Anda di halaman 1dari 10

A.

Pengertian Tentang Euthanasia dan Bunuh Diri


1. Bunuh Diri adalah perbuatan nekat seseorang dalam menghabisi hidupnya
sendiri dengan berbagai macam cara dengan tujuan mengakhiri
penderitaannya didunia.
2. Menurut Ensiklopedi Indonesia, bahwa euthanasia (Yunani:euthanasia=
matinya gampang). Istilah untuk pertolongan medis adalah, agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan.
Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan
dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.1
Euthanasia dilakukan dengan cara:
 Kematian dengan cara pemberian obat bius dalam jumlah yang
banyak (overdosis) atau penyuntikan cairan yang mematikan
dengan tujuan mengakhiri hidup pasien.
 Keputusan untuk menghentikan perawatan yang dapat
memperpanjang hidup pasien dengan tujuan mempercepat
kematian.

Sejak abad ke 19 terminologi euthanasia dipakai untuk


penghindaran rasa sakit dan peringatan pada umumnya bagi yang sedang
menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.2

Secara umum euthanasia dapat dikelompokkan menjadi dua katagori:

1) Euthanasia Pasif/Negatif

Yaitu tindakan membiarkan pasien yang berada dalam keadaan


tidak sadar (koma). Karena berdasarkan usulan medis sudah tidak ada
harapan hidup (tidak ada tanda-tanda kehidupan) yang disebabkan karena
rusaknya salah satu organ, tidak berfungsinya jantung dan lain-lain.

1
Ali,Hasan.Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer hukum Islam
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1998) Hal.132
2
Abdul Fadl Mohsin Ebrahim. Telaah Fiqh dan Biotika Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
2001, hal. 148
Dengan kata lain tenaga medis tidak lagi melanjutkan bantuan atau
menghentikan proses pengobatan.

Contohnya:

Seseorang penderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar


biasa. Hingga penderita pingsan, menurut pengetahuan medis orang yang
sakit ini tidak ada harapan untuk bisa hidup normal lagi (tidak ada harapan
hidup). Sehingga si sakit tersebut dibiarkan mati secara alamiah, karena
walaupun peralatan medis digunakan sudah tidak berfungsi lagi bagi
pasien.

Firman Allah dalam surat Ali Imran 156:

.....‫ير‬
ٌ ‫ص‬ِ َ‫َّللاُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ ب‬
‫َّللاُ يُحْ يِي َوي ُِميتُ ۗ َو ه‬
‫َو ه‬

“....Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa


yang kamu kerjakan”. (QS. Ali Imran:156)

2) Euthanasia Aktif

Yaitu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan


memberikan suntikan atau polesan alat-alat bantu pengobatan. Seperti:
saluran oksigen, alat pembantu jantung dan lain-lainnya. Sementara pasien
sebenarnya masih menunjukkan adanya harapan hidup berdasarkan usulan
medis.

Firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 29:

.....‫َّللاَ َكانَ ِب ُك ْم َر ِحي ًما‬ َ ُ‫َو ََل ت َ ْقتُلُوا أ َ ْنف‬


‫س ُك ْم ۚ ِإ هن ه‬

Motivasi Euthanasia

1. Faktor Ekonomi
Yaitu salah satu sebab bagi seseorang untuk melakukan euthanasia
dikarenakan biaya untuk pengobatan pasien sangat mahal.
2. Pertimbangan Sarana dan petugas medis
Argumen ini didasarkan atas pengutamaan seorang individu diatas
individu lain dengan alasan apabila ada pasien yang lebih muda dan
lebih diprekdisikan berpeluang untuk sembuh dengan alasan semacam
ini petugas medis lebih mengutamakan pasien muda tersebut, namun
bagi seorang muslim masalah ini tidak diindahkan, hal ini ditegaskan
dalam Al-Qur’an surat ali Imran ayat 145:
‫َو َما َكانَ ِلنَ ْف ٍس أ َ ْن ت َ ُموتَ ِإ هَل بِإ ِ ْذ ِن ه‬
‫َّللاِ ِكت َابًا ُم َؤ هج ًل‬
Artinya: " sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan
izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan”
3. Mati Dengan Layak
Artinya bagi pasien yang sekarat yang diberikan kesempatan seluas-
luasnya untuk menikmati apa yang mereka inginkan daripada terbaring
ditempat tidur, yaitu dengan memberikan obat dalam dosis yang
mematikan, sehingga si pasien tidak dengan cepat mengakhiri
hidupnya, padahal tindakan semacam ini sama saja dengan bunuh diri
dan merupakan dosa besar dalam pandangan Islam.
Hadits Rasulullah dari Anas bin Malik yang artinya:
"Janganlah seseorang diantara kamu mengharapkan mati dikarenakan
oleh musibah yang menimpanya: tetapi jika ia mengharapkan mati,
hendaknya ia mengatakan: "ŷₐ Allah, panjangkanlah umurku jika itu
yang terbaik bagiku dan matikanlah aku jika kematian adalah yang
terbaik untukku"
Karena itu, seseorang muslim harus selalu berserah diri (tawakal)
kepada Allah dan kesedihan tidak boleh dibiarkan melanda selama
masa-masa buruk yang dialaminya, kendati harus pasrah menerima
datangnya kematian, seseorang tidak boleh kehilangan harapan akan
kasih sayang Allah.3

