1 Sejarah Perpajakan
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma),
tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus
dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat).Ketika itu, rakyat memberikan upetinya kepada
raja atau penguasa dalam bentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanam lainnya
seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu
digunakan untuk keperluan/kepentingan raja atau penguasa setempat.Sementara itu,
imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada karena sifatnya
memang hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara
psikologis karena status sosial/kedudukan raja yang lebih tinggi dibandingkan rakyat.
Namun dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak
lagi hanya untuk kepentingan raja, tetapi sudah mengarah pada kepentingan rakyat itu
sendiri. Artinya, pemberian yang dilakukan rakyat kepada raja atau penguasa digunakan
untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,
membangun saluran air untuk pengairan sawah, dan membangun sarana sosial lainnya
seperti taman.
Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat, maka dibuatlah suatu aturan yang
lebih baik dan bersifat memaksa berkaitan dengan sifat upeti (pemberian) tersebut
dengan memperhatikan unsur keadilan. Guna memenuhi unsur keadilan inilah maka
rakyat diikutsertakan dalam membuat berbagai aturan dalam pemungutan pajak, yang
nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
1
4. Ordonasi Pajak Kekayaan (Stbl. 1932 No. 405)
5. Ordonasi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl. 1934 No. 718)
6. Ordonasi pajak Upah (Stbl. 1934 No. 611)
7. Ordonasi Pajak Potong (Stbl. 1936 No. 671)
8. Ordonasi Pajak Pendapatan (Stbl. 1944 No. 17)
9. UU Pajak Radio (UU No. 12 Tahun 1947)
10. UU Pajak Pembangunan I (UU No. 14 Tahun 1947)
11. UU Pajak Peredaran (UU No. 12 Tahun 1952)
1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968
2. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan UU No. 10 tahun
1967 tentang Pajak Atas Bunga, Dividend an Royalti
3. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa
4. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing
5. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata
Cara MPS/MPO.
1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
2
3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM)
4. UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
5. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM)
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan dalam
rangka memberikan rasa keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak
(WP), maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengadakan perubahan terhadap UU
Perpajakan yang dibuat pada tahun 1983, yang selengkapnya seperti dibawah ini:
3
3. UU No. 18 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994
4. UU No. 19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997
5. UU No. 21 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 21 tahun 1997
6. UU No. 34 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997
1. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakn No. 16 Tahun 2000 diubah dengan
UU No. 28 Tahun 2007, mulai berlaku 1 Januari 2008
2. UU PPh No. 17 Tahun 2000 diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008, mulai berlaku
1 Januari 2009
3. UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah No. 18 Tahun 2000 diubah dengan UU No. 42 Tahun 2009, mulai berlaku 1
April 2010.
Khusus untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah diundangkan UU No.
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mencabut UU No. 18
Tahun 1997 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
4
1.2 Pengertian Pajak, Retribus, dan Sumbangan
5
Rochmat menjelaskan bahwa unsur ‘dapat dipaksakan’ artinya bahwa bila utang
pajak tidak dibayar maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan
kekerasan seperti dengan mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan,
bahkan bisa dengan melakukan penyanderaan. Sementara itu, terhadap
pembayaran pajak tersebut tidak dapat ditunjukkan jasa timbal-balik tertentu,
seperti halnya dengan retribusi.
Dari 4 pengertian pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada 5 unsur yang
melekat dalam pengertian pajak, yaitu:
Pada prinsipnya pungutan dengan nama retribusi sama dengan pajak, yaitu
empat unsur-unsur dalam pengertian pajak sama dengan retribusi, sedangkan
imbalan (kontra-prestasi) dalam retribusi langsung dapat dirasakan oleh pembayar
retribusi. Unsur yang melekat pada pengertian retribusi adalah:
6
untuk kepentingan sekelompok masyarakat tertentu dan tidak memerlukan dasar
hukum menurut UU serta tidak mempunyai unsur paksaan, misalnya sumbangan
pembangunan tempat-tempat ibadah, sumbangan perbaikan jalan, dan lain-lain.
Apabila pajak dan retribusi pungutannya harus berlandaskan UU, maka dalam
sumbangan pungutannya tidak berdasarkan UU, tetapi lebih bersifat pada gotong
royong masyarakat setempat. Pada sumbangan, tidak ada sifat paksaan tetapi unsur
sukarela, pemberi sumbangan dapat merasakan imbalan langsung atas hasil
sumbangannya, tetapi pemberi sumbangan juga dapat tidak merasakannya sama
sekali jika pemberi sumbangan tersebut tidak pernah bertempat disuatu wilayah
dimana jalan atau tempat ibadah yang dibangun merupakan hasil sumbangannya
sebagia.
