Anda di halaman 1dari 10

Islam dan Keadilan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keadilan merupakan salah satu prinsip moral dasar bagi kehidupan manusia. Syari'at Islam yang
diturunkan dari Allah telah menanamkan dasar keadilan dalam masyarakat muslim yang tidak ada
duanya. Hal ini karena ia mengaitkan terealisasinya keadilan dengan Allah, Allah lah yang memerintah
untuk berbuat adil, dan Dialah yang mengawasi pelaksanaannya dalam kehidupan nyata, Dia yang
memberi pahala bagi yang melaksanakannya, dan menjatuhkan siksa bagi yang mengabaikannya dalam
segala situasi dan kondisi.

Islam memerintahkan umatnya untuk berbuat adil dengan semua orang, memerintah mereka berbuat
adil dengan orang yang mereka cintai dan orang yang mereka benci, ia menginginkan mereka adil secara
mutlak hanya karena Allah, bukan karena sesuatu yang lain, standarnya tidak dipengaruhi oleh
kecintaan dan kebencian; rasa cinta tidak mendorong umat Islam yang bertakwa meninggalkan
kebenaran dan condong kepada kebatilan karena orang yang mereka cintai, dan kebencian tidak
menghalangi mereka melihat kebenaran dan memperhatikannya karena orang yang mereka benci.
Namun hakikatnya manusia adalah mahluk yang memiliki rasa egois, menang sendiri, dan merasa benar.
Terkadang hal inilah yang menyebabkan sulitnya menegakkan rasa keadilan itu sendiri.

Semoga, dibuatnya makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi pembacanya dan
meningkatkan diri untuk mewujudkan keadilan yang hakiki di negeri ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara Islam dan keadilan?

2. Bagaimana macam-macam keadilan dalam Islam?

3. Bagaimana hal-hal yang berkaitan dengan Islam dan Keadilan ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan antara Islam dan Keadilan


Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Q.S.
An-Nisaa’ : 135)

Islam adalah agama kesatuan antara ibadah dan mu’amalah, antara akidah dan perbuatan, material dan
spiritual, nilai-nilai ekonomi dan nilai-nilai moral, dunia dan akhirat, bumi dan langit. Nilai-nilai keadilan
dalam Islam bukan hanya pada ekonomi dan material, tetapi mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah
dan ruhaniyah.[1]

Ada bermacam-macam pengertian keadilan, menurut sudut pandang tertentu, dan aliran tertentu, di
antaranya:

Menurut pandangan Islam, keadilan adalah persamaan kemanusiaan yang memperhatikan pula keadilan
pada semua nilai yang mencakup segi-segi ekonomi yang luas, membiarkan individu melakukan
pekerjaan dan memperoleh imbalan dalam batas yang tidak bertentangan dengan tujuan hidup yang
mulia.[2]

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W. J. S. Poerwadarminta, kata adil berarti tidak berat
sebelah atau tidak memihak ataupun tidak sewenang-wenang.[3]

Kata adil digunakan dalam empat hal, yaitu:[4]

1) Keseimbangan. Adil di sini berarti seimbang. Apabila kita melihat suatu sistem atau himpunan yang
memiliki beragam bagian yang dibuat untuk tujuan tertentu, maka mesti ada sejumlah syarat, entah
ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antarbagian tersebut. Kajian tentang keadilan
sebagai lawan ketidakseimbangan, akan muncul jika kita melihat sistem alam sebagai keseluruhan.

2) Persamaan dan Nondiskriminasi. Maksudnya ialah persamaan dan penafian terhadap diskriminasi
dalam bentuk apa pun. Contoh: Fulan memandang semua individu secara sama rata, tanpa melakukan
pembedaan dan pengutamaan. Dalam hal ini, keadilan adalah terpeliharanya persamaan pada saat
kelayakan memang sama. Jika sebaliknya, justru identik dengan kezaliman.

