Anda di halaman 1dari 44

Lumpur Pemboran

1. Pendahuluan
Pada mulanya orang hanya menggunakan air saja untuk mengangkat serpih
pemboran (cutting). Lalu dengan berkembangnya pemboran, lumpur mulai
digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur, zat-zat kimia ditambahkan
dan akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun
lumpur tetap bertahan. Dalam bab ini tak akan dibahas fluida pemboran
yang berupa udara dan gas.

Secara umum lumpur pemboran dapat dipandang sebagai mempunyai


empat komponen atau fasa :
a. Fasa cair (air atau minyak)
b. Reactive solids, yaitu padatan yang bereaksi dengan air membentuk
koloid (clay)
c. Inert solids (zat padat yang tak bereaksi)
d. Fasa kimia

a. Fasa cair
Ini dapat berupa minyak atau air. Air dapat pula dibagi dua, tawar dan
asin. 75% lumpur pemboran menggunakan air. Sedang pada air dapat
pula dibagi air asin tak jenuh dan jenuh. Istilah oil-base digunakan bila
minyaknya lebih dari 95% . Invert emulsions mempunyai komposisi
minyak 50 - 70% (sebagai fasa kontinyu) dan air 30 - 50% (sebagai fasa
diskontinyu).

b. Reactive solids
Padatan ini bereaksi dengan sekelilingnya untuk membentuk koloidal.
Dalam hal ini clay air tawar seperti bentonite mengisap (absorb) air tawar
dan membentuk lumpur. lstilah "yield" digunakan untuk menyatakan

Lumpur Pemboran 1
jumlah barrel lumpur yang dapat dihasilkan dari satu ton clay agar
viscositas lumpurnya 15 cp. Untuk bentonite, yieldnya kira-kira 100
bbl/ton. Dalam hal ini bentonite mengabsorp air tawar pada permukaan
partikel-partikelnya, hingga kenaikan volumenya sampai 10 kali atau
lebih, yang disebut "swelling'. atau "hidrasi". Untuk salt water clay
(attapulgite), swelling akan terjadi baik di air tawar atau di air asin dan
karenanya digunakan untuk pemboran dengan "salt water muds". Baik
bentonite ataupun attapulgite akan memberi kenaikan viscositas pada
lumpur. Untuk oil base mud, viscositas dinaikkan dengan penaikan kadar
air dan penggunaan asphalt.

c. Inert solids
Ini dapat barite (BaSO4) yang digunakan untuk menaikan density lumpur
ataupun galena atau bijih besi. Inert solids dapat pula berasal dari
formasi-formasi yang dibor dan terbawa lumpur seperti chert, pasir atau
clay-clay non swelling, dan padatan-padatan seperti ini bukan disengaja
untuk menaikkan density lumpur dan perlu dibuang secepat mungkin
(bisa menyebabkan abrasi dan kerusakan pompa dll).

d. Fasa kimia
Zat kimia merupakan bagian dari sistim yang digunakan untuk mengontrol
sifat-sifat lumpur, misalnya dalam dispersion (menyebarkan partikel-
partikel clay) atau flocculation (pengumpulan partikel-partikel clay).
Efeknya terutama tertuju pada peng"koloid"an clay yang bersangkutan.
Banyak sekali zat kimia yang digunakan untuk menurunkan viscositas,
mengurangi water loss, mengontrol fasa koloid (disebut surface active
agent).

Zat-zat kimia yang mendisperse (dengan ini disebut thinner =


menurunkan viscositas, mengencerkan) misalnya :
 Quobracho (dispersant)
 Phosphate
 Sodium Tannate (kombinasi caustic soda dan tannium)

Lumpur Pemboran 2
 Lignosulfonates (bermacam-macam kayu pulp) Lignites
 Surfactant (surface active agents)

Sedang zat-zat kimia untuk menaikan viscositas misalnya adalah :


 C. M. C
 Starch

Beberapa senyawa polimer


Zat-zat kimia bereaksi dan mempengaruhi lingkungan sistim lumpur
tersebut misalnya dengan menetralisir muatan-muatan listrik clay,
menyebabkan dispersion dan lain-lain,

2. Fungsi Lumpur Pemboran


Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting dalam pemboran.
Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat
tergantung pada lumpur ini.
Fungsi lumpur antara lain adalah :
1. Mengangkat cutting ke permukaan
Mengangkat cutting ke-permukaan tergantung dari :
a. Kecepatan fluida diannulus
b. Kapasitas untuk menahan fluida yang merupakan fungsi dari density,
aliran (laminer atau turbulent), dan viscositas. Umumnya kecepatan
100 - 120 fpm telah cukup (kadang-kadang perlu 200 fpm tetapi
jarang).

2. Mendinginkan dan melumas bit dan drill string.


Panas dapat timbul karena gesekan bit dan drill string yang kontak
dengan formasi. Konduksi formasi umumnya kecil, sehingga sukar
menghilangkan panas ini. Tetapi umumnya dengan adanya aliran lumpur
volume maupun specific heat lumpur telah cukup untuk mendinginkan
sistim serta melumasi.

Lumpur Pemboran 3
3. Memberi dinding pada lubang bor dengan mud cake.
Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan zat padat tipis
dipermukaan formasi yang permeable (lulus air). Pembentukan mud cake
ini akan menyebabkan tertahannya aliran fluida masuk ke formasi untuk
selanjutnya. (Adanya aliran yang masuk yaitu cairan plus padatan
menyebabkan padatan tertinggal / tersaring). Cairan yang masuk
keformasi disebut filtrate.

Mud cake dikehendaki yang tipis karena dengan demikian lubang bor
tidak terialu dipersempit dan cairan tak banyak yang hilang. Sifat wall
building ini dapat diperbaiki dengan penambahan :
a. Sifat ko!oid drilling mud dengan bentonite.
b. Memberi zat kimia untuk memperbaiki distribusi zat padat dalam
lumpur, misalnya starch, CMC dan cypan, yang mana mengurangi
filter loss dan memperkuat mud cake.

4. Mengontrol tekanan formasi.


Tekanan fluida formasi umumnya adalah disekitar 0.465 psi/ft kedalaman.
Pada tekanan yang normal, air dan padatan pemboran telah cukup untuk
menahan tekanan formasi ini. Untuk tekanan yang lebih kecil dari normal
(subnormal), density lumpur harus diperkecil agar lumpur tak masuk
hilang ke formasi. Sebaliknya untuk tekanan yang lebih besar dari normal
(lebih dari 0.465 psi/ft) (abnormal pressure), maka barite kadang-kadang
perlu, ditambahkan untuk memperberat lumpur.

Tekanan yang diakibatkan oleh kolom lumpur pada kedalaman D, ft dapat


dihitung dengan rumus :
Pm = 0.052 dm D

dimana
Pm = tekanan statik lumpur
dm = density lumpur, ppg
D = kedalaman, ft.

Lumpur Pemboran 4
Perlu diketahui, bahwa tekanan pada formasi yang diakibatkan oleh fluida
pada saat mengalir (rumus diatas untuk keadaan statik) adalah tekanan
yang dihitung dengan rumus diatas ditambah dengan pressure loss
(kehilangan tekanan) pada annulus diatas formasi yang bersangkutan.

5. Membawa cutting dan material-material pemberat pada suspensi bila


sirkulasi lumpur dihentikan sementara.

6. Melepaskan pasir dan cutting dipermukaan


Kemampuan lumpur untuk menahan cutting selama sirkulasi dihentikan
terutama tergantung dari gel strength. Dengan cairan menjadi gel,
tekanan terhadap gerakan cutting kebawah dapat dipertinggi. Cutting
perlu ditahan agar tidak turun kebawah, karena bila ia mengendap
dibawah bisa menyebabkan akumulasi cutting dan pipa akan terjepit (pipe
sticking). Selain itu ini akan memperberat rotasi permulaan dan juga
memperberat kerja pompa untuk memulai sirkulasi kembali. Tetapi gel
yang terlalu besar akan berakibat buruk juga, karena akan menahan
pembuangan cutting dipermukaan (selain pasir).

