Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Uni Eropa (European Union) adalah sebuah organisasi antar pemerintahan dan
supranasional yang terdiri dari beberapa negara Eropa. Dengan bergabungnya Kroasia pada
tanggal 1 Juli 2013, negara anggota Uni Eropa sekarang berjumlah 28 negara. Berbeda
dengan regionalisme lainnya di dunia, Uni Eropa dianggap sebagai sebuah regionalism yang
lebih terintegrasi karena memiliki berbagai atribut yang dimiliki oleh negara-negara merdeka
seperti bendera, lagu kebangsaan, tanggal pembentukan, mata uang sendiri, kebijakan luar
negeri maupun kebijakan keamanan yang ditransaksikan dengan negara-negara lain.1

Maka dari itu Uni Eropa berpotensi menjadi contoh bagi berbagai macam integrasi
regional lainnya di dunia internasional. Hal ini dibuktikan juga dengan beberapa pencapaian
yang telah diraih oleh Uni Eropa. Salah satunya adalah nobel perdamaian yang didapatkan
Uni Eropa pada tahun 2012. Thorbjoern Jagland, Presiden Komite Nobel mengatakan “Uni
Eropa selama lebih dari enam dasawarsa berperan besar dalam mewujudkan perdamaian,
rekonsiliasi, demokrasi, dan hak asasi manusia”. Hadiah Nobel Perdamaian ini dianggap
sebagai dorongan moral bagi Uni Eropa dalam mengatasi krisis utang. Panitia Nobel memuji
Uni Eropa, organisasi yang sekarang beranggotakan 28 negara, dalam membangun kembali
kawasan setelah Perang Dunia Kedua.2

Akan tetapi pencapaian – pencapaian tersebut belum bisa membuat Uni Eropa
menjadi sebuah regionalisme yang sempurna. Dinamika di Uni Eropa mengalami pasang
surut, berbagai permasalahan muncul, baik dari luar maupun dari dalam tubuh Uni Eropa itu
sendiri. Penghargaan yang diraih Uni Eropa pada tahun 2012, tidak berarti bisa membuktikan
bahwa Uni Eropa berhasil secara ekonomi. Krisis utang yang diawali oleh negara Yunani
pada tahun 2008 menyebar ke negara anggota Uni Eropa lainnya seperti Irlandia, dan
Portugal.3

1
European Union, Basic Information, http://europa.eu/about-eu/basic- information/symbols/index_en.htm,
(diakses tanggal 8 Agustus 2014).
2
“Uni Eropa Raih Nobel Perdamaian”, BBC, 12 Oktober 2012,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/10/121012 (diakses tanggal 23 November 2013).
3
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Krisis keuangan Eropa: Dampak terhadap perekonomian
Indonesia (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011), 1.

1
1.2. Rumusan Masalah

Inggris merupakan salah satu negara yang berada pada wilayah Eropa. Inggris pun
menjadi salah satu anggota dari Uni Eropa saat itu. Namun melalui referendum yang
dilaksanakan pada Kamis (23/6/2016) waktu setempat, warga Inggris memilih untuk keluar
dari Uni Eropa atau bisa disebut dengan Brexit (Britanian Exit). Ada beberapa penyebab dan
factor yang membuat Inggris memutusakan untuk keluar dari bagian Uni Eropa. Dari
penjelasan tersebut terdapat pertanyaan.

1. Apa itu Brexit (Britanian Exit) ?


2. Apa yang menyebabkan Inggris keluar dari Uni Eropa?
3. Bagaimana dampak global setelah Inggris keluar dari Uni Eropa?

1.3. Tujuan Penilitian

Tulisan bertujuan untuk mengetahui alasan Inggris memilih keluar dari Uni Eropa,
dan mengetahui penyebab dan factor yang membuat Ingrris memilih untuk keluar dari Uni
Eropa. Juga mengetahui dampak yang dihasilkan akibat keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu perspektif yang dikembangkan dan digunakan


dalam studi sosiologi. Sejak abad ke delapan belas, tulisan tentang perspektif ini telah
ditemukan. Giambattista Vico adalah salah satu ilmuan yang memiliki kontribusi pada
perkembangan konstruktivisme. Dalam studi Hubungan Internasional, konstruktivisme
adalah sebuah perspektif yang ditransformasikan oleh para ilmuan Hubungan Internasional
sebagai alat analisis karena adanya ketidakpuasan sebagian para ilmuan Hubungan
Internasional dalam menerima penjelasan perspektif arus utama dalam studi HI.4

