Oleh:
SURAKARTA
2019
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 2
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 2
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................... 4
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 4
1. Anatomi Kulit ............................................................................... 4
2. Proses Penyembuhan Luka ........................................................... 6
3. Luka Kronik .................................................................................. 8
4. Skin Graft ...................................................................................... 10
5. Indikasi Skin Graft ........................................................................ 11
6. Vaskularisasi Skin Graft ............................................................... 13
7. Split Thickness Skin Graft (STSG) ............................................... 14
8. Propolis ......................................................................................... 22
9. Reactive Oxygen Species (ROS) .................................................. 24
10. Peroxiredoxins (PRDX) ................................................................ 34
11. Glutathione Peroxidase ................................................................. 36
12. Katalase ......................................................................................... 37
13. Heme Oxygenase (HO) ................................................................. 38
14. Vascular Cellular Adhesion Molecule (VCAM-1) ....................... 39
15. Efek Anti ROS dari Propolis ......................................................... 40
16. Pengobatan Terkini ....................................................................... 47
17. Prospek Masa Depan ..................................................................... 48
18. Koenzim Q10 ................................................................................ 53
19. Propolis ......................................................................................... 56
B. Kerangka Konseptual .......................................................................... 62
C. Hipotesis Penelitian ............................................................................. 63
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 64
A. Desain Penelitian ................................................................................. 64
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 64
C. Populasi, Sample dan Teknik Sampling Penelitian ............................. 64
D. Kriteria Restriksi ................................................................................. 65
E. Alokasi Subjek .................................................................................... 66
F. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian ..................................... 66
G. Kerangka Operasional Penelitian ........................................................ 69
H. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................... 72
I. Analisis Data ....................................................................................... 74
J. Daftar Pustaka ..................................................................................... 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses penyembuhan luka merupakan proses yang terorganisir ke arah
perbaikan jaringan, yang terdiri dari empat fase yang saling tumpang tindih, yaitu
fase koagulasi, inflamasi, pembentukan jaringan granulasi (fase proliferatif), dan
remodeling atau fase pembentukan scar (Demidova-Rice, 2012). Proses
penyembuhan melibatkan banyak faktor, salah satunya adalah matriks
metalloproteinase (MMPs).
Matriks metalloproteinase (MMPs) merupakan enzim proteinase (protease)
yang memecah protein-protein dari matriks ekstraseluler (ECM) yang terdiri dari
kolagen, fibronectin, glycosaminoglycans, proteoglycans dan hyaluronic acid , dan
membutuhkan ion logam zinc pada pusat aktifnya (GibsonD, 2009). MMPs
berperan penting dalam proses penyembuhan luka, dan diproduksi oleh sel-sel
inflamasi yang teraktivasi (seperti netrofil dan makrofag), dan sel-sel luka seperti
sel epitel, fibroblast dan sel endotel (Sekhon BS, 2010).
Fungsi utama MMPs adalah untuk memecah dan mengangkat molekul-
molekul matriks ekstraseluler dari jaringan (Zitka, 2010). Ekpresi dan aktivitas
beberapa MMPs dalam fase inflamasi diregulasi oleh growth factor dan mediator-
mediator inflamasi seperti sitokin TNF-α, IL-1β, IL-6 atau endotoksin bakter,
sebaliknya MMPs juga dapat mengaktivasi sitokin dan kemokin spesifik sehingga
memiliki peran pro-inflamasi (Visse R, 2003) MMPs pada tingkat tinggi dan jangka
waktu lama dapat menghambat penyembuhan luka dan terjadi delayed healing
(Gill, SE, 2008).
Skingrafting adalah salah satu teknik bedah rekonstruksit penutupan luka
dengan memindahkan epidermis dan sebagian atau seluruh dermis dari suatu
tempat ke tempat yang lain agar hidup di tempat yang baru, baik yang bersifat
tindakan permanen atau sementara. Indikasi STSG adalah untuk menutup defek
yang luas, misalnya penutupan luka yang tidak dapat dilakukan secara primer,
rekontruksi luka bakar yang luas dan dalam, release scar kontraktur, congenital
skin deficiencies dan lain-lain. Kontra indikasi STSG, luka kecil yang penutupan
lukanya dapat dilakukan dengan flap atau full thickness skin graft (FTSG) (Ramona,
2010). Keuntungannya yaitu kemungkinan take lebih besar, sehingga dapat dipakai
untuk menutup defek luka yang luas dan donor dapat diambil dari bagian tubuh
mana saja. Kekurangannya adalah kecenderungan kontraksinya lebih besar dan
mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi mengkilat sehingga secara estetik
kurang baik (Perdanakusuma D, 1998; Sudjatmiko, 2007). Keberhasilan STSG
dinilai dari prosentase take yaitu terjadinya revaskularisasi pada skin graft yang
ditandai dengan STSG yang berwarna pink (Perdanakusuma D, 1998; Weber,
2011).
Raw surface (jaringan luka terbuka) merupakan salah satu problem dalam
bedah plastik maka diperlukan tehnik penutupan luka/defek sebagai tindakan
permanen atau sebagai tindakan sementara untuk mengontrol dan mengurangi
terjadinya infeksi, pada penelitian ini akan dibahas mengenai peran MMP-10 dalam
keberhasilan prosentase take skin graft dengan harapannya prosentase
keberhasilannya lebih besar dan waktu penutupan lebih cepat, pada kasus-kasus
bedah plastik banyak kasus yang membutuhkan penutupan defek dan selama ini
skin graft yang dilakukan menunggu jaringan granulasi kronis dengan hasil kurang
memuaskan.
