Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS ANGGREK

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT


MULTIPEL DAN ZAT PSIKOAKTIF LAINNYA”

Pembimbing
dr. Wiharto, Sp. KJ

Disusun Oleh :
Dairotul Khasanah G4A017033
Ufik Maulena G4A017040
Safira Aulia R G4A017041
Rasyiqah Fitriyah G4A017043
Fiahliha Nur Azizah G4A017056

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS ANGGREK
SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT


MULTIPEL DAN ZAT PSIKOAKTIF LAINNYA”

Disusun untuk memenuhi salah satu ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh :
Dairotul Khasanah G4A017033
Ufik Maulena G4A017040
Safira Aulia R G4A017041
Rasyiqah Fitriyah G4A017043
Fiahliha Nur Azizah G4A017056

Telah dipresentasikan dan disetujui oleh pembimbing


Pada tanggal, April 2019
Pembimbing,

dr. Wiharto, Sp. KJ

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Sdr. A

2
Usia : 18 tahun
Tempat, Tanggal Lahir : 31 Januari 2001
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Karanggintung RT 05/01 Sumbang Kab.
Banyumas
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Belum Menikah
Tanggal Masuk RS : 3 April 2019

B. Anamnesis (Metode Alloanamnesis dan Autoanamnesis)


1. Alloanamnesis
Telah dilakukan alloanamnesis kepada keluarga pasien yang dilakukan
di Bangsal Anggrek RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo pada Senin, 8
April 2019 dengan identitas narasumber:
Narasumber I II
Nama Sdr. R Tn. S
Usia 35 tahun 62 tahun
Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki
Pekerjaan BHL Wiraswasta
Pendidikan SMP SD
Alamat Karanggintung 5/1 Karanggintung 5/1
Lama Kenal 18 tahun 18 tahun
Hubungan dengan Kakak Ayah
Pasien

Berikut ini hasil alloanamnesis dengan rincian sebagai berikut:


a. Keluhan Utama
Kaku pada rahang dan lidah.
b. Keluhan Tambahan
1) Gemetar pada kedua tangan
2) Air liur keluar terus menerus

3
3) Tidak bisa bicara
4) Berjalan dengan kaku
c. Riwayat Penyakit Sekarang

7 bulan yang lalu 2 minggu SMRS 2 hari SMRS


Pasien kontrol ke RS Pasien mulai
Pasien pertama kali DKT dan mendapat terdapat gejala
berobat di RSMS obat risperidone, kekakuan pada
setelah rutin clobazam dan rahang dan lidah.
mengonsumsi diazepam. Namun, Pasien mulai sulit
Alprazolam tanpa pasien meminum berbicara, berjalan
resep dokter, pasien clobazam 5 tablet dengan kaku.
kemudian merasa dan risperidone 2
kecanduan dan tablet tiap kali
ketahuan oleh minum. Pasien
ayahnya. Akhirnya minum seperti ini
pasien berhenti selama 7 hari.
konsumsi
alprazolam.

Pasien dibawa ke IGD RSMS dengan keluhan kaku pada rahang dan
lidah yang dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Pasien tidak mengakui apa
yang telah dilakukan oleh pasien sehingga rahang dan lidahnya menjadi
kaku. Keluhan kaku pada rahang dan lidah kemudian diikuti sulit bicara
dan menjadi cadel sehingga keluarganya tidak mengetahui apa yang
pasien bicarakan. Keluhan tersebut kemudian diikuti dengan kaku pada
leher dan sulit berjalan.
Menurut keterangan kakak dan ayah pasien, pasien pernah mengalami
keluhan yang sama dan sudah dirawat di RSMS sebanyak 3 kali. Pasien
juga pernah dirawat dengan keluhan batu empedu. Keluhan tersebut
biasanya terjadi setelah pasien mengonsumsi obat dari dokter tidak sesuai
dosis. Menurut keterangan kakak pasien, ia sering melihat pasien
mencampurkan obat-obat tersebut, dan setelah mengonsumsinya mata
pasien menjadi kemerahan, terlihat mengantuk dan terkadang bicara
melantur.