3) Pemberian Hak kepada Pihak yang Berhak. Yaitu pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian
hak kepada setiap objek yang layak menerimanya. Pengertian keadilan di sini lebih condong pada
keadilan sosial, yakni keadilan yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu benar-
benar harus berjuang untuk menegakkannya. Keadilan ini mencakup dua hal: 1) Hak dan prioritas,
adanya berbagi hak dan prioritas sebagian individu bila kita bandingkan dengan sebagian lain. Contoh:
bayi atas air susu ibunya dan air susu ibunya atas usaha ibunya. 2) Karakter khas manusia, yang tercipta
karena manusia menggunakan sejumlah ide i’tibari tertentu sebagai alat kerja sebagai perantara untuk
mencapai tujuannya agar tiap individu bisa meraih kebahagiaan dalam bentuk yang lebih baik, semua
hak dan prioritas itu mesti dipelihara.
4) Pelimpahan Wujud Berdasarkan Tingkat dan Kelayakan. Adalah tindakan memelihara kelayakan
dalam pelimpahan wujud, dan tidak mencegah limpahan atau rahmat pada saat kemungkinan untuk
mewujudkan pada sesuatu itu telah tersedia. Allah hanya akan memberikan wujud atau kesempurnaan
wujud kepada setiap maujud sesuai dengan yang mungkin diterimanya terkairt kemampuannya
menerima emanasi tersebut. Keadilan Allah sesungguhnya identik dengan kedermawanan dan
kemurahan Nya.

Jadi, makna keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.
Keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan
menjalankan kewajiban.[5]

B. Macam-Macam Keadilan dalam Islam[6]

1. Islam menyuruh adil dalam berbicara, walaupun perkataan ini membuat keluarga kita marah: _Dan
apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu) _ (QS. al
An'am: 152)

2. Islam menyuruh adil dalam kesaksian jika kita diminta untuk bersaksi, walaupun kesaksian ini
menyulitkan kita atau menyulitkan orang yang disaksikan, karena ia adalah kesaksian karena Allah: _Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu Karena Allah. _ (QS. ath Thalaq: 2)

_Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. _ (QS. al Maidah: 8)

3. Islam menyuruh adil dalam memutuskan hukum, Allah berfirman: _Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. _ (QS. an Nisaa': 58)

C. Hal-Hal yang Berkaitan dengan Islam dan Keadilan

Keadilan berkaitan dengan banyak hal. Dari mulai hal-hal yang sederhana sampai hal yang kompleks, di
antaranya adalah sebagai berikut:

Ø Manusia dan Keadilan

Berdasarkan kodratnya, manusia mempunyai tiga dimensi dan harus dalam keadaan seimbang, yang
menyebabkan ia dapat dianggap sebagai manusia yang utuh.[7]

1. Sebagai pribadi, begitu lahir di dunia manusia memiliki hak-hak asasi sekaligus kewajiban-
kewajiban asasi. Hal yang paling asasi adalah hak untuk hidup, selain hak untuk menentukan pilihan
sesuai dengan akal budinya dalam mengupayakan kebahagiaan hidupnya dan penyempurnaan dirinya.
Ia merasa berlaku adil bila ia bertindak sesuai dengan hati nuraninya.

2. Sebagai anggota masyarakat, ia tidak berdiri sendiri. Manusia wajib mendukung kehidupan
sesamanya, dimulai dengan mendukung kesejahteraan keluarganya, mendukung kesejahteraan
masyarakat di lingkungannya, lebih luas lagi mendukung kesejahteraan bangsanya, dan selanjutnya
sebagai anggota umat manusia sedunia wajib mendukung kesejahteraan dunia.

3. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia sadar bahwa dirinya ada yang menciptakan, sehingga
semua tindakannya tidak lepas dari kontrol diri sesuai dengan tuntutan Sang Pencipta. Ia sadar bahwa
tindakannya akan dikatakan tidak adil bila menyalahi aturan yang telah digariskan oleh Tuhan, yang
secara khusus ada dalam aturan agama dan kepercayaan yang dianutnya, dan secara umum terkandung
dalam hukum alam semesta sebagai manifestasi kekuasaan Sang Pencipta. Ia harus bersikap adil
terhadap semua ciptaan Tuhan, baik yang bersifat makhluk hidup yang berupa manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan, maupun yang bersifat benda tidak hidup, yang berada dalam bumi air, dan angkasa.

