Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas karunia rahmat hidayah-
Nya, kegiatan penyusunan makalah dapat terlaksana dengan baik.

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu kegiatan proses belajar-mengajar


di SMA Negeri 3 watampone, dalam upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam
meningkatkan ilmu pengetahuan yang bernuansa Islami. Makalah yang berjudul
“Kerajaan Islam Di Bima” ini menyajikan tentang proses mulai dari sejarah Kerajaan
Bima sampai budaya yang ada di Bima. Makalah ini berasal dari kumpulan berbagai
buku dan situs web yang kami cari, kemudian sedemikian rupa kami singkat menjadi
sebuah makalah.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Guru pengajar yang telah
memberikan kami bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian makalah ini. Akhirnya,
semoga Allah meridhoi kegiatan penyusunan makalah ini dan memberikan manfaat bagi
kita semua yang membacanya.
BAB I

LATAR BELAKANG

Pada akhir abad XV sampai awal abad XVI Bima merupakan sebuah kerajaan
maritim yang diperhitungkan terutama pada di bidang perniagaan dan politik. Pada saat
itu dipimpin oleh Raja Manggampo Donggo dan Ma Wa’a Npada. Catatan Tome Pires,
seorang berkebangsaan Portugis, menceritakan pada tahun 1513 M Bima dipimpin
oleh seorng raja kafir yang memiliki banyak perahu, bahan makanan dan kayu sopang
yang dibawanya ke Malaka untuk dijual ke Cina.

Pada abad XVII M, Bima adalah pusat penyiaran Islam di Nusantara bagian
timur bersama dengan Ternate dan Makassar. Akhir abad XVII peran Bima menjadi
lebih besar dari Ternate dan Makassar. Karena pada awal abad XVII M Belanda sudah
berhasil melunakkan Sultan Mandarsyah Ternate dan kemudian pada tahun 1669 dapat
melumpuhkan kekuatan Makassar sebagai kesultanan yang disegani di Indonesia bagian
timur. Pemerintahan kesultanan Bima ketika itu dipimpin oleh Abil Khair Sirajudin
(sultan Bima ke-2 menjabat pada tahun 1640-1682). Pemerintahan kesultanan Bima
berlangsung dari tahun 1640 sampai dengan 1950.

1. Lokasi kerajaan bima


Letak Kerajaan Bima di pantai timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat atau
lebih tepatnya yang kini menjadi kota Bima.
2. Asal-Usul Kerajaan bima
Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir
peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan
berhasil menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai
masa Islam.
Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara
abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang
dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut
jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama
yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin.
Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada
abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa
aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak pernah
menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain
pernah digunakan.
Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam
bahasa Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan
bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan
dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu.

Bima di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto
Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).

1.Jaman Naka (Prasejarah)

Kebudayaan masyarakat Bima pada jaman Naka masih sangat sederhana.


Masyarakat belum mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian,
peternakan, pertukangan atau perindustrian serta perniagaan dan pelayaran. Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari dan mengumpulkan kekayaan alam
yang ada disekitarnya seperti umbia-umbian, biji-bijian dan buah-buahan. Selain
mencari dan mengumpulkan makanan untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah
gemar berburu.
Dalam istilah ilmu arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari hasil
kekayaan alam disebut masyarakat pengumpul (Food Gathering).
Kehidupan masyarakat pada jaman Naka (Prasejarah) selalu berpindah-pindah dari
suatu tempat ke tempat lain. Masyarakat pada jaman Naka sudah mengenal agama atau
kepercayaan. Kepercayaan yang meraka anut pada masa itu disebut Makakamba dan
Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah disebut kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Menurut kayakinan mereka pada masa itu, alam beserta isinya diciptakan oleh Maha
Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan. Marafu tersebut merupakan tempat semayam di
mata air, pohon-pohon besar atau batu-batu besar. Dan tempat untuk bersemayamnya
Marafu tersebut Parafu Ro Pamboro.
Pada saat itu juga mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Makakamba
Makakimbi di tempat bersemayamnya Parafu yaitu Parafu Ro Pamboro. Upacara yang
mereka lakukan disebut “Toho Dore”. Dalam upacara tersebut dibacakan mantra atau
do’a serta persembahan dan dalam tradisi upacara “Toho Dore” diberikan berupa
sesajen dan penyembelihan hewan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin
yang disebut Naka.
Naka adalah bukan hanya sebagai seorang pemimpin agama tetapi Naka juga
merupakan pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Naka tersebut sangat dihormati,
sehingga masyarakat pada masa itu, selain menyembah Marafu, mereka juga sangat
menghormati arwah leluhur terutama arwah Naka. Masyarakat pada masa itu, sangat
menjunjung tinggi asas Mbolo Ro Dampa (Musyawarah) dan Karawi Kaboju (Gotong
Royong). Segala sesuatu selalu dimusyawarahkan

2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)

Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu
jaman Ncuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M, masyarakat Bima mulai
berhubungan dengan para pedagang dan musafir yang berasal dari daerah lain. Para
pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Ternate.
Pada saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal sistem ilmu pengetahuan dan
teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah
mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota
dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti
diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas
dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan
pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai
pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi,
masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi
bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju.
Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro
Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh
falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan dengan para pedagang dan
musafir dari daerah luar semakin intim. Sehingga para pedagang dan musafir dari
seluruh pelosok nusantara, terutama para pedagang dan musafir dari Jawa Timur
semakin bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa Timur mendirikan
perkampungan di pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa Kecamatan Donggo
sekarang. Sampai sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat disaksikan sebagai
peninggalan sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu disebut situs yang oleh
masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah seorang tokoh pedagang dan
musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu bernama Sang Bima. Sang Bima
tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.
Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama semakin maju. Kehidupan
masyarakat semakin bertambah makmur dan sejahtera dan mereka hidup rukun dan
damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju tetap diamalkan dan falsafah
Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.
Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan, seluruh Ncuhi mengadakan
Mbolo Ro Dampa di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara. Dalam keputusan Mbolo
Ro Dampa :

 Masyarakat dan seluruh Ncuhi, mengangkat Ncuhi Dara sebagai pemimpin


masyarakat Bima.
 Ncuhi Parewa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Selatan, yaitu di
kecamatan Belo, Woha dan Monta sekarang.
 Ncuhi Bangga Pupa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Utara, yaitu di
kecamatan Wera sekarang.
 Ncuhi Bolo diangkat menjadi pemimpin di wilayah Barat, yaitu di kecamatan
Bolo dan Donggo sekarang.
 Ncuhi Doro Woni diangkat menjadi pemimpin di wilayah Timur, yaitu di
kecamatan Wawo dan Sape sekarang.
Gabungan dari seluruh wilayah Dana Mbojo, diberi nama Babuju. Sesuai dengan nama
tempat dalam Mbolo Ro Dampa. Nama Mbojo berasal dari kata Babuju.

3. Jaman Kerajaan (Masa Klasik)

Sebelum langsung terjadinya ke jaman kerajaan, menurut dalam cerita legenda


dalam kitab BO (catatan kuno kerajaan Bima) bahwa Sang Bima pertama kali berlabuh
di pulau Satonda, kemudian bertemu dengan seekor naga bersisik emas. Sang naga
melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama putri Tasi Sari Naga.
Sang Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan dua orang putra yang
bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima tersebut kelak
menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Bima. Setelah Sang Bima bertemu dengan putri
Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri dari penguasa setempat (Ncuhi) di pulau
Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata dengan pulau Jawa. Sang Bima
juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat dalam kitab Negarakertagama,
wilayah kekuasaan Majapahit.

Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di


bawah pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur,
Sang Bima mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra
Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan anak
angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa
untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil kesepakatan
dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja di Bima sedangkan
Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.

Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan menjadi sangaji atau raja
pertama di Bima. Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu pengetahuan dalam
pemerintahan. Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat Bima memasuki jaman
baru, yaitu jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah dipegang oleh Ncuhi, tetapi
dipegang oleh sangaji atau raja.

Sejak berdirinya kerajaan sekitar pertengahan abad 11 M, dana Mbojo memiliki


dua nama, yaitu nama Mbojo dan Bima. Masa pertumbuhan masa kerajaan Bima,
setelah dilantik menjadi sangaji atau raja, untuk membangun kerajaan, Indra Zamrud
dibantu oleh para Ncuhi, terutama Ncuhi Dara, Ncuhi Parewa, Ncuhi Bolo, Ncuhi
Bangga Pupa dan Ncuhi Doro Woni. Nama jabatan pada masa kerajaan terebut yaitu
jabatan seperti Tureli Nggampo atau Rumabicara (Perdana Menteri), Tureli (Menteri),
Rato Jeneli, Gelerang dan Jabatan lain yang mulai populer pada masa sangaji
Manggampo Donggo. Tureli Nggampo atau Rumabicara yang terkenal, yaitu bernama
Bilmana.

4. Zaman Kesultanan (Masa Islam)

Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan


mengalami kekacauan. Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji
Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena
Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena
Teke La Ka’i yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I
terpaksa meninggalkan istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan
kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi
dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai
berikut :

1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M


Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan
Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri datang ke Bima dengan tujuan
untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima
adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang
berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya
Sultan Trenggono.

2. Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M

Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk
menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah
adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate,
tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan
Bab’ullah mangkat.

