Oleh:
Preseptor:
dr. Rina Gustia, Sp.KK, FINSDV
1.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Kusta merupakan penyakit tertua
dan telah dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Saraf perifer merupakan afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat1,2,3.
1.2 Epidemiologi
Cara penularan penyakit kusta masih belum diketahui dengan pasti hanya berdasarkan
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang amat erat dan secara inhalasi.
Penyebaran secara inhalasi disebabkan karena Mycobacterium leprae dapat hidup beberapa
hari dalam droplet. Masa tunas bakteri bervariasi antara 40 hari sampai dengan 40 tahun
dengan rata-rata 3 sampai dengan 5 tahun1.
Penyakit ini tersebar di seluruh negara. Masuknya penyakit ini ke Indonesia
diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
terhadap penyakit ini adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial
ekonomi dan lingkungan, varian genetik, dan perubahan imunitas1. Pada semua penelitian
populasi, penyakit kusta lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio
2:14.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan air susu ibu. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal
dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
Penyakit ini dapat menyerang semua umur dan anak-anak lebih rentan daripada orang
dewasa. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok usia antara 25-35 tahun1,3.
Jumlah kasus kusta saat ini telah mencapai 1 per 10.000 orang berdasarkan data
WHO2. Jumlah kasus kusta di seluruh negara selama 12 tahun terakhir ini telah menurun
tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan
tahun 2009 tercata 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus
baru tahun 2008 tercatat 249.007. Di Indonesia, jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan
tahun 2009 adalah 21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441 orang1.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti, karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi, dan derfomitas. Hal ini akibat keruskan saraf besar yang irreversibel di
wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-
ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot1.
1.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 mikrometer x
0,5 mikrometer, tahan asam dan alkohol serta Gram positif1.
1.4 Patogenesis
Mycobacterium leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menimbulkan reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Penyakit ini tergolong
penyakit imunologik. Gejala klinis yang muncul sebanding dengan tingkat reaksi selulernya
daripada intensitas infeksi1.
Multibasiler berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan BB.
Sedangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT, dan I.
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler. Yang
termasuk dalam multibasiler adalah tipe BB, BL. LL pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan
Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah tipe I, TT, dan BT dengan IB
kurang dari 2+1.
Yang dimaksud kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan
kerokan jaringan kulit. Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau apa
pun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan regimen MDT-MB.
Diagnosis klinis seseorang harus berdasarkan pemeriksaan klinis seluruh tubuh orang
tersebut, yaitu meliputi daerah wajah, tubuh, lengan, tungkai, dan sebagainya. Diagnosis
klinis dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat
sederhana, yaitu jarum, kapas, tabung reaksi yang masing-masing diisi dengan air panas dan
air dingin, serta pensil tinta1.
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula
saja, infiltrat saja, atau keduanya1. Gejala lain yang muncul pada pasien kusta antara lain
seperti lagoftalmus, gangguan sensibilitas kornea, hilangnya sensibilitas pada tangan dan
kaki, kulit yang kering dengan/tanpa ulkus3. Penyakit kulit yang harus diperhatikan sebagai
diagnosis banding antara lain dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba,
dermatitis seboroik, psoriasis, skrofuloderma, dan tuberkulosis kutis verukosa1.
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya
dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dapat dipertegas dengan
pensil tinta (tanda Gunawan). Caranya dengan menggoreskan mulai dari tengah lesi ke arah
kulit yang normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal
dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Perhatikan pula adanya alopesia di daerah lesi.
Gangguan fungsi motoris diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT). Pada pemeriksaan
saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah pembesaran, konsistensi, ada/tidaknya nyeri
spontan, dan/atau nyeri tekan. Saraf superfisial yang perlu diperiksa adalah N. fasialis, N.
aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior1.
Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai
reaksi terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya yaitu kulit,
mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik,
otonom) antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki. Kerusakan mata primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, dan dapat juga merusak jaringan mata
lainnya. Pada kerusakan mata sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat
membuat paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus dan kerusakan bagian mata lainnya. Pada tipe lepromatosa dapat timbul
ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma
pada tubulus seminiferus testis1.