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan pemberian propolis sebagai anti ROS terhadap aktifitas NF-
kβ dengan peningkatan survival take skin graft pada luka kronik (jaringan
granulasi ) yang dilakukan skingraft?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui hubungan pemberian propolis dengan peningkatan survival skin
graft pada jaringan granulasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Keberhasilan survival skingraft salah satunya dapat ditingkatkan dengan
pemberian agen anti oksidan (propolis) yang dapat menekan proses inflamasi yang
akan mengurangi kualitas extracellular matrix (ECM) jaringan granulasi
2. Manfaat Aplikatif
Dari penelitian ini diharapkan pemberian anti oksidan (propolis) sebagai
terapi adjuvan dapat meningkatkan survival skingraft pada jaringan granulasi.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,
merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar
16% berat tubuh total dan luasnya sekitar 1,5-1,9 meter persegi. Tebalnya antara
1,5-5 mm tergantung letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terdapat pada
kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan
kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong.
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya
adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier
infeksi, mengontrol suhu tubuh, sensibilitas, fungsi imunologi dan
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar
adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ektoderm sedangkan
lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang
merupakan jaringan ikat.
Dibawah dermis terletak hipodermis atau jaringan subkutis, suatu jaringan
ikat jarang yang banyak mengandung sel-sel lemak, panikulus adiposa. Hipodermis
tidak dianggap sebagai bagian kulit melainkan suatu yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan dibawahnya (Perdanakusuma D, 1998; Chen, 2007;
McGrath, 2008; Shimizu, 2012).
b. Dermis
Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya berbeda-beda, yang
paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri atas dua lapisan :
1. Lapisan papiler : tipis, terdiri atas serat kolagen, jaringan ikat jarang
2. Lapisan retikuler : tebal, terdiri atas jaringan ikat padat
Serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan
bertambahnya usia. Mayoritas sekitar 80 % berupa kolagen tipe I, 15 % tipe
III, sisanya kolgen tipe V dan VI. Perbandingan kolagen tipe I dan tipe III
adalah 4:1.
Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin
kulit manusia kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut
kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang
menyebabkan kulit menjadi kehilangan elastisitasnya dan tampak mempunyai
banyak keriput.
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga
mengandung beberapa derivat epidermis yaitu :
Folikel rambut
Kelenjar keringat ekrin
Kelenjar keringat apokrin
c. Subkutis
Merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri atas lapisan lemak.Lapisan
ini terdiri atas jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan
jaringan dibawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda- beda menurut daerah di
tubuh dan keadaan nutrisi individu.
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus yang terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan
jaringan subkutis. Cabang-cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi
papila dermis, tiap papila dermis punya satu arteri asenden dan satu cabang vena.
Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi terdapat nutrisi dari dermis
melalui membran epidermis (Perdanakusuma D, 1998; McGrath, 2008; Shimizu,
2012).
3. Luka Kronik
Patofisiologi Luka kronis tidak mengikuti kaskade yang jelas.
Proses ini sering terjebak dalam kondisi peradangan yang menghalangi
proliferasi. Antara lain, hipoksia jaringan lokal, trauma berulang dan
beban bakteri yang berat, dikombinasikan dengan gangguan respon
seluler dan sistemik host terhadap stres menahan siklus merusak yang
mencegah perkembangan ke fase proliferasi penyembuhan. Tingginya
tingkat aktivitas mitogenik yang terlihat pada luka akut tidak ada pada
luka kronis. Stimulus yang sering multifaktorial menciptakan dan
memperkuat lingkungan mikro yang bertentangan di mana sedikit
keseimbangan antara sitokin pro-inflamasi, kemokin, protease, dan
inhibitor - inhiitor yang ada pada luka akut terganggu (Żaneta, et al.,
2013).
Dengan demikian, cedera gagal sembuh dalam jangka waktu yang
sesuai secara fisiologis. Keterlambatan penyembuhan luka ini juga
memperburuk jaringan parut karena peradangan berkepanjangan, dan
cenderung mengalami perkembangan neoplastik. Infiltrasi neutrofil yang
berlebihan nampaknya menjadi penyebab penting dalam siklus
peradangan kronis ini, dan penanda secara biologis dari luka kronis.
Kelimpahan neutrofil menyebabkan kelebihan produksi ROS,
menyebabkan kerusakan langsung pada ECM, membran sel dan
selanjutnya, penuaan sel prematur . Selain itu, neutrofil melepaskan
protease serin seperti elastase dan MMPs seperti neutrofil kolagenase
(MMP-8); elastase mendegradasi faktor pertumbuhan penting seperti
PDGF dan TGF-β, sementara collagenase mendegradasi dan
menonaktifkan komponen ECM.
4. Skin Graft
Skin Graft adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh tebalnya kulit dari
satu tempat ke tempat yang lain agar hidup di tempat yang baru tersebut.
Dibutuhkan revaskularisasi untuk menjamin kelangsungan hidup kulit yang
dipindahkan itu.
Pembagian skin graft dibagi berdasarkan atas :
Asal atau spesies Autograft : graft yang berasal dari individu yang sama (berasal
dari tubuh yang sama).
Homograft : graft yang berasal dari individu lain yang sama spesiesnya (berasal
dari tubuh lain).
Heterograft (Xenograft) : graft berasal dari makhluk lain yang berbeda spesies
(Freiberg, 2002; Chen, 2007).