3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M

Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar
Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone
untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di
Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh
Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di
Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk
agama Islam. Sejak itu mereka mengganti nama :

 La Ka’I menjadi Abdul kahir


 La Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai menjadi Jalaluddin
 Bumi Jara Mbojo di Sape menjadi Awaluddin
 Manuru Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Sejak La Ka’i memeluk agama Islam, maka rakyat juga ikut berbondong-bondong
memeluk agama Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kerajaan Bima

Bima adalah kabupaten daerah tingkat II di propinsi Nusa Tenggara Barat dan
kerajaan yang terpenting di pulau sumbawa maupun di kawasan pulau-pulau Sunda
Kecil pada kurun waktu abad ke 17-19. Dengan terbentuknya propinsi daerah tingkat I
Nusa Tenggara Barat melalui UU No.64/1958, maka sebagian besar wilayah kerajaan
bima yang pada waktu itu masih berstatus sebagai Swapraja menjadi wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Bima dengan Ibu kotanya di Raba-Bima.1

Kerajaan Bima merupakan salah satu diantara 6 kerajaan yang pernah ada di
pulau Sumbawa yaitu Dompu, Sanggar, Tambora, Papekat, Sumbawa dan Bima. Sejak
kapan dan bila mana kerajaan Bima didirikan dan oleh siapa belum ada sumber yang
pasti. Dalam kitab Negara kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 M,
disebutkan bahwa Taliwang, Dompu, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Seram atau Seran,
Hutan Kadali termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Meskipun ahli-
ahli arkeologi dan sejarah berpendapat bahwa nama-nama tersebut berlokasi di pulau
sumbawa ataukah sebagai tempat singgah (pelabuhan) para pelaut yang kemudian di
taklukkan oleh kerajaan Majapahit.

Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti dan manuskrip. Sumber-sumber


tersebut menceritakan tentang fase sejarah sejak masa prasejarah hingga masuknya
Islam. Ada dua prasasti yang ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu berbahasa
Sanskerta dan satunya lagi berbahasa Jawa kuno. Ini menunjukkan bahwa, kedua bahasa
tersebut ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain prasasti, juga banyak terdapat
naskah-naskah kuno yang ditulis di era Islam, sehingga bisa digunakan untuk
mengungkap sejarah di era tersebut. Naskah kuno berbahasa Melayu tersebut
menceritakan kehidupan sejak abad ke-17 hingga 20 M. Selain bahasa Melayu,
sebenarnya bahasa Bima juga cukup berkembang, namun, bahasa ini belum mencapai
taraf bahasa tulis.

Bo Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis dalam
bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada abad ke-14 M.
Ketika itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang disebut Ncuhi. Pulau
Sumbawa tersebut terbagi dalam lima wilayah kekuasaan Ncuhi: selatan, barat, utara,
timur, dan tengah. Ncuhi terkuat adalah Ncuhi Dara, wilayahnya disebut Kampung
Dara. Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud, anak Sang
Bima diangkat menjadi Raja Bima pertama. Selanjutnya, Indra Zamrud menggunakan
nama ayahnya, yaitu Bima untuk menyebut kawasan yang meliputi pulau Sumbawa
tersebut.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang
pertama. Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam
bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara.
Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang
pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima
memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi
dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.

Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan
nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang.
Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku. Pada masa kesultanan,
suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis.
Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta
bahasa suku Makasar dan Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku
Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu,
mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat
istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo. Dou Donggo bermukim di dua
tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo
sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang
bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang
Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou
Donggo Ele (orang Donggo Timur).

B. Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kejayaan

Pada masa pemerintahan sangaji Manggampo Jawa, di sekitar abad 14 M,


kerajaan Mbojo Bima mengalami kemajuan yang amat pesat. Manggampo Jawa adalah
putra sangaji Indra Terati dengan permaisuri yang berasal dari bangsawan Majapahit.
Itulah sebabnya Manggampo Jawa menjalin kerja sama dengan Majapahit dalam
membangun kerajaan. Dalam rangka meningkatkan kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, Manggampo Jawa mendatangkan para ahli dari Majapahit,
dibawah pimpinan Ajar Panuli. Ajar Panuli dan kawan-kawannya, mengajarkan sastra
jawa kepada para pembesar istana dan rakyat. Mulai saat itu, rakyat mengenal tulisan,
Menurut ahli sejarah, pada masa itu pula sangaji Manggampo Jawa, merintis penulisan
naskah kuno yang bernama “bo”. Sayang naskah kuno bo yang ditulis pada masa
Manggampo Jawa, sudah tidak ada lagi. Bo yang merupakan sumber sejarah yang
masih ada sekarang, berasal dari bo yang ditulis pada masa kesultanan. Selain berjasa
dalam bidang sastra, Ajar Panuli berhasil memajukan ilmu teknologi. Ia mengajarkan
cara pembuatan batu bata dan pembuatan keris serta tombak.

