Anda di halaman 1dari 26

LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK:

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

Oleh:

Fikram Ahmad Fauzan 04084821921158

Pembimbing:
dr. Mediarty Syahrir, Sp.PD-KHOM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FK UNSRI/RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK:


DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Oleh:

Fikram Ahmad Fauzan, S.Ked 04084821921158

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Univesitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 11 Maret
2019 – 20 Mei 2019

Palembang, Mei 2019

dr. Mediarty Syahrir, Sp.PD-KHOM


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan YME atas rahmat dan anugerah-Nyalah referat
yang berjudul “LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK: DIAGNOSIS DAN
TATALAKSANA” ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Referat ini disusun sebagai syarat ujian di bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Tujuan disusunnya referat ini agar dapat mengetahui mengenai leukemia
mielositik kronik. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Mediarty
Syahrir, Sp.PD-KHOM yang telah membimbing dan meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis dalam penyusunan referat ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada sahabat dan teman-teman sejawat di bagian Ilmu Penyakit
Dalam yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis.

Akhir kata, referat ini hanyalah sebentuk kecil tulisan yang masih
mengharapkan banyak kritik dan saran sehingga dalam perkembangannya dapat
menjadi lebih baik lagi. Semoga bermanfaat.

Palembang, Mei 2019

Fikram Ahmad Fauzan, S.Ked


DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB II: LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK...............................................3
2.1 Definisi.......................................................................................................3
2.2 Epidemiologi...............................................................................................3
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko..........................................................................4
2.4 Klasifikasi...................................................................................................5
2.5 Patofisiologi................................................................................................6
2.6 Prognosis.....................................................................................................7
BAB III: DIAGNOSIS LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK.......................8
3.1 Anamnesis...................................................................................................8
3.2 Pemeriksaan Fisik.......................................................................................8
3.3 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................9
3.4 Asesmen......................................................................................................10
3.3 Diagnosis Banding......................................................................................10
BAB IV: TATALAKSANA LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK................12
3.1 Tatalaksana Non-farmakologis (Allogenic Stem Cell Tramsplantation)....12
3.2 Tatalaksana Farmakologis...........................................................................13
3.2.1 Tyrosine Kinase Inhibitor....................................................................13
3.2.1.1 Imatinib.......................................................................................14
3.2.1.2 Nilotinib......................................................................................15
3.2.1.3 Dasatinib......................................................................................16
3.2.1.4 Pemilihan Lini Kedua..................................................................16
3.2.2 Hidroksiurea........................................................................................18
3.2.3 Busulfan..............................................................................................18
3.2.4 Interferon.............................................................................................18
BAB V: RINGKASAN.....................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia mielotisitik kronik (chronic myelocytic leukemia) atau leukemia


granulositik kronik adalah gangguan pembelahan sel punca hematopoietik akibat
mutasi kromosom berupa translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan
kromosom 22, yang secara sitogenetik terdeteksi sebagai kromosom Philadelphia
t(9;22)(q34;q11).1 Konsekuensi molekuler dari translokasi ini adalah fusi gen
Abelson (ABL1) dengan gen breakpoint cluster region (BCR), yang membentuk
onkogen BCR-ABL1. Onkogen tersebut diterjemahkan menjadi onkoprotein
BCR-ABL1 yang dapat menginduksi aktivitas konstitutif tirosin kinase,
menyebabkan sel punca hematopoietik berproliferasi secara tidak terkontrol. 2
Perjalanan penyakit ini terbagi dalam 3 fase: fase kronik, fase akselerasi
(accelerated phase), dan fase blastik. Pasien pada fase kronik dapat datang dalam
keadaan asimtomatik atau mengeluh kelelahan, rasa kenyang dini, dan komplikasi
dari hiperviskositas, seperti gangguan penglihatan atau priapisme.3
Diagnosis leukemia mielositik kronik dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan darah rutin dan hitung jenis yang khas (granulositosis berlebihan
dengan granulopoiesis shift to the left). Konfirmasi diagnosis diperoleh dengan
mengidentifikasi kromosom Philadelphia, 22q- atau transkrip BCR-ABL1, atau
keduanya, pada sel darah tepi atau sel sumsum tulang. Dalam 5% kasus,
kromosom Philadelphia tidak dapat dideteksi dan konfirmasi diagnosis tergantung
pada konfirmasi fusi BCR-ABL1 baik dengan fluorescent in situ hybridisation
(FISH) atau dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR).
Pasien-pasien ini harus dirawat cara yang sama seperti pasien Philadelphia-positif
(Ph+). Respons terapeutik pada keduanya ditemukan sebanding. Pada beberapa
pasien dengan fitur leukemia mielositik kronik, tidak ada kromosom Philadelphia
atau fusi BCR-ABL1 yang dapat dideteksi. Pasien-pasien ini disebut sebagai
Philadelphia-negatif (Ph-) dan BCR-ABL1 negatif, atau berdasarkan klasifikasi
WHO, sebagai leukemia mielositik kronik atipikal.4