Perspektif arus utama seperti realisme, liberalisme, strukturalisme dianggap oleh


konstruktivisme terlalu mengagung – agungkan power sebagai dasar analisis, sehingga alih –
alih berkontribusi pada terciptanya dunia damai, asumsi power yang terkandung dalam
asumsi perspektif arus utama justru seringkali mempengaruhi tingkah laku para pelaku
Hubungan Internasional untuk menjadi lebih agresif dan bersifat konfliktual.5

Dalam konteks ini maka para pemikir Setidaknya terdapat tiga asumsi dasar dari
perspektif konstruktivisme; pertama, setiap tindakan agen berdasarkan kepada ide dan
identitas yang diperoleh dari hasil interaksinya dengan lingkungan sosial. Ide secara
sederhana bisa dipahami sebagai bagaimana suatu agen memandang dan memaknai agen lain.
Sehingga adanya ide mencerminkan identitas atau ciri dari agen tersebut yang
membedakannya dengan agen yang lain. Konstruktivisme beranggapan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh negara (agen) akan berpengaruh terhadap bentuk sistem internasional.

Sebaliknya, sistem internasional tersebut juga akan berpengaruh terhadap perilaku


negara. Kedua, pandangan mengenai sistem internasional yang anarki. Dalam sistem anarki
terdapat interaksi – interaksi antar-agen. Kemudian, dalam interaksi antaragen itu terjadi
sebuah proses yang saling mempengaruhi antaragen sehingga interaksi tersebut memberikan
bentuk terhadap sistem internasional. Hal ini bertentangan dengan paham realisme yang
menyatakan bahwa realita Hubungan Internasional bersifat anarki yang mana anarki tersebut

4
Sugiarto Pramono dan Andi Purwono, Konstruktivisme Dalam Hubungan Internasional: Gagasan Dan Posisi
Teoritik, (Universitas Wahid Hasyim, 2010), 14.
5
Ibid

3
bersifat given. Ketiga, konstruktivisme memfokuskan kajiannya terhadap persoalan mengenai
bagaimana pembentukan ide dan identitas.6

Konsep konstruktivisme tentang struktur sosial sebagaimana dijelaskan oleh


Alexander Wendt (1992), terdiri dari tiga komponen; pengetahuan bersama, sumberdaya
material, dan praktik. Pengetahuan bersama merupakan dimensi pengetahuan yang
terkonstruksi oleh interaksi antara banyak aktor. Ia bersifat intersubjektif dan sangat dinamis.
Pengetahuan bersama itu kemudian menjadi variabel yang turut menata, mengatur, dan
menjadi acuan bagi aktor – aktor dalam bertingkah laku. Sejalan dengan argumentasi tersebut
Jennifer Sterling Folker menulis “constructivism shows that even our most enduring
institutions are based on collective understandings”.7

Dalam pandangan konstruktivisme, agen dan struktur terlibat dalam pemahaman


intersubjektif, bukan hanya agen/subjek saja. Hal tesebut disebabkan oleh nilai, norma,
bahasa, budaya dan ideologi merupakan fenomena sosial yang menciptakan identitas dan
membimbing tindakan para agen. Namun dalam pemahaman intersubjektif perlu diingat
bahwa intersubjektif tidaklah bersifat statis dari waktu ke waktu karena dipengaruhi oleh
perubahan konteks.8