Penggunaan alat-alat seperti desander atau shale shaker dapat


membantu pengambilan cutting/pasir dari lumpur dipermukaan. Patut
ditambahkan, bahwa pasir harus dibuang dari aliran lumpur, karena
sifatnya yang sangat abrasive (mengikis) pada pompa, fitting
(sambungan-sambungan) dan bit. Untuk ini biasanya kadar pasir
maksimal yang boleh ada adalah 2%

7. Menahan sebagian berat drill pipe dan casing (Bouyancy effect)

8. Mengurangi effek negatif pada formasi.

9. Mendapatkan informasi (mud log, sample log).


Dalam pemboran, lumpur kadang-kadang dianalisa untuk diketahui
apakah mengandung hidrokarbon atau tidak (mud log). Sedangkan selain

Lumpur Pemboran 5
itu dilakukan pula sample log, yaitu analisa daripada cutting yang naik ke
permukaan, untuk menentukan jenis formasi yang dibor.

10. Media logging


Pada penentuan adanya minyak atau gas serta juga zone-zone air dan
juga untuk korelasi dan maksud-maksud lain, diadakan logging
(pemasukan sejenis alat antara lain alat listrik atau gamma ray/neutron)
Seperti misalnya electric logging, yang mana memerlukan media
penghantar arus listrik dilubang bor.

3. Sifat-sifat Lumpur
Komposisi dan sifat-sifat lumpur sangat berpengaruh pada pemboran.
Perencanaan casing, drilling rate dan completion dipengaruhi oleh lumpur
yang digunakan saat itu. Misalnya pada daerah batuan lunak pengontrolan
sifat-sifat lumpur sangat diperlukan tetapi di daerah batuan keras sifat-sifat
ini tidak terlalu kritis sehingga air biasapun kadang-kadang dapat digunakan.
Dengan ini dapat dikatakan bahwa sifat-sifat geologi suatu daerah
menentukan pula jenis lumpur yang harus digunakan.

3.1. Densitas Dan Sand Content

Densitas Lumpur
Lumpur sangat besar peranannya dalam menentukan berhasil
tidaknya suatu operasi pemboran, sehingga perlu diperhatikan sifat-
sifat dari lumpur tersebut, seperti densitas, viskositas, gel strength,
atau filtration loss.

Densitas lumpur bor merupakan salah satu sifat lumpur yang sangat
penting, karena peranannya berhubungan langsung dengan fungsi
lumpur bor sebagai penahan tekanan formasi. Adanya densitas lumpur
bor yang terlalu besar akan menyebabkan lumpur hilang ke formasi

Lumpur Pemboran 6
(lost circulation), sedang apabila terlalu kecil akan menyebabkan
"kick". Maka densitas lumpur harus disesuaikan dengan keadaan
formasi yang akan dibor.

Densitas lumpur dapat menggambarkan gradien hidrostatik dari lumpur


bor dalam psit/ft. Tetapi di lapangan biasanya dipakai satuan ppg
(pound per gallon) yang diukur dengan menggunakan alat yang pakai
disebut dengan mud balance (lihat Gambar 1).

Dalam perhitungan asumsi-asumsi yang digunakan:seperti misalnya


electric logging, yang mana memerlukan media penghantar arus listrik
dilubang bor.

Gambar 1
Mud Balance

1. Volume setiap material adalah additive :


Vs + Vml = Vmb (1)

2. Jumlah berat adalah additive, maka :


ds x Vs + dml x Vml = dmb X Vmb (2)

Lumpur Pemboran 7
Keterangan :
Vs = volume solid, bbl
Vml = volume lumpur lama, bbl
Vm = volume lumpur baru, bbl
ds = berat jenis solid, ppg
dml = berat jenis lumpur lama, ppg
dmb = berat jenis lumpur baru, ppg

Dari Persamaan (1) dan (2) didapat :

Vs 
 d mb  d ml  xVml
(3)
 d s  d mb 
karena zat pemberat (solid) beratnya adalah :
Ws = Vs x ds

dimasukkan ke dalam persamaan (3) :

Ws 
 d mb  d ml  x d xV 
(4)
 d s  d mb  s ml

% Volume solid :
Vs  d  d ml  x100
x100  mb (5)
Vmb  d s  d ml 

% Berat solid:
d s xVs d  d  d ml 
x100  s mb x100 (6)
d mb xVmb d mb  d s  d ml 

Maka bila yang digunakan sebagai solid adalah barite dengan SG 4.3,
untuk menaikkan densitas dari lumpur lama seberat dml ke lumpur
baru sebesar dmb setiap bbl lumpur lama memerlukan berat solid, W s
sebanyak :

Lumpur Pemboran 8
Ws  684 x
 d mb  d ml 
(7)
 35.8  d mb 
Keterangan :
Ws = berat solid/zat pemberat, kg barite bbl lumpur. Sedangkan jika
yang digunakan sebagai zat pemberat adalah bentonit dengan SG 2.5,
maka untuk tiap barrel lumpur diperlukan.

Ws  398 x
 d mb  d ml 
(8)
 20.8  d mb 

dimana Ws = kg bentonite/bbl lumpur lama.

Sand Content
Tercampurnya serpihan-serpihan formasi (cutting) ke dalam lumpur
pemboran akan dapat membawa pengaruh pada operasi pemboran.
Serpihan-serpihan pemboran yang biasanya berupa pasir akan dapat
mempengaruhi karakteristik lumpur yang disirkulasikan, dalam hal ini
akan menambah densitas lumpur yang telah mengalami sirkulasi.
Bertambahnya densitas lumpur yang tersirkulasi ke permukaan akan
menambah beban pompa sirkulasi lumpur. Oleh karena itu setelah
lumpur disirkulasikan harus mengalami Proses pembersihan terutama
menghilangkan partikel-partikel yang masuk ke dalam lumpur selama
sirkulasi. Alat-alat ini, yang biasanya disebut "Conditioning
Equipment", adalah :
Shale Saker : Fungsinya membersihkan lumpur dari serpihan-
serpihan atau cutting yang berukuran besar.
Degasser : Untuk membersihkan lumpur dari gas yang masuk.
Desander : Untuk membersihkan lumpur dari partikel-partikel padatan
yang berukuran kecil yang bisa lolos dari shale shaker.
Desilter : Fungsinya sama dengan desander, tetapi desilter dapat
membersihkan lumpur dari partikel-partikel yang berukuran lebih kecil.

Lumpur Pemboran 9
Penggambaran sand content dari lumpur pemboran adalah merupakan
proses volume dari partikel-partikel yang diameternya lebih besar dari
74 mikron. Hal ini dilakukan melalui pengukuran dengan saringan
tertentu. Jadi rumus untuk menentukan kandungan pasir (sand
content) pada lumpur pemboran adalah :
Vs
n x100 (9)
Vm

dimana :
n = kandungan pasir
Vs = volume pasir dalam lumpur
Vm = volume lumpur

3.2. Viscositas dan Gel Strength


Viskositas dan gel strength merupakan bagian yang pokok dalam sifat-
sifat rheology fluida pemboran. Pengukuran sifat-sifat rheology fluida
pemboran penting mengingat pengangkatan cutting efektivitasnya
merupakan fungsi langsung dari viskositas. Sifat gel pada lumpur juga
penting pada saat round trip sehingga viskositas dan gel strength
merupakan sebagian dari indicator baik tidaknya suatu lumpur.

Fluida pemboran dalam percobaan ini adalah lumpur pemboran.


Lumpur pemboran ini mengikuti model-model rheology Bingham
Plastic, Power Law dan Modified Power Law. Diantara ketiga model
ini, Bingham Plastic merupakan model yang sederhana untuk fluida
Non- Newtonian.