1
Sampai tahun 2000, terapi obat untuk leukemia mielositik kronik terbatas
pada agen yang tidak spesifik seperti busulfan, hidroksiurea, dan interferon-alfa
(IFN-a). IFN-a dapat membuat regresi dan peningkatan kelangsungan hidup,
namun tingkat keberhasilannya rendah dan memiliki kemungkinan toksisitas yang
signifikan. Transplantasi sel induk alogenik (allo-SCT) bersifat kuratif, tetapi
memiliki risiko morbiditas dan mortalitas. Selain itu, allo-SCT adalah pilihan
hanya untuk pasien dengan status kesehatan dan fungsi organ yang baik, serta
memiliki donor yang sesuai. Regimen terapi leukemia mielositik kronik berubah
secara drastis dengan pengembangan inhibitor tirosin kinase bermolekul kecil atau
tyrosine kinase inhibitor (TKI) yang berpotensi meghambat interaksi antara
onkoprotein BCR-ABL1 dan adenosin trifosfat (ATP), sehingga menghalangi
proliferasi sel dari klon malignan. Pendekatan ini mengubah sejarah leukemia
mielositik kronik, dan telah meningkatkan tingkat kelangsungan hidup 10 tahun
dari sekitar 20% menjadi 80% -90%.2
Sebanyak 15% kasus baru leukemia pada orang dewasa adalah leukemia
mielositik kronik.2 Pria lebih berpotensi terkena leukemia mielositik kronik
dibanding wanita, dengan perbandingan 1,6:1. Penyakit ini jarang ditemui dalam
kasus pediatri; bahkan hanya 3% pasien leukemia mielositik kronik yang berusia
di bawah 20 tahun. Insidensnya meningkat seiring dengan usia, terutama antara 40
dan 50 tahun.5 Prevalensi leukemia mielositik kronik di Amerika Serikat telah
mencapai 100.000 kasus pada 2017, dan diperkirkan akan bertambah menjadi
180.000 pada 2030.2 Selain itu, berdasarkan data WHO diketahui bahwa leukemia
mielositik kronik akan berdampak pada 100.000 pasien setiap tahunnya. 3 Dalam
menghadapi jumlah penderita yang semakin bertambah, informasi tentang
mielositik kronik penting untuk dipelajari. Oleh sebab itu, referat terkait
penegakan diagnosis dan tatalaksana leukemia mielositik kronik perlu dibuat
untuk memenuhi kebutuhan akan informasi tersebut.

2
BAB II
LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK

2.1 Definisi
Leukemia mielositik kronik (LMK) adalah suatu bentuk leukemia yang
ditandai dengan pertumbuhan sel-sel mieloid yang meningkat dan tidak teratur di
sumsum tulang.6 Kelainan proliferasi sel induk mieloid ini pertama kali
diterangkan oleh John Hughes Bennett pada 1845 di Royal Infirmany of
Edinburgh.7 LMK termasuk kelainan klonal dan merupakan salah satu jenis
kelainan mieloproliferatif. Leukemia mielositik kronik (Chronic Myeloid
Leukemia) juga umumnya disebut dengan Chronic Myelogenous Leukemia atau
Chronic Myelocytic Leukemia (CML).5 Selain LMK terdapat beberapa jenis
kelainan mieloproliferatif lainnya, yaitu leukemia neutrofilik kronik, leukemia
eosinofilik kronik, polisitemia vera, mielofibrosis idiopatik kronik, dan
trombositemia esensial.8
LMK adalah penyakit mieloproliferatif yang memiliki hubungan erat
dengan kromosom Philadelphia (ph). Kromosom Philadelphia merupakan hasil
translokasi respirokal yang terjadi pada kromosom 9 dan 22(t(9;22)(q34;q11).
Lengan panjang bagian bawah dari kromosom 9 yaitu Abelson (ABL) terlepas dan
kemudian berpindah menempati kromosom 22. Sebaliknya, bagian bawah dari
kromosom 22 terlepas dan bergabung dengan kromosom 9. Pada akhirnya
terbentuk perpaduan ABL dan break point cluster region (BCR) yang
menghasilkan kromosom abnormal. Kromosom tersebut dinamakan kromosom
Philadelphia karena pertama kali ditemukan di Philadelphia.9

2.2 Epidemiologi
LMK menyumbang 15% dari semua kasus leukemia. Rasio pria dengan
wanita adalah 1,6:1. Usia rata-rata saat diagnosis adalah 55-65 tahun. Hanya 3%
pasien dengan usia lebih muda dari 20 tahun. Insiden LMK meningkat secara
perlahan seiring pertambahan usia, dengan peningkatan yang lebih curam setelah
usia 40-50 tahun. Kejadian tahunan LMK adalah 1,5 kasus per 100.000 orang. Di

3
Amerika Serikat, ini berarti 4.500-5000 kasus baru per tahun. Median usia
penderita LMK saat pertama kali terdiagnosis di Eropa adalah 60-65 tahun. 4
Angka insidensi LMK belum berubah berubah selama beberapa dekade. Dengan
ekstrapolasi, insiden tahunan LMK di seluruh dunia adalah sekitar 100.000 kasus.5
Berdasarkan data yang tersedia, pasien LMK di Indonesia paling banyak
ditemukan di Surabaya, Jawa Timur.10