3
Abdul Fadl Mohsin Ebrahim. Telaah Fiqh dan Biotika Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
2001, hal. 154
Pandangan Islam Terhadap Euthanasia

Ajaran Islam memberi petunjuk yang pasti tentang kematian.


Dalam Islam ditegaskan bahwa semua bentuk kehidupan ciptaan Allah
akan mengalami kebinasaan, kecuali Allah sendiri sebagai sang pencipta.

Firman Allah:

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala


penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”

Islam mengajarkan bahwa kematian datang tidak seorang pun yang


dapat memperlambat atau mempercepatnya. Allah menyatakan bahwa
kematian hanya terjadi dengan izin-Nya dan kapan saat kematian itu tiba
telah ditentkan waktunya oleh Allah. Dalam Islam kematian adalah sebuah
gerbang menuju kehidupan abadi (akhirat) dimana setiap manusia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup didunia dihadapan
Allah SWT.

Kode etik kedokteran Islami yang disahkan oleh Konferensi


Internasional Pengobatan Islam yang pertama (The First International
Conference of Islamic Medical) menyatakan: bahwa euthanasia aktif sama
halnya dengan bunuh diri (tidak dibenarkan) sesuai dengan frman Allah:

“Dan janganlahkamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah


adalah maha penyayang kepadamu”

Kesabaran dan ketabahan terhadap rasa sakit dan penderitaan


sangat dihargai dan mendapat pahala yang besar dalam Islam. Sabda
Rasulullah SAW, “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu
musibah, baik kesulitan, sakit,kesedihan, kesusahan maupun penyakit,
bahkan dari yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan
atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu” (HR. Bukhari
Muslim)

Beberapa Pendapat Ulama Tentang Euthanasia

Diantara masalah yang sudah terkenal dikalanga Ulama syara’


ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya,
pendapat ini dikemukakan menurut Jumhur Fuqaha dan Imam-Imam
mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya. Sahabat-sahabat Imam syafi’i,
Imam Ahmad dan sebagian Ulama menganggap bahwa mengobati itu
sunnat.

Para Ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama.


Berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa
bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas
yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa
penyakit, wanita itu meminta kepada Nabi SAW agar mendoakannya, lalu
beliau menjawab “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah) engkau
akan mendapat surga; jika engkau mau, maka saya doakan kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu. Wanita itu menjawab aku akan bersabar.
Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saja, oleh karena itu
doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.
Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan
penyakitnya”.

Dalam kaitan ini Imam Abu Hamid Al-Ghazali membantah orang


yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan
apapun. Pendapat fuqaha yang lebih popular mengenai masalah berobat
atau tidak bagi orang sakit adalah: sebagian besar diantara mereka
berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya sunat, dan sebagian
kecil lagi (lebih sedikit) berpendapat wajib.
Jadi pendapat dari sejumlah fuqaha, para ahli (dokter) dan ahli fiqh
lainnya memperbolehkan euthanasia pasif (negatif)

