Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM : PEMIKIRAN ISLAM


ASPEK TASAWUF DALAM ISLAM
Disusun oleh:
Indah hanifa pratiwi 10060316011
Gemala hikmatussalam 10060316013
Annisa nurazizah 10060316016

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2019/1440 H 2019/1440 H
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di antara umat Islam terdapat sekelompok orang yang tidak merasa puas
dengan pendekatan diri kepada Allah melalui perilaku atau cara-cara ibadah yang
telah ditentukan seperti shalat, puasa dan haji. Mereka kemudian mencari dan
melakukan cara-cara lain dalam rangka mendekatkan hubungannya dengan Allah.
Cara-cara ini diharapkan akan mempermudah jalinan hubungan komunikasi
mereka dengan Allah. Sekumpulan cara yang mereka tempuh ini kemudian
dikenal dengan sebutan al-Tasawwuf. Istilah Tasawwuf atau Sufisme merupakan
istilah yang dipakai secara khusus untuk menggambarkan kehidupan mistik atau
mistisisme dalam Islam.
Menurut Harun Nasution (1979:71) hakekat sufisme atau mistisisme, baik
yang terdapat dalam agama Islam maupun di luar Islam adalah ‘memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirat Tuhan’. Intisari dari mistisisme, termasuk dalam
tasawuf Islam, adalah ‘kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh
manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan kontemplasi’. Kesadaran
yang demikian kemudian mengambil bentuk ‘rasa dekat sekali dengan Tuhan’.
Kesadaran itu dalam tradisi tasawuf dikenal dengan istilah ‘ittihad’ atau ‘mystical
union’.
Tasawuf dalam Islam mulai timbul sesudah Islam mempunyai hubungan
dengan agama Kristen dan agama Hindu Budha. Dimana pada saat itu animisme
merupakan kepercayaan pertama yang dianut oleh orang Indonesia. Islam sendiri
datang tanpa kampanye, Islam datang secara damai, dari berkembangnya Islam
inilah kemudian muncul para da’i-da’i yang merupakan gambaran pertama dari
sebagai pengantar masuknya tasawuf.1 Sebenarnya tasawuf ini sudah ada
semenjak zaman Rasulullah yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya. Secara
etimologi, kata tasawuf berasal adari bahasa Arab yaitu tashawwafa,
yatashawwafu, tashawwafan.
B. Pengertian Tasawuf dan Asal Usulnya
Orang pertama yang mengunakan istilah sufi adalah seorang zahid bernama
Abu Hasyim al-Kufi di Irak (wafat 150H). Tasawuf secara etimologi, sebagai
bentuk mashdar dari tashawwafa, diambil dari kata dasar shuf yang diartikan kain
wol. Wol yang dimaksud di sini bukan dalam pengertian modern, jenis pakaian
yang biasanya dipakai oleh 2 golongan orang kaya. Tetapi wol di sini adalah
sejenis wol kasar yang dipakai oleh orang-orang miskin di Timur Tengah. Karena
pada zaman itu jenis pakaian yang menjadi simbol kekayaan adalah pakaian dari
sutera. Dengan demikian yang diperlihatkan oleh para sufi dengan wolnya yang
kasar adalah mencerminkan bentuk kehidupan yang sederhana dan menjauhi
kemewahan dan kesenangan duniawi. Makna ini diambil untuk menunjukkan
pakaian wol yang sering digunakan oleh orang yang mengamalkan ajaran tasawuf.
Seseorang yang mempraktekkan ajaran tasawuf atau kehidupan mistik untuk
menjadi orang yang disebut Shuffi (Aceh, 1996).
Definisi lain menyebutkan bahwa sufi berasal dari kata ahl al-suffah, orang-
orang Mekah yang berhijrah bersama Nabi ke Madinah. Karena kehilangan
hartanya, mereka hidup dalam keadaan miskin dan tidak mempunyai apapun.
Mereka tinggal di Masjid Nabi dan tidur di bangku-bangku dengan memaki alas
dan bantal berupa pelana. Pelana ini disebut suffah, atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan ‘sofa’. Ahl al-suffah karena itu diartikan dengan sekelompok
orang yang tidak mementingkan hidup keduniaan, dan lebih mengutamakan
kehidupan yang saleh (Aceh, 1996).
