Anda di halaman 1dari 138

INTERNA

DAFTAR ISI

1. DIABETES MELLITUS TIPE 1............................................................. 1


2. HIPOGLIKEMIA RINGAN..................................................................... 8
3. DEFISIENSI VITAMIN........................................................................... 9
4. DISLIPIDEMIA....................................................................................... 14
5. OBESITAS............................................................................................. 20
6. LIMFADENITIS TUBERKULOSIS........................................................ 24
7. MALARIA.............................................................................................. 27
8. REAKSI ANAFILAKSIS........................................................................ 31
9. TUBERKULOSIS PARU....................................................................... 35
10. GASTROENTERITIS............................................................................. 45
11. DEMAM TIFOID..................................................................................... 48
12. ALERGI MAKANAN.............................................................................. 56
13. PENYAKIT CACING TAMBANG.......................................................... 60
14. ASKARIASIS......................................................................................... 62
15. TAENIASIS............................................................................................ 64
16. DISENTRI BASILER............................................................................. 67
17. PIELONEFRITIS.................................................................................... 68
18. BRONKHITIS AKUT............................................................................. 69
19. DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2.................................................... 73
20. HIPERTENSI......................................................................................... 81
21. HIPERURISEMIA DAN GOUT ARTHRITIS......................................... 92
22. ANEMIA DEFISIENSI BESI.................................................................. 96
23. PENYAKIT REFLUKS GASTRO-ESOFAGEAL (GERD).................... 98
24. GASTRITIS............................................................................................ 99
25. LEPTOSPIROSIS.................................................................................. 101
26. KERACUNAN MAKANAN.................................................................... 104
27. HEPATITIS VIRUS AKUT..................................................................... 105
28. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)........................................................ 112
29. ASMA BRONKIAL................................................................................ 115

i
30. PNEUMONIA......................................................................................... 124
31. DEMAM BERDARAH DENGUE........................................................... 137
32. PERTUSSIS........................................................................................... 140

ii
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. DIABETES MELLITUS TIPE 1

GEJALA KLINIS
Awal:
- Polifagi
- Polidipsi
- Poliuri
- Berat badan naik (Fase Kompensasi)  turun
- Mual-muntah  Ketoasidosis Diabetik.
Kronis:
- Lemah badan
- Semutan
- Kaku otot
- Penurunan kemampuan seksual
- Gangguan penglihatan, dan lain-lain.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Keluhan Klinis Diabetes

Keluhan Klasik Diabetes Keluhan Klasik Diabetes


(+) (-)

GDP GDP
≥ < ≥ 110-125 < 100
ata ata
126 126 u
126
u
GDS ≥ < GDS ≥ 140-199 < 140
200 200 200
Ulang GDS atau
GDP

GDP ≥ < TTGO


ata 126 126 GD 2 Jam
u
GDS ≥ <
200 200

>200 140- < 140


199
DIABETES MELLITUS TGT GDP Normal
T

Evaluasi Status Gizi Nasihat Umum


Evaluasi Penyulit Dini Perencanaan Makan
Latihan Jasmani
3
Evaluasi dan Perencanaan
Makan Sesuai Kebutuhan Berat idaman
Belum Perlu Obat Penurun Glukosa
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah


ini (Comitee Report ADA-2006):
1. Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)
2. Obesitas BB (kg) > 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/m 2)
3. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat kehamilan dengan: BB lahir bayi > 4000 gram atau abortus
berulang
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl)
8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT).
Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah
sebagai berikut:
1. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup
2. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
3. Puasa semalam, selama 10-12 jam
4. Periksa glukosa darah puasa
5. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum
dalam waktu 5 menit
6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih,
namun harus istirahat dan tidak merokok
8. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (Diabetes Mellitus
Gestasional), dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0, 1, 2, & 3
jam sebelum dan sesudah minum beban glukosa 75 gram tersebut.
Uji Laboratorium
Darah
Orang normal: Glukosa Darah Puasa (GDP) < 100 mg/dl, 2j pp < 140 mg/dl.
GDP antara 100 dan 126 mg/dl disebut Gglukosa Darah Puasa Terganggu
(GDPT) atau Impaired Fasting Glucose (IFG). Untuk penderita DM: disebut

4
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

“normal” atau regulasi baik (ADA 2005) bila glukosa darah sebelum makan: 90-
130 mg/dl dan puncak glukosa darah sesudah makan < 180 mg/dl.
Urine
Pada orang normal, reduksi urine: negatif. Pemantauan reduksi urine
biasanya 3x sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan. Atau
4x sehari, yaitu 1x sebelum makan pagi, dan yang 3x dilakukan setiap 2 jam
sesudah makan. Pemeriksaan reduksi 3x sebelum makan lebih lazim dan lebih
hemat.
Kriteria Diagnosis DM (Konsensus PERKENI 2002)
Dinyatakan DM apabila terdapat:
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, plus gejala
klasik: poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak jelas
sebabnya atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, atau
3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau
beban glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini
tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologi pada penduduk
dianjurkan memakai kriteria diagnosis kadar glukosa darah puasa. Untuk
DM Gestasional juga dianjurkan kriteria diagnosis yang sama.

TATALAKSANA
I. INSULIN
Macam-macam insulin:
1. Insulin Konvensional, mengandung komponen a, b, dan c, misalnya: IR =
Insulin Reguler (Novo dan Organon), NPH (Novo), PZI (Novo dan
Organon) dan ada juga campuran IR:PZI = 30:70. Bentuk ini lebih
imunogenik dan alergik, sebetulnya yang mempunyai efek biologis
adalah komponen c saja.
2. Insulin Monokomponen = Insulin MC (Insulin Mono-Component = Highly
Purified Insulin) = hanya mengandung komponen c (insulin murni),

5
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

misalnya Actrapid (short action, identik dengan insulin reguler),


semuanya dari Novo Industries.
Ada juga Insulated (identik dengan NPH) dan Mixtard (campuran short
dan long acting insulin dengan perbandingan 30:70), keduanya dari
Novo Industries. Sediaan dari ketiganya beredar dalam bentuk Novolet
@ 300 unit. Tetapi juga ada dari Eli Lilly dengan preparat yang sejenis
seperti tersebut di bawah ini.
Produksi dari Eli Lilly, ada 3 macam:
a. Humulin-R, identik dengan Actrapid/Insulin Reguler
b. Humulin-N, identik dengan Insulatard/NPH
Humulin 30/70 identik dengan Mixtard.
IR = Insulin Reguler = short action
NPH = Neutral Protein Hagedorn = intermediate action
PZI = Protamine Zinc Insulin = long action
Insulin MC mempunyai efek alergik dan imunologis yang minimal bila
dibandingkan dengan insulin konvensional.
3. Insulin manusia = Human Insulin (HM = Human Monocomponent).
Insulin ini kebanyakan dibuat dari E. coli (recombinant DNA). Insulin ini
disebut juga BHI (biosynthetis human insulin) dan mempunyai susunan
kimiawi sama dengan insulin manusia. Dikatakan, insulin HM ini
mempunyai efek alergik dan imunologis yang minimal dibandingkan
dengan kedua insulin tersebut di atas.
4. Insulin Analogues: ada 2 macam::
a. Rapid-Acting Insulin Analogues: Lis Pro (R/Humalog), Glulisin
(R/Apidra), Aspar (R/Aspart).
b. Long-Acting Peakless Insulin Analogues: Insulin Glargine (R/Lantus),
Insulin Detemir.
Preparat insulin: Insulin dipasaran mengandung komponen a, komponen
b, dan komponen c. Komponen a dan b mengandung proinsulin dan bermacam
impurities = “kotoran” (tidak mempunyai efek biologis), sedangkan komponen c
mengandung insulin murni = Sanger Insulin, yang mempunyai efek biologis.

6
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Komponen c inilah yang memiliki efek biologis pada metabolisme karbohidrat,


lemak, dan protein.
Half-life (waktu paruh) insulin hanya berkisar 7-10 menit. Half life insulin
intravena: 7 menit, subkutan 2 jam, dan intramuskular 4 jam. “nasib Insulin”:
50% bekerja di hepar, 50% ke sirkulasi umum (10-20% bekerja pada ginjal; 30-
40% pada sel darah, otot, dan jaringan adiposa). Apabila terdapat kelainan
pada target organ tersebut, akan tibul gangguan efisiensi insulin dan dangguan
metabolisme karbohidrat. Degradasi insulin: 60-80% di hepar, 10-20% di ginjal,
dan 10-20% di otot dan jaringan adiposa. Karena itu, kadar insulin akan
meningkat pada sirosis hepatis dan gagal ginjal.
Semuanya ini insulin dalam vial. Sekarang ada Insulin Penfill HM U-100:
yaitu insulin untuk suntikan dengan Novo-Pen (seperti Ball-point). Misalnya
produksi Novo dan Lily: Actrapid Penfill HM-100 (short acting), Insulated Penfill
HM 100 (intremediate), Mixtard Penfill HM 100 (campuran short:long = 30:70).
Perhatikan:
1. Cara pemberian insulin i.v., i.m., s.c. harus diketahui indikasi, manfaat,
dan efek sampingnya.
2. Insulin harus disimpan di tempat dingin antara 2-8 oC, atau setaranya.
Bila di atas 30oC akan rusak, dan di atas 50oC akan bergumpal. Insulin
harus dihindarkan dari cahaya karena dapat menurunkan efek
biologisnya.
Indikasi Terapi Insulin:
Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DMT1; namun demikian pda
keadaan tertentu meskipun bukan DMT1 sering pula terapi insulin diberikan
dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah insulin efektif pada saat yang tepat.
Beberapa Cara Pemberian Insulin
Regulasi cepat intravena (RCI)
1. Jangan memberikan cairan yang mengandung karbohidrat apabila kadar
glukosa masih di atas 250 mg/dl. Pasanglah infus Ringer Laktat atau
NaCl 0,9% dengan kecepatan 15-20tetes/menit (bila bukan ketoasidosis
= KAD); apabila KAD, maka tetesan harus cepat.

7
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Berikan Insulin Reguler Intravena 4 (empat) unit tiap jam sampai kadar
glukosa darah sekitar 200 mg/dl atau reduksi urin positif lemah.
3. Cara RCI: dengan dosis insulin reguler 4 unit/jam intravena, dapat
menurunkan glukosa darah sekitar 50-75 mg/dl setiap jamnya.
Contoh: Pada glukosa darah 450 mg/dl, berikan insulin reguler intravena
4 unit/jam sampai 3 kali (Rumus Minus-Satu), maka akan memperoleh
glukosa darah sekitar 200 mg/dl. Angka 3 kali diperoleh dari: 4 dikurangi
satu (Rumus Minus-Satu). Angka 4 berasal dari 450 mg/dl.
4. Apabila kadar glukosa tersebut sudah tercapai, maka insulin reguler
dapat diteruskan secara subkutan dengan interval 8 jam dengan dosis
3x8 U (Rumus Kali-Dua). Angka 8 berasal dari 4x2 (Rumus Kali-Dua).
Sedangkan angka 4 berasal dari 450 mg/dl.
5. Glukosa 450 mg/dl juga dapat mengikuti rumus 1, 2, 3, 4, 5 untuk
Regulasinya, dan dapat menggunakan Rumus 4, 6, 8, 10, 12 untuk
maintenance subkutannya.
Regulasi Cepat Subkutan (RCS)
Apakah cara RCI atau RCS yang dipilih, sesuaikanlah dengan kondisi,
situasi, dan fasilitas setempat. Tergantung kadar glukosa acak awal yang
diperoleh, maka berikan insulin subkutan dengan dosis awal ekstra, kemudian
maintenance insulin 3x sehari dengan pedoman dosis.
Indikasi RCI dan RCS pada umumnya adalah untuk kasus-kasus yang
memerlukan kadar glukosa darah harus segera diturunkan, bahkan pada DM
kasus biasa (non darurat) yang dirawat inap, misalnya penderita dengan DM-
sepsis pro operasai (gangren, kolesistitis, batu ginjal, dan lain-lain), DM dengan
GPDO (Stroke-CVA), DM pro amputasi, DM dan Infark Miokard Akut, semua
DM rawat inap dengan glukosa darah > 250 mg/dl (agar NPE dapat dimulai),
dan lain-lain.

8
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. HIPOGLIKEMIA RINGAN

KRITERIA DIAGNOSIS
Klinik: riwayat DM sebelumnya, timbul gangguan saraf berupa gelisah sampai
berat berupa koma dengan kejang.
Laboratorium: kadar gula darah < 50 mg/dl
Trias Whipple, yaitu adanya kadar gula darah yang rendah, timbul gejala-gejala,
hilangnya gejala dengan peningkatan kadar glukosa ke level normal.

GEJALA
• Parasimpatis : lapar, mual
• Simpatis : keringat dingin, berdebar-debar
• Gangguan otak ringan : lemah, sulit menghitung
• Gangguan otak berat : koma, dengan/tanpa kejang

TERAPI
• Gula murni 30 g (2 sendok makan), sirup, atau makanan yang
mengandung karbohidrat
• Koma  Glukosa 40% IV sebanyak 20-50 cc, setiap 10-20 menit sampai
pasien sadar, disertai infus dextrose 10% 6 jam/kolf
• Bila belum teratasi, dapat diberikan antagonis insulin (adrenalin, kortison,
atau glukagon)

9
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

3. DEFISIENSI VITAMIN

DEFISIENSI VITAMIN A

Satuan Yang Digunakan


1,0 g Retinol Ekivalen (RE) = 1,0 µg retinol
= 6,0 µg beta-karoten
= 12,0 µg karotenoid lain
= 3,3 SI(Satuan Internasional) retinol
= 9,9 SI beta-karoten

KEBUTUHAN VITAMIN A
Pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan
kelangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk
orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional
pangan dan Gizi (2007) dengan mempertimbangkan faktor-faktor khas dari
kesehatan tubuh orang Indonesia.
Daftar Kecukupan Vitamin A
Golongan Umur Kebutuhan Vitamin A
(RE)
Bayi 0 – 6 bulan 350
7 – 12 bulan 350

Balita 1 – 3 tahun 350


4 – 6 tahun 460
7 – 9 tahun 400

Pria 10 – 12 tahun 500


13 – 15 tahun 600
16 – 19 tahun 700
20 – 45 tahun 700
46 – 59 tahun 700
>60 tahun 600

Wanita 10 – 12 tahun 500


13 – 15 tahun 500
16 – 19 tahun 500

10
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

20 – 45 tahun 500
46 – 59 tahun 500
>60 tahun 500

Hamil + 200

Menyusui 0 – 6 bulan + 350


7 – 12 bulan + 300

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Pencegahan dan pengobatan di kutip berdasarkan keterangan dari
brosur suplementasi vitamin A kapsul yang terdiri dari :
a. Kapsul vitamin A berwarna biru (100.000 IU)
Tiap kapsul mengandung vitamin A palmitat 1,7 juta IU 64.7059 mg
(setara dengan vitamin A 100.000 IU) dengan dosis:
1) Pencegahan bayi umur 6 bulan – 11 bulan : 1 kapsul
2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi lainnya
diberi 1 kapsul.
b. Kapsul vitamin A berwarna merah (200.000 IU) tiap kapsul vitamin A
mengandung palmitat 1,7 juta IU 129.5298 mg (setara dengan vitamin A
200.000 IU) dengan dosis :
1) Pencegahan bayi umur 1 tahun – 3 tahun : 1 kapsul
2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi dan
infeksi lainnya diberi 1 kapsul.

11
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

JADWAL PEMBERIAN DOSIS VITAMIN


Anak-anak yang mengalami gizi kurang mempunyai resiko yang tinggi
untuk mengalami kebutaan sehubungan dengan defisiensi vitamin A, karena
alasan ini vitamin A dosis tinggi harus diberikan secara rutin untuk semua anak
yang mengalami gizi kurang pada hari pertama, kecuali bila dosis yang sama
telah diberikan pada bulan yang lalu. Dosis tersebut adalah sebagai berikut:
50.000 IU untuk bayi berusia < 6 bulan, 100.000 IU untuk bayi berumur 6 - 12
bulan , dan 200.000 IU untuk anak berusia > 12 bulan. Jika terdapat tanda
klinis dari defisiensi vitamin A (seperti rabun senja, xerosis konjungtiva dengan
bitot’s spot, xerosis kornea atau ulceration, atau ketomalasia), maka dosis yang
tinggi harus diberikan untuk dua hari pertama, diikuti dosis ketiga sekurang-
kurangnya 2 minggu kemudian.

DEFISIENSI VITAMIN K

Tabel dibawah mengambarkan perdarahan defisiensi vitamin K pada anak.

Tabel : Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak


VKDB dini VKDB klasik VKDB lambat Secondary PC
(APCD) deficien
cy
Umur < 24 jam 1-7 hari (terbanyak 3- 2 minggu-6 bulan Segala usia
5 hari) (terutama 2-8
minggu)
Penyebab & Obat yang - Pemberian makanan - Intake Vit K - obstruksi bilier
Faktor diminum selama terlambat inadekuat -penyakit hati
resiko kehamilan - Intake Vit K - Kadar vit K rendah -malabsorbsi
inadekuat pada ASI -intake kurang
- Kadar vit K rendah - Tidak dapat (nutrisi
pada ASI profilaksis vit K parenteral)
- Tidak dapat

12
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

profilaksis vit K
Frekuensi < 5% pada 0,01-1% 4-10 per 100.000
kelompok resiko (tergantung pola kelahiran (terutama di
tinggi makan bayi) Asia Tenggara)
Lokasi Sefalhematom, GIT, umbilikus, Intrakranial (30-60%),
perdarahan umbilikus, hidung, tempat kulit, hidung, GIT,
intrakranial, suntikan, bekas tempat suntikan,
intraabdominal, sirkumsisi, intrakranial umbilikus, UGT,
GIT, intratorakal intratorakal
Pencegahan -penghentian / -Vit K profilaksis (oral /Vit K profilaksis (im)
penggantian obat im) - asupan vit K yang
penyebab - asupan vit K yang adekuat
adekuat

Sebagai Penatalaksanaan, pencegahan yang disarankan berupa pemberian


vitamin K Profilaksis:
• Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3
kali atau 2 mg pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2
tahun
• Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis
vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im pada 24 jam
sebelum melahirkan. Selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan
diulang 24 jam kemudian

PENGOBATAN
• Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari
• Fresh frozen plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kg

13
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

4. DISLIPIDEMIA

Klasifikasi kadar lipid plasma menurut National Cholesterol Education Program


(NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III
Kolesterol Total
 < 200 Yang diinginkan
 200-239 Batas tinggi

 ≥ 240 Tinggi
Kolesterol LDL
 < 100 Optimal
 100-129 Di atas optimal

 130-159 Batas tinggi


Tinggi
 160-189
Sangat tinggi
 ≥ 190
Kolesterol HDL
 < 40 Rendah
 > 60 Tinggi
Trigliserida
 < 150 Normal
 150-199 Batas tinggi

 200-499 Tinggi
Sangat tinggi
 ≥ 500

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium berperan penting untuk menegakkan
diagnosis dislipidemia. Untuk itu diperlukan prosedur cara pemeriksaan dan
cara pelaporan yang baku di semua pusat penelitian, agar data yang diperoleh
dapat dibandingkan dan dianalisis. Parameter yang diperiksa adalah: kadar kol-
total, kol-LDL, kol-HDL, dan TG.
1. Persiapan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

14
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Pengukuran kadar lipid paling baik dilakukan pada waktu subyek


dalam keadaan sehat dan metabolik stabil. Tidak ada perubahan
berat badan, pola makan, kebiasaan merokok, olahraga, minum
kopi/alkohol dalam 2 minggu terakhir sebelum diperiksa, dan tidak
sakit berat atau operasi besar dalam 2 bulan terakhir.
 Penderita dengan demam, sebaiknya pemeriksaan lipid dilakukan 2
minggu setelah bebas demam.
 Penderita infark miokard akut, kadar kolesterol akan menurun 24 jam
– 3 blan pascainfark, oleh karena itu contoh darah dalam 24 jam
pertama masih memberikan gambaran kolesterol yang sebenarnya.
 Beberapa kepustakaan menganjurkan 2 kali pemeriksaan (antara 1-8
minggu) untuk mendapatkan gambaran kadar yang sebenarnya
sebelum dimulai dengan pengobatan.
 Tidak mendapat obat yang mempengaruhi kadar lipid dalam 2
minggu terakhir.
Bila hal tersebut memungkinkan, pemeriksaan tetap dilakukan tetapi
dengan disertai catatan.
2. Pengambilan Bahan Pemeriksaan
 Untuk pemeriksaan TG dibutuhkan puasa 12 jam (semalam)
 Pemeriksaan kol-LDL pada saat ini dapat diperiksa secara direk,
sehingga untuk pemeriksaan kol-LDL, kol-total, dan kol-HDL tidak
perlu puasa. Mengingat sebagian besar laboratorium masih
menggunakan rumus Friedewald untuk menghitung kadar kol-LDL
dengan sendirinya pemeriksaan lipid tetap harus berpuasa.
 Sebelum sampel diambil, subyek duduk selama 5 menit.
 Sampel diambil dengan melakukan bendungan vena seminimal
mungkin.
 Bahan yang diambil adalah serum.
a. Analisis

15
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Analisis dilakukan di laboratorium yang telah mengikuti program


pemantapan mutu.
 Analisis kol-total dan TG dilakukan dengan metode enzimatik.
 Kol-HDL dan kol-LDL diperiksa dengan metode presipitasi dan
enzimatik.
 Kadar kol-LDL sebaiknya diukur secara langsung atau dapat juga
dihitung menggunakan rumus Friedewald kalau kadar TG < 400
mg/dl, sebagai berikut:
Kadar kol. LDL = kol. total – kol. HDL – 1/5
TG

PENGELOLAAN DISLIPIDEMIA
Upaya Non-Farmakologis
Perubahan gaya hidup
a. Merokok sigaret: harus segera dihentikan
b. Menurunkan berat-badan: dengan latihan jasmani dan pengaturan
makan
c. Pembatasan asupan alkohol: terutama pada penderita
hipertrigliseridemia.
Pengaturan makan
a. Kurangi asupan lemak total, lemak jenuh, dan kolesterol
b. Tingkatkan proporsi lemak MUFA dan PUFA (Mono dan Poly
Unsaturated Fatty Acid)
Untuk menurunkan kadar trigliserid perlu ditambahkan pengurangan total
kalori, asupan karbohidrat dan alkohol. Evaluasi hasil perubahan gaya hidup
dilakukan setiap 3 bulan untuk mengevaluasi hasil yang telah dicapai.
Derajat penurunan kadar kol-LDL yang dicapai dengan diet bergantung
pada pola makan sebelum dimulainya diet, tingkat kepatuhan, dan respons
biologis secara umum, pasien dengan kadar kolesterol yang tinggi mengalami
penurunan kadar kol-LDL yang besar dibanding yang kadar awalnya rendah.