Kota Jumlah Pasien


LMK

Gambar 1. Jumlah pasien LMK di kota-kota besar Indonesia10

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Tidak ada asosiasi keluarga pada LMK. Risiko terkena LMK tidak
meningkat pada kembar monozigot atau pada kerabat pasien. Selain itu, agen
penyebab juga belum ditemukan. LMK tidak memiliki hubungan dengan riwayat
paparan benzena, pupuk, insektisida, atau virus. Paparan terhadap radiasi ion
(misal kecelakaan nuklir, perawatan radiasi untuk ankylosing spondilitis atau
kanker serviks) telah meningkatkan risiko LMK, yang mencapai puncak pada 5-
10 tahun setelah pajanan dan terkait dosis. Median waktu manifestasi LMK di
antara korban bom atom adalah 6,3 tahun. Dengan perlindungan yang memadai,

4
risiko LMK tidak meningkat pada individu yang bekerja di industri nuklir atau di
antara ahli radiologi baru-baru ini.5
2.4 Klasifikasi5,11
Berdasarkan perjalananannya, leukemia mielositik kronik (LMK) dapat
diklasifikasikan ke dalam 3 fase yaitu :
1) Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool
dengan peningkatan sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional.
Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer dijumpai sel neoplasma
yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat
hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung,
gangguan penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan
anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia
normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-
800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh
stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.
2) Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke
fase akselerasi yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase
ini dapat berlangsung selama beberapa bulan. Gejala fase akselerasi :panas
tanpa penyebab yang jelas, splenomegali progresif, trombositosis, basofilia
(>20%), eosinofilia, mieloblast (>5%), gambaran mielodisplasia seperti
hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau mononuclear yang besar,
fibrosis kolagen pada sumsum tulang, dan terdapat kromosom baru yang
abnormal seperti kromosom Philadelphia.
3) Fase Krisis Blast
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada
sumsum tulang. Sel blas kebanyakan adalah mieloid, tetapi dapat juga
dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika sel blas mencapai
>100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom
hiperleukositosis.

5
2.5 Patofisiologi
Kromosom Philadelphia hadir pada lebih dari 90% kasus LMK klasik.
Kromosom abnormal tersebut merupakan hasil dari translokasi resiprokal
balanced antara lengan panjang kromosom 9 dan 22. Kromosom ini dapat
ditemukan pada sel-sel hematopoietik. Sebagai hasil translokasi, urutan DNA dari
onkogen seluler ABL1 ditranslokasi selanjutnya ke gen breakpoint cluster region
(BCR) pada kromosom 22, menghasilkan onkogen hibrida, BCR-ABL1. Fusi gen
ini mengkode onkoprotein p210BCR-ABL1. Onkoprotein BCR-ABL1 ini
menyebabkan aktivitas kinase yang konstitutif (terus-menerus). Sebagai
akibatnya, proliferasi sel LMK berlangsung secara berlebihan dan sedangkan
proses apoptosis sel tersebut mengalami penurunan. Seiring waktu, hematopoiesis
normal ditekan, tetapi sel-sel induk normal dapat bertahan dan mungkin muncul
kembali setelahnya terapi yang efektif, misalnya dengan tyrosine kinase inhibitor
(TKI).5

Gambar 2. Translokasi kromosom 9 dan 2211

Mekanisme terbentuknya kromosom Philadelphia (Ph) dan waktu yang


dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LMK dengan gejala klinis yang
jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian
Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli
berpendapat akibat mutasi spontan.11
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti
tampak pada Gambar 3. Selain karena patahan pada gen BCR di daerah q11,
varian-varian ini juga dapat terebentuk karena patahan di daerah q12 dan q13,
dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya. Jadi

6
sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu terdapat pada semua
pasien LMK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien
LMK. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ rawan terhadap adanya
kelainan kromosom tambahan. Hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang
mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomy 8, trisomy 19, dan
isokromosom lengan panjang kromosom 17 i(17)q. Dengan kata lain, selain gen
BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam patofisiologi LMK
atau abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16, dan gen Rb.11

Gambar 3. Variasi kromosom Ph11

2.6 Prognosis11
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahum
setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru,
maka median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan.
Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis kombinasi hidrea dan interferon, median
kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil yang
lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat ditentukan
karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini berlangsung.
Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LMK, antara lain:
 Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik
 Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, BCR-ABL
negatif
 Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi

7
BAB III
DIAGNOSIS LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK

3.1 Anamnesis5,11
Dalam perjalanan penyakitnya, LMK dibagi menjadi 3 fase: fase kronik,
fase akselerasi, dan fase krisis blas. Sebagian besar pasien dengan CML (90%)
hadir dalam fase indolen atau kronis. Tergantung pada waktu diagnosis, pasien
sering kali asimptomatik (jika diagnosis ditemukan selama perawatan kesehatan
tes penyaringan). Ketika terdapat gejala, manifestasi anemia dan splenomegali
yang sering dikeluhkan, seperti kelelahan, malaise, penurunan berat, atau rasa
kenyang dini dan nyeri kiri atas atau massa kuadran (dari splenomegali).
Presentasi yang kurang umum meliputi kejadian trombotik atau vasooklusif (dari
leukositosis atau trombositosis yang berat), seperti priapisme, komplikasi
kardiovaskular, infark miokard, trombosis vena, gangguan visual, dispnea dan
insufisiensi paru, kantuk, kehilangan koordinasi, kebingungan, atau insidens
serebrovaskular. Temuan perdarahan mencakup perdarahan retina, perdarahan
gastrointestinal, dan lain-lain. Pasien yang datang dengan, atau berkembang
menjadi, fase akselerasi atau fase blastik memiliki gejala tambahan seperti demam
yang tidak dapat dijelaskan, penurunan berat badan yang signifikan, kelelahan
parah, nyeri tulang dan sendi, kejadian perdarahan dan trombotik, dan infeksi.