Struktur terbentuk melalui adanya interaksi antar-agen. Seperti halnya dalam kerja
sama internasional, melalui praktek diplomasi, lembaga memenuhi fungsinya yang
merefleksikan pemahaman bersama untuk menyediakan order, menstabilkan ekspektasi aktor,
dan mengelola hubungan kekuasaan. Oleh karena itu, struktur dipandang sebagai sebuah
media bagi agen - agen dalam mendistribusikan ide - ide (ideas) satu sama lain dan
mendorong agen untuk menentukan nilai serta norma yang berlaku dalam struktur tersebut.9

Jika rasionalis-positivis mendoktrinkan bahwa struktur internasional tidak lain


merupakan distribusi kapabilitas material saja, konstruktivis meyakini sebaliknya bahwa
struktur internasional adalah distribusi ide, dan agen – agen bertindak mengikuti pola
persebaran ide tersebut. Struktur sosial yang dijelaskan oleh Alexander Wendt memiliki tiga
elemen; pengetahuan bersama (shared knowledge), sumber daya material (material
resources), dan tindakan – tindakan (practices). Struktur sosial ditentukan oleh adanya

6
Robert Jakson dan George Sorensen, Introduction to International Relations, (New York: Oxford University
Press Inc, 1999), 164 – 167.
7
Jennifer Sterling Folker, Making Sense Of International Relations Theory, (London: Lynne Publisher), 118.
8
Audie Klotz dan Cecelia Lynch, 7 – 11.
9
Ibid, 26 – 27.

4
pemahaman, ekspektasi, atau pengetahuan bersama (shared knowledge). Hal tersebut yang
dikatakan oleh Alexander Wendt membentuk hubugan antar aktor apakah bersifat kooperatif
atau konfliktual.10

Menurut Alexander Wendt, anarki dalam Hubungan Internasional bukanlah sesuatu


yang bersifat given, akan tetapi apa yang terjadi dalam struktur sosial baik dalam struktur
domestik maupun internasional merupakan sebuah konstruksi yang terbentuk melalui
interaksi antar-agen

Identitas akan mempengaruhi interaksi antaragen yang diadopsi sebagai kepentingan


yang bermuara pada rumusan kebijakan negara (practice). Pasca Perang Dunia II, konsep
kepentingan kerap disejajarkan dengan Power. Di mana Power dimaknai sebagai millitary
capability dan interest serta diartikan sebagai ego mutlak dari tujuan keamanan,
kesejahteraan, dan kekuasaan. Konsep ini dikritik oleh Alexander Wendt yang mengatakan
bahwa interest bukan merupakan produk dari kapasitas materi suatu negara yang bersifat
absolut, melainkan sebuah konstruksi dari penyaringan ide yang terbentuk juga karena faktor
identitas negara tersebut.11

Dalam perspektif konstruktivisme bahwa praktik (practice) baik dalam bentuk


kebijakan negara maupun tindakan agen dalam bentuk lain lahir dari interest akibat dari
perbedaan identitas dan ide yang dibangun oleh nilai, norma, agama, ideologi dan sebagainya
yang diyakini para agen yang juga didapatkan dalam interaksinya dalam struktur sosial yang
dapat dilihat melalui meanings dalam interaksi antaragen yang mengandung simbol. Simbol
tersebut antaranya adalah ungkapan – ungkapan yang disampaikan agen.70 Wacana adalah
sebuah practice berupa tindakan agen yang lahir dari sebuah interest.

10
Robert Jackson dan George Sorensen, Introduction to International Relations: Theories and Approaches, fifth
edition (Oxford: Oxford University Press, 2013), 73.
11
Barry Buzan dan Richard Little, Constructivism and International Relation Alexander Wendt and His Crotics
(New York: Routledge 2 Park Square, 2006), 57.