16
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Perlu diingatkan bahwa tempe adalah sumber protein nabati yang baik dan
murah serta dapat menurunkan kadar kol-total, TG, dan juga menaikkan kadar
kol-HDL.
Latihan jasmani
1. Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit
2. Aerobik sampai denyut jantung sasaran, yaitu 70-85% dari denyut
jantung maksimal (220-umur), selama 20-30 menit
3. Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan-lahan,
selama 5-10 menit.
Frekuensi latihan direkomendasikan 3-4 kali seminggu selama 30-40
menit setiap kalinya. Jenis latihan yang dipilih sebaiknya berkesinambungan
(continuous), berirama (rhytmical), interval, progresif, dan bersifat
meningkatkan daya tahan (endurance). Pada pasein dengan faktor risiko
ringan, kurang olahraga, dan usia lanjut, latihan jasmani berbentuk jalan kaki
cepat cukup efektif untuk memperbaiki dislipidemia.

Upaya Farmakologis
Obat Kol-LDL Kol-HDL TG
Statin ↓ 18-55% ↑ 5-15% ↓ 7-30%
Resin ↓ 15-30% ↑ 3-5% -/↑
Fibrat ↓ 5-25% ↑ 10-20% ↓ 20-50%
Asam nikotinat ↓ 5-25% ↑ 15-35% ↓ 20-50%

Pilihan obat penurun lipid sesuai dengan jenis dislipidemia


Dislipidemia Obat terpilih
Hiperkolesterolemia Statin atau Resin atau kombinasi
Dislipidemia campuran Statin atau kombinasi dengan fibrat
Hipertrigliseridemia Fibrat
Isolated low-HDL-cholesterol Fibrat

Obat hipolipidemik, Dosis, dan Efek Sampingnya


Obat Dosis Efek Samping
Resin
Kolestiramin 4-16 gram/hari Konstipasi, gangguan

17
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Kolestipol 5-20 gram/hari absorpsi obat lain

Gol. Asam Nikotinat


Asam nikotinat Immediate release 1,5-3 Flushing, hiperglikemia,
g/hari hiperurikemia,
Extended release 1-2 hepatotoksik, gangguan
g/hari saluran cerna
Sustained release 1-2
g/hari

Golongan Statin
Fluvastatin 20-80 mg malam hari Miopati, peningkatan
Lovastatin 5-40 mg malam hari SGOT/SGPT
Pravastatin 5-40 mg malam hari
Simvastatin 5-40 mg malam hari
Atorvastatin 10-80 mg 1 x/hari
Rosuvastatin 10-40 mg 1 x/hari

Golongan Asam Fibrat


Bezafibrat 200 mg, 3x/hari atau Dispepsia, batu empedu,
400 mg, 1x/hari ((retard) miopati
Fenofibrat 160 mg supra 1x/hari Kontraindikasi:
Gemfibrozil 600 mg, 2x/hari gangguan fungsi
900 mg, 1x/hari hati/ginjal yang berat

Cholesterol Absorption
Inhibitor
Ezotimibe 10 mg, 1x/hari Dispepsia, sakit
kepala/punggung

18
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

5. OBESITAS

Wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi
obesitas sendiri.
Risiko Ko-Morbiditas
Lingkar Perut
< 90 cm (Laki-laki) ≥ 90 cm (Laki-laki)
Klasifikasi IMT (kg/m2)
< 80 cm ≥ 80 cm
(Perempuan) (Perempuan)
Berat Badan < 18,5 Rendah (risiko Sedang
Kurang meningkat pada
masalah klinis lain)
Kisaran Normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat
Berat Badan ≥ 23,0
Lebih 23,0-24,9 Meningkat Moderat
Berisiko 25,0-29,9 Moderat Berat
Obes I ≥ 30,0 Berat Sangat berat
Obes II

TATALAKSANA
Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu
diet randah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah.
Tujuan Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan harus SMART: Spesific, Measurable, Achieable,
Realistic, and Time limited. Tujuan awal dari terapi penurunan berat badan
adalah untuk mengurangi berat badan sebesar sekitar 10% dari berat awal.
Batas waktu yang masuk akal untuk penurunan berat badan sebesar
10% adalah 6 bulan terapi. Untuk pasien overweight dengan rentang BMI
sebesar 27 sampai 35, penurunan kalori sebesar 300 hingga 500 kkal/hari akan
menyebabkan penurunan berat badan sebesar ½ sampai 1 kg/minggu dan
penurunan sebesar 10 persen dalam 6 bulan.

19
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Setelah 6 bulan, kecepatan penurunan berat badan lazimnya akan


melambat dan berat badan menetap karena seiring dengan berat badan yang
berkurang terjadi penurunan energi ekspenditure.
Oleh karena itu, setelah tercapai penurunan berat badan selama 6 bulan,
suatu program penurunan berat badan harus dilakukan. Jika dibutuhkan
penurunan berat badan lebih banyak, dapat dilakukan penyesuaian lebih lanjut
terhadap anjuran diet dan aktivitas fisik.
Untuk pasien yang tidak mampu untuk mencapai penurunan berat badan
yang signifikan, pencegahan kenaikan berat badan lebih lanjut merupakan
tujuan yang paling penting. Pasien seperti ini tetap diikutsertakan dalam
program manajemen berat badan.
Strategi Penurunan dan Pemeliharaan Berat Badan
Terapi Diet
Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 1000 kkal/hari
sebaiknya diukur kebutuhan energi basal pasien terlebih dahulu. Pengukuran
kebutuhan energi basal dapat menggunakan rumus dari Harris-Benedict:
Laki-laki:
B.E.E = 66,5 + (13,75 x kg) + (5,003 x cm) – (6,775 x age)
Wanita:
B.E.E = 655,1 + (9,563 x kg) + (1,850 x cm) – (4,676 x age)
Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah faktor stres dan
aktivitas. Faktor stres ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai lebih dari 2.
Di samping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan
sama dengan 30 persen dari total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam
menu sehari-hari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan,
kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas
harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk
menurunkan kadar kolesterol-LDL.
Aktivitas Fisik

20
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan, dan


intensitasnya sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan
seluruhnya pada satu saat atau secara bertahap sepanjang hari.
Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit
dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya
selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini,
pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat
dicapai.
Terapi Perilaku
Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan
makan dan aktivitas fisik, manajemen stres, stimulus control, pemecahan
masalah, contigency management, cognitive restructuring dan dukungan sosial.
Farmakoterapi
Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat
berguna. Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti
efektif menurunkan berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian
sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat hipertensi,
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia, atau riwayat stroke.
Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan pemberian
orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi
parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul.
Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter dibutuhkan untuk mengawasi
tingkat efikasi dan keamanan.
Terapi Bedah
Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat
badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis
dengan BMI ≥ 40 atau ≥ 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus
dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasein yang gagal dengan
farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem.

21
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Bedah gastrointestinal (restriksi gastrik [banding vertical gastric] atau


bypass gastric (Roux-en Y) adalah suatu intervensi penurunan berat badan
pada subyek yang bermotivasi dengan risiko operasi yang rendak.
Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun
sesudah untuk memberikan panduan diet, aktivitas fisik, dan perubahan
perilaku serta dukungan sosial.

22
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

6. LIMFADENITIS TUBERKULOSIS

GAMBARAN KLINIS
- Pembesaran kelenjar getah bening yang lambat

- Unilateral atau bilateral

- Tunggal maupun multipel

- Tidak nyeri

- Paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih


jarang di regio supraklavikular

- Demam

- Penurunan berat badan

- Fatigue

- Keringat malam

Limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium


yaitu:

a. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan


diskret.

b. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan


sekitar oleh karena adanya periadenitis.

c. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening)


akibat pembentukan abses.

d. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.

e. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

23
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar


limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali:

a. terjadi infeksi sekunder bakteri

b. pembesaran kelenjar yang cepat atau

c. koinsidensi dengan infeksi HIV.


DIAGNOSIS
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa
limfadenitis TB :
a. Pemeriksaan mikrobiologi
- Pemeriksaan mikroskopis  minimal 10.000 basil TB agar
perwarnaan dapat positif.
- Kultur  10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif.
b. Tes Tuberkulin
Positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila
indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm.
c. Pemeriksaan Sitologi
Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma
epiteloid, nekrosis kaseosa.
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru
pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada
anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus.
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular
atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pada
pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai
dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes.
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi
sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta
nodularitas di dalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya
manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan

24
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

pada limfadenitis TB. Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret,
konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering
terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-
sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar
metastatik (Bayazit & Namiduru, 2004).

PENATALAKSANAAN
Pengobatan gejala harus dimulai segera seperti pemberian:
a. Analgesik (penghilang rasa sakit) untuk mengontrol nyeri
b. Antipiretik dapat diberikan untuk menurunkan demam
c. Antibiotik untuk mengobati setiap infeksi sedang sampai berat
d. Obat anti inflamasi untuk mengurangi peradangan
e. Kompres dingin untuk mengurangi peradangan dan nyeri
f. Operasi mungkin diperlukan untuk mengeringkan abses.
Hindari pemberian aspirin pada anak karena dapat meningkatkan risiko
sindrom Reye pada anak. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat
menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsy kelenjar getah bening. Biopsy
dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada
keganasan, kelenjar getah bening yang menetap atau bertambah besar dengan
pengobatan yang tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan. Secara umum
pengobatan Limfadenitis yaitu :
a. Pengobatan dilakukan dengan tuberkulositik bila terjadi abses, perlu
dilakukan aspirasi dan bila tidak berhasil, sebaiknya dilakukan insisi serta
pengangkatan dinding abses dan kelenjar getah bening yang
bersangkutan.

b. Virus  sembuh sendiri.

c. Bakteri  flucloxacillin dosis : 25 mg/kgBB 4 kali sehari.

Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penicillin dapat


diberikan cephalexin dengan dosis : 25 mg/kgBB (dosis maksimal 500

25
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

mg) 3 kali sehari atau erythromycin 15 mg/kgBB (dosis maksimal : 500


mg) 3 kali sehari.

d. Mycobacterium tuberculosis maka diberikan obat anti


tuberculosis selama 9-12 bulan  2RHZE/10RH.
7. MALARIA

GEJALA KLINIS
Masa tunas P. Vivax dan falciparum antara 10-14 hari, P. Malariae
antara 18 hari sampai 6 minggu. Pada masa prodromal gejala tidak khas:
menggigil, demam, nyeri kepala, nyeri otot (terutama punggung), nafsu makan
menurun, dan cepat lelah.
Gejala khas: serangan berulang paroksismal dari rangkaian gejala
menggigil – demam – berkeringat disusul dengan periode rekonvalesensi.
Pada P. Vivax serangan demam terjadi tiap hari ketiga (malaria tertiana).
P. Falciparum kurang dari 48 jam (malaria tropika/subtertiana) dan P. Malariae
tiap 72 jam (malaria kuartana).
Gejala-gejala lain: ikterus, anemia, hepatomegali, hipotensi postural,
urobilinuria, dan kadang-kadang diare.

DIAGNOSIS
1. Diagnosis per eksklusionum
- Anamnesis:
o Penderita baru bepergian ke daerah endemis malaria.
o Di Jawa Timur pun yang beberapa masa lalu dinyatakan bebas
malaria muncul kembali sebagai reemerging disease.
o Adanya rangkaian gejala: menggigil, demam tinggi, berkeringat
banyak, disusul stasium sembuh, gejala tersebut bersifat serangan
berulang (paroksismal). Air seni berwarna merah seperti teh, nyeri
kepala dan otot (terutama otot punggung), nafsu makan menurun.

26
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Fisik: pucat, anemia, ikterus, hipotensi postural, hepatomegali,


splenomegali.
- Dengan pengobatan anti malaria penderita sembuh (pengobatan
eksjuvan-tibus).

2. Diagnosis laboratorik
- Air seni berwarna merah seperti air teh karena mengandung urobilin;
anemia hemolitik; pada sediaan darah tipis dan tebal nampak adanya
parasit malaria dalam eritrosit (pengecatan Giemsa atau Wright).
- P. vivax: pada hapusan darah tipis maupun tebal dapat dilihat eritrosit
yang mengandung parasit membesar, terdapat titik Schoeffner dan
sitoplasmanya berbentuk ameboid.
- P. ovale: mirip P. vivax, hanya eritrosit yang mengandung parasit
berbentuk oval.
- P. malariae: pada sediaan tipis, nampak parasit berbentuk pita (band),
skizon berbentuk bunga mawar dan trofozoid bulat kecil-kecil nampak
kompak dengan tumpukan pigmen yang kadang-kadang menutupi
sitoplasma/inti atau keduanya.
- P. falciparum: pada sediaan darah tipis, nampak gametosit berbentuk
pisang; terdapat bentuk maurer.
- Pada sediaan tetes tebal, nampak banyak sekali bentuk cincin kecil-
kecil tanpa bentuk dewasa yang lain (stars in the sky); terdapat
bentukan balon merah di sisi luar gametosit.
- Pemeriksaan QBC (Semi Quantitative Buffy Coat)
- Pemeriksaan imunoserologi, dengan metode RIA atau ELISA.

DIAGNOSIS BANDING
Influenza, gastroenteritis, salmonellosis, dan leptospirosis.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan serangan malaria akut (pengobatan radikal).

27
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

I. Chloroquine: hari ke-1 dan ke-2 masing-masing dosis tunggal 600 mg


(basa), hari ke-3 300 mg, ditambah primaquine dosis tunggal 15 mg/hari
pada hari ke-1 s/d 3.
II. Malaria falsiparum yang kebal Chloroquine.
a. Sulphadoxin-primethamine dosis tunggal 3 tablet, ditambah
primaquine dosis tunggal 45 mg pada hari ke-1.
b. Kina sulfat: 3 x 400 mg/hari selama 7 hari, dosis tunggal 45 mg pada
hri ke-1. Kemudian dapat diikuti: Doxycycline 2 x 100 mg/hari selama
7 hari atau clindamycine 900 mg/hari selama 5 hari.
III. Malaria vivaks, ovale, dan malariae
Chloroquine: hari ke-1 dan ke-2 masing-masing dosis tunggal 600 mg
(basa) hari ke-3 300 mg, ditambah primaquine dosis tunggal 15 mg/hari
pada hari ke-1 s/d ke-5
IV. Malaria dengan penyulit (malaria pernisiosa), misalnya malaria
serebralis:
a. Kina dihidroklorida 600 mg dalam 500 ml dextrose 5% diberikan
secara infus intravena selama 4 jam, dapat diulang tiap 8 jam. Atau
kina hidroklorida 20 mg/kgBB dalam 500 ml dextrose 5% diberikan
selama 4 jam diikuti 10 mg/kgBB diberikan dalam 2-4 jam dan dapat
diulang setiap 8 jam (dosis maksimum 1800 mg/hari).
b. Chloroquine sulfat 300 mg dalam 200 ml garam faali diberikan
secara infus intravena selama 30 menit, dapat diulang tiap 8 jam.
Bila penderita sudah sadar, secepatnya sisa obat diberikan peroral
sesuai dengan pengobatan radikal.
Pengelolaan malaria falsiparum berat:
1. Chloroquine atau kina, parenteral dengan dosis adekuat, seperti tersebut
di atas.
2. Turunkan suhu badan apabila terjadi hiperpireksia dengan antipiretik dan
kompres.
3. Rehidrasi (hati-hati terjadi over-hydration yang merupakan risiko edema
paru)

28
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

4. Antikonvulsan apabila terjadi kejang-kejang


5. Pertimbangkan dexamethasone pada malaria serebralis.
6. Obati gagal ginjal yang terjadi dengan dialisis peritoneal
7. Transfusi darah untuk penderita anemia berat
8. Cairan dan plasma expander apabila terjadi renjatan (algid malaria)
9. Pertimbangakan exchange transfusion pada penderita koma dengan
parasitemia berat
10. Awasi kemungkinan terjadinya hipoglikemia, bila ada obati dengan infus
dextrosa.

Pengobatan supresif atau presumtif


Diterapkan pada penderita semi-imun di daerah endemis malaria
1. Untuk malaria falsiparum kebal Chloroquine: Chloroquine dosis tunggal
600 mg satu kali.
2. Malaria falsiparum kebal Chloroquine: Chloroquine dosis tunggal 600 mg
satu kali, ditambah primaquine dosis tunggal 45 mg satu kali.

Pengelolaan alternatif lain untuk malaria falsiparum kebal Chloroquine


1. Amodiaquine: hari ke-1 600 mg, disambung 6 jam kemudian dengan 400
mg, hari ke-2 400 mg dan hari ke-3 400 mg. Dapat digabung dengan
erythromycine 3 x 500 mg/hari selama 5 hari.
2. Kombinasi kina dengan tetracycline. Kina 3 x 400 mg selama 7 hari
dikombinasi dengan tetracycline 3 x 500 mg selama 5 hari.

29
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

8. REAKSI ANAFILAKSIS

PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap anafilaksis seyogyanya mengikuti prinsip-prinsip
resusitasi gawat darurat seperti tabel di bawah ini.
• Segera berikan suntikan Epinefrin 1:1000 0,3 ml intramuskular di daerah
deltois paha lateral (vastus lateralis)
• Hentikan obat-obat atau senyawa yang diduga sebagai pencetus
anafilaksis (obat-obat intravena,antibiotik, media kontras radiografi, produk
yang berasal dari darah, sengat serangga, dll)
• Ukur tekanan darah dan nadi, pertimbangkan tindakan resusitasi
kardiopulmoner
• Bergantung pada derajat keparahan reaksi, respons terhadap pengobatan
dan kondisi masing-masing penderita, berikan:
Terapi oksigen melalui masker atau kanula hidung
Infus cairan garam fisiologis intravena
Diphenhydramine 50 mg intramuskuler atau intravena (secara
perlahan)
Ranitidin 50 mg atau Cimetidine 300 mg intravena (bila diperlukan)
Methylprednisolone 125 mg intravena atau Hydrocortisone 100-200 mg
intravena
• Ulangi pemberian epinefrin tiap 15-20 menit bila diperlukan
• Waspadai kemungkinan hipotensi dan kondisi yang memerlukan intubasi
• Bila tekanan darah darah sistolik < 90 mmHg, lakukan:
Pasang 2 jalur infus dengan diameter besar (18 G)
Berikan cairan garam fisiologis tetasan cepat (diguyur)
Dopamin 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml Dextrose 5% tetesan cepat
hingga tekanan darah sistolik > 90 mmHg lalu dititrasi secara
perlahan
Bila tindakan tersebut tidak efektif pertimbangkan Norepinefrin

30
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

(Levophed) 2 mg (1 ampul) dalam 250 ml Dextrose 5% titrasi secara


perlahan setelah tekanan darah sistolik mencapai > 90 mmHg
• Bila terjadi bronkospasme, wheezing atau sesak nafas, berikan:
Epinefrin seperti petunjuk di atas, bila tidak efektif pertimbangkan
Salbutamol/Terbutalin secara nebulisasi atau inhalasi (2 semprotan)
Oksigen hingga 100% menggunakan masker
• Bila dijumpai stridor
Epinefrin seperti petunjuk di atas
Oksigen hingga 100% menggunakan masker
Intubasi atau trakeostomi untuk mengatasi obstruksi saluran nafas atas
Langkah yang cepat dan tepat sangat menentukan hasil akhir
pengobatan. Semakin lama pengobatan awal tertunfa, semakin besar angka
kematian. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan sirkulasi darah yang adekuat.
Langkah pertama yang harus segera dilakukan adalah pemberian Epinefrin
(adrenalin) dalam larutan 1:1000 secara intramuskular di daerah lengan
sebelah luar (otot deltoid)atau paha sebalah luar (otot vastus lateralis) dengan
dosis 0,3 ml (0,01 ml/kgBB). Dosis tersebut dapat diulang tiap 15-20 menit bila
diperlukan. Penderita yang mendapat terapi penyekat β seringkali resisten
terhadap epinefrin sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi. Bila anafilaksis
disebabkan oleh sengatan binatang atau suntikan obat di daerah ekstremitas
perlu diapsang torniket di sebelah proksimal sengatan atau suntikan. Torniket
ini perlu dilepaskan selama 1-2 menit setiap 10 menit. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan fisik secara tepat dan menyeluruh untuk menentukan organ
sasaran yang terkena agar pengobatan yang sesuai dapat segera diberikan.
Kortikosteroid tidak banyak membantu pada tatalaksana akut anafilaksis
dan hanya digunakan pada reaksi yang sedang hingga berat untuk
memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Methylprednisolone 125 mg intravena dapat diberikan tiap 4-6 jam.
• Syok
Tujuan penatalaksanaan syokadalah untuk mempertahankan sirkulasi
darah dan pertukaran udara yang adekuat penderita dibaringkan dalam

31
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

posisi Trendelenberg dengan tungkai yang dielevasi. Setelah pemberian


Epinefrin 1:1000 intramuskular dengan dosis 0,3-0,5 ml (0,01 ml/kgBB)
pada lengan atas (deltoid) atau paha lateral (vastus lateralis), selanjutnya
segera dipasang 2 jalur infus dengan cairan larutan garam fisiologis tetesan
cepat (guyur). Berikan sebanyak 1 L tiap 15-30 menit sementara tanda vital
dn produksi urin dipantau. Kadang-kadang perlukan cairan sebanyak 5-7 L
atau lebih dalam wkatu 12 jam. Bila perlu dapat dipasang kateter vena
sentral untuk memantau kecukupan cairan. Obat vasopresor seperti
dopamin dapat dipertimbangkan bila pemberian cairan tidak mengatasi
syoknya. Penderita penyakit jantung memerlukan dosis Epinefrin yang lebih
rendah (0,1-0,2 ml) yang dapat diulang tiap 10 menit. Efek pemberian
Epinefrin ini meliputi relaksasi otot polos bronkus, peningkatan tonus otot
polos vaskuler, dan mengurangi pelepasan mediator oleh sel mast.
• Obstruksi bronkus
Epinefrin sangat efektif dan bekerja cepat untuk mengatasi bronkospasme.
Bila gejala tidak teratasi dapat diberikan nebulisasi bronkodilator β
adrenergik (Salbutamol atau Terbutalin sulfat). Methylprednisolone 125 mg
dapat diberikan tiap 4-6 jam pada penderita dengan gejala yang berat atau
yang tidak responsif terhadap Epinefrin. Oksigen dapat diberikan melalui
kanula hidung atau masker bila PaCO2 < 55 mmHg. Bila PaCO2 > 65 mmHg
penderita mengalami gagal nafas dan memerlukan intubasi serta bantuan
nafas mekanis.
• Edema laring
Penderita dengan obstruksi laring menunjukkan gejala stridor. Pemasangan
pipa endotrakeal mungkin mengalami kesulitan akibat edema laring. Pada
kondisi demikian perlu segera dilakukan pungsi membrana krikotirois
menggunakan jarum pendek no. 14G atau 16G. Bila prosedur trakeostomi
dilakukan di luar rumah sakit, maka metode krikotirotomi lebih disukai. Bila
dilakukan di rumah sakit maka metode bedah trakeostomi lebih disukai.
• Urtikaria, Angioedema, dan Gejala Gastrointestinal

32
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Gejala-gejala init idak mengancam jiwa dan biasanya memberikan respons


terhadap antihistamin. Jika gejala ringan cukup diberikan antihistamin oral.
Bila gejala cukup berat dapat diberikan Diphenhydramine intramuskuler
atau intravena dengan dosis 50 mg (1-2 mg/kgBB). Dapat pula diberikan
Ranitidin 50 mg atau Cimetidin 300 mg intravena. Dosis antihistamin
diulang tiap 6 jam selama 48 jam untuk mengurangi risiko kambuhnya
gejala.

