Syndrome Atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) Adalah Sekumpulan Gejala
Syndrome Atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) Adalah Sekumpulan Gejala
Menurut Marx dalam Zeth (2010), yang dimaksud dengan Acquired Immunodeficiency
Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala
dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia
akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies
lainnya. Virusnya disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar-benar bisa disembuhkan. (Zeth, 2010)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang spesifik
menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem kekebalan tubuh pada
orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi, sehingga dapat menyebabkan
timbulnya AIDS. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan
gejala/tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik) karena
penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena imunitas
tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang biasanya tidak
menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai virus, jamur,
bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara lain kulit, saluran
cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga mungkin timbul. (Menkes,
2014)
HIV terdiri dari suatu bagian inti yang berbentuk silindris yang dikelilingi oleh
lipid bilayer envelope. Pada lipid bilayer tersebut terdapat dua jenis glikoprotein yaitu
gp120 dan gp41. Fungsi utama protein ini adalah untuk memediasi pengenalan sel CD4+
dan reseptor kemokin dan memungkinkan virus untuk melekat pada sel CD4+ yang
terinfeksi. Bagian dalam terdapat dua kopi RNA juga berbagai protein dan enzim yang
penting untuk replikasi dan maturasi HIV antara lain adalah p24, p7, p9, p17,reverse
transkriptase, integrase, dan protease. Tidak seperti retrovirus yang lain, HIV
menggunakan Sembilan gen untuk mengkode protein penting dan enzim. Ada tiga gen
utama yaitu gag, pol, dan env. Gen gag mengkode protein inti, gen pol mengkode enzim
reverse transkriptase, integrase, dan protease, dan gen env mengkode komponen
struktural HIV yaitu glikoprotein. Sementara itu, gen rev, nef, vif, vpu, vpr, dan tat
penting untuk replikasi virus dan meningkatkan tingkat infeksi HIV. (Yuliyanasari, 2017)
1. Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah virus
yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan, terlebih jika disertai
IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat menularkan HIV,
baik genital, oral maupun anal.
2. Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui kontaminasi
darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit) dan transplantasi organ
yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan peralatan medis yang tidak steril,
seperti suntikan yang tidak aman, misalnya penggunaan alat suntik bersama pada
penasun, tatto dan tindik tidak steril.
3. Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama kehamilan
melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi melalui darah atau cairan genital
saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi.
Terdapat tiga fase manifestasi klinis perjalanan alamiah infeksi HIV, yaitu sebagai
berikut (Menkes, 2014):
1. Fase I
Pada fase I terjadi masa jendela (window period) dimana tubuh sudah terinfeksi HIV,
namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada masa
jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak infeksi
awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain. Sekitar 30-50%
orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran
kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti
gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan.
Fase “flu-like syndrome” ini terjadi akibat serokonversi dalam darah, saat replikasi virus
terjadi sangat hebat pada infeksi primer HIV.
2. Fase II
Pada fase II terjadi masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga
gejala ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala
penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan HIV
kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3 tahun; sedangkan
masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai
radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilang timbul walaupun diobati.
3. Fase III
Fase III terjadi masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan
tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi
oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut,
kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ lain
di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan sampai lebih
dari 10% dari berat awal.
World Health Organization (WHO) menyatakan stadium klinis infeksi HIV yang
dapat digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif
berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen secara
serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium klinis ini berguna untuk
memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif dan berkesinambungan.
(Menkes, 2014):
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Sakit
Asimptomatik Sakit ringan Sakit sedang berat (AIDS)
Berat badan Tidak ada Penurunan BB Penurunan BB > Sindroma wasting
(BB) penurunan BB 5 10% 10% HIV
Pencegahan penularan HIV pada wanita dilakukan secara primer, yang mencakup
mengubah perilaku seksual dengan menetapkan prinsip ABC, yaitu Abstinence (tidak
melakukan hubungan seksual), Be faithful (setia pada pasangan), dan Condom (pergunakan
kondom jika terpaksa melakukan hubungan dengan pasangan), Don‟t Drug, Education.
Wanita juga disarankan tidak menggunakan narkoba, terutama narkoba suntik dengan
pemakaian jarum bergantian, serta pemakaian alat menoreh kulit dan benda tajam secara
bergantian dengan orang lain (misalnya tindik, tato, silet, cukur, dan lain-lain). Petugas
kesehatan perlu menetapkan kewaspadaan universal dan menggunakan darah serta produk
darah yang bebas dari HIV untuk pasien. (Nursalam dalam Kumalasari, 2013)
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV Dan Sifilis
Dari Ibu Ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Hal 6-10. ISBN 978-602-235-502-1.
Jakarta.
Gunawan Yudhi Tri. Irma Prasetyowati dan Mury Ririanty. Hubungan Karakteristik ODHA
Dengan Kejadian Loss To Follow Up Terapi ARV Di Kabupaten Jember. Jurnal
IKESMA Volume 12 Nomor 1 Maret 2016, Hal 53-64.
Zeth, Arwam Hermanus Markus. Ahmad Husain Asdie. Ali Ghufron Mukti dan Jozh Mansoden.
Perilaku Dan Risiko Penyakit Hiv-Aids Di Masyarakat Papua Studi Pengembangan
Model Lokal Kebijakan Hiv-Aids. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Volume
13 No. 04 Desember 2010 Halaman 206 – 219.