Anda di halaman 1dari 19

1.

1 Sejarah Perpajakan
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma),
tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus
dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat).Ketika itu, rakyat memberikan upetinya kepada
raja atau penguasa dalam bentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanam lainnya
seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu
digunakan untuk keperluan/kepentingan raja atau penguasa setempat.Sementara itu,
imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada karena sifatnya
memang hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara
psikologis karena status sosial/kedudukan raja yang lebih tinggi dibandingkan rakyat.

Namun dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak
lagi hanya untuk kepentingan raja, tetapi sudah mengarah pada kepentingan rakyat itu
sendiri. Artinya, pemberian yang dilakukan rakyat kepada raja atau penguasa digunakan
untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,
membangun saluran air untuk pengairan sawah, dan membangun sarana sosial lainnya
seperti taman.

Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat, maka dibuatlah suatu aturan yang
lebih baik dan bersifat memaksa berkaitan dengan sifat upeti (pemberian) tersebut
dengan memperhatikan unsur keadilan. Guna memenuhi unsur keadilan inilah maka
rakyat diikutsertakan dalam membuat berbagai aturan dalam pemungutan pajak, yang
nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat itu sendiri.

Berkembangnya masyarakat hingga akhirnya membentuk suatu negara dan dengan


dilandasi unsur keadilan dalam pemungutan pajak melatarbelakangi dibuatnya suatu
ketentuan berupa UU yang mengatur tentang tata cara pemungutan pajak, jenis-jenis
pajak yang dapat dipungut, pihak yang harus membayar pajak, serta besarnya pajak
yang harus dibayar.

Sejak zaman penjajahan Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak UU


yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut :

1. Ordonasi Rumah Tangga (Stbl. 1908 No. 13)


2. Aturan Bea Materai (Stbl. 1921 No. 498)
3. Ordonasi Bea Balik Nama (Stbl. 1924 No. 291)

1
4. Ordonasi Pajak Kekayaan (Stbl. 1932 No. 405)
5. Ordonasi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl. 1934 No. 718)
6. Ordonasi pajak Upah (Stbl. 1934 No. 611)
7. Ordonasi Pajak Potong (Stbl. 1936 No. 671)
8. Ordonasi Pajak Pendapatan (Stbl. 1944 No. 17)
9. UU Pajak Radio (UU No. 12 Tahun 1947)
10. UU Pajak Pembangunan I (UU No. 14 Tahun 1947)
11. UU Pajak Peredaran (UU No. 12 Tahun 1952)

Kemudian dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat, maka diundangkan


lagi beberapa UU, yaitu:

1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968
2. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan UU No. 10 tahun
1967 tentang Pajak Atas Bunga, Dividend an Royalti
3. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa
4. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing
5. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata
Cara MPS/MPO.

Terlalu banyaknya UU yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat


mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.Selain itu, dalam perkembangannya,
beberapa UU tersebut ternyata tidak memenuhi rasa keadilan, lebih dari itu falsafah UU
tersebut masih dibuat oleh dan untuk kepentingan penjajah Belanda.

Menyadari kondisi tersebut, maka pada tahun 1983 pemerintah bersama-sama


dengan dewan perwakilan rakyat (DPR) sepakat melakukan reformasi UU Perpajakan
yang ada dengan mencabut semua UU yang ada dan mengundangkan 5 paket UU
Perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikan serta tidak
menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajaknya dan unsur keadilan menjadi
lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah
menjadi self assessment. Kelima UU tersebut adalah:

1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh)

2
3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM)
4. UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
5. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM)

Dengan diberlakukannya kelima UU tersebut, semua lapisan masyarakat


tentunya diharapkan turut berpartisipasi dan dapat mengerti akan kewajibannya untuk
membayar pajak sesuai dengan sistem self assessment yang berlaku sejak tahun 1983.
Berdasarkan reformasi UU Perpajakan tersebut, 4 dari 5 UU tersebut pada tahun 1994
mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan
UU, yaitu sebagai berikut :

1. UU No. 6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994


2. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994
3. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994
4. UU No 12 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 12 tahun 1994

Selanjutnya pada tahun 1997, pemerintah kembali mengadakan perubahan atas


UU Perpajakn yang ada dan membuat beberapa UU yang berkaitan dengan masalah
perpajakan dalam rangka mendukung UU yang sudah ada, yaitu :