Saat lahir, dirawat oleh dokter, bidan atau perawat di rumah sakit.Ketika menuju
kerumah sakit, kita sudah menikmati fasilitas jalan dan keamanan yang diberikan
oleh pihak kepolisian/tentara hingga dapat selamat tiba di tujuan. Kelahiran kita pun
di catatat dan diadministrasikan di kantor catatan sipil.
Bisa dibayangkan, misalnya ketika kita pergi ke rumah sakit harus menyediakan
sendiri jalan dengan baik, harus membawa pengawal agar aman di jalan, tentunya
7
sangat menyusahkan diri sendiri.Lalu berlanjut ketika menjalani sekolah sejak
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, kita sudah menikmati fasilitas sistem
pendidikan nasional yang disediakan pemerintah.Bahkan ketika kita bisa bekerja dan
berpenghasilan, itu semua sebenarnya hanya dimungkinkan karena adanya fasilitas
umum yang sudah dinikmati terlebih dahulu.
Kita membayar pajak agar tersedia sarana atau fasilitas umum yang dapat
digunakan bersama atau kita membayar pajak karena kita sudah terlebih dahulu
menikmati sarana atau fasilitas umum.Dengan menyadari kondisi demikian,
diharapkan peran pajak dalam membiayai pembangunan nasional menjadi lebih
nyata melalui pembayaran pajak yang benar oleh seluruh lapisan masyarakat.
Penyediaan sarana dan prasarana publik yang kita manfaatkan hanya dapat
tersedia karena peran pemerintah yang membutuhkan pengorbanan besar
mengumpulkan dana guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemakmuran
generasi mendatang sangat bergantung pada investasi generasi sekarang ini, yaitu
berupa penyediaan segala macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
menggerakkan roda ekonomi.Semua sarana dan prasarana umum tersebut hanya
dapat tersedia bila ada pajak.
8
3. Penerimaan hibah dari dalam negeri maupun luar negeri
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pajak
dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri terdiri atas:
pajak penghasilan atau barang mewah; pajak bumi dan bangunan; bea perolehan hak
atas tanah/bangunan; cukai; dan pajak lainnya. Sedangkan pajak perdagangan
internasional berasal dari bea masuk dan bea keluar.
Peran penerimaan pajak dalam mengisi kas APBN dalam rangka pembangunan
nasional sangat penting dan strategis.Besarnya peranan pajak yang demikian kiranya
perlu ditanamkan dalam diri setiap orang agar dalam pelaksanaan pembayaran pajak
yang telah dilakukan dapat menjadi suatu kebanggan tersendiri karena telah
memberikan kontribusinya dalam pembangunan nasional.
1. Fungsi budgeter(anggaran)
Adalah fungsi yang terletak di sektor publik, yaitu fungsi untuk mengumpulkan
uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang berlaku yang
pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
Negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa
(surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintahan untuk investasi
pemerintah.
2. Fungsi Regulerend (Mengatur)
Adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu
alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.
Fungsi ini umumnya dapat dilihat pada sektor swasta. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikemukakan oleh Dr. Soemitro Djojohadikusumo, yaitu fiscal policy
sebagai suatu alat pembangunan yang harus mempunyai satu tujuan yang
bersamaan secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk
public investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan
private saving kearah sektor-sektor yang produktif, maupun digunakan untuk
mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat pembangunan.
3. Fungsi Demokrasi
Adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud system
gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi
9
kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini sering
dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari
pemerintah. Apabila seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak
kepada Negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula
untuk mendapatkan pelayanan yang baik, pembayar pajak bisa melakukan protes
(complaint) terhadap pemerintah dengan mengatakan bahwa ia telah membayar
pajak, dan mengapa tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya.
4. Fungsi Redistribusi
Adalah fungsi yang lebih menekankan pada unsure pemerataan dan keadilan
dalam masyarakat.Hal ini dapat terlihat misalnya dengan adanya tariff progesif
yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai
penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang
mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil).
Fungsi pajak yg ketiga dan keempat sering disebut sebagai fungsi tambahan
karena bukan merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak.Akan tetapi
dengan perkembangan masyarakat modern, fungsi ketiga dan keempat menjadi
fungsi yang juga sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam rangka
kemaslahatan manusia serta keseimbangan dalam mewujudkan hak dan
kewajiban masyarakat.