Yang dimaksud dengan fluida Non-Newtonian adalah fluida yang


mempunyai viskositas tidak konstan, bergantung pada besarnya
geseran (shear rate) yang terjadi. Gambar 2 adalah suatu plot pada
kertas koordinat rectangular dari viskositas vs shear rate untukfluida
ini. Pada setiap shear rate tertentu fluida mempunyai viskositas yang
disebut apparent viscosity dari fluida pada shear rate tersebut.
Lumpur Pemboran 10
Gambar 2
Plot Koordinat Rectangular Viskositas
Vs Shear Rate

Berbeda dengan fluida Newtonian yang mempunyai viskositas konstan,


fluida Non-Newtonian memperlihatkan suatu yield stress suatu jumlah
tertentu dari tahanan dalam yang harus diberikan agar fluida mengalir
seluruhnya. Perhatikan Gambar 3.

Pengukuran viskositas yang sederhana dilakukan dengan menggunakan


alat Marsh Funnel (Gambar 4). Viskositas ini adalah jumlah detik yang
dibutuhkan lumpur sebanyak 0.9463 liter untuk mengalir keluar dari
corong Marsh Funnel. Bertambahnya viskositas ini direfleksikan dalam
bertambahnya apparent viscositas. Untuk fluida Non Newtonian,
informasi yang didapat dengan Marsh Funnel memberikan suatu
gambaran rheology fluida yang tidak lengkap sehingga biasa digunakan
untuk membandingkan fluida yang baru (awal) dengan kondisi sekarang.

Lumpur Pemboran 11
Gambar 3

Lumpur Pemboran 12
Plot Shear Stress Vs Shear Rate

Gambar 4
Marsh Funnel

Berikut ini adalah beberapa istilah yang selalu diperhatikan dalam


penentuan rheology suatu lumpur pemboran :
Viskositas plastik (plastic viscosity) seringkali digambarkan sebagai
bagian dari resistensi untuk mengalir yang disebabkan oleh friksi
mekanik.

Yield point adalah bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya tarik-
menarik antar partikel. Gaya tarik-menarik ini disebabkan oleh muatan-
muatan pada permukaan partikel yang didispersi dalam fasa fluida.

Lumpur Pemboran 13
Gel strength dan yield point keduanya merupakan ukuran dari gaya tarik
menarik dalam suatu sistem lumpur. Bedanya, gel strength merupakan
ukuran gaya tarik-menarik yang statik sedangkan yield point merupakan
ukuran gaya tarik-menarik yang dinamik.

Penentuan harga shear stress dan shear rate yang masing-masing


dinyatakan dalam bentuk penyimpangan skala penunjuk (dial reading)
dan RPM motor pada Fann VG Meter (lihat Gambar 5), harus diubah
menjadi harga shear stress dan shear rate dalam satuan dyne/cm2 dan
detik-1 agar diperoleh harga viskositas dalam satuan cp (centipoise).
Adapun persamaan tersebut sebagai berikut:
 = 5.077 * C (10)
 = 1.704 * RPM (11)

dimana :
 = shear stress, dyne/cm 2
 = shear rate, detik-1
C = dial reading, derajat
RPM = revolution per minute dari rotor

Penentuan viskositas nyata (a) untuk setiap harga shear rate dihitung
berdasarkan hubungan :

μa  x100 (12)

a 
 300 xC 
(13)
RPM

Untuk menentukan plastic viscosity (p) dan yield point (Yp) dalam field
unit digunakan persamaan Bingham Plastic (lihat Gambar 6) berikut
 600   300
p  (14)
 600   300

Lumpur Pemboran 14
Gambar 5
Skema Marsh Funnel Dan Fann VG Meter

Lumpur Pemboran 15
Gambar 6
Plot Model Bingham Plastic

Lumpur Pemboran 16
Dengan memasukkan persaman (10) dan (11) ke dalam persamaan
(14) didapat :
p  C 600  C 300 (15)
Yp = C600 - p (16)

dimana:
 = plastic viscosity, cp
Yp = yield point Bingham, lb/100 ft2
C600 = dial reading pada 600 RPM, derajat
C300 = dial reading pada 300 RPM, derajat

Harga gel strength dalam 100 lb/ft2 diperoleh secara langsung dari
pengukuran dangan alat Fann VG. Simpangan skala penunjuk akibat
digerakkannya rotor pada kecepatan 3 RPM, langsung m enunjukkan
harga gel strength 10 detik atau 10 menit dalam 100 lb/ft2

3.3. Filtrasi dan Mud Cake


Ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran dengan batuan porous,
batuan tersebut akan bertindak sebagai saringan yang memungkinan
fluida dan partikel-partikel kecil melewatinya. Fluida yang hilang ke
dalam batuan tersebut disebut "filtrate". Sedangkan lapisan partikel-
partikel besar tertahan dipermukaan batuan disebut 'filter cake".
Proses filtrasi diatas hanya terjadi apabila terdapat perbedaan tekanan
positif ke arah batuan. Pada dasarnya ada dua jenis filtration yang
terjadi selama operasi pemboran yaitu statik filtration dan dynamic
filtration. Static filtration terjadi jika lumpur berada dalam keadaan
diam dan dynamic filtration terjadi ketika lumpur disirkulasikan.

Apabila filtration loss dan pembentukan mud cake tidak dikontrol maka
akan menimbulkan berbagai masalah, baik selama operasi pemboran
maupun dalam evaluasi formasi dan tahap produksi. Mud cake yang

Lumpur Pemboran 17
tipis akan merupakan bantalan yang baik antara pipa pemboran dan
permukaan lubang bor. Mud cake yang tebal akan menjepit pipa
pemboran sehingga sulit diangkat dan diputar, sedangkan filtratnya
akan menyusup ke formasi dan dapat menimbulkan damage pada
formasi.

Standar prosedur yang digunakan dalam pengukuran volume filtration


loss dan tebal mud cake untuk static filtration adalah API RP 13B untuk
LPLT (low pressure - low temperatur) lihat Gambar 7. Lumpur
ditempatkan dalam silinder standar yang bagian dasarnya dilengkapi
kertas saring dan diberi tekanan sebesar 100 psi dengan lama waktu
pengukuran 30 menit. Volume filtrat ditampung dengan gelas ukur
dengan satuan cubic centimeter (cc).

Lumpur Pemboran 18
Gambar 7
Rangkaian Peralatan Pengukuran Filtration Loss LPLT

Persamaan untuk volume filtrat yang dihasilkan dapat diturunkan dari


persamaan Darcy, persamaannya adalah sebagai berikut:
1
  Cc  2
 2 k  Cm  1 pt 
  (17)
Vf  A  
  
 
 

dimana :
A = Filtration area
k = Permeabilitas cake
Cc = Volume fraksi solid dalam mud cake
Cm = Volume fraksi solid dalam lumpur
P = Tekanan Filtrasi

Lumpur Pemboran 19
t = waktu filtrasi = Viskositas filtrat

Pembentukan mud cake dan filtration loss adalah dua kejadian dalam
pemboran yang berhubungan erat, baik waktu maupun kejadiannya
maupun sebab dan akibatnya Oleh sebab itu maka pengukurannya
dilakukan secara bersamaan.

