Anda di halaman 1dari 39

CLINIC REPORT SESSION

*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A217047 /Maret 2019


** Pembimbing/ Dr. Sulistyowati Sp. An.

GENERAL ANESTESI PADA ARNOLD CHIARI MALFORMATION


TIPE 1 DENGAN SYRINGOMIELIA

R.M Andriyan, S.Ked (G1A217047)

Pembimbing : dr. Sulistyowati Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN

GENERAL ANESTESI PADA ARNOLD CHIARI


MALFORMATION TIPE 1 DENGAN SYRINGOMIELIA

Oleh:
R.M Andriyan, S.Ked
(G1A217047)

Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi

Fakultas Kedokteran Universitas Jambi

RSUD Raden Mattaher Jambi

Jambi, Maret 2019

Pembimbing

dr. Sulistyowati Sp.An.


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmad dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan laporan kasus kepaniteraan klinik di bagian anestesi
yang berjudul “General Anestesi Pada Arnold Chiari Malformation dengan
Syringomielia”. Dalam menyelesaikan refrat ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik. Karena itulah, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada dr. Sulistyowati, Sp.An sebagai dokter pembimbing.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
guna kesempurnaan refrat ini.

Jambi, Maret 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Malformasi Chiari adalah sekelompok kelainan dimana sebagian serebelum


atau otak kecil, ventrikel IV, dan pons mengalami herniasi ke bawah. Malformasi
Arnold Chiari tipe 1 adalah pergeseran tonsil serebellum kearah kaudal kanalis
spinalis tulang belakang servikal melalui foramen magnum. Siringomielia adalah
gangguan degeneratif progresif yang ditandai dengan amiotropi brakhial dan
kehilangan fungsi sensorik dan secara patologi dengan kavitasi bagian sentral dari
medula spinalis, siringomielia pada malformasi Chiari terjadi antara level servikalis
4–6.1
Seorang wanita usia 51 tahun datang riwayat nyeri tumpul dan gangguan
sensoris di kedua lengan atas. Dalam perjalanannya setelah 2 tahun terjadi
kehilangan kemampuan motorik pada kedua lengan atas. Pemeriksaan neurologis
menunjukkan gangguan sensorik pada lengan kanan dan lengan kiri serta
pemeriksaan motorik menunjukkan adanya kelemahan pada kedua anggota gerak
atas. Pencitraan MRI menunjukkan herniasi tonsil ke foramen magnum dan
siringomielia dari medula oblongata ke level T4. Laporan kasus ini adalah kasus
langka seorang wanita dengan malformasi Arnold Chiari tipe 1 dengan manifestasi
lambat dan siringomielia yang menjalani prosedur operasi dekompresi foramen
magnum dengan teknik anestesi umum.
BAB II
KUNJUNGAN PRA ANESTESI

2.1. IDENTITAS PASIEN


Tanggal : 20 Maret 2019
Nama : Ny. MK
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 51 tahun
BB : 45 kg
Ruang : Kelas I
No. MR : 897627
Diagnosis : Malformasi Chiari Tipe 1
Tindakan : Foramen Magnum Decompression

HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


2.1. Anamnesis
Keluhan Utama : Kelemahan anggota gerak atas sejak 2 tahun terakhir
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli klinik bedah saraf RSUD Raden Mattaher
pertama kali dengan keluhan kelemahan anggota gerak atas sejak 2
tahun terakhir. Keluhan ini dirasakan terus menerus dan progresif
semakin lama semakin memberat. Saat ini pasien juga merasakan
mulai sulit untuk berjalan baik. Pasien tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari. Karena keluhan dan gangguan ini kualitas hidup pasien
terganggu dan akhirnya memutuskan mencari pengobatan medis.
Sebelum timbulnya keluhan kelemahan anggota gerak atas ini, pasien
mengalami riwayat nyeri tumpul dan gangguan sensibilitas pada
kedua lengan yang sudah dialami selama 4 tahun. Gangguan
sensibilitas yang dirasakan berupa kesemutan dan sensasi panas dan
dingin bergantian. Pasien mengatakan keluhan ini secara progresif
memberat sampai saat ini.
Pasien mengatakan keluhan lemah semakin terasa terutama jika
berjalan, sementara keluhan gangguan sensai terasa setiap saat dan
memberat terutama jika pasien beristirahat. Tidak ada pengobatan
yang dirasakan memperingan keluhan pasien.
Setelah bertemu dr. Spesialis bedah saraf, pasien disarankan untuk
melakukan operasi dengan tujuan mengurangi tekanan di dalam otak
pasien sehingga keluhan dapat berkurang.

Riwayat penyakit dahulu :


 Riwayat penyakit darah tinggi (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit DM : disangkal
 Riwayat penyakit alergi : disangkal
 Riwayat penyakit asma : disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya : (-)

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat penyakit serupa dikeluarga disangkal

Riwayat Sosial :
Pasien merupakan ibu rumah tangga dan bekerja sebagai pegawai negeri
sipil

2.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
Vital sign
TD : 120/80
Respirasi : 18x/ menit
Nadi : 80 x/ menit
Suhu : 36,5° C
Kepala
 Mata : Pupil isokor kanan dan kiri, refleks cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sclera ikhterik (-/-)
 THT : serumen (+/+), tonsil T1/T1, mukosa bucal dan
faring normal, hidung sekret (-), pembesaran KGB (-)
 Mulut : Mukosa normal, lidah kotor (-), Mallampati II

Leher
 KGB leher : tidak teraba pembesaran KGB
 Kelenjar tiroid : tidak teraba pembesaran
 JVP : 5 + 2 cm H2O

Thorax :
Paru
 Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
 Palpasi : Vocal Fremitus normal simetris
 Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-), Wheezing (-)

Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba ICS 5 LMC sinistra lebar 2 cm,
tidak kuat angkat
 Perkus : Batas kiri atas ICS II parasternal sinistra, pinggang
jantung LMC sinistra ICS 3, batas bawah jantung kanan ICS 5
parasternal dextra, batas bawah kiri ICS 5 LMC sinistra.
 Auskultasi : BJ I/II iregular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
 Inspeksi : Datar tidak tampak kelainan kulit
 Auskultasi : BU (+) 10x/menit
 Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), massa (-),
hepar dan lien tidak teraba, balotmen (-)
 Pekusi : Timpani

Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-)
 Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-)
Sistem motorik
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 4 4
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-)
Ekstremitas bawah
Kekuatan 5 5
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-)