Ketebalan
a. Split Thickness Skin Graft (STSG) : graft ini mengandung epidermis dan
sebagian dermis.Tipe ini terbagi atas :
b. Thin Split Thickness Skin Graft, pertama diperkenalkan oleh Ollier (1874) dan
dikembangkan oleh Thiersch (1874). Ukurannya : 8-12/1000 inci (epidermis +
¾ bagian lapisan dermis).
c. Intermediate (medium) Split Thickness Skin Graft, diperkenalkan oleh Blair dan
Brown (1929). Ukuran 14 -20/1000 inci ( epidermis + ½ bagian lapisan dermis).
d. Thick Split Thickness Skin Graft, nama lainnya three quarter thickness graft.
Dilakukan pertama kali oleh Padgett (1939) menggunakan dermatome yang
mempunyai kalibrasi sehingga memungkinkan dapat mengambil skin graft
dalam berbagai ukuran. Ukuran : 22-28/1000 inci (epidermis + ¼ bagian lapisan
dermis).
e. Full Thickness Skin Graft (FTSG) : graft ini meliputi epidermis dan seluruh
ketebalan dermis. Mula-mula diperkenalkan oleh Lawson (1870), Le fort (1872)
dan Wolfe (1875). FTSG kemudian sering disebut Wolfian graft.
f. Composite Graft : graft yang terdiri atas epidermis, dermis dan lemak subkutan
(Perdanakusuma, 1998; Sudjatmiko, 2007; Seyhan, 2011).
Take
Take dari skin graft maksudnya adalah telah terjadinya revascularisasi, dimana skin
graft memperoleh cukup vascularisasi untuk hidup sehingga STSG yang hidup
ditandai dengan terlihatnya warna dari STSG yang berwarna pink. Keberhasilan
skin graft dinilai dengan melihat prosentase take (Perdanakusuma D, 1998; Weber,
2011).
Semakin tipis graft semakin besar kemungkinan take karena pemberian nutrisi
dari vaskularisasi di daerah resepien lebih cepat. Daerah donor sendiri akan lebih
cepat sembuh (berepitelisasi) bila yang diambil adalah jenis STSG, sedangkan
daerah donor tidak akan berepitelisasi ataupun tumbuh rambut kembali karena
lapisan yang diambil tidak menyisakan struktur asesorim kulit (folikel rambut)
(Torrance, 1997; Istiqomah, 2010).
Jaringan Granulasi
Pada proses penyembuhan luka setelah fase inflamasi maka terjadi fase
proliferasi dimana terjadi proses epitelisasi dan fibroplasia serta formasi jaringan
granulasi. Jaringan granulasi merupakan jaringan fibrosa yang terbentuk dari
bekuan darah disini luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblast dan kolagen
membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol-
benjol halus (Perdanakusuma D, 1998; Weber, 2011).
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya berpindah
mengisi permukaan luka, tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk
pada proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah
atau datar, sebab epitel tidak dapat migrasi ke arah yang lebih tinggi
(Perdanakusuma D, 1998; Weber, 2011).
8. Propolis
Nektar dan serbuk sari, bahan utama yang dikumpulkan oleh lebah madu,
dirujuk oleh nama botani mereka. "Propolis" adalah istilah berorientasi lebah yang
tidak memiliki derivasi botani. Lebah dapat menggunakan bahan yang berbeda
untuk "pembuatan" propolis, dan bahan-bahan ini diproduksi di bagian tumbuhan
yang berbeda. Ini adalah zat aktif yang disekresikan oleh tanaman dan Zat-zat yang
keluar dari luka di tanaman: lipofilik bahan pada daun dan pucuk daun, lendir, gusi,
resin, latices, dll. Pada suhu tinggi, propolis lunak, lentur, dan sangat lengket;
Namun, ketika didinginkan dan terutama saat beku atau hampir beku, menjadi keras
dan rapuh. Propolis menjadi cair pada 60 hingga 70 ° C, tetapi untuk beberapa
sampel, titik lebur mungkin setinggi 100 ° C (Kumazawa et all, 2014). Warna
propolis bervariasi dari hijau ke coklat dan kemerahan, tergantung pada sumber
botanya. Komposisi propolis serta warnanya dan aroma berubah sesuai dengan zona
geografis. Umumnya, etanol adalah pelarut terbaik untuk propolis, dan pelarut
lainnya seperti etil eter, air, metanol, dan kloroform dapat digunakan untuk
ekstraksi dan identifikasi senyawa propolis. Pelarut lainnya seperti gliserin,
propilena glikol, dan solusi lain telah digunakan untuk persiapan propolis untuk
industri farmasi dan kosmetik (Ranzato et all, 2012).
Propolis yang diperoleh dari gatal-gatal, atau propolis kasar, mengandung
sekitar 50% balsam resin, 30% lilin, 10% penting dan minyak aromatik, serbuk sari
5%, dan 5% zat lainnya, termasuk serpihan kayu Lebih dari 300 senyawa berbeda
telah dikarakterisasi sejauh ini dalam propolis, termasuk asam alifatik, ester, asam
aromatik, asam lemak, karbohidrat, aldehida, amino asam, keton, chalcones,
dihydrochalcones, terpenoid, vitamin, dan zat anorganik (Szliszka, 2013).
Variasi musiman yang terjadi di dalam tempat yang sama telah dijelaskan.
Beberapa penulis juga melaporkan variasi antara sampel yang dikumpulkan dalam
daerah yang sama tetapi oleh subspesies Apis mellifera yang berbeda. Propolis yang
dikumpulkan dari banyak negara (seperti China, Korea, Kroasia, Selandia Baru, dan
Afrika) menunjukkan komposisi kimia yang mirip dengan poplar. Bahkan, poplar
pohon adalah pohon khas di Eropa dan digunakan untuk nama jenis umum propolis.
