Anda di halaman 1dari 27

INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT

DOSEN PEMBIMBING : Nia Kurniawati,SST.Ft, M.Fis

DISUSUN OLEH :

Anisa Nuraini P3.73.26.1.17.005


Novita Romauli P3.73.26.1.17.035
Serbelia Tama Putri P3.73.26.1.17.043
Setyarin Pebriyuani P3.73.26.1.17.044

PROGRAM STUDI D IV FISIOTERAPI


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III
2017/2018
1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat -Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Infeksi Sistem
Saraf Pusat (SSP)”. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang mata kuliah Patofisiologi
Neuromuskuler dapat memberikan manfaat untuk mahasiswa inpirasi terhadap pembaca.

Bekasi, 26 Februari 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI................................................................................................................................... 3
BAB 1 ............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................................. 5
1.3 Tujuan................................................................................................................................... 5
1.4 Manfaat................................................................................................................................. 5
BAB II............................................................................................................................................. 6
ISI.................................................................................................................................................... 6
A. MANINGITIS .................................................................................................................... 6
B. ENSEFALITIS ................................................................................................................. 11
C. BRAIN ABSCESS ............................................................................................................ 17
D. PRION DISEASE............................................................................................................. 22
BAB III ......................................................................................................................................... 26
PENUTUP..................................................................................................................................... 26
1. Kesimpulan ....................................................................................................................... 26
2. Kritik & Saran ................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 27

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Sistem Saraf Pusat (SSP) berbeda dengan infeksi organ lain. Infeksi SSP dikenal
sebagai penyakit berbahaya yang dapat berkembang cepat dan menyebabkan kerusakan berat
bahkan kematian jika tidak dikenali dan ditangani segera. Penyebab infeksi SSP dapat
disebabkan karena virus, bakteri, atau mikroorganisme yang lain.
Infeksi pada sistem syaraf pusat dan pada jaringan disekitarnya merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. prognosis tergantung pada identifikasi tempat dan jenis pathogen yang
menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga bisa diberikan pengobatan anti biotic yang efektif
secepat mungkin. Oleh karena analisis LCS, biopsy, dan analisis laboratorium merupakan Gold
standard untuk mengidentifikasi pathogen penyebab meningitis, neuroimaging merupakan
pemeriksaan yang sangat penting untuk menggambarkan letak lesi pada otak dan medulla
spinalis. gambaran pola lesi menentukan diagnosis yang tepat dan menentukan tatalaksana terapi
selanjutnya. khususnya, neuroimaging memiliki peran yang sangat penting pada penyakit-
penyakit oportunistik, bukan hanya untuk penegakan diagnosis, namun juga untuk memantau
respon terapi.
Manifestasi klinis dari infksi SSP dapat berupa, penurunan kesadaran, sakit kepala, tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial (seperti, muntah, gangguan kardiovaskuler, dan
pernapasan), kejang dan gejala fokal dari gangguan SSP.
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa meningitis menyerang 426.000 anak
dan 85.000 anak dilaporkan meninggal dunia. Angka kejadian meningitis menduduki urutan ke 9
dan 10 pola penyakit di 8 rumah sakit pendidikan di Indonesia. Angka kejadian meningitis
sekitar 158/10.000 per tahun. Dirumah sakit Haji Adam Malik Medan dilaporkan dari tahun
2011-2014 terdapat 157 anak yang dirawat dengan infeksi SSP. Infeksi SSP khususnya
meningitis, merupakan masalah yang serius sehingga dibutuhkan cara yang efisien untuk
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan fisik saja tidak cukup untuk mendiagnosis meningitis secara
akurat untuk itu dibutuhkan analisis cairan cerebrospinal (CSS) yang diperoleh melalui tindakan
fungsi lumbal untuk memperkuat diagnosis.

4
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu infeksi Sistem Saraf Pusat (SSP)?
1.2.2 Apa itu Meningitis ?
1.2.3 Apa itu Ensefalitis ?

1.3 Tujuan
Mengetahui dan memahami Patofisiologi infeksi Sistem Saraf Pusat (SSP) dan
mengimplementasikan di bidang fisioterapi.

1.4 Manfaat

Memberikan gambaran kepada pembaca tentang patofisiologi infeksi Sistem Saraf Pusat
(SSP) yang mampu membantu tenaga medis dalam memberikan penjelasan tentang infeksi
pada Sistem Saraf Pusat (SSP) .

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. MENINGITIS
1. Definisi
Meningitis adalah infeksi serius paling umum pada Susunan Saraf Pusat
(SSP). Meningitis merupakan radang umum pada araknoid dan piameter,yang
dapat terjadi secara akut dan kronis. Meningitis biasanya disebabkan oleh bakteri
atau virus walaupun jamur,protozoa, dan toksin juga merupakan penyebabnya.
Meningitis sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari tempat lain di tubuh,
misalnya sinus, telinga, atau saluran napas bagian atas. Fraktur tegkorak basilar
posterior disertai pecahnya gendang telinga juga dapat menyebabkan meningitis.
Pada meningitis bacterial, toksin yang dikeluarkan merusak sel meningeal dan
menstimulasi reaksi imun dan inflamasi.

2. Epidemiologi

Perkiraan kejadian meningitis adalah 2 sampai 6 per 100.000 orang


dewasa per tahun di negara maju dan sampai 10 kali lebih tinggi di negara-negara
kurang berkembang.Tampaknya ada peningkatan kerentanan pada beberapa
populasi, namun ini mungkin juga terkait dengan kondisi kehidupan. dan iklim
beriklim sedang. Ada sabuk meningitis di subSaharan Afrika, di mana
kejadiannya lima sampai sepuluh kali lebih tinggi dari pada di negara maju. Ada
defisiensi yang ditentukan secara genetik yang meningkatkan kerentanan dan
risiko, namun ini hanya mencakup sebagian kecil dari mereka yang
mengembangkan infeksi. Meningitis bakteri pernah didominasi oleh penyakit
pada anak kecil dan orang dewasa yang lebih tua. Vaksin yang dikembangkan
dalam 15 tahun terakhir untuk melindungi terhadap pengembangan meningitis,
terutama terhadap infeksi Haemophilus influenzae tipe B (Hib), secara dramatis
menurunkan kejadian di negara-negara dimana ada akses terhadap vaksin
tersebut. Tampaknya ada periode kedua peningkatan kerentanan selama masa
remaja akhir. Pada masa dewasa, meningitis bakteri sebagian besar terkait dengan
kondisi yang mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh. Individu dengan
fungsi kekebalan yang dikompromikan yang terkait dengan kondisi lain, seperti
6
human immunodeficiency virus (HIV), tetap berisiko tinggi untuk
mengembangkan meningitis. Bila ada kerusakan atau pengangkatan limpa,
seseorang menjadi lebih rentan terhadap penyakit pneumokokus. Otitis,
mastoiditis, dan sinusitis adalah kondisi predisposisi yang umum yang mungkin
memerlukan perawatan khusus. Meningitis neoplastik adalah komplikasi yang
jarang terjadi namun ditandai dengan tanda dan gejala neurologis dan memiliki
hasil yang buruk. Meningitis yang terkait dengan anthrax kulit menjadi perhatian
medis yang mendesak dengan ancaman bioterorisme tahun 2001. Meskipun ada
keterlibatan meningeal hanya pada 5% orang yang terpapar, penelitian tentang
anthrax inhalasi eksperimental pada monyet telah menunjukkan keterlibatan
meningeal pada 40% sampai 50% kasus.

