Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PADA Tn. R DENGAN PERITONITIS


DI RUANG ANGGREK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WATES
YOGYAKARTA

DI SUSUN
OLEH :

NAMA : YULINDA
NIM : KP.16.01.184

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN ( S-1)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA HUSADA
YOGYAKARTA
2018
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA Tn .R DENGAN PERITONITIS
DI RUANG ANGGREK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WATES YOGYAKARTA

Laporan pendahuluan ini telah dibaca dan diperiksa pada


Hari/tanggal : ………………………………………....

Mahasiswa Praktikan

(Yulinda)

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(…………………………….) (……………………...)
LAPORAN PENDAHULUAN
PERITONITIS

A. Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus(secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis. (Fauci et al, 2008).
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga
perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut
dan dinding perut sebelah dalam. (Smeltzer, Bare. 2009)
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera
dalam rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum
yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri. (Arif Muttaqin, 2011)

B. Etiologi
1. Infeksi bakteri
a) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b) Appendisitis yang meradang dan perforasi
c) Tukak peptik (lambung / dudenum)
d) Tukak pada tumor
e) Salpingitis
f) Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
2. Secara langsung dari luar.
a) Operasi yang tidak steril
b) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing,
disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
c) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
d) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus. (Brunner & Suddarth. 2010).

C. Patofisologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang
akan dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena
kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat
dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga
ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia. (Smeltzer, Bare. 2009)
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.
Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus. Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus
sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu
obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau
parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus
dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai
nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler,
dan keadaan umum yang merosot karena toksemia. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh
perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat
peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti
ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena
rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian
menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada
infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang,
ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga oedem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan
kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas,
misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan
terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak
terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru
setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium. (Santosa,2010)
PAHTWAY
D. Manisfestasi Klinis
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari peritonitis
adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini.(Hidayat 2013)
1. Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi, lebih
terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh gerakan. Area yang sakit dari
abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan, dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas
dan ileus peralitik dapat terjadi.
2. Mual dan muntah
3. Penurunan peristaltik.
4. Suhu dan frekuensi nadi meningkat,
5. Terdapat peningkatan jumlah leukosit.

E. Komplikasi
1. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
2. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
3. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan
terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah
1. Eviserasi luka
2. Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang
mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka” harus dilaporkan.
Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukkan adanya
dehisens luka. (Mansjoer,2011)

F. Pencegahan
Pencegahan peritonitis tergantung pada faktor risikonya. Misalnya pada pasien dengan
kondisi sirosis dan terdapat asites, dokter dapat memberikan antibiotik untuk mencegah
peritonitis. Sedangkan bagi seseorang yang menjalani CAPD, ada beberapa langkah untuk
menghindari peritonitis, yaitu:
1. Cuci tangan dengan bersih sebelum menyentuh kateter.
2. Bersihkan kulit di sekitar kateter dengan antiseptik setiap hari.
3. Simpan perlengkapan CAPD pada tempat yang higienis.
4. Kenakan masker melakukan CAPD.
5. Pelajarilah teknik CAPD yang benar.
4. Jangan tidur dengan binatang peliharaan. (Brunner & Suddarth. 2010).

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
 Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen
menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya shift to the left.
Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe
infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau
malah leukopenia
 Test fungsi hati jika diindikasikan
 Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis.
 Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
 Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan antobiotik
 BGA, untuk melihat adanya asidosis metabolic
 Pemeriksaan cairan peritonium
Pada SBP dapat ditemukan WBC > 250 – 500 sel/µL dengan dominan PMN
merupakan indikasi dari pemberian antibiotik. Kadar glukosa < 50 mg/dL, LDH cairan
peritoneum > serum LDH, pH < 7,0, amilase meningkat, didapatkan multipel
organisme. (7)
b. Radiologis
 Foto polos
Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk dan lateral dekubitus) adalah
pemeriksaan radiologis utama yang paling sering dilakukan pada penderita dengan
kecurigaan peritonitis. Ditemukannya gambaran udara bebas sering ditemukan pada
perforasi gaster dan duodenum, tetapi jarang ditemukan pada perforasi kolon dan juga
appendiks. Posisi setengah duduk berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di
bawag diafragma (seringkali pada sebelah kanan) yang merupakan indikasi adanya
perforasi organ.
 USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan atas (abses
perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan kelainan di daerah pelvis.
Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu karena penderita merasa tidak nyaman,
adanya distensi abdomen dan gangguan distribusi gas abdomen.
USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum (asites), tetapi
kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat terbatas. Area sentral dari
rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan dengan baik dengan USG
tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah flank atau punggung bisa meningkatkan
ketajaman diagnostik. USG dapat dijadikan penuntun untuk dilakukannya aspirasi
dan penempatan drain yang termasuk sebagai salah satu diagnosis dan terapi pada
peritonitis. (7)
 CT Scan
Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT Scam tidak lagi
diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering digunakan pada kasus
intraabdominal abses atau penyakita pada organ dalam lainnya. Jika memungkinkan,
CT Scan dilakukan dengan menggunakan kontra ntravena. CT Scan dapat mendeteksi
cairan dalam jumlah yang sangat minimal, area inflamasi dan kelainan patologi GIT
lainnya dengan akurasi mendekati 100%. Abses peritoneal dan pengumpulan cairan
bisa dilakukan aspirasi dan drain dengan panduan CT Scan.

H. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.(Doegoes, M. 2010)
1. Konservatif
 Indikasi terapi konservatif, antara lain:
 Infeksi terlokalisisr, mis: massa appendiks
 Penyebab peritonitis tidak memerlukan pembedahan (pankreatitis akut)
 Penderita tidak cukup baik untuk dilakukan general anestesi; pada orang tua dan
komorbid
 Fasilitas tidak memungkinkan dilakukannya terapi pembedahan.
 Prinsip terapinya meliputi rehidrasi dan pemberian antibiotik broad spectrum. Terapi
suportif harus diberikan termasuk pemberian nutrisi parenteral pada penderita dengan
sepsis abdomen di ICU.
Terapi konservatif meliputi:
1) Cairan intravena
Pada peritonitis terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga peritoneum, jumlah cairan ini
harus diganti dengan jumlah yan sesuai. Jika ditemukan toksisitas sistemik atau pada
penderita dengan usia tua dan keadaan umum yang buruk, CVP (central venous
pressure) dan kateter perlu dilakukan, balans cairan harus diperhatikan, pengukuran
berat badan serial diperlukan untuk memonitoring kebutuhan cairan. Cairan yang
dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus diinfuskan dengan cepat untuk mengoreksi
hipovolemia mengembalikan tekanan darah dan urin output yang memuaskan.
2) Antibiotik
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.
3) Oksigenasi
Sangat diperlukan pada penderita dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor dengan
pulse oximetry atau dengan pemeriksaan BGA.
4) Pemasangan NGT
Akan mengurangi muntah dan mengurangi resiko terjadinya pneumonia aspirasi
5) Nutrisi Parenteral
Pemberian analgetik, biasanya golongan opiat (i.v.) dan juga anti muntah.
2. Definitif / Pembedahan
Tindakan Preoperatif
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah antara lain :
 Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
 Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
 Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
 Pemberian terapi cairan melalui I.V
 Pemberian antibiotic
Tindakan Operatif
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
 Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas
dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
 Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning, kain
kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan
pus, darah, dan jaringan yang nekrosis
 Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin
 Irigasi kontinyu pasca operasi
3. Laparotomi
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat
dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. Pemberian
antibiotik diteruskan samapai dengan 5 hari post operasi terutama pada peritonitis
generalisata.
Re-laparotomi sangat penting terutama pada penderita dengan SP yang parah yang
dengan dilakukan laparotomi pertama terus mengalami perburukan atau jatuh ke dalam
keadaan sepsis.
4. Laparoskopi
Laparoskopi terbukti efektif dalam manajemen appendisitis akut dan perforasi ulkus
duodenal. Dan dapat juga dilakukan pada kasus perforasi kolon, tetapi lebih sering
dilakukan laparotomi. Kontraindikasi pada penderita dengan syok dan ileus
5. Lavase peritoneum dan Drainase
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Pemberian antiseptik maupun antibiotik (tetrasiklin, povidone
iodine) tidak dianjurkan karena akan menyebabkan terjadinya adesi. Antibioyik diberikan
secara parenteral akan mencapai level bakterisidal dalam cairan peritoneum. Setelah
lavase selsai dilakukan dilakukan aspirasi seluruh cairan dalam rongga abdomen karena
akan menghambat mekanisme defens lokal. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat
masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi
kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
6. Terapi post-operatif
Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik dalam hal ini perlu
diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah. Pemberian antibiotik dilanjutkan 10 – 14
hari post operasi, tergantung pada tingkat keparahan peritonitis. (LNG) Oral-feeding,
diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.
ASUHAN KEPERAWATAN PERITONITIS

