Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas karunia rahmat hidayah-
Nya, kegiatan penyusunan makalah dapat terlaksana dengan baik.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Guru pengajar yang telah
memberikan kami bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian makalah ini. Akhirnya,
semoga Allah meridhoi kegiatan penyusunan makalah ini dan memberikan manfaat bagi
kita semua yang membacanya.
BAB I
LATAR BELAKANG
Pada akhir abad XV sampai awal abad XVI Bima merupakan sebuah kerajaan
maritim yang diperhitungkan terutama pada di bidang perniagaan dan politik. Pada saat
itu dipimpin oleh Raja Manggampo Donggo dan Ma Wa’a Npada. Catatan Tome Pires,
seorang berkebangsaan Portugis, menceritakan pada tahun 1513 M Bima dipimpin
oleh seorng raja kafir yang memiliki banyak perahu, bahan makanan dan kayu sopang
yang dibawanya ke Malaka untuk dijual ke Cina.
Pada abad XVII M, Bima adalah pusat penyiaran Islam di Nusantara bagian
timur bersama dengan Ternate dan Makassar. Akhir abad XVII peran Bima menjadi
lebih besar dari Ternate dan Makassar. Karena pada awal abad XVII M Belanda sudah
berhasil melunakkan Sultan Mandarsyah Ternate dan kemudian pada tahun 1669 dapat
melumpuhkan kekuatan Makassar sebagai kesultanan yang disegani di Indonesia bagian
timur. Pemerintahan kesultanan Bima ketika itu dipimpin oleh Abil Khair Sirajudin
(sultan Bima ke-2 menjabat pada tahun 1640-1682). Pemerintahan kesultanan Bima
berlangsung dari tahun 1640 sampai dengan 1950.
Bima di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto
Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).
Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu
jaman Ncuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M, masyarakat Bima mulai
berhubungan dengan para pedagang dan musafir yang berasal dari daerah lain. Para
pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Ternate.
Pada saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal sistem ilmu pengetahuan dan
teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah
mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota
dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti
diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas
dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan
pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai
pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi,
masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi
bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju.
Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro
Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh
falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan dengan para pedagang dan
musafir dari daerah luar semakin intim. Sehingga para pedagang dan musafir dari
seluruh pelosok nusantara, terutama para pedagang dan musafir dari Jawa Timur
semakin bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa Timur mendirikan
perkampungan di pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa Kecamatan Donggo
sekarang. Sampai sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat disaksikan sebagai
peninggalan sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu disebut situs yang oleh
masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah seorang tokoh pedagang dan
musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu bernama Sang Bima. Sang Bima
tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.
Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama semakin maju. Kehidupan
masyarakat semakin bertambah makmur dan sejahtera dan mereka hidup rukun dan
damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju tetap diamalkan dan falsafah
Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.
Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan, seluruh Ncuhi mengadakan
Mbolo Ro Dampa di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara. Dalam keputusan Mbolo
Ro Dampa :
Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan menjadi sangaji atau raja
pertama di Bima. Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu pengetahuan dalam
pemerintahan. Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat Bima memasuki jaman
baru, yaitu jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah dipegang oleh Ncuhi, tetapi
dipegang oleh sangaji atau raja.
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk
menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah
adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate,
tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan
Bab’ullah mangkat.
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar
Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone
untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di
Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh
Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di
Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk
agama Islam. Sejak itu mereka mengganti nama :
PEMBAHASAN
Bima adalah kabupaten daerah tingkat II di propinsi Nusa Tenggara Barat dan
kerajaan yang terpenting di pulau sumbawa maupun di kawasan pulau-pulau Sunda
Kecil pada kurun waktu abad ke 17-19. Dengan terbentuknya propinsi daerah tingkat I
Nusa Tenggara Barat melalui UU No.64/1958, maka sebagian besar wilayah kerajaan
bima yang pada waktu itu masih berstatus sebagai Swapraja menjadi wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Bima dengan Ibu kotanya di Raba-Bima.1
Kerajaan Bima merupakan salah satu diantara 6 kerajaan yang pernah ada di
pulau Sumbawa yaitu Dompu, Sanggar, Tambora, Papekat, Sumbawa dan Bima. Sejak
kapan dan bila mana kerajaan Bima didirikan dan oleh siapa belum ada sumber yang
pasti. Dalam kitab Negara kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 M,
disebutkan bahwa Taliwang, Dompu, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Seram atau Seran,
Hutan Kadali termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Meskipun ahli-
ahli arkeologi dan sejarah berpendapat bahwa nama-nama tersebut berlokasi di pulau
sumbawa ataukah sebagai tempat singgah (pelabuhan) para pelaut yang kemudian di
taklukkan oleh kerajaan Majapahit.
