Anda di halaman 1dari 12

KLIPING

KEBERAGAMAN SARA DI NKRI


(NANGGROE ACEH DARUSSALAM)

DISUSUN OLEH:
1. MUHAMMAD CHOIRUS ROZIZ
2. TAUFAN ARDITYA
3. FIRMAN ARDIANSYAH
4. MUHAMMAD FAIZA

SMP NEGERI 2 MUNGKID


TAHUN PELAJARAN 2018/2019
Sejarah Provinsi Aceh
Daerah Aceh yang terletak di bagian paling barat gugusan kepulauan Nusantara,
menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan
kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau. Aceh
sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India
dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama masuknya budaya dan agama di
Nusantara.
Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di
Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu
Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan
ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat laun bertambah
luas wilayahnya yang meliputi sebagaian besar pantai Barat dan Timur Sumatra hingga
ke Semenanjung Malaka.
Kehadiran daerah ini semakin bertambah kokoh dengan terbentuknya Kesultanan Aceh
yang mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu.
Dengan demikian kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan
abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Propinsi Aceh
menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A. Hasjmy
dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun gejolak politik di Aceh belum
seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan kesatuan
bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama MISSI
HARDI tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak politik,
pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindak lanjuti
dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959. Maka
sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Propinsi Aceh diberi
status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang
agama, adat dan pendidikan. status ini dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 1965. Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu
yang menitik beratkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi
munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang
demikian ini memunculkan pergolakan.
Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan
disahkannya Undang-Undang no. 18 tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh
berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah
Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, ditegaskan bahwa
sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja
Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel
Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan
diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi
sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal
251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi
dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.
Geografis Aceh
Provinsi Aceh terletak antara 01 derajat 58’ 37,2” – 06 derajat 04’ 33,6” Lintang Utara
dan 94 derajat 57’ 57,6” – 98 derajat 17’ 13,2” Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata
125 meter di atas permukaan laut. Pada tahun 2013 Provinsi Aceh terdiri atas 18
Kabupaten dan 5 kota, 289 kecamatan, 779 mukim dan 6.474 gampong atau desa.
Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat
Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan
Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah dengan Provinsi
Sumatera Utara, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan Provinsi
Sumatera Utara.
Luas Provinsi Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai
2.270.080 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 700.350 ha. Sedangkan lahan
industri mempunyai luas terkecil yaitu 2.096 ha.
Lokasi suaka alam/objek wisata alam di Provinsi Aceh ada di dua belas lokasi, yaitu
Taman Buru Lingga Isaq, Cagar Alam Serbajadi, Taman Wisata dan Taman Laut Pulau
Weh Sabang, Cagar Alam Jantho, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Wisata
Alam Kepulauan Banyak, Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Taman Wisata Alam
Jantho, Taman Wisata Alam Aceh Besar, Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan,
Taman Hutan Raya Subulussalam dan Taman Hutan Raya Simeulue.
(Sumber : BPS Aceh - Aceh Dalam Angka 2015)
Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur
pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota
Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496- 1903), Aceh telah
mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena
kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang
teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga
kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Sultan Aceh
merupakan penguasa/raja dari Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga
terdapat sultanah (sultan perempuan).
Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh

1. Tengku

2. Tuanku

3. Pocut
4. Teuku

5. Laksamana

6. Uleebalang

7. Cut

8. Panglima Sagoe

9. Meurah

Segala Hal Tentang Kerajaan Aceh Dalam Istana Darut Donya Cap Sikureung (cap
Sembilan Meuligoe Gajah Putih Pasukan Gajah Perang Aceh Perang Aceh dimulai
sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah
melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang
besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada
1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran
kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada
sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan
sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut sebagian
besar Aceh Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun
1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh
Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904.
Lambang Aceh
Lambang Aceh adalah Pancacita. Pancacita adalah lima cita, yaitu keadilam,

kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan, dan kesejahteraan. Lambang Aceh berbentuk