33
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

9. TUBERKULOSIS PARU

DEFINISI KASUS
Kasus baru (new case):
Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.
Kambuh (relaps):
Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap. Kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif (hapusan atau kultur).
Gagal pengobatan (treatment after failure):
Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan
pengobatan yang sebelumnya.
Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita dengan BTA megatif
menjadi positif pada akhir bulan ke-2.
Pengobatan setelah default (treatment after default/drop out):
Penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif, setelah
berhenti minum obat 2 bulan atau lebih.
Pindahan (transfer in):
Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten
kemudian pindah ke kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat
rujukan/pindah (form TB 09).
Kasus kronik:
Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan ulang
dengan kategori 2.

DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang
lain.

34
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Gejala
Respiratorik : batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak
napas.
Sistemik : demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat
badan turun.
Penderita dengan gejala tersebut dianggap sebagai curiga TB dan harus
diperiksakan dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-
sewaktu/SPS) dengan cara pengecatan.
Pemeriksaan fisik
Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk
membedakan TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi
kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda
antara lain penarikan struktur sekitar, suara napas bronkial, amforik, ronki
basah, pada efusi pleura didapatkan gerak napas tertinggal, keredupan dan
suara mapas menurun sampai tidak terdengar. Bila terdapat limfadenitis
tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar linfe, sering di daerah leher,
kadang disertai adanya skrofuloderma.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan
diagnosis. Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebrospinalis,
bilasan lambung, bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara mikroskopis dan biakan.
Pemeriksaan dahak untuk menemukan basil tahan asam merupakan
pemeriksaan yang harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita
tuberkulosis atau suspek. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-
sewaktu/SPS), dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau Kinyoun Gabbet.
Interpretasi pembacaan didasarkan skala IUATLD atau bronkhorst.
Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam
pada pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemikan BTA (+).

35
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Bila hanya 1 spesimen yang positif, perlu pemerikaan foto thoraks atau
SPS ulang. Bila foto thoraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru
BTA (+). Bila foto thoraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan
pemeriksaan SPS ulang. Bila SPS ulang hasilnya negatif berarti bukan
penderita TB. Bila SPS-positif, berarti penderita TB BTA (+). Bila foto toraks
mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS negatif, maka diagnosis adalah TB
paru BTA negatif rontgen positif.
Foto toraks
Pada kasus di mana pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak
diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan
foto toraks bila:
• Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks)
• Hemoptisis berulang atau berat
• Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+)
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif:
1. Bayangan berawan/nodualr di segmen apical dan posterior lobus atas
dan segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura.
Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif:
1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan
atau segmen superior lobus bawah.
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura
Destroyed lung
Gambaran radiologis yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Sulit untuk menilai aktiviti
penyakit berdasarkan gambaran radiologis tersebut. Perlu dilakukan
pemeriksaan bakteriologis untuk mengetahui aktivitas penyakit.

36
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Luas proses yang ampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dinyatakan sbb:
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari datu atau dua paru
dengan luas lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus vertebra
torakalis IV, atau korpus vertebra torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak
dijumpai kaviti.
2. Lesi luas, bila proses lebih dari lesi minimal.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting sebagai indikator
kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk evaluasi penyembuhan.
Pemeriksaan serologi dilakukan denagn metode Elisa, Mycodot, PAP
(Peroksidase Anti Peroksidase). Teknik lain untuk mengidentifikasi M.
tuberculosis dengan PCR (polymerase chain reaction), RALF (Restrictive
Fragment Length Polumorphisms), LPM (Light Producing Maycobacterophage).
Pemeriksaan histopatologi jaringan, diperoleh melalui transbronchial lung
biopsy, transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar
dan organ lain di luar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan menunjukkan
adanya granuona dengan perkejuan.

PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain
dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT
yang efektif dengan pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk
pengobatan TB didasarkan pada rekomendasi WHO.
Terdapat 4 populasi kuman TB yaitu:
1. “Metabolically active”, yaitu kuman yang terus tumbuh dalam kaviti
2. “Basili inside cell”, misal dalam makrofag
3. “Semi dorman bacili” (persisten)
4. “Dorman bacili”

37
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk


membunuh kuman semi dorman.
Terdapat 3 aktivitas anti tuberkulosis yaitu:
1. Obat bakterisidal: INH, rifampisin, pirazinamid
2. OAT dengan kemampuan sterilisasi: Rifampisin, PZA
3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH,
sedangkan streptomisin dan etambutol kurang efektif.
OBAT ANTI TB
Dosis mg/kg
OAT Sifat Potensi Intermiten
Harian
3x/wk 2x/wk
Isoniazidn(H) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampicin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomycin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45

KODE REGIMEN PENGOBATAN TB


Pengobatan TB terdiri dari 2 fase, yaitu:
Fase inisial/fase intensif (2 bulan):
Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu
penderita yang infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis
membaik. Kebanyakan penderita BTA positif akan menjadi negatif dalam
waktu 2 bulan. Pada fase ini sangat penting adanya pengawasan minum
obat pleh PMO (Pengawas Minum Obat).
Fase lanjutan (4-6 bulan):
Bertujuan membunuh kuman persisten (dorman) dan mencegah relaps.
Fase ini juga perlu adanya PMO.
Contoh kode pada regimen pengobatan TB:
2 (HRZE)/4 HR
Fase inisial adalah 2 (HRZE), lama pengobatan 2 bulan, dengan obat INH,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol diminum tiap hari.

38
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Fase lanjutan adalah 4 (HR)3, lama pengobatan 4 bulan, dengan INH dan
rifampisin, diminum 3 kali seminggu.

39
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Recomended treatment regiment for each diagnostic category


TB TREATMENT REGIMENS
TB INITIAL CONTINUATIO
DIAGNOSTI PHASE N PHASE
TB PATIENTS
C DAILY OR 3 (DAILY OR 3
CATEGORY TIMES TIMES
WEEKLY) WEEKLY)
b
I New smear positive patients; 2 HRZE 4 HR
New smear-negative PTB or
with extensive parenchymal 6 HE daily
envolvement;
Severe concomitant HIV
disease or severe forms of
EPTB
II Previously treated sputum 2 HRZES/ 5 HRE
smear-positive PTB: 1 HRZE
- Relaps
- Treatment after interruption
- Treatment failure
III New-smear negative PTB 2 HRZEc 4 HR
(other than in category I); or
Less severe forms of EPTB 6 HE dailyc
IV Chronic and MDR-TB case Specially designed standarized
(still sputum-positive after or individualized regimens are
supervised re-treatment) suggested for this category
a “Direct observation” of drug intake is required during the initial phase of
treatment in smear-positive cases, and always in treatment that includes
rifampicin
b Streptomisin dapat digunakan sebagai pengganti etambutol. Pada kasus
meningitis TB etambutol harus diganti dengan streptomisin.
c Regimen HE berhubungan dengan angka gagal pengobatan dan
kambuh yang tinggi dibandingkan dengan pengobatan regimen yang
menggunakan rifampisin selama fase lanjutan.
d Bila mungkin, direkomendasikan untuk dilakukan tes sensitivitas
terhadap OAT sebelum pemberian obat kategori II pada kasus gagal
pengobatan. Penderita yang terbukti MDR-TB direkomendasikan
menggunakan OAT kategori OAT plus.
e Etambutol dapat tidak digunakan selama pengobatan fase inisial pada
penderita tanpa adanya kavitas pada paru; hapusan dahak negatif pada

40
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

penderita HIV-negatif; telah diketahui terinfeksi dengan kuman yang


sensitif terhadap OAT; dan penderita muda TB primer.
f Kontak dengan penderita yang terbukti MDR-TB dipertimbangkan untuk
dilakukan kultur dan tes sensitivitas.

TB ekstra pulmoner meliputi:


Berat Ringan
• Meningitis • Kelenjar limfe
• Milier • Efusi pleura unilateral
• Perikarditis • Tulang (kecuali spinal)
• Peritonitis • Sendi kecil
• Efusi pleura bilateral/massif • Kelenjar adrenal
• Spinal
• Intestinal
• Genitourinaria

INDIKASI STEROID PADA TB


Steroid pada kasus TB diindikasikan pada meningitis, perikarditis, efusi
pleura masif, TB kelenjar adrenal, laringitis, TB pada ginjal/saluran kencing, TB
kelenjar limfe yang luas dan pada reaksi hipersensitivitas akibat OAT.
PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS
Kehamilan dan menyusui
Hampir semua obat anti tuberkulosis aman untuk kehamilan, kecuali
streptomisin. Streptomisin tidak boleh digunakan pada kehamilan karena sifat
ototoksik pada janin.
Pada penderita TB yang menyusul, semua OAT dapat diberikan. Bila
bayinya juga mendapat OAT, dianjurkan untuk tidak menyusui agar bayi tidak
mendapat dosis berlebihan.
Kontrasepsi oral

41
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi hormonal dengan risiko


penurunan efektifitas kontrasepsi, sehingga diperlukan dosis kontrasepsi yang
lebih tinggi (estrogen 50µg). Atau disarankan untuk menggunakan jenis
kontrasepsi lain.
Gagal ginjal
Rifampisin, INH dan pirazinamid aman digunakan untuk penderita gagal
ginjal. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomisin. Hindari
penggunaan etambutol. Digunakan hanya bila tidak ada alternatif obat lain,
dengan menyesuaikan dosis sesuai dengan fungsi ginjal.
Penyakit hati kronik
Pirazinamid tidak boleh diberikan. INH dan rifampisin plus satu atau dua
obat non-hepatotoksik seperti streptomisin dan etambutol dapat diberikan
dengan total pengobatan 8 bulan. HE pada fase lanjutan dengan total
pengobatan 12 bulan.
Regimen yang direkomendasikan adalah 2 SHRE/6 HR; 9 RE atau 2 SHE/10
HE.
Hepatitis akut
Sebaiknya OAT ditunda dulu sampai hepatitis sembuh. Bila sangat
diperlukan OAT dapat diberikan dengan kombinasi SE selama 3 bulan.
Selanjutnya setelah hepatitis sembuh daoat diberikan fase lanjutan selama 6
bulan dengan INH dan Rifampisin. Bila hepatitis tidak menyembuh, SE
diteruskan sampai 12 bulan. Regimen yang diberikan 3 SE/ 6 HR atau 12 SE.

MULTI DRUGS RESISTANCE TB


Yaitu penderita TB aktif dengan kuman yang resisten terhadap
sedikitnya rifampisin dan INH, dengan atau tanpa disertai resistensi terhadap
obat lain. MDR TB terjadi akibat pengobatan yang tidak rasional, seperti
pemberian resep yang tidak benar oleh dokter, regimen yang tidak benar,
penggunaan obat tidak lengkap dan berkesinambungan atau oleh karena tidak
adanya supervisi dalam pengobatan.

42
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse)


Sejak tahun 1995 program pemberantasan penyakit TB dilaksanakan
dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Di Indonesia
dituangkan dalam bentuk GERDUNAS-TB (Gerakan Terpadu nasional TB).
Yang dimaksud dalam strategi DOTS adalah:
1. Adanya komitmen pemerintah untuk menanggulangi TB
2. Penemuan kasus secara langsung dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis
3. Pemberian obat yang diawasi secara langsung (DOT = Directly Observe
Treatment)
4. Penyediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan

43
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

10. GASTROENTERITIS

TATALAKSANA
• Nonfarmakologis: istirahat atau tirah baring, makanan lunak, minum
cairan oralit ad libitum
• Rehidrasi dapat per oral pada dehidrasi ringan dan parenteral pada
dehidrasi sedang serta berat
• Untuk diare tipe sekretori dapat diberikan racecadotril 3x1 tablet selama
3 hari
• Farmakologis: pada dehidrasi ringan tindakan rehidrasi dapat diberikan
per oral sedangkan untuk dehidrasi sedang berat, rehidrasi dilakukan
secara parenteral dengan memakai cairan ringer laktat. Pada prinsipnya
jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar
dari badan. Kehilangan airan dapat dihitung dengan cara metode
Daldiyono atau berat jenis plasma atau metode Pierce.
Terapi definitif:
Kolera eltor : Tetrasiklin 4x500 mg/hari selama 3 hari
Salmonellosis : Ampisilin 4x1 g/hari selama 10-14 hari
Shigellosis : Ampisilin 4x1 g/hari selama 5 hari
Amebiasis : Metronidazol 4x500 mg/hari selama 3 hari

KOMPLIKASI
• Dehidrasi dan syok hipovolemik
• Gangguan elektrolit, kalium, natrium, klorida, yang dapat menyebabkan
ileus paralitik dan gangguan konduksi jantung
• Gagal ginjal akut
• Asidosis metabolik

KOLERA
Pengobatan

44
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pengobatan kausal dan simtomatis dilakukan secara simultan; namun


yang terpenting adalah pemberian air dan elektrolit sebagaipengganti yang
hilang.
1. Rehidrasi dalam 2 tahap: rehidrasi awal dilanjutkan maintenance
2. Terapi infus pada: dehidrasi berat, renjatan hipovolemik, muntah-muntah
tak terkontrol, adanya penyulit berat
Kasus ringan dan sedang: oral dengan bahan rehidrasi oral.
Cairan rehidrasi oral WHO mengandung: NaCl 2,5 g; NaHCO3 3,5 g; KCl 1,5 g;
Glukosa 20,0 g dialrutkan dalam air 1 liter.
Cairan infus yang dapat dipakai: Ringer laktat (mengandung 130 mmol Na, 4
mmol K, 109 mmol Cl, 28 mmol base). Karena cairan tinja mengandung 135
mmol Na, 15 mmol K, 100 mmol Cl, dan 45 mmol basa; maka cairan RL
sebenarnya perlu tambahan Kalium (10 mg/liter)
Kriteria dehidrasi: memakai metode klinis
1. Metode Pierce didasarkan atas tanda klinis dehidrasi:
a. Dehidrasi ringan: kebutuhan cairan 5% BB
b. Dehidrasi sedang: kebutuhan cairan 8% BB
c. Dehidrasi berat: kebutuhan cairan 10% BB
2. Pemeriksaan Berat Jenis Plasma: dengan larutan Cupri sulfat atau
Refraksimeter
Defisit cairan dihitung dengan rumus berikut:

Antibiotik dapat memperpendek masa diare dan mengurangi jumlah cairan


untuk replasemen, serta mengurangi pengeluaran kuman dalam tinja. Dapat
dipakai:
1. Tetrasiklin 50 mg/kgBB terbagi 4 dosis (untuk dewasa)
2. Kotrimoksazol (untuk anak-anak)
Pengobatan diberikan selama 3-5 hari

Pencegahan

45
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Perbaikan higiene sanitasi, penyediaan air minum yang sehat. Perbaikan


fasilitas makan-minuman. Bagi mereka dalam perjalanan disarankan hanya
minum air kemasan (botol/kaleng).
Imunisasi dapat memakai parenteral (inactivated vibrio) atau oral.

46
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

11. DEMAM TIFOID

DIAGNOSIS
Diagnosis semam tifoid ditegakkan berdasarkan gejala klinis, ditunjang
denagn pemeriksaan laboratorium.
Gambaran Klinis
Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5-30
tahun, laki-laki sama dengan wanita, jarang pada umur di bawah 2 tahun
maupun di atas 60 tahun.
Anamnesis
1. Masa inkubasi: umumnya 3-60 hari
2. Biasanya pada anamnesis, saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan
utamanya adalah demam, yang diderita ± 5-7 hari, yang tidak berhasil
diobati dengan antipiretika. Demam bersifat bertahap makin naik setiap
hari (step ladder), disertai dengan lemah badan (lesu), malas, nyeri
kepala, nyeri otot, punggung dan sendi, perut kembung, kadang-kadang
nyeri, obstipasi (kadang-kadang diare), mual, muntah, batuk.
3. Perlu diselidiki apakah penderita berasal dari atau bepergian ke daerah
endemis demam tifoid (wisatawan). Kebiasaan mkan-minum (kerang, ice
cream, air mentah). Perlu ditanya apakah pernah menjalani vaksinasi
demam tifoid.
Manifestasi Klinis
Penderita nampak lesu, letih, wajah “kosong”. Kadang-kadang penderita
nampak gelisah, “delirium” atau koma.
Gejala lain yang dapat dijumpai:
Demam, bradikardi relatif, pendengaran menurun, tifoid tongue, rose
spots, bronchitic chest, tidak enak di perut (abdominal terderness), kembung,
hepatomegali, splenomegali.
Laboratorium
Urine Abiminuria
Tes Diazo positif

47
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Urine + reagen Diazo + beberapa tetes amonia 30% (dalam tabung


reaksi) → dikocok → buih berwarna merah atau merah muda.
2. Biakan kuman (paling tinggi pada minggu II/III diagnosis pasti atau sakit
carrier)
Tinja
1. Ditemukan banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool, kadang-kadang
darah (bloody stool)
2. Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier post tyfi pada minggu II/III
sakit)
Darah
Leukopenia atau leukopeni relatif, kadang-kadang leukositosis
Netropeni
Limfositosis
Aneosinofilia
Anemia
Laju Endap Darah (LED)
SGOT/SGPT meningkat
Biakan kuman (paling tinggi pada minggu I sakit, diagnosis pasti Demam tifoid)
Minggu I: 80-90%, minggu II: 20-25%, minggu III: 10-15%
Serologi
Deteksi Antibodi
1. Tes Aglutinin
Tes Widal ada 2 metode:
a. Metode “tube” (standard)
• Titer O tinggi dan/atau terjadi kenaikan titer 4 kali lipat dengan
jarak waktu 7 hari pemeriksaan pertama dan kedua (O lebih
spesifik dari H)
• Hasil diperoleh setelah 2-3 hari
b. Metode “slide”
• Lebih cepat dari metode “tube”

48
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

• Hasil selesai dalam waktu 1 hari


• Widal/kurang spesifik (Ag bukan lokal)
• Lokal Ag → hasil lebih spesifik
2. Tes “Enzyme Linked Immune Sorbent Assay” (ELISA), ada 2 macam:
a. Deteksi antibodi, menggunakan antigen O, H, dan Vi
• Dapat mendeteksi antibodi IgA, IgM, dan IgG S. typhi.
b. Dengan menggunakan protein Ag khusus dibuat tes “Dot enzyme
immuno Assay” (Dot-EIA) dengan menggunakan kertas nitroselulose
(tes Dipstick)
• Diagnosis cepat (3-4 jam)
• IgM (+) → Demam tifoid akut
• IgG (+) → relaps
Deteksi antigen
1. Tes koagulasi (koag)
a. Digunakan antisera Vi → Vi-koag
b. Lebih cepat dari biakan kuman
2. Tes ELISA
a. Digunakan ELISA indirek dari bahan air seni dan darah penderita
b. Digunakan antibodi monoklonal yang ditempelkan pada kertas
nitroselulose
Deteksi DNA
Dapat dilakukan dengan 2 cara:
1. Hibridisasi dengan pelacak DNA (DNA probe)
Kurang sensitif apabila jumlah S. typhi dalam darah penderita rendah
2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
a. Dapat mendeteksi strain S. typhi dan untuk pembuatan vaksin
b. Waktu pemeriksaan cepat (± 6 jam) tapi akurat
Sumsum tulang
a. Biakan sumsum tulang
b. Sangat sensitif (95%)

49
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

c. Tidak dipengaruhi oleh pemberian antibiotika dan fase penyakit


d. Invasif (perlu tenaga ahli biopsi sumsum tulang)
DIAGNOSIS BANDING
1. Richettsiosiz
2. Brucellosis
3. Tularemia
4. Leptospirosis
5. Milliary Tuberculosis
6. Viral hepatitis
7. Infections Mononucleosis
8. Cytomegalovirus
9. Malaria
10. Lymphoma

TATALAKSANA
1. Penderita dirawat di bangsal umum (tidak perlu di bangsal khusus
“isolasi”)
2. Pada fase akut, diharuskan tirah baring “absolut” dan diet khusus “tifoid
diit”
3. Diberlakukan pembera makanan “Padat Dini” (nasi + lauk pauk sayuran
rendah serat). Pada penderita Demam Tifoid tidak berkomplikasi, yang
terbukti bermanfaat mempercepat penyembuhan (rata-rata dalam waktu
7-10 hari, sedangkan sebelumnya rata-rata 14 hari). Pemberian
suplemen protein oral (“Protein”-bubuk susu kedelai) pada penderita
demam tifoid juga menunjukkan penderita lebih cepat sembuh.
Terapi Medikamentosa
Obat anti tifoid yang dapat digunakn sampai saat ini adalah
Chloramphenicol, tiamphenicol, Cotrimoxazol, Ampicilin, Amoxicyllin,
Cephalosporin generasi-III (misalnya: Ceftriaxon), dan Quinolone golongan 4-
Fluoroquinolone (misalnya: Ciprofloxacin, Norfloxacin, Ofloxacin, Pefloxacin),
dan Azithromycine.

50
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

“Carrier” kronis
“Carrier” kronis adalah indivisu yang mengeluarkan S. typhi baik dari tinja
(faecal carrier) atau air seninya (urinary carrier) selama 1 tahun atau lebih.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari “carrier” kronis adalah kandung empedu
dan ginjal (infeksi kronis, batu, atau kelainan anatomi). Oleh akrena itu apabila
terapi medika-mentosa dengan obat antitifoid gagal harus dilakukan operasi
untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.
Obat pilihan saat ini:
1. Amoxicillin 3x1000-2000 mg/hari selama 6 minggu
2. Golongan quinolone yaitu Ciprofloxacin 2x500 mg/hari atau Norfloxacin
2x400 mg/hari selama 4 minggu
3. Cotrimoxazole 2x2 tablet (160/800) selama 6 minggu
4. Apabila “urinary carrier” disebabkan karena infeksi dengan cacing
schistosoma, maka perlu ditambah terapi dengan praziquantel
5. Kadang-kadang setelah cholesystectomy, penderita masih tetap menjadi
“carrier”. Untuk ini perlu diberikan pengobatan jangka lama sampai
terbukti tidak mengeluarkan Salmonella typhi lagi.
Demam Tifoid pada Penderita AIDS
1. Terapi demam tifoid pada penderita AIDS sulit, karena sering terjadi
relaps
2. Quinolone merupakan obat pilihan karena mempunyai efek sinergik
dengan antiretroviral Zidovudine. Pemberian Ciprofloxacin 2x500 mg oral
selama 6 minggu, umumnya dapat mengatasi demam tifoid pada
penderita AIDS. Kadang-kadang diberikan sampai 1-8 bulan.
3. Cotrimoxazole merupakan obat pilihan kedua karena obat ini juga dapat
mengobati pneumocystic-carinii pneumonia yang terjadi pada penderita
AIDS.
Sampai saat ini obat pilihan utama untuk demam tifoid di Indonesia adalah
Chloramphenicol. Hal ini disebabkan karena sensitifitasnya masih tinggi, cukup
aman (jarang terjadi efek samping obat) dan murah harganya.
Dosis

51
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Dewasa, 50-60 mg/kgBB/hari (4x500 mg/hari) oral/i.v. selama 14 hari,


biasanya sampai 7 hari bebas demam.
2. Anak-anak 25 mg/kgBB/hari.
3. Kontraindikasi
a. Ibu hamil dan menyusui
b. Alergi terhadap Chloramphenicol
4. Obat pilihan lain:
a. Quinolone 4-Fluoroquinolone, misalnya Ciprofloxacin dan
Norfloxacin, Ofloxacin, dan Perfloxacin.
b. Merupakan obat pilihan saat ini, terutama untuk di luar Indonesia
(karena sudah banyak laporan resistensi terhadap Chloramphenicol)
c. Dosis:
• Ciprofloxacin 2x500 mg/hari oral atau 2x400 mg/hari i.v. selama
10 hari
• Norfloxacin dan Ofloxacin 2x400 mg/hari oral selama 10 hari
• Pefloxacin 1x400 mg, oral selama 10 hari
• Levofloxacin 1x500 mg, oral 5-7 hari
d. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak dan usia remaja, ibu hamil
atau menyusui, alergi terhadap Fluoroquinolone
e. Efek samping:
• Gangguan pencernaan
• Gangguan Susunan Saraf Pusat (SSP)
Obat Alternatif
1. Cotrimoxazole (160/800 mg), 2x2 tablet atau 2x1 tablet (forte) per hari
selama 14 hari
2. Tiamphenicol 4x500 mg/hari selama 14 hari
3. Ampicilin 4x500 mg/hari selama 14 hari
4. Ceftriaxone 1x1000 mg/hari i.v. selama 14 hari
5. Azithromycine 1x1000 mg/hari i.v. selama 14 hari

52
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

6. Kortikosteroid hanya diberikan pada keadaan gawat (sepsis atau syok


septik)
7. Dexamethasone 3 mg/kgBB i.v. disusul 1 mg.kgBB tiap 6 jam selama 2
hari
Pemberian terlalu lama meningkatkan kemungkinan terjadi relaps.