4
Awalnya pasien mengonsumsi obat Alprazolam yang diberikan oleh
teman-temannya. Konsumsi obat tersebut mulai saat pasien masih di
bangku SMP. Menurut kakak pasien, awalnya pasien tidak pernah
mengakui menggunakan obat tesebut, namun setelah melihat pasien
bermain dengan teman-temannya kakak pasien mengaku pasien menjadi
aneh, sering bicara melantur dan terlihat mengantuk. Kakak pasien
mengamati bahwa pada saat bermain dengan teman-temannya pasien
sering meminum alkohol dan mencampurkan kopi dengan obat-obatan.
Pasien masih mengonsumsi obat-obatan tersebut hingga bulan Agustus
2018, kemudian pasien sering mendengar suara-suara aneh sehingga oleh
ayahnya pasien dibawa ke poliklinik jiwa RSMS untuk melakukan
rehabilitasi. Beberapa bulan setelahnya, karena masalah zonasi BPJS,
pasien kemudian melanjutkan berobat di Poliklinik Jiwa RS DKT. Pada
saat di RS DKT pasien diberikan beberapa obat, salah satunya adalah
clozapin, karena obat tersebut dirasa tidak cocok maka pasien memilih
berobat di RSUD Banyumas. Pasien kemudian berobat di RSUD
Banyumas dan mendapat obat-obatan risperidone, clobazam dan
triheksipenidil.
Menurut ayah pasien, sebenarnya pasien berobat hanya untuk
mendapatkan obat-obatan tersebut dan mengonsumsinya agar pasien
merasa tenang dan dapat mengkonsumsi obat tersebut terus menerus.
Kakak pasien sering melihat pasien konsumsi obat tidak sesuai dosis dan
tidak teratur. Saat ini pasien masih sering bermain dengan teman-
temannya.
Dari pengakuan kakak pasien, pasien tidak merasa jera dengan sakit yang
dideritanya dan tetap mengonsumsi obat dengan cara yang tidak sesuai
aturan dan masih minum alkohol. Pasien memang pernah berhenti
minum alkohol setelah operasi batu empedu, namun akhir-akhir ini
pasien masih sering minum alkohol dan masih sering mengonsumsi obat-
obatan tidak sesuai aturan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
1) Psikiatri
-

5
2) Medis Umum
a) Hipertensi (-)
b) Diabetes Melitus (-)
c) Penyakit Jantung (-)
d) Alergi (-)
e) Kejang dan Kejang demam (-)
f) Trauma Kepala (-)
g) Operasi batu empedu (+)
3) Penyalahgunaan Obat-obatan, Alkohol dan Zat Adiktif
Penggunaan obat-obatan terlarang, minuman keras, dan rokok diakui
pasien.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga besar tidak ada yang mengalami gejala yang serupa
dengan gejala pasien.
f. Silsilah Keluarga

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien
g. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan kakak dan adiknya di sebuah
rumah di daerah Karanggintung dengan kapasitas 5 orang. Hubungan
pasien dengan ayahnya kurang baik karena ayahnya kadang menegur
dengan keras, pasien cenderung dekat dengan ibunya. Pasien saat ini
sudah tidak sekolah, sebelumnya bekerja di sebuah bengkel namun saat
ini sudah tidak bekerja. Pasien sering bergaul dengan teman-teman yang
lebih tua darinya.

