Anda di halaman 1dari 92

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Penelitian

Seksualitas manusia merupakan subyek kompleks karena meliputi

berbagai isu, perilaku dan proses, termasuk identitas seksual dan perilaku

seksual, fisiologis, psikologis, sosial, budaya, aspek politik dan spiritual atau

aspek kepercayaan dari seks.1 Dalam banyak hal, tubuh wanita tidak

berbeda dengan pria. Sebagai contoh, pria dan wanita mempunyai jantung,

ginjal, paru-paru, dan bagian tubuh lain yang sama. Namun, mereka berbeda

pada organ seksualnya. Organ seksual inilah yang memungkinkan pria dan

wanita bisa melangsungkan keturunan dan mendapatkan bayi. Dan pada

kenyataannya banyak masalah kesehatan yang timbul dari organ seksual

tersebut.1

Kesehatan seksual memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor

kompleks yang membentuk perilaku seksual manusia. Faktor-faktor ini

mempengaruhi apakah ekspresi seksualitas tersebut mengarah pada

kesehatan seksual dan kesejahteraan atau perilaku seksual tersebut

menyebabkan mereka rentan menderita disfungsi seksual. Menurut World

Health Organization (WHO) kesehatan seksual bukan hanya tidak adanya

1
penyakit, disfungsi atau kelemahan, tetapi menyangkut segala hal tentang

seksualitas yang berkaitan dengan keadaan fisik, emosional, mental, dan

kesejahteraan sosial. 2

Penelitian tentang seksualitas dimulai pada tahun 1950 ketika Masters

dan Johnson menggambarkan anatomi dan fisiologi dari respon seksual

manusia.1 Pada bulan Januari 2010, The American College of Obstetricians

and Gynecologist (ACOG) membentuk satuan tugas untuk membuat

panduan yang berfokus pada disfungsi seksual wanita. Tujuan dari panduan

adalah untuk meningkatkan kesadaran dokter akan disfungsi seksual wanita.

Disfungsi seksual meliputi berbagai hal dari psikologi, fisik, interpersonal dan

isu psikologi. Disfungsi seksual wanita adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan berbagai masalah-masalah seksual seperti rendahnya

keinginan atau minat, berkurangnya gairah, kesulitan orgasme, dan

dispareunia.3

Episiotomi adalah tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan

terpotongnya selaput vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum

rektovaginal, otot-otot, fascia perineum, dan kulit sebelah depan perineum.

Episiotomi dapat menimbulkan resiko mencakup ruptur perineum tingkat 3

dan 4, dan mengakibatkan skin tag, prolaps vagina, rektovagina fistula,

peningkatan kehilangan darah dan haematom, nyeri, edema daerah

2
episiotomi, infeksi, disfungsi seksual, disfungsi anal sfingter, dan

dispareunia.4,5,6

Episiotomi adalah insisi perineum pada waktu melahirkan bayi

merupakan prosedur operasi yang umum dilakukan pada perempuan di

Amerika Serikat. Banyak penelitian yang dilakukan tentang penggunaan

episiotomi sebagai rutinitas. Dalam penelitian prospektif dijumpai kurangnya

konsensus yang digambarkan dengan adanya variasi dalam tingkat

penggunaan mulai dari 13,3% sampai 84,6% dengan rata-rata 51% dari

kelahiran spontan. Variasi penggunaan episiotomi ditentukan oleh norma-

norma profesional lokal, pengalaman dalam pelatihan dan preferensi

individu.2

Episiotomi rutin pernah dianggap ahli kandungan sebagai

perlindungan untuk perineum, dasar panggul, dan cedera janin waktu

melahirkan, namun secara bertahap episiotomi mulai berkurang digunakan

pada era kebidanan modern. Dengan adanya hasil penelitian, para dokter

telah menyadari bahwa kerugian pada ibu lebih besar daripada

keuntungannya. Dengan alasan untuk melindungi panggul, episiotomi sendiri

telah terbukti meningkatkan nyeri perineum postpartum, dispareunia,

kehilangan darah, laserasi sfingter anal, kerusakan rektum, dan inkontinensia

anal. Episiotomi juga tidak mengurangi inkontensia urin dan tidak

meningkatkan hasil luaran neonatal.12

3
Episiotomi, laserasi perineum, penekanan fundus saat melahirkan

merupakan faktor resiko kejadian dispareunia 12-18 bulan pasca

melahirkan.6 Ejegard dkk melaporkan wanita yang di episiotomi memiliki

kejadian dispareunia yang tinggi dan kesulitan lubrikasi dibandingkan dengan

wanita yang melahirkan tanpa episiotomi. Menurut penelitian prospektif

Chang dkk pada 243 wanita di Taiwan menunjukkan bahwa episiotomi

mengakibatkan peningkatan nyeri pada minggu ke 1, 2 dan 6 postpartum,

dan inkontinensia urin pada 3 bulan setelah melahirkan. Dispareunia

mempengaruhi 8-22% dari perempuan selama hidup mereka, membuatnya

menjadi salah satu dari masalah nyeri yang paling umum dalam praktek

ginekologi. Gabungan masalah anatomi, endokrin, patologis, dan faktor

emosional menyulitkan untuk mendiagnosa dan memberikan terapi.6,7,8

Berdasarkan kejadian nyeri pasca episiotomi yang mengakibatkan

gangguan fungsi seksual bervariasi pada sejumlah besar wanita, dan efek

yang secara potensial merugikan yang ditimbulkannya, maka dilakukan

penelitian mengenai fungsi seksual ibu pasca episiotomi.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana fungsi seksual ibu pasca episiotomi diukur dengan Female

Sexual Function Index ?

4
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui fungsi seksual pada wanita pasca episiotomi yang

diukur dengan Female Sexual Function Index.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan umur dengan episiotomi terakhir

terhadap fungsi seksual wanita

2. Untuk mengetahui hubungan lama jarak waktu episiotomi terhadap

fungsi seksual wanita

3. Untuk mengetahui hubungan pelaku episiotomi terhadap fungsi

seksual wanita

4. Untuk mengetahui hubungan jumlah episiotomi terhadap fungsi

seksual wanita

5. Untuk mengetahui skor Female Sexual Function Index berdasarkan

domain

1.4. Manfaat Penelitian.

a. Hasil penelitian ini dapat menjadi data untuk penelitian selanjutnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi

Salah satu kekhawatiran yang mempengaruhi perempuan yang

memilih persalinan sesar adalah ketakutan bahwa persalinan pervaginam

menggganggu fungsi seksualnya setelah melahirkan. Aspek-aspek tertentu

dari fungsi seksual perempuan setelah melahirkan telah dipelajari oleh

banyak peneliti sejak 1960. Sebagian besar penelitian yang ada tidak dapat

membedakan cara persalinan. Selama 3 bulan pertama setelah melahirkan,

banyak wanita mengalami beberapa masalah yang berkaitan dengan fungsi

seksual, seperti dispareunia, penurunan libido, kesulitan mencapai orgasme,

atau kekeringan vagina. Biasanya, masalah ini diselesaikan pada akhir tahun

pertama setelah melahirkan. Ada tiga mekanisme yang dapat mengakibatkan

disfungsi seksual setelah melahirkan yaitu dispareunia, cedera jalan lahir

(pudenda neuropati), dan kesehatan umum ibu secara keseluruhan. Dengan

demikian, berbagai cara persalinan seperti sesar, menggunakan alat atau

persalinan spontan atau episiotomi secara teoritis dapat mempengaruhi

fungsi seksual ibu dengan cara yang berbeda. Namun, tidak jelas kenapa

fungsi seksual ibu dipengaruhi jangka pendek atau jangka panjang. Tingkat

kembalinya aktivitas seksual telah dilaporkan dengan cara persalinan

6
pervaginam atau sesar adalah 6 minggu, 3 bulan atau 2 tahun setelah

melahirkan. Setelah 6 bulan pasca melahirkan perempuan yang melahirkan

tanpa episiotomi dilaporkan memiliki aktivitas seksual lebih baik dibandingkan

dengan episiotomi. Pada 6 bulan pasca persalinan, wanita yang menderita

luka sfingter anal dilaporkan berkurang kemungkinannya untuk kembali ke

aktivitas seksual semula. Prevalensi dispareunia dilaporkan lebih tinggi pada

wanita setelah persalinan pervagina daripada setelah melahirkan sesar pada

3 bulan setelah melahirkan dan pada wanita setelah melahirkan

menggunakan alat daripada setelah melahirkan sesar.9

Setelah melahirkan dapat terjadi dispareunia dan keluhan seksual,

termasuk penurunan libido, kesulitan orgasme, dan lubrikasi vagina

berkurang.45,46 Setelah 6 bulan melahirkan satu dari lima perempuan

dilaporkan dispareunia dan meningkat satu dalam sembilan mengalami

gangguan aktivitas seksual.47,48 Hanya sedikit perempuan yang menyadari

gangguan dari masalah seksual setelah melahirkan. 49 Aktivitas seksual

postpartum dapat juga dipengaruhi oleh perbagai faktor, seperti menyusui,

episiotomi, nyeri, depresi dan kelelahan.50

Dispareunia didefinisikan sebagai nyeri selama hubungan seksual.

Pasien dengan dispareunia mengeluh rasa sakit dan bersifat lokal, atau

mengungkapkan ketidak tertarikan dan ketidak puasan dengan hubungan

seksual yang berasal dari rasa tidak nyaman. Meskipun dispareunia dapat

7
terjadi pada laki-laki dan perempuan tetapi lebih sering terjadi pada wanita

dengan rasa sakit di mulai di beberapa daerah dari permukaan vulva ke

dalam panggul.10

Penggunaan episiotomi telah menurun secara luar biasa sejak 20

tahun yang lalu. Selama tahun 70-an, episiotomi lazim dilakukan hampir

seluruh wanita nullipara. Praktek ini menjadi kontroversi, sejumlah penelitian

telah dilakukan mengenai kontroversi ini. Alasan kepopulerannya karena

dapat mencegah luka yang tidak rapi karena insisi bedah. Luka insisi ini akan

lebih mudah pulih, tapi kepercayaan di masa lalu yang menyatakan nyeri

setelah operasi berkurang dan penyembuhan lebih baik dengan episiotomi

dibandingkan tanpa episiotomi terbukti tidak benar.4

2.2 Prevalensi

Penelitian di Amerika Serikat ditemukan prevalensi disfungsi seksual

pada wanita 43% dan pria 31%.32 Prevalensi disfungsi wanita di Inggris 41%

dan 49% di Brazil.33 Prevalensi yang sangat tinggi dijumpai di Malaysia

51,9%.34 Dari penelitian tersebut dijumpai dua dari sampai tiga dari lima

wanita menderita disfungsi seksual. Disfungsi seksual wanita dapat

diklasifikasikan dalam empat tipe, yaitu kelainan minat seksual, kelainan

gairah seksual, kelainan orgasme, dan kelainan nyeri. Pada penelitian di

Amerika Serikat dijumpai bahwa 64% menderita kelainan minat seksual, 33%

8
menderita orgasme, 31% menderita kelainan gairah seksual, dan 26%

menderita kelainan nyeri.11

Episiotomi merupakan salah satu faktor yang mendukung terjadinya

trauma perineum. Di Inggris lebih dari 35% wanita pernah mengalami trauma

perineum saat melahirkan. Angka rata-rata episiotomi di AS bervariasi antara

20-70 %, hal tersebut tergantung unit pelayanannya. Di Belanda berkisar 8%,

Inggris 14% dan 99% di negara Eropa Timur. Tetapi hanya sekitar 1,7-12%

(2,9-19% pada primipara) yang mengalami ruptur perineum tingkat 3 dan 4.6

2.3 Episiotomi

Episiotomi tidak selalu dilakukan pada persalinan. Meskipun

pengetahuan seputar keuntungan dan kerugian episiotomi berkembang

sangat pesat sampai saat ini namun tingkat episiotomi tetap sangat bervariasi

misalnya 9,7% di Swedia vs 100% di Taiwan. Di Ontario Kanada, tingkat

episiotomi berkisar antara 7% sampai 31%. Menurut American College of

Obstetrician and Gynecologist (ACOG) penggunaan episiotomi secara

terbatas lebih disukai daripada dilakukan secara rutin. Hal ini meliputi indikasi

janin seperti distosia bahu dan presentasi bokong, persalinan dengan

menggunakan forceps atau ekstraksi vakum, posisi oksiput posterior, dan

keadaan-keadaan yang jika tidak dilakukan episiotomi dapat mengakibatkan

ruptur perineum.3 Episiotomi lazim dilakukan pada hampir semua persalinan

9
primigravida, multigravida yang introitus vaginanya kaku dan atau sempit,

pada persalinan prematur atau letak sungsang, dan pada persalinan dengan

tindakan operasi pervaginam seperti ekstraksi vakum atau forceps.

Episiotomi dilakukan dengan tujuan mempercepat persalinan dengan cara

memperlebar jalan lahir lunak, mengendalikan robekan perineum untuk

memudahkan penjahitan dan untuk mencegah pinggir yang tidak rata dimana

penyembuhan luka akan lambat atau terganggu. Kegunaan episiotomi pada

neonatus adalah untuk mempersingkat kala II, yang dapat mencegah asfiksia

janin, trauma tengkorak, perdarahan serebral, dan mental retardasi.4,6

Efek dari episiotomi pada kesehatan perempuan harus menjadi

perhatian utama. Meskipun menurut literatur lebih dari 300 tahun, episiotomi

tidak banyak dilakukan sampai pertengahan abad ke-20 ketika banyak yang

memfokuskan pada wanita hamil di rumah sakit dan keterlibatan medis yang

lebih besar pada proses kelahiran. 6,7

Episiotomi adalah insisi yang dibuat pada vagina dan perineum untuk

memperlebar bagian lunak jalan lahir sekaligus memperpendek jalan lahir.


