PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara umat Islam terdapat sekelompok orang yang tidak merasa puas
dengan pendekatan diri kepada Allah melalui perilaku atau cara-cara ibadah yang
telah ditentukan seperti shalat, puasa dan haji. Mereka kemudian mencari dan
melakukan cara-cara lain dalam rangka mendekatkan hubungannya dengan Allah.
Cara-cara ini diharapkan akan mempermudah jalinan hubungan komunikasi
mereka dengan Allah. Sekumpulan cara yang mereka tempuh ini kemudian
dikenal dengan sebutan al-Tasawwuf. Istilah Tasawwuf atau Sufisme merupakan
istilah yang dipakai secara khusus untuk menggambarkan kehidupan mistik atau
mistisisme dalam Islam.
Menurut Harun Nasution (1979:71) hakekat sufisme atau mistisisme, baik
yang terdapat dalam agama Islam maupun di luar Islam adalah ‘memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirat Tuhan’. Intisari dari mistisisme, termasuk dalam
tasawuf Islam, adalah ‘kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh
manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan kontemplasi’. Kesadaran
yang demikian kemudian mengambil bentuk ‘rasa dekat sekali dengan Tuhan’.
Kesadaran itu dalam tradisi tasawuf dikenal dengan istilah ‘ittihad’ atau ‘mystical
union’.
Tasawuf dalam Islam mulai timbul sesudah Islam mempunyai hubungan
dengan agama Kristen dan agama Hindu Budha. Dimana pada saat itu animisme
merupakan kepercayaan pertama yang dianut oleh orang Indonesia. Islam sendiri
datang tanpa kampanye, Islam datang secara damai, dari berkembangnya Islam
inilah kemudian muncul para da’i-da’i yang merupakan gambaran pertama dari
sebagai pengantar masuknya tasawuf.1 Sebenarnya tasawuf ini sudah ada
semenjak zaman Rasulullah yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya. Secara
etimologi, kata tasawuf berasal adari bahasa Arab yaitu tashawwafa,
yatashawwafu, tashawwafan.
B. Pengertian Tasawuf dan Asal Usulnya
Orang pertama yang mengunakan istilah sufi adalah seorang zahid bernama
Abu Hasyim al-Kufi di Irak (wafat 150H). Tasawuf secara etimologi, sebagai
bentuk mashdar dari tashawwafa, diambil dari kata dasar shuf yang diartikan kain
wol. Wol yang dimaksud di sini bukan dalam pengertian modern, jenis pakaian
yang biasanya dipakai oleh 2 golongan orang kaya. Tetapi wol di sini adalah
sejenis wol kasar yang dipakai oleh orang-orang miskin di Timur Tengah. Karena
pada zaman itu jenis pakaian yang menjadi simbol kekayaan adalah pakaian dari
sutera. Dengan demikian yang diperlihatkan oleh para sufi dengan wolnya yang
kasar adalah mencerminkan bentuk kehidupan yang sederhana dan menjauhi
kemewahan dan kesenangan duniawi. Makna ini diambil untuk menunjukkan
pakaian wol yang sering digunakan oleh orang yang mengamalkan ajaran tasawuf.
Seseorang yang mempraktekkan ajaran tasawuf atau kehidupan mistik untuk
menjadi orang yang disebut Shuffi (Aceh, 1996).
Definisi lain menyebutkan bahwa sufi berasal dari kata ahl al-suffah, orang-
orang Mekah yang berhijrah bersama Nabi ke Madinah. Karena kehilangan
hartanya, mereka hidup dalam keadaan miskin dan tidak mempunyai apapun.
Mereka tinggal di Masjid Nabi dan tidur di bangku-bangku dengan memaki alas
dan bantal berupa pelana. Pelana ini disebut suffah, atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan ‘sofa’. Ahl al-suffah karena itu diartikan dengan sekelompok
orang yang tidak mementingkan hidup keduniaan, dan lebih mengutamakan
kehidupan yang saleh (Aceh, 1996).