Pada masa pemerintahan Batara Indra Luka putra Manggampo Jawa, hubungan
dengan Majapahit masih terjalin dengan intim. Begitu pula pada masa pemerintahan
sangaji Maha Raja Indra Seri, putra dari Batara Indra Luka. Ketika pemerintahan
sangaji Ma Wa’a Paju Longge, putera dari Maha Raja a Indra Seri, hubungan dengan
Majapahit terputus. Sebab pada saat itu Majapahit sudah mengalami kemunduran.
Karena terjadi perang saudara yang berkepanjangan, setelah wafatnya Gajah Mada pada
tahun 1364. Ma Wa’a Paju Longge yang, memerintah di sekitar abad 15 M,
meningkatkan hubungan dengan kerajaan Gowa. Pada saat itu kerajaan Gowa, sedang
berada dalam jaman kejayaan, di bawah raja Imario Gau Tumi Palangga. Ma Wa’a Paju
Longge pergi ke Gowa untuk mempelajari ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu yang lain.
Kemudian ia mengirim dua orang saudaranya, yang bernama Bilmana dan Manggampo
Donggo ke Gowa. Sejak itu sistim politik pemerintahan, pertanian, pertukangan dan
pelayaran serta perniagaan, mengikuti sistim yang berlaku di Gowa. Seni budaya Gowa
ikut pula mempengaruhi seni budaya Mbojo Bima. Setelah sangaji Ma Wa’a Paju
Longge mangkat, ada satu peristiwa yang menarik untuk dijadikan contoh bagi generasi
muda. Menurut ketentuan yang berlaku, apabila sangaji yang mangkat tidak mempunyai
putera, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang tertua. Ketentuan itu
terpaksa dilanggar oleh Bilmana dan Manggampo Donggo. Dengan penuh keikhlasan,
Bilmana menyerahkan jabatan sangaji kepada adiknya Manggampo Donggo. Ia sendiri
memegang jabatan Tureli Nggampo (perdana menteri). Hal ini dilakukan demi rakyat
dan negeri. Karena Manggampo Donggo memiliki bakat dan keahlian untuk menjadi
sangaji. Sedangkan Bilmana cocok untuk menjadi Tureli Nggampo. Kebijaksanaan ini
diperkuat dengan sumpah yang bernama sumpah Bilmana dan Manggampo Donggo.
Sejak itu keturunan Manggampo Donggo menjadi raja dan sultan. Sebaliknya, anak
cucu Bilmana menjadi Tureli Nggampo atau Ruma Bicara. Manggampo Donggo
bersama Bilmana, bahu membahu membangun kerajaan. Mereka berjuang tanpa kenal
menyerah.

Sistim pemerintahan, disempurnakan dan disesuaikan dengan sistim yang


berlaku di kerajaan Gowa. Selain sangaji dan Tureli Nggampo, diangkat pula tureli
(menteri), jeneli (camat), gelara (kepada desa). Pelayaran dan perniagaan pun
berkembang dengan pesat. Kapal dan perahu ditingkatkan jumlah dan mutunya.
Mengikuti ilmu pelayaran dan perniagaan kerajaan Gowa.

Perkembangan dalam bidang sastra dan seni budaya pun cukup cerah.
Manggampo Donggo memperkenalkan aksara yang dipelajari dari Gowa. Aksara itu
akhirnya menjadi aksara Mbojo. Manggampo Donggo melanjutkan penulisan Bo
dengan aksara Mbojo.

Seni budaya dari Gowa, dipelajari dan dikembangkan ditengah masyarakat.


Sehingga lahir seni budaya Mbojo, yang banyak persamaan dengan seni budaya
Makasar dan Bugis.

Wilayah kekuasaan kerajaan Mbojo Bima, terbentang luas dari P. Satonda di sebelah
barat sampai ke Alor Solor di sebelah Timur. Perluasan wilayah dilakukan oleh La
Mbila putera Bilmana. Kejayaan kerajaan Mbojo Bima, terus bertahan sampai pada
sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, putera Manggampo Donggo disekitar abad 16 M.
C. Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kemunduran

Setelah sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, maka cahaya kejayaan kerajaan mulai
redup dan akhirnya padam. Pasti ada dikalangan generasi muda yang bertanya
keheranan. Kenapa terjadi petaka di kerajaan yang jaya dan besar itu ?. Apakah karena
diserang oleh musuh dari luar atau karena ada pemimpin dan rakyat yang berkhianat ?.

Timbulnya petaka bukan karena serangan musuh dari luar, tetapi karena ada musuh
dalam selimut. Salah seorang putera raja Ma Wa’a Ndapa yang bernama Salisi
berkhianat kepada don labo dana (rakyat dan negeri). Ia berambisi menjadi Sangaji.
Untuk mewujudkan ambisinya, Salisi membunuh Sangaji Samara kakaknya sendiri.
Kemudian, ia membunuh Jena Teke (putera mahkota) di padang perburuan mpori Wera.
Walau demikian Salisi tidak berhasil mewujudkan cita-citanya. Majelis Hadat bersama
seluruh rakyat mengangkat Sawo (Asi Sawo) menjadi Sangaji. Salisi bertambah
kecewa, ia menunggu waktu yang tepat guna mewujudkan cita-citanya.

