Disusun Oleh :
( ) ( )
II. ETIOLOGI
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar
yaitu:
a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau
sebaliknya.
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang
disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.
III. KLASIFIKASI
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan adalah sebagai berikut:
1. Cedera kepala ringan (mild HI)
Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian
tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien
tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio,
tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri
kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
2. Cedera kepala sedang (moderat HI)
Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12,
tingkat kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia
pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan
cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang.
3. Cedera kepala berat (severe HI)
Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran
koma. Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal,
cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Mengalami amnesia > 24
jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial.
V. PATOFISIOLOGI
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti
adanya) akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera
memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologis dari suatu trauma kepala.. Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan
luar dan dalam rongga kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi
bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu
sendiri.
Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan, yaitu :
a. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
b. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
c. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur
oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran
otak dan rotasi otak.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup.
Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang
yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan
hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi
pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan. Kejadian coup dan contre coup
dapat terjadi pada keadaan.;Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada
mobil/motor. Otak pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala
meskipun kepala pada awalnya bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak
bagian depan.Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga
pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak
tulang tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara
mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan tulang
tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak bergerak ke
belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi tekanan tinggi dan
menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya gelembung yang
mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah otak karena terjadi penekanan,
sehingga daerah yang memperoleh suplai darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi
kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi pergerakan kepala ke depan.
VI. GAMBAR (PATHWAY)
VII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK /PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik
a. CT Scan
mengidentifikasi hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan
otak
b. MRI
Sama dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan kontras
c. Angiografi serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
oedema, perdarahan, trauma
d. EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur garis
tengah (karena perdarahan, oedema), adanya fragmen tulang
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi kortexs dan batang otak
g. PET (Position Emission Tomography)
Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak
VIII. KOMPLIKASI
Kompilkasi yang dapat terjadi sebagai berikut :
a) Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan
terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Hal ini beresiko terjadinya
meningitis (biasanya pneumokok).
b) Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan bruit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi diperlukan
untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan
cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
c) Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan
deplesi volum.
d) Kejang pascatrauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi
untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang
lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan
epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cedera kepala tertutup
adalah 5%; resiko mendekati 20% pada pasien dengan perdarahan intrakranial atau
fraktur depresi.
1. Identitas
a. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia produktif atau
pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan, pekerjaan klien
biasanya berhubungan dengan sarana transportasi, status marital, suku bangsa,
tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah, no.medrek,
diagnosa medis dan alamat.
b. Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
2. Riwayat kesehatan
a. Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas, namun tidak
menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk
Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana proses
terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung atau
telinga.
b. Keluhan utama saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah sakit
dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien
sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung, mengeluh muntah, dispnea,
tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka di
kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan
telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan akselerasi-
deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat menyebabkan konkusio atau
kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau bisa lebih
dari 24 jam.
Gangguan metabolisme
Laktat meningkat
Oedema otak
Gangguan perfusi
jaringan cerebral
2. Ds: pasien mengeluh trauma kepala Nyeri Akut
nyeri
Do:
- Posisi untuk ekstra kranial, tulang
menahan nyeri kranial
- Tingkah laku
berhati-hati
- Gangguan tidur terputusnya kontunuitas
(mata sayu, jaringan kulit, otot,
tampak capek, vaskuler
sulit atau gerakan
kacau, Nyeri Akut
menyeringai)
- Terfokus pada diri
sendiri
- Fokus menyempit
(penurunan
persepsi waktu,
kerusakan proses
berpikir,penuruna
n interaksi dengan
orang dan
lingkungan)
- Tingkah laku
distraksi, contoh :
jalan-jalan,
menemui orang
lain dan/atau
aktivitas, aktivitas
berulang-ulang)
- Respon autonom
(seperti
diaphoresis,
perubahan
tekanan darah,
perubahan nafas,
nadi dan dilatasi
pupil)
- Perubahan
autonomic dalam
tonus otot
(mungkin dalam
rentang dari
lemah ke kaku)
- Tingkah laku
ekspresif (contoh
: gelisah,
merintih,
menangis,
waspada, iritabel,
nafas
panjang/berkeluh
kesah)
- Perubahan dalam
nafsu makan dan
minum
3. Ds: - trauma kepala Resiko kerusakan
Do: integritas kulit
- Gangguan pada
bagian tubuh ekstra kranial
- Kerusakan lapisa
kulit (dermis)
- Gangguan terputusnya kontunuitas
permukaan kulit jaringan kulit, otot,
(epidermis) vaskuler
perdarahan hematoma
peningkatan TIK
hemiasi unkus
mensefalon tertekan
kompresi medulla
oblongata
gangguan kesadaran
imobilisasi
Resiko Kerusakan
Integritas Kulit
4. DS: pasien trauma kepala Resiko bersihan
mengatakan sesak jalan nafas tidak
DO: efektif
- Penurunan suara intra kranial
nafas
- Cyanosis
- Kelainan suara jaringan otak rusak
nafas (rales, (kontusio, laserasi)
wheezing)
- Kesulitan
berbicara perubahan autoregulasi
- Batuk, tidak
efekotif atau tidak
ada kejang
- Produksi sputum
- Gelisah
- Perubahan obstruksi jalan nafas,
frekuensi dan dispnea, henti nafas,
irama nafas perubahan pola nafas
2. Nyeri akut
5. DIAGNOSA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta :
EGC.