6
h. Riwayat Pribadi
1) Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir saat umur ibu 32 tahun, merupakan kehamilan yang
dikehendaki. Kesehatan fisik ibu waktu mengandung sehat dan tidak
terdapat kelainan. Kesehatan jiwa ibu saat mengandung bahagia.
Umur kehamilan 38 minggu, melalui persalinan normal dibantu oleh
dukun bayi. Berat badan bayi saat lahir 2900 gram, keadaan bayi
setelah lahir menangis. Riwayat kejang disangkal.
2) Riwayat Perkembangan
a) Masa Kanak-Kanak
Tidak diketahui adanya gangguan perkembangan motorik
kasar, halus, bahasa, maupun sosial saat balita. Pada masa
kanak-kanak pasien termasuk anak yang penurut dan gemar
bermain bersama teman-temannya.
b) Masa Remaja
Pasien dibesarkan dalam lingkungan keluarga sendiri, dengan
cara mengasuh anak biasa seperti anak lainnya. Menurut kakak
pasien, ayah pasien mendidik pasien dengan watak cukup keras
dan terkadang pasien tidak bisa menerimanya. Sementara ibu
pasien memperlakukan pasien dengan lebih dimanja. Pasien
berkembang seperti anak lainnya sering bermain dengan teman
temannya dan bersekolah. Pasien sering membawa pulang
temannya ke rumah namun berganti-ganti setiap hari. Menurut
kakak pasien, semenjak pasien menginjak bangku SMP, terlihat
pasien menjadi sedikit berubah dan menjadi sering membohongi
orangtuanya.
3) Riwayat Perkembangan Jiwa
Sejak lahir, pasien tinggal bersama dengan orang tua dan saudara
kandungnya. Pasien diasuh oleh orang tua kandungannya. Ayah
pasien mendidik pasien dengan lebih keras dan pasien terkadang
tidak bisa menerimanya. Sebagai akibatnya, pasien dan ayahnya
seringkali terlihat bertengkar. Sementara ibu pasien memperlakukan

7
dengan sedikit lebih memanjakannya. Pasien memiliki kepribadian
yang cenderung dependen. Sejak kecil pasien sering merasa cemas
dan was-was oleh karena itu hingga SMP, pasien sering tidur
bersama ibunya. Masalah sehari-hari jarang diungkapkan kepada
saudara-saudara kandungnya.
4) Riwayat Perkembangan Seksual
Pasien tidak mengalami gangguan dalam perkembangan
seksualnya.
5) Kegiatan Moral Spiritual
Pasien jarang melakukan ibadah wajib maupun sunnah.
6) Riwayat Pendidikan
Pasien mulai bersekolah ke tingkat SD saat umur 6 tahun,
melanjutkan SMP dan SMK bidang otomotif. Pasien tidak pernah
tinggal kelas. Saat duduk di bangku kelas 3 SMK, pasien putus
sekolah dan memutuskan untuk tidak lanjut lagi.
7) Riwayat Pekerjaan
Pasien sudah dua bulan menganggur dan hanya beraktivitas di
rumah. Sebelumnya pasien sempat bekerja di bengkel.
8) Riwayat Perkawinan
Pasien belum pernah menikah.

9) Aktivitas Sosial
a) Dalam keluarga
Menurut kakak pasien, saat pasien beranjak dewasa, pasien
mulai memiliki kebiasaan berbohong kepada orangtuanya.
Sebagai contoh, pasien memutuskan untuk berobat karena ingin
mendapatkan obat dan meraciknya sendiri bukan untuk
menyembuhkan dirinya dari penyalahgunaan obat. Pasien sering
pulang tengah malam setelah bermain bersama temannya.
b) Dengan tetangga
Pasien cukup berinteraksi dengan tetangga sekitar.

8
c) Sikap keluarga terhadap penderita
Keluarga pasien sangat peduli pada pasien. Keluarga pasien
selalu bergantian menemani pasien dan ingin pasien segera
sembuh dan berkumpul dengan keluarganya lagi dirumah.
i. Hal-hal yang mendahului penyakit
1) Faktor organik
Tidak ditemukan kelainan organik pada pasien.
2) Faktor Pencetus
Berdasarkan hasil alloanamnesis diketahui faktor pencetus timbulnya
gejala pasien adalah karena konsumsi obat clobazam dan risperidone
dalam jumlah banyak.
j. Hal-hal yang Melatarbelakangi Penyakit
1) Faktor Predisposisi
a) Riwayat Sosial Ekonomi : Kehidupan keluarga pasien termasuk
dalam status ekonomi menengah kebawah.
b) Riwayat Kepribadian : kepribadian pasien cenderung dependen,
sehingga cenderung mudah terpengaruh.
2. Autoanamnesa
Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 4 April 2019 dengan
keluhan kaku pada rahang. Keluhan dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Kekakuan pada rahang memberat hingga pasien tidak dapat
membuka mulut. Keluhan tersebut didahului oleh keluhan lidah pasien
terasa kaku dan cadel sehingga pasien tidak dapat berbicara dengan jelas.
Selain itu juga pasien merasa gemetar pada kedua tangan. Pasien juga
mengeluhkan sering cemas, sulit tidur dan tidur tidak nyenyak. Setelah
beberapa hari dirawat di RSMS, pasien mengeluhkan banyak air liur di
mulut sehingga membuat pasien sedikit sesak napas. Satu tahun yang lalu
bahkan pasien sempat mendengar bisikan bisikan.
Pasien merupakan penderita rutin kontrol Poliklinik Jiwa di RSUD
Margono sejak bulan Agustus 2018 karena penyalahgunaan obat
alprazolam. Menurut pengakuan pasien, saat pasien duduk di bangku kelas
VII SMP pada tahun 2013, pasien diajak temannya untuk meminum