Ø Kedudukan Pemimpin yang Adil[8]

Jabatan pemimpin adalah amanat yang berat; karena ia tergantung pada keadilan mutlak yang telah
ditanamkan pondasinya oleh Islam dalam masyarakat muslim, oleh karena itu kedudukan pemimpin
yang adil di sisi Allah sangat tinggi, karena ia menduduki urutan pertama dalam tujuh golongan yang
akan diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naunganNya, sebagaimana sabda
Rasulullah _:

«Tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naunganNya:
pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, orang yang hatinya selalu
terpaut kepada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah
atas dasar kecintaan kepada Allah, seorang lelaki yang diajak berbuat serong oleh wanita cantik lalu ia
berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan orang yang bersedekah lalu ia menyembunyikan
sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan orang
yang mengingat Allah di waktu sepi lalu air matanya berlinang _ (Muttafaq ‘alaih)

Ø Keadilan Sosial dalam Islam

Asas-asas di mana Islam menegakkan keadilannya itu adalah:

1) Kebebasan jiwa yang mutlak

Islam benar-benar memulai dengan melakukan pembebasan jiwa dari segala bentuk peribadatan dan
ketundukan kepada apapun selain Allah.[9]

ْ ُ‫ّللاُ هُوْ ق‬
‫ل‬ َ ‫﴾لم﴿ ال‬٢ ْ‫﴿ يُولدْ ولمْ يلِد‬٣﴾ ْ‫﴿ أحدْ ُكفُ ًوا لَ ْهُ ي ُكن ولم‬٤﴾
َْ ‫صم ُْد‬
َْ ْ‫﴿ أحد‬١﴾ ُ‫ّللا‬

"Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan
Dia." (Q.S. Al-Ikhlash: 1-4)

Al-Qur’an berulangkali menetapkan dan menjelaskan akidah ini agar sampai pada pembebasan jiwa
manusia dari berbagai syirik dan kultus ketuhanan yang merongrong hati mereka dan menundukkannya
untuk menyembah makhluk Allah, baik dia itu seorang Nabi atau Rasul, sebab ia semata-mata hanyalah
hamba Allah.[10] Sehingga ia tidak akan terpengaruh oleh perasaan takut menghadapi kehidupan, takut
mendapatkan rezeki, dan takut memperoleh tempat tinggal yang layak. Akan tetapi, Islam dengan
kekuatannya mendorong terwujudnya kehormatan dan keluhuran martabat manusia, serta tujuannya
mengokohkan kebesaran jiwa dalam membela kebenaran dalam diri mereka, dan dengan semuanya itu
ia memberi jaminan terwujudnya keadilan sosial yang mutlak, lebih dari sekadar pelaksanaan syari’at
belaka, maka ia sama sekali tidak mengabaikan manusia.[11]

2) Persamaan Kemanusiaan

Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian
kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani
itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian
kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
(Q.S. Al-Mu’minun: 12-14)

Al-Qur’an menetapkan pengertian ini di berbagai tempat, untuk menetapkan bahwa manusia ini
memiliki asal dan sumber kejadian yang satu, semuanya berasal dari tanah, dan setiap individu, tidak
ada kecualinya, semuanya berasal dari sperma yang hina, dan Rasulullah pun menetapkan arti semacam
ini pula dalam berbagai haditsnya, antara lain: “Kamu sekalian adalah anak cucu Adam, dan Adam
berasal dari tanah”. (HR. Abu Dawud)