persegi lima yang menyerupai kopiah. Dalam perisai itu terdapat dacin (alat timbangan),
rencong, padi, kapas, lada, cerobong pabrik, kubah masjid (diantara padi dan kapas),
kitab dan kalam. Keadilan dilembangkan dengan dacin. Kepahlawanan dilambangkan
dengan recong. Kemakmuran dilambangkan dengan padi, kapas, lada, dan cerobong
pabrik. Kerukunan dilambangkan dengan kubah masjid. Sedangkan kesejahteraan
dilambangkan kitab dan kalam.
Peta Aceh
Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur
orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin Cina, Kamboja. Di
samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India
dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab
yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman),
dibuktikan dengan marga-marga mereka Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri,
Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga
bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini
banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan
menghilangkan nama marganya Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan
Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan
(kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari
bahasa India, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh
Aceh.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah
datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih
prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka
kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat
menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama
kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Banda/Bandar arti: Pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No
(pesisir barat Aceh).
Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda
Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah
dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal
dan menetap di Lam No. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511,
pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja
Meureuhom Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih
memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-
tokoh besar kelas dunia seperti, Marco Polo, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah
singgah di tanah Aceh.
Bahasa
Bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Aceh adalah:

1. Bahasa Aceh

2. Bahasa Tamiang

3. Bahasa Gayo

4. Bahasa Alas

5. Bahasa Kluet

6. Bahasa Julu

7. Bahasa Pakpak

8. Bahasa Jamee

9. Bahasa Sigulai

10. Bahasa Lekon

11. Bahasa Devayan

12. Bahasa Haloban

13. Bahasa Nias.

Agama
Mayoritas penduduk di provinsi Aceh memeluk agama Islam. Selain itu provinsi Aceh
memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini
Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama
Islam.
Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari
D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara
status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan
terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan,
dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN
(Ujian Akhir Nasional) 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti
ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti :

1. Universitas Syiah Kuala

2. IAIN Ar-Raniry

3. Universitas Malikussaleh

4. Politeknik Negeri Lhokseumawe

Jumlah penduduk

Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Provinsi Aceh pada terakhir
perhitungan yaitu tahun 2016 mencapai 5.096.248 jiwa.

Kebudayaan

- Suku

Suku bangsa Provinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu:

1. Suku Aceh

2. Suku Tamiang

3. Suku Gayo

4. Suku Alas

5. Suku Kluet

6. Suku Julu

7. Suku Pakpak

8. Suku Aneuk Jamee

9. Suku Sigulai

10. Suku Lekon

11. Suku Devayan

12. Suku Haloban

13. Suku Nias


- Rumah adat

Rumah adat Krong Bade –atau juga biasa disebut Rumoh Aceh, adalah sebuah
rumah dengan struktur panggung dengan tinggi tiang 2,5 sd 3 meter dari
permukaan tanah. Keseluruhan rumah ini dibuat dari bahan kayu, kecuali
atapnya yang terbuat dari bahan daun rumbia atau daun enau yang dianyam,
serta lantainya yang dibuat dari bambu. Karena memiliki struktur panggung,
pada rumah adat Aceh ini kita dapat menemukan ruang bawah. Ruang ini
biasanya digunakan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan pangan, serta
sebagai tempat para wanita untuk melakukan aktivitas, misalnya aktivitas
menenun kain khas Aceh. Untuk memasuki rumah, kita perlu meniti tangga di
bagian depan rumah. Tangga tersebut biasanya memiliki jumlah anak tangga
yang ganjil. Adapun setelah naik ke bagian atas, kita akan menemukan banyak
sekali lukisan yang menempel di dinding-dinding rumah sebagai hiasan. Jumlah
lukisan pada dinding luar rumah dapat menjadi simbol tingkat ekonomi
pemiliknya.