Bo Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis dalam
bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada abad ke-14 M.
Ketika itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang disebut Ncuhi. Pulau
Sumbawa tersebut terbagi dalam lima wilayah kekuasaan Ncuhi: selatan, barat, utara,
timur, dan tengah. Ncuhi terkuat adalah Ncuhi Dara, wilayahnya disebut Kampung
Dara. Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud, anak Sang
Bima diangkat menjadi Raja Bima pertama. Selanjutnya, Indra Zamrud menggunakan
nama ayahnya, yaitu Bima untuk menyebut kawasan yang meliputi pulau Sumbawa
tersebut.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang
pertama. Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam
bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara.
Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang
pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima
memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi
dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan
nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang.
Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku. Pada masa kesultanan,
suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis.
Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta
bahasa suku Makasar dan Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku
Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu,
mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat
istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo. Dou Donggo bermukim di dua
tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo
sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang
bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang
Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou
Donggo Ele (orang Donggo Timur).
Pada masa pemerintahan Batara Indra Luka putra Manggampo Jawa, hubungan
dengan Majapahit masih terjalin dengan intim. Begitu pula pada masa pemerintahan
sangaji Maha Raja Indra Seri, putra dari Batara Indra Luka. Ketika pemerintahan
sangaji Ma Wa’a Paju Longge, putera dari Maha Raja a Indra Seri, hubungan dengan
Majapahit terputus. Sebab pada saat itu Majapahit sudah mengalami kemunduran.
Karena terjadi perang saudara yang berkepanjangan, setelah wafatnya Gajah Mada pada
tahun 1364. Ma Wa’a Paju Longge yang, memerintah di sekitar abad 15 M,
meningkatkan hubungan dengan kerajaan Gowa. Pada saat itu kerajaan Gowa, sedang
berada dalam jaman kejayaan, di bawah raja Imario Gau Tumi Palangga. Ma Wa’a Paju
Longge pergi ke Gowa untuk mempelajari ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu yang lain.
Kemudian ia mengirim dua orang saudaranya, yang bernama Bilmana dan Manggampo
Donggo ke Gowa. Sejak itu sistim politik pemerintahan, pertanian, pertukangan dan
pelayaran serta perniagaan, mengikuti sistim yang berlaku di Gowa. Seni budaya Gowa
ikut pula mempengaruhi seni budaya Mbojo Bima. Setelah sangaji Ma Wa’a Paju
Longge mangkat, ada satu peristiwa yang menarik untuk dijadikan contoh bagi generasi
muda. Menurut ketentuan yang berlaku, apabila sangaji yang mangkat tidak mempunyai
putera, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang tertua. Ketentuan itu
terpaksa dilanggar oleh Bilmana dan Manggampo Donggo. Dengan penuh keikhlasan,
Bilmana menyerahkan jabatan sangaji kepada adiknya Manggampo Donggo. Ia sendiri
memegang jabatan Tureli Nggampo (perdana menteri). Hal ini dilakukan demi rakyat
dan negeri. Karena Manggampo Donggo memiliki bakat dan keahlian untuk menjadi
sangaji. Sedangkan Bilmana cocok untuk menjadi Tureli Nggampo. Kebijaksanaan ini
diperkuat dengan sumpah yang bernama sumpah Bilmana dan Manggampo Donggo.