Untuk menentapkan diagnosis penyakit kusta, perlu dicari tanda-tanda utama atau
tanda cardinal (cardinal sign), yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau
kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis
perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf berupa gangguan fungsi sensoris: mati
rasa; gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot; dan gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear)6.
1.7 Pengobatan
Pengobatan kusta memperhatikan kemungkinan adanya resitensi, sehingga
pengobatan kusta telah menggunkana multi drug treatment (MDT) sejak tahun 1971. MDT
digunakan sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa
pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan1.
Obat yang digunakan dalam pengobatan kusta adalah DDS (diaminodifenil sulfon),
klofazimin/lampren, dan rifampisin. Cara pemberian MDT pada penderita multibasiler
adalah:
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan pemeriksaan
secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Lama pengobatan pasien kusta multibasiler
selama 12-18 bulan. Cara pengobatan pada penderita pausibasiler adalah:
1.8 Prognosis
Pada penderita yang tidak diberi pengobatan maka pasien dapat sembuh dengan
sendirinya yaitu pada tipe TT atau pasien BT yang beralih ke TT. Di lain hal, penyakit dapat
menjadi progresif dengan kejadian morbiditas pada kerusakan saraf dan reaksi kusta4.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS
Nama : Tn. Benny Agus
Umur : 36 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Alamat : Lubuk Nyiur Bt Kapas Pesisir Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani dan peternak
Negeri asal : Padang
Status : Menikah
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 36 tahun datang ke poli Kulit dan Kelamin RS Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 22 Desember 2016, dengan:
Keluhan utama :
Bercak-bercak kehitaman, kedua lengan dan kaki yang dan benjolan pada cuping telinga,
wajah kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu
Pemeriksaan Fisik
Status generalisata :
Keadaan umum : tidak tampak sakit
Kesadaran : CMC
Nadi : 72 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Berat badan : 40 kg
Tinggi badan : 150 cm
Status gizi : baik
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tidak ada deformitas
KGB : terdapat pembesaran pada KGB infraklavikula
Status Dermatologikus
Lokasi : telinga kiri dan kanan, wajah, kedua lengan, kedua tungkai,.
Distribusi : regional
Bentuk/susunan :tidak khas/tidak khas
Batas : tegas
Ukuran : plakat
Effloresensi : makula hiperpigmentasi, infiltrat pada cuping telinga dan wajah
Gangguan sensibilitas :
Rasa raba : tidak jelas
Rasa tusuk : tidak jelas
Rasa suhu : tidak jelas
Pembesaran saraf perifer :
N. Aurikularis magnus dextra dan sinistra : tidak ada pembesaran
N. Ulnaris dextra dan sinistra : terdapat pembesaran, tidak nyeri
N. Peroneus komunis dextra : tidak ada pembesaran
N. Peroneus komunis sinistra : tidak ada pembesaran
N. Tibialis posterior dextra dan sinistra : tidak ada pembesaran
Kelainan lain-lain :
Kontraktur : tidak ada
Mutilasi : tidak ada
Atrofi otot : tidak ada
Xerosis kutis : ada
Ulkus trofik : tidak ada
Madarosis : tidak ada
Lagophtalmus : tidak ada
Claw hand : tidak ada
Wrist drop : tidak ada
Dropped foot : tidak ada
Facies leonina : tidak ada
Pemeriksaan rutin :
Pemeriksaan BTA
cuping telinga kiri : +6
cuping telinga kanan : +6
Lesi pada ujungjarikiri : +4
Lesi pada pangkallengankanan : +4
Pemeriksaan anjuran
- Punch biopsy
Diagnosis :
Morbus Hansen tipe BL
Diagnosis Banding :
Morbus Hansen tipe LL
Terapi :
Umum :
Penjelasan mengenai penyakit (penyebab, penularan dan komplikasi) dan pengobatan
pada pasien dan keluarga, serta kontrol rutin tiap bulan ke poli Kulit dan Kelamin,
berobat teratur sampai dinyatakan sembuh
Menjelaskan efek samping obat yang akan terjadi saat mengonsumsi obat yang akan
diberikan
Memberitahukan pada pasien jika terdapat reaksi samping obat segera kembali ke dokter
untuk mendapat penanganan selanjutnya
Khusus :
Regimen MDT MB
Hari 1 :
Rifampisin 600 mg
DDS 100 mg
Klofazimin 100 mg x 3
Hari 2-28 :
Klofazimin 50 mg / hari
DDS 100 mg/ hari
Prognosis :
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
BAB IV
DISKUSI
Telah diperiksa seorang pasien laki-laki usia 36 tahun di Poli Kulit Kelamin RSUP
DR M Djamil Padang, dengan keluan utama bercak-bercak kehitaman pada, kedua lengan
dan kaki, serta benjolan pada kedua daun telinga dan wajah yang kurang lebih sejak 1 tahun
yang lalu. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien
ini.