Karena itu, pendapat saat ini adalah bahwa lebah mengumpulkan propolis dari resin
poplar dan konifer. Propolis ini dicirikan oleh tingkat flavonon yang tinggi, flavon,
asam fenolik rendah, dan esternya. Namun, di beberapa daerah, pohon poplar
bukanlah tanaman asli, seperti di Australia dan Amerika Selatan dan lebah mencari
mengeluarkan tanaman lain untuk menghasilkan propolis, yang memiliki kesamaan
komposisi ke propolis poplar (Alves et all, 2013). Propolis dari daerah tropis,
seperti hijau Brasil dan propolis merah, masing-masing kaya dalam turunan
terprenilasi asam p-coumaric dan beberapa isoflavonoid yang berbeda dari yang
ditemukan di poplar propolis. Untuk propolis dari Brasil tenggara, Baccharis
dracunculifolia adalah sumber botani utama dan Artepillin C, sebagai komponen
yang paling aneh, membuatnya mudah untuk membedakan dari propolis jenis lain.
Juga telah dilaporkan bahwa propolis dari Venezuela, Amazon, dan Kuba
mengandung benzofenon terprenilasi, yang berasal dari eksudat bunga Clusia
(Kuropatnicki et all, 2013).
Ada kebutuhan yang kuat untuk membandingkan komposisi kimia propolis
dan tanaman untuk mengkonfirmasi asal botani yang tepat. Beberapa kontaminan
seperti pestisida, tembaga, besi, magnesium, dan bahkan timbal dapat dikumpulkan
oleh lebah dan ditambahkan ke propolis (Sawicka et all, 2012)
SOD memiliki tiga anggota keluarga; SOD1 terletak di ruang sitoplasma dan
intermembran mitokondria, SOD2 terletak di matriks mitokondria, dan SOD3
terletak di ruang ekstraseluler dan merupakan sistem pertahanan utama terhadap
stres oksidatif pada posisi subselular yang sesuai (Gambar 2).
Karena kulit terus menerus terpapar toksisitas oksigen, SOD telah menarik
banyak perhatian dari sudut pandang penyembuhan luka. SOD1 dan SOD2 mRNA
terdeteksi pada tingkat tinggi di lesi luka, sebagaimana dibuktikan oleh uji
perlindungan RNA dan hibridisasi in situ.
Sebaliknya, aktivitas SOD menurun selama penyembuhan luka pada tikus.
Kami juga menemukan bahwa kadar protein SOD1 menurun dalam proses
penyembuhan luka. Hasil ini konsisten dengan aktivitas SOD total yang berkurang
pada lesi luka. Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah aktivitas SOD
diperlukan untuk penyembuhan luka. Untuk menjawab pertanyaan itu, kami
membuat luka di kulit belakang tikus SOD1 dan melakukan analisis terhadap
mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu penyembuhan luka tertunda
pada tikus yang kekurangan SOD1 dibandingkan dengan tikus tipe liar pada usia
20 minggu. Namun, pada tikus yang lebih muda (5-6 minggu), tidak ada perbedaan
yang diamati dalam waktu penyembuhan antara tikus yang kekurangan SOD1 dan
tikus tipe liar. Waktu penyembuhan yang tertunda pada tikus yang kekurangan
SOD1 yang lebih lama menunjukkan bahwa potensi proses penyembuhan
terganggu dan menyamai percepatan penuaan kulit pada tikus yang kekurangan
SOD1. Konsisten dengan hasil pada tikus, hilangnya SOD1 menginduksi penuaan
pada fibroblast manusia. Untuk menekan fibrosis yang diperburuk, p16INK4a,
penghambat cyclin-dependent kinase (CDK), yang diinduksi dalam proses
penyembuhan luka . Sebaliknya, kami mengamati bahwa induksi p16INK4a lebih
rendah pada tikus yang kekurangan SOD1 daripada tikus tipe liar, yang mungkin
menyiratkan penyimpangan siklus sel pada lesi luka pada tikus yang kekurangan
SOD1.
12. Catalase
Katalase adalah enzim terkenal yang secara unik terlokalisasi dalam peroksisom
(Gambar 2) dan mengkatalisis pelepasan H2O2 ke molekul oksigen dan air.
Meskipun tingkat ekspresi mRNA katalase tidak berubah selama penyembuhan
luka, tingkat protein katalase menurun . Tanpa diduga, overekspresi yang dimediasi
adenovirus dari katalase merusak penyembuhan luka pada tikus. Kelompok yang
sama kemudian menyiratkan bahwa H2O2 terlibat dalam induksi ekspresi VEGF
dalam keratinosit. Temuan ini menunjukkan bahwa sejumlah H2O2 penting untuk
proses penyembuhan luka (Gambar 3). Bahkan, waktu penyembuhan tidak tertunda
dalam kasus akatalasia, yang merupakan gangguan peroksisom resesif autosom
yang dihasilkan dari cacat pada katalase. Jadi katalase tampaknya bukan merupakan
enzim antioksidan yang diperlukan dalam proses penyembuhan. Lokalisasi
subseluler katalase berbeda dari enzim pemulung H2O2 lainnya, yang dapat
menyebabkan respons yang berbeda dalam proses penyembuhan luka.
Gambar 3. Keseimbangan redoks dipertahankan oleh enzim antioksidan.