Khususnya untuk fungsi budgeter, peran pajak sangat strategis dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir tampak didominasi oleh penerimaan pajak. Bahkan
dalam kurun waktu enam tahun terakhir secara berturut-turut sejak tahun
1992/1993 sampai dengan tahun 1997/1998 persentase peran pajak telah
mencapai lebih dari 50% dari volume penerimaan APBN. Sedangkan peran migas
hanya mencapai kurang dari 30% dari volume APBN.
10
Sistematika dasar selalu digunakan dalam mempelajari ilmu hukum, tanpa terlepas dari
bagaimana tata hukum yang ada di dalam ilmu hukum itu sendiri. Sistematika umum yang
digunakan adalah sebagai berikut:
HUKUM PIDANA
Melihat tata hukum diatas, maka letak Hukum Pajak berada dalam tata hukum nasional
kita. Dalam literature, ternyata Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Administrasi
Negara, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan
pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam
melaksanakan tugas administrasi negara.
Sekalipun kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi negara,
dalam pengaturan materinya banyak memiliki kesamaan dengan hukum perdata dan
hukum pidana, istilah-istilah yang digunakan, penafsiran yang digunakan, dan sanksi-
sanksi yang digunakan banyak mengambil dari hukum perdata dan hukum pidana,
sebagaimana dijelaskan dibawah ini.
HUKUM PIDANA
11
Hukum pajak dengan hukum perdata merupakan dua cabang ilmu hukum yang
sangat erat oleh karena dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan
pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata.Hukum perdata sendiri
merupakan hubungan hukum yang terjadi antara sesame anggota
masyarakat.Sedangkan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik atau
hukum administrasi negara yang mengatur hukuman hukum antara pemerintah
dengan masyarakat yang disebut Wajib Pajak.
Lembaga warisan yang dikenal dengan hukum perdata pun memiliki hubungan
erat dengan hukum pajak.Seseorang yang mendapatkan warisan mempunyai
konsekuensi hukum secara perdata. Pasal 833 Kitab Undang-Undang Perdata
(KUHPerdata) menyatakan “sekalian ahli waris dengan sendirinya dengan hukum
memperoleh hak milik atas segala barang segala hak dan segala piutang yang
meninggal”. Konsekuensi hukum secara perdata tersebut diberlakukan dalam hukum
pajak seperti dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) bahwa “yang menjadi subjek pajjak adalah warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak”.
Hubungan hukum perdata dengan hukum pajak yang lain adalah mengenai
pengertian atau terminologi hukum yang digunakan. Misalnya pengertian subjek
hukum dalam hukum perdata yang terdiri atas orang pribadi dan badan juga
dipergunakan dalam hukum pajak juga diatur dalam Pasal 2 UU PPh. Pasal tersebut
menegaskan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi, warisan, badan,
dan bentuk usaha tetap.
Begitupun dalam hal pemberian kuasa sebagai bagian dari hukum perdata
menjadi acuan hukum pajak ketika seseorang menjalankan kuasa dari seorang Wajib
12
Pajak.Pasal 32 ayat (3) UU KUP mengatur bahwa “orang oribadi atau badan dapat
menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.” Jika terjadi permasalahan hukum terkait pemberian kuasa sebagaimana
diatur Bab Keenambelas KUHPerdata akan menjadi acuan menyelesaikan
permasalahan hukum tentang hal ityu. Untuk jelasnya dikutip ketentuan Pasal 1795
KUHPerdata yang menyatakan “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus,
yaitu mengenai hanya satu kepentingan tetrtentu atau lebih, atau secara umum,
yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.”
Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mengatur hubungan hukum
antara warga masyarakat dengan pemerintah terkait masalah tindak pidana.Hukum
pidana merupakan hukum yang amat berpengaruh dalam penerapan hukum
pajak.Berbagai macam ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHPidana) menjadi acuan penerapan pidana ketika Wajib Pajak
melanggar ketentuan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pajak.
13
pidana.Lihat misalnya pengertian tindak pidana di bidang perpajakan. Pasal 1 angka
31 UU KUP menyatakan “penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”. Pengertian ini tidak
berbeda dengan pengertian yang diatur dalam KUHAP.
Hal demikian secara tegas diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU KUP, yang intinya
menyatakan bahwa ketentuan tentang tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa,
pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan (doenpleger),
yang turut serta melakukan (madedader), yang menganjurkan (uitloker), atau yang
membantu melakukan (madeplichtigheid) tindak pidana di bidang perpajakan.
Selain itu, tindak pidana yang berupa percobaan yang diatur dalam undang-undang
pajak juga dapat dipidana.