PENCEGAHAN
Orang sehat
1. Pengawasan higiene dan sanitasi lingkungan hidup
a. Perlu adanya WC umum
b. Persediaan air bersih
c. Tempat buangan sampah rumah tangga
2. Pengawasan higiene makanan dan minuman
a. Memasak makanan
b. Merebus air minum
c. Hati-hati minum es (es krim)
d. Cara penyajian makanan
3. Higiene perorangan
a. Cuci tangan
b. Buang air besar dan kecil di tempat khusus (WC)
Vaksinasi
Syarat vaksin: efektif, mudah penggunaannya, aman, dan murah. Dianjurkan
untuk wisatawan ke daerah endemis dan pekerja laboratorium.
1. Acetone inactivated vaccine
a. Kuman mati
b. Ada 2 vaksin: K-acetone inactivated vaccine dan L-heatphenol
inactivated vaccine.
• Efektivitas 51-88%
• Efek samping 32-54% berupa demam, sakit kepala, dan reaksi
lokal tempat suntikan

53
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

• Cara pemberian 0,5 cc vaksin subkutan disusul 7-10 hari lagi 1


cc subkutan
• Efektif minimal 1 tahun
2. Oral live Attenuated vaccine (TY21Ia):
a. Kuman hidup, dilemahkan
b. Imunitas 3-6 tahun
c. Berhasil diuji coba di Chili dan Mesir tetapi gagal di Indonesia
d. Booster 5 tahun kemudian
3. Vi parental vaksin
a. Polysacharide high-purified antigenicfraction vi-antigen
b. Booster setelah 3 bulan
c. Dapat diberikan pada anak > 6 bulan
d. Dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain dalam satu alat suntik

KOMPLIKASI
Perdarahan intestinal, perforasi intestinal, ileus paralitik, renjatan septik,
pyelonefritis, pneumonia, miokarditis.

54
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

12. ALERGI MAKANAN

DIAGNOSIS
Diagnosis alergi makanan membutuhkan anamnesis yang menyeluruh
untuk membedakan antara reaksi alergi dengan intoleransi makanan. Beberapa
uji in vivo maupun in vitri dapat diekrjakan untuk membuktikan alergi makanan.
Alur diagnostik yang biasa digunakan adalah seperti tampak pada gambar
berikut ini.

Anamnesi Gejala alergi Tidak ada makanan yang


s makanan dicurigai
dan/atau dan/atau
Uji tusuk kulit (+) Uji tusuk kulit (-)

Diet eliminasi Selesai

Gejala membaik Gejala menetap

Makanan bukan penyebabnya

Berikan diet semula Gejala muncul kembali

Gejala muncul kembali Ulangi diet eliminasi

Masalah selesai Gejala membaik

Berikan makanan secara terbuka dimulai


Buat daftar makanan dengan makanan yang paling kecil
yang dapat diterima kemungkinannya menyebabkan alergi

Daftar makanan yang menimbulkan


reaksi
Uji paparan tersamar ganda

(+) Hindari (-) Hindari

Anamnesis

55
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Beberapa data penting yang perlu ditanyakan tercantum pada tabel di


bawah ini. Untuk keluhan yang bersifat kronis mungkin diperlukan catatan
harian tentang makanan yang dikonsumsi (diet diaries).
Makanan yang dicurigai
Banyaknya bahan makanan yang diperlukan untuk memicu reaksi
Ada riwayat timbul reaksi pada setiap kali paparan
Waktu antara paparan hingga timbul reaksi
Manifestasi klinis yang sesuai dengan alergi makanan
Gejala hilang setelah bahan makanan yang dicurigai dihindari/dieliminasi
Lama berlangsung gejala
Pengobatan (bila ada) yang diperlukan untuk mengatasi reaksi
Pemeriksaan Penunjang
• Tes tusuk kulit
Hanya dilakukan pada penderita yang dicurigai mengalami reaksi yang
dimediasi oleh IgE. Digunakan ekstrak alergen makanan dalam gliserin
(dengan pengenceran 1:20 hingga 1:10) dengan histamin sebagai kontrol
positif dan larutan garam faali sebagai kontrol negatif. Dianjurkan
menggunakan ekstrak buah-buahan yang masih segar. Makanan yang
dicurigai dapat pula dioleskan pada kulit lalu dilakukan tes tusuk.
• Tes Radioallergosorbent (RAST)
Kurang spesifik dibandingkan tes tusuk kulit, lebih mahal, namun dapat
digunakan untuk memprediksi reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE. CAP
System Fluorescent Enzyme Immunoassay (FEIA) menghasilkan prediksi
positif yang lebih akurat. Tes-tes ini hanya dianjurkan bila terdapat
dermatitis atopik parah atau dermatografisme karena uji tusuk kulit tidak
mungkin dilakukan.
• Diet eliminasi
Diet eliminasi adalah pemberian diet selama 7 hingga 14 hari, yaitu bahan
makanan yang dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi dihindari. Bila ada
lebih dari satu jenis makanan yang dicurigai perlu dilakukan diet eliminasi
berulang dengan mengeliminasi berturut-turut satu jenis makanan. Bila

56
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

gejala tetap tidak membaik dengan eliminasi suatu bahan makanan, maka
bahan makanan tersebut bukanlah penyebabnya.
• Double-blind placebo-controlled food challenge
Uji paparan makanan tersamar ganda merupakan baku emas diagnosis
alergi makanan. Bahan makanan yang dipilih ditentukan berdasarkan
anamnesis, tes tusuk kulit, IgE RAST, dan hasil diet eliminasi. Sebagai
kontrol digunakan bahan makanan yang sangat jarang menimbulkan alergi
atau yang hasil uji tusuk kulitnya negatif. Makanan yang akan diujikan harus
dihindari selama 10-14 hari. Semua jenis pengobatan yang dapat
mengganggu interpretasi (misalnya antihistamin dan kortikosteroid) harus
dihentikan setidaknya sejak 7-14 hari sebelum uji dilaksanakan. Uji paparan
dilakukan dalam keadaan puasa. Makanan yang diujikan diberikan berupa
serbuk yang disamarkan dalam bentuk cairan minuman atau kapsul. Uji
dilaksanakan secara acak menggunakan paparan alergen makanan dan
plasebo yang sama jumlahnya. Jumlah awal yang diberikan umumnya 125-
500 mg, dan selanjutnya sitingkatkan dua kali lipat setiap 15 hingga 60
menit. Gejala yang timbul dicatat dengan sistem skor baku. Hasil uji
dianggap negatif bila penderita dapat menerima 10 gram makanan tanpa
timbul reaksi. Hasil yang diperoleh harus dikonfirmasi lagi dengan paparan
makanan secara terbuka untuk menyingkirkan hasil negatif palsu.

PENATALAKSANAAN
Upaya menghindari alergen makanan
Menghindari alergen merupakan satu-satunya pengobatan alergi
makanan yang telah terbukti hasilnya. Penderita dan keluarganya perlu
mendapatkan penyuluhan untuk menghindari alergen makanan secara ketat,
termasuk sumber-sumber alergen yang tersembunyi (misalnya kacang tanah
yang tersembunyi dalam bumbu sate atau bumbu pecel). Waspadai bahwa
eliminasi makanan secara terus menerus dapat menyebabkan malnutrisi,
karena itu harus selalu disarankan pula bahan makanan alternatif yang dapat
dikonsumsi oleh penderita.

57
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Terapi simtomatik
Beberapa jenis obat telah dicoba untuk mengatasi gejala alergi
makanan, antara lain antihistamin H1 dan H2, kromolin oral, ketotifen, dan
antiprostaglandin. Pada umumnya efektivitas obat tersebut rendak atau
memiliki efek samping yang dapat ditolerir. Tidak satupun yang terbukti dapat
mencegah anafilaksis. Imunoterapi pernah dicoba, namun efek sampingya
cukup berat dan kini tidak lagi dianjurkan.
Pencegahan
Mengingat manfiestasi reaksi alergi makanan dapat bervaiasi mulai dari
gejala ringan hingga anafilaksis sistemik yang dapat mengancam jiwa,
sebaiknya diberikan bekal suntikan Epinefrin pada penderita atopik. Penderita
dilatih untuk dapat menyuntikkan sendiri Epinefrin intramuskular di daerah paha
lateral bila sewaktu-waktu timbul gejala alergi akibat paparan yang tidak
disengaja terhadap alergen makanan tertentu. Selanjutnya penderita
disarankan untuk sesegera mungkin menuju ke Unit Gawat Darurat rumah sakit
untuk evaluasi lebih lanjut.
Penelitian terbaru membuktikan bahwa upaya menghindari alergen
makanan oleh ibu dan bayi atopik ternyata dapat menurunkan prevalensi
dermatitis atopik, urtikaria, penyakit gastrointestinal. Ibu atopik sebaiknya
menghindari kacang tanah selama kehamilan trimester terakhir. Bayi atopik
sebaiknya menghindari susu sapi, telur, dan kacang tanah pada usia 1 tahun
pertama. Khusus pada kelompok penderita atopik yang memiliki risiko tinggi
untuk mengalami reaksi alergi, konsensus yang berlaku saat ini adalah anjuran
untuk menghindari susu sapi selama 12 bulan, dan menghindari kacang tanah
selama 3 tahun.

58
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

13. PENYAKIT CACING TAMBANG

TATALAKSANA
Terapi Umum
1. Perbaikan gizi dengan pemberian nutrisi tinggi kalori dan protein
diperkaya dengan multivitamin dan mineral.
2. Karena anemia defisiensi besi merupakan ancaman utama pada infeksi
ankilostomiasis, maka preparat besi dapat diberikan untuk mengatasi
anemianya. Secara oral, sulfat ferosus 3x200 mg/hari dapat diberikan
sampai tanda anemianya hilang. Penderita yang mengalami anemia
berat dengan kadar Hb < 5 g/dl, maka sebelum memulai pemberian
antihelmintik dapat dikoreksi dengan transfusi darah.
Terapi Spesifik
1. Antihistamin untuk mengurangi keluhan gatal-gatal
2. Obat cacing (antihelmintik)
a. Tetrachlorethylene, dosis tunggal 0,1 mg/kgBB diberikan pada waktu
perut
b. Bephenium hydoxynaphthoate (alcopat), dosis tunggal 5 g dan perlu
puasa minimal 2 jam
c. Thiabendazol (Mintezol) diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB, 2
kali/hari
d. Mebendazol (vermox) dosis 2x100 mg/hari selama 3 hari berturut-
turut. Mebendazol merupakan obat terpilih untuk pengobatan infeksi
cacing tambang.
e. Pirantel pamoat (combantrin) dosis tunggal 10 mg/kgBB
f. Tretranizole (ascaridil) dosis tunggal 2,5 mg/kgBB
Oleh karena sering dijumpai infeksi campuran dengan cacing lain maka
dianjurkan pemberian kombinasi pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB
dengan mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut.

PENCEGAHAN

59
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Untuk mencegah terjadinya infeksi cacing tambang maka berbagai


upaya dapat dilakukan, antara lain dengan memakai sandal atau sepatu untuk
menghindari kontak dengan tanah, perbaikan sanitasi lingkungan, serta
menjaga kebersihan individu.

60
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

14. ASKARIASIS

PENGOBATAN
Beberapa obat antihelmintik sekarang ini lebih efektif dengan efek toksik
yang relatif rendah daripada obat-obat dulu yang sudah populer misalnya
santonin, oleum shenopodium serta hexylresorcinol.
Antihelmintik untuk pengobatan ascariasis dapat dipilih beberapa obat di bawah
ini:
1. Pirantel pamoat, diberikan sebagai dosis tunggal 10 mg/kgBB dengan
maksimum pemberian 1 g.
2. Levamisole hydrochloride diberikan sebagai dosis tunggal 2,5-5
mg/kgBB.
3. Garam piperazine, 75 mg/kgBB, maskimum 3,5 g, diberikan 2 hari
sebagai dosis harian tunggal. Merupakan obat pilihan pada obstruksi
intestinal oleh Ascaris lumbricoides, karena obat ini mengakibatkan
paralisis yang flasid pada cacing.
4. Albendazole, untuk orang dewasa dan anak-anak di atas 2 tahun yang
diebrikan dengan dosis tunggal 400 mg.
5. Mebendazole, diberikan dengan dosis 100 mg dua kali per hari selama 3
hari berturut-turut.
6. Cyclobendazole adalah derivat benzimidazole baru yang dapat
membunuh A. lumbricoides.
Obat-obat di atas tidak dieprlukan pencahar ataupun puasa sebelum atau
sesudah pengobatan.
Di samping pengobatan perorangan, perlu dipikirkan pengobatan masal,
karena banyaknya penderita askariasis atau bahkan soil transmitted helminths
yang masih merupakan problem kesehatan masyarakat Indonesia. Pada
pengobatan masal ini harus diperhatikan beberapa hal, antara lain frekuensi
pengobatan, waktu pelaksanaannya, serta lamanya periode pengobatan. Di
Indonesia frekuensi pengobatan masal pada soil transmitted helminths
terutama askariasis berpatokan kepada prevalensi infeksi oleh cacing ini pada

61
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

suatu daerah, yaitu jika prevalensi lebih dari 30%, pengobatan 3 kali per tahun;
jika prevalensi 20-30%, pengobatan 2 kali per tahun; jika prevalensi 10-20%,
pengobatan 1 kali per tahun, sedangkan jika prevalensi kurang dari 10%,
pengobatan hanya untuk kasus positif (individual).

PENCEGAHAN
Pencegahan askariasis ditujukan untuk memutuskan salah satu mata
rantai dari siklus hidup Ascaris lumbricoides, antara lain dengan melakukan
pengobatan penderita askariasis, dimaksudkan untuk menghilangkan sumber
infeksi; pendidikan kesehatan terutama mengenai kebersihan makanan dan
pembuangan tinja manusia; dianjurkan agar buang air besar tidak di
sembarangan tempat serta mencuci tangan sebelum makan, memasak
makanan, sayuran, dan air dengan baik. Air minum jarang merupakan sumber
infeksi ascariasis.

62
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

15. TAENIASIS

TAENIASIS SAGINATA
TATALAKSANA
Niklosamid (Yomesan) sangat efektif untuk membunuh skoleks dan
segmen imatur T. saginata. Empat tablet 0,5 gram ditelan dengan bantuan
sedikit air. Pemeriksaan feses perlu dilakukan 3-6 bulan kemudian untuk
evaluasi. Obat terpilih adalah prazikuantel 10 mg/kgBB.

PENCEGAHAN
1. Bila mengonsumsi daging sapi sebaiknya dimasak secara sempurna
dengan pemanasan pada suhu 56oC selama 5 menit dapat
memusnahkan sistiserki. Pendinginan pada suhu minus 10oC selama 9
hari dan pengawetan dengan pemberian garam pada daging juga dapat
memusnahkan sistiserki.
2. Perlunya penentuan adanya sistiserkosis pada sapi yang diduga sakit,
biasanya dilakukan dengan pemeriksaan serologis ELISA.
3. Bila diagnosis sudah dibuat, pasien perlu segera diobati guna mencegah
berlangsungnya rangkaian penularan lebih lanjut.
4. Pengelolaan feses pasien perlu diperhatikan karena potensial
mengandung telur Taenia yang infeksius.
5. Jangan membiarkan sapi memakan rumput yang timbuh di tanah dan
terkontaminasi dengan kotoran limbah. Viabilits telur sekitar 16 hari paa
kotoran limbah dan 159 hari pada rumput.

TAENIASIS SOLIUM
TATALAKSANA
Cacing Dewasa
Perlu pemberian nutrisi tinggi protein, multivitamin, dan mineral. Obat-obatan
yang dapat diberikan adalah:

63
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Niclosamide (Vomesan) dosis 4 tablet @ 500 mg sekaligus. Tablet


dikunyah sebelumnya lalu diminum dengan sedikit air.
2. Mebendazole (vermox) dosis 2x300 mg/hari (2x3 tablet/hari) selama 3
hari. Dapat juga memakai albendazole, merupakan obat cacing
berspektrum luas.
3. Quinacrine hidrochloride (atebrine) dosis 800 mg (dosis terbagi) habis
dalam 30 menit. Perlu obat antimuntah 1 jam sebelumnya ditambah obat
pencahar 2 jam sesudahnya.
4. Paramomisin (gabroral) dosis 4x1 gram, satu hari
5. Prazikuantel (cesol) merupakan obat terpilih untuk cestodiasis. Diberikan
dosis tunggal 10 mg/kgBB dan 2 jam kemudian diberikan laksansia.
Sistiserkosis
Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi maka
pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan. Pengobatan
neurosistiserkosis sangat kompleks dan penuh kontroversi. Apabila
memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Untuk kasus sistiserkosis mata
danjurkan pengambilan kista daripada melakukan enukleasi. Untuk mencegah
hilangnya bola mata dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika masih
hidup. Meskipun tidak menjamin keberhasilannya beberapa obat-obatan dapat
diberikan untuk memberantas sistiserki misalnya dengan pemberian
prazikuantel 10 mg/kgBB/hari selama 14 hari. Obat pilihan lain adalah
albendazol, serta pemberian metrifonat untuk sistiserkosis subkutan. Perlu
diperhatikan bahwa kista yang mati akan memicu reaksi inflamasi, edem, dan
eksaserbasi yang akut. Untuk itu ada yang menganjurkan pemakaian
kortikosteroid untuk merendam akibat dari reaksi radang.

PENCEGAHAN
Mengingat pentingnya kewaspadaan terhadap infeksi maka perlu
diperhatikan usaha untuk higiene dan sanitasi pribadi, menghindari
mengonsumsi sayur-sayuran yang menggunakan pupuk terutama dari pupuk
limbah, pembuangan limbah manusia juga harus terjamin dan memadai, upaya

64
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

penting yang perlu dilakukan adalah memasak daging babi dan produknya
secara sempurna. Sistiserki dapat terbunuh melalui pemanasan pada suhu
65oC, minimal selama 5 menit. Pengawetan daging dengan garam atau cuka
sering tidak efektif. Perlunya pengawasan daging untuk konsumsi masyarakat.

PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik bila sistiserki dapat diambil dengan tindakan
bedak, prognosis kurang baik bila parasit dalam bentuk rasemosa terutama
dalam otak.

65
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

16. DISENTRI BASILER

PENGOBATAN
Pasien perlu istirahat, mencegah-memperbaiki sehidrasi. Penyebab
kematian terutama akibat dehidrasi. Untuk rehidrasi dapat dipakai cairan
intravena/oral, sesuai derajat dehidrasi.
Perbaikan gizi untuk menghilangkan malnutrisi.
Untuk pengobatan antibakterial:
1. Pilihan trimethoprim sulfametoxazole 2x2 tablet selama 5 hari
2. Siprofloxacin 2x500-750 mg
3. Ampisilin 4x500 mg
4. Asam nalidiksik
Pengobatan simtomatis untuk demam (antipiretik), nyeri perut
(antispasmodik), pemakaian obat antimotilitas (misalnya: loperamide) bersifat
kontroversi, dapat mengurangi diare, namun dapat menyebabkan penyakit lebih
berat karena mengurangi pengeluaran bakteri, mempermudah invasi mukosa
serta timbulnya toxic megacolon.
Pada bentuk berat bila tak diobati dini angka kematian shigellosis tinggi.
Infeksi oleh Sh. disentria biasanya berat, penyembuhanlama. Infeksi Sh.
flexnerii angka kematian rendah.

PENCEGAHAN
Pencegahan shigellosis, meliputi penjagaan higienis dan sanitasi
lingkungan, perlu mencuci tangan sebelum makan, persediaan air minum tak
boleh terkontaminasi, pemakaian jamban yang baik, menjaga pembuatan
makanan dan penyimpanannya, belum ada vaksin yang efektif.

66
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

17. PIELONEFRITIS

TATALAKSANA
Terapi ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal yang lebih
parah dan memperbaiki kondisi pasien, yaitu berupa terapi suportif dan
pemberian antibiotika. Antibiotika yang dipergunakan pada keadaan ini adalah
yang bersifat bakterisidal, dan berspektrum luas, yang secara farmakologis
mampu mengadakan penetrasi ke jaringan ginjal dan kadarnya di dalam urin
cukup tinggi. Golongan obat-obatan itu adalah; aminoglikosida yang
dikombinasikan dengan aminopenisilin (ampisilin atau amoksisilin),
aminopenisilin dikombinasi dengan asam klavulanat atau sulbaktam,
karboksipenisilin, sefalosporin, atau fluoroquinolone.
Jika dengan pemberian antibiotika itu keadaan klinis membaik,
pemberian parenteral diteruskan sampai 1 minggu dan kemudian dilanjutkan
dengan pemberian per oral selama 2 minggu berikutnya. Akan tetapi jika dalam
waktu 48-72 jam setelah pemberian antibiotika keadaan klinis tidak
menunjukkan perbaikan, mungkin kuman tidak sensitif terhadap antibiotika
yang diberikan.

67
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

18. BRONKHITIS AKUT

DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala yang mungkin ditemukan pada penderita bronkhitis akut adalah
batuk secara tiba-tiba dengan atau tanpa dahak, tidak ada tanda-tanda
pneumonia, demam, asma akut atau rasa pahit akut yang disebabkan oleh
bronkhitis kronis (Metlay & Schulz, 1997). Selain itu tanda penting terjadinya
bronkhitis adalah dahaknya akan seperti nanah jika penyebabnya bakteri serta
ronki kering.
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala, terutama dari
adanya lendir, riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan
menggunakan stetoskop, akan terdengar bunyi pernafasan yang abnormal.
Pemeriksaan dahak maupun rontgen dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnose dan untuk menyingkirkan diagnose penyakit lain.