1. Pengkajian
a. Biodata/ identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose, tanggal masuk, dan
alamat
b. Riwayat penyakit
1) Keluhan utama
Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit sering kali
membosankan dan kurang terlokalisasi (peritoneum viseral). Kemudian berkembang
menjadi mantap, berat, dan nyeri lebih terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak
terdapat proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada beberapa penyakit
tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat, iskemia usus) nyeri
abdomen dapat digeneralisasi dari awal
2) Riwayat kesehatan sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan suhu tubuh,
mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan didapatkan penurunan kesadaran
akibat syok sirkulasi dari septikemia
3) Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi
peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis, perawat dapat melihat pada tabel.
Penyebab dari peritonitis sebagai bahan untuk mengembangkan pernyataan.
Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis
dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi pola makan,
gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita keluarga sehingga dapat
menyebabkan peritonitis seperti penyakit apendititis, ulkul peptikum, gastritis,
divertikulosis dan lain-lain
c. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana pembedahan,
serta perlunya pemenuhan informasi prabedah
d. Pemeriksaan fisik
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
1) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan
2) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan hemodinamik.
3) Suhu badan meningkat ≥38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien tampak
legarti serta syok hipovolemia
4) Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
a) Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen didapatkan
pada hampir semuja pasien dengan peritonitis dengan menunjukkan
peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien dengan peritonitis berat sering
menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul tertekuk untuk mengurangi
ketegangan dinding perut. Perut sering mengembung disertai tidak adanya
bising usus. Temuan ini mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan
perut juga mengungkapkan peradangan massa
b) Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah satu tanda
ileus obstruktif
c) Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh, adanya
darah atau cairan dalam rongga peritoneum akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas dibawah
diafragma. Pemeriksaan rektal dapat memunculkan nyeri abdomen, colok dubur
ke arah kanan mungkin mengindikasikan apendisitis dan apabila bagian anterior
penuh dapat mengindikasikan sebuah abses. Pada pasien wanita, pemeriksaan
bimanual vagina dilakukan untuk mendeteksi penyakit radang panggul
(misalnya endometritis, salpingo-ooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi temuan
sering sulit diinterprestasikan dalam peritonitis berat
d) Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen
e. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan laboratorium, meliputi hal-hal berikut :
a) Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan leukositosis
(>11.000 sel/µL)
b) Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
c) Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk mendeteksi disfungsi
pembengkuan
d) Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
e) Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih, namun pasien
dengan perut bagian bawah dan infeksi panggul sering menunjukkan sel darah
putih dalam air seni dan mikrohematuria
f) Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia
g) Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan
peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diindikasi
dengan kultur
2. Pemeriksaan radiografik
a) Foto polos abdomen
Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin didapatkan usus halus dan
usus besar berdilatasi. Udara bebas hadir dalam kebanyakan kasus anterior perforasi
lambung dan duodenum, tetapi jauh lebih jarang dengan perforasi dari usus kecil dan
usus besar, serta tidak biasa dengan appendiks perforasi. Tegak film berguna untuk
mengidentifikasi udara bebas di bawah diafragma (paling sering disebalah kanan) sebagai
indikasi adanya viskus berlubang
b) Computed tomography scan (CT scan)
CT scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk abses
peritoneal. CT scan ditunjukkan dalam semua kasus dimana diagnosis tidak dapat
dibangun atas dasar klinis dan temuan foto polos abdomen. Abses peritoneal dan cairan
lain dapat diambil untuk diagnostik atau terapi dibawah bimbingan CT scan.
c) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnostis dicurigai abses intra-
abdomen. Abses abdomen menunjukkan penurunan itensitas sinyal pada gambar T1-
weighted dan homogen atau peningkatan intensitas sinyal heterogen pada gambar T2-
weighted. Terbatasnya
d) USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan atas (misalnya perihepatic
abses, kolesistitis, biloma, pankreatitis, pankreas pseudocyst), kuadran kanan bawah, dan
patologi pelvis (misalnya appendisitis, abses tuba-ovarium, abses Douglas), tetapi
terkadang pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya nyeri, distensi abdomen dan
gangguan gas usus. USG dapat mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites),
tetapi kemampuannya untuk mendeteksi jumlah kurang dari 100 ml sangat terbatas.

3. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga
abdomen/peritoneal (distensi abdomen)
2. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder akibat infeksi atau
inflamasi
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prognosis penyakitnya
Rencana keparawatan

DIAGNOSA PERENCANAAN

NO KEPERAWATAN TUJUAN RENCANA

1 Nyeri akut yang Setelah di lakukan NIC label :


berhubungan dengan tindakan keperawatan 3 x
24 jam di harapkan pasien Manajemen Nyeri
akumulasi cairan dalam
mencapai kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian yang
rongga dengan dengan kriteria komprehensif yang meliputi
abdomen/peritoneal hasil : lokasi, durasi, frekuensi,
(distensi abdomen) kualitas, intensitas dan
NOC label : Kontrol
beratnya nyeri dan faktor
nyeri
pencetus.
Indikator A T 2. Pastikan perawatan
analgesik di lakukan dengan
Nyeri yang 3 5 pemantauan yang ketat.
di laporkan 3. Gali pengetahuan dan
Panjangnya 2 5 kepercayaan pasien tentang
episode nyeri
nyeri 4. Berikan informasi mengenai
nyeri seperti penyebab
Mengerang 4 5 nyeri, berapa lama nyeri
dan akan di rasakan dan
menangis antisipasi dari ketidak
nyamanan akibat prosedur.
Ekspresi 3 5
wajah

mengerinyit 4 5
DIAGNOSA PERENCANAAN

NO KEPERAWATAN TUJUAN RENCANA

2 Hipertermi Setelah dilakukan NIC label :


berhubungan dengan tindakan keperawatan 3 x
24 jam di harapkan pasien Perawatan Demam
kerusakan kontrol suhu
mencapai termoregulasi 1. Pantau suhu dan tanda-tanda
sekunder akibat infeksi dengan kriteria hasil : vital lainnya
atau inflamasi 2. Monitor warna kulit dan
NOC label:
suhu
Termoregulasi
3. Beri obat dan cairan iv (
Indikator A T misalnya antipiretik, agen
anti menggigil )
Peningkatan 3 5 4. Tutup pasien dengan selimut
suhu tubuh atau pakaian ringan
Hipertermia 1 5 tergantung pada fase
demam
Perubahan 3 5 5. Tingkatkan sirkulasi udara
warna kulit 6. Pantau komplikasi -
komplikasi yang
berhubungan dengan
demam serta tanda dan
gejala kondisi penyebab
demam
DIAGNOSA PERENCANAAN

NO KEPERAWATAN TUJUAN RENCANA

3 Konstipasi berhubungan Setelah dilakukan NIC label :


dengan penurunan tindakan keperawatan 3 x Manajemen Nutrisi
peristaltik usus. 24 jam di harapakan BAB
1. Catat adanya distensi
pasien lancar dengan abdomen dan auskultasi
kriteria hasil : peristaltic usus.
NOC label: BAB pasien 2. Anjurkan pasien untuk
miring kanan dan miring
lancar
kiri
Indikator A T 3. Beri pasien makanan
BAB pasien 3 5 yang mengandung serat
4. Kolaborasi dalam
teratasi
pemberian huknah
/lavement dan obat
supositoria
Peristaltik 2 5
normal
Perut tidak 3 5
kembung
DIAGNOSA PERENCANAAN

NO KEPERAWATAN TUJUAN RENCANA

4 Kurang pengetahuan Setelah di lakukan tindakan NIC label :


berhubungan dengan keperawatan 3 x 24 jam di
harapkan pasien mencapai Pengajaran proses
prognosis penyakitnya penyakit
pengetahuan : manajemen
peritonitis dengan kriteria 1. Jelaskan patofisiologi
hasil : dari penyakit dan
bagaimana hal ini
NOC label : Pengetahuan
berhubungan dengan
:Manajamen peritonitis
anatomi fisiologi.
Indikator A T 2. Gambarkan tanda dan
gejala yang muncul
Pasien tidak 2 5 3. Gambarkan proses
bertanya-tanya lagi penyakit dengan cara
tentang yang tepat
penyakitnya 4. Identifikasi
Pasien mengerti 3 5 kemungkinan penyebab
dan memahami 5. Berikan informasi
tentang tentang pencegahan.
penyakitnya
DAFTAR PUSTAKA

 Doegoes, M. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: ECG

 Smeltzer, Bare. 2009. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta: EGC

 Fauci et al, 2008. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 9. Volume 3.EGC : Jakarta.

 Mansjoer, Arif, DKK. 2011. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

 Santosa, Budi. 2010. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Prima Medika.

 Hidayat, A. Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah. 2013. Buku Saku Praktikum Kebutuhan

Dasar Manusia. Jakarta : EGC.

 Brunner & Suddarth. 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.EGC :

Jakarta.

 Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan

Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika

 Nursing Diagnose :Definitions and Classification 2015-2017.Nanda Internasional

 Nursing Interventions Classification (NIC).six edition.elsevier mosby.2013


 Nursing Outcomes Classification (NOC).Fifth Edition.Elsevier Mosby.2013

Anda mungkin juga menyukai