3. Patofisiologi
Meningitis di bagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak,yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa adalah infeksi selaput otak araknoid dan piamater yang disertai
cairan otak yang jernih. Penyebabnya bisa karena Microbacterioum
tuberculosa,virus,Toxoplasma gondhii, Ricketsia. Meningitis purulenta adalah
infeksi bernanah araknoid dan piamater yang meliputi otak dan medulla spinalis.
Penyebabnya bisa karena Diplococcus pneumonia, Neisseria meningitides,
Streptcoccus haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemiphilus influenza,
Escherchia coli, Klebsiella pneumonia, Psedomonas aeruginosa. Proses infeksi
itu rumit, namun serangkaian kejadian bisa dilakukan. Respon kekebalan
menghancurkan organisme di tempat infeksi dan di dalam darah. Bakteri dan
virus dikeluarkan dari darah oleh sistem retikuloendotelial. Infeksi dapat dibawa
oleh produk darah atau cairan lainnya dan dapat menyebabkan perubahan pada
endotel kapiler serebral. Hambatan darah-otak kemudian gagal mencegah
masuknya organisme menular ke otak atau CSF. Hambatan darah-otak adalah
mekanisme endothelium yang secara selektif menghambat zat tertentu memasuki
ruang interstisial otak atau CSF. Dipercaya bahwa astrosit dan persimpangan yang
ketat dengan daya tahan listrik yang tinggi antara sel endotel kapiler otak
menciptakan penghalang ini. Pembatasnya menentang sebagian besar ion, peptida
kecil, protein, dan senyawa dengan berat molekul tinggi. Begitu penetrasi

7
penghalang darah-otak dan agen infeksi bergerak ke CSF dan parenkim otak, ada
sedikit perlindungan kekebalan daripada di bagian tubuh lainnya CSF memiliki
sekitar 1/200 jumlah antibodi sebagai darah, dan jumlah sel darah putih sangat
rendah dibandingkan dengan darah. Otak tidak memiliki sistem limfatik untuk
melawan infeksi. Selama infeksi dan pembengkakan, tingkat leukosit di otak
meningkat. Sitokin, kemokin, makrofag, dan mikroglia merespons infeksi virus
dan bakteri. Sel polimorfonuklear yang direkrut ke infeksi menyebabkan
kerusakan pada jaringan otak di sekitarnya dengan melepaskan radikal bebas
sitotoksik dan asam amino rangsang seperti glutamat. Stres oksidatif mungkin
bertanggung jawab atas apoptosis di hippocampus. Respons terhadap peradangan
di otak bisa menghalangi CSF menghasilkan hidrosefalus, edema, dan
peningkatan tekanan intrakranial. Vaskulitis dapat menyebabkan infark dan
penurunan aliran darah serebral, menyebabkan penurunan kadar glukosa CSF.
Obat yang mengais radikal bebas dan penggunaan penghambat reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) dapat membantu mengurangi cedera jaringan.

4. Bakteri Meningitis.
Organisme yang umumnya bertanggung jawab untuk meningitis bakteri
adalah yang ditemukan di permukaan mukosa di saluran pernapasan bagian atas.
Bakteri di jalan lahir dapat ditransfer dari ibu ke bayi saat lahir. Streptococcus
grup B, Escherichia coli, dan Listeria monocytogenes adalah bakteri yang dapat
menyebabkan infeksi pada neonatus, walaupun antibodi melewati plasenta. Saat
antibodi ini menurun, kerentanan terhadap Hib, pneumococcus, dan
meningococcus meningkat, terutama pada paruh kedua tahun pertama kehidupan.
Di ujung lain spektrum, Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitis
adalah bakteri yang paling umum menyebabkan infeksi pada populasi orang
dewasa dan geriatri. Pada meningitis bakteri, peradangan pada awalnya terbatas
pada ruang subarachnoid, kemudian menyebar ke parenkim otak yang berdekatan.
Vaskulitis dimulai di pembuluh subarachnoid kecil. Obstruksi trombotik
pembuluh darah dan penurunan tekanan perfusi serebral dapat menyebabkan lesi
iskemik fokal. Vena lebih sering terkena daripada arteri, mungkin karena
pembuluhnya yang lebih tipis dindingnya dan aliran darah lebih lambat.
Kerusakan pada sel tubuh menyebabkan produksi protein prekursor amyloid-p

8
(APP) yang dibawa melalui akson dan terakumulasi dalam pembengkakan
aksonal terminal, atau speroid. Patologi aksonal ini berkontribusi pada sekuel
neurologis yang terlihat setelah meningitis bakteri.

5. Diagnosa Banding
a. Infeksi parameningial, infeksi telinga kronik atau infeksi sinus paranasalis
kronik.
b. Abses otak, abses epidural atau empyema subdural
c. Endokarditis bacterial
d. Meningitis kimiawi, kontaminasi bahan kimia pada alat pungsi lumbal

6. Manifestasi klinis.
a. Meningitis Tuberkulosis
Penyakit ini dimulai akut,sub akut, tau kronis dengan gejala
demam,mudah kesal, marah-marah, opstipasi, muntah-muntah. Dapat di
temukan tanda- tanda perangsangan mengingen seperti kaku kuduk. Pada
pemeriksaan terdapat kaku kuduk dan tanda-tanda perangsangan
mengingenl lainnya. Suhu badan naik turun, kadang-kadang suhu
merendah. Nadi sangat labil, lebih sering dijumpai nadi yang lambat.
Selain itu terdapat hiperestesi umum. Abdomen tampak mencekung.
Gangguan saraf otak yang terjadi disebabkan tekanan eksuda ada saraf-
saraf ini. Yang sering terkena adalah nervus III dan VII. Terjadi afasia
motoris atau sensoris, kejang vocal, monoparesis, hemiparesis, gangguan
sensibilitas. Tanda-tanda khas penyakit ini adalah apatis, reflek pupil yang
lambat dan reflek tendon yang lemah.