1. UU No 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak


2. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
3. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
4. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan dalam
rangka memberikan rasa keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak
(WP), maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengadakan perubahan terhadap UU
Perpajakan yang dibuat pada tahun 1983, yang selengkapnya seperti dibawah ini:

1. UU No. 16 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983


sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994
2. UU No. 17 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994

3
3. UU No. 18 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994
4. UU No. 19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997
5. UU No. 21 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 21 tahun 1997
6. UU No. 34 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997

Selanjutnya, pada tahun 2007-2009, pemerintah bersama DPR sepakat


melakukan perubahan atas UU Perpajakan.Perubahan UU KUP ditujukan dalam rangka
lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada WP dan untuk lebih
memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi
informasi. Sementara itu, perubahan UU PPh dan UU PPN dan PPnBM
dilatarbelakangi dalam rangka mengamankan penerimaan negara yang makin
meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, dan lebih
memberikan keadilan, serta menciptakan kepastian hukum dan transparansi.

Perunahan ketiga UU tersebut, yaitu:

1. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakn No. 16 Tahun 2000 diubah dengan
UU No. 28 Tahun 2007, mulai berlaku 1 Januari 2008
2. UU PPh No. 17 Tahun 2000 diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008, mulai berlaku
1 Januari 2009
3. UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah No. 18 Tahun 2000 diubah dengan UU No. 42 Tahun 2009, mulai berlaku 1
April 2010.

Khusus untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah diundangkan UU No.
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mencabut UU No. 18
Tahun 1997 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.

Dengan dilakukannya perubahan atas berbagai perangkat perundang-undangan


di bidang perpajakan menunjukkan bahwa pemerintah selalu memperhatikan pemangku
kepentingan dalam melanjutkan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari
pajak.

4
1.2 Pengertian Pajak, Retribus, dan Sumbangan

1.2.1 Pengertian Pajak

Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak,


mengemukakan beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak, beberapa
diantaranya seperti dalam kutipan sebagai berikut:

1. Mr. Dr. N. J. Feldmann


“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada penguasa,
(menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra-
prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum.”
2. Prof. Dr. M.J.H. Smeets
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah.”
Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter, baru
kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada definisinya.
3. Dr. Soeparman Soemahamidjaja
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
Ia mencantumkan istilah Iuran Wajib dengan harapan terpenuhinya ciri bahwa
pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan WP, sehingga perlu
pula dihindari penggunaan istilah “paksaan”. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa
terlalu berlebihan bila khusus mengenai pajak ditekankan pentingnya unsur
paksaan karena dengan mencantumkan unsur paksaan seakan-akan tidak ada
kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya.
4. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang
langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.”

5
Rochmat menjelaskan bahwa unsur ‘dapat dipaksakan’ artinya bahwa bila utang
pajak tidak dibayar maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan
kekerasan seperti dengan mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan,
bahkan bisa dengan melakukan penyanderaan. Sementara itu, terhadap
pembayaran pajak tersebut tidak dapat ditunjukkan jasa timbal-balik tertentu,
seperti halnya dengan retribusi.

Dari 4 pengertian pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada 5 unsur yang
melekat dalam pengertian pajak, yaitu:

1. Pembayaran pajak harus berdasarkan UU


2. Sifatnya dapat dipaksakan
3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun
daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta)
5. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin dan
pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.

1.2.2 Pengertian Retribusi

Pada prinsipnya pungutan dengan nama retribusi sama dengan pajak, yaitu
empat unsur-unsur dalam pengertian pajak sama dengan retribusi, sedangkan
imbalan (kontra-prestasi) dalam retribusi langsung dapat dirasakan oleh pembayar
retribusi. Unsur yang melekat pada pengertian retribusi adalah:

1. Pungutan retribusi harus berdasarkan UU


2. Sifat pungutannya dapat dipaksakan
3. Pemungutannya dilakukan oleh negara
4. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum
5. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi.

1.2.3 Pengertian Sumbangan

Pungutan dengan nama sumbangan biasanya tidak diartikan untuk kepentingan


pengeluaran-pengeluaran yang dikelola oleh pemerintah, tetapi dilakukan oleh dan

6
untuk kepentingan sekelompok masyarakat tertentu dan tidak memerlukan dasar
hukum menurut UU serta tidak mempunyai unsur paksaan, misalnya sumbangan
pembangunan tempat-tempat ibadah, sumbangan perbaikan jalan, dan lain-lain.