Karena ROS yang berlebihan bersifat sitotoksik, keseimbangan redoks
harus dikontrol secara ketat untuk mencapai penyembuhan luka yang normal. ROS
yang dihasilkan oleh beberapa oksidase dan respirasi mitokondria harus dikurangi
terutama oleh enzim antioksidan seperti SOD, PRDX, GPX, dan katalase. Level
ROS yang optimal berbeda dalam setiap proses penyembuhan luka. Oleh karena
itu, setiap enzim antioksidan perlu ditingkatkan atau ditekan, sesuai kebutuhan,
untuk mempertahankan tingkat ROS yang sesuai untuk setiap proses penyembuhan
luka.
Caspase-3
Caspase merupakan famili dari endoprotease yang memiliki hubungan yang
penting dalam mengendalikan inflamsi dan kematian sel. Caspase memediasi
proses yang dapat menghasilkan inaktivasi substrat, dan juga dapat menghasilkan
aktifasi molekul yang berperan dalam apoptosis dan inflamasi. Caspase dapat
diklasifikasikan menjadi yang berperan dalam apoptosis (caspase-3, -6, -7, -8, dan-
9 pada mamalia) dan dalam inflamasi (caspase-1, -4, -5, -12 pada manusiadan
caspase-1, -11, dan -12 pada tikus). Caspase yang berperan dalam apoptosis
diklasifikasikan lagi berdasarkan mekanisme aksinya, berupa inisiator caspase
(caspase-8 dan -9) dan eksekutor caspase (caspase-3, -6, dan -7) (McIlwain et al.,
2013).
Pada kondisi hiperkalsemia terjadi pelepasan Ca2+dari endoplasmic
reticulum (ER) dan capacitative influx Ca2+melalui pelepasan Ca2+akan
mengaktifkan kanal Ca2+mengawali proses apoptogenik. Bcl-2 juga dipercayai
memeliki peranan dalam menghibisi kematian sel., sehingga jika terjadi penurunan
Bcl-2 maka akan terjadi peningkatan Ca2+yang lama kelamaan akan memenuhi
mitokondria. Pada akhirnya terjadi pelepasan caspase (Pinton et al., 2008).
Sedangkan pada hiperfosfatemia, terjadi penurunan Gas6-Axl, kemudian terjadi
penurunan PI3K yang dimediasi fosforilasi Akt, menyebabkan inkativasi Bcl-2, dan
terjadilah proses apoptosis yang diperantarai caspase (Son et al., 2007)
Penuaan
Dengan populasi yang menua, lebih banyak penekanan harus diberikan
untuk menjelaskan gangguan terkait usia dalam penyembuhan luka. Penyembuhan
luka yang tertunda pada lansia menghadirkan masalah klinis dan ekonomi utama,
terutama karena sebagian besar luka kronis terjadi pada populasi ini. Meskipun
respon penyembuhan pada subjek berusia lebih lambat, penelitian pada hewan dan
manusia telah menunjukkan bahwa hasil akhir sebanding dalam kualitas dengan
subjek muda. Perubahan spesifik terkait usia dalam peradangan termasuk
perubahan dalam adhesi sel, migrasi, dan respon fungsiona. Penuaan dikaitkan
dengan masuknya neutrofil awal, yang secara signifikan mengurangi aktivitas
pembakaran respiratorik, berkurangnya kemampuan bakteri fagositosis,
berkurangnya ekspresi CD16, dan gangguan kemotaksis. Kelimpahan neutrofil
menghasilkan protease berlebih, khususnya elastase, yang juga mendegradasi
protein struktural dan fungsional yang penting seperti proteoglikan, kolagen, dan
fibronektin — yang mengarah ke penurunan tingkat fibronektin lokal yang khas
pada luka terkait usia. Bukti menunjukkan bahwa sementara adhesi makrofag ke
substrat meningkat dengan bertambahnya usia, ada penundaan infiltrasi dengan
rasio yang berubah dari populasi dewasa ke populasi yang belum matang, yang
dapat menjelaskan pengurangan keseluruhan dalam kapasitas fagositik. Lebih
lanjut, aktivasi dan proliferasi limfosit dikompromikan pada orang yang lebih tua.
Perubahan-perubahan ini semua terjadi pada latar belakang inflamasi yang
mendasari sebagai bagian dari proses penuaan, dengan upregulasi sitokin inflamasi
termasuk faktor nuklir (NF) -kB, IL-1β, IL-6 dan TNF-α.
Hipoksia
Banyak luka kronis terjadi dengan latar belakang hipoksia jaringan lokal
akibat vaskulopati seperti aterosklerosis dan hipertensi vena, atau fibrosis sekitar
luka yang mengurangi perfusi. Hipoksia jaringan lokal dikenal sangat mengganggu
penyembuhan luka. Melalui berbagai mekanisme molekuler, hipoksia
menyebabkan gangguan membran sel, mempromosikan kaskade inflamasi.
Ekstravasasi berikutnya dari neutrofil dan makrofag dibantu oleh ekspresi yang
jelas dari molekul adhesi endotel dalam jaringan hipoksia; neutrofil dan makrofag
yang direkrut kemudian mensintesis sitokin proinflamasi seperti IL-1α, IL-1β, IL-
6 dan TNF-α dengan cara autokrin. Seperti yang disebutkan sebelumnya, ini
mengganggu keseimbangan antara protease dan penghambatnya, melanggengkan
peradangan. Keseimbangan antara ROS dan antioksidan juga terganggu. Berbagai
antioksidan seperti oksida nitrat (NO) diproduksi dalam cara yang bergantung pada
oksigen, dan dengan demikian menurunkan keadaan hipoksia. NO lebih jauh
terlibat dalam mematikan NF-κB, aktivator transkripsi penting dari peradangan.