Persamaan yang umum digunakan untuk statik filtration loss adalah :


0.5
t 
Q2  Q1 x 2  (18)
 t1 

dimana :
Q1 = Fluid loss pada waktu t1
Q2 = Fluid loss pada waktu t2

3.4. Sifat-sifat Lumpur Pada Tekanan Dan Temperatur Tinggi


Effisiensi operasi pemboran sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat lumpur.
Oleh sebab itu pemeliharaan dan mempelajari sifat-sifat lumpur
menjadi sangat penting artinya.
Kondisi lingkungan pemboran, dalam hal ini adalah tekanan dan
temperature dapat mempengaruhi sifat-sifat lumpur tersebut. Dimana
pada umumnya temperatur yang tinggi dapat mengurangi effektifitas
aditif yang ditambahkan kedalam lumpur sebagai pembentuk sifat-sifat
lumpur. Jika pada kondisi tersebut sifat-sifat lumpur tidak dapat
dikontrol, maka dapat menimbulkan masalah terhadap kecepatan
pemboran, bit dan hole cleaning, kestabilan lubang bor dan masalah-
masalah lainya yang cukup serius.

Salah satu sifat lumpur yang akan dipelajari dalam percobaan ini
adalah filtration/water loss pada tekanan dan temperatur tinggi.
Pengukuran fluid loss tersebut menggunakan High-Temperature dan
High-Pressure (HPHT) filter press yang mempunyai prinsip yang sama
dengan standart filter press (lihat Gambar 8). Untuk mengindikasikan

Lumpur Pemboran 20
kecepatan filtrasi pada formasi permeable yang ditutupi oleh mud cake
yang terbentuk setelah pemboran, maka digunakan filter-paper
standar, selain itu pembentukan mud cake harus dibawah kondisi
standar test. Dari penurunan persamaan Darcy, maka didapat
hubungan antara volume filtrat yang terkumpul terhadap waktu, yaitu :
1
  fsc   t 
0.5
2
Vf   2kP
 fsm 
 A
 

 (19)
     
 

Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai :

Vf = C t 0.5 (20)

dengan:
Vf = volume filtrat lumpur yang terkumpul, (cc)
K = Permeabilitas mud cake, (D)
P = Perbedaan tekanan yang melalui mud cake, (atm)
fsc = Fraksi volume solid pada mud cake
fsm = Fraksi volume solid pada lumpur
 = Viscositas filtrat, (cp)
A = Luas filter paper, (cm2)
t = Waktu, (detik)
C = Konstanta

Lumpur Pemboran 21
Keterangan Gambar

1. Top Pressure Assembly 2. Cell


1.a Sumber Tekanan 2.a Outlet-Steam
1.b Regulator 2.b Inlet-Steam
1.c Pressure Gauge 2.c "O" ring
1.d Inlet Valve 2.d Filter Paper
1.e Bleed Valve 2.e Tutup Sel

3. Jacket 4. Bottom Pressure Assembly


3.a Thermostat 4.a Pressure Gauge
3.b Pen 4.b C02 Catridge
3.c Thermometer Well

Gambar 8
Skema Alat HP-HT Filter Press

Lumpur Pemboran 22
Sifat filtration loss lumpur, dinyatakan dalam API water loss, yaitu
volume filtrat yang dikumpulkan selama 30 menit pada kondisi standar
test. Untuk pengukuran water loss dengan menggunakan HPHT filter
press, maka :
API water loss = 2 x V30

dimana :
V30 = 2 ( V7.5 – Vsp) + Vsp
V30 = volume filtrat yang dihasilkan selama 30 menit
V7.5 = volume filtrat yang dihasilkan selama 7.5 menit
Vsp = volume spurt loss

Selain sifat water loss dari lumpur, percobaan ini juga mempelajari
pengaruh temperatur terhadap sifat rheology lumpur. Pada umumnya
kenaikan temperatur menyebabkan lumpur menjadi lebih encer, tetapi
hal ini tergantung dari tipe dan total solid didalam lumpur tersebut. Hal
ini mengakibatkan plastic viscosity lumpur akan berkurang., Jika
dibandingkan dengan fasa liquidnya, dalam hal ini adalah air, maka
penurunan PV tersebut menunjukan trend yang sama sampai harga
temperatur tertentu. Diatas harga tersebut, PV tidak mengalami
penurunanan terhadap naiknya temperature Keadaan ini diakibatkan
oleh meningkatnya efek friksi digesekan dari fasa solid jika
dibandingkan dengan kecepatan pengenceran dari fasa liquidnya.

Alat yang digunakan untuk mengetahui sifat rheology adalah Fann VG


Viscometer yang dilengkapi cup heater untuk menaikan temperatur
lumpur. Lumpur yang akan di tes ditempatkan sedemikian rupa
sehingga mengisi ruangan antara Bob dan Rotor sleeve. Pada saat
rotor berputar, maka lumpur akan menghasilkan torque pada Bob
sebanding dengan besarnya viskositas lumpur.

Lumpur Pemboran 23
Dari skala pembacaan-yang dihasilkan, maka dapat dihitung sifat
rheology lumpur sebagai berikut :
a. PV = 600 - 300
b. a = 300 - PV
c. YP = 0. 5 600
d. GS = 3

dimana :
PV = Plastik Viscosity (cp)
a = Apparent Viscosity (cp)2
YP =Yield Point (Ib/100 ft
300 = Dial Reading pada 300 RPM
600 = Dial Reading pada 600 RPM
GS = Gel Strength (Ib/100 ft2)
3 = Dial Reading pada 3 RPM

3.5. Analisa Kimia Lumpur Bor


Seperti telah diketahui lumpur bor sangat menentukan keberhasilan
suatu operasi pemboran. Oleh sebab itu penanganan sifat-sifat fisik
maupun kimia lumpur bor harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan
cara menganalisis perubahan pada sifat-sifatnya.

Dalam percobaan akan dilakukan analisis kimia lumpur bor dan


filtratnya, yaitu : analisis kimia alkalinitas, analisis kesadahan total,
analisis kandungan ion chlor, ion calsium, ion besi, serta pH lumpur bor
(dalam hal ini filtratnya).

Alkalinitas atau keasaman lumpur, ditunjukkan dengan harga pHnya,


tetapi karakteristik lumpur dapat berfluktuasi meskipun harga ph-nya
tetap. Hal ini berhubungan dengan bervariasinya jenis dan jumlah ion-
ion yang terdapat di dalam lumpur bor (filtrat lumpur), dalam
percobaan ini yang akan dianalisis adalah alkalinitas filtratnya.

Lumpur Pemboran 24
Kesadahan total dari lumpur (filtrat lumpur) pemboran dilakukan
dengan menyelidiki kandungan ion Mg+2 dan Ca +2
di dalam lumpur bor
(filtrat lumpur).

Analisis ion chlor merupakan hal yang penting untuk dilakukan,


terutama jika pemboran dilakukan di daerah yang kemungkinan
terkontaminasinya ion oleh garam NaCl sangat besar. Caranya adalah
dengan mentitrasi suatu filtrat lumpur dengan larutan standar perak
nitrat.

Adanya ion calsium dalam jumlah yang banyak dalam lumpur bor juga
perlu untuk dianalisis, hal ini berkaitan dengan kemungkinan terjadinya
kontaminasi lumpur oleh gypsum, yang akan merubah sifat-sifat fisik
lumpur, seperti besar water loss dan gel strength-nya. Begitu pula
dengan analisis kandungan ion besi di dalam lumpur bor, karena ion
besi yang terdapat dalam lumpur dapat mengindikasikan terjadinya
korosi pada peralatan.

3.6. Kontaminasi Lumpur Pemboran


Sejak digunakannya teknik rotary drilling dalam operasi pemboran
lapangan minyak, lumpur pemboran menjadi faktor yang penting.
Bahkan lumpur pemboran menjadi salah satu pertimbangan dalam
mengoptimasikan operasi pemboran. Oleh sebab itu mutlaklah untuk
memelihara atau mengontrol sifat-sifat fisik lumpur pemboran agar
sesuai dengan yang diinginkan.