13
Dengan demikian persalinan dapat lebih cepat dan lancar.

13
Tujuan episiotomi adalah:

1. Mengurangi tekanan terhadap kepala bayi sehingga mengurangi

terjadinya asfiksia akibat kekurangan O2.

10
2. Mengurangi hambatan persalinan oleh perineum, jika elastisitasnya tidak

mendukung proses persalinan.

3. Dapat mempercepat kala pengeluaran kepala sehingga mengurangi

kemungkinan asfiksia.

4. Memperluas dan memperpendek jalan lahir lunak sehingga persalinan

dapat dipercepat.

13
Keuntungan episiotomi:

1. Perlukaan teratur sehingga memudahkan untuk menjahit kembali

2. Luas insisi episiotomi dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.

13
Kerugian episiotomi:

1. Mungkin tidak diperlukan karena elastisitas perineum baik.

2. Timbulnya komplikasi perdarahan, infeksi, dispareunia, libido berkurang

dan haematom lokal.

Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun faktor janin.

14
Indikasi ibu antara lain adalah:

a. Primigravida umumnya

b. Perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan yang lalu

11
c. Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya pada

persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum dan

anak besar

d. Arkus pubis yang sempit

13,14
Indikasi janin antara lain adalah:

a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah

terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin.

b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, letak defleksi, janin besar.

c. Pada keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II seperti

pada gawat janin, tali pusat menumbung.

d. Pada tindakan operasi per vaginam obstetrik

e. Pada distosia yang disebabkan oleh kurangnya elastisitas perineum

Kontra indikasi episiotomi antara lain adalah:

a. Bila persalinan tidak berlangsung pervaginam

b. Bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak seperti

penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang luas pada

vulva dan vagina.

12
2.4 Jenis Episiotomi

Laserasi dinding vagina biasanya longitudinal dan frekuensinya

berhubungan dengan forsep atau vakum ketika melahirkan dan dapat juga

terjadi waktu melahirkan secara spontan. Sering laserasi dinding terjadi

waktu episiotomi. Persingkat kala II dilaporkan merupakan alasan yang

utama dan menimbulkan luka. Laserasi dapat meluas ke perirektal. Jarang

laserasi meluas sampai ke rongga peritoneal. Laserasi biasanya dijahit

dengan menggunakan chromic atau jahitan vicryl dan jika laserasi dalam

dilakukan jahitan secara terputus. Jika ada haematom di incisi dan

evakuasi.51,52

Sayatan episiotomi umumnya menggunakan gunting khusus, tetapi

dapat juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan


14
maka dikenal 4 jenis episiotomi yaitu:

a. Episiotomi medialis.

Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah

tetapi tidak sampai mengenai serabut sfingter ani.

Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah:

 Perdarahan yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena

merupakan daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah.

13
 Sayatan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan kembali

lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan.

Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perinei tingkat III inkomplet

(laserasi m.sfingter ani) atau komplet (laserasi dinding rektum).

b. Episiotomi mediolateralis

Sayatan disini dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke

arah belakang dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan

ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya.

Panjang sayatan kira-kira 4 cm. Sayatan disini sengaja dilakukan

menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptura perinei tingkat III.

Perdarahan luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang

banyak pembuluh darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga

penjahitan luka lebih sukar. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa

sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris.

c. Episiotomi lateralis

Sayatan disini dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira jam 3 atau 9

menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak dilakukan

lagi, oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka sayatan dapat

melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna,

14
sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut

yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.

d. Insisi Schuchardt.

Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi

sayatannya melengkung ke arah bawah lateral, melingkari rektum, serta

sayatannya lebih lebar.

13
Teknik episiotomi yang banyak dilakukan adalah:

1. Episiotomi medialis

2. Episiotomi mediolateralis

Menurut Unzila dkk gabungan vakum ekstraksi dengan episiotomi

dapat menurunkan resiko trauma perineum dan trauma rektum. 53, 54

13
Tabel 1. Keuntungan Dan Kerugian Teknik Episiotomi

SIFAT KHAS TIPE EPISIOTOMI


MEDIALIS MEDIOLATERALIS
Pelaksanaan Mudah Agak Sulit
Penjahitan Kembali Mudah Agak Sulit, Perlu
Adaptasi Anatomis Yang
Terbaik
Kegagalan Sembuh Jarang Sering Terjadi
Rasa Sakit Ringan Sedang Sampai Berat
Hasil Sembuh Sangat Baik Kurang Baik
Kehilangan Darah Minimal Cukup Banyak
Dispareunia Jarang Terjadi Sering Terjadi
Perluasan Ruptur Biasa Terjadi ke Arah Jarang Karena
Sfingter dan Rektum Terkendali Lukanya

15
2.5 Fungsi Seksual Wanita

Fungsi seksual berhubungan dengan fase tertentu dari siklus respon

seksual. Fase seksual meliputi fase inisiasi, arousal, orgasme dan resolusi.

Fungsi seksual adalah berupa gejala (biogenik) atau gejala yang

bermanifestasi dari konflik intrapsikis/intrapersonal (psikogenik) atau

kombinasi dari kedua faktor tersebut. Fungsi seksual dapat terganggu oleh

stres dalam tiap bentuknya, gangguan emosional dan ketidaktahuan akan

fungsi dan fisiologi seksual.29

Beberapa literatur menerangkan bahwa kortisol dan glukokortikoid

disekresi atas respon dari stimulator tunggal yaitu ACTH dari hipofisis

anterior. ACT (adedenocorticotropic hormone) sendiri disekresikan di bawah

kontrol CRH (Corticotropin-releasing hormone) dari hypothalamus. Sistem

saraf pusat yang memegang kendali respon glukokortikoid, hal ini merupakan

contoh keterlibatan yang erat antara kegelisahan dengan sistem endokrin.

Testosteron yang tinggi akan menempati reseptor estradiol, FSH dan LH di

folikel ovarium sehingga folikel tersebut mengalami atresia. Temuan kadar

estradiol yang lebih rendah pada penderita depresi mempunyai implikasi

terhadap pemahaman kita tentang gangguan mood pada wanita. 30,31,32

Kesehatan seksual didefinisikan WHO sebagai integrasi somatik,

emosional, intelektual, dan aspek sosial dengan cara yang positif menambah

dan kemudian meningkatkan kepribadian, komunikasi, dan cinta. Respon

16
seksual wanita sangat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor

termasuk interaksi yang kompleks dari fisiologis, psikologis, dan komponen

interpersonal. Meskipun pengetahuan anatomi panggul perempuan makin

bertambah dan pemahaman terkini dari neurobiologi dan farmakologi dari

respons seksual untuk menentukan respon seksual yang normal pada

perempuan sangat menantang dan kontroversial. Secara tradisional, siklus

respon seksual wanita didasarkan pada model linier yang diusulkan oleh

Masters dan Johnson pada tahun 1960. Model ini menggambarkan empat

fase yaitu kegembiraan, plateau, orgasme, dan resolusi, yang masing-masing

berhubungan dengan respon genital dan respon ekstragenital. Meskipun

model Masters dan Johnson memberikan pengaruh yang luar biasa, ada

beberapa keterbatasan dan kritikan. Pertama, model ini gagal untuk

menjelaskan pola yang sangat variabel untuk melihat respon dari satu wanita

ke wanita yang lain atau setiap respon variabilitas dari satu episode ke

episode lainnya pada wanita yang sama. Kedua, model didominasi berfokus

hanya pada aspek fisiologis respon seksual dan tidak mencerminkan

pentingnya subyektif, psikologis, atau aspek interpersonal dari respon

seksual. Akhirnya, tidak ada indikasi yang diberikan dari pengaruh keinginan

seksual atau libido yang penting pada model tersebut.15

Untuk mengatasi kekurangan ini, sebuah model tiga fase dari respon

seksual diusulkan oleh Helen Singer Kaplan. Menurut model ini, siklus respon

17
seksual dikonseptualisasikan dalam tiga fase penting: keinginan,

kegembiraan, dan orgasme. Tahap pertama dari hasrat/minat seksual dari

model Kaplan terdiri dari fisiologis dan komponen psikologis dari hasrat/minat

seksual atau libido, yang dimediasi oleh otak pada sistem limbik tetapi juga

dipengaruhi hormon yaitu androgen dan faktor psikososial. Tahap

hasrat/minat seksual dianggap menjadi prekursor yang diperlukan untuk

pengembangan kegembiraan dan orgasme selanjutnya pada pria dan

perempuan. Model Kaplan ini digunakan sebagai dasar diagnostik dan

statistik manual dari gangguan mental, edisi 4, klasifikasi disfungsi seksual

wanita.15

Yang terkini dalam upaya untuk mewujudkan kenyataan pengalaman

yang benar dari respons seksual wanita, Basson mengusulkan model

melingkar yang menggabungkan psikologis dan sosial aspek dalam fungsi

seksual perempuan, seperti keintiman emosional dan kepuasan emosional

sebaik hasrat seksual dan kepuasan fisik. Model ini menggabungkan biologis,

psikologis, dan faktor-faktor lain dalam kerangka yang komprehensif. Sebuah

konsep baru yang penting dalam model Basson adalah perasaan gairah

subjektif atau keterlibatan emosional yang tidak selalu berkorelasi dengan

ukuran fisiologis dari permasalahan genital. Hal ini mungkin bagi seorang

wanita untuk mengalami pengalaman vasokongesti seksual yang sehat atau

lubrikasi genital minimal atau tidak ada perasaan gairah seksual atau

18
kegembiraan. Perbedaan lainnya dalam model Basson dari model tradisional

dari respon seksual wanita adalah menyanggah teori sebelumnya yang

menyatakan yang utama dari hasrat seksual wanita yang spontan adalah

orgasme dan resolusi adalah tidak penting dalam siklus respon seksual.

Namun, ada keterbatasan untuk model ini. Pertama, sebagian besar

didasarkan pada pengamatan klinis dan tidak memiliki verifikasi

eksperimental. Selain itu, model ini didasarkan keintiman yang luas dan

mungkin mengecualikan beberapa wanita yang memiliki hasrat/minat dan

gairah seksual yang tidak berhubungan dengan keintiman. Namun demikian,

dengan memasukkan faktor-faktor subyektif dan interpersonal dan dengan

mengenali sifat nonlinear dari pengalaman seksual perempuan. Model

Basson sangat berkontribusi dalam memahami respon seksual wanita.15

2.5.1 Respon Seksual

Sebuah respon seksual yang normal memerlukan integritas anatomi

dan fungsional seluruh sistem limbik otak daripada struktur anatomi tertentu

di dalamnya. Sistem limbik adalah bagian dari apa yang disebut paleo-

korteks, jaringan yang komprehensif yang melibatkan hipotalamus dan

thalamus (baik dalam diencephalon), cingulate gyrus anterior, dan banyak

struktur lobus temporal, termasuk amigdala, badan mammillary, forniks, dan

hippocampus, jenis filogenetis korteks. Bersama dengan lobus pre frontal

19
yang memiliki peran dominan penghambatan atas insting dasar, sistem limbik

sangat penting dalam kedua jenis kelamin untuk inisiasi hasrat seksual dan

fenomena seksual terkait. Fungsinya mengaktifkan fantasi seksual, lamunan

seksual, mimpi erotis, gairah mental seksual, dan kaskade inisiasi

neurovaskular memicu somatik dan respon fungsi genital seksual serta

perilaku sosial. Diperkirakan bahwa amigdala mempertahankan peran

penting sebagai pusat kontrol untuk empat sistem komando emosional dasar

dijelaskan oleh Panksepp yaitu sistem makan-nafsu, kemarahan-mengamuk,

ketakutan-kecemasan dan kepanikan-distres. Semua sistem ini dapat

berinteraksi untuk memodulasi persepsi akhir dari hasrat seksual pusat dan

berkorelasi pada perilaku seksual. Gangguan dari setiap tingkat dari sistem

limbik dapat menyebabkan disfungsi seksual pada kedua jenis kelamin,

khususnya dalam domain hasrat, gairah pusat, dan terutama perilaku seksual

secara sosial.16

Neo korteks semakin meningkat keterlibatannya dalam respon seksual

pada manusia, pertama sebagai target akhir dari input sensorik yang datang

dari alat indera yang berbeda. Bau yang berbeda, selera, kata-kata,

pemandangan atau sentuhan rangsangan dapat mengaktifkan kedua korteks

sensorik yang bersangkutan dan korteks seksual limbik ketika adanya sinyal

kode sebagai seksual. Faktor kognitif juga bermain dalam mengevaluasi

20
stimulus seksual dan memodulasi secara bersamaan risiko dan keinginan

sebelum melakukan atau tidak dalam perilaku seksual tertentu. 16

Untuk mengevaluasi disfungsi seksual pada seorang wanita, adalah

penting untuk memiliki pemahaman fungsi seksual perempuan normal.

Pertama sekali model respon seksual wanita dipublikasi oleh Masters dan

Johnson pada tahun 1966, dan adaptasi selanjutnya dilakukan oleh Kaplan

pada tahun 1979. Model ini kemudian dikenal sebagai Model Linear yang

menunjukkan bahwa pada wanita hasrat seksual menyebabkan gairah yang

mengarah ke orgasme yang diikuti dengan periode resolusi (gambar 1).