Apabila pajak dan retribusi pungutannya harus berlandaskan UU, maka dalam
sumbangan pungutannya tidak berdasarkan UU, tetapi lebih bersifat pada gotong
royong masyarakat setempat. Pada sumbangan, tidak ada sifat paksaan tetapi unsur
sukarela, pemberi sumbangan dapat merasakan imbalan langsung atas hasil
sumbangannya, tetapi pemberi sumbangan juga dapat tidak merasakannya sama
sekali jika pemberi sumbangan tersebut tidak pernah bertempat disuatu wilayah
dimana jalan atau tempat ibadah yang dibangun merupakan hasil sumbangannya
sebagia.

1.3 Peranan dan Fungsi Pajak Dalam Pembangunan

1.3.1 Peranan Pajak

Hampir dalam setiap proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah


selalu didengungkan bahwa proyek yang dibagun dibiayai dari dana pajak yang telah
dikumpulkan dari masyarakat. Untuk itu, diharapkan masyarakat juga menjaga
proyek yang ada untuk dapat dipakai bagi kepentingan bersama. Berkaitan dengan
itu, sudah selayaknya apabila setiap individu dalam masyarakat dapat memahami
dan mengerti akan arti dan pentingnya peran pajak dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika masyarakat menjalankan kehidupan sehari-hari, secara tidak sadar


bahwa mereka telah menikmati dan memanfaatkan sarana dan prasarana umum yang
tersedia seperti sarana transportasi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, keamanan,
hukum dan sarana kegiatan lainnya yang mendukung kegiatan sehari-hari.Bahkan
manfaat pajak sudah kita rasakan terlebih dahulu sejak dalam kandungan.

Saat lahir, dirawat oleh dokter, bidan atau perawat di rumah sakit.Ketika menuju
kerumah sakit, kita sudah menikmati fasilitas jalan dan keamanan yang diberikan
oleh pihak kepolisian/tentara hingga dapat selamat tiba di tujuan. Kelahiran kita pun
di catatat dan diadministrasikan di kantor catatan sipil.

Bisa dibayangkan, misalnya ketika kita pergi ke rumah sakit harus menyediakan
sendiri jalan dengan baik, harus membawa pengawal agar aman di jalan, tentunya

7
sangat menyusahkan diri sendiri.Lalu berlanjut ketika menjalani sekolah sejak
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, kita sudah menikmati fasilitas sistem
pendidikan nasional yang disediakan pemerintah.Bahkan ketika kita bisa bekerja dan
berpenghasilan, itu semua sebenarnya hanya dimungkinkan karena adanya fasilitas
umum yang sudah dinikmati terlebih dahulu.

Kita membayar pajak agar tersedia sarana atau fasilitas umum yang dapat
digunakan bersama atau kita membayar pajak karena kita sudah terlebih dahulu
menikmati sarana atau fasilitas umum.Dengan menyadari kondisi demikian,
diharapkan peran pajak dalam membiayai pembangunan nasional menjadi lebih
nyata melalui pembayaran pajak yang benar oleh seluruh lapisan masyarakat.

Penyediaan sarana dan prasarana publik yang kita manfaatkan hanya dapat
tersedia karena peran pemerintah yang membutuhkan pengorbanan besar
mengumpulkan dana guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemakmuran
generasi mendatang sangat bergantung pada investasi generasi sekarang ini, yaitu
berupa penyediaan segala macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
menggerakkan roda ekonomi.Semua sarana dan prasarana umum tersebut hanya
dapat tersedia bila ada pajak.

Negara dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk masyarakat hanya


melalui sumber pembiayaan dari pajak. Swasta tidak mungkin bisa melakukan apa
yang dapat dilakukan oleh negara, karena konsep bisnis atau usaha yang dilakukan
swasta hanya untuk kepentingan kelompok mereka. Untuk itu, pembayaran pajak
yang kita lakukan adalah untuk meningkatkan tingkat kehidupan generasi
mendatang. Dengan kata lain kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh
kesadaran memahami dan membayar pajak dengan benar.