B. Analisis Sebab dan Tujuan Euthanasia dan Bunuh Diri


1. Bagaimana ketentuan hukumnya jika seseorang melakukan istisyahadah
namun terbunuh oleh senjatanya sendiri dan ketentuan apa saja yang perlu
diperhatikan ketika seseorang hendak melakukan istisyhadah dalam
konteks terbunuh oleh senjatanya sendiri?4
Pertama , jika kondisinya sangat mendesak dan istisyhadah merupakan
satu-satunya jalan agar kaum Muslim bisa mengalahkan musuh, atau untuk
menjaga kemaslahatan kaum Muslim yang lebih besar, maka seorang
Muslim diperbolehkan melakukan istisyahadah, meskipun ia terbunuh oleh
senjatanya sendiri. Adapun perincian kondisinya dapat dilihat pada
penjelasan berikutnya;
a. Jika keadaan sangat mendesak dan istisyahadah tidak bisa dihindari
lagi. Dalam kondisi semacam ini, jika seorang muslim mengkatkan
berkekuatan tinggi di badannya kemudian meledakkannya
ditengah-tengah pasukan kafir, atau menabrakkan truk bermuatan
bom kepada pasukan kafir atau markas musuh, atau menabrakkan
pesawat terbang kepesawat terbang,kapal, pasukan musuh dan lain
sebagainya tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri
dengan tujuan menghancurkan dan membinasakan kekuatan
musuh, membuat kengerian dan kegentaran pada musuh. Maka
semua itu termasuk dalam kategori al-qitaal al-mabrur. Pelakunya
berhak mendapat syahid di dunia maupun akhirat meskipun ia
terbunuh oleh senjatanya sendiri.5
b. Kaum kafir menggunakan kaum Muslim sebagai benteng hidup,
agar pasukan Musli tidak bisa mendekati mereka. Dalam kondisi
4
Syamsuddin,ramadhan.Hukum Islam seputar: Jihad & Mati Syahid (Surabaya:Fadillah Print,2006)
Hal.159
5
Ibid.,Hal.160
semacam ini perlu dikaji terlebih dahulu . pertama, jika keadaan
sangat mendesak dan musuh tidak bisa didekati kecuali dengan
istisyhadah dan jika peperangan dihentikan justru akan
mengganggu kemaslahaan kaum Muslim yang lebih besar, maka
kaum Muslim boleh melakukan istisyhadah meskipun harus
mengorbankan kaum Muslim lain yang dijadikan perisai hidup
oleh pasukan musuh. Kedua, jika keadaan tidak mendesak
dilakukannya istisyhadah, maka seorang Muslim dilarang
melakukan istisyhadah untuk menjaga darah kaum Muslim yang
dijadikan perisai oleh Musuh. Sebab, membunuh saudara Muslim
tanpa ada alasan yang Syar’I termasuk dalam kategori dosa besar.6
Kedua, aktivitas yang terkategori bunuh diri yang dilarang.
Misalnya, seorang melakukan al-intihaar (bunuh diri) agar tidak
ditawan oleh musuh, atau sekedar untuk menghilangkan penderitaan
akibat luka yang sangat parah, dan lain sebagainya. Perilaku semacam
ini termasuk kategori bunuh diri yang diharamkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala . Didalam shahih Bukhari dan Muslim dituturkan
sebuah riwayat dari Jundub Radhiyallahu 'anhu, bahwasannya Nabi
Shallallahu alaihi wasalam berkata:”Ada seorang laki-laki terluka
parah, kemudian ia membunuh dirinya sendiri. Lalu, Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman’ HambaKu tergesa-gesa mendatangiKu dengan
jiwanya, maka aku haramkan surga atas dirinya” (HR.Bukhari dan
Muslim)
Imam bukhri juga mengetengahkan sebuah riwayat bahwasannya
Nabi Shallallahu alaihi wasalam bersabda:”Sebelum Kalian, ada
seorang laki-laki yang terluka parah, kemudian ia berkeluh kesah
dengan lukanya. Lalu, ia ambil sebuah pisau dan ia sayat tangannya,
hingga darahnya tak berhenti mengalir. Akhirnya laki-laki itu mati.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman’ HambaKU mendatangiKU