Produksi ROS yang tidak diperiksa tidak hanya menyebabkan kerusakan oksidatif,
tetapi juga menstimulasi jalur transduksi sinyal yang mengarah pada peningkatan
ekspresi protease serin, MMP, dan sitokin inflamasi. Hasil dari hipoksia adalah
potensiasi dari kondisi peradangan, yang menghambat penyembuhan. Hipoksia
juga memengaruhi aktivitas metabolik lain selain peradangan — epitelisasi
terganggu, seperti proliferasi fibroblast dan sintesis kolagennya.
Cedera iskemia-reperfusi
Cedera iskemia-reperfusi telah terlibat dalam patofisiologi myocardia
linfarction, syok hemoragik, stroke, dan transplantasi organ. Hal ini juga
dipostulatkan sebagai peristiwa pencetus untuk ketiga tipe luka kronis yang
disebutkan di atas. Pasien vasculopathic dengan sirkulasi suboptimal mengalami
interval siklik iskemia pada tungkai bawah selama penggunaan tungkai, diikuti oleh
reperfusi selama peningkatan tungkai. Iskemia dengan hipoksia jaringan
selanjutnya menginduksi keadaan proinflamasi, seperti yang dinyatakan di atas.
Selama reperfusi, kelebihan leukosit termasuk neutrofil bermigrasi ke jaringan
luka; di sana, mereka menghasilkan sitokin inflamasi dan ROS, diperparah oleh
ROS dari reoksigenasi jaringan parsial. NO juga di downregulasi, yang semakin
menonjolkan peradangan. Siklus reperfusi iskemia ini berulang, efek buruknya
sering timbul, dan akhirnya cukup untuk menyebabkan nekrosis dan ulserasi
jaringan.
Kolonisasi bakteri
Faktor patogen ketiga pada luka kronis adalah kolonisasi bakteri obligat.
Patogen luka umum seperti Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan
streptococci β-haemolytic secara spesifik menyebabkan penyembuhan yang
tertunda. Selain kerusakan langsung pada inang, bakteri menarik leukosit dengan
hasil amplifikasi sitokin inflamasi, protease, dan ROS yang dihasilkan - dengan
demikian memulai dan mempertahankan kaskade inflamasi. Inang dan bakteri yang
menurunkan protease dan ROS mendegradasi ECM dan faktor pertumbuhan,
mengganggu migrasi sel dan menghambat penutupan luka. Bakteri yang berkoloni
pada luka kronis sering membentuk bio-film polimikroba, berbeda dengan insiden
minimal dalam luka akut. Sel-sel mikroba tertanam dalam matriks polimer yang
disekresikan, yang menyediakan lingkungan yang optimal bagi bakteri untuk
menghindari respon imun inang dan aksi antibiotik. Meskipun hubungan biofilm
dengan luka kronis telah dikonfirmasi, kausalitas tetap menjadi topik yang
berkembang. Sinergi mikroba dengan suatu film bio memberikan keuntungan
kompetitif bagi organisme yang hidup bersama, tetapi sedikit yang diketahui
tentang bagaimana sinergi ini dapat meningkatkan patogenisitas bersih pada luka
kronis . Memang, bahkan telah disarankan bahwa bio film yang ditanamkan secara
tepat memerintahkan pemimpin respon inflamasi inang, melindunginya untuk
mendapatkan sumber nutrisi yang berkelanjutan dalam bentuk eksudat inflamasi.
Hipoksia di dalam luka juga berkontribusi terhadap kolonisasi bakteri. Sejumlah
penelitian menunjukkan korelasi terbalik antara infeksi dan oksigenasi luka,
kemungkinan karena aktivitas yang bergantung pada oksigen dari enzim
antimikroba seperti myeloperoxidase dalam neutrofil. Oleh karena itu, periode
iskemia pada luka kronis menghambat mekanisme bakterisida inang. Beberapa
studi telah menunjukkan bahwa bioburden yang melebihi 105 bakteri per gram
jaringan luka memiliki efek buruk pada penyembuhan pada berbagai luka akut dan
kronis, serta cangkok kulit.
Koenzim Q10
Koenzim Q10 (CoQ 10) atau ubiquinone adalah sebuah vitamin atau dalam
beberapa literature disebut sebagai substansi yang serupa dengan vitamin. Terlepas
dari berbagai perdebatan dalam nomenklatur, vitamin didefinisikan sebagai materi
organik yang esensial dalam fungsi normal tubuh dan berperan sebagai koenzim
atau prekursor koenzim (Langsjoen, 2008). CoQ 10 adalah benzokuinon yang
secara kimiawi mirip dengan vitamin larut dalam lemak yang tersusun atas bubuk
kristalin dalam bentuk murninya (Casagrande et al., 2018).
Gambar 1.
Struktur kimia CoQ
10 (Casagrande et al., 2018).
CoQ 10 memiliki bentuk tereduksi (ubiquinol, CoQ10H2) dan bentuk teroksidasi
(ubiquinone, CoQ10). CoQ 10 adalah molekul yang bersifat lipofilik dan
menggunakan transport yang termediasi lipoprotein untuk sirkulasinya. Hal ini
menyebabkan level CoQ 10 dalam plasma berkaitan langsung dengan jumlah total
LDL dalam plasma (DiNicolantonio et al., 2015). Walaupun CoQ 10 diklasifikan
sebagai molekul lipofilik, derajat solubilitasnya dalam lemak sangat rendah dan
hampir sama sekali tidak larut dalam cairan. Karena berat jenis molekulnya yang
tinggi dan solubilitas dalam cairannya yang rendah, CoQ 10 dalam bentuk
murninya sulit diabsorbsi dalam saluran pencernaan (Fir et al., 2009).