Model ini tidak memperhitungkan banyak faktor yang melibatkan seksual

wanita hanya bergantung pada spontanitas dari hasrat seksual yang tidak

selalu hadir.3

Gambar 1. Model Linear3

21
Respon seks yang normal merupakan fenomena biologis alami

dengan stimulasi sensorik menyebabkan peningkatan aliran darah perifer dan

vasokontriksi. Dengan stimulasi yang terus menerus mengakibatkan

peningkatan ketegangan otot dasar panggul dan meningkatkan vasokontriksi

sampai terjadinya fase "plateau" yang menyebabkan orgasme, merupakan

perubahan fisik yang jelas pada wanita. Selama orgasme ada perubahan di

otak, kontraksi otot genitor panggul yang luas dan peningkatan cardiac

output. Resolusi mengikuti orgasme dengan kembali ke keadaan tidak

dirangsang. Komponen penting dari respon seksual tergantung pada fungsi

yang adekuat dan interaksi Milieux hormon, saraf, pembuluh darah, arteri,

dan otot genitor panggul.17

Model berikut dari respon seksual wanita menggabungkan kebutuhan

keintiman emosional wanita dan peran faktor psikologis dalam respon

seksual. Dalam hal ini diperlihatkan pada (gambar 2), Pengalaman seksual

yang baik menyebabkan baiknya emosional keintiman antara seorang wanita

dan pasangannya. Pengalaman yang baik berfungsi untuk meningkatkan

penerimaan kearah rangsangan-rangsangan seksual dan memungkinkan

hasrat seksual melanjutkannya ke siklus seksual. Model ini menunjukkan

respon seksual pada wanita dapat dipengaruhi dibanyak tempat.

Pengalaman yang jelek, baik emosi atau fisik dapat menyebabkan penurunan

22
hasrat dan ketidakmampuan bagi wanita untuk resposif secara seksual

dengan pasangannya saat ini atau mungkin untuk saat ke depannya.3

Gambar 2. Keintiman berbasis siklus reaksi seksual perempuan3

Model berikut merupakan respon seksual pada wanita yang

menggabungkan dua model sebelumnya dengan memperhitungkan

keinginan spontan dan keintiman emosional. Dalam model ini, hasrat seksual

spontan, dapat terjadi karena berbagai alasan seperti awal dari sebuah

hubungan baru atau tidak adanya pasangan dalam waktu yang lama, dapat

memicu wanita untuk menemukan gairah seksual baik melalui hubungan

seks dengan pasangan atau menstimulasi diri sendiri. Akan tetapi, dorongan

seksual yang spontan tidak selalu sering terjadi dan tidak berarti (terutama

23
dihubungan jangka panjang). Kurangnya dorongan seksual spontan tidak

dianggap sebagai disfungsi seksual.3

Kepuasan seksual dan tidak orgasme tampaknya menjadi fokus pada

beberapa wanita. Seorang wanita memulai respon pengalaman seksual dari

satu titik dari netralitas seksual relatif tetapi dengan tujuan keintiman

emosional dengan pasangannya, dia mungkin mencari atau menerima

rangsangan seksual. Tujuan aktivitas seksual mungkin kompleks dan tidak

hanya untuk kepuasan seksual internal. Penerimaan terhadap rangsangan

seksual memungkinkan wanita untuk pindah ke keadaan gairah fisiologis.

Jika pikiran terus menerus memproses rangsangan gairah, hasrat seksual

lebih lanjut dapat mendorong wanita untuk mendapatkan kepuasan seksual

dan orgasme yang dapat mendorong keintiman dan memperkuat seksual

motivasi. Model ini memperkuat gagasan bahwa motivasi perempuan dalam

aktivitas seksual adalah kompleks dan bukan merupakan fenomena yang

dibawa dari lahir.17

24
Gambar 3. Model Sirkuler 3

Akhirnya, adanya interaksi antara faktor-faktor organik/fisik dan

fenomena psikososial dapat menghambat atau mempromosikan respon

seksual dikenal sebagai seksual tipping point. Seringkali dilakukan intervensi

dan terapi yang terfokus pada fisiologis dan/atau situasi/faktor-faktor yang

berhubungan untuk meningkatkan fungsi seksual.3

Fungsi biologis dari hubungan seksual adalah masuknya sperma ke

dalam vagina sehingga dapat membuahi sel telur. Penetrasi penis ke vagina

merupakan salah satu bentuk ekspresi seksual. Semua manusia memiliki

dorongan seksual, diawali dengan peningkatan hasrat, terangsang, hingga

orgasme, dan berakhir dengan resolusi. Gambaran perjalanan hasrat hingga

orgasme terlihat seperti anak tangga. 1

25
Orgasme
Pre-orgasme
Rangsangan tinggi
Rangsangan awal
Hasrat

Gambar 4 .Tahapan Stimulasi Rangsangan1

Tahap 1 adalah hasrat tanpa adanya perubahan fisik. Tahap 2, rangsangan

awal, dimulai dari penis mengeras, tetapi tidak cukup keras untuk melakukan

penetrasi, dan pada wanita mulai terjadi lubrikasi. Pada tahap 3 rangsangan

berlanjut hingga ereksi cukup keras untuk melakukan penetrasi dan wanita

cukup lubrikasi dan bagian dalam vagina memanjang dan melebar.

Selanjutnya, tahap 4 adalah proses menuju orgasme. Dan yang terakhir,

tahap 5, adalah orgasme. Menuruni tangga adalah proses untuk kembali ke

keadaan semula (resolusi). 1

Melalui analogi ini, merupakan hal yang normal bagi pria maupun

wanita untuk menghabiskan waktu menaiki dan menuruni beberapa tahapan

dan tidak langsung menuju tahap 5 secara langsung. Kenyataannya, pria dan

wanita sering kali menaiki tangga pada kecepatan yang berbeda. Secara

fisiologis seorang pria pada tahap 3 dapat melakukan penetrasi pada

seorang wanita yang masih berada pada tahap 1, tetapi tidak sebaliknya. 8

26
2.5.2 Disfungsi Seksual Wanita

Gangguan fungsi seksual merupakan ungkapan untuk

menggambarkan variasi gangguan seksual, seperti rendahnya hasrat,

rendahnya gairah, kesulitan orgasme dan dispareunia. Disfungsi seksual di

Amerika 43% dan diperkirakan prevalensinya meningkat pada populasi yang

lebih tinggi.42.43

Walaupun prevalensi disfungsi seksual wanita tinggi, perhatian

pemerintah dan masyarakat masih rendah. Arcos menemukan bahwa

disfungsi seksual wanita merupakan prioritas terendah tetapi dapat

memberikan pengaruh yang besar pada kualitas hidup. 37 Dalam pernikahan,

seksualitas adalah masalah yang penting karena akan menghasilkan

keturunan, rekreasi, relaksasi, dan dimensi institusional.38 Dimensi rekreasi

berarti dijumpai kesenangan karena seks akan mempengaruhi kepuasan

seksual. Program kesehatan reproduksi di Indonesia hanya melayani

program kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, penyakit menular

seksual, dan kesehatan reproduksi. Tidak ada program kesehatan disfungsi

seksual wanita.18

Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa masalah kesehatan

seksual

umumnya terjadi pada periode postpartum. Selama periode postpartum

perempuan memiliki masalah psikologis, fisik dan faktor-faktor sosial budaya

27
yang berdampak pada kualitas hidup dan kesehatan seksual.9 Menurut

penelitian Angga J dkk didapatkan prevalensi disfungsi seksual menurut FSFI

sebesar 15,2% dan persepsi responden sebesar 12,1%. 39,40,41 Terdapat

hubungan bermakna antara usia pernikahan dan frekuensi hubungan seksual

dengan disfungsi seksual. Mayoritas responden yang mempersepsikan

dirinya memiliki disfungsi seksual dan selalu menganggap hal tersebut

sebagai suatu masalah, akan tetapi tidak menjalani terapi.18

Disfungsi seksual wanita secara tradisional terbagi menjadi gangguan

minat/keinginan seksual atau libido, gangguan birahi, nyeri/rasa tidak

nyaman, dan hambatan mencapai puncak atau orgasme. Pada DSM IV

(Diagnostic and Statistic Manual version IV) dari American Phychiatric

Assocation, dan ICD-10 (International Classification of Disease) dari WHO,

disfungsi seksual wanita ini dibagi menjadi empat kategori yaitu gangguan

minat/keinginan seksual (desire disorders), gangguan birahi (arousal

disorder), gangguan orgasme (orgasmic disorder), dan gangguan nyeri

seksual (sexual pain disorder).18

Definisi disfungsi seksual wanita bervariasi tergantung di mana sistem

klasifikasi yang digunakan dan terus menjadi topik yang menarik dan secara

berkala di sempurnakan. Sebelum 1998, kedua sistem klasifikasi utama

adalah World Health Organization’s International Classification of Diseases-

10 (ICD-10) dan American Psychiatric Diagnostik dan Statistik Manual

28
Association of Mental Disorders (DSM-IV). ICD-10 mendefinisikan disfungsi

seksual sebagai berbagai hal yang mengakibatkan seorang individu tidak

dapat berpartisipasi dalam hubungan seksual walaupun dia sudah berusaha.

DSM-IV mendefinisikan disfungsi seksual wanita sebagai gangguan hasrat

seksual dan dalam perubahan psikofisiologis yang menjadi ciri siklus respon

seksual dan ditandai dan kesulitan interpersonal. Perlu dicatat bahwa DSM-

IV mendefinisikan secara khusus yang terbatas pada gangguan kejiwaan dan

tidak termasuk penyebab organik disfungsi seksual.19,25

Tabel 2. Konsensus Internasional Sistem Klasifikasi Untuk Disfungsi


Seksual Wanita.3

GANGGUAN GAIRAH SEKSUAL


Hambatan hasrat seksual yang mengakibatkan rendahnya minat seksual
mengakibatkan kegagalan untuk memulai atau menanggapi keintiman
seksual.
Gangguan Gairah Seksual Hypoaktif keinginan seksual yang rendah yaitu
kurangnya atau tidak adanya fantasi
atau pikiran-pikiran tentang seksual
yang bersifat berulang dan persisten,
atau hilangnya keinginan untuk
melakukan aktivitas seksual.
Gangguan Keengganan Seksual Perasaan tidak suka yang konsisten
dan ekstrim terhadap kontak seksual
atau kegiatan serupa itu.
GANGGUAN HASRAT SEKSUAL
Ketidakmampuan untuk menerima rangsangan seksual yang terjadi secara
persisten, yang diekspresikan dengan hilangnya respon genitalia dan respon
somatik terhadap rangsangan.
Gangguan Hasrat Seksual Genital Tidak ada atau nyata berkurang
perasaan gairah seksual
(kegembiraan seksual dan
kenikmatan seksual) dari setiap jenis
rangsangan seksual. Pelumasan

29
vagina atau tanda-tanda lain dari fisik
respon masih terjadi.
Gangguan Hasrat Seksual Subjektif Keluhan gangguan gairah genital
seksual. Keluhan dapat mencakup
minimal vulva vagina bengkak atau
pelumasan dari semua jenis
rangsangan seksual dan
berkurangnya sensasi seksual dari
membelai genital. Gairah seksual
subyektif masih terjadi dari
rangsangan seksual alat kelamin.
Kelainan Orgasme Kesulitan yang berulang atau
menetap, keterlambatan atau
ketiadaan mencapai orgasme setelah
rangsangan seksual yang cukup dan
gairah seksual yang normal yang
menyebabkan personal distres.
GANGGUAN SEKSUAL NYERI
Dispareunia Nyeri genital berulang atau menetap
terkait dengan hubungan seksual. Hal
ini dapat dibagi nyeri dalam dan nyeri
dangkal.
Vaginismus Kejang dari otot-otot sepertiga bagian
luar vagina yang berulang atau
menetap yang mengganggu
penetrasi vagina yang menyebabkan
kesulitan pribadi.
Gangguan nyeri seksual lainnya Nyeri genital yang berulang atau
menetap disebabkan oleh
rangsangan seksual bukan coitus. Ini
termasuk anatomi dan kondisi
inflamasi.

2.5.3 Etiologi Dispareunia

Absorbsi jahitan yang mencakup kulit dan sub kutikuler mengakibatkan

dispareunia pada 3 bulan setelah melahirkan. Dispareunia membuat nyeri di

permukaan dan nyeri di dalam. Karena lesi kulit berupa scar episiotomi yang

30
mengakibatkan spasme pada superfisial otot pelvik. Luka episiotomi yang

terinfeksi dapat menyebabkan dispareunia. Hal ini diketahui dengan

ditemukan kulit yang bengkak, merah, bernanah, keluar cairan dari luka, atau

nyeri persisten. Jaringan parut mengakibatkan gangguan peregangan vagina.

Dapat dilakukan operasi untuk membuang jaringan tersebut. Biasanya

dilakukan enam bulan setelah melahirkan.8

Perbaikan episiotomi umumnya mudah dengan melakukan

pemeriksaan yang baik, mengidentifikasi tepi jaringan, kemudian menjahit

dengan jahitan yang dapat bertahan setidaknya beberapa minggu. Chromic

catgut adalah benang jahitan episiotomi yang umum digunakan dan

diabsorbsi sekitar 2-3 minggu. Kesalahan perbaikan dapat dilakukan dengan

melakukan perbaikan tergesa-gesa, atau tidak memiliki visualisasi yang

cukup baik pada daerah yang akan diperbaiki. Pencahayaan yang buruk,

perdarahan yang berlebihan, target yang bergerak, atau dalam beberapa

kasus pasien tidak kooperatif sehingga bisa membuat sulit memperbaiki

daerah episiotomi. Jika daerah yang luka tidak didekatkan dengan benar,

atau bahkan jika jahitan sangat tertarik maka tepi luka tidak dapat sembuh

dengan benar. Pada beberapa wanita pada saat sembuh dapat membentuk

jaringan granulasi, yang dapat membuat perdarahan bercak dan nyeri.