5
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Britanian Exit (Brexit)

Brexit adalah terminologi yang populer belakangan dalam hubungannya dengan


keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE), melalui referendum di Inggris pada 23 Juni 2016.
Referendum ini berkembang fenomenal dalam 6 bulan belakangan. Anggota UE lain
mengantisipasi dengan cemas hasil dan implikasinya secara luas dan dalam jangka panjang.
Sebagian besar mengharapkan Inggris tetap menjadi bagian UE, sebagian lagi menyiapkan
tindakan darurat, dan bahkan balasan, jika Inggris keluar. “Brexit” adalah akronim dari
Britain exit, yang bermakna keluarnya Inggris dari integrasi UE yang sekarang terdiri dari 28
negara. “Brexit” digunakan untuk mengritik dan menyudutkan Brussels, Belgia, markas UE
yang dinilai selama ini menggerogoti kedaulatan Inggris dengan beban-beban regulasinya.

Sebagai organisasi, UE telah didirikan sejak lama, yakni pada tahun 1952, dengan
peran dominan Prancis dan Jerman dalam merintis dan mengonsolidasikannya hingga
menjadi sebuah sistem yang bekerja dengan mekanisme supranasional dan antar
pemerintahan. Dalam beberapa bidang, berbagai keputusan ditetapkan melalui cara
musyawarah-mufakat di antara 28 negara anggotanya. Sebagai konsekuensinya, setiap negara
anggota telah menyerahkan kedaulatannya dan tunduk pada mekanisme bersama, ketentuan
UE. Inggris baru bergabung dengan UE pada 1 Januari tahun 1973. Kelompok pro-“Brexit”
berpendapat Inggris akan lebih baik jika bisa mengatur ekonomi dan imigrasinya sendiri,
sedangkan menurut yang anti-“Brexit,” walaupun bergabung dengan UE, Inggris tidak
mengadopsi seluruhnya idealisme UE, antara lain tidak memberlakukan visa Schengen dan
mata uang Euro. Titik balik menegosiasikan keanggotaanya dalam UE muncul 22 Januari
2013, dalam janji kampanye PM David Cameron dari Partai Konservatif.12

3.2. Penyebab Keluarnya Inggris dari Uni Eropa

Integrasi UE, sejak awal, membutuhkan pengorbanan besar, terutama dalam belanja
ekonomi yang harus dikeluarkan para anggotanya. Juga, dengan Inggris, yang bebannya tidak
hanya harus ditanggung para elit politik, namun juga penduduknya. Salah satu pengorbanan

12
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VIII-12-II-P3DI-Juni-2016-1.pdf

6
terbesar Inggris adalah berkurangnya kedaulatan nasional, yang harus ditransaksikan dengan
kepentingan Eropa secara menyeluruh.

Kedaulatan nasional tergerus dengan dibangunnya entitas supranasional baru, yang


melibatkan negara-negara kecil anggotanya, yang sarat dengan beban ekonomi nasional,
hutang luar negeri, bahkan yang hampir bangkrut, seperti Yunani, dan angka pengangguran
yang besar. Hal ini menyulitkan Inggris untuk melesat dengan potensi ekonominya yang
besar. Kebijakan UE yang terlalu ramah dalam imigrasi mendorong niat Inggris keluar dari
UE.

Hal ini tampak di kalangan mereka yang sangat tidak toleran terhadap orang asing,
dengan berbagai perbedaan latar belakang, seperti kondisi ekonomi, pendidikan, agama, dan
kultur. Dewasa ini terdapat 5,4 juta imigran, sekitar 8,4% dari total penduduk Inggris. Inggris
menjadi penerima imigran terbesar kedua setelah Jerman dengan 7,5 juta imigran atau 9,3%.
Sebanyak 5,23 juta imigran diprediksi membanjiri Inggris sampai tahun 2030. Sikap Brussels
yang mengharuskan para anggotanya berbagi beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke
daratan Eropa telah memaksa London juga harus membuka pintu lebar-lebar atas pengungsi.