Sejak itu keturunan Manggampo Donggo menjadi raja dan sultan. Sebaliknya, anak
cucu Bilmana menjadi Tureli Nggampo atau Ruma Bicara. Manggampo Donggo
bersama Bilmana, bahu membahu membangun kerajaan. Mereka berjuang tanpa kenal
menyerah.
Perkembangan dalam bidang sastra dan seni budaya pun cukup cerah.
Manggampo Donggo memperkenalkan aksara yang dipelajari dari Gowa. Aksara itu
akhirnya menjadi aksara Mbojo. Manggampo Donggo melanjutkan penulisan Bo
dengan aksara Mbojo.
Wilayah kekuasaan kerajaan Mbojo Bima, terbentang luas dari P. Satonda di sebelah
barat sampai ke Alor Solor di sebelah Timur. Perluasan wilayah dilakukan oleh La
Mbila putera Bilmana. Kejayaan kerajaan Mbojo Bima, terus bertahan sampai pada
sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, putera Manggampo Donggo disekitar abad 16 M.
C. Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kemunduran
Setelah sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, maka cahaya kejayaan kerajaan mulai
redup dan akhirnya padam. Pasti ada dikalangan generasi muda yang bertanya
keheranan. Kenapa terjadi petaka di kerajaan yang jaya dan besar itu ?. Apakah karena
diserang oleh musuh dari luar atau karena ada pemimpin dan rakyat yang berkhianat ?.
Timbulnya petaka bukan karena serangan musuh dari luar, tetapi karena ada musuh
dalam selimut. Salah seorang putera raja Ma Wa’a Ndapa yang bernama Salisi
berkhianat kepada don labo dana (rakyat dan negeri). Ia berambisi menjadi Sangaji.
Untuk mewujudkan ambisinya, Salisi membunuh Sangaji Samara kakaknya sendiri.
Kemudian, ia membunuh Jena Teke (putera mahkota) di padang perburuan mpori Wera.
Walau demikian Salisi tidak berhasil mewujudkan cita-citanya. Majelis Hadat bersama
seluruh rakyat mengangkat Sawo (Asi Sawo) menjadi Sangaji. Salisi bertambah
kecewa, ia menunggu waktu yang tepat guna mewujudkan cita-citanya.
Pada masa pemerintahan Sangaji Asi Sawo, untuk sementara waktu Salisi
berdiam diri, guna menyusun kekuatan. Pada tahun 1605, Salisi menjalin kerja sama
dengan Belanda di pelabuhan Ncake (wilayah desa Roka Kecamatan belo / Pali Belo
sekarang). Kerja sama itu dinyatakan dalam satu perjanjian yang disebut perjanjian
Ncake. Saat yang dinanti-nanti oleh Salisi tiba. Ketika Sangaji Asi Sawo mangkat,
Salisi berusaha untuk membunuh putera Asi Sawo yang bernama La Ka’i, yang sudah
diangkat oleh Majelis Hadat sebagai Jena Teke.
Suasana istana dan seluruh negeri kembali kacau. La Ka’i bersama pengikut Iari
meninggalkan istana. Pergi bersembunyi di desa Teke (Kecamatan Belo / Pali Belo
sekarang), kemudian pindah ke dusun Kalodu yang berada di tengah hutan belantara.
Dengan bantuan Belanda, untuk sementara Salisi berhasil menguasai istana. Kemarahan
dan kebencian rakyat kepada Salisi kian berkobar. Mereka terus menyusun kekuatan
untuk mengembalikan La Ka’i ke tahta kerajaan. Akibat ulah Salisi, akhirnya kerajaan
Mbojo Bima mundur dan kacau. Rakyat menderita lahir bathin. Perjuangan seluruh
sangaji dan rakyat pada masa lalu dikhianati Salisi yang bekerja sama dengan Belanda.