9
alprazolam 5 tablet sekali minum dengan iming-iming perasaannya akan
terbawa senang dan nge-fly. Pasien mengikuti ajakan temannya dengan
dalih iseng mencoba. Pasien tidak memiliki masalah lain sebelumnya.
Awalnya pasien diberikan secara gratis oleh temannya, namun
pemakaian selanjutnya pasien membeli sendiri dengan uang pasien. Harga
alprazolam yaitu 25000 per 2 tablet. Pasien sebelumnya mengonsumsi
alprazolam setiap 3 hari sekali saat berkumpul dengan teman-temannya.
Setelah beberapa bulan pasien menggunakan alprazolam, pasien merasa
ingin mengkonsumsi obat tersebut setiap hari. Keinginan tersebut entah
muncul darimana namun terasa sangat kuat. Pasien mengaku karena uang
sakunya sering tidak cukup untuk membeli obat tersebut, pasien sering
memaksa meminta uang kepada ibunya. Pasien mengatakan dirinya sadar
jika kebiasaannya akan merugikan kesehatannya, pasien tahu jika dirinya
harus menghentikan kebiasaan ini namun ia tidak berhasil melakukannya.
Pasien sempat berhenti mengonsumsi alprazolam pada tahun 2016
karena pasien sempat dirawat inap di rumah sakit untuk operasi batu
empedu. Selama tidak mengonsumsi alprazolam, pasien merasa cemas,
gelisah dan tidak bisa tidur. Dorongan untuk mengonsumsi alprazolam
kembali ada sehingga pasien membelinya dari teman yang menjual obat
tersebut. Pasien merasa untuk menghilangkan keluhannya pasien harus
meminum obat tersebut sebanyak 8 tablet dalam sehari.
Pada tahun 2018, pasien menghentikan konsumsi alprazolam
karena ketahuan oleh ayahnya. Ia mengaku jika ayahnya tidak tahu, pasien
akan melanjutkan kebiasaan tersebut. Setelah itu pasien dibawa ke RS
untuk pengobatan rehabilitasi obat di RS. Pasien kemudian kontrol ke RS
DKT karena terbentur alur BPJS. Pasien merasa tidak cocok dengan obat
yang diberikan dari RS DKT yaitu risperidon sehingga pada kontrol
selanjutnya pasien memeriksakan diri di Poliklinik jiwa RSUD Banyumas.
Pada saat di RSUD Banyumas, pasien diberikan obat clobazam,
risperidone dan triheksiphenidil. Menurut pengakuan pasien, 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit pasien memiliki masalah dengan seorang
wanita yang sudah bersuami. Pasien diajak bertengkar oleh suami wanita