Dari anamnesis pasien mengeluhkan bercak-bercak kehitaman di kedua tangan dan
kaki yang terasa tebal, tidak gatal dan tidak nyeri sejak 1 tahun yang lalu. Terdapat benjolan
dikedua telinga dan wajah. Tidak ada penurunan sensasi rasa di daerah bercak. Riwayat
demam dan nyeri sendi ada, riwayat kesemutan di lengan dan tungkai tidak ada. Pasien
menyatakan di lingkungan rumah tempat tinggalnya ada yang menderita penyakit kulit
berupa bercak-bercak seperti pasien. Pasien bekerja sebagai petani dan peternak kerbau.
Dari pemeriksaan dermatologi lokalisasi kelainan di telinga kiri dan kanan, wajah,
kedua lengan dan tungkai, dengan distribusi regional, bentuk tidak khas, susunan tidak khas,
batas tegas dengan ukuran plakat. Pada effloresensi terlihat makula hiperpigmentasi dan
infiltrat pada cuping telinga dan wajah
Dilakukan pemeriksaan neurologis yang mendukung untuk gejala klinis morbus
hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf perifer, kekuatan motorik dan pemeriksaan
sensorik. Dari hasil yang didapatkan, terdapat pembesaran pada nervus ulnaris dextra dan
sinistra, tidak terdapat nyeri. Tidak terdapat adanya kelemahan pada tes kekuatan otot, dan
pada pemeriksaan sensorik untuk rasa raba, rasa tusuk dan suhu tidak jelas. Dilakukan juga
pemeriksaan pada kuku, rambut dan selaput lendir dengan hasil tidak ditemukan kelainan.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan BTA, dengan hasil
cuping telinga kiri (+6), cuping telinga kanan (+6), Lesi pada ujung jari kiri (+4), dan Lesi
pada pangkal lengan kanan (+4).
Pasien didiagnosis dengan Morbus Hansen tipe BL. Untuk tatalaksananya dengan
nonmedikamentosa dan medikamentosa. Untuk terapi nonmedikamentosa:
Penjelasan mengenai penyakit (penyebab, penularan dan komplikasi) dan pengobatan
pada pasien dan keluarga, serta kontrol rutin tiap bulan ke poli Kulit dan Kelamin,
berobat teratur sampai dinyatakan sembuh
Menjelaskan efek samping obat yang akan terjadi saat mengonsumsi obat yang akan
diberikan
Memberitahukan pada pasien jika terdapat reaksi samping obat segera kembali ke dokter
untuk mendapat penanganan selanjutnya
Terapi medikamentosa: Regimen MDT MB
Hari 1 :Rifampisin 600 mg, DDS 100 mg, klofazimin 100 mg x 3
Hari 2-28 : Klofazimin 50 mg / hari dan DDS 100 mg/ hari
Prognosis pada pasien ini adalah Quo ad sanam bonam, quo ad vitam bonam, qua ad
cosmeticum dubia et bonam dan quo ad fuctionam dubia et bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam : Ilmu penyakit Kulit dan
Kelamin Ed 7. Jakarta: FKUI. 2015. Hal 87-102
2. Bratschi MW, Steinmann P, Wickenden A, Gillis TP. Current knowledge on
Mycobacterium leprae transmission: a systematic literature review. Lepr Rev. 2015.
p 142-155
3. Daili ESS, Menaldi Sl, Wisnu IM. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Jakarta:
PT Medical Multimedia Indonesia. 2005. Hal 51-59
4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz, SI, Gilchrest BA, PallerAS, et Leffell DJ. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine Ed 7th Vol.2
5. Dogra S, Narang T, Kumar B. Leprosy – evolution of the path to eradication. Indian J
Med Res. 2013.p 15-35.
6. Buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2007: 37-46.
Gambar