3.2 Pemeriksaan Fisik


Splenomegali adalah temuan fisik yang paling umum, terjadi pada 20-
70% pasien tergantung pada frekuensi skrining perawatan kesehatan. Temuan lain
yang kurang umum termasuk hepatomegali (10-20%), limfadenopati (5-10%), dan
penyakit ekstramedular (lesi kulit atau subkutan). Temuan fisik lainnya adalah
manifestasi dari komplikasi dari beban tumor yang telah dijelaskan sebelumnya
(mis., kardiovaskular, serebrovaskular, perdarahan). Jumlah basofil yang tinggi
dapat dikaitkan dengan kelebihan histamin yang berujung menyebabkan pruritus,
diare, kemerahan, dan bahkan ulkus gastrointestinal.5,11

8
3.3 Pemeriksaan Penunjang5,11
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah rutin,
apus darah tepi, pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan kromosom.
 Pemeriksaan darah rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun.
Leukosit amtara 20.000-60.0000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil
meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500.000-600.000/mm 3.
Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau
trombositopenia.
 Pemeriksaan apus darah tepi
Eritrosit sebagaian besar normositer, sering ditemukan adanya polikromasi
eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan
diferensisasi dan maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil atau basofil.
 Pemeriksaan sumsum tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel
leukemia, sehingga rasio mieloid dengan eritroid meningkat. Megakariosit
juga tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa
stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.

Gambar 4. Hasil aspirasi sumsum tulang pada pasien


CML; selularitas meningkat; tampak peningkatan
jumlah eosinofil dan megakariosit (pembesaran 1000x,
pewarnaan MGG)6

9
 Pemeriksaan kromosom
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini
teknik ini sudah mulai ditinggalkan dan digantikan oleh metode
Fluoroscen In Situ Hybridization (FISH) yang lebih akurat. Beberapa
aberasi kromosom yang sering ditemukan pada LMK, antara lain: +8, +9,
+19, +21, i(17).

3. 4 Asesmen2
Diagnosis LMK tipikal terdiri dari penemuan leukositosis yang tidak
dapat dijelaskan (atau kadang-kadang trombositosis), adanya kromosom
Philadelphia (Ph) kromosom abnormalitas, t (9; 22) (q34; q11), oleh sitogenetika
rutin, atau kelainan BCR-ABL1 molekuler terkait Ph oleh fluorescence in situ
hybridization (FISH) atau dengan studi molekuler.
Aspirasi sumsum tulang wajib dilakukan untuk semua pasien yang
dicurigai LMK, karena dapat mengkonfirmasi diagnosis dan memberikan
informasi yang diperlukan untuk penentuan stadium, khususnya dalam persentase
blast dan basofil. Analisis sitogenetik dasar memungkinkan deteksi evolusi klonal,
terutama pengaturan ulang i (17) (q10) -7 / del7q, dan3q26.2, yang terkait dengan
prognosis yang relatif buruk.

3.5 Diagnosis Banding2,11


Diagnosis banding (differential diagnosis) leukemia mielositik kronik
(LMK) adalah sebagai berikut.
(1) LMK fase kronik: leukemia mielomonostik kronik, trombositosis
essensial, netrofilik kronik.
(2) LMK fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut, sindrom
mielodisplasia.
LMK mungkin lebih sulit dibedakan dari sindroma mieloproliferatif dan
mielodisplastik lainnya. Pasien dengan metaplasia mieloid agnogenik yang dapat
disertai atau tanpa mielofibrosis sering datang dengan splenomegali, neutrofilia,
dan trombositosis. Polisitemia vera dengan defisiensi besi, yang menyebabkan
hemoglobin dan nilai hematokrit normal, dapat bermanifestasi dengan leukositosis

10
dan trombositosis. Pasien tersebut biasanya memiliki skor LAP normal atau
meningkat, leukosit kurang dari 25x109 / L, dan tidak ada kelainan Ph.
Kesulitan diagnostik terbesar terletak pada pasien yang memiliki
splenomegali dan leukositosis tetapi tidak memiliki kromosom Ph. Pada beberapa
kasus, gen hybrid BCR-ABL1 dapat dideteksi meskipun memiliki pola sitogenetik
yang normal atau atipikal. Pasien dengan Ph-negatif dan BCRABL1 negatif
dianggap memiliki LMK Ph-negatif atau leukemia myelomonocytic kronis. Pada
kasus yang jarang, pasien memiliki hiperplasia mieloid, yang melibatkan
neutrofil, eosinofil, atau basofil hampir secara eksklusif. Pasien-pasien ini
memiliki leukemia neutrofilik, eosinofilik, atau basofilik yang kronis, dan tidak
memiliki bukti kromosom Ph atau gen BCR-ABL1. Hiperplasia megakariositik
yang terisolasi dapat dilihat pada trombositemia esensial, dengan trombositosis
yang nyata dan splenomegali. Beberapa pasien yang datang dengan gambaran
klinis trombositemia esensial (dengan trombositosis yang nyata tetapi tanpa
leukositosis) menderita LMK; terbukti dari studi sitogenetik dan molekuler yang
menunjukkan kromosom Ph, penataan ulang BCR-ABL1, atau dan
berkemungkinan keduanya mengarah pada diagnosis dan perawatan yang sudah
tepat.