10
tersebut, sehingga ia disarankan oleh teman-temannya untuk meminum
obat-obatan dari RSUD Banyumas lebih banyak dengan keyakinan akan
membuat pasien lebih kuat dan percaya diri dalam menghadapi lawan.
Pasien mengikuti saran temannya dan meminum clobazam 5 tablet dan
risperidone 2 tablet tiap kali minum, selama 7 hari. Sejak saat itu, keluhan
kaku pada lidah dan rahang mulai muncul diikuti dengan keluhan air liur
bertambah banyak, diikuti dengan kekakuan pada leher, tangan dan kaki.
Pasien juga merupakan seorang pecandu alkohol sejak tahun 2016.
Pasien mengaku biasanya minum alkohol di rumah temannya.
3. Kesimpulan Anamnesis
a. Pasien seorang laki-laki, berusia 18 tahun, belum menikah, beragama
Islam, suku Jawa, tidak bekerja.
b. Pasien dibawa keluarganya ke IGD RSMS pada hari kamis, tanggal 4
April 2019 karena terjadi kekakuan pada rahang dan lidah sehingga
pasien tidak dapat membuka mulut maupun berbicara.
c. Pasien rutin kontrol di dokter spesialis jiwa di Banyumas untuk
rehabilitasi penyalahgunaan obat alprazolam, namun konsumsi obat
tidak teratur dan tidak sesuai dosis.
d. Pasien belum pernah diopname di rumah sakit karena keluhan yang
sama.
e. Perjalanan penyakit berawal dari 6 tahun yang lalu saat pasien mulai
mengonsumsi alprazolam, dan mengalami ketergantungan. Keluhan
kekakuan dipicu sejak 2 minggu lalu pasien mengkonsumsi clobazam
5 tablet dan risperidone 2 tablet selama 7 hari, kemudian 2 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami kekakuan.
f. Pasien berteman dengan lingkungan yang tidak membawa ke hal yang
positif namun sebaliknya.
g. Faktor pencetus saat ini adalah konsumsi clobazam dan risperidone
berlebihan.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Laki-laki, sesuai usia, tak tampak sakit jiwa

11
Kesadaran : Compos mentis
1. Tanda vital dan Antropometri
a. Tekanan darah : 100/70mmHg
b. Nadi : 82 x/min
c. Respirasi : 16 x/min
d. Suhu : 37.1C

e. Berat badan : 53 kg
f. Tinggi badan : 158 cm
2. Status Generalis
a. Kepala : Mesocephal
b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor, 3mm/3mm, reflek pupil +/+
c. Hidung : Tidak ada discharge, tidak ada deviasi septum
d. Mulut : Tidak sianosis, tidak ada discharge
e. Telinga : Serumen (+/+) discharge -/-
f. Leher : Tidak ada deviasi trachea, pembesaran tiroid (-)
g. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas SIC II LPSS,batas kiri bawah SIC V
LMCS, batas kanan atas SIC II LPSD, batas kanan
bawah SIC IV LPSD
Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur -, gallop -
h. Pulmo
Inspeksi : Jejas (-), simetris kanan-kiri
Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler +/+, tidak ada suara tambahan.
i. Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : Tidak ada nyeri nyeri tekan, tidak ada

12
defans muskular, tidak teraba masa.
j. Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-)

D. Pemeriksaan Psikiatri
1. Kesan umum : Tak tampak sakit jiwa
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Sikap : Kooperatif
4. Tingkah laku : Hipoaktif
5. Orientasi
a. Tempat : Baik
b. Orang : Baik
c. Waktu : Baik
d. Suasana : Baik
6. Proses pikir
a. Bentuk pikir : Realistik
b. Isi pikir : Waham (-)
c. Progesi pikir : Koheren (-)
7. Persepsi : Halusinasi auditori (-)
Halusinasi visual (-)
8. Roman muka : Normomimik
9. Afek : Terbatas
10. Mood : Eutimik
11. Perhatian : Mudah ditarik mudah dicantum
12. Hubungan jiwa : Baik
13. Gangguan Memori : - (pasien dapat mengingat memori jangka
pendek dan jangka panjang)
14. Ganggauan Intelegensi : - (pasien dapat menjawab sesuai dengan
pendidikan dan usia)
15. Insight : Derajat 5
E. Pemeriksaan Penunjang

4 April 2019
Darah Lengkap Hasil

13
Hb 16.3
Ht 48
Eritrosit 5.5
Leukosit 14690 (H)
Trombosit 271000
MCV 87.6
MCH 29.8
MCHC 34.0
Neutrofil 84.7 (H)
Limfosit 9.7 (L)
Monosit 3.2
Eosinofil 0.3 (L)
Basofil 0.3
GDS 130
Creatinin 0.79
Natrium 147 (H)
Klorida 110 (H)
Kalium 5.0 (H)
HbsAg Non Reaktif

F.Diagnosis Banding
1. F19.1
2. Extrapyramidal syndrome

G. Diagnosis Multi Aksial


Axis I : F19.1, extrapyramidal syndrome
Axis II : kecendrungan dependen
Axis III :
Axis IV : masalah lingkungan
Axis V : GAF 90-81