Para ahli sepakat bahwa masuknya islam atau kedatangan Islam di indonesia
berawal dari kontak antara penduduk setempat dengan orang-orang Islam melalui
perdagangan, kemudian ada di antara mereka yang bermukim atau sudah ada penduduk
setempat yang memeluk agama Islam meskipun jumlahnya kecil. Berkembangnya Islam
atau Islamisasi adalah penyebaran Islam di suatu tempat atau dari satu tempat ke tempat
yang lain melalui da’wah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-
terangan sehingga terbentuk masyarakat yang bercorak Islam. Konsep-konsep semacam
itu semestinya dibedakan meskipun dalam banyak hal sulit ditarik batas yang tegas.
Para penulis sejarah barat dan Indonesia berpendapat bahwa agama Islam
masuk ke Indonesia dibawa oleh orang arab sendiri. Prof Snouck Horgronye
berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dari India, dibawa pedagang-
pedagang India yang telah memeluk agama Islam pada waktu itu.
Pada masa selanjutnya penyiaran agama islam di pulau Jawa dilakukan oleh 9
orang wali atau sebutannya wali songo yakni:
Sunan Giri menjadi anak angkat seorang wanita terkaya di Surabaya. Ia belajar
agama Islam pada Sunan Ampel, kemudian mendirikan keraton dan masjid di bukti Giri
dekat Gresik. Maka tidak mengejutkan bila kota Gresik selain menjadi pusat
perdagangan juga menjadi pusat penyiaran dan pengembangan agama Islam. Para
pedagang Gresik khususnya sambil berdagang, mereka menyiarkan agama Islam
sebagai pembawa misi Sunan Prapen anak Sunan Giri.
Dr. E.Utrech dalam bukunya Sejarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok
menulis:
Mungkin bersumber dari Babad Tanah Lombok tersebut atau ada sumber lain
sehingga Zollinger berkesimpulan bahwa agama Islam masuk di Kerajaan Bima sejak
tahun 1450 atau 1540.
Kelas sosial di Bima pada awalnya diwarisi dari masa kerajaan yang terbagi
dalam empat kelas/tingkatan, yaitu: kelas Ruma, kelas Rato atau bangsawan, kelas Uba,
dan kelas Ama/rakyat biasa. Kelas sosial Ruma adalah kelompok atau keluarga yang
secara turun temurun mewarisi kerajaan dan kesultanan di Bima selama berabad-abad.
Di mata masyarakat Bima, kelas Ruma adalah sekelompok minoritas yang sangat
dihormati, ditaati, dan diteladani. Apapun yang diperintahkan oleh Ruma Sangaji dalam
hal ini Raja atau Sultan adalah harus dituruti. Ruma Sangaji atau Sultan merupakan
“bayangan Tuhan di muka bumi” (Zill Allah fi‟l-„alam).3 Dalam pengertian ini, Sultan
tidak hanya sebagai pemimpin dunia atau pemimpin pemerintahan tetapi juga pemimpin
agama atau elit agama Islam. Pada diri Sultan adalah mewakili dua simbol sekaligus
yakni umara dan ulama. Hal ini dapat kita lihat pada sosok Sultan Muhammad
Salahuddin yang mendapat gelar “Maka Kidi Agama”(Sultan yang menegakkan agama
Islam di dana Mbojo (daerah Bima).
Cara pandang masyarakat Bima memposisikan Kelas Ruma dalam hal ini
Ruma Sangaji (Sultan) sebagai wakil Tuhan di muka bumi tersebut relevan dengan apa
yang dijelaskan oleh Carlyle mengenai posisi elit dan beberapa jenis pahlawan, yakni
ada elit yang disamakan dengan Tuhan; ada elit yang diperlakukan sebagai satu-satunya
wakil Tuhan di dunia. Elit yang termasuk dalam kategori ini adalah nabi, pendeta,
ulama, sastrawan, penulis, raja dan seniman. Carlyle meyakini bahwa kepahlawanan
seorang elit dapat membangkitkan perasaan setia, hormat, patuh, dan pemujaan dari
massa pengikutnya5. Dalam bahasa yang hampir sama, Schoorl dalam Keller,
mengatakan bahwa posisi dan status terkemuka para elit ini diperoleh dari pengakuan
masyarakat bukan pemberian pemerintah.