Selain itu ada pula yang menyebutkan bahwa tasawwuf atau sufi berasal dari
kata ‘saf pertama’. Sebagaimana diketahui ‘saf pertama’ merupakan saf atau
barisan yang paling utama dalam pelaksanaan shalat berjamaah. Mereka yang
berada pada saf pertama akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Ahli Sufi
dengan demikian diartikan sebagai orang-orang yang memperoleh kemuliaan di
sisi Allah karena lebih mengutamakan untuk selalu dekat dengan Allah (Aceh,
1996).
Ada beberapa pendapat lain tentang asal-usul dari kata Tasawuf, sebagaimana
ditulis oleh Yusran Asmui (1996: 123), antara lain :
1. Berasal dari kata shopia (bahasa Yunani) yang berarti hikmah, kemudian kata
itu dijadikan atau dianggap bahasa Arab, sebagaimana halnya kata philosophia
menjadi kata filsafat. Dan memang orang sufi ada hubungannya dengan
hikmah.
2. Berasal dari kata shafaa (bahasa Arab) yang berarti bersih, karena tujuan hidup
dari orang sufi adalah kebersihan lahir dan batin.
3. Berasal dari kata Shuffah (bahasa Arab) yang berarti tempat atau sofa di
serambi Mesjid Nabawi di Madinah, yang didiamu oleh para sahabat yang
hijrah dari mekah ke Madina. Mereka berada dalam keadaan miskin, namun
mereka berhati baik dan ikhlas, serta tidak merenungkan keduniaan.
4. Berasal dari kata shufanah yaitu tumbuh-tumbuhan berbulu yang hidup di
padang pasir. Hal ini dihubungkan dengan orang sufi yang memakai pakaian
berbulu dan hidup dalam kesederhanaan seperti pohon safanah (Aceh, 1996).
Walaupun dari mana pengambilan perkataan itu, apakah dari bahasa Arab atau
Yunani, namun dari asal-usul pengambilan itu sudah nyata, bahwa yang dimaksud
dengan kaum tasawuf atau kaum sufi adalah kaum yang telah menyusun
kumpulan, menyisihkan diri dari orang banyak, dengam maksud membersihkan
hati, laksana kilat kaca terhadap Tuhan. Sufi juga memakai pakaian sederhana,
jangan menyerupai pakaian orang dunia, biar hidup terlihat kurus kering bagai
kayu di padang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang hubungan makhluk
dengan khaliqnya (Aceh, 1996).
C. Faktor-faktor yang Mendorong Timbulnya Tasawuf
Pertama, ajaran Kristen yang memiliki faham menjauhi dunia dan hidup
mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab dijelaskan tentang
adanya para rahib yang hidup terpencil di padang pasir.
Kedua, ajaran mistik Phytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat
kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara
bagi roh. Kesenangan roh sebenarnya adalah alam samawi. Untuk mencapai
kesenangan samawi manusia harus membersihkan rohnya dengan meninggalkan
hidup duniawi.
Ketiga, ajaran emanasi Plotinus yang mengatakan bahw wujud ini memancar
dari Zat Tuhan. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi
dengan ke alam materi, roh menjadi kotor. Untuk kembali ke tempat asalnya, roh
harus lebih dahulu disucikan. Pensucian roh dilakukan dengan meninggalkan
dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, dan kalau bisa bersatu dengan
Tuhan.
Keempat, ajaran Hindu yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia
dan mendekati Tuhan. Dengan meninggalkan 4 dunia, maka persatuan Atman
dengan Brahman akan dapat tercapai.
Kelima, ajaran Buddha mengenai nirwana. Untuk mencapai nirwana, manusia
harus meninggalkan dunia dan hidup kontemplasi (Al-Barsarny, 2001).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Stasiun-Stasiun atau Maqamat yang Dilalui Sufi


Untuk mencapai kedekatan yang sedemikian rupa dengan Tuhan dan bahkan
sampai bersatu dengan Tuhan, seorang sufi harus melewati jalan panjang yang
berupa maqamat atau station tertentu dalam perjalannya menuju Tuhan.
