Anda di halaman 1dari 5

TANTANGAN UU P3H DALAM KONFLIK AGRARIA

Article

Untuk memenuhi tugas matakuliah

Pemerintahan Dan Kebijakan Publik


yang dibina oleh

Dr. SRI UNTARI, M.Si,

Oleh
Anata Ikrommullah
180712853016

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
S2 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
Maret 2019
TANTANGAN UU P3H DALAM KONFLIK AGRARIA

Ikrommullah, Anata

Program PascaSarjana Universitas Negeri Malang

E-mail: phylonata@gmail.com

Abstrak

Pengesahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dinilai berpotensi memunculkan konflik baru
dan makin meminggirkan eksistensi masyarakat adat dengan pengabaian keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
tentang pengakuan hutan adat, dengan UU P3H ini masyarakat adat paling dirugikan. Sebab, sekitar 80 persen
komunitas adat berada di sekitar hutan dan menggantungkan hidup pada hutan. UU inipun berpotensi menjadi senjata
baru pemerintah untuk mengkriminalisasikan masyarakat adat. Kalau UU ini diimplementasikan upaya kriminalisasi
masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan pasti kembali terjadi. Satu hal yang kadang tak disadari pengambil
kebijakan, bahwa dalam tataran konsep mungkin ini tidak ada masalah, tapi kenyataan di lapangan para polisi hutan
terkadang bersifat represif dalam menjalankan aturan secara kaku.

Abstract

Ratification of the Law on the Prevention and Eradication of Forest Destruction (P3H) is considered to have the
potential to create new conflicts and further marginalize the existence of indigenous peoples with the neglect of the
decision of the Constitutional Court (MK) regarding recognition of customary forests. about 80 percent of indigenous
communities are around the forest and depend on the forest. Even this law has the potential to become the government's
new weapon to criminalize indigenous peoples. If this law is implemented, efforts to criminalize indigenous peoples
living around the forest will definitely occur again. One thing that policy makers sometimes don't realize is that at the
concept level there might be no problem, but the reality in the field of forest rangers is sometimes repressive in
enforcing strict rules.
.