Kepada elit agama Islam cukup beragam dari satu daerah ke daerah yang
lain, ada yang menyebutnya “tuan guru”, “sheik”, ajengan, tengku, kyai, dan ulama.
Dalam perkembangan sejarah masyarakat Indonesia, sebutan kyai dan ulama paling
banyak digunakan.
Pada masyarakat Bima, sebutan sehar-hari bagi elit agama Islam yang paling
umum adalah “tuan guru”. Meskipun sebutan kyai, sheik, dan ulama juga kerap
didengar di tengah masyarakat. Sebutan yang terakhir tersebut biasa dikaitkan dengan
para ulama dari luar daerah Bima. Hal ini tergambar pada awal kedatangan Islam di
Bima yang dibawa oleh beberapa ulama termasyur, seperti: Syekh Umar al-Bantani dari
Banten, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi
Jalaluddin,dan Syekh Umar Bamahsun dari Arab. Para ulama inilah yang pertama kali
mengislamkan atau mengajarkan agama Islam kepada Ruma Sangaji dan keluarga
besarnya serta kepada masyarakat Bima pada umumnya. Posisi para ulama ini begitu
dihormati, terkemuka, dan menjadi penasehat bagi kesultanan Bima.
Masuknya agama Islam di Bima melalui keluarga Ruma Sangaji (Sultan)
pada awal abad ke - 17 berimplikasi besar pada cepatnya perkembangan agama Islam di
Bima dan terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari sistem kerajaan yang
berdasarkan hadat ke sistem pemerintahan kesultanan yang berdasarkan agama Islam.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, kesultanan Bima mendirikan mahkamah
syar‟iyah yang diduduki oleh para tuan guru atau ulama untuk meneggakkan agama
Islam yang berlandaskan syariat Islam. Beberapa tugas Mahkamah syar‟iyah, antara
lain melaksanakan peradilan agama, mengelola zakat dan wakaf, serta mengeluarkan
fatwa atau fasal penting mengenai “adab ketatanegaraan” (fiqh siyasah), yakni
mengandung nasehat dan petunjuk tentang sikap dan tindakan yang harus dituruti oleh
seorang sultan agar memerintah dengan adil, baik, dan sesuai dengan syariat Islam.
Penjelasan di atas menggambarkan keutamaan praktik agama Islam, betapa
penting agama Islam dalam lingkungan pemerintahan kesultanan, dan betapa tingginya
pengetahuan dalam ilmu agama Islam pada saat itu.
E. Tradisi Bima
Inilah uniknya Bima. Dalam satu kawasan dan satu wilayah, terdapat corak dan
warna serta cara berpakaian yang agak berbeda. Adalah pakaian Adat Donggo dan
Sambori memiliki perbedaan corak dan cara busana dengan masyarakat Bima pada
umumnya. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah warna pakaiannya yang serba
hitam. Kenapa Hitam ? Karena dalam tradisi lama, pakaian-pakaian tersebut sangat
melekat dengan upacara-upacara dan ritual masyarakat Donggo lama terutama ritual
kematian.
Proses integrasi bangsa Indonesia yang dimulai sejak abad ke-16 sampai abad ke-19
dan diteruskan pada abad ke-20 melalui gerakan kebangsaan sebenarnya tidak berakhir
sampai terbentuknya negara kesatuan RI, 17 Agustus 1945, melainkan terus berlanjut,
sampai sekarang.
Faktor pemersatu terpenting di antara berbagai suku bangsa Nusantara adalah Islam.
Islam mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara berbagai suku bangsa dan
menjadi identitas yang mengatasi batas-batas geografis, sentimen etnis, identitas
kesukuan, adat istiadat dan tradisi lokal lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://bimakab.go.id/pages-sejarah-bima.html
Henri Chambert-Loir, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakarta, Kepustakaan
Populer Gramedia, 2004.
Abdullah Tajib, “Sejarah Bima Dana Mbojo”, Harapan Masa, 1995, hlm.105
M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (Bima) 1540-1950, (Bogor: Penerbit
Binasti, 2008)