Mereka sudah berada di kamp penampungan di perbatasan Prancis, dan siap


memasuki daratan Inggris lewat jalan tol dan KA. Perilaku pengungsi imigran yang beringas,
ditambah lagi dengan biaya dan pengorbanan lebih besar yang harus dikeluarkan Pemerintah
Inggris, telah membuat sebagian elit politik dan rakyat Inggris harus mengambil langkah
drastis dengan referendum pada 23 Juni 2016.13

Pada bulan Juni 2014, majalah Jerman, Der Spiegel, mengutip Perdana Menteri
Inggris David Cameron pada saat resesi pertemuan tingkat tinggi Uni Eropa di Brussels,
Belgia. Cameron menyatakan bahwa Inggris tidak akan menjamin keanggotaannya di UE
terkait dipilihnya mantan Perdana Menteri Luksemburg Jean-Claude Juncker menjadi
Presiden Komisi Eropa. Di mata Cameron, Juncker dianggap condong ke gagasan Federasi
Eropa. Hal ini diprediksi merusak harapan Cameron bahwa UE akan dipimpin reformis yang
bisa memperbaiki hubungan UE dengan Inggris.26 Dari kata “memperbaiki” yang

13
Ibid

7
dilontarkan oleh Cameron, terlihat bahwa adanya hubungan yang kurang harmonis antara
Inggris dengan Uni Eropa.14

Krisis utang yang diawali oleh negara Yunani pada tahun 2008 menyebar ke negara
anggota Uni Eropa lainnya seperti Irlandia, dan Portugal. Krisis ekonomi ini membuat Eropa
memasuki fase – fase sulit. Kondisi perekonomian negara – negara di kawasan Eropa
mendapat tekanan yang berat terutama dari sektor keuangan pemerintah yaitu berupa defisit
anggaran yang relatif melebar dan beban hutang yang meningkat. Krisis keuangan yang
dialami Yunani beserta beberapa negara lapisan pertama memiliki kemungkinan akan
semakin dalam dan dapat menjalar menjadi krisis keuangan seluruh Eropa maupun global.

Hal tersebut terlihat dari kemungkinan gagal bayar (default) negara – negara Eropa
terutama lapisan pertama. Jika Yunani default, maka dampak negatifnya akan dirasakan
langsung oleh banyak negara khususnya negara anggota Uni Eropa. Data dari Bank for
International Settlement (BIS)11 per Oktober 2011, yang dimuat oleh The New York Times
pada 22 Oktober 2011, menyatakan bahwa krisis ekonomi yang dialami oleh negara lapisan
pertama di Uni Eropa meluas ke negara – negara lainnya di Uni Eropa seperti Jerman,
Perancis, Italia, dan Inggris. Tidak hanya ke negara Uni Eropa saja, dampaknya juga
dirasakan oleh Amerika Serikat dan Jepang.15

Inggris adalah salah satu negara yang terkena dampak dari permasalahan tersebut.
Bank of England (BOE) memperingatkan bahwa krisis ekonomi zona Eropa tersebut akan
memberikan resiko pada sistem keuangan Inggris. Dalam Laporan Stabilitas Keuangan, dana
bantuan pinjaman dari UE dan Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 750 miliar Euro
(USD1 triliun) memang digunakan untuk stabilisasi pasar setelah terjadi guncangan akibat
masalah utang Yunani. BOE mengatakan tekanan pasar masih berlanjut dan bisa memberikan
efek negatif terhadap sistem keuangan Inggris.16 Beberapa permasalahan tersebut tentunya
menciptakan ketidaknyamanan kepada pemerintah Inggris.

Dengan paradigma konstruktivisme, peneliti menganalisis bahwa British Exit adalah


sebuah konstruksi sosial yang direpresentasikan oleh aspek ide. Ide dalam hal ini adalah
euroscepticism yang mengkonstruksi sebuah wacana yang dinamakan Brexit. Wacana sendiri

14
“Inggris ancam keluar dari Uni Eropa”, Kompas, http://internasional.kompas.com , (diakses tanggal 8
Agustus 2014
15
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 6 - 7.
16
“Krisis Utang Eropa Bahayakan Inggris”, Okezone, 25 Juni 2010,
http://economy.okezone.com/read/2010/06/25/213/346758/krisis-utang-Eropa-bahayakan- Inggris/large,
(diakses tanggal 10 Desember 2014).

8
adalah sebuah tindakan (practice) yang menimbulkan intersubjektivitas dalam struktur sosial,
yang mana practice itu sendiri lahir dari manifestasi interest.