Salah satu penyebab berubahnya sifat fisik lumpur adalah adanya


material-material yang tidak dinginkan (kontaminan) yang masuk
kedalam lumpur pada saat operasi pemboran sedang berjalan.
Kontaminasi yang sering sekali terjadi adalah sebagai berikut :
1. Kontaminasi Sodium Chlorida
Kontaminasi ini terjadi saat pemboran menembus kubah garam
(salt dome), lapisan garam, lapisan batuan yang mengandung

Lumpur Pemboran 25
konsentrasi garam cukup tinggi atau akibat air formasi yang
berkadar garam tinggi dan masuk kedalam sistim lumpur. Akibat
adanya kontaminasi ini, akan mengakibatkan berubahnya sifat
lumpur seperti viscositas, yield point, gel strength adanya filtration
loss. Kadang-kadang penurunan pH dapat pula terjadi bersamaan
dengan kehadiran garam pada sistim lumpur.

2. Kontaminasi Gypsum
Gypsum dapat masuk kedalam lumpur saat pemboran menembus
formasi gypsum lapisan gypsum yang terdapat pada formasi shale
atau limestone. Akibat adanya gypsum dalam jumlah yang cukup
banyak dalam lumpur pemboran, maka akan merubah sifat-sifat
fisik lumpur tersebut seperti viscositas plastik, yield point, gel
strength dan fluid loss.

3. Kontaminasi Semen
Kontaminasi semen dapat terjadi akibat operasi penyemenan
yang kurang sempurna atau setelah pengeboran lapisan semen
dalam casing, float collar dan casing shoe. Kontaminasi semen
akan merubah viscositas, yield point, gel strength, fluid loss dan
pH lumpur.

Selain dari ketiga kontaminasi diatas, bentuk kontaminasi lain


yang dapat terjadi selama operasi pemboran adalah :
a. Kontaminasi " hard water ", atau kontaminasi oleh air yang
mengandung ion calsium dan magnesium cukup tinggi.
b. Kontaminasi Carbon Dioxside
c. Kontaminasi Hydrogen Sulfide
d. Kontaminasi Oxygen.

3.7. Sifat Pelumasan Lumpur Dengan Metode Multi-Torsi


Sifat pelumasan lumpur adalah kemampuan lumpur untuk melumasi
bagian alat-alat pemboran yang saling bersinggungan atau

Lumpur Pemboran 26
bergesekan pada saat pemboran berlangsung. Gesekan-gesekan
yang mungkin terjadi pada saat operasi pemboran adapun seperti
berikut :
 Metal to metal : antara drill string dan casing (cased hole).
 Metal to mineral : antara drillstring dengan borehole wall,
borehole solid atau dengan filter cake (open hole).
 Mineral to mineral : terjadi ketika membor batuan dengan
borehole wall.

Sifat pelumasan yang baik terutama diperlukan untuk memperpanjang


umur peralatan (misalnya bit, casing, dll). Selain itu berguna pula untuk
melawan efek side wall sticking, menurunkan efek drillpipe torque
(moment puntir) dan drillpipe drag (seretan).

Dengan berkembangnya teknologi di bidang pemboran maka sifat


pelumasan lumpur semakin penting artinya. Pada pemboran
bersudut/miring, torque dan drag dari drillstring serta keausan (wear)
casing sangat tinggi. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah-
masalah operasional yang tidak diperkirakan sebelumnya dan akan
meningkatkan biaya pemboran.

Masalah yang sama juga dijumpai pada pemboran sumur-sumur


horisontal. Lumpur yang biasa dipakai pada pemboran vertikal perlu
diperbaiki untuk menghasilkan sifat pelumasan yang sesuai dengan
yang dibutuhkan untuk keperluan pemboran sumur horisontal.

Prinsip untuk melakukan pengujian terhadap sifat pelumasan lumpur


pemboran, digunakan alat Extreme Pressure Lubricity Tester (lihat
Gambar 9) yang prosedurnya telah dimodifikasi. Dengan menganggap
bahwa dasar yang dipakai untuk membuat modifikasi fungsi dasar alat
tersebut, sebagaimana tidak lepas dari pengaruh pelumas di antara
dua bidang yang saling bergesekan, maka secara tidak langsung

Lumpur Pemboran 27
dengan prosedur yang dibuat kemudian, pengujian dapat dilakukan
untuk mengetahui sifat pelumasan lumpur secara relatif.

Pada prinsipnya Extreme Pressure Lubricity Tester terdiri atas sebuah


ring baja berputar yang disentuhkan pada sebuah blok yang dapat
ditekan pada berbagai besar harga beban dengan menggunakan
pengatur torsi. Ring, dan blok dibenamkan dalam lumpur pada saat
pengujian dan gaya gesek yang terjadi antara dua benda tersebut
dapat diukur/dibaca pada skala. Dalam pengukuran yang sebenamya,
harga gaya gesek yang diperoleh (pada beban dan RPM-tertentu)
dapat dikorelasikan dengan menggunakan grafik untuk mengetahui
koefisien gesek yang terjadi pada suatu jenis fluida pemboran.

Gambar 9
Extreme Pressure Lubricity Tester

Lumpur Pemboran 28
Dengan pengujian ini, dapat diketahui sifat pelumasan lumpur, relatif
terhadap lumpur lainnya dan kecenderungan perubahan sifat
pelumasan lumpur yang terjadi akibat perubahan harga beban dan
jumlah zat additive. Pada setiap jenis lumpur dilakukan pengukuran
pada berbagai harga beban torsi dan kemudian direpresentasikan
dalam bentuk grafik antara gaya friksi dengan beban torsi. Gambaran
yang dapat dilihat secara tidak langsung adalah bahwa terjadinya gaya
friksi yang lebih besar diakibatkan oleh sifat pelumasan lumpur yang
rendah.

4. Hidrasi Bentonite

Telah diketahui bahwa bentonite menghidrasi dalam air dengan ukuran


yang bervariasi. Hidrasi Bentonite terbentuk dalam lembaran-lembaran
silica dan, alumina, dengan aturan yang berbeda-beda untuk
membentuk lapisan dari masing-masing mineral clay, lihat Gambar 10.

Lumpur Pemboran 29
Gambar 10
Hidrasi Bentonite

Partikel clay ini bisa terdiri dari satu macam lapisan atau sampai tak
terhingga, yang saling tumpuk menyerupai sebuah deck kartu-kartu
yang diikat bersama-sama dalam suatu gaya residual. Ketika
tersuspensi dalam air; clay akan memperlihatkan bermacam-macam
derajat swelling-nya. Molekul bentonite terdiri dari tiga layer yaitu :
sebuah layer alumina dan layer silika yang berada diatas dan dibawah
layer alumina.

Plate (lempengan) bentonite bermuatan negatif dan mempunyai kation-


kation yang berlawanan dan I bergabung dengannya. Jika kation-kation
ini adalah sodium (Na), maka clay tersebut disebut Sodium
Montmorillonite, jika kalsium (Ca) maka disebut Calcium Monmorillonite.

Bila suspensi clay dan air dari hasil pengadukan yang sempuma, maka
akan terdapat tiga model ikatan lempeng yaitu :
 Tepi terhadap tepi
 Muka terhadap tepi
 Muka terhadap muka

Mata rantai dari partikel-partikel ini akan terbentuk secara serentak atau
hanya terdapat satu jenis mata rantai yang akan menguasai proses
tersebut.

Berdasarkan cara penggabungan lempeng (lihat Gambar 11), terdapat


empat cara yang berbeda
 Disperi
 Aggregasi
 Flokulasi
 Deflokulasi

Lumpur Pemboran 30
Gambar 11
Ikatan Lempeng

Lumpur Pemboran 31
4.1. Dispersi
Lempengan-lempengan yang tersuspensi di dalam larutan dalam
keadaan tersebar merata dan tidak terdapat ikatan antara permukaan
maupun tepi dari lempengan-lempengan

Karena jumlah dari partikel yang tersuspensi besar, maka akan


menghasilkan kenaikkan pada viskositas dan gel strength. Biasanya
lempengan-lempengan clay teraggregasi sebelum terhidrasi dan setelah
terjadi hidrasi dan diaduk, keadaan ini berubah menjadi terdispersi.