Biasanya terbentuk tepat di posisi jam 6 di bagian bawah vagina, yang dapat

menyebabkan rasa sakit yang hebat ketika memasukkan tampon, jari, atau

31
penis. Sayangnya banyak wanita tidak memberitahukan hal tersebut kepada

dokter mereka. Padahal nyeri episiotomi hampir selalu dapat diperbaiki. Jika

karena fistula, operasi untuk perbaikan dapat memecahkan masalah.

Kompres es, memakai krim, dan mengenakan pakaian longgar dapat

membantu. Pada Ibu yang menyusui dapat menggunakan krim estrogen

dosis rendah, karena menyusui menurunkan jumlah estrogen di jaringan

vagina.28

Persalinan aktif dapat didiagnosis secara akurat ketika dilatasi serviks

mencapai 4 cm atau lebih dengan adanya kontraksi uterus. Begitu ambang

dilatasi serviks tercapai, diharapkan terjadi kemajuan yang normal hingga

proses kelahiran, hal ini bergantung pada paritas dan berlangsung selama 4

sampai 6 jam. Antisipasi kemajuan selama 1 hingga 2 jam kala dua dipantau

untuk memastikan keselamatan janin.4

Bila seseorang ibu bersalin setelah anak lahir mengalami perdarahan,

pertama-tama diduga perdarahan tersebut disebabkan oleh perlukaan jalan

lahir, retensio plasenta atau plasenta lahir tidak lengkap. Perlukaan jalan lahir

dapat terjadi oleh karena kesalahan sewaktu memimpin suatu persalinan,

pada waktu persalinan operatif melalui vagina seperti ekstraksi cunam,

ekstraksi vakum, embriotomi atau trauma akibat alat-alat yang dipakai. Selain

itu perlukaan pada jalan lahir dapat pula terjadi oleh karena memang

disengaja seperti pada tindakan episiotomi. 5

32
Tidak umum nyeri pada tempat episiotomi. Jika pasien mengalami

nyeri berat maka penting untuk memeriksa adanya hematom atau infeksi.

Dua komplikasi dapat meningkatkan tingkatan nyeri. Banyak nyeri yang

berhubungan dengan midline episiotomi akan memberikan respon dengan

analgesik sedang dan menghilang dalam 3-5 hari. Nyeri akan lebih terasa

ketika sedang berjalan.20

Dari pengamatan pada banyak wanita bahwa episode pertama

hubungan seksual setelah persalinan. Hampir 40% dari wanita dispareunia

setelah episiotomi. Dispareunia semakin kuat dengan insisi mediolateral

daripada dengan midline insisi. Dari beberapa penelitian memperlihatkan

bahwa ruptur tingkat tiga dan empat akan memberikan rasa sakit yang makin

besar. Penggunaan material benang dalam penjahitan, dan penggunaan

benang polyglykolic sintetik memperlihatkan terbukanya terlalu cepat ketika

hubungan seksual. Dispareunia juga dihubungkan dengan hubungan kedua

pasangan sebelum dan sesudah melahirkan. Ketika perempuan mengalami

dispareunia harus segera dievaluasi apakah sudah ada sebelumnya atau

setelah episiotomi.20,26

Menurut penelitian Signorello LB dkk menyatakan wanita yang

melahirkan dengan perineum yang intak dibandingkan dengan wanita yang

melahirkan dengan trauma perineum dan menggunakan instrumen obstetrik

33
memiliki faktor yang berhubungan dengan frekuensi dan keparahan dari

dispareunia pasca melahirkan.16

Signorello dkk, melakukan survey terhadap 615 perempuan 6 bulan

pasca partum dan melaporkan bahwa perempuan yang melahirkan dengan

perineum intak mempunyai fungsi seksual yang lebih baik dibandingkan

dengan perempuan yang mengalami trauma perineum. Pada 2.490

perempuan lainnya, Radestad dkk, melaporkan terjadi penundaan sanggama

pada 3 sampai 6 bulan pada perempuan dengan atau tanpa trauma

perineum. Brubaker dkk, melaporkan bahwa perempuan dengan laserasi

sfingter ani saat proses persalinan mengalami penurunan aktivitas seksual

dalam 6 bulan.4

Disfungsi seksual wanita juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor

yang terdiri dari (1) faktor fisiologis, (2) organik atau iatrogenik, dan (3)

psikososial. 1

1. Faktor fisiologis, terdiri dari (a) siklus menstruasi, (b) terjadinya kehamilan,

(c) menopause, dan (d) proses penuaan.

a. Siklus menstruasi

Keadaan yang mungkin adalah amenore (tidak terjadi menstruasi),

dismenore (sakit waktu menstruasi), dan menstruasi yang tidak teratur.

Menstruasi yang timbul dapat disebabkan karena anorexia (pantang

34
terlalu ketat), latihan jasmani yang terlalu berat, dan perdarahan yang

timbul diantara dua daur menstruasi. Perdarahan bisa disebabkan oleh

trauma atau polip atau tumor, endometriosis, kanker endometrium, atau

adanya alat IUD (alat kontrasepsi intauterin). Kondisi ini juga bisa

merupakan efek sekunder dari infeksi panggul dan penyakit-penyakit

lokal lainnya, seperti fibroid rahim atau endometriosis, dan pada

keadaan ini antibiotik untuk mengobati infeksi atau pembedahan

mungkin perlu diberikan untuk menyembuhkannya.

b. Kehamilan

Keinginan untuk melakukan hubungan seks pada wanita hamil

berbeda-beda. Sebagian merasa tidak ingin melakukannya pada tiga

bulan pertama kehamilan, kemudian keinginan timbul dan meningkat

pada trimester kedua (bulan ke 4, 5, dan 6), serta menurun lagi pada

tiga bulan terakhir kehamilan, sejalan dengan makin membesarnya

kehamilan. Pada sebagian wanita terjadi penurunan frekuensi

sanggama (aktivitas seks) secara gradual dan perlahan-lahan, sejalan

dengan berkurangnya keinginan, kemampuan, serta kenyamanan

untuk melakukan sanggama.

Perbedaan ini disebabkan baik oleh faktor fisik maupun emosi. Pada

awal kehamilan, rasa mual, pusing, maupun adanya perubahan-

perubahan fisik (membesarnya perut, bertambahnya berat badan,

35
perasaan cepat lelah) membuat wanita kehilangan selera untuk

bermesraan dan bersanggama.

c. Menopause

Pada saat memasuki menopause wanita akan mengalami keadaan

vagina kering. Ini merupakan keadaan yang umum ditemukan sesudah

menopause dan bisa menyebabkan timbulnya kesulitan yang serius

pada waktu berhubungan seksual. Vagina kering disebabkan oleh

menurunnya/hilangnya hormon estrogen. Kehilangan hormon ini

menyebabkan terjadinya atrofi lapisan vagina dan mengurangi

kemampuannya untuk menghantarkan cairan dari jaringan sekitarnya.

Kondisi ini ditolong dengan terapi sulih hormon.

2. Faktor organik atau iatrogenik yang akan:

a. Mempengaruhi respon seksual, contohnya neuropati diabetika

b. Mempengaruhi otonom genital, contohnya vulvektomi

c. Mempengaruhi mobilitas, contohnya cerebrovascular accident

d. Terhambat oleh nyeri, contohnya arthritis, angina

e. Terhambat oleh nyeri genital, contohnya endometritis

f. Terhambat oleh kelelahan atau penyakit kronis, contohnya gagal

ginjal

g. Efek samping pengobatan

h. Kombinasi di atas

36
3. Faktor psikososial, kemungkinan diakibatkan oleh:

a. Kurangnya atau kesalahan informasi mengenai seks

b. Mitos seksual, kepercayaan seksual, perilaku dan nilai-nilai yang

berkembang dalam keluarga, sosial, kultural, dan agama

memberikan pengalaman mengenai kebiasaan seksual yang dapat

diterima seseorang.

c. Masalah komunikasi

Masalah hubungan sehari-hari yang tak terselesaikan mungkin

menyebabkan kemarahan atau rasa bersalah yang berujung

terjadinya hambatan pada hubungan seksual.

d.Faktor presdiposisi dan penyerta

Pengalaman hidup di masa lalu dapat menyebabkan masalah

seksual.

e. Harapan yang tidak realistis dan bertentangan

Masalah dapat muncul ketika salah satu pasangan menginginkan

seks lebih dari yang lainnya atau harapan berlebihan member

tekanan atau ketakutan jika gagal.

2.6 Female Sexual Function Index (FSFI)

Penilaian disfungsi seksual wanita direkomendasikan dievaluasi

melalui interview dari setiap pasangan secara terpisah dan tidak

37
direkomendasikan melalui tes laboratorium. Evaluasi termasuk riwayat

kesehatan dan pengalaman seksual, dengan fokus untuk komorbiditas

psikiatri, seperti depresi atau kecemasan, dan pemeriksaan fisik termasuk

pemeriksaan ginekologi.15,26

Tidak seperti gairah seksual pada laki-laki yang mudah untuk dinilai

dan dievaluasi, gairah pada wanita sering diabaikan dari segi diagnostik.

Disamping karena keadaan ini jarang dikeluhkan pasien, keadaan ini juga

sulit dinilai karena tidak ada instrumen diagnostik untuk menilai secara

empiris. Di samping data yang sedikit, pilihan terapi untuk masalah disfungsi

seksual wanita lebih sedikit dibanding dengan masalah yang sama pada laki-

laki. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian mengenai masalah disfungsi

seksual wanita ini masih terbatas.1,27

Fungsi Indeks Wanita Seksual (FSFI) terdiri dari 19 point yang terdiri

dari enam domain fungsi seksual yaitu Q1-Q2 dikelompokkan ke dalam

domain keinginan. Q3–Q6 dikelompokkan ke dalam domain gairah. Q7-Q10

dikelompokkan ke dalam domain lubrikasi, Q11-Q13 dikelompokkan ke

dalam domain orgasme, Q14-Q16 dikelompokkan ke dalam domain

kepuasan dan Q17-Q19 dikelompokkan ke dalam domain rasa sakit. FSFI

dikembangkan untuk digunakan dalam uji klinis dan penelitian epidemiologi

dari disfungsi seksual pada wanita. FSFI dirancang sebagai kuesioner yang

multidimensi, dengan subskala untuk menilai komponen utama dari fungsi

38
seksual pada wanita, termasuk seksual, gairah keinginan, orgasme, nyeri,

dan kepuasan. 21,22,23

Indeks Fungsi Seksual Wanita adalah suatu instrument multidemensi

berupa kuesioner yang bersifat self-report yang telah teruji validitas dan

reliabilitasnya untuk mengukur fungsi seksual wanita. Kuesioner Indeks

Fungsi Seksual Wanita telah digunakan sejak tahun 1982 di berbagai institusi

pendidikan dan kesehatan khususnya bidang psikiatri secara internasional.

Berdasarkan interpretasi klinik dari Female Sexual Function Index (FSFI).

Index fungsi seksual wanita terdiri dari 6 (enam) struktur yang dapat diukur: 33

1. Hasrat/minat

Hasrat atau nafsu merupakan cerminan dasar psikologis tentang motivasi

dan dorongan yang ditandai oleh khayalan seksual dan keinginan untuk

melakukan aktivitas seksual.

2. Rangsangan

Perangsangan adalah suatu keadaan yang merupakan hasil respon

sensoris terhadap stimulasi seksual dimana selanjutnya menjadi

dorongan timbulnya kesiapan organ-organ seksual melakukan hubungan

seksual.

3. Lubrikasi

Dalam hal ini lubrikasi yang terjadi adalah lubrikasi pada vagina, dimana

lubrikasi ini merupakan proses sekresi mucus pada vagina yang

39
dihasilkan oleh beberapa kelenjar vestibular diantaranya kelenjar bartholin

yang terdapat diantara hymen dan labia minora. Lubrikasi terjadi saat

wanita terstimulasi seksual baik stimulasi yang dilakukan secara fisik

maupun stimulasi psikis. Lubrikasi vagina dipengaruhi oleh: hasrat

seksual yang dipengaruhi psikis, penggunaan obat-obatan atau larutan

pencuci vagina, dehidrasi, menyusui, menopause.

4. Orgasme adalah puncak kenikmatan seksual ditandai dengan pelepasan

ketegangan seksual dan kontraksi ritmik pada otot-otot perineal dan organ

reproduktif pelvis. Pada wanita, orgasme ditandai oleh 3 sampai 15 kali

kontraksi involunter pada sepertiga bagian bawah dan oleh kontraksi

uterus yang kuat dan lama, berjalan dari fundus turun ke serviks. Baik

wanita dan laki-laki mengalami kontraksi involunter pada sfingter internal

dan kesternal. Kontraksi tersebut selama orgasme terjadi dengan interval

0,8 detik. Manifestasi lain adalah gerakan involunter pada kelompok otot-

otot besar, termasuk otot wajah.

5. Kepuasan seksual

Kepuasan seksual dideskripsikan sebagai kemampuan mencapai

orgasme setiap kali melakukan hubungan seksual. Hal ini tercapai saat

keadaan perangsangan maksimal. Kepuasaan seksual dapat mengurai

stress dan dapat meningkatkan kedekatan hubungan emosional dengan

pasangan.

40
6. Nyeri saat berhubungan seksual

Nyeri saat berhubungan seksual (dyspareunia) adalah nyeri saat

melakukan hubungan seksual, baik disebabkan kelainan fisik maupun

psikologis. Dyapareunia dapat digolongkan menjadi 2 tipe nyeri: (1)

Superficial Dyspareunia adalah nyeri yang berasal dari bagian luar dan

dalam vagina, sering berhubungan dengan trauma psikologis. (2). Deep

Dyspareunia adalah nyeri yang berasal saat penestrasi dari penis dan

tempatnya spesifik. Nyeri ini dapat dihindarkan dengan perubahan posisi,

sering disebabkan oleh penyakit-penyakit organik seperti infeksi, tumor

dan endometriosis.