Sejumlah maqamat yang harus dilewati seseorang untuk menuju Tuhan
menurut Muhammad Al-Kalabadi dalam bukunya;
al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf adalah: Tobat – Zuhud – Sabar –
Kefakiran – Kerendahan Hari (al-Tawadldlu’) – Taqwa – Tawakkal –
Kerelaan (al-Ridla) – Cinta (al-Mahabbah) – dan Ma’rifat (al-Ma’rifah).
Menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitabya alLuma’, maqamat untuk
menuju Tuhan itu adalah;
Tobat – Wara’ – Zuhud – Kefakiran (Faqar) – Sabar – Tawakkal – dan
Kerelaan Hati (Ridha)
Menurut Abu Hamid Al-Gazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin, sejumlah
maqamat yang harus dilewati seseorang untuk menuju Tuhan adalah;
Tobat – Sabar – Kefakiran – Zuhud – Tawakkal – Cinta – Mahabbah –
Kerelaan (Ridha).
Menurut Abul Qasim Abdul al-Karim al-Qusayiri, sejumlah maqamat yang dilalui
seseorang dalam usahanya menuju Tuhan adalah:
Tobat – Zuhud –Tawakkal – Sabar – dan Kerelaan (al-Ridla).
(Al-Taftazani, 2008).
Di antara maqamat di atas yang biasa disebut-sebut adalah: Tobat – Zuhud
– Sabar – Tawakkal – dan Kerelaan. Namun demikian, di atas maqamat tersebut
masih ada lagi maqamat lain, yaitu : Cinta – Ma’rifah – Fana’ dan Baqa –
Persatuan (alIttihad). Dalam kaitannya dengan persatuan (al-Ittihad) dapat
mengambil bentuk al-Hulul atau Wahdat al-Wujud. Di samping istilah maqamat,
dalam literatur sufi dikenal pula istilah ‘HAL’. Hal merupakan keadaan mental,
seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebaginya. Hal yang
biasa disebut adalah: Takut (al-Khauf) – Rendah Hati (al-Tawadldlu’) – Patuh (al-
Taqwa) – Ikhlas (al-Ikhlas) – Rasa Berteman (al-Ins) –Gembira Hati (al-Wajd) –
dan Syukur (alSyukr). Hal, berlainan dengan maqam, tidak diperoleh atas usaha
manusia, melainkan diperoleh karena anugerah dan rahmat daru Allah. Hal
keadaannya bersifat sementara, datang dan pergi (Al-Taftazani, 2008).
Jalan yang harus ditempuh seorang sufi tidaklah licin, tetapi sulit dan
penuh dengan duri. Untuk pindah dari satu stasiun ke stasiun lain, itu
menghendaki usaha sungguh-sungguh dan waktu yang tidak singkat. Terkadang
seorang sufi harus tinggal bertahun-tahun pada suatu stasiun. Sebagai i;ustrasi,
dapat diambil contoh keempat menurut Abul Qasim Abdul al-Karim al-Qusayiri
sejumlah maqamat yang dilalui seseorang dalam usahanya menuju Tuhan adalah:
Tobat – Zuhud –Tawakkal – Sabar – dan Kerelaan (al-Ridla).
Langkah pertama yang harus ditempuh seorang sufi adalah tobat, tobat
yang dimaksudkan kalangan sufi adalah ‘yang sebenar-benar tobat’, tobat yang
tidak akan membawa kepada dosa lagi. Karena sering dijumpai manusia yang
tobatnya hanya semacam ‘penyesalan sesaat’ atau ‘tobat sambel’ (tahu kalau itu
pedas, colek lagi-colek lagi). Untuk jenis tobat yang sebenarnya maka tidak cukup
hanya dilakukan sekali saja.
Langkah kedua, seorang calon sufi hendaknya menjalani hidup yang
zuhud. Sebab, seseorang tidak akan menjadi sufi apabila belum mencapai tingkat
zuhud. Dengan kata lain, seorang sufi adalah zahid, tetapi tidak setiap zahid
adalah sufi. Seorang zahid hidup sederhana mungkin, yang berpakaian, makan,
minum, dan tidur hanya sekedar perlu untuk menjaga supaya badan tidak sakit.