Dokumen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang setiap


tahunnya dibahas antara pemerintah bersama dewan perwakilan rakyat (DPR),
diketahui bahwa sumber penerimaan APBN diperoleh dari 3 sumber, yaitu:

1. Penerimaan perpajakan, terdiri atas:


a. Pajak dalam negeri; dan
b. Pajak perdagangan internasional
2. Penerimaan negara bukan pajak

8
3. Penerimaan hibah dari dalam negeri maupun luar negeri

Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pajak
dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri terdiri atas:
pajak penghasilan atau barang mewah; pajak bumi dan bangunan; bea perolehan hak
atas tanah/bangunan; cukai; dan pajak lainnya. Sedangkan pajak perdagangan
internasional berasal dari bea masuk dan bea keluar.

Peran penerimaan pajak dalam mengisi kas APBN dalam rangka pembangunan
nasional sangat penting dan strategis.Besarnya peranan pajak yang demikian kiranya
perlu ditanamkan dalam diri setiap orang agar dalam pelaksanaan pembayaran pajak
yang telah dilakukan dapat menjadi suatu kebanggan tersendiri karena telah
memberikan kontribusinya dalam pembangunan nasional.

1.3.2 Fungsi Pajak

1. Fungsi budgeter(anggaran)
Adalah fungsi yang terletak di sektor publik, yaitu fungsi untuk mengumpulkan
uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang berlaku yang
pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
Negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa
(surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintahan untuk investasi
pemerintah.
2. Fungsi Regulerend (Mengatur)
Adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu
alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.
Fungsi ini umumnya dapat dilihat pada sektor swasta. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikemukakan oleh Dr. Soemitro Djojohadikusumo, yaitu fiscal policy
sebagai suatu alat pembangunan yang harus mempunyai satu tujuan yang
bersamaan secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk
public investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan
private saving kearah sektor-sektor yang produktif, maupun digunakan untuk
mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat pembangunan.
3. Fungsi Demokrasi
Adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud system
gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi

9
kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini sering
dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari
pemerintah. Apabila seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak
kepada Negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula
untuk mendapatkan pelayanan yang baik, pembayar pajak bisa melakukan protes
(complaint) terhadap pemerintah dengan mengatakan bahwa ia telah membayar
pajak, dan mengapa tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya.
4. Fungsi Redistribusi
Adalah fungsi yang lebih menekankan pada unsure pemerataan dan keadilan
dalam masyarakat.Hal ini dapat terlihat misalnya dengan adanya tariff progesif
yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai
penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang
mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil).

Fungsi pajak yg ketiga dan keempat sering disebut sebagai fungsi tambahan
karena bukan merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak.Akan tetapi
dengan perkembangan masyarakat modern, fungsi ketiga dan keempat menjadi
fungsi yang juga sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam rangka
kemaslahatan manusia serta keseimbangan dalam mewujudkan hak dan
kewajiban masyarakat.
Khususnya untuk fungsi budgeter, peran pajak sangat strategis dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir tampak didominasi oleh penerimaan pajak. Bahkan
dalam kurun waktu enam tahun terakhir secara berturut-turut sejak tahun
1992/1993 sampai dengan tahun 1997/1998 persentase peran pajak telah
mencapai lebih dari 50% dari volume penerimaan APBN. Sedangkan peran migas
hanya mencapai kurang dari 30% dari volume APBN.

1.4 Kedudukan Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional

10
Sistematika dasar selalu digunakan dalam mempelajari ilmu hukum, tanpa terlepas dari
bagaimana tata hukum yang ada di dalam ilmu hukum itu sendiri. Sistematika umum yang
digunakan adalah sebagai berikut:

HK. TATA TANTRA/ HK. TATA


NEGARA
HUKUM TANTRA/ HUKUM
NEGARA
HK. ADM. TANTRA/ HK. ADM.
NEGARA
HUKUM PERDATA
(B.W.)
HUKUM PERDATA MATERIAL
HUKUM PERDATA
HUKUM HUKUM PERDATA
(W.V.K.)
HUKUM PERDATA FORMAL

HUKUM PIDANA MATERIAL

HUKUM PIDANA

HUKUM PIDANA FORMAL

Melihat tata hukum diatas, maka letak Hukum Pajak berada dalam tata hukum nasional
kita. Dalam literature, ternyata Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Administrasi
Negara, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan
pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam
melaksanakan tugas administrasi negara.