b. Meningitis Purulenta
Gejala dan tanda penting adalah demam tinggi, nyeri kepala, kaku
kuduk, kesadaran menurun

9
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Meningitis Tuberkulosis
 Pemeriksaan darah: Dilakukan pemeriksaan kadar haemoglobin,
dan hitung jumlah leukosit, laju endap darah(LED), kadar glukosa,
kadar ureum elektrolit
Pada meningitis Serosa di dapatkan peningkatan leukoit saja.
Disamping itu pada Meningitis Tuberkulosis juga didapatkan
peningkatan LED
 Cairan otak : Periksa lengkap termasuk pemeriksaan biologis,
mikrobiologis. Pada meningitis Serosa diperoleh hasil pemeriksaan
cairan serebsospinal yang jernih meskipun mengandung sel dan
jumlah protein yang tinggi.
 Pemeriksaan radiologis: Foto dada, foto kepala, bila mungkin CT
scan.
b. Meningitis Purulenta
 Pemeriksaan darah: Dilakukan pemeriksaan kadar haemoglobin,
hitung jumlah leukosit, laju endap darah(LED), kadar glukosa,
kadar ureum elektrolit, kultur. Pada meningitis Purulenta di
dapatkan peningkatan leukoit dengan pergeseran kekiri pada
hitung jenis.
 Cairan Serebrospinalis: Lengkap dan kultur.
Pada meningitis Purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal yang keruh mengandung pus, nanah yang merupakan
campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang mati dan
bakteri.
 Pemeriksaan radiologis: Foto dada, foto kepala : periksa mastoid,
sinus paranasal, gigi gligi.

8. Prognosis
Kematian berkisar antara 5% sampai 25% tergantung pada bakteri yang
menginfeksi dan kesehatan dan usia orang yang terinfeksi. Setidaknya satu
komplikasi neurologis, seperti gangguan kesadaran, kejang, atau kelainan
neurologis fokal, biasanya terjadi pada 75% individu dengan meningitis bakteri.

10
Komplikasi sistemik, kegagalan kardiorespirasi, atau sepsis juga umum terjadi
dan ditemukan sekitar 40% dari waktu. Hiponatremia terjadi sekitar 30% dari
waktu, dengan durasi rata-rata 3 hari, dikelola dengan baik oleh pembatasan
cairan. Kelumpuhan saraf kranial terjadi sekitar 30% dari waktu, dengan
gangguan pendengaran saat dirawat di rumah sakit merupakan keluhan umum,
namun lebih dari separuh memiliki kembalinya pendengaran. Tingkat keparahan
gangguan pendengaran dinilai sebagai sepertiga ringan pada saat itu, sepertiga
moderat, dan sangat parah pada sepertiga lainnya. Bila terjadi gangguan
pendengaran, kemungkinan lebih besar bilateral daripada unilateral.Pada anak-
anak, konsekuensi neurologis jangka panjang dari meningitis bakteri termasuk
gangguan perkembangan, gangguan pendengaran, kebutaan, hidrosefalus,
disfungsi hipotalamus, hemiparesis, dan tetraparesis. Ada tingkat kematian 30%,
dengan kematian meningkat dengan individu di atas 60 tahun. Sebagian besar
kematian terjadi dalam 2 minggu, akibat komplikasi sistemik dan neurologis.
Aseptik atau meningitis virus biasanya membatasi diri sendiri, dan tidak ada
tingkat sekuele neurologis yang sama. Tingkat mortalitas untuk meningitis
tuberkulosis berkisar antara 20% sampai 50%, dan korban selamat dapat
ditinggalkan dengan sekuel neurologis yang serupa dengan yang terlihat pada
meningitis bakteri akut. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai peran
sitokin, terapi yang menargetkan proses ini sedang dipelajari dan tunjukkan janji
Terapi ini dapat membantu mengendalikan kerusakan sistem saraf lebih lanjut
selama proses menular atau inflamasi.

B. ENSEFALITIS
1. Definisi Ensefalitis

Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebebkan oleh


bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Ensefalitis adalah penyakit
radang akut pada parenkim, atau jaringan otak, yang disebabkan oleh invasi virus
langsung atau hipersensitivitas yang dipicu oleh virus.

11
2. Epidemiologi

Dalam banyak kasus, seperti virus West Nile dan virus herpes
simpleks, individu dapat mengembangkan ensefalitis atau meningitis. Hal ini
tercermin dalam berbagai tingkat penurunan yang mungkin dialami setelah
terpapar. Insiden Sebelum tahun 1994, wabah virus West Nile bersifat
sporadis dan terjadi terutama di wilayah Mediterania, Afrika, dan Eropa timur.
Sejak tahun 1994, wabah telah terjadi dengan kejadian penyakit manusia berat
yang lebih tinggi, terutama yang mempengaruhi sistem saraf. Pada tahun
2002, kejadian adalah 4 sampai 14 per 100.000 penduduk di Midwest. Gambar
29-4 mengilustrasikan penyebaran virus tersebut melalui Amerika Serikat.
Virus ini telah menyebabkan meningitis, ensefalitis, dan poliomielitis, yang
berakibat pada sigmorbiditas dan mortalitas yang signifikan. Ilmuwan
Norwegia telah melaporkan bahwa sejumlah besar anjing yang tak terduga di
daerah Arendal di selatan Norwegia memiliki antibodi terhadap virus
ensefalitis tertular yang disebabkan oleh flavivirus yang dilalui oleh kutu
hutan, kutu pengisap darah. Manusia, anjing, domba, sapi, dan mamalia
lainnya menjadi terinfeksi saat diberi makan kutu, meskipun virus tersebut
juga menyebar melalui konsumsi susu mentah dari hewan yang terinfeksi, dan
dapat melewati plasenta dari ibu ke janin. Gejala manusia meliputi meningitis
dan ensefalitis. Sampai 20% orang yang terinfeksi mengalami kerusakan
neurologis permanen, dan 2% meninggal.
Faktor Etiologi dan Faktor Risiko Penyebabnya tidak dapat
diidentifikasi pada hampir dua pertiga kasus ensefalitis virus. Infeksi virus
dapat menyebabkan ensefalitis sebagai manifestasi primer atau sebagai
komplikasi sekunder. Risiko penyakit neuroinvasif pada penerima organ yang
terinfeksi virus West Nile diperkirakan 40% dibandingkan dengan kurang dari
1% pada populasi umum. Encephalitida virus akut, seperti ensefalitis equines
timur dan barat, ensefalitis St Louis, dan ensefalitis virus California , dan
wabah terbaru virus Nil Barat bergantung pada nyamuk untuk ditularkan dan
cenderung terjadi pada pertengahan hingga akhir musim panas. Ragam bagian
timur adalah yang paling umum tapi paling mematikan. Itu terjadi pada wabah
di sepanjang pantai timur Amerika Serikat. Hal ini cepat progresif dengan lesi
di ganglia basalis. Ini membawa tingkat kematian dan morbiditas yang tinggi.