Sistem sensorik (anggota gerak atas)


Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba menurun menurun
Nyeri terganggu terganggu

Refleks
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps menurun menurun
Triseps menurun menurun
Patella (+) (+)
Achilles (+) (+)
2.4. Pemeriksaan Penunjang
EKG : Normal Sinus Ritem
Foto Thorak : Cor Pulmo normal
MRI Spine noncontrast: L5-S1 Bulging disc difus asimetris ke kiri yang
mengakibatkan indentasi thecal sac dan foramina
stenosis bilateral moderate (kiri lebih berat).
L4-l5 : bulging disc difus yang mengakibatkan
indentasi thecal sac dan foramina stenosis bilateral
ringan.
Laboratorium
a. Darah Rutin (18/3/2019)
WBC : 7,24 103/mm3
RBC : 4,66 106/mm3
HGB : 11,7 g/dl
HCT : 36,7 %
PLT : 269 103/mm3
PCT : 0,288 103/mm3
MCV : 78,7 L µm3
MCH : 25,1 L pg
MCHC : 319 g/dl
LED : 34 / jam
Clotting Time : 4,5 menit
Bleeding Time : 2 menit
GDS : 119 mg/dl

b. KIMIA DARAH (15/2/2019)


Faal Hati
Bilirubin total : 0,9
Bilirubin direk : 0,3
Bilirubin indirek : 0,6
Protein Total : 7,4 g/dl
Albumin : 3,8 g/dl
Globulin : 3,6 g/dl
SGOT : 30 U/L
SGPT : 32 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 28 mg/dl
Kreatinin : 0,7 mg/dl

c. ELEKTROLIT (16/2/2019)
Natrium : 136,17
Kalium : 4,09
Klorida : 100,37
Kalsium : 1,29

STATUS FISIK : ASA II


BAB III
TINDAKAN ANESTESI

3.1 Identitas
Tanggal : 21 Maret 2019
Nama : Ny. MK
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 51 tahun
BB : 45 kg
Ruang : VIP (Pinang Masak)
No. MR : 897627
Diagnosis : Malformasi Chiari Tipe 1
Tindakan : Foramen Magnum Decompression

3.2. Keterangan pra-bedah


a. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
Pernafasan : 20 x/ menit
Nadi : 80 X/ menit
Suhu : 36,5°C
b. Pemeriksaan Penunjang
EKG : Synus Rhythm
Foto Thorak : Cor Pulmo normal
MRI Spine noncontrast: L5-S1 Bulging disc difus asimetris ke kiri yang
mengakibatkan indentasi thecal sac dan foramina
stenosis bilateral moderate (kiri lebih berat).
L4-l5 : bulging disc difus yang mengakibatkan
indentasi thecal sac dan foramina stenosis bilateral
ringan.
Laboratorium
a. Darah Rutin (18/3/2019)
WBC : 7,24 103/mm3
RBC : 4,66 106/mm3
HGB : 11,7 g/dl
HCT : 36,7 %
PLT : 269 103/mm3
PCT : 0,288 103/mm3
MCV : 78,7 L µm3
MCH : 25,1 L pg
MCHC : 319 g/dl
LED : 34 / jam
Clotting Time : 4,5 menit
Bleeding Time : 2 menit
GDS : 119 mg/dl

b. KIMIA DARAH (15/2/2019)


Faal Hati
Bilirubin total : 0,9
Bilirubin direk : 0,3
Bilirubin indirek : 0,6
Protein Total : 7,4 g/dl
Albumin : 3,8 g/dl
Globulin : 3,6 g/dl
SGOT : 30 U/L
SGPT : 32 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 28 mg/dl
Kreatinin : 0,7 mg/dl
c. ELEKTROLIT (16/2/2019)
Natrium : 136,17
Kalium : 4,09
Klorida : 100,37
Kalsium : 1,29

3.2 Tindakan anestesi


1. Metode : general anestesi
2. Premedikasi : Ranitidin 50 mg, Ondancetron 4 mg, Dexametason
5 mg
3. Induksi : Propofol 150 mg
4. Intubasi : Insersi ETT no. 7 difasilitasi atracurium 40 mg
5. Maintanance : Sevoflurans 2vol%, N2O + O2 dengan 2vol% :
2vol%
6. Adjuvant : Ceftriaxone 2 gr

3.3 Monitoring peri-operatif


1. Keadaan selama operasi : posisi terlungkup, penyulit anestesi (-), lama
anestesi 2 jam
2. Jumlah cairan
 Input : RL 5 kolf  2000 ml
Total  2000 ml
 Urin : + 140 cc
 Perdarahan : + 450 cc
 Kebutuhan cairan pasien
- Defisit cairan karena puasa (P)
P = 8 x BB x 2 cc
P = 8 x 45 x 2 cc = 720 cc
- Maintanace (M)
M = BB x 2 cc
M = 45 x 2 cc = 90 cc
- Stres operasi (SO)
SO = BB x 8 cc (operasi besar)
SO = 45 x 8 cc = 360 cc
- Perdarahan
Total = suction + kassa + duk
Total = 150 + 100 + 200 = 450 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I : ½ (720) + 90 + 360 = 800 cc
Jam II : ¼ (720) + 90 + 360 = 570 cc
Darah yang hilang = + 450 cc
EBV = 65% x BB
EBV = 65% x 45 = 2.925 mL
Minimal kehilangan darah indikasi transfusi
20% x EBV = 20% x 2.925 mL = 585 mL
Total kebutuhan cairan :
Jam I + Jam II + perdarahan = 800 + 570 + 450 = 1820 cc

3. Monitoring peri operatif


TD awal: 110/70 mmHg, N: 87 x/menit, RR: 20x/menit
Jam TD (mmHg) Nadi (x/i) RR (x/i)
09.30 130/80 90 14
09.45 128/80 85 14
10.00 126/85 80 14
10.15 125/80 80 14
10.30 120/80 82 14
10.45 120/80 87 14
11.00 120/87 80 14
11.15 120/80 80 14
11.30 120/80 82 14
3.4 Ruang Pemulihan
Masuk Jam : 11.45
Keadaan umum : Kesadaran kompos mentis
Tanda vital : TD 123/78, HR 86x/menit, RR 18 x/menit
Pernafasan : baik
Skor alderate :
Aktifitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit : 2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10