Sekalipun kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi negara,
dalam pengaturan materinya banyak memiliki kesamaan dengan hukum perdata dan
hukum pidana, istilah-istilah yang digunakan, penafsiran yang digunakan, dan sanksi-
sanksi yang digunakan banyak mengambil dari hukum perdata dan hukum pidana,
sebagaimana dijelaskan dibawah ini.

HK. TATA NEGARA


HUKUM NEGARA
HK. ADM. NEGARA HUKUM PAJAK
HUKUM HUKUM PERDATA

HUKUM PIDANA

1.4.1 Hubungan Hukum Pajak dan Hukum Perdata

11
Hukum pajak dengan hukum perdata merupakan dua cabang ilmu hukum yang
sangat erat oleh karena dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan
pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata.Hukum perdata sendiri
merupakan hubungan hukum yang terjadi antara sesame anggota
masyarakat.Sedangkan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik atau
hukum administrasi negara yang mengatur hukuman hukum antara pemerintah
dengan masyarakat yang disebut Wajib Pajak.

Ketika terjadi hubungan hukum perdata antara sesama anggota masyarakat


misalnya perjanjian jual beli tanah dan bangunan.Terjadinya perjanjian jual beli
tanah dan bangunan merupakan dasar pembenar atau objek dari diberlakukannya
hukum pajak.Bagi penjual yang memperoleh uang atau penghasilan dari jual beli
tanah dan bangunan, diberlakukan hukum pajak berupa dikenakannya pajak atas
penghasilan yang diperoleh.Begitupun bagi pembeli yang memperoleh ha katas jual
beli tanah dan bangunan menjadi sasaran atau objek pengenan pajak sesuai undang-
undang pajak.

Lembaga warisan yang dikenal dengan hukum perdata pun memiliki hubungan
erat dengan hukum pajak.Seseorang yang mendapatkan warisan mempunyai
konsekuensi hukum secara perdata. Pasal 833 Kitab Undang-Undang Perdata
(KUHPerdata) menyatakan “sekalian ahli waris dengan sendirinya dengan hukum
memperoleh hak milik atas segala barang segala hak dan segala piutang yang
meninggal”. Konsekuensi hukum secara perdata tersebut diberlakukan dalam hukum
pajak seperti dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) bahwa “yang menjadi subjek pajjak adalah warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak”.

Hubungan hukum perdata dengan hukum pajak yang lain adalah mengenai
pengertian atau terminologi hukum yang digunakan. Misalnya pengertian subjek
hukum dalam hukum perdata yang terdiri atas orang pribadi dan badan juga
dipergunakan dalam hukum pajak juga diatur dalam Pasal 2 UU PPh. Pasal tersebut
menegaskan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi, warisan, badan,
dan bentuk usaha tetap.

Begitupun dalam hal pemberian kuasa sebagai bagian dari hukum perdata
menjadi acuan hukum pajak ketika seseorang menjalankan kuasa dari seorang Wajib

12
Pajak.Pasal 32 ayat (3) UU KUP mengatur bahwa “orang oribadi atau badan dapat
menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.” Jika terjadi permasalahan hukum terkait pemberian kuasa sebagaimana
diatur Bab Keenambelas KUHPerdata akan menjadi acuan menyelesaikan
permasalahan hukum tentang hal ityu. Untuk jelasnya dikutip ketentuan Pasal 1795
KUHPerdata yang menyatakan “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus,
yaitu mengenai hanya satu kepentingan tetrtentu atau lebih, atau secara umum,
yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum perdata merupakan rujukan


dan dasar bagi hukum pajak dalam mencari cara pengenaan pajak sebagai sasaran
atau objek yang akan dikenakan pajak. Untuk itu dalam hal pengenaan pajak, hukum
perdata merupakan induk berlakunya penerapan pajak.

1.4.2 Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana

Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mengatur hubungan hukum
antara warga masyarakat dengan pemerintah terkait masalah tindak pidana.Hukum
pidana merupakan hukum yang amat berpengaruh dalam penerapan hukum
pajak.Berbagai macam ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHPidana) menjadi acuan penerapan pidana ketika Wajib Pajak
melanggar ketentuan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pajak.