12
Versi barat memiliki angka kematian jauh lebih rendah namun tampak sangat
parah pada bayi dan anak-anak. Virus West Nile adalah flavivirus yang pada
awalnya diisolasi pada tahun 1937 dari darah seorang wanita demam di
provinsi Nil Barat, Uganda. Virus ini tersebar luas di Afrika, Eropa, Australia,
dan Asia, dan sejak tahun 1999, virus ini menyebar dengan cepat ke seluruh
belahan bumi barat, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, dan Karibia
dan menjadi bagian Amerika Tengah dan Selatan. Tabel 29-1 menunjukkan
penyakit manusia yang terkait dengan infeksi West Nile sejak tahun 1999.
Virus West Nile ditularkan terutama antara host unggas dan nyamuk. Gambar
29-5 menunjukkan siklus transmisi. Nyamuk dari genus Culex membawa virus
tersebut, dan dipelihara selama periode nyamuk dewasa yang tidak aktif dan
pengenalan ulang virus oleh burung yang bermigrasi dari tempat peristirahatan
musim dingin mereka atau dari lokasi di mana virus tersebut dapat ditularkan
sepanjang tahun.

3. Patofisiologi

Patogenesis Encephalitis menghasilkan respon inflamasi dan


perubahan patologis di otak. Balon sel yang terinfeksi dan degenerasi nukleus
seluler dapat menyebabkan kematian sel. Membran plasma hancur, dan sel
membentuk sel raksasa multinukleat. Ada perivaskular cuffing yang
menyebabkan kerusakan pada lapisan pembuluh darah dan nekrosis
hemoragik. Oligodendrosit terpengaruh, menciptakan gliosis, atau jaringan
parut. Kerusakan materi putih yang meluas dapat terjadi melalui peradangan
dan trombosis pembuluh perforasi. Kerusakan fokal dapat menyerang area
diskrit seperti saraf optik. Virus West Nile diperkirakan awalnya bereplikasi di
sel dendritik setelah host tersebut digigit nyamuk yang terinfeksi. Infeksi
kemudian menyebar ke kelenjar getah bening regional dan masuk ke aliran
darah. Cara virus menyerang sistem saraf masih belum diketahui. Transportasi
retrograde di sepanjang akson saraf perifer telah diusulkan. Temuan SSP
Histologis dari infeksi virus West Nile biasanya ditandai dengan infiltrasi
limfoplasmacytic perivaskular, mikroglia, astrosit, nekrosis, dan kehilangan
neuron dengan predileksi pada struktur seperti thalamus, batang otak, dan sel
Purkinje serebelum.

13
Keterlibatan anatomi variabel ini menjelaskan berbagai presentasi
klinis. Virus herpes simpleks ditemukan pada bayi yang neonatal dan
tampaknya timbul dari infeksi genital ibu dengan virus tersebut. Ini didapat
saat bayi melewati jalan lahir. Lima puluh persen dari mereka yang tertular
virus herpes simpleks akan mengembangkan penyakit SSP, sementara yang
lain hanya dapat mengembangkan penyakit kulit, mata, dan mulut.
Encephalitis herpes simpleks ditemukan setelah usia 3 bulan dan seringkali
merupakan infeksi laten yang ditemukan pada materi abu-abu lobus temporal
dan struktur sekitarnya dari sistem limbik dan lobus frontal. Ini adalah
penyebab paling umum ensefalitis nonepidemik sporadis di Amerika Serikat.
Kemungkinan faktor genetik sedang menjalani penelitian, dan pada penelitian
hewan, tampaknya ada kaitannya dengan gen 7, Encephalomyelitis dapat
terjadi akibat infeksi virus seperti campak, gondok, rubella, atau varicella.
Gondok biasanya jinak dan terbatas pada diri sendiri, namun dapat memicu
ensefalitis dan komplikasi SSP lainnya seperti ataksia akut, hidrosefalus,
ataksia, myelitis melintang, dan tuli. Vaksin yang mengandung antigen neuron
telah diketahui mendahului infeksi ini, terutama untuk rabies atau cacar. Bila
ada penyakit pada saat vaksinasi, risikonya berkembang difection meningkat
Masalah neurologis biasanya terjadi dalam 3 minggu setelah penyakit atau
vaksinasi. EBV dan hepatitis A telah dikaitkan dengan gangguan SSP yang
bersifat menular. Ensefalitis toksik akut terjadi selama infeksi sistem dengan
virus biasa. Parasit, bakteri, dan reaksi obat toksik dapat menyebabkan infeksi
pada otak dan menyebabkan ensefalitis atau ensefalopati.

4. Diagnosa Banding

Pada kasus ensefalitis supuratif akut diagnosis bandingnya adalah


neoplasma, hematoma subdural, kronik, tuberkuloma, hematoma intraserebri.
Diagnosis banding jenis infeksi otak telah membaik dengan penggunaan MRI
dan PCR untuk diagnosis ensefalitis herpes simpleks. The
electroencephalogram (EEG) akan menunjukkan aktivitas kejang pada lobus
temporal pada herpes simpleks. Secara umum, tusukan lumbal tidak normal
dengan peningkatan protein. Tingkat glukosa, bagaimanapun, mungkin normal
atau sedang meningkat. Pemindaian CT tidak banyak ditampilkan sampai