Instruksi Post Op :
- Pasien Rawat ICU
- Monitoring KU dan TTV
- Tirah baring tanpa bantal
- Minum makan bertahap setelah sadar penuh
- Ikuti instruksi selanjutnya dari dr. Aprianto, Sp.BS
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Malformasi Chiari
4.1.1 Definisi
Malformasi Chiari adalah sekelompok kelainan dimana sebagian serebelum
atau otak kecil, ventrikel IV, dan pons mengalami herniasi ke bawah. Tekanan yang
dihasilkan pada otak kecil dapat menghalangi aliran cairan serebrospinal (cairan
yang mengelilingi dan melindungi otak dan spinal cord) dan dapat menyebabkan
berbagai gejala seperti pusing, kelemahan otot, mati rasa, masalah penglihatan
seperti nistagmus, sakit kepala, dan masalah dengan keseimbangan dan koordinasi.
Gejala bisa berubah untuk beberapa individual tergantung pada penumpukan CNS
dan tekanan yang dihasilkan pada jaringan dan saraf.2,3

Gambar 1. MRI otak potongan sagital, garis kuning menandakan batas bawah dari
fossa posterior.

4.1.2 Epidemiologi
Insidens yang pasti dari malformasi Chiari tipe I belum diketahui. Sebelum
adanya MRI, malformasi ini jarang terdiagnosis. Saat ini, dilaporkan 0,6% kasus
pada semua usia, dan 0,9% kasus dilaporkan pada penelitian pasien anak-anak.
Kasus malformasi Chiari tipe I lebih banyak ditemukan pada wanita dengan
perbandingan pria : wanita = 2 : 3. Tidak terdapat predileksi pada suatu ras tertentu.
Terbanyak ditemukan pada usia 10-30 tahun, oleh karena itu malformasi Chiari tipe
I disebut juga malformasi Chiari tipe dewasa. 2,3
Frekuensi terjadinya malformasi Chiari tipe II di Amerika Serikat
diperkirakan terdapat 1 kasus dalam 1000 populasi. Malformasi ini mengakibatkan
tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan. Disfungsi otak belakang
merupakan penyebab utama terjadinya kematian. Tingkat mortalitas semua pasien
malformasi ini pada tahun pertama adalah 15%. Beberapa penulis melaporkan
tingkat mortalitas jangka panjang mencapai 50%, tanpa memperdulikan jenis
pengobatannya.2

4.1.3 Etiologi
Penyebab dari Malformasi Chiari ini masih belum diketahui secara pasti,
diduga adanya gangguan pada masa perkembangan fetus dapat menyebabkan
gangguan pembentukan otak. Malformasi ini bisa disebabkan oleh paparan
terhadap bahan-bahan berbahaya pada masa perkembangan fetus atau berhubungan
dengan masalah genetik atau sindroma yang cenderung familial.4
Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa dasar dari tulang tengkorak terlalu
kecil sehingga mendorong serebellum ke bawah. Teori lain terfokus pada
pertumbuhan yang berlebih pada regio serebellar. Pertumbuhan berlebih ini
menekan serebellum ke bawah ke dalam kanalis spinalis. Ada juga yang
menyebutkan kegagalan penutupan tabung neural dengan drainase cairan
serebrospinal melalui tabung neural yang terbuka ke dalam cairan amnion terlibat
dalam terjadinya malformasi ini.
Beberapa teori menyebutkan hal-hal yang dapat mengganggu pertumbuhan
normal kepala selama kehamilan berupa :4
1. Paparan terhadap bahan-bahan berbahaya
2. Kurangnya vitamin dan nutrisi pada makanan
3. Infeksi
4. Konsumsi alkohol dan obat-obat terlarang
Malformasi Chiari tipe II hampir selalu bersamaan dengan
myelomeningocele. Penyebab myelomeningocele tidak diketahui secara pasti,
tetapi terdapat peranan genetik. Resiko terjadinya rekuren setelah seorang anak
terkena, meningkat hingga 3-4% dan meningkat sampai 10% setelah dua kehamilan
yang abnormal sebelumnya. Faktor nutrisi dan lingkungan tidak diragukan lagi
peranannya dalam terjadinya myelomeningocele. Ada bukti kuat mengenai ibu
yang mendapatkan suplemen asam folat selama kehamilan dapat menurunkan
resiko terjadinya defek tabung neural hingga 50%.2,4
Obat-obatan tertentu yang merupakan antagonis asam folat seperti
trimetoprim, dan anti konvulsi karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, dan primidon
meningkatkan resiko terjadinya myelomeningocele. Anti konvulsi seperti asam
valproat menyebabkan defek tabung neural pada 1-2% kehamilan jika obat ini
digunakan selama kehamilan.5