Langkah ketiga, seorang sufi harus bersifat sabar ketika menjalankan
semua perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan dan menerima segala
cobaan dariNya. Sabar dalam menderita kesabaran, tidak menunggu-nunggu
datangnya pertolongan.
Langkah keempat, seorang sufi harus bertawakkal, yaitu berserah diri
terhadap segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah untuk dirinya. Jika
mendapat pemberian berterima-kasih, dan jika mendapat cobaan bersikap sabar.
Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada uantuk hari ini. Tidak
mau makan, karena ada orang yang lebih 8 membutuhkan pada makanan itu.
Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah. Bersikap seolah telah
mati.
Langkah kelima, seorang sufi harus selalu dalam keadaan ridha, tidak
marah dan tidak benci tetapi senantiasa dalam keadaan suka dan senang. Segala
perasaan benci dikeluarkan dari hati sehingga yang tertinggal didalamnya
hanyalah perasaan senang dan gembira (Al-Taftazani, 2008).

Beberapa Istilah Lain


Sehubungan terjadinya mahzab tentang stasiun-stasiun yang ditempuh
oleh calon sufi, maka dibawah ini akan dijelaskan beberapa istilah yang biasa
digunakan oleh para pencetus teorinya.
1. Baqa, yaitu kekal, abadi, dan lestari. Di dalam ajaran tasawuf, kata ini
menunjukkan keadaan kehidupan rohani yang kekal, yakni kembali kepada
wujudnya Yang Kekal setelah melewati fana.
2. Fana, yaitu lenyap, hilang, sirna, atau lebur. Maksudnya menurut kaum sufi
adalah hilangnya kesadaran seseorang terhadap keberadaan dirinya dan alam
sekelilingnya. Hal ini dapat terjadi, karena latihan yang berat dan perjuangan
yang cukup panjang dalam pendakian rohani.
3. Faqar, yaitu kekafiran. Maksudnya yaitu tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada. Kefakiran berarti juga tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta, sungguhpun tidak
ada atau tidak memiliki, kalau diberi ya diterima. Tidak meminta tetapi juga
tidak menolak.
4. Hulul, yaitu persatuan dengan Tuhan. Dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian
persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi. Dalam pandangan Al-Hallaj,
persatuan ini mengambil bentuk hulul. Supaya manusia bisa bersatu dengan
Tuhan, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiannya dengan fana. Kalau sifat kemanusiaan itu telah hancur, yang
tinggal hanyalah sifat ketuhanan.
5. Ittihad, berarti kesatuan. Maksudnya, satu tingkatan dalam tasawuf dimana
seorang sufi setelah mencapai tingkat kefanaan merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan.
6. Mahabbah, adalah cinta. Pengertian mahabbah meliputi; (a) memberikan
kepatuhan yang sepenuhnya kepada Allah dan membenci sikap melawan
kepadaNya; (b) menyerahkan diri sepenuhnya kepada yang dikasihi, yaitu
Allah; dan (c) mengosongkan hati dari segala sesuatu kecuali dari diri yang
dikasihi (Allah).
7. Ma’rifat berarti mengetahui Allah dari dekat, sehingga hati sanubarinya dapat
melihat Allah.
8. Tawadhu’ yaitu merendahkan diri baik kepada Allah maupun kepada manusia.
Berbeda dengan khyusuk yang hanya digunakan untuk menyatakan sikap
merendahkan diri kepada Allah saja.
9. Taqwa berarti menjungjung tinggi segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangannya.
10. Wara’, yaitu menjauhi segala hal yang tidak baik. Dalam pengertian kaum
sufi, wara’ adalah meninggalkan segala perkara yang ‘syubhat’ (keragu-
raguan) tentang halalnya sesuatu. AlMuhasibi, menolak segala jenis makanan
yang mengandung keraguan tentang kehalalannya. Tangan Bishr al-Hafi tidak
akn mengulurkan tangannua kepada makanan yang mengandung syubhat di
dalamnya (Nata, Abudin, 2002).
