dilakukan CT-Scan dalam waktu 48 jam paska trauma.
Berdasarkan hasil CT Scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan
klasifikasi Marshall maupun secara tradisional.

C. Sistematika Pembacaan CT-Scan


1. Apakah tampak area yang hipoden/hiperden pada bagian otak
2. Apakah terdapat perdarahan intraserebral/ekstraserebrel
3. Apakah sistem ventrikel dalam batas normal
4. Apakah Cysterna Basalis terbuka/tertutup
5. Apakah terdapat deviasi midline struktur dan sejauh berapa deviasi
tersebut
6. Sulcy dan Giri tampak baik/merapat
7. Pons, fossa posterior, sinus paranasalis, mastoid, cavum orbita tampak
baik
8. Apakah tampak kalsifikasi abnormal
9. Apakah terdapat fraktur di tulang

D. CT-Scan Normal
Pada CT-Scan kepala normal, memungkinkan membedakan otak dari
liquior cerebrospinalis, yang terlihat sebagai densitas air di dalam sistem
ventrikel dan cavitas subarachnoidea. Dengan scanner medern dan
penggunaan penjelasan (enhancement) oleh kontras intravena, mungkin
membedakan substansia alba dan grisea otak. Arteri lebih besar pada basis
otak maupun sinus venosus dapat dikenal bila opasifikasi dalam medium
kontras. Falx tampak lebih padat daripada otak. Regio supratentorial terlihat

15
baik, tetapi penilaian fossa posterior mungkin dikaburkan oleh artefak dari os
occipitalis dan os temporal diatasnya.

Gambar 6: CT-Scan kepala


Normal
E. CT-Scan pada Trauma Kapitis

Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut;

a. Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission,
terdapat 4 jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture,
depressed fracture, compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur
adalah sebagai berikut:
1. Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit

16
2. Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis
halus tanpa depresi, distorsi dan ‘splintering’.
3. Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4. Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering
pada tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma
subdural.

Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu


terjadinya retak atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis
kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya yang lebih
kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat
sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala
berat. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii
yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan
gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata).

Gambar 7: fraktur Cranium

b. Luka Memar (Kontosio)


Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan
berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak
menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada
frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di
CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar.
Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami

17
pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar
dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).
c. Laserasi (luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda
tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan
oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan
teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit
dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada
tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada
penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.
d. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya
superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka
ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri
karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
e. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit
terkelupas,tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial.
Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan
(Mansjoer, 2000).

5. Perdarahan Intrakranial
a. Perdarahan Epidural (EDH)
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura
mater. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa
kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria pada mata
ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral.
Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak
memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya
somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.

18
Gambar 8: Epidural Hemorage

b. Perdarahan Subdural (SDH)


Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan
araknoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3
bagian iaitu:
1. Perdarahan subdural akut
 Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk,
dan kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah.
 Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi
ipsilateral pupil.
 Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan
cedera otak besar dan cedera batang otak.

19
Gambar 9: Acute Subdural Hemorage

2. Perdarahan subdural subakut


 Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai
10 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio
serebri yang agak berat.
 Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.

Gambar 10: subacute subdural hemorage

3. Perdarahan subdural kronis


 Terjadi karena luka ringan.
 Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
 Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar
membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas.
 Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu
atau beberapa bulan.
 Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi
pupil dan motorik.

20
Gambar 11: Cronic Subdural Hemorage

c. Perdarahan Subaraknoid (SAH)


Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak
dan lapisan otak yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid.
Penyebab paling sering adalah trauma selain itu juga disebabkan
karen pecahnya aneurisma. Pada CT-Scan akan tampak daerah
Hiperden pada sulcus, gyri, fissure, cysterna basalis yang mengikuti
bentuknya area tersebut.

21
Gambar 12: Subaraknoid Hemorage

d. Perdarahan Intraventrikular (IVH)


Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah
pada ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila
terjadi perdarahan intraserebral.

Gambar 13:

Intraventrikular Hemorage
e. Perdarahan Intraserebral (ICH)
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah
pada ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila
terjadi perdarahan intraserebral.

Gambar 14: Intraserebral Hemorage

f. Diffuse Axonal Injury

22
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal
yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak
(serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti
dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan
inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami
kerusakan.

Gambar 15: Diffuse Axonal


Injury
g. Kontusio Cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang
disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme
lain yang menjadi penyebab kontusio cerebri adalah adanya gaya
coup dan countercup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya
gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung
begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.

23
Gambar 16: Cerebral Contusio

BAB IV

KESIMPULAN

Trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur
kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak. Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi
atas trauma kepala ringan (SKG 14-15), sedang (SKG 9-13) dan berat (SKG 3-8).
Trauma kepala dapat menimbulkan perdarahan intrakranial berupa fraktur tulang
kepala, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan subarakhnoid,
perdarahan intraventrikular, dan perdarahan intraserebral. Pemeriksaan foto polos
kepala digunakan untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang
tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.

CT Scan adalah teknik pemeriksaan radiologis yang menggunkan sinar X-


ray yang digunakan untuk mendeteksi kelainan pada kepala. Bukan hanya kepala
tapi dapat juga digunakan pada abdomen dan thorax. Jenis potongan yang biasa
digunakan adalah axial, coronal dan sagital tergantung untuk melihat bagian

24
kepala yang diinginkan. Indikasi CT scan adalah pada kasus trauma berat dengan
penurunan GCS yang cepat dalam maktu 2 jam, inflamasi, curiga metastase atau
tumor, perdarahan ekstracerebtal maupun intracerebral, muntah lebih dari 2x, usia
tua diatas 65 tahun, maupun mekanisme trauma yang berbahaya. Gambaran
patologis tergantung dari jenis patologi yang terjadi pada bagian kepala sehingga
banyak gambaran patologis yang bisa didapatkan pada kepala baik dari tulang,
meningen dan parenkim otak maupun perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA

Sastrodiningrat AG. Memahami Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prognosa


Cedera Kepala Berat. Majalah Kedokteran Nusantara Vol 39 No.3,2006.

Langlois J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E., Traumatic brain injury in the
United States: emergency department visits, hospitalizations, and
deaths. Atlanta (GA): Centers for Disease Control and Prevention,
National Center for Injury Prevention and Control, 2006.

Apsden, P., Corrigan, J.M., Wolcot, J., Erickson, S.M.(Ed). Committee on Data
Standards for Patient Safety, Board on Health Care Service. 2004.
Patient Safety: Achieving a New Standard For Care. Washington DC:
The National Academy Press.

Hallevi H., Albright K., Aronowski J., Barreto A., Martin-Schild et al., 2008.
Intraventricular hemorrhage: Anatomic relationships and clinical
implications Neurology; 70: 848-852.

25
Reisner A., 2009. Understanding Traumatic Brain Injuries. Medical Director of
Children’s Neuro Trauma Program.

Sastrodoningrat A.G., 2007. Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam


Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat, Universitas Sumatera
Utara.

Schneider J.J., 2007. Etiology of Traumatic Brain Injury:Impact on Psychological


Functioning. Louisiana State University.

26

Anda mungkin juga menyukai