BAB IV
TATALAKSANA LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK

11
3.1 Tatalaksana Non-farmakologis (Allogenic Stem Cell Transplantation)
Jumlah pasien yang menjalani transplantasi sel punca alogenik atau
allogenic stem cell transplantation (allo-SCT) untuk LMK telah menurun secara
signifikan sejak TKI diperkenalkan, tetapi akan mulai meningkat lagi dengan
meningkatnya prevalensi LMK, akibat sekitar 2% pasien menjadi resisten
terhadap banyak TKI setiap tahun dan membutuhkan allo-SCT. Allo-SCT
memiliki peran yang lebih penting ketika pasien berevolusi menjadi fase
akselerasi atau fase blastik Allo-SCT tetap menjadi pilihan terapi yang penting
bagi pasien LMK fase kronik yang penyakitnya telah memburuk bahkan setelah
pemakaian 2 TKI. Allo-SCT juga menjadi pilihan bagi pasien yang berpotensi
memiliki mutasi T315I (setelah percobaan terapi ponatinib). Paparan sebelumnya
terhadap TKI tidak menganggu outcome transplantasi. Pasien yang dirujuk untuk
transplantasi bermungkinan memiliki hasil yang lebih baik jika datang dengan
respons yang baik terhadap TKI. Perbandiangan antara biaya allo-SCT dan biaya
TKI serta masalah ketersediaannya harus dipertimbangkan. Allo-SCT, prosedur
kuratif satu kali, memakan biaya $500.000 di Amerika Serikat, tetapi hanya
$20.000 di negara berkembang. Di India, harga tahunan imatinib generik adalah $
400. Dengan mempertimbangkan usia rata-rata pasien LMK dan proyeksi
kelangsungan hidup 30 tahun ($400 x 30 tahun = $ 12 000), terapi imatinib tetap
yang terbaik opsi garis depan. Di negara-negara di mana TKI tidak dapat diakses
secara umum, mungkin lebih baik melakukan allo-SCT pada 100% pasien dan
menyembuhkan 60%, daripada memiliki TKI tersedia untuk 10% (dan
penyembuhan fungsional 10%). Berbeda dengan TKI lini pertama, perbedaan
keuntungan finansial antara allo-SCT dan TKI generasi kedua / ketiga lebih jelas.
Allo-SCT dalam sekali tindakan menghabiskan biaya penyembuhan $20.000
sedagkan untuk TKI generasi kedua-ketiga mencapai $120.000–170.000/tahun.
Dalam keadaan seperti ini, allo-SCT dapat ditawarkan sebagai opsi penyelamatan
pertama di negara-negara dengan keterbatasan finansial.2
3.2 Tatalaksana Farmakologis

12
Selama periode dari tahun 1960-1990 ditemukan gen BCR-ABL yang
pada akhirnya menjadi target terapi dalam penatalaksanaan pasien LMK. Gen ini
diekspresikan oleh hampir seluruh pasien LMK dan menjadi petunjuk bagi para
dokter dan peneliti untuk menetapkan seseorang yang menderita LMK. Oleh
karena itu, penghambat gen BCR-ABL merupakan terapi pilihan yang efektif
untuk menangani pasien dengan diagnosis LMK.7 Tujuan terapi pada LMK adalah
mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun
remisi biomolekuler. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat
yang bersifat mielosupresif. Setelah remisi hematologis tercapai, terapi
dilanjutkan dengan terapi interferon dan/atau cangkok sumsum tulang.11

3.2.1 Tyrosine Kinase Inhibitor4

Gambar 5. Pilihan pengobatan untuk pasien LMK

Tiga tyrosine kinase inhibitor (TKI) yang tersedia secara komersial untuk
lini pertama LMK adalah imatinib, dasatinib dan nilotinib. Opsi untuk terapi lini
pertama pada LMK fase blastik adalah imatinib 400-800 mg / hari, nilotinib
300mg dua kali sehari atau dasatinib 100 mg / hari. Pemilihan TKI harus
berdasarkan tujuan pengobatan, usia dan komorbiditas dan harus dilakukan
dengan mempertimbangkan efek samping (ES) dari obat-obat yang tersedia.
Dengan ketiga TKI, overall survival (OS) 5 tahun adalah 85% -95% . Sejauh ini,