Islam memerangi segala bentuk perbedaan dan diskriminasi beserta sebabnya agar supaya semuanya
dapat dimusnahkan. Sementara itu, Nabi Muhammad tidak lupa diingatkan oleh Al-Qur’an bahwasanya
ia hanyalah seorang manusia biasa seperti halnya manusia lain. Karena ia seorang Nabi yang sangat
dicintai oleh kaumnya, maka dikhawatirkan kecintaan mereka itu akan berubah menjadi kultus individu.
“Janganlah kalian bersikap kepadaku seperti sikap orang-orang Nashrani kepada Isa putera Maryam. Aku
tiada lain adalah hamba Nya semata, maka sebut sajalah aku ‘Abdullah (hamba Allah) dan Rasul Nya.”
(HR. Bukhari)[12]

Dalam masalah kelamin, Islam telah memberikan jaminan yang sama dan sempurna kepada kaum
wanita sejajar dengan kaum pria, kecuali dalam beberapa segi yang berkaitan dengan karakteristik
biologis dan tabiat masing-masing jenis kelamin yang tidak sampai berpengaruh pada kedudukan hakiki
jenis kelamin manusia.[13]

Adapun dalam keagamaan, kedua jenis makhluk ini, pria dan wanita, sama derajat.

‫ت مِ نْ يعملْ ومن‬ َ ‫ِيرا يُظل ُمونْ ولْ الجنَةْ يد ُخلُونْ فأُولئِكْ ُمؤمِ نْ وهُوْ أُنثىْ أوْ ذكرْ مِ ن ال‬
ِْ ‫صالِحا‬ ً ‫نق‬

"Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang
beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun." (Q.S. An-
Nisa’ : 124)

ْ‫ن أجرهُم ولنج ِزينَ ُهمْ ۖ طيِِّب ْةً حياْة ً فلنُحيِينَ ْهُ ُمؤمِ نْ وهُوْ أُنثىْ أوْ ذكرْ ِ ِّمن صا ِل ًحا عمِ لْ من‬
ِْ ‫يعملُونْ كانُوا ما بِأحس‬
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan". (Q.S.
An-Nahl : 97)

Dalam kepemilikan harta dan penggunaannya dalam bidang ekonomi, mereka pun sama.[14]

ْ ‫ّللاُ فضَلْ ما تتمنَوا و‬


‫ل‬ َْ ‫ل ۖ بعضْ علىْ بعض ُكمْ ِب ِْه‬ ِّ ِ ‫صيبْ ِِّل‬
ِْ ‫لرجا‬ ِ ‫ّللا واسألُوا ۖ اكتسبنْ ِ ِّم َما ن‬
ِ ‫صيبْ ولِلنِِّساءِْ ۖ اكتسبُوا ِ ِّم َما ن‬ َْ ‫ّللا ِإ‬
َْ ‫ن ۖ فض ِل ِْه مِ ن‬ َْ
ِِّْ ‫علِي ًما شيءْ بِ ُك‬
ْ‫ل كان‬

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Q.S.
An Nisa’ : 32)

Tentang kelipatan bagian kaum pria dan wanita dalam harta peninggalan warisan, maka rujukannya
adalah pada watak kaum pria dalam kehidupan, ia menikahi wanita bertanggungjawab terhadap nafkah
keluarganya selain bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya
itu.[15]

Sedangkan dalam persoalan kepemimpinan kaum pria atas wanita seperti yang tertera dalam Al-
Qur’an:[16]

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka... (Q.S. An-Nisa’ : 34)

Semua manusia mempunyai kehormatannya masing-masing yang harus dihargai.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Hujuraat : 12)

3) Jaminan Sosial

Islam menetapkan prinsip baik buruk yang ada pada individu dalam menerima kebebasannya, dan
menetapkan pula kaidah-kaidah semacam itu bagi masyarakat yang mencakup tanggung jawab individu
dan masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan jaminan sosial. Ada jaminan antara individu dengan
dirinya sendiri, antara individu dengan keluarga dekatnya, antara individu dengan masyarakat, antara
ummat dengan ummat lainnya, dan antara satu lapisan masyarakat dengan lapisan lainnya secara timbal
balik.[17]
Jaminan individu terhadap dirinya sendiri adalah suatu jaminan untuk tidak membiarkan dirinya
memperturutkan hawa nafsunya, mensucibersihkannya, menempuh jalan yang baik dan selamat, serta
tidak menjerumuskan diri dalam kehancuran.