Derajat terdispersinya tergantung pada kandungan elektrolit dalam fasa


cair, waktu, temperature ion-ion yang dapat saling dipertukarkan serta
konsentrasi clay.

4.2. Flokulasi
Bila lempengan-lempengan clay bergabung satu dengan yang lainnya
dimana didalam sistem akan terdapat ikatan muka dengan tepi lempeng,
tepi dengan tepi lempeng yang tidak tersebar secara merata didalam
fasa cairnya. Flokulasi akan, Menghasilkan clay yang menggumpal
sehingga akan menghasilkan gel yang berlebihan.

4.3. Aggregasi
Aggregasi terjadi bila muka antar muka atau tepi dengan tepi lempeng
clay saling berikatan satu sama lainnya dan tersebar didalam fasa
cairnya.

4.4. Deflokulasi
Deflokulasi terjadi bila dalam larutan yang terflokulasi terjadi pemutusan
ikatan antara tepi dengan muka, yaitu dengan penambahan thinner ke
dalam sistem, sehingga sistem kembali ke dalam fasa terdispersi.

Lumpur Pemboran 32
5. Jenis-Jenis Lumpur Bor
ZABA dan DOHERTY (1970) mengklasifikasikan lumpur bor terutama
berdasarkan fasa fluidanya : air (water base), minyak (oil base) atau gas,
sebagai berikut
I. Fresh water muds (lumpur air tawar)
a. Spud
b. Natural atau Native (alamiah).,
c. Bentonite - treated
d. Phosphate - treated
e. Organic coloid - treated
f. "Red" atau alkaile -tannate treated
g. Calcium muds.
 Lime.- treated
 Gypsum -treated
 Calcium - (selain 1 & 2 treated.)

II. Salt Water Muds (air asin)


a. Unsaturated salt water
b. Saturated salt water
c. Sodium silicate

Ill. Oil in Water Emulsion


a. Fresh Water (air tawar)
b. Salt water (air asin)

IV. Oil Base dan Oil Base emulsion muds

V. Gaseous Drilling Fluids


a. Udara atau Natural gas
b. Aerated Muds.

5.1. Fresh Water Muds


Adalah lumpur yang fasa cairnya adalah air tawar dengan (kalau ada)
kadar garam yang kecil (kurang dari 1 0000 ppm = 1 % berat garam).
A. Spud Mud
Spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas bagi
conductor casing. Fungsi utamanya mengangkat cutting dan
membuka lubang dipermukaan (formasi atas). Volume yang diperlukan

Lumpur Pemboran 33
biasanya sedikit dan dapat dibuat dari air dan bentonite (yield I 00 bbl /
ton) atau clay air tawar yang lain, (yield 35 - 50 bbl / ton). Tambahan
bentonite atau clay perlu dilakukan untuk menaikan viscositas dan gel
strength bila m em bor pada zone-zone loss. Kadang- kadang perlu
lost circulation material. Density harus kecil saja.

B. Natural Mud
Natural mud dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dalam fasa air.
Sifat-sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang dibor. Umumnya
type lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti
pemboran pada surface casing (permukaan). Dengan bertambahnya
kedalaman pemboran sifat-sifat lumpur yang lebih baik diperlukan dan
natural mud ini ditreated dengan zat-zat kimia dan additive-additive
koloidal. Beratnya sekitar 9.1 - 10.2 ppg, dan viscositasnya 35 - 45
detik.

C. Bentonite - treated Mud


Mencakup sebagian besar dari type-type lumpur air tawar. Bentonite
adalah material yang paling umum digunakan untuk membuat koloid
inorganis untuk mengurangi filter loss dan mengurangi tebal mud cake
(ketebalan mud cake). Bentonite juga menaikan viscositas dan gel
yang mana dapat dikontrol dengan thinner.

D. Phosphate Treated Mud


Mengandung polyphosphate untuk mengontrol viscositas dan gel
strength. Penambahan zat ini akan berakibat pada terdispersinya
fraksi-fraksi clay colloid padat sehingga density lumpur dapat cukup
besar tetapi viscositas dan gel strengthnya rendah. la mengurangi filter
loss serta mud cake dapat tipis. Tannin sering ditam bahkan bersama
sama dengan polyphosphate untuk pengontrolan lumpur.

Polyphosphate tidak stabil pada temperatur tinggi (sumur-sumur


dalam) dan akan kehilangan effeknya sebagai thinner. (Polyphosphate

Lumpur Pemboran 34
akan rusak pada kedalaman 10.000 ft atau temperatur 160 - 180 OF,
karena berubah ke Orthophosphate yang malah menyebabkan
terjadinya flokulasi). Juga Phosphate mud sukar dikontrol pada
density lumpur tinggi (yang sering berhubungan dengan pemboran
dalam). Dengan penambahan zat-zat kimia dan air, density lumpur
dapat dijadikan 9-11 ppg. Polyphosphate mud juga menggumpal bila
terkena kontaminasi NaCl, Calcium Sulfate atau kontaminasi semen
dalam jumlah banyak.

E. Organic Colloid Treated Mud


Terdiri dari penambahan Pregelatinized Starch atau Carboxy
MethylCellulose pada lumpur. Karena organic colloid tidak terlalu
sensitif terhadap flokulasi seperti clay, maka control filtrasinya pada
lumpur yang terkontaminasi dapat dilakukan dengan organic colloid ini
baik untuk mengurangi filtration loss pada fresh water mud. Dalam
kebanyakan lumpur penurunan filter loss lebih banyak dapat dilakukan
dengan koloid organic daripada dengan inorganic.

F. "Red" Mud
Red Mud mendapatkan warnanya dari warna yang dihasilkan oleh
treatment dengan caustic soda dan quebracho (merah tua). lstilah ini
akan tetap digunakan walaupun nama-nama colloid yang dipakai
sekarang ini mungkin menyebabkan warna-warna abu-abu kehitaman.
Umurnya istilah ini digunakan untuk lignin-lignin tertentu dan humic
thinner selain untuk tannin diatas. Suatu jenis lain lumpur ini adalah
alkaline tannate treatment dengan penambahan polyphosphate untuk
lumpur-lumpur dengan pH dibawah 10. Perbandingan alkaline,
organic dan polyphosphate dapat diatur sesuai dengan kebutuhan
setempat. Alkaline-tannate treated mud mempunyai range pH 8 - 13.

Alkaline tannate dengan pH kurang dari 10 sangat sensitif terhadap


flokulasi karena kontaminasi garam. Dengan naiknya pH maka lebih
sukar untuk flokulasi. Untuk pH lebih dari 11.5, Pregelatinized starch

Lumpur Pemboran 35
dapat digunakan tanpa bahaya fermentasi. Dibawah pH ini,
preservative harus digunakan untuk mencegah fermentasi (meragi)
pada fresh water mud. Jika diperlukan density lumpur yang tinggi lebih
murah bila digunakan treatment yang menghasilkan calcium treated
mud dengan pH yang tingginya 12 atau lebih.