13
tidak ada perbedaan survival yang signifikan antara imatinib dan inhibitor
generasi kedua.4 Namun, kesempatan untuk mencapai remisi dengan opsi untuk
menghentikan terapi lebih tinggi dengan dasatinib dan nilotinib dibandingkan
dengan imatinib Ini mungkin sangat relevan untuk pasien wanita muda dengan
keinginan untuk hamil. Risiko transformasi ke fase akselerasi dan krisis blast
lebih rendah pada pasien yang menggunakan dasatinib atau nilotinib. Penggunaan
imatinib generik dapat dianggap tidak hanya mengurangi biaya terapi secara
substansial, tetapi juga memiliki tingkat keamanaan yang lebih tinggi, terutama
pada pasien usia lanjut. Di beberapa negara imatinib wajib untuk lini pertama
gunakan atas dasar efektivitas biaya / penggantian.
Komorbiditas adalah penyebab utama kematian pada pasien LMK dan
dapat diperburuk oleh efek samping. Oleh karena itu, usia pasien, komorbiditas
dan profil toksisitas TKI yang spesifik harus dipertimbangkan. Untuk pasien yang
berisiko menderita efusi pleura (akibat gangguan paru yang dimiliki atau
hipertensi yang tidak terkontrol), dasatinib harus dihindari. Hipertensi arteri
pulmonalis adalah komplikasi dasatinib yang termasuk jarang. Selain itu,
dasatinib dapat menghambat fungsi trombosit, dan penggunaan
denganantikoagulan secara bersamaan dapat meningkatkan risiko komplikasi
perdarahan.

3.2.1.1 Imatinib
Imatinib adalah obat yang digunakan secara oral yang memiliki nama
lain yaitu 2-phenylaminopyrimidine. Imatinib mesylate tergolong antibodi
monoclonal yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas tirosin kinase
dari fusigen BCR-ABL. Imatinib juga menghambat tiroson kinase lainnya yaitu
PDGF (platelet derivate growth factor). Imatinib diabsorbsi secara baik oleh
mukosa lambung pada pemberian per oral. Untuk fase kronik, dosis 400 mg/hari
setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600 mg/hari bila tidak mencapai
respons hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respons
yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologic, yakni Hb menjadi rendah
dan/atau leukosit meningkat dengan atau tanpa perubahan jumlah trombosit.4,11

14
Gambar 6. Mekanisme kerja imatinib. (A) tirosin kinase BCR-ABL yang
aktif secara konstitutif berfungsi dalam mentransfer fosfat dari ATP ke
residu tirosin pada berbagai substrat sehingga menyebabkan proliferasi
berlebihan karakteristik sel myeloid dari CML. (B) Imatinib memghambat
pengikatan ATP ke tirosin kinase BCR-ABL dan pada ujungnya
menghambat aktivitas kinase.7

Dosis harus diturunkan apabila terjadi netropeni berat (<500/mm3) atau


trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau penigkatan SGOT/SGPT dan bilirubin.
Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung 800 mg/hari
(400 mg bid). Reaksi hipersensitivitas dapat timbul walaupun sangat jarang.
Imatinib tidak aman untuk wanita hamil. Obat ini juga memiliki interaksi dengan
ketokonazol, simvastatin, dan fenitoin. Konsumsi secara bersamaan dapat
meningkatkan efek imatinib mesilat. Selain remisi hematologik, obat ini dapat
menghasilkan remisi sitogenetik yang ditandai dengan berkurangnya ekspresi gen
BCR-ABL atau protein yang dihasilkannya.11

3.2.1.2 Nilotinib4
Nilotinib adalah turunan phenylaminopyrimidine yang memiliki potensi
lebih tinggi jika dibandingkan dengan imatinib dalam menghambat aktivitas dari
gen BCR-ABL. Struktur dari nilotinib mirip dengan imatinib, namun nilotinib
lebih baik dalam menangani gen mutan BCR-ABL. Pada pembelahan, 32 dari 33
sel mutan yang resisten terhadap imatinib dapat dihambat oleh nilotinib, kecuali
T3151. Dalam percobaan yang dilakukan dengan meningkatkan dosis menjadi

15
1200 mg, menunjukkan aktivitas yang baik dalam menhambat fosforilasi oleh gen
BCR-ABL.

3.2.1.3 Dasatinib4
Dasatinib adalah penghambat tirosin kinase yang dibentuk dari keluarga
Src dari tirosin kinase. Dasatinib menghambat BCR-ABL, EPHA 2, aktivitas
tirosin kinase, serta PDGF. Sama seperti nilotinib, dasatinib dapat menghambat
proliferasi dari ekspresi gen BCR-ABL, kecuali T3151. Pada perbandingan
dasatinib dengan imatinib dalam dosis tinggi, ternyata dasatinib dapat menekan
angka proliferatif yang lebih tinggi daripada imatinib.
Nilotinib telah terbukti memiliki kaitan dengan hiperglikemia; peringatan
harus dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus (DM) yang tidak terkontrol
saat memulai terapi. Pasien harus minum nilotinib pada perut kosong untuk
menghindari paparan obat berlebih terhadap makanan yang mengandung lemak.
Nilotinib juga telah dikaitkan dengan kejadian vasospastik dan kejadian vaskular
oklusif, seperti iskemik penyakit jantung, kejadian serebrovaskular iskemik dan
penyakit arteri perifer oklusif. Penggunaan nilotinib harus ditentukan dengan hati-
hati pada pasien dengan faktor risiko seperti DM atau penyakit jantung koroner,
penyakit arteri serebrovaskular atau perifer. Intervensi menyeluruh terhadap faktor
risiko kardiovaskular seperti merokok, hiperlipidemia, hipertensi, dan DM perlu
dilakukan.