Pengembangan kuesioner mencakup kualitatif dan kuantitatif

penelitian, dengan masing-masing item berdasarkan wawancara kualitatif

pada wanita dengan dan tanpa disfungsi seksual. Penelitian validasi terpisah

telah dilaporkan oleh sejumlah penulis menggunakan sampel independen

dari wanita. Menurut penelitian Markus Wiegel dkk, skor FSFI di bawah cut

off 26,55 memperlihatan disfungsi seksual. 21

2.8 Kerangka Konsep

Wanita Pasca Female Sexual


Episiotomi Function Index (FSFI)

Variabel Variabel
Independent Dependent

41
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan

rancangan potong lintang (cross sectional study).

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di RSUP.H. Adam Malik, RS. dr. Pirngadi,

rumah sakit-rumah sakit jejaring FK USU di Medan. Waktu penelitian

dimulai bulan Oktober 2014 sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.3. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah wanita pasca episiotomi.

3.4 Sampel dan Teknik Sampling

Pengumpulan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling

dimana setiap penderita yang memenuhi kriteria penelitian

dimasukkan dalam penelitian.

42
Rumus :24

n = Zα2PQ
d2

Zα = Nilai batas bawah dari tabel Z yang besarnya tergantung pada

nilai α yang ditentukan untuk nilai α = 0,05  Z = 1,96

P = Proporsi despreunia 40 % (dari kepustakaan) = 0,4

Q = 1- p: 1-0,4 = 0,6

d = ketepatan penelitian 10% (tingkat ketepatan absolut yang

dikehendaki)= 0,1

n = (1,96)2 x 0,4 x 0,6 = 3,8 x 0,4 x 0,6 = 91,2  92


(0,1)2 0,01

Jadi jumlah sampel minimal 92 orang digenapkan 100 orang.

3.5 Instrumen Penelitian

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan kuesioner untuk menilai fungsi seksual ibu

pasca episiotomi yakni Sexual Female Function Scale yang terdiri dari

19 pertanyaan.

43
3.6 Variabel Penelitian

Variabel bebas : ibu pasca episiotomi

Variabel terikat : fungsi seksual ibu pasca episiotomi

3.7. Kriteria Penelitian

3.7.1 Kriteria Inklusi

a. Wanita yang telah dilakukan episiotomi pada saat

melahirkan

b. Bersedia ikut penelitian dengan menandatangani lembar

persetujuan dan mengisi kuesioner secara lengkap.

c. Belum menopause

3.7.2 Kriteria Eksklusi

a. Pasien primipara di bawah 40 hari setelah melahirkan.

b. Tidak memiliki pasangan seksual pada saat ini.

3.8. Prosedur Kerja

a. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan tentang

penelitian yang akan dilakukan dan akan menandatangani lembar

persetujuan.

44
b. Pasien diberikan kuesioner dengan bantuan penjelasan dari

peneliti.

3.9 Alur Penelitian

Wanita Pasca Episiotomi

Kriteria Inklusi

Anamnesis/Fisik

Female Sexual Function Index (FSFI)

Analisa Data

45
3.10 Definisi Operasional

1. Fungsi seksual adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

minat/keinginan seksual (desire), birahi (arousal) dan orgasme

(orgasmic).

2. Female Sexual Function Index atau indeks seksual wanita adalah

skala untuk mengukur fungsi seksual wanita yang terdiri dari hasrat,

rangsangan, lubrikasi, orgasme, kepuasan dan nyeri hubungan

seksual. Total skor FSFI di bawah cut off 26,55 memperlihatan

disfungsi seksual dan total skor FSFI diatas cut off 26,55 tidak

memperlihatkan terjadinya disfungsi seksual.

3. Disfungsi seksual wanita adalah gangguan minat/keinginan seksual

(desire disorders), gangguan birahi (arousal disorder), gangguan

orgasme (orgasmic disorder), dan gangguan nyeri seksual (sexual

pain disorder).

4. Episiotomi adalah insisi pada perineum yang menyebabkan

terpotongnya selaput vagina, cincin selaput dara, jaringan pada

septum rektovaginal, otot-otot, fascia perineum, dan kulit sebelah

depan perineum.

5. Dispareunia adalah nyeri di vagina atau pinggul yang dialami wanita

selama hubungan seksual.

46
6. Umur adalah rentang kehidupan yang dihitung sejak lahir dalam

tahun. Dibagi menjadi menjadi 19-25 tahun, 26-30 tahun, 31-35

tahun, dan 36-40 tahun.

7. Waktu episiotomi adalah rentang waktu dilakukan episiotomi. Dibagi

dalam 3-5 bulan, 6-9 bulan, dan > 9 bulan.

8. Jumlah episiotomi adalah berapa kali dilakukan telah dilakukan

episiotomi. Dibagi dalam 1 kali dan 2 kali

9. Pelaku episiotomi adalah yang melakukan episiotomi. Dibagi yang

dilakukan oleh bidan dan dokter.

3.11 Analisa Data

Data diolah dengan analisis statistik secara komputerisasi dengan

menggunakan program SPSS v.17.

47
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini menggunakan subyek penelitian ibu-ibu pasca

episiotomi yang berjumlah 100 orang. Karakteristik subyek penelitian dapat

dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.1 Karakteristik Wanita Pasca Episiotomi

Karakteristik n %
Umur
- 19 - 25 tahun 43 43
- 26 - 30 tahun 25 25
- 31 - 35 tahun 23 23
- 36 - 40 tahun 9 9
Pendidikan
- SD 1 1
- SMP 9 9
- SMA 73 73
- D3 3 3
- S1 13 13
- S2 1 1
Waktu episiotomi
- 3 - 5 bulan 12 12
- 6 - 9 bulan 23 23
- > 9 bulan 65 65
Jumlah episiotomi
- 1 kali 92 92
- 2 kali 8 8
Pelaku episiotomi
- Bidan 25 25
- Dokter 75 75
Jumlah N = 100 100

48
Pada tabel 4.1 menggambarkan bahwa karakteristik subyek penelitian

berdasarkan usia maka sebagian besar pada kelompok umur 19 - 25 tahun

(43%), diikuti dengan kelompok umur 26 - 30 tahun (25%) dan yang paling

sedikit adalah pada kelompok umur 36 - 40 tahun (9%).

Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pendidikan maka

sebagian besar pendidikan SMA (73%), kemudian S1 (13%), SMP (9%), D3

(3%), S2 (1%), dan SD (1%)

Berdasarkan waktu episiotomi, sebagian besar subyek penelitian

mengalami episiotomi pada waktu >9 bulan yang lalu (65%) dan terendah

adalah 3 - 5 bulan yang lalu (11%) dengan jumlah episiotomi umumnya 1 kali

(92%). Sedangkan pelaku episiotomi yang terbanyak adalah dokter (75%).

Tabel 4.2 Hasil Skoring Kuisioner Indeks Fungsi Seksual Wanita Pasca
Episiotomi Berdasarkan Domain

Domain Mean Minimum – SD


Maximum
Minat (desire) 4,72 2–8 1,86
Birahi (arousal) 9,61 4 – 16 3,54
Lubrikasi (lubrication) 10,24 4 – 15 3,83
Orgasme (orgasm) 8,63 3 – 13 3,66
Kepuasan 8,74 3 – 15 3,66
(satisfaction)
Nyeri (pain) 8,91 3 – 15 4,39

Pada tabel 4.2 di atas menjelaskan bahwa hasil Skoring Kuisioner

Indeks Fungsi Seksual Wanita Pasca Episiotomi Berdasarkan Domain mulai

49
dari tertinggi sampai ke rendah adalah lubrikasi (skor FSFI = 10,24 ± 3,83),

birahi (skor FSFI = 9,61 ± 3,54), nyeri (skor FSFI = 8,91 ± 4,39), kepuasan

(skor FSFI = 8,74 ± 3,66), orgasme (skor FSFI = 8,63 ± 3,66) dan minat (skor

FSFI = 4,72 ± 1,86). Dalam penelitian di Amerika Serikat dijumpai hal yang

sama bahwa kelainan tertinggi pada perempuan yang di episiotomi adalah

gangguan minat seksual 64%.11

Hal ini mungkin diakibatkan wanita mengalami gangguan psikologis

pasca episiotomi berkaitan dengan luka jahitan episiotomi tersebut sehingga

mengurangi minat untuk melakukan hubungan seksual hal ini ditandai

dengan skor domain minat paling rendah (skor FSFI = 4,72 ± 1,86). Sesuai

dengan tahapan stimulasi rangsangan bila rangsangan adekuat maka respon

seksual akan terjadi.1 Saat memulai hubungan seksual terjadi rangsangan

awal, hal ini pada wanita mulai terjadi lubrikasi. Kondisi ini didukung dengan

skor rerata lubrikasi paling tinggi (skor FSFI = 10,24 ± 3,83). Selanjutnya

memasuki tahap 3 rangsangan tinggi, hal ini pada wanita menimbulkan

birahi, pada penilitian ini dengan rerata domain birahi (skor FSFI = 9,61 ±

3,54), keadaan ini mengakibatkan cukup lubrikasi dan bagian dalam vagina

memanjang dan melebar sehingga rasa sakit akan hilang. Skor rerata nyeri

(skor FSFI = 8,91 ± 4,39). Selanjutnya, tahap 4 adalah proses menuju

orgasme. Dan yang terakhir, tahap 5 adalah orgasme, pada penilitian ini

dengan rerata domain orgasme (skor FSFI = 8,63 ± 3,66). Sedangkan

50
kepuasan dari hubungan seksual tersebut pada penilitian ini dengan rerata

domain kepuasan (skor FSFI = 8,74 ± 3,66). Sehingga pada wanita pasca

episiotomi walaupun terjadi penurunan minat tetapi tetap dapat terjadi birahi,

lubrikasi, orgasme dan kepuasan.

Tabel 4.3 Hasil Total Skoring Kuisioner Indeks Fungsi Seksual Wanita
Pasca Episiotomi

Skor n %
< 26,55 32 32
> 26,55 68 68
Total (N) 100 100

Pada tabel 4.3 di atas menggambarkan hasil total skoring indeks

fungsi seksual wanita dengan cut off 26,55 didapatkan bahwa sebagian

besar wanita pasca episiotomi (68%) tetap mengalami fungsi seksual yang

normal dan (32%) yang mengalami gangguan fungsi seksual.

Hasil analisa hubungan karakteristik ibu pasca episiotomi dengan

fungsi seksual berdasarkan skor FSFI dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah

ini.

51
Tabel 4.4 Hubungan Karakteristik Dengan Total Skor FSFI

Nilai p*
Karakteristik Skor Total
< 26,55 > 26,55
Umur
- 19 - 25 tahun 15 (34,9%) 28 (65,1%) 0,59
- 26 - 30 tahun 8 (32,0%) 17 (68,0%)
- 31 - 35 tahun 5 (21,7%) 18 (78,3%)
- 36 - 40 tahun 4 (44,4%) 5 (55,6%)

Waktu episiotomi
- 3 - 5 bulan 10 (83,4%) 2 (16,6%) 0,0001
- 6 - 9 bulan 12 (52,2%) 11 (47,8%)
- > 9 bulan 10 (15,4%) 55 (84,6%)

Jumlah episiotomi
- 1 kali 25 (27,2%) 67 (72,8%) 0,001**
- 2 kali 7 (87,5%) 1 (12,5%)

Pelaku episiotomi
- Bidan 7 (28,0%) 18 (72,0%) 0,621
- Dokter 25 (33,3%) 50 (66,7%)

*Uji Kai kuadrat


**Uji Fisher exact

Berdasarkan tabel 4.4, dilihat bahwa pada tiap-tiap kelompok umur

lebih banyak dijumpai dengan fungsi seksual yang normal. Secara statistik

dengan uji Kai kuadrat didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak ada

hubungan bermakna umur dengan kondisi fungsi seksual pasca episiotomi.

Pada tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa wanita pasca episiotomi

yang mengalami gangguan fungsi seksual lebih banyak pada kelompok yang

melakukan episiotomi 3 - 5 bulan yang lalu, sedangkan pada wanita pasca

52
episiotomi yang fungsi seksualnya normal umumnya dijumpai pada kelompok

yang melakukan episiotomi lebih dari 9 bulan yang lalu. Secara statistik

dengan uji Kai kuadrat didapatkan nilai p<0,05 yang menunjukkan ada

hubungan bermakna waktu episiotomi dengan kondisi fungsi seksual pasca

episiotomi. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan fungsi seksual pasca

episiotomi akan mengalami normal kembali setelah 9 bulan. Dapat

disimpulkan semakin lama waktu berlalu gangguan fungsi seksual pasca

episiotomi akan menghilang.

Berbeda dengan penelitian Lurie dkk yang melaporkan 6 bulan pasca

melahirkan perempuan yang melahirkan tanpa episiotomi dilaporkan memiliki

aktivitas seksual lebih baik dibandingkan dengan episiotomi.9 Dalam

penelitian ini didapatkan perempuan pasca episiotomi mengalami perbaikan

fungsi seksual mulai diatas 5 bulan dan kembali normal fungsi seksualnya

setelah 9 bulan.

Dalam literatur disebutkan bahwa pasca episiotomi jika daerah yang

luka tidak didekatkan dengan benar, atau bahkan jika jahitan sangat tertarik

maka tepi luka tidak dapat sembuh dengan benar. Pada beberapa wanita

pada saat sembuh dapat membentuk jaringan granulasi, yang dapat

membuat perdarahan bercak dan nyeri.28 Proses penyembuhan jaringan

granulasi pada jahitan di perineum berbeda-beda pada setiap wanita yang

dipengaruhi oleh perbagai faktor sehingga wanita pasca episiotomi 3-5 bulan

53
masih mengalami gangguan fungsi seksual. Semakin lama proses

penyembuhan semakin baik sehingga pada kelompok pasca episiotomi yang

melakukan episiotomi lebih dari 9 bulan fungsi seksualnya normal. Sesuai

tabel 4.4 kondisi ini juga didukung oleh dokter dan bidan yang menolong

proses persalinan sudah baik dalam melakukan jahitan episiotomi.