Pada masa pemerintahan Sangaji Asi Sawo, untuk sementara waktu Salisi
berdiam diri, guna menyusun kekuatan. Pada tahun 1605, Salisi menjalin kerja sama
dengan Belanda di pelabuhan Ncake (wilayah desa Roka Kecamatan belo / Pali Belo
sekarang). Kerja sama itu dinyatakan dalam satu perjanjian yang disebut perjanjian
Ncake. Saat yang dinanti-nanti oleh Salisi tiba. Ketika Sangaji Asi Sawo mangkat,
Salisi berusaha untuk membunuh putera Asi Sawo yang bernama La Ka’i, yang sudah
diangkat oleh Majelis Hadat sebagai Jena Teke.

Suasana istana dan seluruh negeri kembali kacau. La Ka’i bersama pengikut Iari
meninggalkan istana. Pergi bersembunyi di desa Teke (Kecamatan Belo / Pali Belo
sekarang), kemudian pindah ke dusun Kalodu yang berada di tengah hutan belantara.
Dengan bantuan Belanda, untuk sementara Salisi berhasil menguasai istana. Kemarahan
dan kebencian rakyat kepada Salisi kian berkobar. Mereka terus menyusun kekuatan
untuk mengembalikan La Ka’i ke tahta kerajaan. Akibat ulah Salisi, akhirnya kerajaan
Mbojo Bima mundur dan kacau. Rakyat menderita lahir bathin. Perjuangan seluruh
sangaji dan rakyat pada masa lalu dikhianati Salisi yang bekerja sama dengan Belanda.

D. Masuk dan Berkembangnya Islam di Bima

Para ahli sepakat bahwa masuknya islam atau kedatangan Islam di indonesia
berawal dari kontak antara penduduk setempat dengan orang-orang Islam melalui
perdagangan, kemudian ada di antara mereka yang bermukim atau sudah ada penduduk
setempat yang memeluk agama Islam meskipun jumlahnya kecil. Berkembangnya Islam
atau Islamisasi adalah penyebaran Islam di suatu tempat atau dari satu tempat ke tempat
yang lain melalui da’wah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-
terangan sehingga terbentuk masyarakat yang bercorak Islam. Konsep-konsep semacam
itu semestinya dibedakan meskipun dalam banyak hal sulit ditarik batas yang tegas.

Para penulis sejarah barat dan Indonesia berpendapat bahwa agama Islam
masuk ke Indonesia dibawa oleh orang arab sendiri. Prof Snouck Horgronye
berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dari India, dibawa pedagang-
pedagang India yang telah memeluk agama Islam pada waktu itu.

Menjelang masa disintegrasi Kerajaan Majapahit tumbuh bandar perdagangan


seperti Gresik, Tuban dan Sedayu. Negeri tersebut selain menjadi pusat perdagangan
juga menjadi penyiaran agama Islam di Jawa dan daerah-daerah sekitarnya. Bahkan
jauh sebelum masa disintegrasi mubaliq Islam bernama Malik Ibrahim bersama
temannya Muhammad Sadik langsung datang ke istana Majapahit untuk mengajak Raja
Majapahit memeluk agama Islam, tetapi ajakannya di tolak. Malik Ibrahim yang dikenal
juga dengan nama Maulana Magribi kembali ke Gresik. Disana ia meninggal pada 12
Rabiul-awal 822 H.

Pada masa selanjutnya penyiaran agama islam di pulau Jawa dilakukan oleh 9
orang wali atau sebutannya wali songo yakni:

1. Malik Ibrahim atau di Gresik 6. Sunan Kali Jogo di Adilangu dekat


demak
2. Sunan Ampel di Surabaya 7. Sunan Kudus di Kudus
3. Sunan Bonang di Tuban 8. Sunan Murio di gunung Murio
4. Sunan Drajat di Sedayu 9. Sunan Gunung Jati di Cirebon Jawa
Barat
5. Sunan Giri di Gresik

Sunan Giri menjadi anak angkat seorang wanita terkaya di Surabaya. Ia belajar
agama Islam pada Sunan Ampel, kemudian mendirikan keraton dan masjid di bukti Giri
dekat Gresik. Maka tidak mengejutkan bila kota Gresik selain menjadi pusat
perdagangan juga menjadi pusat penyiaran dan pengembangan agama Islam. Para
pedagang Gresik khususnya sambil berdagang, mereka menyiarkan agama Islam
sebagai pembawa misi Sunan Prapen anak Sunan Giri.

Dr. E.Utrech dalam bukunya Sejarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok
menulis:

“Menurut Babad Tanah Lombok maka peng-islam-an pulau Lombok terjadi


dibawah pemerintahan Sunan Prapen, putera Susuhunan Ratu Giri yang pernah
menaklukan kerajaan-kerajaan Sumbawa dan Bima”

Mungkin bersumber dari Babad Tanah Lombok tersebut atau ada sumber lain
sehingga Zollinger berkesimpulan bahwa agama Islam masuk di Kerajaan Bima sejak
tahun 1450 atau 1540.