DIAGNOSIS BANDING
• Defisiensi Alpha1-Antitrypsin
• Asma
• Bronkiektasis
• Bronkiolitis
• Brinkhitis kronis
• PPOK
• GERD
• Influenza
• Faringitis bakterial
• Faringitis virus
• Sinusitis akut

68
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

• Sinusitis kronis
• Infeksi Streptococcus Grup A

PENATALAKSANAAN
Terapi Umum Perawatan
Tindakan perawatan yang paling penting adalah mengontrol batuk dan
mengeluarkan lendir. Berjemur di pagi hari, sering mengubah posisi, banyak
minum, inhalasi, nebulizer serta diberikan minum susu untuk mempertahankan
daya tubuh anak jika muntah.
Terapi Medis
• Antitusif (penekan batuk): DMP (dekstromethorphan) 15 mg, diminum 2-3
kali sehari. Codein 10 mg, diminum 3 kali sehari. Pada penderita bronkitis
akut yang disertai sesak napas, penggunaan antitusif hendaknya
dipertimbangkan dan diperlukan feed back dari penderita. Jika penderita
merasa tambah sesak, maka antitusif dihentikan.
• Ekspektorant: GG (glyceryl guaiacolate), bromhexine, ambroxol, dan lain-
lain.
• Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen), dan sejenisnya,
digunakan jika penderita demam.
• Bronkodilator (melongarkan napas), diantaranya: salbutamol, terbutalin
sulfat, teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-obat ini digunakan pada
penderita yang disertai sesak napas atau rasa berat bernapas.
• Antibiotika. Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh kuman
(dahak berwarna kuning atau hijau, demam tetap tinggi setelah minum
antipiretik dan penderita yang sebelumnya memiliki penyakit paru-paru.
Kepada penderita dewasa diberikan Kotrimoksazol. Tetrasiklin 250 – 500
mg 4 x sehari. Eritromisin 250 – 500 mg 4 x sehari diberikan selama 7 – 10
hari.

69
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

PENCEGAHAN
Lokasi yang dingin, lembab - khususnya dikombinasikan dengan polusi
udara atau asap rokok - dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap
bronkitis akut. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menurunkan
risiko terjadinya bronkhitis adalah sebagai berikut:
- Hindari merokok dan menjadi perokok pasif. Asap tembakau meningkatkan
risiko bronkitis kronis dan emphysema.
- Menghindari orang-orang yang telah pilek atau flu. Semakin sedikit Anda
terkena virus yang menyebabkan bronkhitis, semakin rendah risiko Anda
mendapatkannya. Hindari kerumunan orang selama musim flu.
- Hindari keluar malam karena saat malam kondisi udara dingin dan sangat
lembab sehingga membuat bronkus mengalami vasokontriksi dan
peningkatan produksi secret.
- Makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Misalnya telur, susu, daging dan sebagainya.
- Dapatkan vaksin flu tahunan. Banyak kasus bronkitis akut hasil dari
influenza, virus. Mendapatkan vaksin flu tahunan dapat membantu
melindungi seseorang dari flu, yang pada gilirannya, dapat mengurangi
risiko bronkitis.
- Cuci tangan atau menggunakan sanitizer tangan secara teratur. Untuk
mengurangi risiko terkena infeksi virus, sering mencuci tangan dan
membiasakan menggunakan sanitizer tangan. Dan jangan menggosok
hidung atau mata Anda.
- Ketika praktek, memakai masker.

PROGNOSIS
Bronkhitis akut dianggap sebagai penyakit ringan akan tetapi hanya ada
sedikit data tentang prognosis dan tingkat komplikasi seperti batuk kronis atau
progresi terhadap bronkhitis kronis atau pneumonia. Berdasarkan sejumlah
penelitian yang telah dilakukan, terjadi ketidakjelasan apakah bronkhitis akut

70
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

memainkan peran penting dalam perkembangan bronkhitis kronis atau hanya


sebagai penanda kecenderungan untuk penyakit paru-paru kronis. Meskipun
merokok telah diidentifikasi sebagai faktor risiko tertinggi untuk bronkhitis
kronis, hal ini masih belum bisa menjelaskan apakah efek inflamasi dari asap
rokok dan infeksi yang menyebabkan bronkhitis akut memiliki efek adiktif dalam
menyebabkan perubahan saluran napas peradangan kronis. (Whittemore,
Perlin, & DiCiccio, 1995)

71
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

19. DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2

DIAGNOSIS
Langkah-langkah diagnosis DM dan TGT (cari bagan langkah-langkah
diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa)
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini
(Committee Report ADA-2006):
1. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)
2. Obesitas BB (kg) > 100% BB ideal atau IMT > 25 (kg/m 2).
3. Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi >4000 gram atau abortus
berulang
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan / atau Trigliserida > 250 mg/dL)
8. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)

Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah


sebagai berikut:
1. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup
2. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
3. Puasa semalam, selama 10-12 jam
4. Periksa glukosa darah puasa
5. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum
dalam waktu 5 menit.
6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih,
namun harus istirahat dan tidak merokok.

72
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

8. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (Diabetes Mellitus


Gestasional), dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0,1,2,&3 jam
sebelum dan sesudah minum beban glukosa 75 gram tersebut.

Uji Laboratorium
Darah
Orang normal: Glukosa Darah Puasa (GDP) < 100 mg/dL, 2 jam PP <
140mg/dL, GDP antara 100 dan 126 mg/dL disebut: Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT) atau Impaired Fasting Glucose (IFG). Untuk penderita DM:
disebut “normal” atau regulasi baik (ADA, 2005) bila glukosa darah sebelum
makan 90-130 mg/dL dan puncak glukosa darah sesudah makan < 180 mg/dL.
Macam-macam metode pemeriksaan glukosa darah: Hagedorn-Jensen,
Somogyi-Nelson, Autoanalyser, Enzimatis.

Glukosa Darah Rerata (GDR) = GDP + 2 jam PP


2
GDP : Glukosa Darah Puasa. Lama puasa persiapan periksa
labiratorium: 10-12 jam.
2 jam PP : Glukosa darah 2 jam post prandial (sesudah beban glukosa 75
gram waktu diagnosis); beban makanan pagi dikerjakan
sewaktu follow-up/kontrol).
GDA : Glukosa Darah Acak atau Random- Bila tidak mungkin cara
enzimatik, maka dapat digunakan metode 0-Toluidine, Somogyi-
Nelson, Autoanalyser, atau dengan fericyanide dan neocuproine.
Satuan kadar glukosa darah yang digunakan secara internasional adalah
mg/dL.
Urine
Pada orang normal, reduksi urine: negative. Pemantauan reduksi urine
biasanya 3x sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan, atau
4x sehari, yaitu 1x sebelum makan pagi, dan yang 3x dilakukan setiap 2 jam

73
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

sesudah makan. Pemeriksaan reduksi 3x sebelum makan lebih lazim dan lebih
hemat.
Kriteria Diagnosis DM (Konsensus PERKENI, 2002)
Dinyatakan DM apabila terdapat:
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dL, plus gejala
klasik: poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan yang tidak jelas
sebabnya atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dL, atau
3. Kadar Glukosa Plasma ≥ 200 mg/dL pada 2 jam sesudah makan atau
beban glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini
tidak dipakai rutin di klinik.
Ketiga kriteria diagnosis tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
atau esok harinya, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia yang jelas tinggi
dengan dekompensasi metabolic akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang
menurun cepat.
Kriteria glukosa darah dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dL)
Kondisi Bukan DM Belum Pasti DM DM
Kadar Glukosa
Darah Sewaktu
Plasma Vena < 100 100-199 ≥ 200
Darah Kapiler < 50 90-199 ≥ 200
Kadar Glukosa
Darah Puasa
Plasma vena < 100 100-125 ≥ 126
Darah kapiler < 90 90-109 ≥ 110

Kriteria Diagnosis dan Klasifikasi Nefropati Diabetik


Diagnosis Nefropati Diabetik (ND) dapat dibuat apabila dipenuhi ketiga
persyaratan seperti di bawah ini:

74
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. DM
2. Retinopati Diabetik
3. Proteinuria yang positif tanpa penyebab lain, atau selama 2 kali
pemeriksaan dengan interval 2 minggu apabila penyebab lain
(misalnya infeksi) sudah diatasi.
Diagnosis Banding
1. Untuk kasus-kasus dengan hiperglikemia sesudah makan ( 2 jam PP);
a. Penyakit Hepar (sirosis, hepatitis kronis)
b. Gagal ginjal kronis (GGK)
c. Hipertiroid
2. Untuk kasus-kasus dengan reduksi urine positif:
a. Glukosuria renal (karena nilai ambang ginjal rendah)
b. Galaktosuria pada kehamilan
c. Obat-obatan: vitamin C dosis tinggi, dan lain-lain.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dasar terapi DM meliputi pentalogi terapi DM:
Terapi Primer:
1. Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) tentang DM
2. Latihan fisik (LF): primer dan sekunder
3. Diet
Terapi Sekunder:
1. Obat hipoglikemia (OHO dan insulin)
2. Cangkok pancreas

I. PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT = PKM TENTANG


DM
PKM dapat dilaksanakan melalui:
1. Perorangan (antara dokter dengan penderita); bila tidak ada waktu, ber
“PKM” lah waktu memeriksa atau menulis resep;

75
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Penyuluhan melalui TV;


3. Kaset video; penjelasan tentang DM, komplikasinya, terapi DM termasuk
peragaan macam-macam diet dengan berbagai jenis kandungan
kalorinya.
4. Diskusi kelompok
5. Poster
6. Leaflet
7. Dan lain-lain
II. LATIHAN FISIK (LF) UNTUK DM: LF PRIMER DAN SEKUNDER
Semua penderita DM dianjurkan latihan ringan teratur setiap hari pada saat
1 atau 1,5 jam sesudah makan, termasuk penderita yang dirawat di rumah sakit
(Bed Exercise). Misalnya, makan pagi jam 07.3, makan siang jam 12.30, makan
malam jam 18.30, maka latihan fisik harus dilakukan berturut-turut jam 08.00,
13.30, dan 19.30. Latihan Fisik (LF) ini disebut LF Primer.
LF Sekunder untuk penderita DM, terutama dengan obesitas. Selain LF
primer sesudah makan, juga dianjurkan LF sekunder agak berat setiap hari,
pagi, dan sore (dengan tujuan menurunkan berat badan) sebelum mandi pagi
dan sore agar penderita tidak lupa.
III. DIET DM
Dalam perkembangannya sampai saat ini terdapat 21 macam diet DM yang
dikenal di Surabaya, yaitu: Diet-B, Diet-B Puasa, Dier B1, dan B1 puasa, B2,
B3, Be, Diet-M, Diet-M puasa, Diet-G, Diet-KV, Diet-GL, Diet H, Diet KV-T1,
Diet KV-T2, Diet KV-T3, Diet KV-I, Diet B1-T1, Diet B1-T2, Diet B1-T3, Diet B1-
L.

Petunjuk umum untuk pelaksanaan nutrisi pada pasien DM:


1. Meskipun susunan nutrisi oral dari 21 macam diet DM di Rumah Sakit
Umum Dr. Soetomo berbeda-beda, tetapi setiap macam diet tetap
diusahakan supaya dapat:
 Memperbaiki kesehatan umum pasien

76
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Dapat menyesuaikan berat badan pasien ke berat badan


normal
 Menormalkan pertumbuhan anak yang terkena DM atau
pertumbuhan dewasa muda yang terkena DM
 Mempertahankan glukosa darah mendekati normal
 Menekan atau timbulnya angiopati diabetic
 Memberikan modifikasi diet sesuai dengan keadaan penderita
misalnya diabetisi yang hamil, diabetisi dengan penyakit hati,
TBC, dan menarik serta mudah diterima penderita.
2. Pada dasarnya diet diabetes di Surabaya diberikan dengan cara 3 kali
makanan utama dan 3 kali makanan antara (kudapan=snacks) dengan
jarak antara (interval) tiga jam. Hal yang sama digunakan pada kondisi
dimana pasien harus menggunakan nutrisi enteral (d/h SONDE) dengan
menggunakan rumus E1, E2, E3, E4, E5, E6.
3. Untuk keberhasilan kepatuhan terhadap diet, perlu diingat “3K” dari
pasien, yaitu kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Dan dalam
pelaksanaan diet, hendaknya mengikuti 3J (Jumlah, Jadwal, Jenis) yaitu
meliputi:
J1 = Jumlah-kalori yang diberikan harus dihabiskan
J2 = Jadwal makan harus diikuti (interval 3 jam)
J3 = Jenis gula dan yang manis harus dipantang.
4. Untuk kasus-kasus yang kadar glukosa darahnya sulit mendekati nilai
normal (resistensi), olah raga ringan 3x sehari pada saat 1-1 ½ jam
sesudah makan utama adalah mutlak harus dilaksanakan. Misalnya
makan pagi pukul 06.30, latihan diadakan pukul 08.00 dan seterusnya.
Gerak badan tiga kali ini juga dianjurkan pada penderita rawat inap yang
porsinya disesuaikan dengan kekuatan fisik penderita tersebut.
Disamping itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
diet, yaitu sebagai berikut:
1. Harus kumur sesudah makan (tidak boleh ada sisa makanan dalam
mulut, oleh karena akan menjadi sumber infeksi).

77
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Penderita harus pandai menggunakan daftar makanan pengganti


agar tidak bosan, dengan dietnya.
3. Penderita harus melapor ke dokter apabila merasa lapar ataupun
kelebihan dengan dietnya (jangan melebihi atau mengurangi
makanan, berkonsultasilah terus terang kepada dokter yang
merawat).
4. Kalori yang diberikan kepada penderita harus “cukup” untuk bekerja
sehari-hari sesuai dengan jenis pekerjaan dan sesuai untuk menuju
ke berat badan “normal”.
Penentuan Gizi Penderita dan Jumlah Kalori Per Hari:

IMT = Indeks Mada Tubuh = BB x 100%


(TB)2

Keterangan BBdalam kg, TB dalam m


Normal : Pria 20-24,9 wanita: 18,5-23,9

BBR = Berat Badan Relatif = BB x 100%


TB – 100

Keterangan: BB dalam kg, TB dalam cm


Gizi Buruk : < 90% Gizi Lebih : 100-120%
Normal : 90-100% Gemuk (Obesitas) : > 120%
Kebutuhan kalori untuk menuju Berat Badan Normal:
1. Berat Badan Kurang (BBR<90%) kebutuhan kalori sehari: 40-60
kal/kgBB
2. Berat Badan Normal (BBR 90-100%) kebutuhan kalori sehari: 30
kal/kgBB

78
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

20. HIPERTENSI

KLASIFIKASI HIPERTENSI
Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC 7 adalah klasifikasi untuk orang
dewasa umur ≥ 18 tahun. Menurut JNC 7, definisi hipertensi adalah jika
didapatkan tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 140 mmHg atau Tekanan Darah
Diastolik (TDD) ≥ 90 mmHg. Penentuan klasifikasi ini berdasarkan rata-rata 2
kali pengukuran tekanan darah pada posisi duduk.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah (JNC 7)
Klasifikasi Tekanan TDS TDD
Darah (mmHg) (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80


PreHypertension 120-139 Ata 80-89
u
Stage 1 Hypertension 140-159 Ata 90-99
u
Stage 2 Hypertension ≥ 160 Ata ≥ 100
u

Dasar pemikiran adanya kategori prehypertension dalam klasifikasi tersebut


oleh karena pasien dengan hypertension berisiko untuk mengalami progresi
menjadi hipertensi, dan mereka dengan tekanan darah 130-139/80-89 mmHg
berisiko dua kali lebih besar untuk menjadi hipertensi disbanding dengan yang
tekanan darahnya lebih rendah.
Beberapa istilah khusus:
White coat hypertension
Adalah istilah dimana tekanan darah (TD) selama menjalankan aktivitas
harian yang biasa dilakukan berada dalam batas normal, tetapi bila diperiksa di
klinik termasuk hipertensi. Walaupun bisa terjadi pada semua umur, tetapi lebih
sering pada wanita muda kurus.
Persistent hypertension (sustained hypertension)

79
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Adalah istilah dimana TD meningkat (hipertensi), baik diukur di klinik


maupun di luar klinik, termasuk di rumah, selama menjalankan aktivitas harian
yang biasa dilakukan. Walaupun sama-sama meningkat, sering kali tekanan
darah di klinik lebih tinggi daripada di luar klinik.
Isolated systolic hypertension
Berdasarkan World Health Organization-International Society of
Hypertension (WHO-ISH) dan JNC 6, adalah bila TDS ≥ 140 mmHg dan TDD <
90 mmHg. Prevalensinya meningkat berdasarkan usia dan mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk mengalami serangan jantung dan stroke dibandingkan
mereka dengan TDD yang meningkat.
Accelerated Malignant Hypertension (AMH)
Adalah istilah untuk hipertensi diastolic berat (biasanya TDD > 120
mmHg) dimana dengan pemeriksaan funduskopi menunjukkan adanya
retinopati hipertensif Keith-Wagener (K-W) derajat 3. Dulu dikenal istilah
Malignant Hypertension untuk hipertensi diastolic berat disertai retinopati
hipertensif derajat 4, tetapi karena hipertensi berat dengan retinopati K-W
derajat 3 maupun 4 mempunyai prognosis yang sama buruknya, maka 2 istilah
tersebut kadang tidak dibedakan. AMH merupakan bagian dari Hypertension
urgency, yaitu membutuhkan terapi dan penurunan TD dalam “jam”, sedangkan
hypertension emergency adalah kondisi klinik dimana hipertensi berat harus
segera diturunkan dalam “menit” oleh karena adanyan beberapa keadaan
darurat seperti Acute dissection of the aorta, gagal ventrikel kiri akut,
perdarahan intraserebral, serta krisis oleh karena pheochromocytoma,
penyalahgunaan obat, eklampsia.

KLASIFIKASI PENYEBAB
Berdasarkan penyebab, hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Hipertensi primer (esensial), penyebab hipertensi tidak diketahui (90-
95% pasien)
2. Hipertensi sekunder, disebabkan oleh:
a. Gangguan ginjal (2-6% dari seluruh pasien hipertensi):

80
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Renal parenchymal disease: penyakit glomeruler, penyakit


tubule-interstitial kronik, penyakit polikistik, uropati obstruktif.
 Renovascular disease: renal artery stenosis (RAS) karena
atherosclerosis dan dysplasia fibromuskuler, arthritis, kompresi
a.renalis oleh factor ekstrinsik
 Lain-lain : tumor yang menghasilkan rennin, retensi Na ginjal
(Liddle’s syndrome).
b. Gangguan endokrin:
 Kelainan adreno-kortikal: aldosteronisme primer, hyperplasia
adrenal congenital, sindroma Cushing.
 Adrenal-medullary tumors: pheochromocytoma
 Thyroid disease: hipertiroid, hipotiroid
 Hyperparathyroidism: hipercalcemia
 Akromegali
 Carcinoid tumors
c. Eksogen medication and drugs
Kontrasepsi oral, simpatomimetik, glukokortikoid, mineralokortikoid,
OAINS, siklosporin, eritropoietin, MAO inhibitor, dll.
d. Kehamilan preeclampsia dan eklampsia
e. Co-arctation of the aorta
f. Gangguan neurologi: sleep apneu, peningkatan tekanan intracranial
(tumor otak), gangguan afektif, spinal cord injury (GBS), disregulasi
baroreflex.
g. Faktor psikososial
h. Intravascular volume overload
i. Hipertensi sistolik:
 Hilangnya elastisitas aorta dan pembuluh darah besar
 Hyperdynamic cardiac output: hipertiroid, insufisiensi aorta,
anemia, fistula arteriovenous, beri-beri, penyakit Paget tulang.

81
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

EVALUASI PENDERITA
Tujuan evaluasi penderita hipertensi adalah:
1. Untuk mengetahui kebiasaan hidup (lifestyle) serta menemukan factor-
faktor risiko kardiovasculer lainnya atau kelainan-kelainan yang
menyertai, yang bisa mempengaruhi prognosis dan memandu terapi.
2. Untuk menemukan penyebab hipertensi yang bisa diidentifikasi
3. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya kerusakan organ target (target
organ damage) dan penyakit kardiovascular.

Faktor risiko Kardiovasculer:


Faktor risiko mayor:
1. Hipertensi
2. Merokok
3. Obesitas (IMT ≥ 30 kg/m2)
4. Inaktivitas fisik
5. dislipidemia
6. diabetes mellitus
7. Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR < 60 ml/menit
8. Umur (lebih dari 55 tahun untuk laki-laki, 65 tahun untuk wanita)
9. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovascular yang
premature (laki-laki kurang dari 55 tahun atau wanita kurang dari 65
tahun).
Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi:
1. Sleep apneu
2. Drug induced or related causes
3. Penyakit ginjal kronis
4. Aldosteronisme primer
5. Penyakit renovasculer
6. Pemberian steroid kronik dan sindrom Cushing
7. Pheocromocytoma
8. Coarctation of aorta

82
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

9. Penyakit tiroid dan paratiroid

Target Organ Damage:


1. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Angina atau infark miokard sebelumnya
c. Revaskularisasi koroner sebelumnya
2. Otak
a. Stroke atau TIA
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
Evaluasi penderita hipertensi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan prosedur diagnostic lain.

TANDA DAN GEJALA


Pada dasarnya hipertensi tidak memberi gejala yang spesifik. Umumnya gejala
yang dikeluhkan berkaitan dengan:
1. Peningkatan TD: sakit kepala (pada hipertensi berat), paling sering di
daerah occipital dan dikeluhkan pada saat bangun pagi, selanjutnya
berkurang secara spontan setelah beberapa jam, dizziness, palpitasi,
mudah lelah.
2. Gangguan vascular: epistaksis, hematuria, penglihatan kabur karena
perubahan di retina, episode kelemahan atau dizziness oleh karena
transient cerebral ischemia, angina pektoris, sesak karena gagal jantung.
3. Penyakit yang mendasari: pada hiperaldosteronisme primer didapatkan
poliuria, polidipsia, kelemahan otot karena hipokalemia, pada sindrom
Cushing didapatkan peningkatan berat badan dan emosi labil, pada
pheocromocytoma bisa didapatkan sakit kepala episodic, palpitasi,
diaphoresis, postural dizziness.

83
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Anamnesis lain yang menunjang:


1. Riwayat hipertensi pada keluarga disertai riwayat peningkatan TD secara
intermitten menunjang adanya hipertensi esensial
2. Hipertensi sekunder sering terjadi pada umur < 35 tahun atau > 55
tahun.
3. Riwayat infeksi saluran kemih berulang bisa dikaitkan dengan
pielonefritis kronis.
4. Nokturia dan polidipsi mengesankan gangguan ginjal atau endokrin
5. Adanya beberapa gejala, seperti angina pektoris, gejala insufisiensi
serebral, gagal jantung kongestif, menggambarkan adanya kelainan
vaskuler yang progresif kea rah kondisi yang membahayakan.
6. Adanya factor risiko seperti merokok, diabetes mellitus, dislipidemia,
riwayat keluarga yang meninggal dalam usia relative muda karena
penyakit kardiovasculer.
7. Gaya hidup seperti diet, aktivitas fisik, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan
lain-lain.