Pada tabel 4.4 menjelaskan bahwa wanita yang dilakukan episiotomi

dengan frekuensi 1 kali lebih banyak yang tetap mempunyai fungsi seksual

normal, sedangkan yang telah melakukan episiotomi 2 kali lebih banyak yang

mengalami penurunan fungsi seksual dan secara statistik dengan uji Fisher

Exact didapatkan nilai p<0,05 yang menunjukkan ada hubungan yang

bermakna jumlah dilakukan episiotomi dengan kondisi fungsi seksual pasca

episiotomi. Hal ini mungkin disebabkan penyembuhan jaringan granulasi

yang diakibatkan episiotomi 2 kali lebih lama daripada episiotomi 1 kali.

Pada tabel 4.4 berdasarkan pelaku episiotomi menunjukkan bahwa

baik oleh bidan maupun dokter keduanya sama-sama lebih banyak dengan

skor FSFI yang normal dan secara statistik dengan uji Kai kuadrat didapatkan

nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna pelaku

episiotomi dengan kondisi fungsi seksual pasca episiotomi. Hal ini

menunjukkan bahwa tenaga kesehatan baik bidan maupun dokter sudah

memberikan pelayanan persalinan yang baik.

54
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Tidak ada kaitan umur dengan fungsi seksual wanita pasca episiotomi.

2. Ada kaitan lama jarak waktu episiotomi dengan fungsi seksual wanita

pasca episiotomi.

3. Tidak ada kaitan pelaku episiotomi dengan fungsi seksual wanita

pasca episiotomi.

4. Ada kaitan jumlah dilakukan episiotomi dengan kondisi fungsi seksual

wanita pasca episiotomi.

5. Skor rerata Female Sexual Function Index berdasarkan domain

berturut-turut mulai dari tertinggi ke rendah yaitu lubrikasi, birahi, nyeri,

kepuasaan, orgasme dan minat.

5.2 Saran

Perlu dilakukan konseling kepada wanita pasca episiotomi bahwa gangguan

fungsi seksual yang dialami setelah episiotomi sifatnya sementara.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Windu S C. Disfungsi Seksual Tinjauan Fisiologis dan Patologis

Terhadap Seksualitas. Yogya: Penerbit Andi, 2009:1-2.

2. Hartmann K, Viswanathan M, Palmieri R, Gartlehner G, Thorp J, Lohr

KN.Outcomes of Routine Episiotomy. JAMA 2005; 293(17): 2141-8.

3. Russel BA, Bachman GA, Chudnoff S, Gandell DL, Katz D, Marcus

BS, et al. Finding Solutions for Female Sexual Dysfunction. New York:

The American Congress of Obstretricians and Gynecologists. 2010; 5-

10.

4. Cuningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC,

Wenstrom KD. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2006: 336-

21.

5. Albar E. Perlukaan Luka Jalan Lahir. dalam: Winknjosastro H,

Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: PT

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010:170-17.

6. Fauzi A. Ruptur Perineum. dalam: Junizaf, Santoso BI,

eds.Uroginekologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Uroginekologi

Indonesia, 2011: 179-4.

7. Chang S R, Chen K H, Lin H H, Caho Y M, Lai Y H. Comparison of

The Effects of Episiotomy and No Episiotomy on Pain, Urinary

56
Incontinence, and Sexual Function 3 Months Postpartum: a

Prospective Follow-up Study. Int J Nurs Stud 2011 Apr;48(4):409-18.

8. Steege JF, Denniz A, Zolnoun. Evaluation and Treatment of

Dispareunia. Obstet Gynecol 2009; 113(5):1124-12.

9. Lurie S, Aizenberg M, Sulema V, Boaz M, Kovo M, Golan A, et al.

Sexual Function After Childbirth by The Mode of Delivery: a

Prospective Study. Arch Gynecol Obstet 2013 feb; 13:2846-4.

10. Heim LJ. Evaluation and Differential Diagnosis of Dispareunia. Am

Fam Physician 2001; 63:1535-44.

11. Suryadi AJ, Angelina, Parlautan A, Putri A, Yuvensia AM, Pratama AN.

Prevalence of Sexual Dysfunction Based on Female Sexual Function

Index and Perception of Newly Bride in Jati Vilage and its Related

Factors. Indones J Obstet Gynecol 2010; 4: 170-4.

12. John JS. Episiotomy and Vaginal Trauma. Obstet Gynecol Clin N Am

2005; 307-14.

13. Manuaba I B G, Manuaba I A C, Manuaba I B G F. Pengantar Kuliah

Obstetri. Edisi I. Jakarta. EGC, 2007; 792-5.

14. Rusda M. Anastesi Infiltrasi Pada Episiotomi. Bagian Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2004

[cited 2013 Jul 12]. Available from:

http//http://library.usu.ac.id/download/fk/obstetri-rusda2.pdf

57
15. Tsai TF, Yeh CH, Hwang TI. Female Sexual Dysfunction: Physiology,

Epidemiology, Classification, Evaluation and Treatment. Urol Sci 2011;

22 (1): 7 -13.

16. Graziottin A, Giraldi A. Anatomy and Physiology of Women’s Sexual

Function. In: Porst H, Buvast J, eds. ISSM (international society of

sexual medicine) standard committee book, standard practice in

sexual medicine. Oxford: Blackwell, 2006: 289-15.

17. Kingsberg SA, Iglesia CB, Kellogg S, Krychman ML. Handbook on

Female Sexual Health and Wellness. USA: Association of

Reproductive Health Professionals, 2009: 10-2.

18. Saraswati MR. Funistera SS. Disfungsi Seksual Pada Wanita

Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. J Penya Dalam 2011 Mei 12; 12

:92-5.

19. Abdool Z, Thakar R, Sultan A H. Postpartum Female Sexual Function:

a Review. Eur J Obstet Gynecol, 2009.

20. Hale RW, Ling FW. Episiotomy Procedure and Repair Techniques.

USA; The American College of Obstetricians and Gynecologists. 2007:

4-10.

21. Wiegel M, Meston C, Rosen R. The Female Sexual Function Index

(FSFI): Cross-Validation and Development of Clinical Cuttoff Scores.

Journal of Sex & Marital Therapy 2005; 1-20.

58
22. Rosen R, Brown C, Heiman J, Leiblum S, Meston C, Shabsigh R, et al.

The Female Sexual Function Index (FSFI): a Multidimensional Self-

Report Instrument for The Assessment of Female Sexual Function. J

Sex Marital Ther 2000; 26 (2): 191-17.

23. Eric PG. Raymond CR. Jessica VB, Meston CM, Broto LA, Wiegel M,

et al. Sexual Desire and The Female Sexual Function Index (FSFI): A

Sexual Desire Cutpoint for Clinical Interpretation of The FSFI in

Women with and Without Hypoactive Sexual Desire Disorder. DOI

2010; 3096-8.

24. Dahlan MS. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam

Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. 3rd ed. Jakarta: Salemba

Medika, 2010; 36-2.

25. Ejegard H, Ryding EL, Sjogren B. Sexuality After Delivery with

Episiotomy: a Long–term Follow-up. Gynecol Obstet Invest 2008;

66(1): 1-7.

26. Konnyu K, Grimshaw J, Moher D. What Are The Maternal and

Newborn Outcomes Associated With Episiotomy. Ottawa: Ottawa

Hospital Research Institute. 2011.

27. Signorello LB, Harlow BL, Chekos AK, Repke JT. Postpartum Sexual

Functioning and its Relationship to Perineal Trauma: a Retrospective

59
Cohort Study of Primiparous Women. Am J Obstet Gynecol 2001 Apr;

184(5): 881-8.

28. Hill D A. Possible Causes and Treatments of Episiotomy Pain.

Department of Obstetrics and Gynecology. Florida Hospital Family Practice

Residency. Orlando, Florida 2011.

29. Kaplan S. Sinopsis psikiatri. Jakarta: EGC, 2002:129-1.

30. Mochtar R. SInopsis obstetri, obstetric operatif, obstetric sosial. Edisi

II. Jakarta; EGC, 1995: 346-27.

31. Winkyosastro H. Kontrasepsi mantap. Dalam: Ilmu kandungan. Edisi

II., Jakarta; EGC, 563-12.

32. Minilaparotomy for Female Sterilization: An Illustrated Guide for

Service Providers. Engender Helath: 2003.

33. Raymond R. Complete FSFI questionare, instructions and scoring

algorithm. Robert Wood Johnson Medical School.2005

34. Ganz PA, Greendale GA. Female sexual desire-beyond testosteron.

JNCI 2007; 99(9): 659-61.

35. Wylie K. Assesment and management of sexual problemsin women. J

R Soc Med 2007; 100: 547-50.

36. Sidi H. Orgasmic dysfunction among women at a primary care setting

in Malaysia. Asia Pac J Public Health. 2008; 2(4): 298-7.

37. Arcos B. Female sexual function and response. JAOA 2004; 104(1):

516-20.

60
38. Hermatz MG, Noxak MA. Marital status and sexual behavior in: Human

sexuality. Harper and Row 1983: 308-37.

39. Laumann EO, Paik A, Rosen RC. Sexual dysfunction in the United

States. JAMA. 1999; 281(6): 537-44.

40. Abdo CHN, Oliveira WM, Moreira ED, Fittipaldi JAS. Prevalence of

sexual dysfunction and correlated conditions in a sample of Brazilian

women-results of the Brazilian study on sexual behavior (BSSB). In J

Import Res 2004; 16(2): 160-6.

41. Mercer CH, Fenton KA, Johnson Am, Wlling K, Macdowall W,

McManus S. Sexual function problems and help seeking behavior in

Briain: national probability sample survey. BMJ 2003; 327: 426-7.

42. Bancroft J, Loftus J, Long JS. Distress about sex: a national survey of

women in heterosexual relationship. Arc Sex Baehav 2003; 32:193-15.

43. Addis IB, Van Den Eeden SK, Wassel-Fyr CL, Vittinghoff E, Brown JS,

Thom DH. Sexual activity and function in middle-aged and older

women. Obstet Gynecol 2006;107:755-64.

44. Barber MD, Visco AG, Wyman JF, Fantl JA, Bump RC. Sexual function

in women with urinary incontinence and pelvic organ prolapsed. Obstet

Gynaecol 2002; 99:281-9.

61
45. Connolly A, Thorp J, Pahel L. Effects of pregnancy and childbirth on

postpartum sexual function: a longitudinal prospective study-Int

Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 2005; 16:263-7.

46. Sleep J, Grant A, Garcia J, Elbourne D, Spencer J, Chalmers I. West

Berkshire perineal management trial. Br Med J (Clin Res Ed)

1984;289:587-90.

47. Glazener C. Sexual function after childbirth: women’s experiences,

persistent morbidity and alck of professional recognition. Br J Obstet

Gynaecol 1997;104:330-5.

48. Klein M, Gauthier R, Jorgensen S, Robbin J, Kaczorowski J, Franco

ED, et al. Relationship of spisiotomy to perineal trauma and morbidity,

sexual dysfunction and pelvic floor relaxation. Am J Obstet Gynecol

1994;171:591-8.

49. Barret G, Pendry E, Peacock J, Victor C, Thakar R, Manyoda I.

Women’s sexual health after childbirth. BJOG 2000;107:186-95.

50. Kumar R, Brant H, Robson K. Childbearing and maternal sexuality: a

prospective survey of 119 primiparae. J Psyhosom Res 1981;25:373-

83.

51. Ecker JL, Tan WM, Bansal RK, et al. Is there a benefit to episiotomy at

operative vaginal delivery? Observations over ten years in a stable

population. Am J Obstet Gynecol 1997;176:411-4.

62
52. Klein MC, Jannsen PA, Mac William L, et al. Determinants of vaginal-

perineal integrity and pelvic floor function in childbirth. Am J Obstet

Gynecol 1997;176:403-10.

53. Unzilla A, Errol R,Ali, Norwitz. Vacuum-Assisted Vaginal Delivery.

Department of Obstetrics, Gynecology & Reproductive Sciences. Yale

University School of Medicine. New Haven; Vol. 2(1). 2009.

54. Robinson JN, Norwitz ER, Cohen AP, et al. Episiotomy, operative

vaginal delivery, and significant perinatal trauma in nulliparous women.

Am J Obstet Gynecol. 1999;181: 1180-1184.

63
Lampiran 1

FORMULIR PENELITIAN

No Sampel :
No RM :
Rumah Sakit :
Nama :
Tpt / Tgl Lahir : ………………… Umur :
Suku :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
TB/BB /BMI :
Nama Suami :
Tpt / Tgl Lahir : ………………… Umur :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Suku :
Agama :
Riwayat BOH :

Riwayat Persalinan
N Jenis Aterm/ Penolong Tempat BBL Umur/ Sehat/ Episiotomi Vakum/
o Kelamin Preterm Bersalin Tgl Meninggal Forsep
Persalinan

64
Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SUBYEK SETELAH PENJELASAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama :

Umur :

Alamat :

Kepada saya telah diberikan penjelasan mengenai prosedur, tujuan dan

manfaat dari penelitian yang berjudul :

FUNGSI SEKSUAL IBU PASCA EPISIOTOMI DIUKUR DENGAN FEMALE

SEXUAL FUNCTION INDEX DI RSUP H. ADAM MALIK DAN RS.

JEJARING

Dan saya memahaminya, maka saya dengan sadar menyatakan bersedia

untuk ikut dalam penelitian ini. Apabila selama penelitian berlangsung saya

mengundurkan diri maka kepada saya tidak akan dituntut apapun.