Adapun orang yang melampaui batas, Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya
nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). (Q.S.
An-Naazi’at : 37-41)

Prinsip baik-buruk dalam Islam dikemukakan secara lengkap, mencakup setiap orang dengan amalnya
maupun setiap orang dengan apa yang dikerjakannya.

Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? Dan lembaran-
lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain, Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
Telah diusahakannya, Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan
diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, (Q.S. An-Najm : 36-41)

Jaminan seseorang terhadap kaum kerabatnya yang dekat.

Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia[850]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (Q.S. Al-Israa’ : 23-24)

Gambaran adanya saling menjamin antara keluarga dalam Islam terlihat dalam bentuk warisan harta.

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika
kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisaa’ : 12)
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menurut pandangan Islam, keadilan adalah persamaan kemanusiaan yang memperhatikan pula keadilan
pada semua nilai yang mencakup segi-segi ekonomi yang luas, membiarkan individu melakukan
pekerjaan dan memperoleh imbalan dalam batas yang tidak bertentangan dengan tujuan hidup yang
mulia.

Kata adil digunakan dalam empat hal, yaitu: keseimbangan, persamaan dan nondiskriminasi, pemberian
hak kepada pihak yang berhak, serta pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan.

Macam-macam keadilan dalam Islam di antaranya: keadilan dalam berbicara, keadilan dalam menjadi
saksi dan keadilan dalam memutuskan hukum.

Manusia dalam keadilan memiliki tiga dimensi, yaitu: sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan
sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Islam menegakkan keadilan sosial dan realisasi keadilan kemanusiaan dengan tiga asas keadilan:
kebebasan jiwa yang mutlak, kesamaan kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang kokoh.
Islam memberikan kebebasan yang penuh dan sempurna kepada setiap individu dalam batas yang sama
sekali tidak merusak dan tidak pula menutup jalan bagi masyarakat. Ia memberi hak-hak kepada
masyarakat, dan dalam waktu yang sama menjamin realisasi hak-hak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aryandini, Woro. 2000. Manusia Dalam Tinjauan Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Hamka. 1984. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Muthahhari, Murtadha. 2009. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam. Bandung: Mizan.

Quthb, Sayyid.1994. Keadilan Sosial Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.

Widagdho, Djoko, dkk. 1994. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/chain/Masyarakat_Muslim/id_07_masyarakat_muslim.pd
f?q=karena diakses pada tanggal 03 April 2013 pukul 09.46.

[1] Sayyid Quthb. Keadilan Sosial Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994). Cet. Ke-2. Hlm. 34.

[2] Ibid., hlm. 37.

[3] Woro Aryandini. Manusia Dalam Tinjauan Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2000). Cet. Ke-1. Hlm. 62.

[4] Murtadha Muthahhari. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam. (Bandung: Mizan, 2009). Edisi
Baru. Cet. Ke-1. Hlm. 60-68.

[5] Djoko Widagdho, dkk. Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: Bumi Aksara, 1994). Cet. Ke-4. Hlm. 103.

[6]http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/chain/Masyarakat_Muslim/id_07_masyarakat_muslim.
pdf?q=karena diakses pada tanggal 03 April 2013 pukul 09.46

[7] Woro Aryandini. Manusia Dalam Tinjauan Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2000). Cet. Ke-1. Hlm. 62.

[8] Hamka. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Cet. Ke-1. Hlm.
191.

[9] Sayyid Quthb. Keadilan Sosial Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994). Cet. Ke-2. Hlm. 45.

[10] Ibid., hlm. 48.

[11] Ibid., hlm. 49-50.

[12] Ibid., hlm. 69.

[13] Ibid., hlm. 70.

[14] Ibid. hlm. 71.

[15] Ibid.

[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 80.

Diposting oleh eko gunawan di 21.23

Anda mungkin juga menyukai