Pada individu yang sehat, jumlah CoQ 10 yang normal dipertahankan melalui dua
cara, yaitu melalui makanan dan sintesis endogen (Casagrande et al., 2018). CoQ
10 disintesis secara endogen di dalam tubuh dengan siklus mevalonat,
menggunakan asetil-KoA sebagai substrat awal. Pathway biosintesis pembentukan
CoQ 10 melibatkan banyak enzim, kofaktor, vitamin, dan mineral. Kompleksitas
ini menunjukkan bahwa defek sekecil apapun pada enzim, kofaktor, maupun
nutrien yang masuk ke dalam tubuh dapat mengganggu pembentukannya. CoQ 10
dalam jumlah besar dapat ditemukan pada sel yang membutuhkan energi tinggi
seperti sel jantung, liver, otak, dan ginjal (Bank et al., 2010).
CoQ 10 adalah komponen esensial dalam produksi energi seluler dalam bentuk
adenosin trifosfat (ATP). CoQ 10 bertindak sebagai transporter electron dalam
kaskade produksi ATP di mitokondria (Fir et al., 2009). CoQ 10 memfasilitasi
pembentukan ATP dengan berperan dalam reaksi redoks di dalam rantai transport
elektron. CoQ 10 menerima elektron dari komplek I dan komplek II dan melakukan
transpor elektron ke komplek III (Sharma et al., 2016).
Selain fungsinya sebagai komponen rantai transpor elektron, CoQ 10 adalah
antioksidan yang poten (Sharma et al., 2016). CoQ 10 adalah salah satu antioksidan
seluler yang penting dalam tubuh manusia (Hryniewicka et al., 2016). CoQ 10 telah
terbukti mampu meningkatkan stabilisasi membrane sel in vitro dan memberikan
efek antioksidan karena peranannya sebagai scavenger radikal bebas (Singh et al.,
1998). CoQ 10 memberikan efek antioksidan dengan mencegah modifikasi
oksidatif dari LDL dan membantu regenerasi α-tokoferol dari tokoferoksil radikal
(Zeb et al., 2012).
Dalam bentuk ubiquinol, CoQ 10 mampu menjadi antioksidan yang poten dan dapat
dicerna lemak diluar membran mitokondria. Tidak hanya mampu mendaurulang
dan meregenerasi antioksidan lain seperti vitamin E dan vitamin C, CoQ 10 dapat
mempengaruhi inisiasi dan propagasi ROS (Rodick et al., 2018). CoQ 10 telah
terbukti mampu menghambat peroksidasi lipid membrane sel dan mengurangi
oksidasi lipolipid yang bersirkulasi. Derajat pengurangan oksidasi lipolipid yang
dilakukan CoQ 10 juga lebih besar dibandingkan dengan antioksidan lain seperti β-
karoten dan α-tokoferol (Sharma et al., 2016). CoQ 10 juga bertindak sebagai
stabilisator tidak langsung dari kanal kalsium untuk mengurangi overload kalsium
(Bonakdar dan Guarneri, 2005). Fungsi vital lainnya yaitu menghubungkan
produksi energi dengan pathway seluler penting lainnya seperti siklus sel dan
replikasi dan repair DNA melalui peranannya dalam biosintesis pirimidin,
modulasi apoptosis melalui regulasi pori transisi, dan menjaga temperature tubuh
melalui kerjanya pada protein uncoupling (Rahman et al., 2012).
Berbagai macam penyakit telah dihubungkan dengan rendahnya jumlah CoQ 10.
Peranan yang luas dalam tingkat seluler memberikan implikasi bahwa CoQ 10
potensial untuk menjadi pengobatan penyakit yang dapat membaik dengan
peningkatan fungsi mitokondria dan antioksidan (Bonakdar dan Guarneri, 2005).
Menurut National Center for Complementary and Integrative Health (2018),
suplementasi CoQ 10 bisa bermanfaat untuk pasien dengan penyakit-penyakit
kardiovaskuler. CoQ 10 adalah komponen utama pada pembentukan ATP dan ada
dalam jumlah yang banyak di miokardium, dibandingkan pada sel lainnya
(DiNicolantonio et al., 2015). Deplesi CoQ 10 miokardium telah menjadi salah satu
teori yang diajukan untuk mekanisme dan progresi gagal jantung kongestif
(congestive heart failure, CHF). Jumlah CoQ 10 yang rendah tampak pada pasien
dengan gejala gagal jantung yang advanced dan dengan fraksi ejeksi rendah
(Sharma et al., 2016).
Selain penyakit kardiovaskuler, CoQ 10 telah diteliti sebagai pengobatan potensial
untuk berbagai penyakit lainnya. CoQ 10 adalah antioksidan yang lipofilik dan
memiliki banyak fungsi protektif. Hal ini membuat substansi tersebut mampu
meningkatkan kondisi pada penyakit arthritis, karena kemampuannya untuk
menstabilisasi membran, proteksi DNA melawan kerusakan akibat radikal bebas,
dan memicu regenerasi antioksidan penting lainnya. Beberapa studi menunjukkan
bahwa terapi anti-rematik, yang meningkatkan jumlah CoQ 10, mampu
memperlambat progresi rheumatoid arthritis (RA) (Bauerova et al., 2010).