Pemeriksaan Fisik
- Kesan umum: misalnya wajah bulat dan obesitas trunkal mengesankan
sindroma Cushing.
- Pemeriksaan TD dan nadi:
1. Bandingkan kanan-kiri, posisi tidur/duduk dan berdiri:
2. Bila pada saat berdiri TDD meningkat mengesankan hipertensi esensial,
bila TDD turun (tanpa terapi antihipertensi) kemungkinan hipertensi
sekunder.
- Catat berat badan dan tinggi badan untuk perhitungan BMI
- Pemeriksaan mata yang teliti : terutama funduskopi untuk
memperkirakan lamanya hipertensi dan prognosis
- Palpasi dan auskultasi a.carotid: mencari kemungkinan oklusi/stenosis
yang mungkin merupakan manifestasi penyakit hipertensi vascular, dan
mungkin juga merupakan bagian dari lesi a.renalis.

84
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Pemeriksaan kelenjar tiroid


- Pemeriksaan dada:
1) jantung : LVH, gagal jantung
2) Paru : rales
3) Bising ekstrakardiak dan kolateral (Coarctation aorta)
- Pemeriksaan Abdomen:
1. Bising pada sisi kanan/kiri garis tengah, di atas umbilicus kemungkinan
penyempitan a.renalis (Renal artery stenosis)
2. Pembesaran ginjal karena polikistik ginjal, massa pada ginjal
3. Palpasi denyut a.femoralis: bila menurun dan atau terlambat
dibandingkan a.radialis maka TD pada kaki harus diukur. Walaupun
denyut a. femoralis normal, bila didapatkan hipertensi pada umur < 30
tahun, tekanan arteri ekstremitas bawah harus diukur.
- Pemeriksaan ekstremitas: edema, tanda adanya cerebrovascular accident
(CVA) seebelumya.
Pemeriksaan Laboratorium/penunjang
Masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa jauh/luas pemeriksaan
laboratorium yang harus dilakukan pada pasien hipertensi, khususnya
hipertensi sekunder atau subset dari hipertensi esensial. Tetapi secara umum
sebelum memulai terapi perlu dilakukan pemeriksaan dasar yang meliputi:
1. Urine lengkap (UL)
2. Elektrolit serum (K, Na, Ca, P)
3. Darah lengkap (DL)
4. Profil lipid
5. Gula darah
6. Elektrokardiogram (EKG)
7. BUN dan kreatinin serum
8. Foto dada
Bisa dipandang perlu bisa dilengkapi pemeriksaan:
1. Eksresi albumin urine
2. Rasio albumin/kreatinin

85
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Tidak direkomendasikan bermacam-macam pemeriksaan lain untuk mencari


penyebab hipertensi, kecuali TD tidak dapat dikontrol.

PENGOBATAN
Pengobatan hipertensi tidak hanya berdasarkan pada derajat tekanan darah,
tetapi juga mempertimbangkan terdapatnya factor risiko kardiovaskuler.
Target tekanan darah
Menurut JNC 7, tujuan utama kesehatan masyarakat memberikan terapi
antihipertensi adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskular dan ginjal. Target TD secara umum adalah < 140/90 mmHg oleh
karena dihubungkan dengan penurunan komplikasi penyakit kardiovascular,
dan < 130/80 mmHg jika didapatkan diabetes dan penyakit ginjal.
Tujuan Terapi JNC 7:
 Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung kardiovaskular
dan ginjal
 Terapi tekanan darah hingga < 140/90 mmHg atau tekanan darah
<130/80 mmHg pada penderita dengan diabetes atau penyakit ginjal
kronis
 Mencapai target tekanan darah sistolik terutama pada orang berusia ≥
50 tahun.
Modifikasi Gaya Hidup
Disamping pengobatan farmakologis, modifikasi gaya hidup selalu harus
dilakukan pada penatalaksanaan penderita hipertansi. Modifikasi kebiasan
hidup dilakukan pada setiap penderita sebagai cara tunggal untuk setiap derajat
hipertensi, akan tetapi bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah,
memperbaiki efikasi obat antihipertensi dan cukup potensial dalam menurunkan
factor risiko kardiovaskuler, disamping murah dan efek samping minimal.
Modifikasi kebiasaan hidup untuk pencegahan dan penatalaksanaan hipertensi
adalah sebagai berikut:
1. Menurunkan berat badan (IMT 18,5-24,9 kg/m 2) diperkirakan
menurunkan TDS 5-20 mmHg/10 kg penurunan berat badan.

86
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Diet dengan asupan cukup kalium dan calcium dengan mengonsumsi


makanan kaya buah, sayur, rendah lemak hewani dan mengurangi asam
lemak jenuh diharapkan menurunkan TDS 8-14 mmHg.
3. Mengurangi konsumsi natrium tidak lebih dari 100 mmol/hari (6 gram
NaCl) diharapkan menurunkan TDS 2-8 mmHg
4. Meningkatkan aktivitas fisik misalnya dengan berjalan minimal 30
menit/hari diharapkan menurunkan TDS 4-9 mmHg
5. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alcohol

Pengobatan Farmakologi
Menurut JNC 7, uji klinis dengan menggunakan berbagai obat penurunan
tekanan darah termasuk penghambat-ACE (ACE-I), antagonis angiotensin
(ARB), antagonis Ca (CCB), penyakit beta (beta blocker) dan diuretika
golongan tiazid, ternyata semuanya dapat menurunkan komplikasi hipertensi.
Diuretika golongan tiazid terbukti dapat digunakan untuk prevensi komplikasi
kardiovaskuler pada penderita hipertensi, meningkatkan efikasi obat
antihipertensi yang lain dan harganya lebih terjangkau. Sehingga diuretika
golongan tiazid dianjurkan sebagai pengobatan awal hipertensi, sebagai obat
tunggal atau kombinasi dengan kelas obat yang lain, kecuali jika ada indikasi
untuk menggunakan obat kelas lain sebagai pengobatan awal.

ALGORITME PENGOBATAN HIPERTENSI


Ternyata kebanyakan penderita hipertensi memerlukan dua atau lebih
obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Jika target tekanan
darah belum tercapai, obat kedua dari kelas lain harus segera ditambahkan.
Jika tekanan darah 20/10 mmHg di atas target tekanan darah, dipertimbangkan
pengobatan awal dengan menggunakan dua macam kelas obat sebagai obat
kombinasi tetap atau masing-masing diberikan tersendiri. Pemberian dua obat
antihipertensi sejak awal akan mempercepat tercapainya target tekanan darah.
Akan tetapi harus diwaspadai kemungkinan hipotensi ortostatik terutama pada

87
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

penderita diabetes, disfungsi saraf otonom, dan penderita geriatri. Penggunaan


obat generic atau kombinasi perlu dipertimbangkan untuk mengurangi biaya.
Penderita paling sedikit harus dievaluasi setiap bulan untuk penyesuaian
obat agar target tekanan darah segera tercapai. Jika target sudah tercapai
evaluasi dapat dilakukan tiap 3 bulan. Penderita dengan hipertensi derajat 2
atau dengan factor komorbid misalnya diabetes dan payah jantung memerlukan
evaluasi lebih sering. Faktor risiko kardiovaskular yang lain serta adanya
kondisi komorbid harus secara bersama diobati sampai seoptimal mungkin.

88
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

89
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

21. HIPERURISEMIA DAN GOUT ARTHRITIS

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis arthritis gout akut (primer gout) ACR 1980:
1. Lebih dari 1 kali serangan akut arthritis
2. Keradangan maksimum terjadi dalam 24 jam
3. Serangan akut monoartritis
4. Kemerahan pada sendi
5. MTP I nyeri dan bengkak
6. Serangan arthritis pada MTP I unilateral

90
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

7. Serangan arthritis pada sendi tarsal unilateral


8. Tofus
9. Hiperurisemia
10. Radiologis : pembengkakan asimetris pada sendi
11. Kiste subkortikal tanpa erosi pada pemeriksaan radiologis
12. Saat serangan ditemukan kristal monosodium urat monohidrat pada
cairan sendi
13. Kultur cairan sendi tidak ada pertumbuhan kuman.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan LED, urinalisis, ekskresi asam urat/24 jam, BUN, serum
kreatinin, kadar asam urat dalam darah membantu untuk diagnosis gout
arthritis. Analisis cairan sendi biasanya ditandai dengan inflamasi sendi:
leukosit > 2000 mm3, dengan PMN >75%. Diagnosis pasti didapatkan kristal
monosodium urat pada pemeriksaan dengan mikroskop polarisasi.
Radiologis: pada fase awal hanya didapatkan pembengkakan jaringan
lunak sedangkan pada fase kronis didapatkan erosi sendi, gambaran khas
sering disebut erosi “Punched-out”.

91
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Gambar 4. Kristal monosodium urat berbentuk seperti jarum


Diferensial diagnosis
Artritis septic, pseudogout, demam rheuma akut, rheumatoid arthritis.
TERAPI GOUT ARTRITIS AKUT
1. Colchicin dosis 0,5 x 1-2 kali/hari dan diberikan sampai tanda inflamasi
berkurang. Peran colchicin dalam terapi gout adalah menghambat
fagositosis kristal monosodium asam urat oleh neutrofil. Efek samping:
nyeri perut, diare, mual, muntah. Dosis harus dikurangi pada pasien
yang tua dengan gangguan fungsi ginjal/hati.
2. NSAID : natrium diklofenak, ketoprofen, ibuprofen, endometasin, steroid.
3. Steroid : bila NSAID atau colchicin ada kontraindikasi, misalnya pada
penderita insufisiensi renal, penderita tua atau kongestif. Diberikan local
atau sistemik dengan aturan yang ketat karena efek samping
kortikosteroid yang besar. Dosis oral prednisone 0,5 mg/kgBB/hari dan
ditapering off 10 mg/minggu.
4. Jangan memberikan alluporinol/probenesid pada serangan akut kecuali
penderita telah mengkonsumsi sebelumnya.
5. Pengobatan hiperurisemia.
- Diet rendah purin
- Penghambat xantin oksidase: allopurinol dimulai dengan dosis
100 mg per oral sampai mencapai dosis antara 200-300 mg/hari,
dosis maksimum 800 mg (dosis disesuaikan dengan fungsi ginjal).
Peningkatan dosis sebaiknya pelan-pelan untuk menghindari
penurunan asam urat yang mendadak, yang mana hal ini dapat
mencetuskan serangan gout arthritis akut. Kadar serum asam urat
dipertahankan < 6,4 mg/dL yaitu kadar di bawah titik saturasi
asam urat di dalam darah. Indikasi batu ginjal, tofus, ekskresi
asam urat dalam urine > 800-1000/hari. alergi urikosurik. Efek

92
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

samping demam, Steven Johnson Syndrome, depresi sumsum


tulang, vaskulitis, dan hepatitis.
- Urikosurik: Probenesid dosis 1-2 g/hari sulfinpirazone dosis: 2x50-
400 mg/hari.
Tabel 1. Bahan-bahan rendah purin dan tinggi protein
Rendah Purin Tinggi Purin
• Sereal, beras, roti putih, sagu, • Daging, jeroan, bebek, daging
tapioca awetan, ikan/hewan laut,
sarden, kepiting, kerang,
udang.
• Susu, telur, margarine, • Ragi, bir, minuman alkohol
mentega, buah, kacang (dalam
jumlah sedikit)
• Kubis, sayur hijau • Kedelai, bayam, asparagus,
bunga kol, jamur, emping
• Minuman beralkohol

PENCEGAHAN
Diet rendah purin, turunkan berat badan, hindari alcohol, olah raga
ringan dan teratur, hindari stress, colchisin dosis rendah efektif untuk
menghindari eksaserbasi akut. Colchisin dapat diberikan sampai 6 bulan-1
tahun setelah serangan gout akut. Jika kadar serum asam urat bisa
dipertahankan 5 mg/dL dan tidak ada serangan akut maka pemberian colchicin
untuk maintenance dapat dihentikan. Obat ini cukup toksik, terutama terhadap
ginjal dan hepar, sehingga perlu hati-hati dalam penggunaannya.

93
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

94
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

22. ANEMIA DEFISIENSI BESI

GAMBARAN KLINIS ANEMIA DEFISIENSI BESI


Gejala klinis dari anemia defisiensi besi adalah:
1. Anemia
2. Koilonikia
3. Stomatitis angularis
4. Sindrom Plummer Vinson
5. Gastritis
6. Ozaena

KELAINAN LABORATORIUM ANEMIA DEFISIENSI BESI


1. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan anemia yang hipokrom,
mikrositer, anisositosis, poikilositosis, dan retikulosit rendah.
2. Pada pemeriksaan sumsum tulang terdapat hyperplasia normoblastik
dan pengecatan besi negative.
3. Pemeriksaan kimia darah didapatkan Serum Iron rendah (< 15-60
mcgr/100 cc), TIBC meningkat (> 500 mcgr/100 cc). TIBC meningkat
(>500 mcgr/100 cc). Ferritin rendah (<12 mcgr/100 cc). Protoporfirin
rendah (<100-600 mcgr/100 cc) dan saturasi besi rendah (< 16%).
4. Pemeriksaan foto tulang terdapat tanda-tanda osteoporosis.

DIAGNOSIS BANDING
1. Anemia karena penyakit kronis
2. Thalassemia
3. Hemoglobinopati
4. Sindrom Mielodisplastik
5. Sindrom Mieloproliferatif

95
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

PENGOBATAN
1. Memberikan diet yang kaya kalori, protein, dan zat besi.
2. Memberikan preparat besi:
a. Preparat Besi Oral:
Sulfas ferrous: 4 x 1 tab.
Ferrous fumarat: 4 x 1 tab dan Ferrous glukonat: 3 x 1 tab.
Pemberian preparat besi ini dilanjutkan 4-6 bulan sesudah Hb
normal. Obat ini aman digunakan, hanya kadang-kadang dapat
memberikan efek samping berupa nyeri epigastrium, konstipasi, dan
diare.
b. Pemberian Preparat Besi Parenteral:
Hanya dianjurkan pada penderita yang mengalami intoleransi
gastrointestinal berupa mual dan muntah. Preparat besi parenteral
yang lazim digunakan adalah inferno, Jectofer, dan Venofer.
3. Mengatasi Penyebabnya.

PENCEGAHAN ANEMIA DEFISIENSI BESI


1. Penyuluhan intensif hygiene dan sanitasi lingkungan
2. Program pendidikan gozo untuk masyarakat dan petugas kesehatan
3. Peningkatan sosial ekonomi masyarakat dan penyediaan bahan
makanan yang bernilai gizi tinggi.
4. Menanamkan pengertian yang mendalam akan arti dan akibat dari
anemia gizi terhadap masyarakat dan petugas kesehatan.
5. Ion fortification (makanan kaya besi).

96
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

23. PENYAKIT REFLUKS GASTRO-ESOFAGEAL (GERD)

TERAPI
Umum
a. Turunkan BB, tidur ½ duduk , dan tunggu sampai perut kosong
b. Hindari rokok, kopi, coklat, alcohol, pedas, lemak
c. Pakaian longgar
d. Hindari obat tertentu: theofilin, kafein, dan seterusnya.
Khusus
a. PPP, prokinetik, sitoprotektif, antasida
b. Bedah bila obat gagal

97
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

24. GASTRITIS

PENGOBATAN
Pengobatan gastritis akibat infeksi kuman Helicobacter pylori bertujuan
untuk melakuka eradikasi kuman tersebut. Pada saat ini indikasi yang telah
disetujui secara universal untuk melakukan eradikasi adalah infeksi kuman
Helicobacter pylori yang ada hubungannya dengan tukak peptic dan yang
berhubungan dengan low grade B cell lymphoma. Sedangkan pasien yang
menderita dyspepsia non tukak, walaupun berhubungan dengan infeksi kuman
Helicobacter pylori eradikasi terhadap kuman tersebut masih menjadi
perdebatan. Mereka yang setuju berpendapat bahwa eradikasi kuman tersebut
ditinjau dari epidemiologi diharapkan dapat menekan kejadian atropi dan
metaplasia pada pasien-pasien yang terinfeksi. Selanjutnya dapat mencegah
tukak peptic, kanker lambung, dan limfoma. Mereka yang tidak setuju
menganggap bahwa belum cukup bukti eradikasi dapat berimplikasi sedemikian
luas. Eradikasi dilakukan dengan kombinasi antara berbagai antibiotic dan
proton pump inhibitor (PPI). Antibiotika yang dianjurkan adalah klaritomisi,
amoksisilin, metronidazol, dan tetrasiklin. Bila PPI dan kombinasi 2 antibiotika
gagal dianjurkan menambahkan bismuth subsalisilat/subsitral.
Tabel 1. Contoh Regimen untuk Eradikasi Infeksi Helicobacter pylori
Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4
PPI dosis ganda Klarithomisin Amoksisilin
(2 x 500 mg) (2 x 1000 mg)
PPI dosis ganda Klarithomisin Metronidazol
(2 x 500 mg) (2 x 500 mg )
PPI dosis ganda Tetrasiklin Metronidazol Subsalisilat/subsitral
(4 x 500 mg) ( 2 x 500 mg) l

Pengelolaan gastritis otoimun ditujukan pada 2 hal yakni defisiensi


kobalamin dan lesi pada mukosa gaster. Atrofi mukosa gaster merupakan
keadaan yang irreversible. Kuman sering bersama-sama dengan penyakit
autoimun yang lain, sebaiknya penyakit yang menyertai tersebut diterapi.

98
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Memperbaiki defisiensi kobalamin sering dapat memperbaiki komplikasi yang


timbul akibat defisiensi tersebut. Komplikasi yang berupa kelainan patologik
memang lebih sukar diatasi. Dipikirkan untuk melakukan surveillance terhadap
kemungkinan kanker dengan pemeriksaan gastroskopi secara periodic.
Gastritis limfositik, sering ada hubungannya dengan infeksi Helicobacter
pillory, bila hal itu terbukti, eradikasi dapat dilakukan dan sering kali membawa
perbaikan. Belum ada terapi khusus untuk gastritis limfositik idiopatik. PPI dosis
standar dapat dicoba dan sering kali memberikan perbaikan. Sedangkan
gastritis limfositik yang menyertai penyakit lain, misal enteropati gluten,
pengelolaan ditujukan kepada penyakit primer.

99
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

25. LEPTOSPIROSIS

MANIFESTASI KLINIS
Pada leptospirosis umumnya terdapat riwayat terpapar hewan terinfeksi,
baik secara langsung/tak langsung. Mungkin mereka bekerja sebagai pekerja
abbatoir, pengepakan, veterinarian (dokter hewan).
Penderita jatuh sakit : 90% bentuk ringan, 5-10% bentuk berat. Masa
inkubasi berlangsung 7-12 hari, disusul fase leptospiremia 4-7 hari. Dijumpai
gejala mirip flu (flu like), bebas 2 hari. Fase imun berlangsung 4-30 hari.
Leptospira tidak ada di darah tetapi ada di ginjal, urine, aquaeou humour.
Dijumpai meningitis, uveitis, gangguan hati, dan ginjal.
Bentuk umum penyakit leptospirosis adalah panas mendadak tinggi,
sakit kepala, nyeri otot, malaise, nyeri perut, vascular collaps.
Fase kedua, demam ringan/negative 1-3 hari. Nyeri kepala tak hilang dengan
analgetika. Nyeri kepala di daerah frontal, bitemporal,retro-orbital, harus
diwaspadai adanya meningitis. Terdapat gejala mialgia, conjungtiva suffusion,
adenopati, hepatosplenomegali, rash, conjunctivitis, ocular pain.

Weil Syndrome
Wei syndrome dilaporkan pertama kali pada tahun 1886, dengan
mortalitas yang tinggi. Gejalanya adalah gejala leptospirosis ditambah ikterus,
perdarahan, gangguan jantung, paru, neurologic.
Penyebab: Severe icterohemorragica, copenhagoni.
Pada permulaan penyakit berjalan seperti biasa: 4-9 hari timbul ikterus,
disfungsi hati, ginjal, ikterus yag kemerahan, (rubinic jaundice), kencing warna
gelap, hepatomegali, bilirubin, dan alkali fosfatase meningkat, peningkatan
ringan SGOT dan SGPT.
Gangguan faal ginjal biasanya berlangsung pada minggu kedua.

DIAGNOSIS
Diagnosis definitive berdasarkan:

100
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Isolasi leptospira dari specimen klinik


2. Uji serologi: serokonversi atau kenaikan titer 4 kali.
Kecurigaan leptospirosis berdasarkan data epidemiologi, demam,
mialgia otot betis, dan otot lain.
Sebagai bahan pemeriksaan adalah darah, urine, cairan serebrospinalis.
Leptospira dapat diisolasi dari darah dan atau cairan serebrospinalis dalam 10
hari pertama: dan dari urine beberapa minggu sejak 1 minggu permulaan
penyakit.
Diagnosis banding: penyakit lain dengan demam dengan disertai sakit
kepala, nyeri otot, misalnya malaria, demam tifoid, hepatitis viral, dengue,
penyakit ricketsia.
Pemeriksaan dark field microscope dari bahan darah atau urine sering
menyebabkan misdiagnosis dan tidak dianjurkan.

PENGOBATAN
Leptospirosis perlu diobati sedini mungkin. Untuk pengobatan
leptospirosis dibedakan derajat beratnya: leptospirosis ringan, sedang, atau
berat, dan profilaksis.
Tindakan khusus diperlukan bila ada gagal gnjal atau gagal napas.
Pengobatan simptomatis ditujukan untuk demam dan nyeri.
Dialisis perlu dipertimbangkan bila dijumpai salah satu berikut:
1. Hiperkalemia yang intractable (K>6,5 mmol/l)
2. Asidosis yang sulit dikoreksi
3. Edema paru
4. Ensefalopati uremik
5. Pericarditis uremik
6. Oliguria (produksi urine kurang dari 200 ml/ 12 jam dan BUN lebih dari
100 mg/dL).

PENCEGAHAN

101
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pencegahan leptospirosis sukar. Sering diperlukan vaksinasi pada


binatang peliharaan, pengendalian tikus, desinfeksi lingkungan kerja. Juga
diberlakukan larangan berenang di daerah tercemar.
Penyakit Obat yang diberikan
Leptospirosis ringan Doxycicline 100 mg orally bid atau
ampicillin 500-750 mg orally qid atau
amoxicillin 500mg orally qid.
Leptospirosis sedang-berat Penicillin G 1,5 juta unit IV qid atau
Ampicillin 1 g IV qid atau
Amoxillin 1 g IV qid atau
Erythromycine 500 mg IV qid
Chemoprophylaxis Doxycycline 200 mg oral sekali
seminggu

PROGNOSIS
Mortalitas 5-20, dipengaruhi oleh terminology leptospirosis, derajat
penyakit, serovar berlainan, usia lanjut, oliguria, renal failure, dyspnue,
respiratory insuficienty, kadar bilirubin tinggi, leukositosis, ECG abnormal,
perubahan status mental, sumber daya, fasilitas.

102
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

26. KERACUNAN MAKANAN

PENGOBATAN
Keracunan ringan-sedang: istirahat di tempat tidur, banyak minum air garam
(oralit), diberikan karbon aktif (norit).
Keracunan berat: sama dengan keracunan ringan-sedang ditambah pasang
infuse RL sampai syok teratasi, dilanjutkan terapi oral (oralit), kalau perlu kirim
ke rumah sakit.