Menurut Alexander Wendt, anarki dalam Hubungan Internasional bukanlah sesuatu


yang bersifat given, akan tetapi apa yang terjadi dalam struktur sosial baik dalam struktur
domestik maupun internasional merupakan sebuah konstruksi yang terbentuk melalui
interaksi antar-agen. Jadi, Brexit terbentuk dikarenakan adanya interaksi antara Inggris dan
Uni Eropa. Negara merupakan agen sentral yang dapat menggunakan kebijakannya dalam
interaksi antaragen dalam struktur sosial.

Kebijakan negara bersifat sangat mengikat khususnya bagi agen lain yang merupakan
warga negara yang bersangkutan seperti individu maupun kelompok seperti halnya
masyarakat Inggris. Jadi, bagaimanapun perdebatan dan interaksi yang terjadi dalam struktur
sosial Inggris, practice yang terbentuk dari interaksi tersebut ditentukan oleh Perdana Menteri
Inggris yang sedang menjabat sebagai representasi negara.

Hal ini seperti yang dikatakan dalam perspektif konstruktivisme bahwa practice baik
dalam bentuk kebijakan negara maupun tindakan agen dalam bentuk lain lahir dari interest
akibat dari perbedaan identity dan ide yang dibangun oleh nilai, norma, agama, ideologi dan
sebagainya yang diyakini para agen yang juga didapatkan dalam interaksinya dalam struktur
sosial yang dapat dilihat melalui meanings dalam interaksi antaragen yang mengandung
simbol. Simbol tersebut antaranya adalah ungkapan – ungkapan yang disampaikan agen.

Perdana Menteri Inggris David Cameron sebagai representasi negara yang


memunculkan wacana British Exit. Identitas sangat dipengaruhi oleh ide yang dimiliki agen.
Nilai, norma, agama, ideologi dan sebagainya akan membangun identitas dari agen yang
berujung pada munculnya interest dan practice. Dalam practice, pada hakikatnya terjadi
shared idea berupa ide yang bersumber dari beberapa aspek yang membangun identitas agen.

Itulah sebabnya interaksi antaragen terkadang dapat merubah identitas dari salah satu
agen. Artinya ide yang diyakini oleh agen yang mempengaruhi agen lain tersebut berhasil
didistribusikan pada interaksi dalam struktur sosial. Itu pulalah yang menjadi penyebab
kenapa identity dari agen sewaktu-waktu bisa mengalami perubahan. Hal tersebut terbukti
pada pemerintahan new labour (1997 – 2009) yang ingin menjadikan inggris sebagai negara
pro-Eropa. Akan tetapi, ideologi euroskeptis dari kelompok – kelompok oposisi telah

9
mengakar kuat di Inggris dan menyebabkan perubahan identitas menjadi negara pro-Eropa
tidak berlangsung lama.

3.3. Dampak Keluarnya Inggris dari Uni Eropa Bagi Dunia

Anggaran/Ekonomi

Negara anggota Uni Eropa lain harus mengisi setidaknya setengah sejumlah
kekurangan dari hilangnya kontribusi dana Inggris kepada Uni Eropa. Total kontribusi
Inggris untuk anggaran Uni Eropa untuk tahun 2016 adalah 19,4 miliar euro, termasuk
pemotongan tarif dan pajak impor. Inggris menerima sekitar 7 miliar euro dari subsidi
regional dan pertanian. Jerman, negara anggota Uni Eropa terbesar, akan mau tak mau harus
menyediakan uang tunai ekstra untuk menutupi celah ini. Institut Jerman, Ifo, memperkirakan
dana yang diperlukan mencapai 2,5 miliar euro.

UniCredit menyatakan akan terdapat sejumlah kekurangan di zona euro namun akan
dapat teratasi. Sektor perdagangan, keuangan dan faktor ketidakpastian diperkirakan akan
menyebabkan kondisi keuangan yang lebih sulit dan penundaan investasi. Uni Eropa akan
menurunkan perkiraan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,5-1,0 persen dari saat ini yang
sebesar 1,6 persen.