H. Penatalaksanaan

14
1. Perawatan di Rumah Sakit
2. Terapi Farmakologis
a. PO triheksifenidil 1x2 mg malam
b. PO diazepam 2x2 mg
3. Terapi Non-farmakologis
a. Terapi perilaku
Melatih kemampuan perilaku pasien yang dititik beratkan pada
masalah pribadi pasien, dengan tujuan untuk menstabilkan emosi
pasien agar segera kembali normal dan mencegah terjadinya
kekambuhan.
b. Psikoterapi edukatif
1) Terhadap pasien
Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien mengenai
penyakitnya, kondisinya, faktor pencetus, serta rencana
pengobatan selanjutnya.
2) Terhadap keluarga
a) Memberikan informasi dan edukasi mengenai penyakit
pasien, gejala, faktor penyebab dan pencetus, komplikasi,
pengobatan, dan prognosis.
b) Meminta keluarga pasien untuk selalu mendukung proses
pengobatan, mengontrol minum obat (sesuai petunjuk dokter,
tidak menghentikan minum obat tanpa seizin dokter),
mendampingi pasien dan menjaga kondisi stabil pasien.
c. Psikoterapi suportif
1) Memberikan motivasi kepada pasien untuk bercerita
kepada keluarga atau teman terdekat mengenai masalahnya.
2) Memberikan motivasi kepada pasien untuk minum obat
secara teratur dan sesuai petunjuk dokter.
3) Memberikan motivasi kepada pasien untuk melakukan
berbagai aktivitas yang produktif untuk mengurangi dan
mengalihkan beban pikiran yang selama ini dianggap masalah.

15
4) Memberikan motivasi kepada pasien untuk belajar
mengendalikan emosi dan pikiran yang dimiliki agar tidak
memicu timbulnya gejala-gejala lain.
d. Sosioterapi
Meminta keluarga untuk memberikan penjelasan kepada
lingkungan sekitar rumah ataupun teman-temannya agar
menganggap pasien gangguan jiwa adalah sama seperti penyakit
medis lainnya dan menghindari berbagai masalah yang dapat
memancing emosi dan mencetuskan kekambuhan.

I. Prognosis
A. Premorbid
Faktor yang mempengaruhi Prognosis
Riwayat penyakit keluarga Tidak ada Baik
Stressor psikososial Tidak ada Buruk
Sosial ekonomi Tidak ada Baik
Riwayat penyakit yang sama Ada Buruk

B. Morbid
Faktor yang mempengaruhi Prognosis
Onset usia 17 tahun Buruk
Jenis penyakit Gangguan mental dan Buruk
perilaku akibat obat-obatan
Perjalanan penyakit Buruk
Kronik
Kelainan organik
Tidak ada
Baik

Kesimpulan prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

J. Kesimpulan
1. Pasien seorang laki-laki, berusia 18 tahun, belum menikah, beragama

16
Islam, suku Jawa, tidak bekerja.
2. Pasien dibawa keluarganya ke IGD RSMS pada hari kamis, tanggal 4
April 2019 karena terjadi kekakuan pada rahang dan lidah sehingga
pasien tidak dapat membuka mulut maupun berbicara.
3. Pasien rutin kontrol di dokter spesialis jiwa di Banyumas untuk
rehabilitasi penyalahgunaan obat alprazolam, namun konsumsi obat tidak
teratur dan tidak sesuai dosis.
4. Pasien belum pernah diopname di rumah sakit karena keluhan yang
sama.
5. Perjalanan penyakit berawal dari 6 tahun yang lalu saat pasien mulai
mengonsumsi alprazolam, dan mengalami ketergantungan. Keluhan
kekakuan dipicu sejak 2 minggu lalu pasien mengkonsumsi clobazam 5
tablet dan risperidone 2 tablet selama 7 hari, kemudian 2 hari sebelum
masuk rumah sakit pasien mengalami kekakuan.
6. Pasien berteman dengan lingkungan yang tidak membawa ke hal yang
positif namun sebaliknya.
7. Faktor pencetus saat ini adalah konsumsi clobazam dan risperidone
berlebihan.
8. Diagnosis Multiaxial
Axis I : F19.1
Axis II : kecendrungan dependen
Axis III : extrapyramidal syndrome
Axis IV : masalah keluarga
Axis V : GAF 90-81
9. Terapi yang diberikan untuk mengatasi ganguan jiwanya :
a. Terapi Farmakologis
1) PO triheksifenidil 1x2 mg malam
2) PO diazepam 2x2 mg
b. Terapi Non Farmakologis
Terapi perilaku, psikoterapi edukatif, psikoterapi suportif, dan
sosioterapi.