B. Pembagian Isi Tasawuf : Akhlaki, Amali, dan Falsafi
1. Tasawuf Akhlaki (Tasawuf Sunni)
Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang
kesempurnaan dan kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap
mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagian
yang optimum, manusia harus lebih dahulu yang mengidentifikasikan
eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ke tuhanan melaui pensucian jiwa dan raga
yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral dan ber akhlak mulia,
yang dalam ilmu tasawuf dikenal takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat
tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli
(terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih seehingga mampu
menangkap cahaya ketuhanan) (Jamil, 2004).
Para sufi yang mengembangkan tasawuf akhlaki antara lain; Hasan Al-Basri
(21 H -110 H), Al-Muhasibi (165 H – 243 H), Al-Qusyairi (376 H-465 H),
Syaikh Al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jailani (470-561 H), Hujjatul
Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450 – 505 H), Ibni Atoilah as-Sakandari, dll.
2. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-
teori tasawuf dan falsafah. Tasawuf ini dikembangkan oleh sufi filosof. Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa objek utama yang menjadi perhatian tasawuf
falsafi ada empat perkara. Keempat perkara itu sebagai berikut;
a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intopeksi diri yang timbul dari
dirinya.
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat
rabbani arasy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang
wujud, yang gaib maupun yang nampak dan susunan yang kosmos, terutama
tentang penciptanya serta penciptaannya.
c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
d. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pentingnya sepintas samar-samar
(syatahiyyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengikarinya, menyetujuinya atau menginterpresentasikannya.
Tokoh-tokoh penting yang termasuk kelompok sufi falsafi antara lain adalah al-
Hallaj (255-309 H / 858-922 M), Ibnu Arabi (560-638 H), al-Jili (767-805 H),
Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H), as-Sukhrawardi, dll (Jamil, 2004).
3. Tasawuf’ Amali
Tasawuf’ Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf’ Amali adalah tasawuf yang
dipraktekan di dalam kelompok tarekat. Dalam kelompok ini terdapat sejumlah
sufi yang mendapat bimbingan dan petunjuk dari seorang guru, tentang bacaan
dan amalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mencapai
kesempurnaan rohani agar dapat berhubungan langsung dengan Allah. Setiap
kelompok tarekat memiliki metode, cara dan amalan yang berbeda satu sama
lain (Nasution, 2013).
Adapun yokoh-tokoh tasawuf amali yaitu; Rabiah Al-Adawiah (95-185 H /
713-801 M), dalam perkembangan mistisme dalam Islam tercatat sebagai
peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah; kedua Dzu Al-Nun Al-
Mishri bernama lengkap Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim yang lahir di
Ikhkim, daratan tinggi Mesir tahun 180 H (796 M) dan wafat tahun 246 H (856
M), Ketiga, Abu Yazid Al-Bustami dengan nama lengkap beliau adalah Abu
Yazid Thaifur bin Isa bin Syarusan Al-Busrami. Lahir di daerah Bustam (persia)
tahun 874 M dan wafat tahun 947 M. Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid
adalah fana dan baqa (Nasution, 2013).
KESIMPULAN
Stasiun atau maqamat yang dilalui sufi dibagi menjadi empat macam
berdasarkan tokoh pencetusnya yaitu Muhammad al-kalabadzi, abu nashr al-sarraj
al-thusi, abu hamid al-ghazali dan abul qasim abdul karim.
Jalan yang dilalui oleh seorang sufi sulit dan penuh duri. Untuk berpindah
stasiun, membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dan waktu yang tidak
singkat.
Para pencetus menyebutkan beberapa istilah diantaranya seperti baqa’,
fana’, faqar, hulul, ittihad, mahabbah, ma’rifat, tawadhu’, taqwa, dan wara’.
Pembagian isi tasawuf yaitu akhlaki, amali, dan falsafi
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, (1996), Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo :
Ramadhani.
Al-Barsany, (2001), Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Al-Taftazani, (2008), Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembangannya,
diterjemahkan dari Makdal ila al-Tasawuf al-Islami, oleh Subkhan Anshori,
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Jamil, (2014), Cakrawala Tasawuf : Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas,
Jakarta: Persada Press.
Nasution, Ahmad Bangun., (2013), Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Nata, Abuddin., (2002), Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Anda mungkin juga menyukai