103
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

27. HEPATITIS VIRUS AKUT

GEJALA DAN TANDA


Perjalanan klinis hepatitis virus akut hampir sama semuanya, tanpa
melihat etiologinya. Secara klasik, hepatitis virus akut simptomatis
menunjukkan gambaran klinis yang dapat dibagi dalam 4 tahap:
a. Masa Tunas (inkubasi): tergantung pada jenis virus
b. Masa Prodromal/preikterik: 3-10 hari, rasa lesu/lemah badan,
panas, mual, sampai muntah, anoreksia, perut kanan terasa nyeri.
c. Masa Ikterik: didahului urine berwarna coklat, sklera kuning,
kemudian seluruh badan, puncak ikterus dalam 1-2 minggu,
hepatomegali ringan yang nyeri tekan.
d. Masa Penyembuhan: ikterus berangsur kurang dan hilang dalam 2-6
minggu, demikian pada anoreksia, lemah badan, dan hepatomegali.
Penyembuhan sempurna biasanya terjadi dalam 3-4 bulan.
Gejala yang paling awal dari fase prodromal pada akhir masa inkubasi
adalah nonspesifik, konstitusional, dan bervariasi, sebagian besar berupa
gejala system pencernaan, seperti tidak suka makan, mual, dan muntah. Sering
didapatkan rasa malas, cepat lelah, demam, dan pegal linu (flulike syndrome).
Nyeri persendian (atralgia), sangat mungkin disebabkan oleh pembentukan
kompleks imun. Pembesaran hati yang cepat akan menyebabkan rasa nyeri
tumpul (kemeng) pada hipokondrium kanan. Perlu ditekankan bahwa
sebagaimana survey serologi pada populasi umum, lebih dari 90% infeksi akut
dengan virus hepatitis adalah asimptomatis atau adanya gejala yang tidak
spesifik yang tidak diikuti oleh diagnosis klinis pada saat periode akut.
Perjalanan asimptomatis sering didapatkan pada infeksi hepatitis virus A pada
anak dan hepatitis virus C pada dewasa. Hepatitis virus akut simptomatis yang
disebabkan oleh virus hepatitis G tidak pernah dilaporkan.
Bila terjadi nekrosis hepatoselluler massa liver fungsional menurun,
kegagalan ekskresi bilirubin akan menyebabkan jaundice (fase ikterus).
Jaundice didahului oleh warna air kencing yang gelap dan feses yang pucat

104
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

selama beberapa hari. Pada fase ini gejala prodromal pada umumnya
menghilang. Bila kolestasis menonjol akan terjadi rasa gatal, seperti obstruksi
bilier. Penurunan berat badan yang terjadi selama fase ini dapat disebabkan
oleh adanya anoreksia dan kurangnya asupan makanan.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya hepatomegali ringan,
kadang-kadang nyeri, dan pada 10-20% pasien bisa didapatkan pembesaran
limpa (splenomegali). Walaupun jarang bisa didapatkan adanya pembesaran
kelenjar limfe leher. Sedikir spider nevi dan eritema palmaris yang ringan yang
bisa tampak bila fungsi liver sangat terganggu, dan akan menghilang bila fungsi
liver membaik. Perhatian khusus harus diperhatikan untuk menyingkirkan bukti-
bukti secara fisik adanya penyakit hati kronis (hepatomegali, splenomegali
massive, kolateral vena pada perut, tanda-tanda hiper-estrogenism pada pria).
Karena reaktivasi dari dasar penyakit hati kronis dapat tampak dengan suatu
pola laboratorium yang menyerupai hepatitis virus akut.
Selama fase ini, penting untuk mencari tanda-tanda awal adanya
kegagalan hati berat (yang secara klinis ditandai dengan koagulopati,
somnolen, iritabilitas, dan perubahan tingkah laku karena ensefalopati hepatic).
Bila hal tersebut terjadi menunjukkan perkembangan ke arah hepatitis fulminan
dan harus segera dirujuk ke pusat-pusat dengan akses yang siap untuk
transplantasi hati darurat (emergency liver transplantation).
Setelah beberapa minggu, umumnya berkisar 1-4 minggu, gambaran
klinis dan laboratories hepatitis virus akut akan membaik secara nyata, dan
pasien masuk dalam fase pemulihan dalam beberapa minggu. Bila infeksi
disebabkan oleh virus hepatitis A dan virus hepatitis E maka penyembuhannya
adalah sempurna, namun bila penyebabnya adalah virus hepatitis B,D, atau C
dapat terjadi evolusi kea rah kronis.
Fase pemulihan umumnya berakhir dalam 3-6 minggu dan jarang
sampai 12 minggu, dengan penurunan dan hilangnya gejala umum secara
progresif dengan normalisasi hasil laboratorium. Abnormalitas kadar
aminotransferase yang persisten dan replikasi virus pada saat ini menunjukkan

105
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

infeksi oleh virus hepatitis B, virus hepatitis C, yang menyertai evolusi kronis
dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, termasuk biopsy hati perkutan.

LABORATORIUM
Hepatitis virus akut ditandai dengan meningkatnya kadar alanin
aminotransferase (ALT=SGPT) dan aspartate aminotransferase (AST=SGOT)
yang kadang-kadang bisa mencapai 100 kali dari harga atas normal. Kadar
SGPT umumnya lebih tinggi daripada SGOT.
Peningkatan aminotransferase adalah cepat dan diikuti
hiperbilirubinemia, terutama yang tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Pada
bentuk yang lebih ringan, khususnya pada anak-anak, bisa didapatkan tidak
adanya peningkatan bilirubin serum yang nyata. Peningkatan bilirubin ini
didapatkan dalam beberapa hari setelah penurunan kadar aminotransferase
serum. Jaundice nyata (bilirubin > 20 mg/dl) yang menetap lebih dari 1 minggu
pada hepatitis virus akut bisa merupakan tanda gagal hati berat dan berkaitan
dengan prognosis yang buruk.
Kadar albumin serum umumnya tidak menurun, kecuali pada kasus sub
akut yang lebih berat setelah minggu pertama penyakit. Prothrombin Time
dapat terganggu, dan pemanjangan ini berkaitan dengan derajat kegagalan
fungsional hati. Indikator prognosis yang lebih dapat dipercaya pada hepatitis
virus akut yang berat adalah pemeriksaan secara serial dari factor koagulasi
(khususnya factor V) dan inhibitor koagulasi (antithrombin III). Penurunan di
bawah 30 sampai 50% dari harga normal umumnya menunjukkan penurunan
yang berat dari massa hati fungsional. Bila juga terjadi trombositopenia
(<100.000/mm3), penurunan kadar protein koagulasi ini dapat merupakan akibat
dari peningkatan konsumsi yang disebabkan oleh koagulasi intravaskuler
diseminata. Trombositopenia dan pemanjangan masa protrombin juga dapat
menunjukkan penyakit hati kronis yang mendasarinya.
Perlu bahan hemositometri sering didapatkan selama perjalanan
hepatitis akut. Leukopenia dengan netropenia dan limfopenia bisa didapatkan

106
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

pada fase awal infeksi, kemudian akan diikuti dengan relative limfositosis
atipikal seperti yang terlihat pada infeksi mononucleosis.
Lebih dari separuh pasien dengan hepatitis virus akut dapat mengalami
hipoglikemia selama fase simtomatis yang disebabkan oleh berkurangnya
simpanan glikogen hati dan sering diperberat oleh asupan makanan yang
kurang akibat mual dan diet yang tidak cukup.
Pemeriksaan virology memainkan peranan yang penting dalam
menegakkan diagnosis etiologis hepatitis virus akut. Identifikasi yang benar dari
penyebab tidak saja penting untuk menentukan penatalaksanaan dan prognosis
pasien, tetapi juga untuk mengotrol penularan infeksi pada lingkungan.

DIAGNOSIS
Diagnosis hepatitis akut berdasarkan keluhan/gejala dan gambaran
laboratorium seperti diuraikan di atas. Diagnosis virologist (sebagai penyebab)
dengan petanda serologi virus hepatitis:
Hepatitis A : IgM anti HAV (+)
Hepatitis B : HBsAg (+), IgM anti HBc (+)
Hepatitis C : IgM anti HCV (+)
Hepatitis D : IgM anti HDV (+), HBsAg (+)
Hepatitis E : IgM anti HEV (+)

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis yang disebabkan oleh virus nonhepatotropik dapat menyerupai
bentuk ringan dari hepatitis virus akut. Sejumlah obat-obatan yang berkaitan
dengan kerusakan sel hati juga dapat menyerupai hepatitis virus akut. Obat-
obatan yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut antara lain adalah
antihipertensi, antiinflamasi nonsteroid, dan obat antituberculosis. Penghentian
obat-obatan ini akan menurunkan gejala. Asetaminofen dapat menyebabkan
gagal hati fulminan bila diminum dalam dosis yang berlebihan. Obat ini akan
menimbulkan masalah khususnya pada alkoholik, dimana akan terjadi

107
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

kerusakan hati yang berat bila dengan mengkonsumsi secara teratur sedikitnya
5 gram per hari.
Kerusakan hati akibat alcohol sendiri juga harus dipikirkan sebagai
diagnosis banding. Pada hepatitis alkoholik, tidak seperti hepatitis virus akut,
aminotransferase umumnya meningkat kurang dari 10 kali harga atas normal,
dengan peningkatan AST yang tidak proporsional dengan ALT.
Gagal jantung, baik kanan maupun kiri, dapat menyebabkan kerusakan
hati akut sekunder terhadap stasis. Pemeriksaan fisik dapat menolong kita
untuk membedakan penyebab kardiak.
Kolesistitis akut atau obstruksi billier, kadang-kadang dapat dikacaukan
dengan hepatitis virus akut, tetapi adanya nyeri bilier dengan temuan
ultrasonografi dapat untuk membedakan keduanya.

KOMPLIKASI
Hepatitis virus akut dapat memberikan komplikasi berupa: (1) kolesistitis
(2) gagal hati fulminan atau gagal hati subakut, dan (3) hepatitis aplastic
anemia syndrome.

PENATALAKSANAAN
Istirahat baring pada masa masih banyak keluhan, mobilisasi berangsur
dimulai jika keluhan/gejala berkurang, bilirubin dan transaminase serum
menurun.
Pada umumnya, tidak ada terapi khusus untuk hepatitis virus akut tanpa
komplikasi. Sebagian kecil pasien umumnya sangat muda atau sangat tua
memerlukan perawatan di rumah sakit untuk masalah nutrisi atau dehidrasi,
untuk penyakit yang berat dengan perburukan status koagulasi atau
ensefalopati, atau adanya penyakit penyerta lain yang serius.
Diet tidak perlu dibatasi, kecuali pada keadaan kesadaran mulai
menurun diperhatikan jumlah protein yang diberikan. Diet tinggi kalori harus
dipertahankan, meskipun hal ini sulit pada pasien anoreksia dan tidak tahan
terhadap makanan yang mengandung lemak. Bila mual dan muntah lebih

108
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

menonjol, sebaiknya makanan berlemak dikurangi. Obat-obatan prokinetik


(metoklopramide, domperidone, cisapride) dapat diberikan apabila ada mual
dan muntah. Nutrisi parenteral kadang-kadang dibutuhkan untuk menyuplai
nutrisi yang baik dan hidrasi. Pada pasien dengan kolestasis yang berat
diperlukan suplementasi vitamin K.
Alkohol harus dihentikan dan obat-obatan yang dimetabolisme di hepar
harus dihindari. Apabila terdapat gatal-gatal dapat diberikan antihistamin dan
bile acid chelators (cholestyramin, cholestypol).

PENCEGAHAN
 Isolasi ketat untuk penderita tidak mutlak diperlukan, asal penderita,
perawat, dan penghuni serumah atau tamu dapat secara ketat mengikuti
atau melaksanakan enteric & blood precaution, antara lain pemakaian
sarung tangan pada kontak darah/tinja.
 Donor darah:
- Uji saring untuk virus B : HbsAg
- Uji saring untuk virus C : IgM anti HCV
 Pemakaian jarum / alat suntik yang disposable
 Imunoprofilaksis
1. Hepatitis A
Pra-paparan pariwisata ke daerah endemic: globulin serum imun atau
imunisasi pasif 3 bulan 0,02 ml/kg (1 kali); 3 bulan 0,06 ml/kg (setiap
4-6 bulan).
Pasca paparan:Penghuni serumah dan kontak seksual dengan
hepatitis A: 0,02 ml/kg (1 kali, selambatnya 2 minggu setelah kontak).
Vaksinasi hepatitis virus A (imunisasi aktif masih dalam taraf uji coba
klinis).
2. Hepatitis B
Pra-paparan:
Vaksin hepatitis B (imunisasi aktif)
Dewasa : 20 µg (1 ml ) i.m bulan 0, 1, 6,

109
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Anak : 10 µg (0,5 ml) i.m bulan 0, 1, 6


Pasca paparan:
Imunisasi pasif dengan Hepatitis B Hyperimmune Globuline (HBIG)
Dewasa/Anak: 0,06 ml/kg i.m diberikan kurang dari 24 jam.
Neonatus: 0,5 ml i.m waktu lahir, kemudian diikuti dengan protocol
vaksinasi (imunisasi aktif) selambatnya 7 hari pasca paparan,
sedangkan untuk dewasa/anak 7-14 hari pasca paparan.

PROGNOSIS
Sebagian besar sembuh sempurna, manifestasi klinik/perjalanan
penyakit bervariasi tergantung umur, virus, gizi, dan penyakit lain yang
menyertai.
Hepatitis B: 90% sembuh sempurna, 5-10% menjadi kronis, jangka panjang
menjadi sirosis atau kanker hati primer.
Hepatitis C: 80-90% menjadi kronis, 60-90% kasus hepatitis pascatransfusi
adalah C.

110
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

28. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

KOMPLIKASI
Urosepsis

PENGOBATAN ISK
Tujuan dari pengobatan ISK:
1. Menghilangkan kuman dan koloni kuman (membuat urine steril)
2. Menghilangkan gejala
3. Mencegah dan mengobati sepsis
4. Mencegah gajala sisa

111
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Antibiotik pada ISK Bawah Tak Berkomplikasi


Jenis Obat Dosis dan Interval Lama Pengobatan
Trimetoprim- 160/800 mg q 12 jam 3 hari
sulfametoksazole 100 mg q 12 jam 3 hari
Trimetoprim 100-250 mg q 12 jam 3 hari
Siprofloksasin 250 mg q 12 jam 3 hari
Levofloksasin 400 mg q 24 jam 3 hari
Sefiksim 100 mg q 12 jam 3 hari
Sefpodoksim proksetil 50 mg q 6 jam 3 hari
Nitrofurantoin-makrokristal 100 mg q 12 jam 3 hari
Nitrofurantoin monohidrat
makrokristal 500 mg q 12 jam 3 hari
Amoksisilin klavulanat

Obat Antibiotik Parenteral pada ISK atas Akut Berkomplikasi


Antibiotik, Dosis Interval
Sefepim, 1 gram q 12 jam
Siprofloksasin, 500 mg q 12 jam
Levofloksasin, 500 mg q 24 jam
Ofloksasin, 400 mg q 12 jam
Gentamisin, 3-5 mg/kgBB (+Ampisilin) q 24 jam
Gentamisin, 1 mg/kgBB (+ampisillin) q 8 jam
Ampisilin, 1-2 gram (+gentamicin) q 6 jam
Tikarsilin-klavulanat, 3,2 gram q 8 jam
Piperasillin-tazobaktam, 3,375 gram q 2-8 jam
Imipenen-silastatin, 250-500 mg q 6-8 jam
Cefotaksim, 1 gram q 8 jam

Pengobatan ISK yang disebabkan oleh jamur diberikan Flukonazol 200-400


mg/hari selama 14 hari. Pengobatan ISK pada wanita hamil diberikan golongan
nitrofurantoin, ampisilin, dan sefalosporin.

112
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

113
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

29. ASMA BRONKIAL

PENGOBATAN
Berdasarkan pathogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan
asma dapat ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respons
saluran napas, mencegah ikatan allergen dengan IgE, mencegah penglepasan
mediator kimia, dan merelaksasi otot-otot polos bronkus.
Mencegah Ikatan Alergen-IgE
a. Menghindari allergen, tampaknya sederhana, tetapi lebih sering sukar
dilakukan
b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil allergen yang dosisnya
makin ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking
antibody) yang akan mencegah ikatan allergen dengan IgE pada sel
mast. Efek hiposensitisasi pada orang dewasa saat ini masih diragukan.
Mencegah Penglepasan Mediator
Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus
yang dicetuskan oleh allergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga
mencegah penglepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat
mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi, oleh karena itu hanya dipakai
sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan.
Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya
alergi, meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsic dan asma
karena kegiatan jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain
bersifat sebagai bronkodilator juga dapat mencegah penglepasan mediator.
Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator
a. Simpatomimetik :
1) Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol)
merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut.
Dapat diberikan secara inhalasi melalui MDI (Metere Dosed Inhaler)
atau nebulizer

114
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2) Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada


serangan asma yang berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma
anak atau dewasa muda.
3) Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis
awal, diikuti dengan dosis pemeliharaan.
4) Kortikosteroid. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi
secara tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai
pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan.
5) Antikolinergik (ipatropium bromide) terutama dipakai sebagai
suplemen bronkodilator agonis beta 2.
Mengurangi Respons dengan Jalan Meredam Inflamasi Saluran Napas
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan
maupun yang berat menunjukkan inflamasi saluran napas. Secara
histopatologis ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang serta mediator
inflamasi di tempat tersebut. Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah
meredam inflamasi yang ada baik dengan natrium kromolin atau secara lebih
poten dengan kortikosteroid baik secara oral, parenteral, atau inhalasi seperti
pada asma akut atau kronik.
Pengobatan Asma menurut GINA (Global Initiative for Asthma)
Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu
lokakarya Global Initiative for Asthma Management and Prevention yang
dikoordinasikan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute Amerika serikat
dan WHO. Ada enam komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
1. Penyuluhan Kepada Pasien
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang,
diperlukan kerjasama antara pasien, keluarganya serta tenaga
kesehatan. Hal ini dapat tercapai bila pasien dan keluarganya
memahami penyakitnya, tujuan pengobatan, obat-obatan yang dipakai
serta efek sampingnya.
2. Penilaian Derajat Beratnya Asma

115
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Penilaian derajat beratnya asma baik melalui pengukuran gejala,


pemeriksaan uji faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk
menilai hasil pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya,
banyak pasien asma tanpa gejala, ternyata pada pemeriksaan uji faal
parunya menunjukkan adanya obstruksi saluran napas.
3. Pencegahan dan Pengendalian Faktor Pencetus Serangan
Diharapkan dengan mencegah dan mengendalikan factor pencetus
serangan asma makin berkurang atau derajat asma makin ringan.
4. Perencanaan Obat-obatan Jangka Panjang
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan
gejala asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan:
a) Obat-obatan antiasma
b) Pengobatan farmakologis berdasarkan system anak tangga
c) Pengobatan asma berdasarkan system wilayah bagi pasien
Obat-obat anti asma. Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk
mencegah dan mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat
anti-asma antara lain:
Pencegah (controller): yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan
tujuan agar gejala asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan
ini yaitu obat-obat anti-inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long
acting). Obat-obat antiinflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah
obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat-obat antialergi,
bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk obat
pencegah, meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat-obat
tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya
mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik,
memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan
memperbaiki kualitas hidup. Obat antiinflamasi dapat mencegah
terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi.
Dengan pengobatan antiinflamasi jangka panjang ternyata perbaikan

116
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktivitas bronkus


lebih baik bila dibandingkan bronkodilator.
Termasuk golongan obat pencegah adalah kortikosteroid hirup,
kortikosteroid sistemik , natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin
lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol, dan
formoterol) dan oral, dan obat-obat antialergi.
Penghilang gejala (reliever) : Obat penghilang gejala yaitu obat-obat
yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang
menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis
beta 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik,
antikolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta 2 oral kerja
pendek.
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol)
merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan
sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena
kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang
gejala pada asma episodic.
Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah
perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung
mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di ruang gawat darurat
atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau ipratropium bromide selain
dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut,
juga dipakai sebagai obat alternative pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi efek samping agonis beta2. Teofilin maupun agonis beta 2
oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan
hirup.
Pengobatan Farmakologis Berdasarkan Anak Tangga
Sampai sejauh ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan asma,
karena itu dipakai istilah terkendali dalam pengobatan asma. Suatu
asma dikatakan terkendali bila: gejala asma kronik minimal, termasuk
gejala asma malam, serangan/eksaserbasi akut minimal, kebutuhan

117
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

agonis beta 2 sangat minimal tidak ada keterbatasan aktivitasm variasi


APE kurang dari 20%, nilai APE normal atau mendekati normal, efek
samping obat minimal, tidak memerlukan pertolongan gawat darurat.
Berdasarkan pengobatan farmakologis sistemik anak tangga, maka
menurut berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat:
1. Asma intermitten
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
- Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu)
- Serangan singkat (beberapa jam sampai hari)
- Gejala asma malam kurang dari 2 kali sebulan
- Diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal
- Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20%.
Obat yang dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergantung intensitas
serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral.
2. Asma persisten ringan
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
- Gejala lebih dari 1x seminggu, tetapi kurang dari 1x perhari
- Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- Serangan asma malam lebih dari 2x/sebulan
- Nilai APE atau VEP1 >80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%.
Obat yang digunakan: setiap hari obat pencegah, agonis beta 2 bila
perlu
3. Asma persisten sedang
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
- Gejala setiap hari
- Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- Serangan asma malam lebih dari 1 kali seminggu
- Setiap hari menggunakan agonis beta 2 hirup
- Nilai APE dan VEP 1 antara 60-80% nilai prediksi, variabilitas >
30%.