17
EFEK SAMPING EKSTRAPIRAMIDAL PADA OBAT ANTIPSIKOSIS
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak
bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari
sistem ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari pons dan
medulla dan di target saraf di medula spinalis yang mengatur refleks, gerakan-
gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.
Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau
reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari
medikasi antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala
bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-
gejala itu di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi
distonia akut, tardive diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson).
Obat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai
berikut :

18
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +

Reaksi Distonia Akut (Acute Dystonia Reaction)


Keadaan ini merupakan spasme atau kontraksi involunter, akut dari satu
atau lebih kelompok otot skelet yang lazimnya timbul dalam beberapa menit.
Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot
ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik
dan sikap badan yang tidak biasa.
Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau
bahkan dapat mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring
atau diafragmatik.
Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-
kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik
dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine.
Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari
ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena pandangan pasien mengenai medikasi
secara permanen dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.

19
Tardive Diskinesia
Dari namanya sudah dapat diketahui merupakan sindrom yang terjadi lambat
dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot abnormal, involunter,
menghentak, balistik, atau seperti tik. Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki
dari obat antipsikotik. Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat
supersensitif reseptor dopamine di putamen kaudatus. Wanita tua yang diobati
jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di
perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardive
diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian
kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan gerakan berat
nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi
berjalan, berbicara, bernapas, dan makan.
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan
pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif
atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami tardive diskinesia.
Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan
umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika
mempertimbangkan tardive diskinesia meliputi penyakit Hutington, Khorea
Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat
(contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa tardive
diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine
pasca sinaptik akibat blokade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom
Parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak
mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit di obati. Banyak
terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat
beragam dan kadang-kadang terbatas. Tardive diskinesia dini atau ringan mudah
terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan
Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang
mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.

Akatisia

20
Sejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi
pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama
pada populasi pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup
atau suatu keinginan untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal
pada otot.
Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat
disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia
dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman
yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari
akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang
ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi
setiap gejala objektif akatisia.
Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptik dan
pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman. Yang
dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah ketidakpatuhan
pasien.
Sindrom Parkinson
Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah
dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah
pengobatan bertahun-tahun. Patofisiologi parkinsonisme akibat neuroleptik
melibatkan penghambatan reseptor D2 dalam kaudatus pada akhir neuron
dopamin nigrostriatal, yaitu neuron yang sama yang berdegenerasi pada penyakit
Parkinson idiopatik. Pasien yang lanjut usia dan wanita berada dalam resiko
tertinggi untuk mengalami parkinsonisme akibat neuroleptik.
Manifestasinya meliputi berikut :
Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan
ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah
yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih
ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara,
penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal,
kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negative skizofrenia.