- Pakaian
Pria memakai BAJE MEUKASAH atau baju jas leher tertutup. Ada sulaman
keemasan menghiasi krah baju. Jas ini dilengkapi celana panjang yang disebut
CEKAK MUSANG. Kain sarung (IJA LAMGUGAP) dilipat di pinggang berkesan
gagah. Kain sarung ini terbuat dari sutra yang disongket. Sebilah rencong atau
SIWAH berkepala emas / perak dan berhiaskan permata diselipkan di ikat pinggang.
Bagian kepala ditutupi kopiah yang populer disebut MAKUTUP. Tutup kepala ini dililit
oleh TANGKULOK atau TOMPOK dari emas. TANGKULOK ini terbuat dari kain
tenunan.
TOMPOK ialah hiasan bintang persegi 8, bertingkat, dan terbuat dari logam mulia
BAJU ADAT WANITA ACEH :
Wanita mengenakan baju kurung berlengan panjang hingga sepinggul. Krah bajunya
sangat unik menyerupai krah baju khas china. Celana cekak musang dan sarung
(IJA PINGGANG) bercorak yang dilipat sampai lutut. Corak pada sarung ini
bersulam emas. Perhiasan yang dipakai : kalung disebut KULA. Ada pula hiasan lain
seperti : Gelang tangan, Gelang kaki, Anting, dan ikat pinggang (PENDING)
berwarna emas. Bagian rembut ditarik ke atas membentuk sanggul kecil dengan
hiasan kecil bercorak bunga. Pada jaman dulu pelapisan terhadap status sosial
yang terdapat di masyarakat Aceh, khususnya daerah Aceh Barat telah
menyebabkan baju adat Aceh Barat tampil dalam beragam variasi diantaranya
adalah pakaian :
 Ulee Balang, busana untuk para raja beserta keluarganya
 Ulee Balang busana untuk Cut dan para Ulama.
 Patut-patut (pejabat negara), pakaian untuk para tokoh masyarakat cerdik pandai
 Rakyat jelata Busana adat Aceh yang menonjol sekarang ini adalah yang
pakaian adat tradisional yang dikenakan pada saat ada upacara adat
perkawinan, khususnya karena akibat munculnya kembali apresiasi masyarakat
terhadap budaya ash daerah akhir-¬akhir ini.

- Tarian

1. Tari Saman
Tari saman merupakan salah satu tarian yang berasal dari etnis Suku Gayo, suku ini
merupakan ras tertua yang ada di pesisir Aceh. Penampilan tari saman tentu bukan
hanya membius penampilan masyarakat Aceh atau sekitar bahkan sampai masyarakat
yang ada di luar negeri.Tarian ini bersifat hiburan dan sering sekali dibawakan dalam
berbagai acara, mulai dari acara kenegaraan sampai acara yang bertema agama.

Masyarakat biasanya menarikan tari saman dengan menyelipkan pesan agama Islam
yang membawa hal menjadi lebih positif. Tari Saman sendiri diciptakan sesuai dengan
namanya, yaitu tokoh islam yang bernama Syeh Saman dan menggunakan bahasa
arab. Syair yang dilagukan membuat suasana semakin gembira dan ditambah dengan
tepukan lutut, mengangkat tangan bergantian dan tentu sinkronasi dari gerakan yang
luar biasa.

2. Tari Tarek Pukat

Tari yang serupa dengan Tari Saman ini merupakan tarian yang mengangkat cerita
mengenai kehidupan nelayan pesisir Aceh yaitu membuat jaring atau biasa disebut
pukat untuk menangkap ikan di tengah laut. Karena banyak masyarakat Aceh pesisir
yang berprofesi menjadi nelayan untuk menghidupi keluarga.Suasana menarik pukat
dan mendapatkan ikan dirasa menjadi semangat kerja dan riang serta dituangkan
dalam tarian.