14
kerusakannya sangat luas. MRI menunjukkan edema serebral dan kerusakan
vaskular pada awal proses dan menyebabkan deteksi dini. Pada virus West
Nile, lesi terkadang dapat dilihat pada materi putih, pons, substantia nigra, dan
thalamus. Temuan MRI penting adalah intensitas sinyal fokal abnormal di
tanduk anterior; Tingkat temuan MRI tulang belakang yang abnormal sesuai
dengan kelumpuhan. Perubahan dapat dilihat pada akar spinal, kemungkinan
akibat degenerasi aksonal akibat kehilangan neuron motor spinal atau
degenerasi Wallerian pada akar spinal, sehingga diagnosis klinis dini menjadi
sulit. Imunoglobulin M (IgM) antibodi terhadap virus (biasanya oleh enzyme-
linked immunoassay [ELISA]) biasanya menunjukkan adanya infeksi virus
West Nile baru-baru ini. Sampel darah yang dikumpulkan antara hari
kedelapan dan dua puluh satu setelah onset cenderung memberikan hasil
terbaik.
Antibodi IgM hanya terdeteksi 8 hari setelah onset gejala. Mungkin
ada hasil negatif dari sampel darah yang diperoleh sebelum hari kedelapan
setelah onset gejala. Setelah hari kedua puluh satu, titer IgM bisa menurun.
Jumlah limfosit, terutama tingkat limfopenia relatif, adalah tes yang mudah
didapat. Tingkat limfopenia relatif (> 10%) tampaknya memiliki kepentingan
prognostik di ensefalitis West Nile. Dokter harus mempertahankan indeks
kecurigaan yang tinggi untuk infeksi virus West Nile selama musim epidemi,
terutama saat mengevaluasi orang tua dengan gejala neurologis atau
gastrointestinal. Nebuat meningitis dan ensefalitis Baratimilar derajat
pleositosis, atau beberapa lesi kistik. Namun, ensefalitis West Nile cenderung
menciptakan konsentrasi protein total yang lebih tinggi di CSF dan
menyebabkan hasil yang lebih parah. Studi elektrofisiologi sangat membantu
diagnosis kasus kelumpuhan yang disebabkan oleh virus West Nile.
Studi konduksi saraf motorik dapat mengungkapkan amplitudo
amplitudo potensial aksi otot kompleks pada anggota tubuh simtomatik.
Namun, jika studi konduksi saraf dilakukan pada fase awal penyakit, potensial
aksi otot majemuk bisa menjadi normal karena degenerasi Wallerian bisa
memakan waktu 7 sampai 10 hari untuk menyelesaikannya. Kecepatan
konduksi saraf biasanya diawetkan, dan konduksi saraf sensorik biasanya
normal. Elektromiografi jarum menunjukkan denervasi yang parah pada otot
anggota badan yang lemah dan otot paraspinal yang sesuai. Secara bersamaan,

15
kelainan ini pada anggota tubuh yang lumpuh melokalisasi lesi pada neuron
motor tanduk anterior atau akar saraf ventral mereka. Lokalisasi biasanya
sesuai dengan temuan MRI. Individu yang mengalami kelumpuhan wajah
yang tidak dapat dijelaskan selama musim panas harus diuji tidak hanya untuk
neuroborrosis dan juga untuk virus West Nile. Ensefalitis West Nile dapat
terjadi dengan kelainan saraf kranial yang melibatkan saraf kranial VI atau
VII.

5. Manifestasi Klinik

Secara umum, gejala berupa trias ensefalitis yang terdiri dari demam,
kejang dan kesedaran menurun. Pada ensefalitis akut yang berkembang
menjadi abses serebri, akan timbul gejala-gelaja sesuai dengan proses
patologik yang terjadi di otak. Gejala-gejala tersebut ialah, gejala-gela infeksi
umum, tanda tanda meningkatnya tekanan intra kranial yaitu nyeri kepala
yang kronik progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesedaran menurun.
Pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit
neurologis tergantung pada lokasi luas abses.

6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ensefalitis adalah


pemeriksaan yang biasa dilakukan pada kasus-kasus infeksi lainnya.
Disamping itu dapat juga dilakukan pemeriksan elektroensefalogram (EEG),
fotorontgen kepala, bilamungkin CT-scan otak, atau arteriografi. Pungsi
lumbal tidak dilakukan bila terdapat edema papil. Bila dilakukan pemeriksaan
cairan serebrospinal maka dapat diperoleh hasil berupa peningkatan tekanan
intrakranial, pleiositosis, polinuklearis, jumlah protein yang lebih besar
daripada normal, dan kadar klorida dan glukosa dalam batas-batas normal.

7. Prognosis

Prognosis ensefalitis buruk karena angka kematian mencapai 50%.


Prognosis tergantung pada agen infeksius. Tingkat pemulihan bisa berkisar
antara 10% sampai 50% bahkan pada individu yang mungkin sangat sakit saat

16
permulaan. Individu dengan gondok meningoencephalitis dan ensefalitis kuda
Venezuela memiliki prognosis yang sangat baik. Encephalitides lainnya,
seperti ensiklin barat, St Louis, dan California dan virus West Nile, memiliki
tingkat kelangsungan hidup yang moderat. Meskipun, dengan penggunaan
obat-obatan, ensefalitis herpes simpleks memiliki hasil yang cukup baik
(angka kematian 20%), sekuele neurologis umum terjadi pada 50% orang.
Pemulihan kelumpuhan sangat bervariasi. Variasinya mungkin disebabkan
oleh perbedaan derajat neuron motorik atau kehilangan unit motor. Beberapa
pemulihan selesai dalam beberapa minggu, namun hasilnya sangat bervariasi.
Tingkat keparahan penyakit asli tidak selalu memprediksi hasil akhir. Prediksi
sindrom polio sindrom postWest Nile virus mirip sindrom postpolio belum
memungkinkan. Masalah serebral permanen lebih mungkin terjadi pada bayi.
Anak kecil akan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih daripada orang
dewasa dengan infeksi serupa. Virus IgM Anti-West Nile bisa bertahan selama
1 tahun atau lebih. Pengembangan vaksin virus West Nile telah dieksplorasi,
termasuk imunisasi hewan dengan protein virus rekombinan, virus West Nile
yang tidak aktif, asam deoksiribonukleat (DNA) yang mengekspresikan
antigen virus, atau isolat virus West Nile yang dilemahkan.