4.1.4 Tanda dan Gejala


Gejala-gejala yang umum terdapat pada malformasi Chiari pada bayi dan
anak-anak dapat berupa:5
1. Keterlambatan pertumbuhan
2. Kesulitan makan dan menelan
3. Kekakuan atau nyeri pada leher atau area di belakang kepala
4. Tangisan yang lemah
5. Masalah dalam bernapas
6. Sakit kepala
7. Penurunan kekuatan lengan
Salah satu gejala yang paling umum dari malformasi Chiari adalah sakit
kepala. Sakit kepala berawal dari leher atau dasar tengkorak dan bisa menjalar ke
belakang kepala. Batuk, bersin, atau membungkuk ke depan bisa memicu terjadinya
sakit kepala ini. Sakit kepala bisa dirasakan selama beberapa menit sampai
beberapa jam. Terdapat juga rasa nyeri di leher atau lengan bagian atas. Sering
dilaporkan nyeri pada satu sisi saja dibandingkan nyeri pada kedua sisi. Kelemahan
pada lengan atau tangan, beberapa orang bisa mengalami kesulitan menelan, suara
serak, gangguan penglihatan termasuk pandangan menjadi kabur, atau penglihatan
ganda.
Pada beberapa kasus, malformasi Chiari tipe I tidak menampakkan gejala.
Gejala khas malformasi Chiari tipe I muncul pada dekade ketiga atau keempat
selama kehidupan. Gejala dari malformasi ini bervariasi, kebanyakan gejala yang
timbul adalah akibat penekanan pada nervus kranialis atau batang otak. Gejala bisa
saja samar-samar atau bercampur dengan gejala penyakit lain sehingga terjadi
keterlambatan dalam mendiagnosis penyakit ini.
Berikut ini adalah beberapa variasi gejala pada malformasi Chiari tipe
I yang pernah dilaporkan pada beberapa literatur:
1. Sakit kepala daerah suboksipital
2. Gejala-gejala mata, meliputi nyeri retro-orbital, gangguan penglihatan,
fotofobia, dan diplopia
3. Gejala-gejala otoneurologik, meliputi pusing, vertigo, gangguan
pendengaran, dan nistagmus
4. Gejala-gejala penekanan otak belakang, meliputi kelemahan, parestesia,
ataksia, kelumpuhan nervus kranialis, disfagia, disfasia, palpitasi,
sinkop, apneu, dan kematian mendadak
5. Disfungsi medulla spinalis, yang muncul pada 94% pasien dengan
syringomyelia dan 66% pasien tanpa syringomyelia
6. Gejala-gejala syringomyelia, berupa gangguan sensasi / sensoris (rasa
nyeri dan suhu) dan kontrol motorik, gangguan cara berjalan
Gejala neurologis dari malformasi Chiari tipe I bisa saja tidak tampak
sampai usia dewasa. Gejala-gejalanya bisa berupa peningkatan tekanan intrakranial
utamanya sakit kepala, ataksia serebellar yang progresif, spastis kuadriparesis yang
progresif, serta nistagmus.6
Pada malformasi Chiari tipe II terdapat tanda dan gejala yang umum
berupa:3
1. Kesulitan menelan (disfagia neurogenik), yang dapat diketahui dengan
adanya kesulitan makan, sianosis selama makan, nasal regurgitasi
2. Apneu karena adanya gangguan ventilasi
3. Stridor, khususnya pada inspirasi oleh karena paresis nervus X, biasa
hanya sementara, tapi bisa berlanjut menjadi henti napas
4. Aspirasi
5. Kelemahan lengan yang bisa menjadi quadriparesis
6. Opistotonus
7. Nistagmus
8. Tangisan yang lemah
9. Kelemahan pada wajah

Tanda dan gejala malformasi Chiari tipe II dapat pula dibedakan pada bayi
dan anak-anak:2
a. Pada bayi
1. Distress pernapasan dan gangguan menelan
2. Stridor inspiratoar
3. Apneu episodik
4. Tangisan yang lemah
5. Aspirasi
6. Nistagmus
7. Nyeri pada ekstremitas
8. Kelemahan atau spastik pada ekstremitas
9. Berkurangnya refleks muntah
10. Kelumpuhan nervus VII
11. Skoliosis
b. Pada anak-anak
1. Nistagmus (horizontal dan rotatoar)
2. Spastik kuadriparesis
3. Kelemahan ekstremitas atas
4. Hiperefleks tendon dalam
5. Pneumonia sekunder rekuren yang disebabkan oleh aspirasi
6. Refluks gastroesofageal
7. Berkurangnya refleks batuk
Pada malformasi Chiari tipe II dengan myelomeningocele, tanda-tanda
serebellar tidak terlihat pada bulan pertama kehidupan. Bisa terdapat stridor
laringeal, paralisis sternokleidomastoideus (menyebabkan keterlambatan gerak
kepala ketika anak ditarik dari posisi tidur ke posisi duduk).6
4.1.5 Klasifikasi
Ada 4 tipe dari Malformasi Chiari berdasarkan keparahannya, yaitu :4
1. Tipe I
Malformasi Chiari tipe I merupakan prolapse tonsil cerebellum ke dalam
kanalis spinalis tanpa perpanjangan batang otak. Pada tipe I ini herniasi tonsil
kurang menonjol dan pada tipe ini tanpa dihubungkan dengan
mielomeningokel.

Gambar 2. Malformasi Chiari tipe I


2. Tipe II
Malforamasi Chiari tipe II merupakan herniasi tonsil cerebellum dan vermis
melalui foramen magnum kedalam kanalis spinalis. Tipe ini selalu dihubungkan
mielomeningokel, dan biasa terdapat hidrosefalus serta cacat mental dan spina
bifida.
Gambar 3. Malformasi Chiari Tipe II
3. Tipe III
Malformasi Chiari tipe III ini jarang terjadi. Tipe III ini untuk
menyempurnakan herniasi cerebellum untuk membentuk ensefalokel.

Gambar 4. Malformasi Chiari Tipe III


4. Tipe IV
Malformasi Chiari tipe IV merupakan bagian belakang otak yang gagal
untuk berkembang secara normal atau hanya cerebellar hypoplasia tanpa
melibatkan herniasi ke daerah tulang belakang.
Gambar 5. Malformasi Chiari Tipe IV
4.1.6 Diagnosis
Jika malformasi Chiari terjadi dengan kelainan kongenital lain (tampak
sejak lahir), diagnosis bisa didapat sejak lahir. Kadang kala diagnosis ditegakkan
setelah onset dari tanda dan gejala yang spesifik dan setelah tes diagnostik. Tes
diagnostik yang bisa digunakan untuk mendiagnosis adalah:2,4
1. Sinar X
Sebuah tes diagnostik yang menggunakan pancaran energi
elektromagnetik untuk menghasilkan gambaran dari jaringan dalam, tulang,
dan organ ke film. Pemeriksaan ini dapat dengan mudah terlihat anomali
tulang. Anomali tulang dasar tengkorak dapat terlihat pada 25 – 50% pasien
malformasi ini. Pemeriksaan ini juga dapat memperlihatkan skoliosis,
malfungsi shunt ventrikuloperitoneal, pembesaran dari kanalis spinalis
servikal, defek penyatuan midline posterior, juga abnormalitas tulang
anterior seperti dislokasi C1 dan C2. Tingkat kehandalan: pemeriksaan ini
penting dalam mengevaluasi abnormalitas tulang kranial dan vertebra.2,4
2. CT-scan
Sebuah tes diagnostik yang menggunakan kombinasi dari sinar X dan
teknologi komputer untuk menghasilkan gambaran cross-sectional (disebut
slices), baik horizontal maupun vertikal dari tubuh. CT-scan menampilkan
gambaran yang lebih detail bagian dari tubuh, termasuk tulang, otot , lemak,
dan organ. Banyak digunakan untuk melihat adanya hidrosefalus, ektopia
tonsillar, tonsil serebellar yang tertancap, serta kecurigaan adanya
malfungsi shunt. CT-scan dapat memperlihatkan foramen magnum yang
abnormal, dasar fossa posterior yang mendatar.2,4
CT-scan dapat sangat membantu pada pasien yang memiliki
kontraindikasi untuk dilakukan pemeriksaan MRI. CT-scan penting juga
untuk mendeteksi abnormalitas tulang.2,4

Gambar 6. Gambaran CT-scan potongan aksial, tampak hemisfer serebellar


yang meluas ke anteromedial yang hampir menutupi batang otak (kepala
panah kecil).