G. Calcium Mud
Lumpur ini mengandung larutan calcium (disengaja). Calcium bisa
ditambah dalam bentuk slaked lime (kapur mati), semen, plaster
(CaSO4) dipasaran atau CaCI2, tetapi dapat pula karena pemboran
semen, anhydrite dan gypsum.
 Lime Treated Mud
Lumpur ini ditreated dengan caustic soda atau organic thinner,
hydrated lime dan untuk mendapat filter loss rendah, suatu koloid
organik. Treatment ini menghasilkan lumpur dengan pH 11.8 atau
lebih, dan 60 - 100 (3 - 20 epm) ppm ion Ca dalam filtrat. Lumpur
ini menghasilkan viscositas dan gel strength rendah, memberi
suspensi yang baik bagi material-material pemberat, mudah
dikontrol pada density sampai 20 ppg, toleran terhadap
konsentrasi garam (penyebab flokulasi) yang relatif besar dan
mudah dibuat dengan filter loss rendah. Keuntungannya terutama
pada kemampuannya untuk membawa konsentrasi padatan clay
dalam jumlah besar pada viscositas lebih rendah daripada dengan
type-type lumpur lainnya. Kecuali tendensinya untuk memadat
pada temperatur tinggi, lumpur ini cocok untuk pemboran dalam
dan untuk mendapatkan density tinggi. Pilot test dapat dibuat
untuk menentukan tendensinya untuk memadat, dan dengan
penambahan zat kimia pemadatan ini dapat dihalangi untuk
sementara waktu untuk memberi kesempatan pemboran
berlangsung beserta test-test sumumya. Suatu lumpur lime
treated yang bertendensi memadat tak boleh tertinggal pada
casing-tubing annulus pada waktu well completion dilangsungkan.

Lumpur Pemboran 36
Penggunaan/penyelidikan yang extensive pada lumpur type lime
treated ini menghasilkan variasi-variasi lumpur yang ditujukan
pada lumpur yang sukar memadat. Dengan ini, timbul dua jenis
lain, yaitu "lime mud "dan" Low lime mud "yang bedanya hanya
pada jumlah excess limenya. "Lime Mud" umumnya mengandung
konsentrasi caustic soda dengan lime yang tinggi, dengan excess
lime bervariasi antara 5 - 8 lb/bbl, sedangkan "Low lime mud'
mengandung caustic soda dan lime lebih sedikit, dengan excess
lime 2 4 lb/bbl.

Jenis calcium treated mud yang lain adalah "shale control mud".
Pada lumpur ini dianjurkan agar kadar ion Ca-nya pada filtrat
dibuat minimal 400 ppm, dengan excess lime bervariasi antar 1 -2
lb/bbl. Sifat kimia lumpur dan filtrat memberikan suatu tahanan

terhadap hidrasi/swelling shale dan clay formation. Pada


temperature tinggi (yang cukup lama waktunya) lumpur ini tidak
sesuai untuk ditempatkan pada casing tubing annulus waktu
completion (dimana lumpur ini akan memadat). Resistivity
listriknya yang umumnya rendah (0.5 - 1.0 ohm-meter) merugikan
SP-iogging, sebaliknya toleransinya pada Contaminant memberi
kemungkinan untuk penambahan garam agar resistivitynya sesuai
untuk later6log dan focused electrode log.

 Gypsum Treated Mud


Lumpur ini berguna untuk membor formasi anhydrite dan gypsum,
terutama bila formasinya interbedded (selang-seling) dengan
garam dan shale. Treatmentnya adalah dengan mencampur base
mud (lumpur dasar) dengan plaster (CaSO4 dipasaran) sebelurn
formasi anhydrilte dan gypsum dibor. Dengan penambahan
plaster tersebut pada rate yang terkontrol, maka viscositas dan
-gel strength yang berhubungan dengan Contaminant ini dapat
dibatasi. Setelah clay dilumpur bereaksi dengan ion Ca, tak akan

Lumpur Pemboran 37
terjadi pengentalan lebih lanjut dalam pemboran formasi gypsum
atau garam. Gypsum treated mud dapat dikontrol filtrate lossnya
dengan organic colloid dan karena pH- nya rendah, maka
preservative harus ditambahkan untuk mencegah fermentasi.
Preservasi ini boleh dihentikan penambahannya bila garam yang
dibor cukup untuk memberikan saturated salt water mud.
Suatu modifikasi dari gypsum treated mud adalah dengan
penggunaan chrome lignosulfonate deflocculant yang memberikan
control pada characteristic flat gels pada lumpur tersebut. Lumpur
gypsum chrom lignosulfonate ini mempunyai sifat yang sama
baiknya dengan time treated mud, karena itu ia digunakan Dada
daerah-daerah yang sama seperti penggunaan lime treated mud.
Penggunaan non-ionic surfactant dalam gypsum chroms
lignosulfonate mud menghasilkan pengontrolan yang lebih baik
pada filtrate loss dan flow propertiesnya, selain toleransinya yang
besar terhadap kontaminasi garam.

 Calcium salt
Selain hydrated lime dan gypsum telah digunakan tetapi tidak
meluas. Juga zat-zat kimia yang memberi suplai kation multivalent
untuk base exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti
Ba(OH)2 telah digunakan.

5.2. Salt Water Mud


Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam massive (salt
dome) atau salt stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang
bila ada aliran air garam yang terbor. Filtrate lossnya besar dan mud-
cakenya tebal bila tidak ditambah organic colloid..ph lumpur dibawah
8, karena itu perlu preservative untuk menahan fermentasi starch. Jika
salt mudnya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermentasi terhalang
oleh basa. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan penggunaan
attapulgite sebagai pengganti bentonite.

Lumpur Pemboran 38
A. Unsaturated Salt Water Mud
Air laut dari laut lepas atau teluk sering digunakan untuk lumpur yang
tak jenuh kegaramannya ini. Kegaraman (salinity) lumpur ini ditandai
oleh :
1. Filtrate loss besar kecuali ditreated dengan organic colloid.
2. Medium sampai tinggi pada gel strength kecuali ditreated
dengan thinner.
3. Suspensi yang tinggi kecuali ditreated dengan attapulgite atau
organic colloid.

Lumpur ini biasa mengalami 'foaming", yaitu berbusa (gas


menggelembung) yang bisa diredusir dengan :
1. Menambah soluble surface active agents
2. Menambah zat kimia untuk menurunkan gel strength. Lumpur
yang terkena kontaminasi garam juga ditreated seperti pada
sea water mud ini.

B. Saturated saltwater mud


Fasa cair lumpur ini dijenuhkan dengan NaCl. Garam-garam lain dapat
pula berada disitu dalam jumlah yang berlainan. Saturated salt water
mud dapat digunakan untuk membor formasi-formasi garam dimana
rongga-rongga yang tegadinya karena pelarutan garam dapat
menyebabkan hilangnya lumpur, dan ini dicegah oleh penjenuhan
garam terlebih dahulu pada lumpurnya.

Lumpur ini juga dibuat dengan menambahkan air garam yang jenuh
untuk pengenceran dan pengaturan volume.

Filtrate loss yang rendah pada saturated salt organik colloid mud
menyebabkan tidak perlunya memasang casing diatas salt beds
(formasi garam). Filtrate loss-nya bisa dikontrol sampai 1 cc API
dengan organic colloids. Saturated salt water muds bisa dibuat
berdensity lebih dari 19 ppg. Dengan menambahkan organik colloid

Lumpur Pemboran 39
agar filtration lossnya kecil, lumpur ini bisa untuk membor formasi
dibawah salt beds, walaupun resistivity-nya yang rendah buruk bagi
electric logs.

Gabungan dari non-Ion surfactant menyebabkan pengontrolan filtrasi


dan flow properties yang lebih mudah dan murah, terutama pada
density tinggi.

Saturated salt muds ini dapat pula dibuat dari fresh water atau brine
mud. Jika dibuat dari fresh water mud maka paling tidak separuh dari
lumpur semula harus dibuang. Ini diperlukan untuk pengenceran
dengan air tawar dan penambahan lebih kurang 125 lb garam/bbl
lumpur. Jika dikehendaki pengontrolan filtration loss, suatu organic
colloid dan preservative dapat ditambahkan.