C. BRAIN ABSCESS
1. Definisi

Apa yang dimaksud dengan abses serebri ialah abses intraserebral atau
intra serebeler. Pada umumnya abses serebri adalah soliter (monolokuler)
tetapi adakalanya terdapat abses multilokuler akibat embolia septik dari
bronkhiektasis. Kira-kira 75% dari semua abses serebri berkembang sebagai
penjalaran dari otitis, mastoiditis, sinusitis frontalis atau fraktur tengkorak.
Abses otak (abses serebral) adalah abses yang disebabkan oleh pembengkakan
dan pengumpulan material, berasal dari lokal. yang menghasilkan gejala dan
temuan yang serupa dengan lesi ruang lain seperti tumor otak. Otak abses,
bagaimanapun, sering berkembang lebih cepat daripada tumor dan lebih sering
mempengaruhi struktur meningeal. Abses otak terjadi ketika mikroorganisme
mencapai otak dan menyebabkan infeksi lokal. Mungkin hanya ada satu area
abses, atau banyak daerah yang terinfeksi karena disebarkan oleh patogen

17
yang dibawa darah. Meskipun situs dan ukuran abses mempengaruhi gejala
awal, bukti peningkatan tekanan intrakranial umum terjadi.

2. Epidemiologi

Penularan prion BSE ke manusia terjadi dengan konsumsi daging sapi


dan produk ternak lainnya yang mengandung jaringan endotel atau syaraf
retikular, yang mengakibatkan wabah vCJD yang tertunda di Inggris. Faktor
Etiologi dan Risiko Di Italia, kejadian ensefalopati spongiform genetik yang
dapat ditularkan melalui genetik. penyakit adalah yang tertinggi kedua di
antara negara-negara Eropa. Infeksi dengan prion yang berasal dari BSE atau
berasal dari vCHJD bergantung pada susunan genetik host, yang berarti bahwa
ada sejumlah besar pembawa penyakit bebas gejala dari agen infeksi ini.
Sekarang ada bukti bahwa prion vCJD dapat ditularkan melalui transfusi darah
dan rute iatrogenik lainnya.
Penularan iatrogenik terjadi melalui transplantasi kornea dan dural dan
elektroda cerebral dalam. Terapi hormon menggunakan produk hipofisis
manusia bisa menjadi penyebabnya. Penularan penyakit prion juga
dimungkinkan melalui menelan produk sistem syaraf yang mengandung bahan
terinfeksi. Mengkonsumsi produk sistem saraf daging sapi yang telah diberi
makan protein yang diberikan menyebabkan peningkatan kejadian di Inggris
pada tahun 1990. Jaringan otot rangka dari rusa terinfeksi CWD telah
menunjukkan infektivitas prion, namun, implikasi dari temuan ini untuk
manusia adalah tidak jelas Sangat sulit, jika tidak mungkin, untuk
memprediksi bagaimana prion dari satu spesies akan berperilaku ketika
mereka transit penghalang spesies.
Sebagian besar abses otak berkembang selama sejumlah tahap, dengan
keterlibatan otak besar yang terjadi selama 1 sampai 3 hari pertama. Infiltrat
inflamasi sel polimorfonuklear, limfosit, dan sel plasma mengikuti dalam
waktu 24 jam. Dengan 3 hari, daerah sekitarnya menunjukkan adanya
peningkatan perivaskular peradangan. Fase serebritis akhir berkembang sekitar
4 sampai 9 hari setelah infeksi, selama waktu dimana pusat menjadi nekrotik,
mengandung campuran puing dan sel inflamasi. Astrossi reaktif awal
mengelilingi zona infeksi dan berlanjut ke pembentukan kapsul awal antara

18
sekitar 10 dan 13 hari. Pada saat ini, pusat nekrotik sedikit menyusut, dan
lapisan fibroblas periferal berkembang dengan baik berkembang. Tahap akhir
kapsul terus berkembang antara 14 hari dan 5 minggu, dengan terus menerus
menyusutnya pusat nekrotik dan penurunan relatif pada sel-sel inflamasi.
Kapsul mengental dengan bekas luka astrosit. Jika infeksi dibawa ke dalam
darah dari tempat lain di dalam tubuh, abses biasanya akan berkembang pada
pembedahan abses dari waktu ke waktu. EEG sering tidak normal.

3. Patofisiologi

Faktor Risiko dan Patogenesis Orang dengan sistem kekebalan tubuh


yang terganggu yang menerima steroid, imunosupresan, atau kemoterapi
sitotoksik atau orang dengan penyakit sistemik, seperti infeksi HIV, memiliki
peningkatan risiko pengembangan abses otak. Sedangkan virus cenderung
menyebabkan infeksi otak diffuse seperti yang dijelaskan sebelumnya,
kebanyakan bakteri, jamur, dan parasit lainnya menyebabkan penyakit otak
lokal. Abses otak dapat berkembang dari infeksi lain di tengkorak seperti
sinusitis atau mastoiditis. Infeksi mengarah ke bra Abses bisa berasal dari
lokasi ekstraksi sekunder, metastasis darah, infeksi dari paru atau jantung; atau
infeksi di dalam tengkorak seperti otitis, osteomielitis tengkorak, dan sinusitis.
Trauma kepala atau prosedur bedah saraf terkini atau jauh mungkin menjadi
penyebabnya. Infeksi yang ditularkan melalui darah benih otak dan menyebar
dan menghasilkan abses di daerah otak sebanding dengan aliran darah;
Dengan demikian, abses parietal lobus mendominasi. Perpanjangan infeksi
dari otitis dan mastoiditis melibatkan daerah otak bersebelahan dari lobus
temporal dan serebelum, sedangkan abses akibat sinusitis mempengaruhi
lobus frontal dan temporal. Patogenesis Seperti onkogen, mutasi gen protein
prion seluler normal menyebabkan penyakit. Protein prion yang tidak normal
berbeda dari produk onkogene karena protein prion memprogram ciptaannya
sendiri dari protein seluler normal dan kemudian menginstruksikan protein
normal untuk berubah sehingga secara fungsional mirip dengan protein
abnormal. Perubahan mikroskopik terdiri dari perubahan spongy pada
neuropil, neuronal loss, dan gliosis. Perubahan spongiform serupa dengan
yang terlihat setelah anoxia dan beberapa kasus gangguan Alzheimer.

19
Prion adalah zat yang tidak mengandung asam nukleat tapi dapat
bereplikasi di dalam sistem saraf. Tampaknya ada percepatan kematian sel
Purkinje, mengakibatkan ataksia yang umum terlihat. Gerakan Manifestasi
Klinis menjadi tidak normal, dengan demensia yang juga memburuk seiring
berjalannya waktu. Gejala bangun tidur berkembang dengan kelainan tidur
EEG yang parah dengan kehilangan spindle tidur, efisiensi tidur sangat
rendah, dan tidak adanya tidur dengan gerakan mata yang cepat (REM ).
Mutisme akinet pada akhirnya akan berkembang dengan sulaman mioklonik.