3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Sebuah tes diagnostik yang menggunakan gabungan dari magnet besar,
gelombang radio, dan komputer untuk menghasilkan gambaran detail dari
organ, dan struktur dalam tubuh.4
Dengan adanya MRI, evaluasi diagnostik malformasi Chiari mengalami
perubahan. MRI ini dapat mendeteksi malformasi Chiari yang sebelumnya
tidak dikenali atau salah diagnosis. Posisi tonsillar, konfigurasi tonsillar,
dan abnormalitas lainnya tampak pada potongan sagital dan aksial. Pada
pemeriksaan MRI dapat ditemukan:2,4
a. Kesalahan posisi tonsil serebellar di bawah level foramen magnum
b. Penyempitan fossa kranialis posterior
c. Elongasi otak belakang
d. Hidrosefalus obstruktif
e. Abnormalitas lainnya yang menyertai seperti syringomyelia dan
abnormalitas tulang
Salah satu hal yang dapat dinilai pada MRI adalah ektopia tonsillar. Tingkat
ektopia tonsillat diketahui dengan menghitung jarak ujung tonsillar di bawah garis
yang menghubungkan basion dan opisthion dalam satuan milimeter. Pengukuran
dilakukan pada potongan sagital T1 (gambar 1). Ujung tonsillar yang memanjang
kurang dari 3 mm di bawah garis tersebut dikatakan normal.2
Untuk dapat memenuhi kriteria malformasi Chiari kongenital, herniasi
tonsillar harus primer, bukan merupakan sebab dari adanya lesi massa seperti tumor
otak, atau udem serebri. Kriteria yang dapat digunakan adalah herniasi dari salah
satu tonsil serebellar yang berjarak 5 mm atau lebih dari garis penghubung basion
dan opisthion. Herniasi tonsillar yang kurang dari 5 mm tidak menyingkirkan
diagnosis. Herniasi kedua tonsillar 3 – 5 mm di bawah foramen magnum disertai
keadaan-keadaan lain bisa saja merupakan malformasi Chiari. Keadaan lain
tersebut dapat berupa cervicomedullary kinking, elongasi ventrikel keempat.2
Karena tonsil serebellar dipengaruhi oleh usia, maka beberapa penulis
membuat kriteria ektopia sebagai berikut:
1. Usia 0 – 10 tahun : herniasi 6 mm
2. Usia 10 – 30 tahun : herniasi 5 mm
3. Usia 30 – 80 tahun : herniasi 4 mm
4. Usia 80 – 90 tahun : herniasi 3 mm
Pada MRI juga dapat dinilai adanya hidrosefalus obstruktif. Beberapa
peneliti telah mempelajari abnormalitas aliran cairan serebrospinal pada
malformasi Chiari. Semua pasien menunjukkan adanya penyempitan jalur cairan
serebrospinal pada foramen magnum setinggi level servikal 2-3, dan ruang
subarahnoid posterior di bawah ujung tonsil serebellar. Tingkat kehandalan MRI:
100% spesifik pada ektopia tonsillar 5 mm dan 92% sensitif untuk malformasi
Chiari.2
Gambar 7. Gambaran MRI potongan sagital T1, terlihat adanya elongasi ventrikel
IV (4), hemisfer serebellar yang mendorong batang otak ke anterior (6), dan
medullary kink (9).

Gambar 8. Gambaran MRI potongan sagital T1, terlihat adanya ektopia tonsillar,
penyempitan fossa kranialis posterior, dan cervicomedullary kinking.

4.1.7 Penatalaksanaan
Pengetahuan tentang gejala-gejala yang berpotensi mengancam jiwa
membawa kepada penanganan bedah dini khususnya pada bayi. Penanganan yang
konservatif bisa menyebabkan perubahan yang ireversibel. Diagnosis dini
malformasi ini sangat penting karena merupakan penyebab utama kematian pasien
dengan myelomeningocele.2,6
Jika manifestasi tidak jelas dan belum pasti, sebaiknya tidak dilakukan apa-
apa. Jika manifestasi sudah nyata dan semakin meningkat, bisa diindikasikan
laminektomi servikal dan pembesaran dari foramen magnum. Penanganan yang
dianjurkan adalah operasi untuk menghilangkan tekanan pada area serebellar. Pada
pembedahan, bagian dasar dari tulang tengkorak dihilangkan pada bagian oksiput
dan arkus dari beberapa vertebra servikal, hal ini menyebabkan dekompresi pada
fossa posterior, aliran cairan serebrospinal kembali menjadi lancar.

4.1.8 Prognosis
Pasien malformasi Chiari memiliki prognosis jangka panjang yang baik.
Penyembuhan total setelah operasi memerlukan waktu beberapa bulan. Pada 68%
pasien menunjukkan perbaikan gejala sempurna atau hampir sempurna, 12%
memiliki gejala sisa yang ringan sampai sedang, dan 20% tidak menunjukkan
perubahan (biasanya neonatus memiliki hasil yang lebih buruk dibandingkan anak
yang lebih besar). 3

4.2 GENERAL ANESTESI


4.2.1 Pendahuluan

Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell holmes yang


menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.7
Tindakan anastesia pertama kali dilakukan di dunia moderen dan ditujukan
untuk mengurangi rasa nyeri didepan publik oleh Williem T.G Morton (1819-1868)
pada tahun 1846. Beliau adalah seorang dokter gigi yang menggunakan eter sebagai
zat anestesi. Beliau mendemostrasikan penggunaan eter secara inhalasi untuk
operasi vaskuler di daerah leher.8
Pada anestesi umum dikenal trias anestesia yakni hipnosis (hilangnya
kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia (hilangnya refleks-refleks
motorik tubuh). Kini bertambah dua komponen lagi yakni relaksasi otot dan
amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur).8
Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestesia umum. Namun demikian, semua teknik anestesi harus dapat sewaktu-
waktu dikonversikan menjadi anestesia umum. Keuntungan anestesia umum
adalah:
1. Pasien tidak sadar, mencegah kecemasan pasien selama prosedur
berlangsung
2. Efek amnesia menghilangkan memori buruk akibat kecemasan dan
kejadian intraoperatif yang dapat menimbulkan trauma psikologis
3. Memungkinkan prosedur yang dapat memakan waktu lama
4. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien

Sedangkan kerugian anestesia umum adalah:

1. Sangat mempengaruhi fisiologis, hampir semua regulasi tubuh tumpul


dibawah anestesia umum
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan sistem saraf pusat misalnya perubahan
kesadaran
4. Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar
5. Memerlukan persiapan pasien lebih seksama8

4.2.2 Fisiologi hilangnya kesadaran


Secara klasik dipercaya bahwa kesadaran hilang melalui peningkatan tonus
GABA atau inhibisi reseptor yang diaktifasi glutamat. GABA bersifat menginhibisi
impuls otak.8
Gamma aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmiter inhibitori SSP,
bekerja dengan berikatan pada reseptor di membran sel. Ikatan ini menyebabkan
terbukanya kanal ion yang memungkinkan masuknya ion Cl- atau keluarnya ion K+
sehingga terjadi hiperpolarisasi sel. Obat yang bekerja pada reseptor GABA
(GABAadrenergic) memiliki efek depresif di SSP. Obat-obaan ini biasnaya bersifat
antiansietas, antikonfulsan, menimbulkan amnesia, dan sebagainya. Contoh obat
tipikal GABA adalah golongan barbiturat, benzodiazepin, etomidat, kloralhidrat,
dan zat-zat anestetik inhalasi. Selain GABA, terdapat neurotranmiter inhibitorik
yang juga dimodulasi oleh obat anestetik yakni glisin. Obat-obat anestetik
menimbulkan potensial pada reseptor GABA dan glisin.8
Glutamat adalah neurotransmiter eksitasi utama pada SSP mamalia melalui
reseptornya yaitu NMDA (N-methyl-D-aspartate receptore), kainat, dan AMPA.
Salah satu efek unik antagonis reseptor glutamat adalah halusinogenik sehingga
kini sering digunakan sebagai recreational drug. Diantara antagonis NMDA yang
terkenal adalah ketamin, N2O, dekstrometorfan, etanol, dan xenon.8

4.2.3 Stadium anestesi


Dibuat berdasarkan penggunaan ether oleh Arthur Ernest Guedel tahun
1937 dan disebut klasifikasi Guedel, yaitu:
1. Stadium induksi : Periode sejak masuknya obat induksi hingga
hilangnya kesadaran yang ditandai antara lain dengan hilangnya reflek
bulu mata
2. Stadium eksitasi : setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan delirium.
Pernafasan menjadi ireguler, pasien dapat menahan nafas. Terjadi REM.
Timbul gerakan-gerakan involuntari dan pasien dapat muntah sehingga
membahayakan jalan nafas. Aritmia dapat terjadi pada stadium ini dan
pupil berdilatasi sebagai tanda peningkatan simpatis
3. Stadium pembedahan : terbagi atas empat pelana yakni plana satu : mata
berputar lalu terfiksasi; plana dua: refleks kornea dan laring hilang;
plana tiga: dilatasi pupil dan refleks cahaya hilang; plana 4: kelumpuhan
otot interkostal, pernafasan abdominal dan dangkal. Pada stadium ini,
otot-otot skeletal akan relaks dan pembedahan dapat dilakukan.
4. Stadium overdosis : anestesi menjadi terlalu dalam, terjadi depresi berat
semua sistem tubuh, termasuk batang otak.
Anestesia modern saat ini telah berubah, obat induksi masa kini bekerja
cepat dan telah melampaui stadium dua. Kini hanya dikenal tiga stadium dalam
anestesi yakni induksi, rumatan, dan emergensi.8

4.2.4 Penilaian dan persiapan pra-anestesi


Persiapan prabedah yang kurang memadai bisa menjadi faktor penyumbang
sebab-sebab terjadinya kecelakaan anastesi. Tujuan utama kunjungan pra anestesia
adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi, dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
a. Anamnesis
Saat menganamnesis pasien, konfirmasi identitas pasien secara lengkap,
tanyakan riwayat penyakit yang pernah diderita termasuk riwayat
pengobatan, tanyakan mengenai gaya hidup menyangkut kebiasaan
merokok, minum alkohol, dan penggunaan obat-obat rekreasional
(metemfetamin, heroin, dan kokain). Riwayat mual muntah, gata-gatal,
nyeri otot, sesak nafas pasca pembedahan/ operasi sebelumnya juga
penting untuk ditanyakan.7,8
b. Pemeriksaan fisik
Kemungkinan kesulitan intubasi dapat diperkirakan dari bentuk wajah,
leher pendek dan kaku, jarak tiromental, lidah besar, maksila yang
protursif, gigi geligi yang goyah dan sebagainya. Pemeriksaan inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi organ secara menyeluruh juga tidak
boleh dilewatkan.7
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium harus sesuai indikasi. Pada usia pasien diatas 50 tahun
disarankan untuk melakukan EKG dan foto toraks.
d. Kebugaran untuk anestesi
Klasifikasi yang lazim digunakan adalah berdasarkan American Society
of Anesthesiologysts (ASA) yaitu:
ASA 1 : pasien sehat yang akan menjalani operasi
ASA 2 : pasien yang memiliki penyakit sitemik ringan sedang tanpa
pembatasan aktifitas
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi
aktivitas rutin
ASA 4 : pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin dan mengancam nyawanya
setiap waktu
ASA 5 : pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan
diperkirakan akan meninggal dalam 24 jam7,8,9
e. Masukan oral
Lamanya puasa disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisis, dan
rencana operasinya. Umumnya pasien dewasa puasa 6-8 jam, anak besar
perlu 4-6 jam, sedangkan anak kecil dan bayi perlu 4 jam. Cairan bening
dapat diminum sedikit-sedikit hingga dua jam prabedah. Jika pasien
rentan terhadap kondisi dehidrasi, perlu dipertimbangkan untuk
memberikan cairan intravena selama periode ini.7,8
f. Premedikasi
Merupakan tindakan pemberian obat 1-2 jam sebelum tindakan
anestesia untuk mendapatkan kondisi yang diharapkan oleh
anestesiologis. Premedikasi bukanlah suatu keharusan karena tidak
semua pasien butuh premedikasi dan premedikasi pun tidak bisa
diberikan pada semua pasien. Tujuan premedikasi adalah mencegah
ansietas, mengurangi nyeri, mengurangi kebutuhan obat-obat anestetik,
mengurangi sekresi saluran nafas, menyebabkan amnesia, mengurangi
mual-muntah pasca operasi, membantu pengosongan lambung dan
mengurangi sekresi asam lambung, mencegah reflek-refleks yang tidak
diinginkan.8,9