118
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Obat yang dipakai: setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup)


dan bronkodilator kerja panjang.
4. Asma persisten berat
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
- Gejala terus menerus, sering mendapat serangan
- Gejala asma malam sering
- Aktivitas fisis terbatas karena gejala asma
- Nilai APE atau VEP1 kurang dari 60% nilai prediksi, variabilitas >
30%.
Obat yang dipakai: setiap hari obat-obat pencegah, dosis tinggi,
kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral
jangka panjang.
Pengobatan dimulai sesuai dengan tahap atau tingkat beratnya
asma. Bila gejala asma tidak terkendali, lanjutkan pengobatan ke
tingkat berikutnya. Tetapi sebelumnya perhatikan lebih dahulu
apakah teknik pengobatan, ketaatan berobat serta pengendalian
lingkungan (penghindaran allergen atau factor pencetus) telah
dilaksanakan dengan baik.
Setelah asma terkendali paling tidak untuk jangka waktu 3 bulan,
dapat dicoba menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap,
sampai mencapai dosis minimum yang dapat mengendalikan gejala.
5. Merencanakan Pengobatan Asma Akut (Serangan Asma)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi
dari yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa
mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari.
Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan
rencana pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang
terpajan factor pencetus.
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
a) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera;

119
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

b) Mengatasi hipoksemia;
c) Mengembalikan fungsi paru kea rah normal secepat mungkin;
d) Mencegah terjadinya serangan berikutnya;
e) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai
cara-cara mengatasi dan mencegah serangan asma.
Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu
derajat beratnya serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas,
tanda-tanda fisis, nilai APE. Hal lain yang juga perlu diketahui apakah
pasien termasuk pasien asma yang berisiko tinggi untuk kematian karena
asma, yaitu pasien yang:
- Sedang memakai atau baru saja lepas dari kortikosteroid sistemik
- Riwayat rawat inap atau kunjungan ke unit gawat darurat karena
asma dalam setahun terakhir
- Gangguan kejiwaan atau psikososial
- Pasien yang tidak taat mengikuti rencana pengobatan
Pengobatan asma akut
Prinsip pengobatan asma akut aalah memelihara saturasi oksigen yang
cukup (SaO2 ≥ 92%) dengan memberikan oksigen, melebarkan saluran napas
dengan pemberian bronkodilator aerosol (agonis beta 2 dan Ipratropium
Bromida) dan mengurangi inflamasi serta mencegah kekambuhan dengan
memberikan kortikosteroid sistemik. Pemberian oksigen 1-3 liter/menit,
diusahakan mencapai SaO2 ≥ 92% sehingga bila pasien telah mempunyai
SaO2 ≥ 92% sebenarnya tidak lagi membutuhkan inhalasi oksigen.
Bronkodilator khususnya agonis beta 2 hirup (kerja pendek) merupakan
obat anti-asma pada serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada
serangan asma ringan atau sedang pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit
cukup memadai untuk mengatasi serangan. Obat-obat anti-asma yang lain
seperti antikolinergik hirup, teofilin, dan agonis beta 2 oral merupakan obat-obat
alternative karena mulai kerjanya yang lama serta efek sampingnya yang lebih
besar. Pada serangan asma yang lebih berat, dosis agonis beta 2 hirup dapat
ditingkatkan. Sebagian peneliti menganjurkan pemberian kombinasi Ipratropium

120
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

bromide dengan salbutamol, karena dapat mengurangi perawatan rumah sakit


dan mengurangi biaya pengobatan.
Kortikosteroid sistemik diberikan bila respon terhadap agonis beta 2
hirup tidak memuaskan. Dosis prednisolon antara 0,5-1 mg/kgBB atau
ekivalennya. Perbaikan biasanya terjadi secara bertahap, oleh karena itu
pengobatan diteruskan untuk beberapa hari. Tetapi bila tidak ada perbaikan
atau minimal, segera pasien dirujuk ke fasilitas pengobatan yang lebih baik.
Pasien harus segera dirujuk bila:
1) Pasien dengan risiko tinggi untuk kematian karena asma
2) Serangan asma berat APE < 60% nilai prediksi
3) Respon bronkodilator tidak segera, dan bila ada respon hanya bertahan
kurang dari 3 jam
4) Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid
5) Gejala asma makin memburuk

6. Berobat Secara Teratur


Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan, pasien asma
pada umumnya memerlukan pengawasan yang teratur dari tenaga kesehatan.
Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara
pemakaian obat, cara menghindari factor pencetus serta penggunaan alat peak
flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini akan semakin
berkurang.

121
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

30. PNEUMONIA

PENGOBATAN
Pengobatan terdiri atas antibiotic dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotic pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaan, akan tetapi karena beberapa alasan:
1. Pneumonia yang berat dapat mengancam jiwa
2. Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia
3. Hasil pembiakan kuman memerlukan waktu maka pada penderita
pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris
Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan bakteri penyebab pneumonia
dapat dilihat sebagai berikut:
Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia (PSSP)
- Golongan Penisilin
- TMT-SMZ
- Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumonia (PRSP)
- Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
- Sefotaksim, seftriakson dosis tinggi
- Makrolid baru dosis tinggi
- Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
- Aminoglikosida
- Seftazidim, sefoperason, sefepim
- Tiraksilin, Piperasilin
- Karbapenem: meropenem, imipenem
- Siprofloksasin, levofloksasin
Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
- Vancomisin
- Teikoplanin

122
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Linezolid
Haemophilus influenza
- TMT-SMZ
- Azitromisin
- Sefalosporin generasi 2 atau 3
- Fluorokuinolon respirasi
Legionella
- Makrolid
- Fluorokuinolon
- Rifampisin
Mycoplasma pneumonia
- Doksisilin
- Makrolid
- Fluorokuinolon
Chlamydia pneumonia
- Doksisiklin
- Makrolid
- Fluorokuinolon

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi:
- Efusi pleura
- Empiema
- Abses paru
- Pneumotoraks
- Gagal napas
- Sepsis

PNEUMONIA KOMUNITI

123
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Di


dunia, pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan karena angka
kematiannya yang tinggi.
1. Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan
kuman gram positif dan dapat pula kuman atipik. Akan tetapi di
Indonesia, laporan akhir-akhir ini dari beberapa kota menunjukkan
bahwa kebanyakan kuman yang ditemukan dari pemeriksaan dahak
penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negative.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di
Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, Makassar) dengan cara
pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda
didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut:
- K. pneumonia 45,18%
- S.pneumoniae 14,04%
- S.viridans 9,21%
- S.aureus 9%
- Pseudomonas aeruginosa 8,56%
- Β hemolitik 7,89%
- Enterobacter 5,26%
- Pseudomonas spp 0,9%
2. Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik,foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrate
baru atau infiltrate progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini:
- Batuk-batuk bertambah berat
- Perubahan karakteristik dahak/purulen
- Suhu tubuh ≥ 37,5o C (oral)/riwayat demam
- Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi dan rhonki

124
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500

Penilaian derajat keparahan penyakit


Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komuniti dapat dilakukan
dengan menggunakan system skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel 1. Dibawah ini:
Karakteristik penderita Jumlah poin
Faktor demografi
- Usia: laki-laki Umur (tahun)
Perempuan Umur (tahun)-10
- Perawatan di rumah +10
- Penyakit penyerta
Keganasan +30
Penyakit Hati +20
Gagal jantung kongestif +10
Penyakit +10
Cerebrovascular +10
Penyakit Ginjal
Pemeriksaan Fisik
- Perubahan status mental +20
- Pernapasan ≥ 30 kali/menit +20
- Tekanan darah sistolik ≤ 90 +20
mmHg
- Suhu tubuh < 35oC atau ≥40oC +15
- Nadi ≥125 kali/menit +10

125
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Hasil laboratorium/Radiologik
- Analisis gas darah arteri: +30
pH 7,35
- BUN > 30 mg/dL +20
- Natrium < 130 mEq/liter +20
- Glukosa > 250 mg/dL +10
- Hematokrit <30% +10
- PO2 ≤ 60 mmHg +10
- Efusi pleura +10

Menurut American Thoracic Society (ATS) kriteria pneumonia berat bila


dijumpai salah satu atau lebih kriteria di bawah ini:
Kriteria Minor:
- Frekuensi napas > 30/menit
- PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
- Gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral
- Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolic < 60mmHg
Kriteria Mayor:
- Membutuhkan ventilasi mekanik
- Infiltrat bertambah > 50%
- Membutuhkan vasopresor > 4 jam (syok septic)
- Serum kreatinin ≥ 2 mg/dl atau peningkatan ≥ 2 mg/dl, pada
penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang
membutuhkan dialysis.
Berdasarkan kesepakatan perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003,
kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah:
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap
bila dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini:

126
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Frekuensi napas > 30/menit


- PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
- Gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral
- Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolic < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Kriteria Perawatan Intensif


Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah
penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu
(membutuhkan ventilasi mekanik dan membutuhkan vasopresor > 4 jam [syok
septic] atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (PaO 2/FiO2 kurang dari 250mmHg,
gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik <
90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk
perawatan Ruang Rawat Intensif.

PNEUMONIA NOSOKOMIAL
Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi pada waktu
penderita dirawat di rumah sakit, yang infeksinya tidak timbul atau tidak sedang
dalam masa inkubasi pada waktu masuk rumah sakit, dan biasanya terjadi
setelah 72 jam pertama masuk rumah sakit. Pneumonia nosokomial merupakan
15% dari seluruh kasus infeksi nosokomial. Diperkirakan dari 1000 penderita
yang dirawat inap di rumah sakit, 5-10 diantaranya mengalami pneumonia
nosokomial dan akan meningkat 6-20 kali pada penderita yang menggunakan
ventilasi mekanik. “Ventilator Associated pneumonia” adalah subgroup dari
pneumonia nosokomial sebagai bentuk penyulit pemasangan ventilator.
Selain meningkatkan 2-3 kali lama perawatan di rumah sakit yang
berakibat menambah biaya perawatan, pneumonia nosokomial juga menjadi
penyebab kematian utama yakni 20-50%. Angka kematian tersebut akan

127
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

meningkat lagi apabila terjadi bakterimia dan atau ditemukan kuman


P.aeruginosa atau Acinebacter sebagai pathogen penyebab.
1. Etiologi
Mikroorganis me penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan
pneumonia komuniti. Dari kumpulan berbagai penelitian di luar negeri,
pathogen umumnya adalah bakteri gram negative (tersering E.coli,
Klebsiella spp, Enterobacter spp, Serratia spp, Proteus spp) dan
pathogen-patogen yang potensial multiresisten seperti Pseudomonas
aeruginosa, Acinebacter spp dan Stenotrophomonas spp. Strain ini
merupakan 55-85% sebagai kuman penyebab. Kuman Gram positif
Staphylococcus aureus akhir-akhir ini juga meningkat ditemukan sebagai
pathogen penyebab sebesar 20-30%. Sedang polimikrobial sebagai
pathogen-patogen penyebab berkisar antara 13-60%. Patogen penyebab
yang lebih jarang ialah Legionella spp, anaerob, jamur, virus
pernapasan.

2. Diagnsosis
Menganut kriteria dari the CDC (the Centers for Disease Control),
diagnosi pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut:
1. Onset pneumonia timbul kebih dari 72 jam setelah masuk rumah sakit,
yang infeksinya tidak timbul atau tidak sedang dalam masa inkubasi
pada waktu masuk rumah sakit.
2. Pemeriksaan fisik menunjukkan rhonki, kepekaan atau adanya infiltrate
pada foto toraks ditambah adanya satu atau lebih dari gejala berikut ini:
b) Sputum yang purulen
c) Didapatkan isolasi pathogen dari darah, aspirasi trakea, specimen
yang berasal dari biopsy atau sikatan bronkus
d) Titer antibody terhadap suatu pathogen
e) Pemeriksaan histopatologi membuktikan adanya pneumonia

Faktor Predisposisi atau Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial

128
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Penderita yang mempunyai predisposisi timbulnya aspirasi mempunyai


risiko mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam
jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril,
maka pertahanan inang yang gagal membersihkan inokulum berakibat terjadi
proliferasi dan inflamasi sehingga timbul pneumonia. Interaksi antara factor
(endogen) inang dan factor-faktor eksogen akan menyebabkan kolonisasi
bakteri pathogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan.
Kolonisasi kuman-kuman sebagaimana disebut sebagai etiologi tersebut dia tas
di saluran napas bagian atas merupakan titik awal yang penting akan terjadinya
pneumonia.
Sebagai factor (endogen) inang adalah:
1. Debiliti
2. Dasar penyakit: diabetes, penyakit jantung, PPOK,dll (misal: PPOK akan
meningkatkan risiko 3,7 kali timbulnya pneumonia nosokomial)
3. Usia
Sedang sebagai factor eksogen adalah:
1. Pembedahan
Besar risiko terjadinya pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan
operasi abdomen bawah (5%)
2. Penggunaan Antibiotik
Antibiotik dapat mempermudah terjadinya kolonisasi, terutama antibiotic
yang aktif terhadap streptococcus di orofaring dan kuman anaerob di
saluran pencernaan makanan. Sebagai contoh: pemberian antibiotic
golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring melepaskan
bakteriosin yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negative.
Pemberian penisilin dosis besar akan menurunkan sejumlah bakteri
gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negative di
orofaring.
3. Peralatan terapi pernapasan

129
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh kuman Pseudomonas


aeruginosa dan kuman Gram negative lainnya sering berperan disini.
4. Pemasangan pipa nasogastrik, antasida, dan alimenasi enteral.
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negative di lambung,
karena dengan pH < 3 mampu dengan cepar membersihkan bakteri
yang tertelan. Pemberian antasida/H2 bloker yang mempertahankan pH
> 4 menyebabkan kolonisasi di lambung oleh bakteri gram negative
aerob. Sedang larutan makanan enteral sendiri mempunyai pH netral
6,4-7,0.
Klasifikasi Pneumonia Nosokomial
Berdasarkan American Thoracic Society (ATS) dengan melihat 3 faktor
sebagaimana di bawah ini:
1. Beratnya penyakit pneumonia:
- Ringan-sedang
- Berat
2. Faktor risiko
3. Onset dari penyakit pneumonia:
- Onset dini (< 5 hari)
- Onset lanjut (> 5 hari)
Maka pneumonia nosokomial dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
Kelompok I :Pneumonia ringan-sedang, onset setiap saat dan tidak ada
factor risiko atau pneumonia berat dengan onset dini dan tidak
ada factor risiko.
Kelompok II : pneumonia ringan-sedang, factor risiko spesifik dan onset
setiap waktu
Kelompok III : Pneumonia berat onset setiap waktu dengan factor risiko
spesifik dan atau pneumonia berat dengan onset lambat dan
tidak ada factor risiko.

Kriteria Pneumonia Berat:


1. Dirawat di ruang rawat intensif karena pneumonia atau gagal napas.

130
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas mekanik atau


membutuhkan O2 > 35% untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%.
3. Perubahan radiologis secara progresif, pneumonia multilobar atau kaviti
dari infiltrasi paru.
4. Terdapat sepsis dengan hipotensi dan atau disfungsi organ termasuk:
- Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolic < 60 mmHg)
- Memerlukan vasopressor > 4 jam
- Jumlah urine < 20 mm/jam atau jumlah urin 80 ml/4 jam
- Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialysis
Pengobatan:
Pengobatan didasarkan atas klasifikasi pneumonia nosokomial menurut ATS
sebagaimana tersebut di atas:
Kelompok I:
- Kuman penyebab : Enterobacter spp, E.coli, Klebsiella spp.
Proteus spp, S. marcescens, H. influenza, S.pneumoniae,
S.aureus (hati-hati kemungkinan ada MRSA)
- Obat pilihan : sefalosporin generasi 2 atau 3 non pseudomonas,
betalaktam+ inhibitor betalaktamase
- Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau
klindamisin+aztreonam.
Kelompok II:
- Kuman penyebab utama: Enterobacter spp, E.coli, Klebsiella spp,
Proteus spp, S. marcescens, H. influenza, S.pneumoniae,
S.aureus (hati-hati kemungkinan ada MRSA)
- Kuman penyebab tambahan: anaerob, MRSA, Legionella spp, P.
aeruginosa.
- Obat pilihan : sefalosporin generasi 2 dan 3 atau non
pseudomonas, betalaktam+inhibitor betalaktamase
- Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau
klindamisin+aztreonam

131
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Jika dicurigai anaerob diberikan klindamisin atai metronidazol atau


betalaktam+inhibitor betalaktamase
- Jika dicurigai Legionella spp : makrolid atau fluorokuinolon
- Jika dicurigai MRSA diberikan : vankomisin
- Jika dicurigai P.aeruginosa diberikan sesuai dengan kelompok II.
Kelompok III:
- Kuman penyebab utama: Enterobacter spp, E.coli, Klebsiella
spp, Proteus spp, S. marcescens, H. influenza, S.pneumoniae,
S.aureus (hati-hati kemungkinan ada MRSA).
- Kuman penyebab tambahan : P. aeruginosa, Acinetobacter spp,
S. maltophilia, MRSA.
- Obat pilihan : aminoglikosida dikombinasi dengan salah satu di
bawah ini:
o Penisilin anti pseudomonas
o Piperasilin + tasobaktam
o Seftazidim atau sefoperason
o Imipenem
o Meropenem
o Sefepim
Harus dipikirkan kemungkinan terdapat infeksi P.aeruginosa atau Acinetobacter
atau MRSA. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan pengobatan antibiotic
kombinasi. Jika terdapat S.matophilia dapat diberikan kotrimoksazol atau
sefalosporin generasi 4.
Lama Pengobatan
Dalam penelitian prospektif tidak ada catatan mengenai lamanya
pemberian antibiotic pada penderita pneumonia nosokomial. Lama pemberian
antibiotic sangat individual yaitu tergantung beratnya penyakit, cepat atau
lambatnya respon pengobatan dan adanya kuman penyebab yang pathogen.
Jika disebabkan P.aeruginosa atau Acinetobacter spp kemungkinan terjadinya
gagal pengobatan, relaps dan kematian akan tinggi. Adanya gambaran foto

132
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

toraks yang multilobar, kaviti, penyakit berat, dan adanya nekroting kuman
gram negative pneumonia, maka respons pengobatan akan lambat dan
penyembuhan tidak sempurna. Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa angka
kesembuhan pneumonia nosokomial 95% bila disebabkan metisilin resisten
Staphylococcus aureus (MRSA) atau H.influenza, untuk kuman-kuman tersebut
dibutuhkan pengobatan antibiotic 7-10 hari.

Prognosis
Angka kematian pada pneumonia nosokomial lebih tinggi disbanding
dengan pneumonia komuniti yaitu sebesar 20-50%. Angka kematian ini akan
meningkat apabila pathogen penyebabnya P.aeruginosa atau Acinetobacter
species. Pada penderita pneumonia yang dirawat di Ruang rawat intensif angka
kematian meningkat 3-10 kali dibandingkan dengan penderita tanpa
pneumonia.

Pencegahan
Prinsip pencegahan terutama ditujukan pada pengendalian factor-faktor risiko,
yaitu:
- Vaksinasi
- Pencegahan proses transmisi pathogen
- Mencegah factor-faktor yang dapat menimbulkan aspirasi
- Mengurangi penggunaan antibiotic yang tidak perlu
- Mempertahankan keasaman lambung
- Sterilisasi yang optimal terutama pada perawatan pra dan post
operasi.

133
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

31. DEMAM BERDARAH DENGUE

DIAGNOSIS
Patokan diagnosis DBD (WHO 1975) berdasarkan gejala klinis dan
laboratorium.
Untuk mendiagnosis DBD ditetap menurut WHO terdiri dari :
Gejala Klinis :
1. Demam tinggi mendadak 2 – 7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak – tidak uji torniqut positif dan
salah satu bentuk lain yakni perdarahan spontan (purpura, petechiae,
epistaksis, perdarahan gusi hematemesis dan melena ).
3. Pembesaran hati.
4. Renjatan yang ditandai olrh nadi lemah, sepat disertai tekanan nadi
menurun (menjadi 20 mmhg atau kurang) tekanan nadi menurun
tekanan sistole menurun sampai 80 mmhg atau kurang disertai kulit yang
teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki,
pemderita menjadi gelisah, timbul sianosis disekitar mulut.

LABORATORIUM
1. Trombositoponia (100.000mm3 atau kurang)
2. Nilai hematokrit meningkat 20 % atau dibandingkan dengan nilai
hematokrit pada masa konvalesen.
Dua kriteria ditambah serta kriteria laboratorium sudah cukup untuk
mendiagnosis DBD.

DERAJAT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


Derajat penyakit DBD menurut WHO
Derajat I : Demam disertai gejala tidak klinis dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquit positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau
perdarahan lain.

134
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan


lembab dan dingin serta penderita menjadi gelisah.
Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan
tekanan darah yang tidak dapat diukur.

DIAGNOSA BANDING
1. Chikungunya haemoragic Fever (CHF)
2. Idiopatic Trombositopenia

KOMPLIKASI
1. Perdarahan gastrointestinal
2. Encephalopati
3. DIC
4. Efusi pleura

PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan.
Penatalaksaan DBD terdiri dari
1. Penggantian cairan
2. Pemberian obat-obatan : - obat – obat simptomatik (antipriratik)
- Antibiotik (untuk profilaksis)
3. Perawatan

TATALAKSANA KASUS DBD GRADE II

CAIRAN AWAL

135
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

RL/NaCl 0,9% RLD5/nAcL + 6 – 7 ML / KG bb / jam

Monitor tanda vital / nilai Ht, trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada Perbaikan

- Tidak gelisah - gelisah


- Nadi kuat - Distres pernapasan
- TD stabil - Frekwensi nadi rendah
- Diuresi cukup - Ht tetap tinggi / naik
- Ht turun (2 x periksa) - TD menurun / tidak teratur
- Diuresis kurang

Tetes dan diturunkan tetesan dinaikkan


perburukan
menjadi menjadi

5 ml / kg BB / jam 10 ml / kg BB / jam

Perbaikan Tidak adaPerbaikan

Tetesan diturunkan Tetesan dinaikkan menjadi


Menjadi 3 ml/kg BB/jam 15 ml / kg BB / jam
Distres pernafasan
Ht turun
Ht naik
Tranfusi darah

segar 10 ml / kg BB
Koloid 20 – 30 cc / kg BB

32. PERTUSSIS

PENATALAKSANAAN
Penderita akan dirawat di rumah sakit jika termasuk dalam kategori
penyakit berat. Penderita sebaiknya ditempatkan di kamar yang tenang karena
keributan dapat merangsang serangan batuk. Dapat dilakukan pula pengisapan
lendir dari tenggorokan dan pada kasus yang berat, oksigen dapat diberikan

136
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

langsung ke paru-paru melalui selang yang dimasukkan ke dalam trakea.


Antibiotik semacam Azithromycin, Erythromycin atau Trimethroprim-
Sulfamethoxazole akan sangat efektif dalam melawan pertussis. Beri pasien
Erythromycin oral sebanyak 50 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam 4 dosis selama
10 hari. Erythromycin akan menurunkan periode infeksi dan juga
menyembuhkan pertussis bila diberikan dalam stadium kataralis. Oksigen bisa
dijadikan opsi pada penderita distress pernapasan akut/kronis. Kodein juga
dapat diberikan bila terdapat batuk-batuk yang sangat keras dan hebat
sedangkan luminal dapat digunakan sebagai sedatif.

PENCEGAHAN
Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi secara rutin. Biasanya,
vaksinasi pertussis dikombinasikan dengan vaksin lainnya dengan tingkat
kekuatan yang berbeda beda seperti difteri, tetanus, dan acellular pertussis
(DTaP). Di AS vaksin booster yang mengandung dosis yang lebih rendah dari
vaksin difteri dan acellular pertussis yang dikombinasikan dengan tetanus
(Tdap) banyak digunakan untuk penderita remaja dan dewasa. Vaksin ini juga
direkomendasikan untuk diberikan setiap 10 tahun sekali pada remaja dan
orang dewasa termasuk orang yang teah berusia lebih dari 65 tahun (CDCP's,
2012).

PROGNOSIS
Untuk remaja dan orang dewasa, prognosis secara umum bersifat baik.
Hal ini membutuhkan waktu beberapa bulan untuk sembuh dari batuk
sepenuhnya. Bagaimanapun, mereka yang memiliki komorbiditas memiliki risiko
yang lebih tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas (Kretsinger, Broder, &
Cortese, 2006)

137

Anda mungkin juga menyukai