4. Diagnosa Banding
Gangguan pembuluh darah otak, yang bersifat oklusi dan perdarahan,
terutama pada penderita AO dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Jarang
terjadi sebelum usia 2 tahun. Serangan nerolgik timbulnya mendadak, pada
AO perlahan.
Hidrosefalus,Gejala klinik AO di bawah 2 tahun, kadang-kadang sukar
dibedakan dari hidrosefalus. Tumor otak seperti astrositoma mempunyai
gambaran klinik seperti AO. Dengan pemeriksaan CT scan dapat dibedakan
keduanya. Kelainan lain yang harus dibedakan dari AO adalah proses desak
ruang intrakranial seperti hematoma subdural, abses subdural dan abses
epidural serta hematoma epidural.

5. Manifestasi klinik
Manifestasi Klinis Suhu tubuh normal sering terjadi, dan jumlah sel
putih tidak selalu tinggi. Kekakuan leher jarang terjadi karena tidak adanya
tekanan intrakranial yang meningkat. Jika tidak, fitur penyajiannya
menyerupai massa intrakranial yang meluas, seperti neoplasma yang tumbuh
lambat, atau mungkin cepat dan berlanjut ke kemungkinan herniasi dan
kompresi batang otak, menyebabkan kematian. Sakit kepala onset baru-baru
ini adalah gejala yang paling umum, yang merupakan distorsi atau iritasi pada
struktur nyeri di kranial vault, terutama sinus vena hebat dan dura mater
tentang dasar otak. Jika proses terus diobati, sakit kepala terisolasi meningkat
dalam tingkat keparahan dan menjadi disertai dengan tanda fokal, seperti
hemiparesis atau afasia, diikuti oleh obtundasi dan koma. Periode evolusi
mungkin sesingkat jam atau selama beberapa hari sampai minggu dengan

20
organisme yang lebih malas. Kejang dapat terjadi dengan abses yang
melibatkan materi korteks abu-abu. Kemunduran dan kemajuan kebingungan
dengan meningkatnya tekanan intrakranial hadir dengan massa yang tumbuh.
Tanda-tanda fokal mencerminkan area otak yang terkena, dengan paresis
akibat lesi frontal dan parietal dan gangguan penglihatan yang dicatat dengan
disfungsi lobus oksipital.

6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur


diagnostik, dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk
mendiagnosis abses serebri. Yang perlu dipertimbangkan adalah walaupun
gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup kemungkinan
untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis,
hematom yang diserap dan granuloma.
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma,
metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk
membedakan keduanya antara lain : umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis
hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada
½ kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini
menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan
mengapa daughter abscess biasanya berkembang di medial. Abses serebri
yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering dari
paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah
perbatasan massaputih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang
tinggi.Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed
density tumor, ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal edema
yang luas.

7. Prognosa

Pada saat ini tidak ada pengobatan yang diketahui untuk penyakit
prion, walaupun uji klinis metode untuk mengganggu replikasi sedang
dipertimbangkan. Setelah didiagnosis, gangguan ini cepat progresif dan
akhirnya berakibat fatal. Pengendalian penggunaan pakan ternak yang

21
berpotensi terinfeksi telah meningkat di awal tahun 2000an, dan diyakini
bahwa ini akan membantu menghilangkan kekhawatiran saat ini. Gangguan
Infeksi EfMH pada Sistem Saraf Pusat pola.

D. PRION DISEASE
1. Definisi
Bentuk ensefalopati yang jarang termasuk penyakit prion pada
penyakit Creutzfeldt-Jakob, kuru, dan ensefalopati bongkah spongiformis,
juga dikenal sebagai penyakit sapi gila. Masa inkubasinya lambat dan bisa
sampai 5 sampai 8 tahun. Paling sering penyakit ini ditemukan pada orang
dewasa muda berkisar antara 16 sampai 30 tahun.10 Penyakit Creutzfeldt-
Jacob klasik (CJD) adalah penyakit neurologis yang jarang, fatal, dan
degeneratif dengan periode laten asimtomatik yang panjang yang pertama kali
dijelaskan pada tahun 1920. agen penyebab CJD dianggap oleh kebanyakan
ahli sebagai protein prion (PrPsc), suatu konformasi abnormal protein selular
normal (PrPc) yang dapat merekrut PrPc tambahan untuk PrPsc, yang
menghasilkan pengendapan presipitat yang tidak larut dalam jaringan saraf.
CJD adalah salah satu dari berbagai penyakit prion manusia yang terjadi
secara spontan dengan laju sekitar 1 per juta di seluruh dunia dan dapat
ditularkan secara vertikal dalam kondisi keluarga, seperti sindrom Gerstmann-
Straussler-Scheinker, atau melalui kanibalisme ritual (kuru) . Seperti CJD
klasik, varian CJD (vCJD) adalah penyakit neurologis degeneratif yang fatal,
walaupun terjadi pada orang yang lebih muda dan memiliki karakteristik
klinis, histopatologis, dan biokimia khas, termasuk adanya protein prion yang
mudah terdeteksi pada jaringan limforetikular non-SSP seperti usus buntu,
limpa, amandel, dan kelenjar getah bening. Berbeda dengan CJD klasik,
penyakit vCJD baru, pertama kali dilaporkan di Inggris pada tahun 1996.
Agen penyebab vCJD, prion, adalah agen yang sama yang menyebabkan
bovine spongiform encephalopathy (BSE).

2. Epidemiologi
Kelainan ini sangat jarang terjadi. Meskipun prevalensi sebenarnya dari
penyakit prion tidak diketahui, penelitian menunjukkan bahwa kelompok

22
kondisi ini mempengaruhi sekitar satu orang per juta di seluruh dunia setiap
tahunnya. Sekitar 350 kasus baru dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat.
Epidemi besar BSE terjadi di Inggris pada tahun 1980an dan awal 1990an
sebagai hasil daur ulang dan pengolahan bahan dari domba mati dan ternak
menjadi makanan ternak. Meskipun praktik ini dihentikan pada pertengahan
tahun 1990-an setelah apresiasi terhadap epidemi BSE, diperkirakan 250.000
ternak telah terinfeksi dengan BSE. Penularan prion BSE ke manusia terjadi
dengan konsumsi daging sapi dan produk ternak lainnya yang mengandung
jaringan endothelial atau syaraf retikuler, yang mengakibatkan wabah vCJD
yang tertunda di Inggris.