4.2.5 Induksi dan rumatan anestesia


Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Dapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular, atau rektal.
Induksi intravena diberikan pada pasien koperatif dengan memberikan
bolus obat perlahan selama 30-60 detik. Obat yang sering diberikan adalah tiopental
(tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dosis 3-7 mg/kgBB. Propofol
(recofol, diprivan) intravena dengan dosis 2-3 mg/kgBB. Ketamin (ketalar)
intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB yang sebelum nya diberikan midazolam.
Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan TD >160 mmHg. Ketamin
menyebabkan tidak sadar dengan amta terbuka.
Rumatan anestesi dapat dikerjakan secra intravena atau inhalasi. Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi seperti fentanil 10-50
mcg/kgBB, atau propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Rumatan inhalasi biasanya
menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,50-2 vol% atau
isofluran 2-14vol% atau sevofluran 2-4vol% bergantung apakah pasien bernafas
spontan, dibantu ventilasi, atau dikendalikan.7

4.2.6 Tatalaksana jalan nafas


Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesia posisi terlentang,
tonus otot jalan nafas atas, otot genioglosus hilang, sehingga lidah akan menyumbat
hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan nafas baik totoal maupun parsial.
Keadaan ini sering terjadi dan dapat diatasi dengan manuver tripel airway,
pemasangan pharyngeal airway, laryngeal mask airway, dan endotracheal tube.
a. Tripel manuver
b. Pharyngeal airway
Digunakan jika tripel manuver tidak berhasil membuka jalan nafas.

Gambar 9. pharyngeal airway. A. Oropharyngeal airway, B.


Nasopharyngeal airway9
c. Sungkup muka
Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan
pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, 02, 01, 1 untuk anak
kecil, 2, 3 untuk anak besar, dan 4, 5 untuk orang dewasa.

Gambar 10. Sungkup muka9


d. Laryngeal mask airway
Merupakan jalan nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok dengan tepi yang dapat
dikembang kempiskan.7

Gambar 11. Pemasangan LMA3

e. Endotracheal tube
Pipa trakea akan mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam trakea.
Pada bayi dan anak, penampang pipa trakea berbentuk bulat sementara
pada orang dewasa berbentuk D, dan pada bayi dibuat tanpa kaf (cuff)
dan untuk anak besar dengan kaf agar tidak bocor.

Gambar 12. Endotrakeal tube


Untuk menentukan ukuran ETT dapat digunakan rumus 4 + usia/ 4
untuk diameter pipa dan panjang pipa menggunakan rumus 14 + usia/2
pada anak anak. Sedangkan untuk orang dewasa wanita digunakan
diameter 7-7,5 mm dan panjang 24 cm. Untuk laki-laki digunakan
ukuran diameter 7,5-9 mm dan panjang 24 cm.9

4.2.7 Pelumpuh otot


Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anastesia umum
inhalasi, melakukan blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot.
Terdapat dua jenis pelumpuh otot yakni depolarisasi dan non depolarisasi.
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin sementara non depolarisasi
berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik tetapi tak menyebabkan depolarisasi
hanya menghalangi asetilkolin menempatinya sehingga asetilkolin tak dapat
bekerja.
Jenis pelumpuh otot salah satunya adalah atrakurium dengan dosis awal 0,5-
0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi 20-45 menit dan bersifat aman
untuk hepar. Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot adalah cegukan, ada tahanan
pada inflasi paru, dan dinding perut kaku.
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase yang paling sering digunakan
adalah neostigmin, piridostigmin, dan edroponium. Dosis neogstigmin adalah 0,04-
0,08 mg/kgBB. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menimbulkan
hipersaliva, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus, pandangan
kabur, sehingga pemberiannya harus disertai dengan vagolitik seperti atropin dosis
0,01-0,02 mg/kgBB atau glikopirolat 0,005-0,001 mg/kg BB pada dewasa.7

4.2.8 Monitoring perianestesi


Anestesi bertujuan menghasilkan blokade terhadap rangsangan nyeri,
blokade terhadap memori dan kesadaran, dan blokade kerja otot lurik. Untuk
meniadakan atau mengurangi efek samping dari obat-obatan anestesi perlu
monitoring untuk mengetahui apakah ketiga hal diatas cukup adekuat, kelebihan
dosis, atau malah perlu ditambah.7
a. Monitoring kardiovaskular
Dilakukan secara non invasif dengan menilai nadi, tekanan darah dan
jumlah pendarahan selama tidakan bedah atau anestesi berlangsung
menggunakan palpasi atau tensimeter atau mesin EKG. Secara invasif,
tindakan ini dilakukan dengan kanulasi vena sentral, kanulasi swan-
ganz, atau kanulasi arteri
b. Monitoring respirasi
Dapat dilakukan dengan mengamati naik turunnya dada pasien,
stetoskop prekordial atau esofageal, oksimetri, dan kapnometri.
c. Monitoring suhu badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil
d. Monitoring ginjal
Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal. Produksi air kemih normal
minimal adalah 0,5-1 ml/kgBB/jamdimonitor pada bedah lama dan
sangat bermanfaat untuk menghindari retensi dan distensi buli-buli. Jika
produksi urin >1ml/kgBB/jam dan reduksi urin +2 dicurigai adanya
hiperglikemia.
e. Monitoring saraf
Dilakukan dnegan melihat respon pupil terhadap cahaya, terhadapa
pembedahan, terhadap otot, apakah relaksasi cukup atau tidak.7
BAB V
PEMBAHASAN
Ny. MK, 51 tahun akan menjalani operasi Foramen Magnum Decompressio
dengan anestesi general yang dipilih karena organ/ jaringan target berada di atas
T4/ di atas abdomen. Sebelum dilakukan anestesi os menjalani pemeriksaan pra-
anestesi dan tidak didapatkan kelainan serius pada organ-organ vital lainnya selain
laju endap darah pasien yang meningkat sehingga pasien termasuk ASA II.
Sebelum anestesi, os puasa selama 6 jam dan mendapatkan premedikasi berupa
injeksi ondansentron 4 mg, ranitidin 50 mg, dan dexametason 5 mg. Di dalam kamar
operasi dilakukan pengambilan nilai data dasar tanda vital, dengan denyut jantung
87 x/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, saturasi oksigen 100%. Tindakan Induksi
didahului dengan pemberian fentanyl dosis 100 mcg dilanjutkan dengan induksi
propofol dosis 150 mg dengan dosis pemeliharaan anestetika inhalasi sevofluran
2% dengan perbandingan oksigen dan N2O 2 L : 2 L, relaksasi dengan Atracurium
40 mg, setelah 2 menit dilakukan intubasi dengan pipa endotrakea anti tekuk
(nonkinked).
Selama pembedahan berlangsung, kedalaman anstesi dipertahankan dengan
anestetika inhalasi sevofluran pada konsentrassi 2% dengan perbandingan oksigen:
N2O adalah 2L/menit: 2L/menit. Propofol diberikan dalam dosis
berkesinambungan menggunakan syringe pump dengan dosis titrasi 5 ml/jam (50
mg/jam) berdasarkan fluktuasi hemodinamik dan stimulus pembedahan. Pada 30
menit sebelum pemboran, diberikan mannitol dengan dosis 0,5 gr/kg bb. Operasi
berlangsung selama 6 jam, dengan tidak dijumpai fluktuasi hemodinamik, MAP
dijaga 80-90 mmHg, perdarahan lebih kurang total 450 cc. Penggantian cairan
dilakukan dengan cairan kristaloid Ringer.
Selama 2 jam pembedahan, pasien memperoleh cairan sebanyak 2000
dengan kebutuhan cairan sebanyak 1820. Output urin terhitung 140 cc dengan
jumlah pendarahan 450 cc. Ekstubasi dilakukan tanpa kesulitan dan pasien segera
diantar ke ruang ICU dengan skor alderate keluar adalah 10. Secara umum,
pelaksanaan operasi dan tindakan anestesi berjalan lancar.
BAB VI
KESIMPULAN