Perdagangan

Negara-negara anggota Uni Eropa mengalami surplus neraca perdagangan sekitar 100
miliar euro dalam perdagangan dengan Inggris. Sementara nilai ekspor Inggris lebih besar 20
miliar euro ketimbang nilai impornya. Kondisi serupa juga berlaku di bidang jasa
keuangannya. Banyak ekonom memperkirakan Brexit akan setidaknya, untuk sementara,
mengurangi pertumbuhan Inggris. Faktor ketidakpastian juga akan memengaruhi permintaan
domestik dan melemahkan mata uang pound sterling. Ini akan berimplikasi terhadap kinerja
ekspor Uni Eropa ke Inggris, yang nilainya mencapai sekitar 2,6 persen dari total PDB Uni
Eropa pada 2014.

Perdana Menteri Inggris David Cameron memutuskan mundur menyusul hasil


referendum yang menyatakan Inggris keluar dari Uni Eropa. (Reuters/Stefan Wermuth)
Diperkirakan terjadi "kejutan dari sisi permintaan" di Inggris yang terkait dengan
kemungkinan tarif impor baru. Pegiat gerakan Brexit menilai Uni Eropa akan ingin
membentuk kesepakatan perdagangan bebas dengan Inggris, meskipun Inggris keluar dari

10
blok itu. Satu-satunya ekspor bidang jasa Uni Eropa yang tak akan berpengaruh adalah sektor
wisata ke Inggris.

Investasi

Inggris merupakan destinasi penanaman modal asing Uni Eropa yang terbesar,
menurut data daro UNCTAD, dengan rata-rata mencapai US$56 miliar per tahun pada
periode 2010-2014. Negara EU lainnya hanya memiliki jumlah penanaman modal kurang
dari jumlah ini. Sekitar 72 persen investor dalam kajian EY di tahun 2015 menyatakan bahwa
akses memasuki pasar tunggal Uni Eropa merupakan faktor utama penanaman modal mereka
di Inggris. Diperkirakan, para investor akan mencari akses dari negara lain jika Inggris tidak
dapat menyediakan pintu masuk ke pasar tunggal Uni Eropa.

Imigrasi

Warga imigran atau ekspatriat akan menjadi kubu yang paling menderita jika Inggris
keluar dari Uni Eropa. Berbagai kebijakan soal imigran di Inggris akan mengalami perubahan
drastis.Jumlah imigran di Inggris tahun 2015 mencapai 333 ribu orang, selalu naik 100 ribu
setiap tahunnya sejak 1998. Usai referendum yang memenangkan "keluar" dari UE, para
ekspatriat Eropa di Inggris terancam dideportasi. Menurut laporan CNN, warga Eropa di
Inggris mengaku resah.

Brexit juga akan mengancam 1,2 juta pekerja imigran di Inggris yang datang dari
negara-negara Eropa Timur. Menurut data Reuters, pada 2014 sebanyak 853 ribu pekerja
imigran Inggris berasal dari Polandia, 175 ribu dari Romanua dan 155 ribu dari
Lithuania.Negara Eropa dengan ekonomi besar lainnya, Jerman, juga diperkirakan akan
kedatangan lebih banyak imigran Uni Eropa dengan keluarnya Inggris.17

Inggris adalah salah satu mitra utama Amerika dalam perdagangan, sehingga
perubahan monumental ini akan menimbulkan ketidakpastian dalam masa depan hubungan
itu, terutama jika Britania Raya mengalami resesi. IMF memperingatkan bahwa Brexit dapat
menurunkan output ekonomi banyak negara, termasuk AS hingga mencapai setengah persen.
Akibatnya, nilai euro atau poundsterling akan terpuruk di bawah dolar. Ini akan menjadi
pukulan kuat bagi eksportir AS.