3.2.1.4 Pemilihan Lini Kedua2


Saat lini pertama gagal, pasien harus menjalani pemeriksaan sumsum tulang untuk
memungkinkan penentuan fase LMK yang tepat dan dokumentasi kemungkinan
evolusi klonal. Sel LMK harus diuji untuk mengetahui mutasi domain BCR-
ABL1 kinase, karena ini akan membantu membimbing pemilihan TKI. Saat
memilih antara dasatinib, bosutinib, dan nilotinib, data in vitro dan in vivo telah
mengidentifikasi mutasi yang berbeda yang menunjukkan penurunan sensitivitas
terhadap masing-masing agen. dasatinib atau bosutinib dapat dipilih jika pasien
memiliki mutasi berikut: Y253H, E255K / V, atau F359C / V. Atau, nilotinib

16
mungkin diberikan pada mutasi V299L dan F317L. Bosutinib dapat digunakan
untuk pasien dengan mutasi paling dikenal dapat menyebabkan kegagalan
imatinib. Seperti dasatinib dan nilotinib, bosutinib tidak aktif melawan T315I.
Bosutinib mungkin merupakan pilihan yang tepat bagi pasien yang gagal imatinib
dan tidak termasuk sebagai kandidat yang baik untuk dasatinib atau nilotinib
Bosutinib memiliki profil toksisitas yang relatif berbeda dari TKI lain, dengan
masalah utamanya adalah diare dan keluhan gastrointestinal lainnya. Baru-baru
ini, sebuah analisis dilakukan untuk mengkarakterisasi secara dekat toksisitas
bosutinib dan strategi manajemennya. Diare ditemukan pada 82% pasien (n =
570). Abnormalitas mielosupresi dan tes fungsi hati juga umum ditemukan.
Dengan perawatan suportif, pemantauan, dan reduksi dosis yang tepat untuk diare
persisten, sebagian besar pasien dapat melanjutkan terapi dengan penyesuaian
dosis berkala.
Ponatinib harus dipertimbangkan sebagai obat pilihan pada pasien
LMKdengan mutasi T315I. Tidak ada TKI lain yang tersedia secara komersial
yang memiliki potensi melawan T315I. Risiko toksisitas serius (penyakit vaso-
oklusif, pankreatitis, hipertensi, ruam kulit yang parah) dan kejadian trombotik
pada pengguna ponatinib ditemukan signifikan, tetapi manfaatnya lebih besar
daripada risiko yang dihadapi oleh pasien dengan mutasi T315I, karena tidak ada
pilihan lain untuk mengontrol penyakitnya. Efek samping didapatlam lebih rendah
dengan dosis ponatinib 15-30 mg setiap hari. Pada pasien tanpa mutasi atau satu
mutasi yang sensitive terhadap semua TKI generasi kedua, pilihannya akan
didasarkan pada komorbiditas. Pasien dengan faktor risiko vaskular dan disfungsi
metabolisme bukan kandidat untuk nilotinib. Pasien dengan gangguan paru bukan
kandidat untuk dasatinib. Bosutinib mungkin menjadi pilihan terbaik untuk pasien
jantung masalah dan aritmia.

3.2.2 Hidroksiurea

17
Hidroksiurea terapi terpilih untuk induksi remisi hematologic pada LMK.
Hidroksiurea lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorambusil.
Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah
pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemia
plastic dan fibrosis paru. Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal
maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit <300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan
sampai maksimal 2,5 gram/hari. Pengunaannya dihentikan dulu bila leukosit
<8.000/mm3 atau trombosit <100.000/mm3. Interaksi obat dapat terjadi bila
digunakan bersamaan dengan 5-FU, menyebabkan neurotoksisitas. Selama
menggunakan hydroxyurea harus dipantau Hb, leukosit, trombosit, fungsi ginjal,
dan fungsi hati. Pada terapi hydroxiurea efek samping lebih sedikit dan tidak
menyebabkan keganasan sekunder.11

3.2.3 Busulfan11
Busulfan termasuk golongan alkil yang sangat kuat. Rentang dosis
pemberian adalah 4-8 mg/hari per oral dan dapat dinaikkan sampai 12 mg/hari.
Pemberian harus dihentikan bila leukosit antara 10.000-20.000/mm3. Busulfan
tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Interaksi obat dengan asetaminofen,
siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan, sedangkan
fenitoin akan menurunkan efeknya. Bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya
pemberian busulfan disertai dengan allopurinol dan hidrasi yang baik. Busulfan
dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang
berkepanjangan.

3.2.3 Interferon11
Berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak dapat menghasilkan
remisi biologis walaupun dapat mencapai remisi sitogenetik. Dosis 5 juta
IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan
terapi. Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi
adalah 3 juta IU/m2/hari. Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon,
sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap hari. Diperlukan

18
premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interferon untuk
mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu-like syndrome. Interaksi
obat dengan teofilin, simetidin, vinblastine dan zidovudine dapat meningkatkan
efek toksik interferon. Diperlukan pengawasan ketat apabila diberikan pada usia
lanjut, gangguan faal hati dan ginjal yang berat, pasien epilepsi.