Keywords: forest, law, indigenous peoples

Pendahuluan

Konflik agraria di sektor kehutanan hingga kini belum mampu diselesaikan oleh pemerintah. Tidak jelasnya tata
batas kawasan hutan, serta lahirnya peraturan perundangan yang memicu konflik menjadi alasan mengapa
konflik tak kunjung berhenti. Undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (P3H) menjadi salah satu undang-undang yang melanggengkan konflik. Alih-alih menjadi
instrumen hukum untuk menjerat korporasi perusak hutan, justru pemerintah menggunakannya untuk
melakukan kriminalisasi pada para petani dalam kawasan hutan. Undang-undang instrumental tersebut hingga
kini terus menjerat banyak petani dan kontraproduktif dengan usaha penyelesaian konflik agraria
Pengrusakan hutan di era modern merupakan dan pemberantasan perusakan hutan juga
hal yang lumrah terjadi, hal ini sejalan dengan tercantum dalam beberapa pasal.
paradigma modernitas dimana alam merupakan Tujuannya, tentu saja mendorong kelestarian
bahan baku untuk industri. minimnya kesadaran hutan dengan cara mencegah serta menjerat
individu atau korporasi yang mendalangi maupun
untuk menjaga hutan dari pemegang izin usaha
terlibat dalam praktik perusakan hutan. Meski
pemanfaatan hasil hutan serta maraknya praktik langkah pemerintah sejauh ini layak diapresiasi,
pembalakan liar diyakini pemerintah sebagai namun dalam proses formulasi kebijakan, Namun
muara petaka kerusakan hutan. pemerintah luput mempertimbangkan berbagai
Data Kementerian Kehutanan menunjukan masalah yang masih merundung sektor kehutanan,
dengan sertamerta abai terhadap satu elemen
dari tahun 1985 hingga 1997, Indonesia telah
penting dalam isu kehutanan: masyarakat.
kehilangan 22,46 juta hektar hutan, atau sebesar
Dampaknya, UU P3H mengalami kegagalan
1,87 hektar per tahun. Kemudian, meningkat 2,84 maupun penyimpangan dalam implementasi.
juta hektar per tahun pada rentang tahun 1997-
2000 (Kemenhut, 2012). Senada, Working Group Kriminalisasi di Sektor Kehutanan
on Forest-Land Tenure (WG-Tenure) juga Sejak era Soeharto, tumpukan persoalan di sektor
menunjukan bahwa angka kerusakan hutan di kehutanan kian menggunung dan diperparah dengan
Indonesia sejak tahun 1997 hingga tahun 2000 minimnya langkah penyelesaian dari pemerintah.
meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi 2,83 juta Beberapa persoalan yang masih menunggu untuk
diselesakan antara lain: pertama, tumpang tindih
hektar. Kemudian, tingkat deforestasi selama
penguasaan kawasan hutan antara klaim masyarakat
periode 2000-2005 mencapai 1,2 juta hektar
dan pemerintah. Kedua, pengukuhan kawasan hutan
(Working Group Tenure). oleh pemerintah yang tidak memperhatikan
Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat bahwa kepentingan masyarakat sekitar. Ketiga, praktik
laju kerusakan dari tahun 2000-2009 tercatat cukup kriminalisasi terhadap masyarakat disekitar hutan
tinggi, yakni 1,5 juta hektar. Kemudian, tahun 2009- maupun yang hidup dalam wilayah hutan.
2013, tercatat 1,13 juta hektar hutan alam hilang per Dalam soal pertama, tumpang tindih penguasaan
tahun. Berdasarkan data dari berbagai sumber, FWI tanah hutan tak jarang sebabkan pemerintah dan
menyimpulkan bahwa angka kerusakan hutan di
masyarakat berada dalam sengketa berkepanjangan.
Indonesia belum menunjukan kecenderungan
Klaim masyarakat atas tanah hutan di berbagai
penurunan secara signifikan. Bahkan, hingga tahun
2013, angkanya tidak jauh berbeda dengan angka di wilayah kerap berbenturan dengan klaim
tahun-tahun sebelumnya (Forest Watch Indonesia, pemerintah dan atau pihak swasta. Belakangan,
2015). kasus-kasus pemberian izin oleh pemerintah untuk
Kondisi demikian menjadi sinyal kuat bagi mengonversi lahan hutan seluas 25 juta hektar
pemerintah untuk menetapkan sektor kehutanan kepada perusahaan perkebunan sawit tak sedikit
sebagai prioritas kebijakan. Kondisi darurat merampas hak masyarakat setempat. Konflik pun
perhutanan ini membuat pemerintah mengambil tak terelekan. Terlebih, dalam catatan berbagai
keputusan tegas,Tak ayal, pemerintah pun organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam
mengambil langkah, salah satunya melalui
Koalisi Anti Mafia Hutan, sedikitnya 30 ribu desa
pengesahan Undang-undang nomor 18 tahun 2013
definitif berada didalam kawasan hutan maupun
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
sekitar hutan dan sebagian besar masih dalam
Hutan (P3H). Melalui logika kebijakan yang
sengketa batas wilayah
cenderung instrumental,
Niat awal pemerintah sebenarnya cukup baik, Di sisi lain, hingga saat ini pemerintah masih
minim langkah guna menegaskan batas-batas hutan
yakni pemerintah ingin beri efek jera terhadap