17
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20160624152859-134-140703/dampak-brexit-bagi-uni-eropa-
dari-ekonomi-hingga-imigrasi/

11
Sementara itu, di luar hubungan ekonomi, Negeri Paman Sam juga patut khawatir
dengan ketidakstabilan politik pasca-Brexit terjadi. Tidak menutup kemungkinan, sejumlah
negara lain akan mengikuti jejak Inggris meninggalkan blok perdagangan terbesar di dunia,
melemahkan Eropa secara keseluruhan termasuk mengancam masa depan NATO. Sementara
di sisi lain, bayang-bayang Rusia mengintai.18

18
http://global.liputan6.com/read/2539483/menguak-alasan-mengapa-inggris-ingin-cerai-dari-uni-eropa

12
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Inggris yang merupakan anggota dari Uni Eropa memilih untuk keluar dari Uni Eropa
karena berbagai penyebab. Pertama, mereka yang menginginkan Brexit terjadi percaya bahwa
jangkauan kekuasaan UE begitu besar hingga berdampak pada kedaulatan Inggris.Kedua,
kelompok pro-Brexit merasa terganggu dengan aturan yang ditetapkan di Brussels, markas
UE, di mana mereka meyakini hal itu mencegah bisnis beroperasi secara efisien. Isu migran
adalah alasan ketiga sekaligus utama yang memicu perdebatan Brexit 'memanas'.

Interaksi yang diciptakan oleh Uni Eropa terhadap Ingrris memunculkan ide dan
gagasan yang membuat kubu Inggris mulai memunculkan sikap tidak percaya terhadap Uni
Eropa. Kebijakan negara merupakan hal yang mengikat bagi warga negara, yang membuat
setiap warga negara harus mematuhi kebijakan yang dibuat oleh negara. Seperti halnya
Inggris, yang membuat referendum untuk keluar dari Uni Eropa maka setiap warganya harus
mengikuti referendum.

Identitas sangat berpengaruh dalam terbentuknya sebuah wacana, yaitu Brexit adalah
hasil dari identitas dan keyakinan yang kuat oleh para agen yang menjadikan wacan Brexit itu
menjadi nyata, dan menyebar melalui pembagian ide antar agen. Membuat kuatnya wacana
tersebut. Hal ini tidak terlepas dari interaksi yang kuat antar agen yaitu. Kuatnya interaksi
antar agen tersebut yang membuat menguatnya wacana tersebut.

Dampak dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa tidak hanya berpengaruh terhadap
keadaan nasional Inggris sendiri, namun dampak itu berpengaruh terhdapa regional dan
global. Aspek ekonomi menjadi aspek yang paling terkena akibat keluarnya Inggris dari Uni
Eropa. Bahkan migrasi dan pengungsi berpengaruh karena keluarnya Inggris. Isu keamanan
pun mendapat perhatian atas keluarnya Inggris.

13
DAFTAR PUSTAKA

Barry Buzan dan Richard Little, Constructivism and International Relation Alexander Wendt
and His Crotics (New York: Routledge 2 Park Square, 2006), 57

Jennifer Sterling Folker, Making Sense Of International Relations Theory, (London: Lynne
Publisher), 118.

Jervis, Robert. Perception and Misperception in International Politics, Princeton, New Jersey:
Princton University Press, 1976.

Robert Jakson dan George Sorensen, Introduction to International Relations, (New York:
Oxford University Press Inc, 1999), 164 – 167.

Sugiarto Pramono dan Andi Purwono, Konstruktivisme Dalam Hubungan Internasional:


Gagasan Dan Posisi Teoritik, (Universitas Wahid Hasyim, 2010), 14.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Krisis keuangan Eropa: Dampak terhadap


perekonomian Indonesia (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011), 1

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/10/121012

http://europa.eu/about-eu/basic-information/symbols/index_en.htm,

http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VIII-12-II-P3DI-Juni-2016-
1.pdf

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20160624152859-134-140703/dampak-brexit-
bagi-uni-eropa-dari-ekonomi-hingga-imigrasi/

http://global.liputan6.com/read/2539483/menguak-alasan-mengapa-inggris-ingin-cerai-dari-
uni-eropa

14

Anda mungkin juga menyukai