Medan,…………………, 20

Peneliti Yang memberikan persetujuan

dr. Muhammad Wahyu Utomo (Ny……………………………)

65
Lampiran 3

FEMALE SEXUAL FUNCTION INDEX

Petunjuk : Pertanyaan-pertanyaan berikut menanyakan tentang perasaan

dan respon seksual Anda dalam 4 minggu belakangan ini. Jawablah sedapat

mungkin pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas dan jujur. Respon Anda

akan dijaga kerahasiaannya. Dalam menjawab pertanyaan berikut tercakup

definisi sebagai berikut :

Aktivitas Seksual melibatkan rasa perhatian, rangsangan awal (foreplay),

merangsang diri sendiri (masturbasi) dan hubungan intim.

Hubungan Intim didefinisikan sebagai penetrasi penis kedalam vagina

Rangsangan Seksual melibatkan situasi seperti rangsangan awal (foreplay)

oleh pasangan, merangsang diri sendiri (masturbasi) atau fantasi Seksual.

Jawablah hanya satu jawaban dari setiap pertanyaan.

Rangsangan Seksual atau ketertarikan adalah perasaan ini mempunyai

pengalaman seksual, perasaan menerima rangsangan seksual dari

pasangan dan berpikir atau berfantasi seksual.

1. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda mempunyai hasrat untuk

melakukan hubungan seksual ?

66
5 - Hampir selalu atau selalu (hampir setiap hari)

4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan)

3 - Kadang-kadang (2 kali dalm sebulan)

2 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam sebulan)

1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali

2. Setelah episiotomi, bagaimana tingkat rangsangan/ketertarikan seksual

Anda ?

5 - Sangat tinggi

4 - Tinggi

3 - Sedang

2 - Rendah

1 - Sangat rendah atau tidak ada

Rangsangan seksual adalah perasaan yang melibatkan aspek fisik dan

mental dari ketertarikan seksual. Hal ini melibatkan perasaan hangat dan

rasa sensitive dari organ genital, lubrikasi dan kontraksi otot vagina

3. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda merasakan rangsangan

seksual selama melakukan hubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

67
5 - Hampir selalu atau selalu

4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan)

3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan)

2 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan)

1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali

4. Setelah episiotomi, bagaimana rata-rata tingkat rangsangan seksual Anda

selama melakukan hubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

5 - Sangat tinggi

4 - Tinggi

3 - Sedang

2 - Rendah

1 - Sangat rendah atau tidak ada sama sekali

5. Setelah episiotomi, seberapa yakin Anda terhadap rangsangan seksual

yang akan terjadi selama Anda melakukan hubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

5 - Keyakinan sangat tinggi

4 - Keyakinan tinggi

3 - Keyakinan sedang

68
2 - Keyakinan rendah

1 - Keyakinan sangat rendah atau tidak ada keyakinan

6. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda merasa puas terhadap

rangsangan seksual selama Anda melakukan hubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

5 - Hampir selalu atau selalu

4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan)

3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan)

2 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan)

1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali

7. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda merasakan vagina Anda basah

saat melakukan hubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

5 - Hampir selalu atau selalu

4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan)

3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan)

2 - Jarang (Kurang dari 2 kali dalam 1 bulan)

1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali

69
8. Setelah episiotomi, seberapa sulit Anda mencapai keadaan vagina yang

basah saat Anda melakukan hubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

1 - Hampir selalu atau selalu

2 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan)

3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan)

4 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan)

5 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali

9. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda berusaha mempertahankan

vagina yang basah sampai Anda selesai melakukan hubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

5 - Hampir selalu atau selalu

4 - Sering (Lebih dari 2 kali dalam 1 bulan)

3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan)

2 - Jarang (Kurang dari 2 kali dalam 1 bulan)

1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali

10. Setelah episiotomi, seberapa sulit Anda mempertahankan vagina yang

basah sampai Anda selesai melakukan hubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

70
1 - Tidak mungkin terjadi

2 - Sangat sulit

3 - Sulit

4 - Agak sulit

5 - Tidak sulit

11. Setelah episiotomi, ketika Anda merasakan rangsangan seksual atau

melakukan hubungan intim, seberapa sering Anda mencapai orgasme

(perasaan mencapai puncak kepuasan)?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

5 - Hampir selalu atau selalu

4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan)

3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan)

2 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan)

1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali

12. Setelah episiotomi, ketika Anda merasakan rangsangan seksual atau

melakukan hubungan intim, seberapa sulit Anda mencapai orgasme

(perasaan mencapai puncak kepuasan) ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

1 - Tidak mungkin terjadi

71
2 - Sangat sulit

3 - Sulit

4 - Agak sulit

5 - Tidak sulit

13. Setelah episiotomi, bagaimana kepuasan Anda dalam mencapai orgasme

saat melakukan hubungan seksual ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

5 - Sangat puas

4 - Cukup puas

3 - Sama saja antara puas dan tidak puas

2 - Tidak puas

1 - Sangat tidak puas

14. Setelah episiotomi, bagaimana kepuasan Anda terhadap kedekatan

emosional (kedekatan perasaan) dengan pasangan selama melakukan

hubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

5 - Sangat puas

4 - Cukup puas

3 - Sama saja antara puas dan tidak puas

72
2 - Tidak puas

1 - Sangat tidak puas

15. Bagaimana kepuasan Anda terhadap hubungan dengan pasangan Anda

5 - Sangat puas

4 - Cukup puas

3 - Sama saja antara puas dan tidak puas

2 - Tidak puas

1 - Sangat tidak puas

16.Setelah episiotomi, bagaimana rasa puas Anda terhadap kehidupan

seksual Anda secara keseluruhan?

5 - Sangat puas

4 - Cukup puas

3 - Sama saja antara puas dan tidak puas

2 - Tidak puas

1 - Sangat tidak puas

17. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda mengalami ketidaknyamanan

atau merasa nyeri saat penetrasi dalam hubungan intim ?

73
0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

1 - Hampir selalu atau selalu

2 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan)

3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan)

4 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan)

5 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali

18. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda mengalami ketidaknyamanan

atau merasa nyeri saat berhubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual

1 - Hampir selalu atau selalu

2 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan)

3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan)

4 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan)

5 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali

19. Setelah episiotomi, bagaimana rata-rata tingkat ketidaknyamanan atau

rasa nyeri saat Anda berhubungan intim ?

0 - Tidak ada melakukan hubungan intim

1 - Sangat tinggi

2 - Tinggi

74
3 - Sedang

4 - Rendah

5 - Sangat rendah atau tidak ada

75
76
77
78
79
80
Lampiran 4

Tabel Induk

Um Wakt Jumla Tem Pertanyaan


N ur Pari Pendi Pekerjaa u h Pelaku pat Vakum/ To
Nama
o (tah tas dikan n Episio Episio Episiotomi Bers Forsep 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 tal
tomi tomi alin 1 2 3 4 5 6 7 8 9
un) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Dumiarti P2 Pegawai 3 1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 1 1
1 Eka 40 A0 SMA PLN tahun 1x Bidan RS - 26
Inda P3 3 3 3 3 1 1 3 3 3 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
2 Rahmawati 27 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 65
P3 Pegawai 4 3 3 3 3 1 3 3 3 1 3 3 5 4 4 4 4 5 3 3
3 Yuli Setia 29 A0 S1 Swasta tahun 1x Bidan RS - 61
Charlin P2 4 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 2 2 1 2 1 1
4 Indah 19 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 25
Ade P2 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 3 5 5
5 Wahyuni 25 A0 SMP IRT tahun 1x Bidan RS - 67
P1 7 1 1 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 2 2 1 1 1
6 Sri Rezeki 32 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 25
P3 2 1 1 1 1 2 2 2 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1
7 Ika Sundari 31 A0 SMA IRT tahun 2x Dokter RS vakum 24
P4 2 3 3 3 3 2 3 1 5 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
8 Lasmaria 33 A0 SMP IRT tahun 1x Bidan RS - 68
P2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
9 Khadijah 35 A0 SMP IRT tahun 1x Dokter RS - 70
1 Sri Eka P2 3 3 4 3 4 3 3 4 3 3 4 3 4 4 3 4 4 5 3 3
0 Sari 42 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 67
1 P1 5 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
1 Supinah 27 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 69
1 Asma Yani P1 5 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 1 2 2 1 2 2 1
2 Hs 19 A0 SMP IRT bulan 1x Dokter RS - 26
Dani
1 Purnama P1 5 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1
3 Sari 36 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 24
1 P3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
4 Aprida 31 A0 S2 PNS tahun 1x Dokter RS - 70
1 Nasri P2 11 2 3 3 3 3 4 3 3 4 3 4 3 4 3 3 4 4 3 3
5 Handayani 22 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 62
1 P1 4 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1
6 Rahmawati 24 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 23
1 Yunita P2 2 3 3 3 3 1 3 3 3 3 4 3 5 4 4 4 4 5 5 3
7 Ariati 21 A0 SMA IRT tahun 1x Bidan RS - 66
1 P1 8 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 3
8 Ema Yani 28 A0 S1 IRT bulan 1x Bidan RS - 68
1 P1 Pegawai 11 2 3 4 3 3 4 3 3 4 3 3 3 4 4 3 3 4 4 3
9 Elisa 22 A0 S1 Swasta bulan 1x Dokter RS - 63

81
2 P2 2 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 1 1 1 2 1 2 1 1 2
0 Raflah 30 A0 SMA IRT tahun 2x Dokter RS - 25
2 P1 6 2 2 2 3 1 2 1 1 1 1 2 1 2 2 1 2 1 2 1
1 Yuli 26 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 30
2 Lilis P2 2 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
2 Tambunan 33 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 69
2 Lailatul P1 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
3 Husna 27 A0 S1 PNS bulan 1x Dokter RS - 70
2 Khairani P2 2 1 2 2 1 1 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2
4 Batu Bara 38 A0 SMA IRT tahun 2x Dokter RS vakum 25
2 Nasri P1 4 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 2 1 1
5 Handayani 22 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 24
2 Putri P2 5 1 1 2 1 1 2 1 1 1 2 2 2 1 2 2 1 1 1 1
6 Wulandari 18 A0 SMA IRT bulan 1x Bidan RS - 26
2 P2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
7 Masdinah 31 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 70
2 P1 5 1 1 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 1 2 2 1 1 2 1
8 Nitawati 24 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 25
2 Miran P2 5 3 3 3 3 2 3 1 3 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
9 Syam 33 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 66
3 P2 6 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
0 Raudah 36 A0 S1 IRT tahun 1x Dokter RS - 69
3 P2 2 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 3 5 5
1 Susanti 23 A0 S1 IRT tahun 1x Dokter RS - 67
3 P3 4 2 2 1 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2 1 2 3 1 3 1
2 Nurmalina 39 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 31
3 P2 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 3 3 5
3 Yanti 22 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 65
3 P2 2 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 3 5 5
4 Sri Yulaeni 26 A0 SMP IRT tahun 1x Dokter RS - 67
3 P3 4 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
5 Sri Mayur 31 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 70
3 P2 2 3 3 3 1 3 3 3 3 1 4 3 5 4 4 4 4 5 5 5
6 Iin Sundari 21 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 66
3 P1 10 3 3 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4 4 3 4 3 3 4 3
7 Irma 21 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 67
3 P3 7 3 3 3 3 2 3 3 3 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
8 Sari 27 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 68
3 P2 5 2 2 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1
9 Hamidah 23 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 25
4 P2 2 Klini 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 3 4 4 5 5 5
0 Duma Sari 24 A0 S1 IRT tahun 1x Bidan k - 69
4 P2 3 Rum 3 3 3 1 2 3 1 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
1 Safriani 32 A0 SMP IRT tahun 1x Bidan ah - 66
4 P1 1 2 3 2 3 3 3 2 2 2 2 3 3 2 2 3 3 3 2 2
2 Yuli 26 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 47
4 P4 6 Klini 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
3 Darliana 34 A0 SMA IRT tahun 1x Bidan k - 69
4 P3 4 Klini 3 3 3 3 1 3 3 3 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
4 Murhayati 37 A0 SMA IRT tahun 1x Bidan k - 67
4 Herlina P2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 2 1 1 1 1 1 2
5 Ginting 32 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS vakum 26