6
Ibid.,Hal.161
tergesa-gesa dengan jiwanya maka Aku haramkan surga atas dirinya”
(HR.Bukhari)7
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaaniy menyatakan, bahwa Hadits
diatas berisikan larangan membunuh diri sendiri, sekaligus keutamaan
sabar atas penderitaan, serta larangan membunuh diri sendiri untuk
menghentikan penderitaan.8
Ketiga, al-intihaar yang hukumnya tergantung dari sudut mana kita
memandang. Misalnya, musuh berhasil membakar kapal yang
bermuatan kaum Muslim. Dalam kondisi semacam ini, kaum Muslim
yang ada diatas kapal itu dihadapkan paa dua pilihan yang sangat
mendesak; (1) berdiam diri, dan mati terbakar diatas kapal, (2) atau
menceburkan diri kelaut agar mati tenggelam. Para ulama fiqih
berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa kaum Muslim tidak
apa-apa menceburkan diri kedalam api atau kelaut. Sebab kemanapun
mereka lari, mereka akan menjumpai kematian. Adapun menurut
Rabi’ah jika mencebur kelaut juga mati maka ia tidak boleh mencebur
kedalam laut akan tetapi ia harus melawan musuh hingga mati.9
2. Bagaimana ketentuan hukumnya jika seseorang melakukan euthanasia atas
permintaan pasien sendiri dan atas permintaan keluarga Pasien?
Pertama,studi kasus misalnya seorang penderita kanker stadium akhir
yang sudah tidak ada harapan sembuh secara medis dan telah kehabisan
harta untuk biaya pengobatannya. Dalam hal ini Islam tetap tidak
membolehkan si penderita menghabisi nyawanya,baik dengan tangan
sendiri maupun dengan bantuan orang lain, seperti meminta dokter untuk
menyuntikkan obat yang dapat mempercepat kematiannya (euthanasia
positif) atau dengan cara menghentikan segala pertolongan terhadap si
penderita termasuk pengobatannya (euthanasia negative). Orang yang
mengakhiri kehidupannya dengan cara demikian, berarti dia telah
mendahului atau melanggar kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
7
Ibid.,Hal.162
8
Ibid.,Hal.163
9
Ibid.,Hal.165
wewenang-Nya. Seharusnya orang itu bersikap sabar dan tawakkal
menghadapi musibah dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
semoga diberikan ampunan dan diberi kesehata kembali, apabila hidupnya
masih bermanfaat dan lebih baik baginya , sebaliknya boleh memohon
kematian disegerakan, apabila kematian itu lebih baik baginya. Jadi, bukan
sipenderita yang mengambil keputusan akhir tetapi Allah Subhanahu wa
Ta'ala yang menciptakannya.10
Kedua, studi kasus lain dimana keluarga pasien tidak tega melihat
pasien menderita.dan secara medis orang tersebut dinyatakan akan
meninggal dalam waktu dekat. Lalu ia menyarankan kepada dokter untuk
mempercepat kematiannya atau dengan jalan mencabut infusnya.
Perbuatan semacam ini pun sama halnya seperti tindakan seseorang yang
mendahului wewenang Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tetap dianggap
melakukkan perbuatan dosa.
Penyebab utama terjadi bunuh diri dan euthanasia adalah karena
lemahnya iman dan kurang percaya pada diri sendiri. Oleh karena itu
tindakan preventif yang paling ampuh mengintensifkan dalam mempelajari
Agama dan mengamalkannya terutama masalah Aqidah. Dan
meningkatkkan sosial dan ekonomi.11
C. Pandangan Islam Tentang Euthanasia dan Bunuh Diri
Menurut pandangan Islam Hukum Euthanasia dan Bunuh diri adalah
haram karena hak untuk menghidupkan dan mematikan manusia hanya berada
didalam kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana telah
difirmankan dalam surat Ali Imran ayat 156 yang artinya:”Allah
menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan”
Euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri yang diharamkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat An-Nisa

10
Ali,Hasan.Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer hukum Islam
Hal.132
11
Ibid.,Hal.133
yang artinya:”dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu” 12
Demikian juga firman-Nya dalam surat Al-An’am ayat 151 yang
artinya:”Dan Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”13
Seseorang yang sengaja melakukan tindakan bunuh diri, meskipun dengan
cara melakukan euthanasia maka selamanya akan menjadi penghuni neraka
jahannam.sebagaimana telah disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi
wasalam dalam Hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat
Abu hurairah Radhiyallahu 'anhu . yang artinya:”Barangsiapa sengaja
menjatuhkan diri dari gunung untuk bunuh diri kemudian ia mati, maka kelak
ditempatkan di neraka jahannam selama-lamanya dalam keadaan selalu
menjatuhkan diri. Barangsiapa sengaja menenggak racun untuk bunuh diri
kemudian ia mati maka kelak ditempatkan dineraka jahannam selama-lamanya
dalam keadaan menenggak racun .dan barangsiapa sengaja melakukan bunuh
diri dengan besi kemudian ia mati, maka kelak ditempatkan di neraka
jahannam selama-lamanya dalam keadaan sakit karena menusukkan besi
kedalam tubuhnya sendiri”.14

12
Hamdan,Rasyid.Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa Aktual (Jakarta:PT Al-Mawardi
Prima,2003) Hal.226
13
Ibid.,Hal.227
14
Ibid.,Hal.228

Anda mungkin juga menyukai