negara dengan hutan masyarakat, termasuk hutan
tindak kejahatan di wilayah hutan baik yang adat. Sehingga pengukuhan kawasan hutan yang
dilakukan oleh individu, kelompok masyarakat dilakukan Kementerian Kehutanan hanya mencapai
maupun korporasi. Berbagai tindakan perusakan 11,29% dari total kawasan hutan di Indonesia pada
hutan didefinisikan, sekaligus ditetapkan tahun 2009. Hingga kini, angka tersebut belum
mekanisme penyidikan, pemeriksaan dan beranjak secara signifikan. Inilah indikasi nyata
bahwa pemerintah masih “setengah hati” dalam
penyidangan terhadap tersangka perusakan
melakukan verifikasi dan pengukuhan batas wilayah
hutan. Tak hanya itu, kelembagaan pencegahan
kehutanan, sebagaimana tertuang dalam poin kedua.
Tak hanya itu, pengukuhan kawasan hutan oleh Tampaknya harapan akan penyelesaian konflik-
pemerintah juga kerap luput mempertimbangkan konflik agraria di Indonesia semakin jauh dari
akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria kenyataan. Pasalnya, pemerintah belum
dalam kawasan hutan. Padahal, dalam catatan WG- memprioritaskan agenda penyelesaian konflik
Tenure, terdapat sekitar 25 juta warga miskin di agraria dalam kerja -kerjanya. Paradigma
Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada pemerintah juga belum bergeser dalam memandang
hutan (Working Group Tenure). Artinya, jutaan penyelesaian konflik agraria, dimana pendekatan
masyarakat hingga kini belum terlindungi haknya yang digunakan masih cenderung instrumental dan
atas tanah, sekaligus berpotensi besar untuk formalistik, belum mendorong adanya penyelesaian
kehilangan akses terhadap sumber agraria dan dengan cara-cara baru yang lebih baik. Maka tak
terusir secara paksa. heran, sebagaimana di sektor kehutanan, sektor
Pemerintah yang menutup mata pada relitas agraria lain juga mengalami gejala yang sama: angka
ketimpangan dan kemiskinan tersebut menjadi konflik yang tinggi.
alasan utama mengapa UU P3H sekedar menjadi Di titik ini, pembatalan berbagai peraturan
instrumen untuk menjerat masyarakat miskin, dan perundangan yang cenderung melanggengkan
bukan menjerat korporasi yang merusak hutan. kriminalisasi, seperti UU P3H mendesak untuk
Kondisi demikian yang berlarut-larut menyebabkan dilakukan. Kemudian, pembentukan lembaga
konflik di kawasan hutan tak kunjung reda, Dalam penyelesaian konflik agraria yang berada di bawah
catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Presiden secara langsung juga harus segera
tahun 2004-2015 menunjukan terjadi 164 kasus direalisasikan sebagai bentuk usaha untuk
konflik di sektor kehutanan dengan ragam sebab mengurai sengkarut persoalan agraria di
(KPA, 2015). Indonesia.
Angka tersebut dipastikan membengkak jika
konflik masyarakat adat dalam wilayah hutan juga Rekomendasi
diakumulasikan. Dari total keseluruhan konflik, a. Batalkan Undang-undang nomor 18 tahun 2013
Koalisi Anti Mafia Hutan hingga tahun 2014 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
mencatat terdapat 53 warga dijerat UU P3H, 43 Hutan (P3H).
warga diantaranya dinyatakan bersalah dengan b. Bebaskan seluruh petani yang dikriminalisasi
hukuman 18 bulan penjara. dengan UU P3H
Tak berbeda, di tahun 2016, KPA mencatat terdapat c. Bentuk Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria di
bawah Presiden
beberapa kasus kriminalisasi menggunakan UU P3H,
sebut saja Ujang Kandi dari Serikat Tani Indramayu
hingga Nur Aziz dari Paguyuban Petani Kendal yang
harus berhadapan dengan hukum. Melalui pasal 12
dalam UU P3H tentang larangan-larangan untuk
mengakses hasil hutan, pemerintah terus
melanggengkan praktik- praktik kriminalisasi terhadap
masyarakat miskin di sekitar hutan. Tak hanya itu,
beberapa pasal terkait tindak pidana kerap dijadikan
senjata untuk menyeret masyarakat ke balik jeruji.
Sementara, korporasi perusak hutan terus beroperasi.

Prioritaskan Penyelesaian Konflik Agraria


Idealnya, pemerintah harus menganalisa secara
menyeluruh ketimpangan struktur agraria saat ini
serta memeriksa regulasi-regulasi sektoral yang
tumpang tindih sebelum menetapkan UU P3H.
Tanpa itu, tujuan dasar dari UU P3H yakni
penghentian laju deforestasi dan menghentikan aksi
korporasi nakal tentu menjadi sulit dicapai. Bahkan
kini, kita menyaksikan adanya penyelewenangan
implementasi UU P3H.
Daftar Pustaka

http://www.menlhk.go.id/berita-129-dataset-lingkungan-hidup-dan-kehutanan.html
http://fwi.or.id/publikasi/catatan-awal-tahun-2019-forest-watch-indonesia/
www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2013_18.pdf
https://www.kpa.or.id/news/id/
http://wg-tenure.org/2017/08/04/peluncuruan-desk-resolusi-konflik-lahan-dan-pengelolaan-sumber-
daya-alam-kabupaten-kapuas-hulu/

Anda mungkin juga menyukai