Kelas sosial di Bima pada awalnya diwarisi dari masa kerajaan yang terbagi
dalam empat kelas/tingkatan, yaitu: kelas Ruma, kelas Rato atau bangsawan, kelas Uba,
dan kelas Ama/rakyat biasa. Kelas sosial Ruma adalah kelompok atau keluarga yang
secara turun temurun mewarisi kerajaan dan kesultanan di Bima selama berabad-abad.
Di mata masyarakat Bima, kelas Ruma adalah sekelompok minoritas yang sangat
dihormati, ditaati, dan diteladani. Apapun yang diperintahkan oleh Ruma Sangaji dalam
hal ini Raja atau Sultan adalah harus dituruti. Ruma Sangaji atau Sultan merupakan
“bayangan Tuhan di muka bumi” (Zill Allah fi‟l-„alam).3 Dalam pengertian ini, Sultan
tidak hanya sebagai pemimpin dunia atau pemimpin pemerintahan tetapi juga pemimpin
agama atau elit agama Islam. Pada diri Sultan adalah mewakili dua simbol sekaligus
yakni umara dan ulama. Hal ini dapat kita lihat pada sosok Sultan Muhammad
Salahuddin yang mendapat gelar “Maka Kidi Agama”(Sultan yang menegakkan agama
Islam di dana Mbojo (daerah Bima).
Cara pandang masyarakat Bima memposisikan Kelas Ruma dalam hal ini
Ruma Sangaji (Sultan) sebagai wakil Tuhan di muka bumi tersebut relevan dengan apa
yang dijelaskan oleh Carlyle mengenai posisi elit dan beberapa jenis pahlawan, yakni
ada elit yang disamakan dengan Tuhan; ada elit yang diperlakukan sebagai satu-satunya
wakil Tuhan di dunia. Elit yang termasuk dalam kategori ini adalah nabi, pendeta,
ulama, sastrawan, penulis, raja dan seniman. Carlyle meyakini bahwa kepahlawanan
seorang elit dapat membangkitkan perasaan setia, hormat, patuh, dan pemujaan dari
massa pengikutnya5. Dalam bahasa yang hampir sama, Schoorl dalam Keller,
mengatakan bahwa posisi dan status terkemuka para elit ini diperoleh dari pengakuan
masyarakat bukan pemberian pemerintah.
Kepada elit agama Islam cukup beragam dari satu daerah ke daerah yang
lain, ada yang menyebutnya “tuan guru”, “sheik”, ajengan, tengku, kyai, dan ulama.
Dalam perkembangan sejarah masyarakat Indonesia, sebutan kyai dan ulama paling
banyak digunakan.
Pada masyarakat Bima, sebutan sehar-hari bagi elit agama Islam yang paling
umum adalah “tuan guru”. Meskipun sebutan kyai, sheik, dan ulama juga kerap
didengar di tengah masyarakat. Sebutan yang terakhir tersebut biasa dikaitkan dengan
para ulama dari luar daerah Bima. Hal ini tergambar pada awal kedatangan Islam di
Bima yang dibawa oleh beberapa ulama termasyur, seperti: Syekh Umar al-Bantani dari
Banten, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi
Jalaluddin,dan Syekh Umar Bamahsun dari Arab. Para ulama inilah yang pertama kali
mengislamkan atau mengajarkan agama Islam kepada Ruma Sangaji dan keluarga
besarnya serta kepada masyarakat Bima pada umumnya. Posisi para ulama ini begitu
dihormati, terkemuka, dan menjadi penasehat bagi kesultanan Bima.
Masuknya agama Islam di Bima melalui keluarga Ruma Sangaji (Sultan)
pada awal abad ke - 17 berimplikasi besar pada cepatnya perkembangan agama Islam di
Bima dan terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari sistem kerajaan yang
berdasarkan hadat ke sistem pemerintahan kesultanan yang berdasarkan agama Islam.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, kesultanan Bima mendirikan mahkamah
syar‟iyah yang diduduki oleh para tuan guru atau ulama untuk meneggakkan agama
Islam yang berlandaskan syariat Islam. Beberapa tugas Mahkamah syar‟iyah, antara
lain melaksanakan peradilan agama, mengelola zakat dan wakaf, serta mengeluarkan
fatwa atau fasal penting mengenai “adab ketatanegaraan” (fiqh siyasah), yakni
mengandung nasehat dan petunjuk tentang sikap dan tindakan yang harus dituruti oleh
seorang sultan agar memerintah dengan adil, baik, dan sesuai dengan syariat Islam.
Penjelasan di atas menggambarkan keutamaan praktik agama Islam, betapa
penting agama Islam dalam lingkungan pemerintahan kesultanan, dan betapa tingginya
pengetahuan dalam ilmu agama Islam pada saat itu.