21
Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor
dapat mengenai bibir dan otot-otot perioral yang disebut sebagai “sindrom
kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan tardive diskinesia, tapi dapat
dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang
daripada lidah dan responnya terhadap medikasi antikolinergik.
Kekakuan otot/rigiditas : merupakan gangguan pada tonus otot, yaitu derajat
ketegangan yang ada pada otot. Gangguan tonus otot dapat menyebabkan
hipertonia. Hipertonia yang berhubungan dengan parkinsonisme akibat
neuroleptik adalah tipe pipa besi (lead-pipe type) atau tipe roda gigi (cogwheel
type). Istilah tersebut menggambarkan kesan subjektif dari anggota gerak atau
sendi yang terkena.
Penanganan Efek Samping Ekstrapiramidal
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli
menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan
riwayat EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.
Medikasi anti-EPS yang digunakan terutama adalah antikolinergik. Hal
tersebut disebabkan adanya reaksi reciprocal (berlawanan) antara dopamin dan
asetilkolin pada jalur dopamin nigrostriatal. Neuron-neuron dopamin pada jalur
nigrostriatal mempunyai koneksi postsinaps dengan neuron kolinergik. Secara
normal, dopamin menghambat pelepasan asetilkolin dari postsinaps jalur
kolinergik nigrostriatal. Obat antipsikosis menghambat dopamin sehingga
menyebabkan aktivitas asetilkolin yang berlebih.
Untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebih ini, digunakan
antikolinergik. Sehingga untuk setiap pemberian obat antipsikosis diberikan
antikolinergik untuk mencegah adanya efek samping ekstrapiramidal.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat
menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan
mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine.
Selain dengan medikasi anti-EPS, dapat juga dilakukan pengurangan dosis obat
anti-psikosis atau dengan mengganti obat anti-psikosis dengan jenis atipikal
seperti olanzapine, risperidone, atau clozapine. Obat anti-psikosis atipikal ini

22
hanya sedikit berpengaruh terhadap jalur nigrostriatal sehingga efeknya terhadap
ekstrapiramidal lebih sedikit dibanding obat-obat anti-psikosis konvensional.
Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan
untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap
kembalinya gejala.
Triheksifenidil adalah obat yang sering digunakan apabila didapatkan
sindroma ekstrapiramidal akibat penggunaan antipsikotik. Triheksifenidil
merupakan antikolinergik yang mempunyai efek sentral lebih kuat daripada
perifer. Triheksifenidil bekerja melalui neuron dopaminergik. Mekanisme
kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin dari vesikel prasinaptik,
penghambatan ambilan kembali dopamin ke dalam terminal saraf prasinaptik atau
menimbulkan suatu efek agonis pada reseptor dopamin pascasinaptik.
Triheksifenidil sebagai terapi efek samping esktrapiramidal yang diinduksi oleh
antipsikotik dan obat-obatan sistem saraf sentral, seperti akathisia, distonia, dan
pseudoparkinsonism (tremor, rigiditas, akinesia) dan sindroma ekstrapiramidal
(EPS). Penurunan dosis antipsikotik merupakan langkah pertama yang dilakukan
jika terjadi efek samping sindroma ekstrapiramidal. Obat antikolinergik
contohnya: triheksifenidil, benztropin, sulfas atropin, dan difenhidramin injeksi
intra muskular atau intra vena diberikan jika langkah pertama tidak dapat
menanggulangi efek samping tersebut. Obat yang paling sering digunakan adalah
triheksifenidil dengan dosis 3 kali 2 mg per hari.
Anti Ansietas golongan Benzodiazepin
Derivat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi,
menghilangkan rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang berhubungan dengan
rasa cemas. Selain sebagai antiansietas, derivat benzodiazepin digunakan juga
sebagai hipnotik, antikonvulsi, pelemas otot dan induksi anestesi umum.
Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi neuron dengan
GABA sebagai mediatornya. Efek samping obat golongan ini yaitu depresi SSP,
sehingga dapat menyebabkan kantuk dan ataksia. Obat ini juga dapat merangsang
nafsu makan yang dapat mengkibatkan peningkatan berat badan. Sedangkan
reaksi toksiknya berupa rash, mual, nyeri kepala, gangguan fungsi seksual,
vertigo, dan kepala terasa ringan. Agranulositosis dan reaksi hepatik jarang

23
ditemukan. Pada wanita juga dapat menyebabkan menstruasi tidak teratur karena
adanya kegagalan ovulasi. Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan
Benzodiazepin antara lain :
 Diazepam, dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari injeksi = 2-10 mg
9im/iv), broadspectrum.

 Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari, broadspectrum.

 Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti anxietas dan


anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-
anxietas, untuk pasien-pasien dengan kelainan hati dan ginjal.

 Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan


anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-
anxietas, psychomotor performance paling kurang terpengaruh,
untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang masih ingin tetap aktif.

 Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari, efektif untuk


anxietas tipe antisipatorik, “onset of action” lebih cepat dan mempunyai
komponen efek anti-depresi.

24

Anda mungkin juga menyukai