Ketentuan mengenai tindak pidana perpajakan diatur dalam Pasal 38 sampai


dengan Pasal 44B UU KUP. Khusus mengenai ketentuan Pasal 38, Pasal 39, dan
Pasal 39A mengatur mengenai tindak pidana pajak yang dilakukan karena bersifat
alpa atau lalai maupun yang bersifat kesengajaan. Kedua sifat tindak pidana tersebut
merupakan sifat tindak pidana yang diatur dalam KUHPidana.Artinya,
penggolongan sifat tindak pidana (kealpaan/culpamaupun kesengajaan/dolus) dalam
hukum pajak merupakan sifat pidana yang bersumber dari hukum pidana.

Bahkan semua terminology atau pengertian hukum terkait tindak pidana


perpajakan merupakan terminology atau pengertian yang berasal dari ketentuan
hukum pidana.Lihat misalnya pengertian yang berasal dari ketentuan hukum

13
pidana.Lihat misalnya pengertian tindak pidana di bidang perpajakan. Pasal 1 angka
31 UU KUP menyatakan “penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”. Pengertian ini tidak
berbeda dengan pengertian yang diatur dalam KUHAP.

Demikian pula dalam hal pelaku tindak pidana di bidang perpajakan,


penggolongannya mengacu pada pengertian dalam hukum pidana. Pelaku atau orang
yang melakukan tindak pidana (dader), yang menyuruh melakukan (doenpleger),
yang turut melakukan (madedader), yang membantu (madeplichtigheid), maupun
yang sengaja membujuk (uitloker), kesemuanya merupakan istilah atau
penggolongan pelaku tindak pidana dalam hukum pidana yang akan diterapkan bagi
pelaku tindak pidana di bidang perpajakan.

Hal demikian secara tegas diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU KUP, yang intinya
menyatakan bahwa ketentuan tentang tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa,
pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan (doenpleger),
yang turut serta melakukan (madedader), yang menganjurkan (uitloker), atau yang
membantu melakukan (madeplichtigheid) tindak pidana di bidang perpajakan.
Selain itu, tindak pidana yang berupa percobaan yang diatur dalam undang-undang
pajak juga dapat dipidana.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum pajak dengan


hukum pidana merupakan hubungan hukum yang tidak bisa dipisahkan karena
hukum pajak yang berkaitan dengan masalah tindak pidana pajak tidak akan bisa
berjalan tanpa hukum pidana, khususnya mengenai proses penyelesaian tindak
pidana bidang perpajakan. Semua proses hukum terjadinya tindak pidana pajak
mengacu pada ketentuan hukum pidana, yaitu penyidikan, penuntutan maupun
proses hukum selanjutnya yang dilakukan di tingkat banding, tingkat kasasi, maupun
peninjauan kembali.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., Hukum Pajak


mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai berikut :
a. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.

14
b. Hukum Publik, mengatur mengenai hubungan antara pemerintah dengan
rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :
 Hukum Tata Negara
 Hukum Tata Usaha ( Hukum Administratif )
 Hukum Pajak
 Hukum Pidana
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum
publik
Hukum pajak menganut paham imperatif, yakni pelaksanaannya tidak dapat ditunda.
Misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan dari Direktur
Jendral Pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka Wajib Pajak yang
mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak, sesuai dengan yang telah
ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yakni
pelaksanaanya dapat ditunda setelah ada keputusa lain.

1.5 Syarat-Syarat Undang-Undang Pajak Bagi Suatu Negara

Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi,
masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan
tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan hambatan atau
perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat.

Menurut Prof. Dr. Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul Perpajakan, terdapat lima
syarat-syarat pemungutan pajak bagi suatu negara, yaitu :

1. Syarat Keadilan
Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, undamg-undang dan
pelaksanaan pemungutan harus adil.Adil dalam perundang-undangan diantaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing.Sedangkan adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak
bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan
mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

15
Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan
kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar
(ability to pay) pajak tersebut, sesuai dengan manfaat yang diterimanya.

Syarat keadilan dapat dibagi menjadi:

1. Keadilan Horizontal,
Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus
dikenakan pajak yang sama
2. Keadilan Vertikal,

Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama harus
dikenakan pajak yang tidak sama.