E. Tradisi Bima

Inilah uniknya Bima. Dalam satu kawasan dan satu wilayah, terdapat corak dan
warna serta cara berpakaian yang agak berbeda. Adalah pakaian Adat Donggo dan
Sambori memiliki perbedaan corak dan cara busana dengan masyarakat Bima pada
umumnya. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah warna pakaiannya yang serba
hitam. Kenapa Hitam ? Karena dalam tradisi lama, pakaian-pakaian tersebut sangat
melekat dengan upacara-upacara dan ritual masyarakat Donggo lama terutama ritual
kematian.

Busana adat masyarakat Donggo dan Sambori di kabupaten Bima memang


berbeda dengan busana atau pakaian adat masyarakat Bima pada umumnya. Salah satu
ciri yang menonjol adalah corak dan warna pakaiannya yang serba hitam dan
menggunakan Sambolo(Sejenis Penutup Kepala yang terbuat dari kain kapas dan
biasanya bercorak kotak-kotak). Sejak dulu, masyarakat Donggo yang bermukim di
sebelah barat teluk Bima memang punya tata cara dan pengaturan busana yang sangat
apik. Pakaian anak-anak, remaja dan dewasa memang dibedakan. Meskipun warna
dasar busana mereka adalah hitam. Untuk perempuan dewasa menggunakan KABABU
yang terbuat dari benang katun yang disbut baju pendek (Baju Poro seperti baju adapt
Bima yang lengan pendek). Dibawahnya memakai Deko ( sejenis celana panjang
sampai di bawah lutut. Untuk perhiasan memakai kalung dan manik-manik giwang.
Untuk remaja perempuan tetap memakai Kababu atau baju lengan pendek. Namun
dalam cara memaki perhiasan agak berbeda yaitu mereka melilitkan berkali-kali dan
dibiarkan terjuntar dari leher ke dada. Untuk kaum pria, mereka mengenakan baju
Mbolo Wo’o atau baju leher bundar dan berwarna hitam seperti baju kaos.
Dibawahnya mereka mengenakan sarung yang disebut Tembe Me’e Donggo
yang terbuat dari benang kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Lalu
dipinggangnya dipasangkan Salongo sejenis ikat pinggang berwarna merah atau kuning
yang berfungsi sebagai tempat untuk menyematkan pisau atau keris atau parang.
Senjatanya sekaligus asesoris adalah pisau Mone( Pisau kecil) yang behulu panjang
dengan bentuk agak menjorok. Untuk alas kaki atau sandal mereka menggunakan
Sadopa yang terbuat dari kulit binatang dan dibuat sendiri. Dalam tradisi masyarakat
Donggo, mereka juga membedakan pakaian untuk berpergian dan pakaian sehari-hari.
Mereka tetap menggunakan Sambolo dan Tembe Me’e Donggo di bawahnya. Namun
mereka menyertakan Salampe yang terbuat dari kain dan berfungsi sebagai ikat
pinggang juga.
BAB III
PENUTUP
Integrasi adalah proses penyatuan, atau proses untuk membuat sesuatu menjadi
utuh kembali. Adanya integrasi akan melahirkan satu kekuatan bangsa yang ampuh dan
segala persoalan yang timbul dapat dihadapi bersama-sama. Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah wujud konkret dari proses integrasi bangsa. Proses integrasi bangsa
Indonesia mengalami kemajuan sejak proses Islamisasi.
Integrasi suatu bangsa merupakan suatu proses historis yang panjang. Integrasi
terjadi dalam suatu proses yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Kita merasa sebagai
satu bangsa karena ada keterikatan budaya satu dengan lainnya, ada persamaan
kepentingan, menggunakan bahasa yang sama, mengakui sistem nilai yang sama, ada
persamaan identitas, dan ada solidaritas sebagai satu bangsa yang sama.
Semakin sering terjadi hubungan, kontak budaya, dan pergaulan antargolongan
suku bangsa di Indonesia, akan semakin baik guna terbentuknya identitas bangsa.
Melalui komunikasi yang terbuka antarsuku bangsa maka sikap prasangka, sentimen
kesukuan atau kedaerahan, lambat laun dapat dihilangkan.