Malformasi Chiari adalah sekelompok kelainan dimana sebagian serebelum


atau otak kecil, ventrikel IV, dan pons mengalami herniasi ke bawah. Tekanan yang
dihasilkan pada otak kecil dapat menghalangi aliran cairan serebrospinal (cairan
yang mengelilingi dan melindungi otak dan spinal cord). Penanganan yang terbaik
adalah dengan pembedahan untuk dekompresi pada fossa posterior, dan aliran
cairan serebrospinal kembali menjadi lancar.
Prosedur dekompresi foramen magnum membutuhkan teknik
neuroanestesia. Peningkatan tekanan intrakranial akan menyebabkan bertambahnya
herniasi, pembengkakan otak, dan menggangu lapangan pandang operator.
Hemodinamik harus dimonitor setiap saat untuk mempertahankan tekanan perfusi
otak yang baik, penurunan tekanan akan berdampak buruk terhadap oksigenisasi
jaringan otak, sebaliknya tekanan yang terlalu tinggi tidak baik untuk otak karena
akan mencetuskan pembengkakan otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
pencetuskan banyak perdarahan sehingga lapangan operasi akan sulit
diidentifikasi.1
Telah dilaporkan sebuah laporan kasus, seorang wanita usia 51 tahun
dengan malformasi Arnold Chiari tipe I dan siringomielia. Pasien datang dengan
gangguan kelemahan motorik, sensorik dan nyeri tumpul pada kedua lengan, dan
tidak dijumpai adanya tanda-tanda gangguan serebelum. Prosedur pembedahan
dekompresi foramen magnum telah berhasil dilakukan dengan anestesi umum
dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah neuroanestesi. Akan tetapi keluhan
utama pasien tidak berkurang pascaoperasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Umar Nazaruddin, Prabowo Haryo, Hamdi Tasrif. Anestesia pada Tindakan


Dekompresi Foramen Magnum pada Pasien dengan Malformasi Arnold
Chiari. JNI 2013; 2 (2):100-104
2. Incesu L. Chiari II malformation. Available from:
http://www.emedicine.com/radio/byname/chiari-ii-malformation.htm.
Accessed on Maret 2019
3. Greenberg MS. Chiari malformation. In: Handbook of neurosurgery. 6th ed.
New York: Thieme; 2006. p. 103-9.
4. Chiari malformation. Available from:
http://www.chw.org/display/PPF/DocID/22501/router.asp. Accessed on
Maret 2019
5. Johnston MV, Stephen K. Congenital anomalies of the central nervous
system. In: Richard EB, Robert MK, Hal BJ, editors. Nelson textbook of
pediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders; 2004. p. 1983-92.
6. Ropper AH, Robert HB. Developmental disease of the nervous system. In:
Adams and victor’s principles of neurology. 8th ed. New York: McGraw-
Hill; 2005. p. 861-2.
7. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi
ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta: 2002. Hal.
31-2.
8. Sugiarto, Adhrie, dkk. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anstesiologi
dan Intensive care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
2012
9. Morgan GE, Mikhail MS, Clinical anesthesiology. Stamford: Appleton &
Lange, 1996.
FOLLOW UP

Tanggal S O A P Ket
22/3/19 GCS 15 Post Op  Observasi WBC :
Nyeri TD : FMD a/i  Acc 13.03
kepala (+), 130/80 Malformasi pindah HGB :
nyeri luka N : 80 Chiari hari ruangan 11,9
operasi T : 370 C ke 1  Diet oral HCT :
RR : 20 1500 kkal 36,8
23/3/19 Nyeri GCS 15 Post Op  Observasi Na :
kepala (+), KU : FMD a/i  Diet oral 150,43
nyeri luka lemah Malformasi 1500 kkal K : 4,09
operasi, kaki TD : Chiari hari Cl :
kanan terasa 130/90 ke 2 109,99
kebas. N : 88 Ca : 1,23
T : 36,50 Alb : 3,2
C Ur : 40
RR : 20 Cr : 0,7
26/3/19 Nyeri GCS 15 Post Op  Mobilisasi Konsul
kepala (+), KU : FMD a/i bertahap spesialis
nyeri luka lemah Malformasi  Diet biasa rehab
operasi, TD : Chiari hari medis :
Pasien 130/80 ke 3 gangguan
mengeluh N : 85 kekuatan
lemah pada T : 36,50 otot dan
kaki dan C mobilisasi
kanan kiri RR : 20
Motorik
: 5/3
5/3

Anda mungkin juga menyukai