BAB IV
RINGKASAN

19
Leukemia mielotisitik kronik (LMK) adalah gangguan pembelahan sel
punca hematopoietik akibat mutasi kromosom berupa translokasi resiprokal antara
kromosom 9 dan kromosom 22, yang secara sitogenetik terdeteksi sebagai
kromosom Philadelphia t(9;22)(q34;q11). Konsekuensi molekuler dari translokasi
ini adalah fusi gen Abelson (ABL1) dengan gen breakpoint cluster region (BCR),
yang membentuk onkogen BCR-ABL1. Onkogen tersebut diterjemahkan menjadi
onkoprotein BCR-ABL1 yang dapat menginduksi aktivitas konstitutif tirosin
kinase, menyebabkan sel punca hematopoietik berproliferasi secara tidak
terkontrol. Penegakan diagnosis LMK dilakukan dengan anamnesis, pemeriksan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang mungkin didapatkan dari
menganamnesis pasien adalah kelelahan, malaise, penurunan berat, atau rasa
kenyang dini dan nyeri kiri atas atau massa kuadran. Dari pemeriksaan fisik
umumnya ditemukan splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, lesi kulit atau
subkutan. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi pemriksaan darah
rutin, apusan darah tepi, pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan definitif
berupa pemeriksaan kromosom menggunakan FISH. Dari pemeriksaan penunjang
ditemukan leukositosis dengan granulopoiesis yang shift to the left, eritrosit
normister, persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, fitur hiperselular
pada gambaran sumsum tulang disertain peningkatan jumlah eosinofil dan
megakariosit, dan kromosom Philadelphia atau kelainan BCR-ABL1 pada FISH.
Prognosis buruk pada pasien LMK dipengaruhi oleh usia lanjut, keadaan umum
buruk, gejala sistemik, anemia berat, trombositopenia, trombositosis, BCR-ABL
negatif, dan remisi yang lama dicapai.

Tatalaksanana LMK dapat dilakukan secara non-farmakologis dan


farmakologis. Pilihan terapi non-farmakologis adalah allogenic stem cell
transplantation. Dari segi farmakologis, opsi obatuntuk LMK adalah tyrosine
kinase inhibitor, busulfa, hidroksiurea, dan interferon alfa-2a. Tiga tyrosine kinase
inhibitor (TKI) yang tersedia secara komersial untuk lini pertama LMK adalah
imatinib, dasatinib dan nilotinib. Opsi untuk terapi lini pertama pada LMK fase

20
blastik adalah imatinib 400-800 mg / hari, nilotinib 300mg dua kali sehari atau
dasatinib 100 mg / hari. Pemilihan TKI harus berdasarkan tujuan pengobatan, usia
dan komorbiditas dan harus dilakukan dengan mempertimbangkan efek samping
(ES) dari obat-obat yang tersedia. Dengan ketiga TKI, overall survival (OS) 5
tahun adalah 85% -95% . Sejauh ini, tidak ada perbedaan survival yang signifikan
antara imatinib dan inhibitor generasi kedua.4 Namun, kesempatan untuk
mencapai remisi dengan opsi untuk menghentikan terapi lebih tinggi dengan
dasatinib dan nilotinib dibandingkan dengan imatinib Risiko transformasi ke fase
akselerasi dan krisis blast lebih rendah pada pasien yang menggunakan dasatinib
atau nilotinib. Penggunaan imatinib generik dapat dianggap tidak hanya
mengurangi biaya terapi secara substansial, tetapi juga memiliki tingkat
keamanaan yang lebih tinggi, terutama pada pasien usia lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Wulyo Rajabto1, A. Harryanto1, Hilman Tadjoedin1 KH. Association of
Clinical Features and Hematological Laboratories Hubungan Gambaran
Klinis dan Laboratorium Hematologis antara Leukemia Granulositik
Kronik Ph ( + )/ BCR-ABL ( + ) dengan Bentuk Kelainan Ph / BCR-ABL
Lainnya. 2018;5(1):11-16.
2. Jabbour E. Chronic myeloid leukemia : 2018 update on diagnosis , therapy
and monitoring. 2018;(December 2017):442-459. doi:10.1002/ajh.25011
3. WHO. Chronic Myelogenous Leukemia. 2014:1-9.
4. A. H, S. S, G. R. Chronic myeloid leukaemia : ESMO Clinical Practice
Guidelines for diagnosis , treatment and follow-up † Clinical Practice
Guidelines. Ann Oncol. 2017;28(Supplement 4):41-51.
doi:10.1093/annonc/mdx219
5. Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s
Principal of Internal Medicine. 19th ed. McGrawHills; 2012.
6. Wahyuni RD, Abdullah AA, Arif M. Chronic myeloid leukemia in
pregnancy. 2018:286-290.
7. Druker BJ. ASH 50th anniversary review Translation of the Philadelphia
chromosome into therapy for CML. 2019;112(13):4808-4818.
doi:10.1182/blood-2008-07-077958.
8. Vardiman JW, Harris NL, Brunning RD. Review article The World Health
Organization ( WHO ) classification of the myeloid neoplasms.
2019;100(7):2292-2303. doi:10.1182/blood-2002-04-1199.Reprints
9. Sholikah TA. Fusion gene bcr-abl : from etiopathogenesis to the
management of Chronic Myeloid Leukemia. J Kedokt dan Kesehat
Indones. 2016:29-37. doi:10.20885/JKKI.Vol8.Iss1.art5
10. Reksodiputro AH, Atmakusuma TD, Hantoro IF, Rebecca R V. Chronic
Myeloid Leukemia in Indonesia. 2018;(April):5-6.
doi:10.13140/RG.2.2.18070.24644
11. Sudoyo AW S, B, Alwi I, Simadibrata M SS. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014.

22

Anda mungkin juga menyukai