3. Patofisologi

Antara 10 dan 15 persen dari semua kasus penyakit prion disebabkan


oleh mutasi pada gen PRNP. Karena bisa lari dalam keluarga, bentuk penyakit
prion ini tergolong familial. Penyakit prion familial, yang memiliki tanda dan
gejala yang tumpang tindih, termasuk penyakit familial Creutzfeldt-Jakob
(CJD), sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker (GSS), dan insomnia
keluarga fatal (FFI).
Gen PRNP memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut
protein prion (PrP). Meskipun fungsi protein yang tepat tidak diketahui,
periset telah mengusulkan peran dalam beberapa proses penting. Ini termasuk
pengangkutan tembaga ke dalam sel, perlindungan sel otak (neuron) dari
cedera (neuroproteksi), dan komunikasi antar neuron. Dalam bentuk keluarga
penyakit prion, mutasi gen PRNP menghasilkan produksi protein berbentuk
normal, yang dikenal sebagai PrPSc, dari satu salinan gen. Dalam proses yang
tidak sepenuhnya dipahami, PrPSc dapat melampirkan (mengikat) protein
normal (PrPC) dan mempromosikan transformasinya ke PrPSc. Protein
abnormal terbentuk di otak, membentuk gumpalan yang merusak atau
menghancurkan neuron. Hilangnya sel-sel ini menciptakan lubang menyerupai
spons mikroskopis (vakuola) di otak, yang menyebabkan tanda dan gejala
penyakit prion, 85 sampai 90 persen kasus penyakit prion lainnya tergolong
sporadis atau diperoleh. Orang dengan penyakit prionis sporadis tidak
memiliki riwayat keluarga penyakit ini dan tidak ada mutasi yang

23
teridentifikasi pada gen PRNP. Penyakit sporadis terjadi saat PrPC spontan,
dan untuk alasan yang tidak diketahui, ditransformasikan menjadi PrPSc.
Bentuk sporadik dari penyakit prion termasuk penyakit Creutzfeldt-Jakob
sporadis (sCJD), insomnia fatal sporadis (sFI), dan beberapa jenis prionopati
yang sensitif terhadap protease (VPSPr).
Penyakit prion diperoleh dari pemaparan PrPSc dari sumber luar.
Misalnya, varian penyakit Creutzfeldt-Jakob (vCJD) adalah jenis penyakit
prion yang didapat pada manusia yang hasil dari mengonsumsi produk daging
sapi yang mengandung PrPSc dari ternak dengan penyakit prion. Pada sapi,
bentuk penyakit ini dikenal sebagai bovine spongiform encephalopathy (BSE)
atau, yang lebih umum, "penyakit sapi gila." Contoh lain penyakit prion
manusia yang didapat adalah kuru, yang diidentifikasi pada populasi Fore
Selatan di Papua Nugini. Kelainan itu menular saat orang-orang makan
jaringan manusia yang terkena dampak selama upacara pemakaman
kanibalistik.
Jarang, penyakit prion dapat ditularkan melalui paparan tak terduga ke
jaringan yang terkontaminasi PrPSc selama prosedur medis. Jenis penyakit
prion ini, yang menyumbang 1 sampai 2 persen dari semua kasus,
diklasifikasikan sebagai iatrogenik.

4. Diagnosis Banding

Seperti onkogen, mutasi gen protein prion seluler normal menyebabkan


penyakit. Protein prion yang tidak normal berbeda dari produk onkogene
karena protein prion memprogram ciptaannya sendiri dari protein seluler
normal dan kemudian menginstruksikan protein normal untuk berubah
sehingga secara fungsional mirip dengan protein abnormal. Perubahan
mikroskopik terdiri dari perubahan spongy pada neuropil, neuronal loss, dan
gliosis. Perubahan spongiform serupa dengan yang terlihat setelah anoxia dan
beberapa kasus gangguan Alzheimer. Prion adalah zat yang tidak mengandung
asam nukleat tapi dapat bereplikasi di dalam sistem saraf. Tampaknya ada
percepatan kematian sel Purkinje, mengakibatkan ataksia yang umum terlihat

24
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinis Gerakan menjadi tidak normal, dengan demensia
yang juga memburuk seiring berjalannya waktu. Gejala bangun tidur
berkembang dengan kelainan tidur EEG yang parah dengan kehilangan
spindle tidur, efisiensi tidur sangat rendah, dan tidak adanya tidur dengan
gerakan mata yang cepat (REM ).25 Mutisme akinet pada akhirnya akan
berkembang dengan sulaman mioklonik.

6. Pemeriksaan Penunjang
Deteksi perubahan spons saja tidak cukup untuk diagnosis
neuropatologis penyakit prion tapi harus dikuatkan dengan pengujian Western
blot. Jika proteinopati prion familial dicurigai, analisis genetik molekuler
DNA dari limfosit dapat dilakukan

7. Prognosis

Pada saat ini tidak ada pengobatan yang diketahui untuk penyakit
prion, walaupun uji klinis metode untuk mengganggu replikasi sedang
dipertimbangkan. Setelah didiagnosis, gangguan ini cepat progresif dan
akhirnya berakibat fatal. Pengendalian penggunaan berpotensi

25
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Infeksi pada sistem syaraf pusat dan pada jaringan disekitarnya merupakan
kondisi yang mengancam jiwa. prognosis tergantung pada identifikasi tempat dan
jenis pathogen yang menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga bisa diberikan
pengobatan anti biotic yang efektif secepat mungkin. Oleh karena itu analisis LCS,
biopsy, dan analisis laboratorium merupakan Gold standard untuk mengidentifikasi
pathogen penyebab infeksi pada sistem saraf pusat, neuroimaging merupakan
pemeriksaan yang sangat penting untuk menggambarkan letak lesi pada otak dan
medulla spinalis.

2. Kritik & Saran


Untuk dapat memahami penyakit-penyakit infeksi pada sistem saraf pusat,
selain membaca dan memahami materi-materi dari sumber-sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan kita harus dapat mengkaitkan materi-materi tersebut dengan
kehidupan kita sehari-hari, Penulis Menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, kedepannya penulis akan melengkapi isi makalah ini dengan memperdalam
dan memperbanyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan, agar lebih mudah
untuk paham.

26
DAFTAR PUSTAKA

a. Adji, dharma. 2002. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2


Bagian 2( Pathophysiology Clinical Concepts Of Disease Processes). Jakarta : Buku
Kedokteran
b. Mardjono, mahar dan Priguna Sirdhata. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian
Rakyat
c. Sarafino, Edward P dan Timothy W Smith. 2012. Health psychology :
biopsychosocial interactions. USA : John Wiley & Sons, Inc

27

Anda mungkin juga menyukai