82
4 P1 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 3 5
6 Hazmi 20 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 68
4 P2 4 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5
7 Alvianita 24 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 70
4 P1 3 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 2 1 1 2
8 Sari 27 A0 SMP IRT bulan 1x Dokter RS - 24
4 P2 4 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1 3 1 1 1
9 Painem 24 A0 SMP IRT bulan 1x Dokter RS - 25
5 P3 9 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1
0 Poniyem 34 A0 SMA IRT bulan 2x Dokter RS - 24
5 Darmalawa P2 1 3 4 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 5 4 5 3 3 4
1 ti 38 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 72
5 Tri Diana P1 1 3 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 3 3 4 4 3
2 Sari 27 A0 S1 POLRI tahun 1x Bidan RS - 69
5 P2 Mahasis 2 Klini 3 4 4 3 3 4 3 4 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 3
3 Fransiska 21 A0 SMA wi tahun 1x Bidan k - 68
5 Elida P1 4 1 1 1 2 2 1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4 Fitriani 30 A0 D3 PNS bulan 1x Dokter RS - 24
5 Anisa P3 3 1 2 1 1 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1
5 Amalia 26 A0 SMA IRT tahun 2x Dokter RS vakum 25
5 P3 8 4 3 4 3 3 4 1 5 1 5 4 5 4 4 4 4 2 5 5
6 Duma Sari 34 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 70
5 P1 6 3 3 3 3 2 3 1 5 1 5 3 5 4 1 4 4 5 5 5
7 Sri Astuti 31 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 65
5 P3 Pegawai 3 3 3 3 3 3 3 2 4 2 4 3 5 4 4 4 4 5 5 5
8 Susana 29 A0 D3 Swasta tahun 1x Bidan RS - 69
5 Tengku P2 4 3 3 3 3 2 2 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 4 4 4
9 Ekawati 32 A0 SMA IRT tahun 2x Dokter RS - 60
6 Indah P2 4 3 2 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 4 5 4 4 3 3 3
0 Larasati 29 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 63
6 P1 3 Klini 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 4 4 3
1 Sari Imela 25 A0 SD IRT tahun 1x Bidan k - 69
6 Eva P1 1 3 3 3 3 4 3 4 3 4 4 2 3 3 5 5 3 2 2 3
2 Paulina 24 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 62
6 P1 5 Klini 1 1 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2
3 Melani 23 A0 S1 IRT bulan 1x Bidan k - 25
6 Asri P2 4 Klini 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 4 4 4
4 Mulyani 25 A0 SMP IRT tahun 1x Bidan k - 72
6 Indah P1 4 5 3 4 3 3 4 3 3 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 4
5 Wahyuni 27 A0 S1 IRT tahun 1x Dokter RS - 72
6 P2 3 4 4 4 3 2 3 3 2 2 2 2 2 2 3 3 3 4 2 2
6 Yanti 23 A0 SMA IRT tahun 1x Bidan RS - 52
6 P1 5 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1
7 April 22 A0 SMA IRT bulan 1x Bidan RS - 24
6 P3 1 2 2 2 2 3 2 3 3 2 4 2 4 4 4 4 4 3 3 3
8 Khadijah 22 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 56
6 Dera P1 1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 2 3 4 2 1 3 4 2 2
9 Marlina 25 A0 S1 IRT tahun 1x Dokter RS - 62
7 P1 5 Klini 1 1 1 2 2 2 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1
0 Nurhayah 24 A0 S1 IRT bulan 1x Bidan k - 25
7 Siti P2 4 Klini 1 2 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 1 1 1 1
1 Maimunah 28 A1 S1 IRT bulan 1x Bidan k - 25

83
7 P1 1 2 3 3 3 3 3 4 1 3 4 3 4 3 4 4 4 3 3 3
2 Fransiska 20 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 60
7 P3 2 3 3 3 3 3 4 3 3 3 4 3 4 4 5 4 3 3 2 3
3 Susi 25 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 63
7 P4 1 3 3 4 3 3 4 4 2 4 4 4 4 3 3 4 4 3 3 3
4 Santi 24 A0 SMA PNS tahun 1x Dokter RS - 65
7 P2 1 2 3 4 3 4 3 3 4 5 2 4 3 4 2 3 2 3 3 3
5 Ranti 23 A1 SMA IRT tahun 1x Bidan RS - 60
7 P1 7 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 2 2 3 2 3 3 3 3
6 Sariami 22 A1 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 38
7 Fanny P1 4 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2
7 Sinaga 25 A0 SMA PNS bulan 1x Dokter RS - 24
7 P5 2 3 3 3 3 3 3 1 5 1 4 3 5 4 4 4 4 5 3 5
8 Andriani 35 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 66
7 Jumiati P2 2 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 3 1 1 2 1 1 1
9 Pakpahan 34 A0 D3 IRT tahun 2x Dokter RS - 25
Liana
8 Pratiwi P2 3 3 3 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3 2 3 3 3 3 3
0 Sirait 33 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 62
8 Endang P1 2 4 3 4 4 4 4 3 2 4 4 5 4 4 4 4 3 3 3 3
1 Susanti 30 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 69
8 Crisfani P2 8 1 2 2 2 1 2 3 3 3 3 4 3 2 2 3 5 3 4 3
2 Harfa 27 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 51
8 P1 8 Klini 3 2 2 3 2 3 1 3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2
3 Supiani 35 A0 SMA IRT bulan 1x Bidan k - 42
8 Angelia P1 5 1 1 1 2 1 3 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1
4 Puspita 25 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 25
8 P2 9 2 3 3 3 3 2 2 2 3 2 3 2 3 3 2 2 3 3 1
5 Eviatas 35 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 47

8 P1 3 3 3 3 3 1 3 1 5 1 5 3 5 4 4 4 4 3 5 5
6 Ernawati 33 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 65
8 Dede P2 9 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 2 2 1 1 3
7 Sukma 30 A0 SMA IRT bulan 1x Bidan RS - 26
8 Gabe P2 8 3 4 5 4 3 3 2 3 3 4 3 2 4 2 4 5 3 5 3
8 Pohan 34 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 65
8 P3 2 3 3 4 4 3 4 3 4 3 4 5 4 4 3 4 4 4 3 2
9 Mawar 27 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 68
9 P2 8 4 2 5 4 3 3 3 3 4 5 5 3 3 3 4 3 4 3 2
0 Dhea Putri 22 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 66
9 P1 3 2 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1
1 Suryani 23 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 25
9 P2 5 4 2 4 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3 4 2 2 3
2 Nindya 26 A1 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 62
9 P3 2 Klini 3 1 4 4 5 3 2 3 4 4 3 2 3 3 4 2 3 2 2
3 Riana Sari 23 A0 SMA IRT tahun 1x Bidan k - 57
9 P1 5 1 1 1 1 2 2 2 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2
4 Murniati 21 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 25
9 P2 2 3 3 4 4 2 4 3 4 2 2 3 4 4 3 4 5 2 2 4
5 Mildawati 20 A0 SMA PNS tahun 1x Dokter RS - 62
9 P1 4 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1
6 Chaterine 26 A0 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 25

84
9 P1 7 2 2 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 4 3 4 3 4 3 3
7 Monika 19 A1 SMA IRT bulan 1x Dokter RS - 54
9 P2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 2 2 2 1 1 1 2 1 1
8 Martina 26 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 25
9 Ana P3 2 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 3 1 1 3 1 1 1
9 Septriana 37 A0 SMA PNS tahun 2x Dokter RS vakum 26
1
0 Ita P1 1 3 3 2 4 4 4 3 3 3 3 3 2 2 2 3 5 3 3 4
0 Setyawati 20 A0 SMA IRT tahun 1x Dokter RS - 59

85
Lampiran 5

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN

Kepada Yth.

Ibu yang saya hormati

Nama saya dr. Muhammad Wahyu Utomo, saat ini saya sedang

menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang kebidanan dan

penyakit kandungan (OBGIN) FK-USU. Saya meneliti tentang “Fungsi

seksual pada wanita pasca episiotomi yang diukur dengan Female Sexual

Function Index“.

Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi

seksual pada wanita pasca episiotomi. Sedangkan tujuan khusus adalah

untuk mengetahui hubungan waktu episiotomi terakhir, untuk mengetahui

hubungan jumlah episiotomi, untuk mengetahui hubungan pelaku episiotomi

terhadap fungsi seksual wanita, dan untuk mengetahui Skor Fungsi Seksual

Wanita. Penelitian ini dilakukan dengan cara kuesioner dengan menjawab

pertanyaan.

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dengan digunakan untuk

menilai secara objektif wanita pasca episiotomi yang mengalami keluhan-

86
keluhan disfungsi seksual yang terkait dengan waktu episiotomi terakhir,

jumlah episiotomi, pelaku episiotomi dan Skor Fungsi Seksual Wanita.

Semua data yang ibu berikan saat mengisi lembaran penelitian dan

proses wawancara dan pengisian kuesioner akan saya jamin

kerahasiaannya. Partisipasi ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela dan

tanpa paksaan maupun tekanan dari pihak manapun. Setelah memahami

berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan ibu yang terpilih

sebagai subyek sukarela dalam penelitian ini dapat mengisi lembar

persetujuan turut serta dalam penelitian yang disiapkan.

Terimaksih saya ucapkan kepada ibu yang telah berpartisipasi didalam

penelitian ini. Jika selama menjalani pemeriksaan ini terdapat hal-hal yang

kurang jelas maka ibu dapat menghubungi saya dr. Muhammad Wahyu

Utomo di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RSUP. H. Adam

Malik Medan atau No. HP. 082165086475.

Medan, ……. - …….. - 20

Hormat Saya

dr. Muhammad Wahyu Utomo

87
Lampiran 6

ANALISA STATISTIK

Kel_umur

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 19 - 25 tahun 43 43,0 43,0 43,0

26 - 30 tahun 25 25,0 25,0 68,0

31 - 35 tahun 23 23,0 23,0 91,0

36 - 40 tahun 9 9,0 9,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

Waktu_episiotomi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 3 - 5 bulan 12 12,0 12,0 12,0

6 - 9 bulan 23 23,0 23,0 35,0

> 9 bulan 65 65,0 65,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

Jumlah_Epis

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1x 92 92,0 92,0 92,0

2x 8 8,0 8,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

Penolong

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Bidan 25 25,0 25,0 25,0

Dokter 75 75,0 75,0 100,0


Total 100 100,0 100,0

88
Crosstab

Skor_FSFI

<26,55 >26,55 Total

Kel_umur 19 - 25 tahun Count 15 28 43

% within Kel_umur 34,9% 65,1% 100,0%

26 - 30 tahun Count 8 17 25

% within Kel_umur 32,0% 68,0% 100,0%


31 - 35 tahun Count 5 18 23

% within Kel_umur 21,7% 78,3% 100,0%

36 - 40 tahun Count 4 5 9

% within Kel_umur 44,4% 55,6% 100,0%


Total Count 32 68 100

% within Kel_umur 32,0% 68,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. Point


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided) Probability

Pearson Chi-Square 1,918a 3 ,590 ,617


Likelihood Ratio 1,962 3 ,580 ,617
Fisher's Exact Test 2,008 ,597
Linear-by-Linear Association ,083b 1 ,774 ,834 ,431 ,081
N of Valid Cases 100

a. 1 cells (12,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,88.
b. The standardized statistic is ,287.

89
Waktu_episiotomi * Skor_FSFI
Crosstab

Skor_FSFI

<26,55 >26,55 Total

Waktu_episiotomi 3 - 5 bulan Count 10 2 12

% within Waktu_episiotomi 83,4% 16,6% 100,0%

6 - 9 bulan Count 12 11 23

% within Waktu_episiotomi 52,2% 47,8% 100,0%

> 9 bulan Count 10 55 65

% within Waktu_episiotomi 15,4% 84,6% 100,0%


Total Count 32 68 100

% within Waktu_episiotomi 32,0% 68,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. Point


Value df (2-sided) sided) (1-sided) Probability

Pearson Chi-Square 41,966a 2 ,000 ,000


Likelihood Ratio 41,805 2 ,000 ,000
Fisher's Exact Test 40,262 ,000
Linear-by-Linear Association 36,367b 1 ,000 ,000 ,000 ,000
N of Valid Cases 100

a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,48.
b. The standardized statistic is 6,031.

Jumlah_Epis * Skor_FSFI
Crosstab

Skor_FSFI

<26,55 >26,55 Total

Jumlah_Epis 1x Count 25 67 92

% within Jumlah_Epis 27,2% 72,8% 100,0%

2x Count 7 1 8

% within Jumlah_Epis 87,5% 12,5% 100,0%


Total Count 32 68 100

90
Crosstab

Skor_FSFI

<26,55 >26,55 Total

Jumlah_Epis 1x Count 25 67 92

% within Jumlah_Epis 27,2% 72,8% 100,0%

2x Count 7 1 8

% within Jumlah_Epis 87,5% 12,5% 100,0%


Total Count 32 68 100
% within Jumlah_Epis 32,0% 68,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 12,309a 1 ,000 ,001 ,001


Continuity Correctionb 9,693 1 ,002
Likelihood Ratio 11,709 1 ,001 ,001 ,001
Fisher's Exact Test ,001 ,001
N of Valid Cases 100

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,56.
b. Computed only for a 2x2 table

Penolong * Skor_FSFI
Crosstab

Skor_FSFI

<26,55 >26,55 Total

Penolong Bidan Count 7 18 25

% within Penolong 28,0% 72,0% 100,0%

Dokter Count 25 50 75

% within Penolong 33,3% 66,7% 100,0%


Total Count 32 68 100

% within Penolong 32,0% 68,0% 100,0%

91
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square ,245a 1 ,621 ,805 ,408


Continuity Correctionb ,061 1 ,804
Likelihood Ratio ,249 1 ,618 ,635 ,408
Fisher's Exact Test ,805 ,408
N of Valid Cases 100

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Tindakan * Skor_FSFI
Crosstab

Skor_FSFI

<26,55 >26,55 Total

Tindakan Partus spontan Count 27 68 95

% within Tindakan 28,4% 71,6% 100,0%

vakum Count 5 0 5

% within Tindakan 100,0% ,0% 100,0%


Total Count 32 68 100

% within Tindakan 32,0% 68,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 11,184a 1 ,001 ,003 ,003


Continuity Correctionb 8,137 1 ,004
Likelihood Ratio 11,966 1 ,001 ,003 ,003
Fisher's Exact Test ,003 ,003
N of Valid Cases 100

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,60.
b. Computed only for a 2x2 table

92

Anda mungkin juga menyukai

  • LP SNH
    LP SNH
    Dokumen6 halaman
    LP SNH
    Intan Nur Karimah
    Belum ada peringkat
  • LP SH
    LP SH
    Dokumen5 halaman
    LP SH
    Intan Nur Karimah
    Belum ada peringkat
  • Askep Keluarga HRD
    Askep Keluarga HRD
    Dokumen58 halaman
    Askep Keluarga HRD
    Intan Nur Karimah
    Belum ada peringkat
  • LP BPH 1
    LP BPH 1
    Dokumen15 halaman
    LP BPH 1
    Intan Nur Karimah
    Belum ada peringkat