2. Syarat Yuridis
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat
untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
 Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus
dijamin kelancarannya.
 Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.
 Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.
3. Syarat Ekonomis
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu
kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan,
maupun jasa.Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan
menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan
menengah.

4. Syarat Finansiil (efisien)


Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan.
Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak
tersebut.Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk
dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam
pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.

16
5. Sistem Pemungutan Pajak harus Sederhana
Cara pajak yang dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak.
Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak
yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak
untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem
pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
 Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
 Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
 Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun
perseorangan (orang pribadi).

1.6 The Four Maxims Adam Smith


1.6.1 PRINSIP PEMUNGUTAN PAJAK

Prinsip-prinsip yang selayaknya diperhatikan oleh pemerintah dalam


memungut pajak, pembentukan suatu sistem perpajakan yang baik mendapat
perhatian para sarjana pemikir, antara lain Adam Smith (pada pembukaan abad
XVIII), Keynes, E.R.A Seligman, dan Fritz Neumark (pembukaan abad XX).
Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip keadilan, kepastian hukum, convenience dan
efisiensieconomic.

Pada abad ke-18 , Adam Smith(1723-1790), seorang penulis dan filsuf yang
dianggap sebagai bapak aliran ekonomi klasik, dalam bukunya yang terkenal
adalah An Inquiry in to the Nature and Causes of the Wealth of Nation(kemakmuran
bangsa-bangsa) yang ditulis pada tahun 1776 memberikan pedoman bagi peraturan
perpajakan, di mana pemungut pajak dalam memungut pajaknya harus membuat
peraturan dan mengikuti peraturan tersebut yang memenuhi rasa keadilan, yaitu
dengan memenuhi prinsi Centainty, Equality, Convenience dan Ekonomic
(Efisiensi). Keempat prinsip tersebut disebut sebagai “The four Canons of Adam
Smith”.

1. Prinsip Keadilan dan Pemerataan (Equality)

17
Menurut Adam Smith Equalitymengandung arti bahwa keadaan yang sama atau
orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang
sama.Equality atau kesamaan dalam system perpajakan lazimnya disebut dalam
keadaan yang sama akan diperlakukan sama dan dikenakan paja yang sama
besar. Tekanan pajak diantara subyek masing-masing pajak hendaknya
dilakukan seimbang dengan kemampuan yang seimbang dengan penghasilan
yang dinikmati di bawah perlindungan Negara. Sistem perpajakan yang adil
adalah adanya pelakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam
situasi level ekonomi yang sama,
2. Prinsip Kepastian Hukum (Certainty)
Dalam prinsip pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith, kaidah
Certainty dimaksudkan supaya pajak yang harus dibayar seseorang harus terang
dan pasti tidak dapat dimulur-mulur atau ditawar-tawar (not Arbitry).Kepastian
hukum adalah tujuan setiap undang-undang.Dalam membuat undang-undang
dan peraturan-peraturan yang mengikat umum. Harus diusahakan supaya
ketentuan yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas,tegas dan tidak
mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain.
3. Prinsip Convience
Adam Smith, mengungkapkan kaidah convience dimaksudkan supaya dalam
memungut pajak, pemerintah hendaknya memperhatikan saat-saat yang paling
baik bagi si pembayar pajak.Saat paling tepat diwujudkan dengan pemotongan
atau pemungutan pajak pada sumbernya, artinya setiap Wajib Pajak yang
menerima penghasilan, maka pada saat itulah pemerintah melalui pemotong pajak
memotong pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak penerima
penghasilan.
4. Prinsip Efisiensi Economic.
Adam Smith mengungkapkan kaidah efficiency dimaksudkan supaya
pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan dengan sehemat-hematnya, jangan
sampai biaya-biaya memungut justru menjadi lebih tinggi daripada pajak yang
dipungut.
DAFTAR REFERENSI

18
Ilyas, wirawan B., Burton Richard. 2013. Hukum pajak, edisi 6. Jakarta selatan:
Salemba Empat.
Suand, erly. 2014. Hukum pajak, Edisi 6. Jakarta selatan: Salemba Empat.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan revisi 2009. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Raje, Moch. 2014. PRINSIP DAN HUKUM PAJAK. Dilihat pada 13 Februari
2018.http://mochrajen.blogspot.co.id/2014/02/prinsip-dan-hukum-pajak.html .

19

Anda mungkin juga menyukai