3.1 Peranan Para Ulama dalam Proses Integrasi


Ulama menduduki posisi penting dalam masyarakat Islam tidak hanya sebagai figur
ilmuan yang menguasai dan memahami ajaran-ajaran agama, tetapi juga sebagai
penggerak, motivator dan dinamisator masyarakat ke arah pengembangan dan
pembangunan umat. Para ulama juga berperan dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, pendidikan, dan sebagainya. Peranan para ulama dalam proses integrasi
Nusantara antara lain sebagai berikut.
1. Agama islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan
kebersamaan dan mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama.
2. Islam mengajarkan persamaan dan tidak mengenal kasta-kasta dalam kehidupan
masyarakat.
3. Konsep ajaraan islam memunculkan perilaku ke arah persatuan dan persamaan
derajat.
Dalam bidang kebudayaan, umat Islam mempunyai ciri yang khusus pula dari
budaya material (material culture) dalam kehidupan seharihari, sampai kepada budaya
spiritual (spiritual culture). Bahkan sampai sekarang kita masih bisa menyaksikan
berbagai kesinambungan tertentu antara tradisi Islam dengan tradisi budaya spiritual
praIslam yang sedikit banyak diwarnai tradisi Hindu, Buddha, dan bahkan tradisi
keagamaan spritual lokal.
3.2 Peran Perdagangan Antarpulau
Pelayaran dan perdagangan antarpulau di kawasan Nusantara merniliki peran
penting dalam proses integrasi bangsa Indonesia. Peranan tersebut dapat dilihat pada hal
penting. Seperti :
Menghubungkan Penduduk Satu Pulau Dengan Lainnya. Dalam pelayaran dan
perdagangan, laut memegang peranan yang sangat penting. Laut digunakan sebagai
jalan bebas hambatan yang bisa digunakan oleh penduduk pulau mana pun. Laut
merupakan jalan penghubung sekaligus sebagai pemersatu penduduk yang tinggal di
kepulauan Nusantara
Proses Percampuran dan Penyebaran Budaya Satu Daerah Terhadap Daerah
Lainnya. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, sebagian kegiatan
perdagangan Nusantara dialihkan ke Aceh, Banten, Makasar, Gresik, dan lain-lain. Di
kota-kota tersebut, seperti halnya di Malaka sebelum 1511, terjadi pertemuan antara
pertemuan itu, terjadilah pertukaran pengalaman, pengetahuan, dan adat-istiadat yang
berbeda-beda.
Kegiatan perdagangan antarpulau mendorong terjadinya proses integrasi yang
terhubung melalui para pedagang. Proses integrasi itu juga diperkuat dengan
berkembangnya hubungan kebudayaan. Bahkan juga ada yang diikuti dengan
perkawinan.

3.3 Peran Bahasa


Bahasa Melayu digunakan hampir di seluruh pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan
Nusantara. Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu dijadikan bahasa
resmi dan bahasa ilmu pngetahuan. Hal ini dapat dilihat dalam Prasasti kerajaan
sriwijaya.
Para pedagang di daerah-daerah sebelah timur Nusantara, juga menggunakan
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Pada mulanya bahasa Melayu digunakan
sebagai bahasa dagang. Akan tetapi lambat laun bahasa Melayu tumbuh menjadi bahasa
perantara dan menjadi bahasa pergaulan di seluruh Kepulauan Nusantara.
Masuk dan berkembangnya agama Islam, mendorong perkembangan bahasa
Melayu. Buku-buku agama dan tafsir al- Qur’an juga mempergunakan bahasa Melayu.
Ketika menguasai Malaka, Portugis mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan
bahasa Portugis, namun kurang berhasil. Pada tahun 1641 VOC merebut Malaka dan
kemudian mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Melayu. Jadi,
secara tidak sengaja, kedatangan VOC secara tidak langsung ikut mengembangkan
bahasa Melayu.

Faktor Berkembangnya Bahasa Melayu di Nusantara


Bahasa melayu cepat berkembang di Nusantara karena hal-hal sebagai berikut.
1. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan
Nusantara.
2. Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah menjadi bahasa resmi Negara Melayu
(Jambi).
3. Para pedagang di daerah-daerah sebelah timur Nusantara, juga menggunakan
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
4. Pada tahun 1641 VOC merebut Malaka dan kemudian mendirikan sekolah-
sekolah dengan menggunakan bahasa Melayu. Dengan demikian kedatangan
VOC juga membantu mengembangkan bahasa Melayu.

Proses integrasi bangsa Indonesia yang dimulai sejak abad ke-16 sampai abad ke-19
dan diteruskan pada abad ke-20 melalui gerakan kebangsaan sebenarnya tidak berakhir
sampai terbentuknya negara kesatuan RI, 17 Agustus 1945, melainkan terus berlanjut,
sampai sekarang.
Faktor pemersatu terpenting di antara berbagai suku bangsa Nusantara adalah Islam.
Islam mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara berbagai suku bangsa dan
menjadi identitas yang mengatasi batas-batas geografis, sentimen etnis, identitas
kesukuan, adat istiadat dan tradisi lokal lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedia Bima : Muslimin Hamzah

file:///D:/mbojodompu community Budaya, Tradisi dan Sejarah Kota Bima.htm

Tawaluddin Haris, Susanto Zuhdi, Triana Wulandari, Kerajaan Tradisional Di


Indonesia: Bima, Jakarta, CV Putra Sejati Raya, 1997.

http://bimakab.go.id/pages-sejarah-bima.html

Henri Chambert-Loir, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakarta, Kepustakaan
Populer Gramedia, 2004.

Tawalinuddin Haris, “Kerajaan Tradisional Di Indonesia : BIMA”, Jakarta, Putra Sejati


Raya, 1997, hal.32-33

Abdullah Tajib, “Sejarah Bima Dana Mbojo”, Harapan Masa, 1995, hlm.105

M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (Bima) 1540-1950, (Bogor: Penerbit
Binasti, 2008)

Anda mungkin juga menyukai