Jika lumpurnya dibuat dari saturated brine (air garam yang jenuh)
sekitar 20lb/bbl attapulgite ditambahkan bersama dengan organic
colloid dan mungkin preservative. Lumpur ini density-nya 10.3 ppg
dan akan naik sampai sekitar 11 ppg selama pem boran berlangsung.
Pemeliharaannya termasuk penambahan air asin untuk mengurangi
viscositas, attapulgite untuk menambah viscositas dan organik colloids
untuk mengontrol filtrasi. Jika saturated salt water muds digunakan
untuk membor shale maka control viskositas, gel dan filtrasi dapat
diperoleh dengan penambahan alkaline-tannate solution, atau sedikit
lime.

Emulsified salt water muds telah umum digunakan di. Kansas dan
Dakota. Ini mempunyai sifat-sifat baik dari conventional emulsion
muds. Lumpur ini menunjukkan tendensi foaming (berbusa) yang bisa
dicegah dengan penambahan surfactant.

Lumpur Pemboran 40
C. Sodium-Silicate Muds
Fasa cair Na-silicate mud mengandung sekitar 65% volume larutan
Na-silicate dan 35% larutan garam jenuh. Lumpur ini dikembangkan
untuk digunakan bagi pemboran heaving shale, tetapi telah terdesak
penggunaannya oleh lime treated gypsum lignosulfonate, shale
control, dan surfactant muds (lumpur yang diberi DAS dan DME) yang
lebih baik, murah dan mudah dikontrol sifat-sifatnya.

5.3. Oil-in-Water Emultion Muds (Emulsion Mud)


Pada lumpur ini minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air
sebagai fasa kontinyu. Jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air.
Sebagai dasar dapat digunakan baik fresh maupun salt water mud.
Sifat-sifat fisis yang dipengaruhi emulsifikasi hanyalah berat lumpur,
volume filtrat, tebal mud cake dan pelumasan. Segera setelah
emulsifikasi, filtrate loss berkurang. Keuntungannya adalah bit yang
lebih tahan lama, penetration rate naik, pengurangan korosi pada drill
string, perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas dan tekanan
pompa boleh/dapat dikurangi, water loss turun, mud cake turun, mud
cake tipis) dan mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan
lumpur) pada drill string. Viskositas dan gel lebih mudah dikontrol bila
emulsifiernya juga bertindak sebagai thinner.

Umumnya oil-in-water emulsion mud dapat bereaksi dengan


penambahan zat dan adanya kontaminasi seperti juga lumpur asalnya.

Semua minyak dapat digunakan (crude) tetapi lebih baik bila


digunakan minyak refinery (refined oil) yang mempunyai sifat-sifat sbb:
1. Uncracked (tidak terpecah-pecah molekulnya), supaya stabil.
2. Flash point tinggi, untuk mencegah bahaya api.
3. Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak merusakan
karet-karet dipompa/circulation system.
4. Pour point rendah, agar bisa digunakan untuk bermacam-
macam temperature

Lumpur Pemboran 41
Suatu keuntungan lainnya adalah. bahwa karena bau serta
fluorescensinya lain dengan crude oil (mungkin yang berasal dari
formasi), maka ini berguna untuk pengamatan cutting oleh geolog
dalam menentukan adanya minyak di pemboran tersebut.. Adanya
karet-karet yang rusak dapat juga dicegah dengan penggunaan karet
sintetis.

Fresh water oil-in-water emulsion muds adalah lumpur yang


mengandung NaCl sampai sekitar 60,000 ppm. Lumpur emulsi ini
dibuat dengan menambahkan emulsifier (pembuat emulsi) ke water
base mud diikuti dengan sejumlah minyak yang biasanya 5 - 25%
volume. Jenis emulsifier bukan sabun lebih disukai karena ia dapat
digunakan dalam lumpur yang mengandung larutan Ca tanpa
memperkecil emulsifiernya dalam hal effisiensi. Emulsifikasi minyak
dapat bertambah dengan agitasi (diaduk).
Maintenancenya terdiri dari penambahan minyak dan emulsifier secara
periodik. Jika sebelum emulsifikasi lumpumya mengandung
persentase clay yang tinggi, pengenceran dengan sejumlah air perlu
dilakukan untuk mencegah kenaikan viskositas. Karena keuntungan
dalam pemboran dan mudahnya pengontrolan maka lumpur ini disukai
orang.

Salt water oil-in water absorption mud mengandung paling sedikit


60,000 ppm NaCl dalam fasa airnya. Emulsifikasi dilakukan dengan
emulsufier agent-organik. Lumpur ini biasanya mempunyai pH
dibawah 9, dan cocok digunakan untuk daerah-daerah dimana perlu
dibor garam massive atau lapisan-lapisan garam, seperti di Kansas,
Rocky Mountain, Dakota dan Canada Barat. Emulsi ini mempunyai
keuntungan-keuntungan seperti juga pada fresh water emulsion: 1).
density-nya kecil 2). filtrate loss sedikit dan mud cake tipis dan lubrikasi
lebih baik. Lumpur demikian mempunyai tendensi untuk foaming yang
bisa dipecahkan dengan penambahan surface active agent tertentu.

Lumpur Pemboran 42
Maintenance lumpur ini sama seperti pada salt mud biasa kecuali
perlunya menambah emulsifier, minyak dan surface active defoamer
(anti foam).

5.4. Oil Base dan Oil Base Emulsion Mud


Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinunya.
komposisinya diatur agar kadar airnya rendah (3 - 5% volume). Relatif
lumpur ini tidak sensitif terhadap contaminant. Tetapi airnya adalah
kontaminant karena memberi effek negatif bagi kestabilan lumpur ini.
Untuk mengontrol viskositas, menaikkan gel strength, mengurangi efek
kontaminasi air dan mengurangi filtrate loss, perlu ditambahkan zat-zat
kimia.

Faedah oil base mud didasark8n pada kenyataan bahwa filtratnya


adalah minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau day
yang sensitif baik terhadap formasi biasa maupun formasi produktif
(Jadi ia juga untuk completion mud). Guna terbesar adalah pada
completion dan work over sumur. Kegunaan lain adalah untuk
melepaskan drill pipe yang terjepit, mempermudah pemasangan
casing dan liner.

Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tangki besi untuk
menghindarkan kontaminasi air. Rig harus dipersiapkan agar tidak
kotor dan bahaya api berkurang.

Oil base emulsion dan lumpur oil base mempunyai minyak sebagai
fasa kontinu dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya oil base
emulsion mud mempunyai faedah yang sama seperti oil base-mud,
yaitu filtratnya minyak dan karena itu tidak menghidratkan shale/clay
yang sensitif. Perbedaan utamanya dengan oil base mud adalah
bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan
kontaminasi). Air yang teremulsi dapat antara 15 – 50% volume,
tergantung density dan temperatur yang diinginkan (dihadapi dalam

Lumpur Pemboran 43
pemboran). Karena air merupakan bagian dari lumpur ini, maka
lumpur ini mempunyai sifat-sifat lain dari oil base mud yaitu ia dapat
mengurangi bahaya api, toleran pada air, dan pengontrolan flow
propertisnya dapat seperti pada water base mud.

5.5. Gaseous Drilling Fluid


Digunakan untuk daerah-daerah dengan formasi keras dan kering.
Dengan gas atau udara dipompakan pada annulus, salurannya tidak
boleh bocor.

Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi adanya
formasi air dapat menyebabkan bit balling (bit dilapisi cutting/padatan-
padatan) yang mana merugikan. Juga tekanan formasi yang besar
tidak membenarkan digunakannya cara ini. Penggunaan natural gas
membutuhkan pengawasan yang ketat pada bahaya api. Lumpur ini
juga baik untuk completion pada zone-zone dengan tekanan rendah.

Suatu cara pertengahan antara lumpur cair dengan gas adalah aerated
mud drilling dimana sejumlah besar udara (lebih dari 95%) ditekan
pada sirkulasi lumpur untuk memperendah tekanan hidrostatik (untuk
lost circulation zone), mempercepat pemboran dan mengurangi biaya
pemboran.

Lumpur Pemboran 44

Anda mungkin juga menyukai