3. Tari Laweut

Kembali dipengaruhi oleh budaya dan agama Islam, Tari Laweut merupakan tarian yang
ditampilkan untuk melakukan sanjungan pada Nabi Muhammad SAW dan juga
dipersembahkan oleh 8 wanita penari. Dimana tarian ini berasal dari kata Seulawet ,
dengan gerakan yang ringan dan lembut maka tarian ini memberikan edukasi dengan
jelas terkait bagaimana kita menyampaikan rasa suka dan kagum pada Rasulullah
SAW.

4. Tari Meusago

Tari Meusago merupakan tarian Aceh yang diartikan bersudut, bersegi dan berujung
begitu lengkap mulai dari persoalan yang dihadapi hingga bagaimana manusia harus
beribadah pada Tuhan YME. Tarian ini juga menjadi simbol gotong royong, adanya
persaudaraan dan mewujudkan persatuan. Dimana kipas barang memiliki arti manakala
sedang bersama maka harus membagikan manfaat bagi kehidupan dan teman yang
lainnya.

5. Tari Bines

Tarian yang berasal dari Gayo ini merupakan tarian yang mengharuskan jumlah
anggotanya genap, 10 ataupun 12 dan boleh lebih. Tari Bines memiliki ciri khas dimana
gerakan tarian dilakukan dengan lambat kemudian cepat hingga berhenti serentak
secara bersama-sama. Tentu keluesan dan juga refleks dari penari dibutuhkan agar
tidak salah dan bisa mendalaminya.
Ada hal unik lain yang dilakukan jika anda memberikan uang sebagai tanpa apresiasi
pada penari maka mereka akan menaruh uang diatas kepalanya dan menganggap
uang tersebut sebagai bunga penghias kepala penari hingga tarian berakhir.

6. Tari Rapai Daboh

Tarian ini membutuhkan kekuatan dan kekebalan, dimana Tari Rapai Daboh memang
permainan ketangkasan dan kekebalan para pria seperti Debus jika di budaya Banten.
Dimana beberapa orang menabuh rebana dan membiarkan para pria menaruh senjata
tajam dan tidak terluka. Menurut para penari mereka hanya berkeyakinan bahwa milik
Tuhan merupakan segalanya dan tidak ada yang bisa menggantikan kuasanya.
Sehingga ketika tubuh dari penari diuji menggunakan alat maka mereka mencoba
memusatkan seluruh pikirannya pada keyakinan diatas.

- Senjata

Rencong adalah senjata tradisional yang mulai dipakai pada zaman kesultanan
Aceh, yaitu sejak pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah (Sultan Pertama Aceh).
Rencong ini selalu ada dan diselipkan dipinggan Sultan Aceh, para Ulee Balang dan
masyarakat pun menggunakan Rencong sebagai senjata pertahanan diri. Rencong
dikenakan oleh Sultan dan para bangsawan lainnya, biasanya terbuat dari emas dan
sarungnya terbuat dari gading. Sedangkan rencong yang digunakan oleh
masyarakat biasa terbuat dari kuningan atau besi putih, sedangkan sarungnya
terbuat dari kayu atau tanduk kerbau.

- Makanan

1. Mie Aceh
Mie Aceh, satu jenis kuliner yang menggoda dari Aceh, dapat dicicipi dengan dua
cara, yakni di goreng atau direbus alias menggunakan kuah. Untuk rasa bisa
memilih sendiri, apakah ingin pedas atau tidak. Sebagai variasi bisa meggunakan
kepiting, daging atau seafood. Variasi inilah yang nanti menentukan nama mienya.

2. Sate Matang

Sate matang sudah bergema di setiap kota seluruh Aceh, medan bahkan Jakarta. Di
mana ada masyarakat Aceh bermukim di kota-kota besar di Indonesia. Pasti ada
gerobak yang bertulis sate “sate matang” . Dinamakan sate matang karena asalnya
dari daerah Matang, Bireuen. Yang bikin special sate ini karena makanya dengan
kuah soto. Di Banda Aceh, banyak warung yang menyediakan makanan ini, salah
satunya adalah di Rex Peunanyong.

Anda mungkin juga menyukai