14
b. Hukum Publik, mengatur mengenai hubungan antara pemerintah dengan
rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :
Hukum Tata Negara
Hukum Tata Usaha ( Hukum Administratif )
Hukum Pajak
Hukum Pidana
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum
publik
Hukum pajak menganut paham imperatif, yakni pelaksanaannya tidak dapat ditunda.
Misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan dari Direktur
Jendral Pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka Wajib Pajak yang
mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak, sesuai dengan yang telah
ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yakni
pelaksanaanya dapat ditunda setelah ada keputusa lain.
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi,
masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan
tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan hambatan atau
perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat.
Menurut Prof. Dr. Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul Perpajakan, terdapat lima
syarat-syarat pemungutan pajak bagi suatu negara, yaitu :
1. Syarat Keadilan
Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, undamg-undang dan
pelaksanaan pemungutan harus adil.Adil dalam perundang-undangan diantaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing.Sedangkan adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak
bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan
mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
15
Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan
kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar
(ability to pay) pajak tersebut, sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
1. Keadilan Horizontal,
Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus
dikenakan pajak yang sama
2. Keadilan Vertikal,
Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama harus
dikenakan pajak yang tidak sama.
2. Syarat Yuridis
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat
untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus
dijamin kelancarannya.
Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.
Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.
3. Syarat Ekonomis
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu
kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan,
maupun jasa.Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan
menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan
menengah.
16
5. Sistem Pemungutan Pajak harus Sederhana
Cara pajak yang dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak.
Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak
yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak
untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem
pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun
perseorangan (orang pribadi).
Pada abad ke-18 , Adam Smith(1723-1790), seorang penulis dan filsuf yang
dianggap sebagai bapak aliran ekonomi klasik, dalam bukunya yang terkenal
adalah An Inquiry in to the Nature and Causes of the Wealth of Nation(kemakmuran
bangsa-bangsa) yang ditulis pada tahun 1776 memberikan pedoman bagi peraturan
perpajakan, di mana pemungut pajak dalam memungut pajaknya harus membuat
peraturan dan mengikuti peraturan tersebut yang memenuhi rasa keadilan, yaitu
dengan memenuhi prinsi Centainty, Equality, Convenience dan Ekonomic
(Efisiensi). Keempat prinsip tersebut disebut sebagai “The four Canons of Adam
Smith”.
17
Menurut Adam Smith Equalitymengandung arti bahwa keadaan yang sama atau
orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang
sama.Equality atau kesamaan dalam system perpajakan lazimnya disebut dalam
keadaan yang sama akan diperlakukan sama dan dikenakan paja yang sama
besar. Tekanan pajak diantara subyek masing-masing pajak hendaknya
dilakukan seimbang dengan kemampuan yang seimbang dengan penghasilan
yang dinikmati di bawah perlindungan Negara. Sistem perpajakan yang adil
adalah adanya pelakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam
situasi level ekonomi yang sama,
2. Prinsip Kepastian Hukum (Certainty)
Dalam prinsip pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith, kaidah
Certainty dimaksudkan supaya pajak yang harus dibayar seseorang harus terang
dan pasti tidak dapat dimulur-mulur atau ditawar-tawar (not Arbitry).Kepastian
hukum adalah tujuan setiap undang-undang.Dalam membuat undang-undang
dan peraturan-peraturan yang mengikat umum. Harus diusahakan supaya
ketentuan yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas,tegas dan tidak
mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain.
3. Prinsip Convience
Adam Smith, mengungkapkan kaidah convience dimaksudkan supaya dalam
memungut pajak, pemerintah hendaknya memperhatikan saat-saat yang paling
baik bagi si pembayar pajak.Saat paling tepat diwujudkan dengan pemotongan
atau pemungutan pajak pada sumbernya, artinya setiap Wajib Pajak yang
menerima penghasilan, maka pada saat itulah pemerintah melalui pemotong pajak
memotong pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak penerima
penghasilan.
4. Prinsip Efisiensi Economic.
Adam Smith mengungkapkan kaidah efficiency dimaksudkan supaya
pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan dengan sehemat-hematnya, jangan
sampai biaya-biaya memungut justru menjadi lebih tinggi daripada pajak yang
dipungut.
DAFTAR REFERENSI
18
Ilyas, wirawan B., Burton Richard. 2013. Hukum pajak, edisi 6. Jakarta selatan:
Salemba Empat.
Suand, erly. 2014. Hukum pajak, Edisi 6. Jakarta selatan: Salemba Empat.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan revisi 2009. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Raje, Moch. 2014. PRINSIP DAN HUKUM PAJAK. Dilihat pada 13 Februari
2018.http://mochrajen.blogspot.co.id/2014/02/prinsip-dan-hukum-pajak.html .
19