Selain itu ada pula yang menyebutkan bahwa tasawwuf atau sufi berasal dari
kata ‘saf pertama’. Sebagaimana diketahui ‘saf pertama’ merupakan saf atau
barisan yang paling utama dalam pelaksanaan shalat berjamaah. Mereka yang
berada pada saf pertama akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Ahli Sufi
dengan demikian diartikan sebagai orang-orang yang memperoleh kemuliaan di
sisi Allah karena lebih mengutamakan untuk selalu dekat dengan Allah (Aceh,
1996).
Ada beberapa pendapat lain tentang asal-usul dari kata Tasawuf, sebagaimana
ditulis oleh Yusran Asmui (1996: 123), antara lain :
1. Berasal dari kata shopia (bahasa Yunani) yang berarti hikmah, kemudian kata
itu dijadikan atau dianggap bahasa Arab, sebagaimana halnya kata philosophia
menjadi kata filsafat. Dan memang orang sufi ada hubungannya dengan
hikmah.
2. Berasal dari kata shafaa (bahasa Arab) yang berarti bersih, karena tujuan hidup
dari orang sufi adalah kebersihan lahir dan batin.
3. Berasal dari kata Shuffah (bahasa Arab) yang berarti tempat atau sofa di
serambi Mesjid Nabawi di Madinah, yang didiamu oleh para sahabat yang
hijrah dari mekah ke Madina. Mereka berada dalam keadaan miskin, namun
mereka berhati baik dan ikhlas, serta tidak merenungkan keduniaan.
4. Berasal dari kata shufanah yaitu tumbuh-tumbuhan berbulu yang hidup di
padang pasir. Hal ini dihubungkan dengan orang sufi yang memakai pakaian
berbulu dan hidup dalam kesederhanaan seperti pohon safanah (Aceh, 1996).
Walaupun dari mana pengambilan perkataan itu, apakah dari bahasa Arab atau
Yunani, namun dari asal-usul pengambilan itu sudah nyata, bahwa yang dimaksud
dengan kaum tasawuf atau kaum sufi adalah kaum yang telah menyusun
kumpulan, menyisihkan diri dari orang banyak, dengam maksud membersihkan
hati, laksana kilat kaca terhadap Tuhan. Sufi juga memakai pakaian sederhana,
jangan menyerupai pakaian orang dunia, biar hidup terlihat kurus kering bagai
kayu di padang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang hubungan makhluk
dengan khaliqnya (Aceh, 1996).
C. Faktor-faktor yang Mendorong Timbulnya Tasawuf
Pertama, ajaran Kristen yang memiliki faham menjauhi dunia dan hidup
mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab dijelaskan tentang
adanya para rahib yang hidup terpencil di padang pasir.
Kedua, ajaran mistik Phytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat
kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara
bagi roh. Kesenangan roh sebenarnya adalah alam samawi. Untuk mencapai
kesenangan samawi manusia harus membersihkan rohnya dengan meninggalkan
hidup duniawi.
Ketiga, ajaran emanasi Plotinus yang mengatakan bahw wujud ini memancar
dari Zat Tuhan. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi
dengan ke alam materi, roh menjadi kotor. Untuk kembali ke tempat asalnya, roh
harus lebih dahulu disucikan. Pensucian roh dilakukan dengan meninggalkan
dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, dan kalau bisa bersatu dengan
Tuhan.
Keempat, ajaran Hindu yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia
dan mendekati Tuhan. Dengan meninggalkan 4 dunia, maka persatuan Atman
dengan Brahman akan dapat tercapai.
Kelima, ajaran Buddha mengenai nirwana. Untuk mencapai nirwana, manusia
harus meninggalkan dunia dan hidup kontemplasi (Al-Barsarny, 2001).
BAB II
PEMBAHASAN