Hiperglikemia diabetik dan penyakit metabolik adalah beberapa faktor utama yang
bertanggung jawab dalam inaktivitas sistem antioksidan dan reduksi fungsi
mitokondria. Konsentrasi CoQ 10 dapat berkurang pada pasien diabetes
(Casagrande et al., 2018, Rodick et al., 2018). Beberapa studi klinis telah
menunjukkan peningkatan profil glikemik setelah suplementasi ubiquinone
(Rodick et al., 2018). Studi yang dilakukan Oda et al. (2018) menunjukkan bahwa
CoQ 10 dapat memberikan proteksi parsial terhadap toksisitas hepatorenal dan
reproduktif yang diinduksi oleh oxytetrasiklin pada tikus jantan.
Beberapa studi lainnya menunjukkan efek neuroprotektif dari CoQ 10. Choi et al.
(2013) dalam Momiyama (2014) melaporkan bahwa CoQ 10 memproteksi neuron
melawan neurotoksisitas yang diinduksi oleh amyloid beta pada korteks tikus
dengan cara menghambat stress oksidatif. Temuan ini menunjukkan bahwa CoQ 10
memiliki peran protektif sebagai antioksidan endogen melawan penyakit
neurodegeneratif. Pada studinya, Momiyama (2014) juga menyebutkan bahwa
jumlah CoQ 10 yang lebih rendah diasosiasikan dengan resiko demensia yang lebih
tinggi.
Propolis
Propolis adalah campuran dari lilin dan resin yang dikumpulkan lebah
(Trigona sp.) dari bunga, daun, dan berbagai eksudat. Lebah menggunakan propolis
tidak hanya sebagai bahan bangunan untuk sarangnya, tetapi juga sebagai alat untuk
mempertahankan konsentrasi bakteri dan jamur yang rendah di dalam sarangnya
(Popova et al., 2005, dalam Pujirahayu et al., 2015). Penggunaan propolis sebagai
obat tradisional terutama sebagai imunomodulator, anti-inflamasi, antioksidan,
antibakteri, antivirus, antifungal, antiparasit, dan antikanker (Kamajaya, 2014).
Propolis memiliki lebih dari 300 kandungan berbeda termasuk flavonoid,
fenol, aldehid lipofilik, keton, dan zat lainnya seperti polen, lilin, vitamin, dan
mineral (Susilo et al., 2009). Propolis terdiri atas campuran bahan kompleks yaitu
lilin, resin, minyak, balsam dan sedikit polen. Komposisi fitokimia propolis
dipengaruhi oleh spesies lebah dan vegetasi sumber resin, yang mungkin berbeda
antar propinsi di Indonesia tergantung jenis flora dan iklim di daerah tersebut (Fikri,
2017).
Keragaman kandungan senyawa aktif propolis Indonesia telah dikonfirmasi
oleh penelitian yang dilakukan oleh Kalsum et al. (2016). Peneliti menemukan
adanya keragaman senyawa aktif antar propolis Trigona spp. yang berasal dari tiga
provinsi di Indonesia. Propolis yang berasal dari Sulawesi Selatan memiliki empat
belas kandungan senyawa aktif, sedangkan dari Kalimantan Selatan sebanyak
delapan senyawa dan dari Banten hanya delapan senyawa.
Produksi propolis juga tergantung pada jenis lebah penghasil. Menurut Caron
(1998) Trigona sp. yang tidak memiliki sengat untuk pertahanan akan
menghasilkan lebih banyak propolis dibandingkan lebah yang memiliki sengat.
Menurut Surendra et al. (2012) kandungan flavonoid dari propolis yang
dihasilkan Trigona sp. lebih tinggi dibandingkan lebah Apis mellifera. Menurut
Hasan et al. (2014) propolis Trigona sp. yang memiliki aktivitas antioksidan paling
tinggi berasal dari Pandeglang sedangkan untuk total flavonoid paling tinggi berasal
dari Kendal.
Propolis mengandung zat aromatik dan berbagai mineral. Komponen kimia
yang terkandung dalam propolis memiliki pengaruh efek biologis dan aktifitas
farmakologis yang berbeda (Watanabe et al., 2011). Propolis mengandung
antioksidan sangat tinggi yaitu 9674 μg/ml atau 403 kali lebih banyak dibandingkan
dengan jeruk (Lirizka, 2016).
Salah satu kandungan senyawa kimia yang terpenting pada propolis adalah
senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu senyawa alami yang tersebar
luas pada tumbuhan yang disintesis dalam jumlah sedikit (0,5-1,5%) dan dapat
ditemukan hampir pada semua bagian tumbuhan (Julianingrum, 2019). Propolis
sudah lama dikenal sebagai sumber antioksidan (Pascual et al. 1994). Menurut
Kwon et al. (2014), kandungan flavonoid dan fenolik di dalam propolis berperan
besar dalam aktivitas antioksidannya. Efek antioksidan ditunjukan dari kandungan
yang terdapat dalam flavonoid yaitu adanya caffeic acid phenetyl ester (CAPE)
yang merupakan antioksidan tingkat tinggi.
Derivat caffeoylquinic acid memiliki sifat imunomodulator dan
hepatoprotective. Caffeic acid phenethyl ester (CAPE) juga bersifat sitotoksik
terhadap sel tumor (Susilo et al., 2009). Hasil penelitian oleh Radiati et al. (2008)
menggunakan ekstrak propolis Indonesia menunjukkan bahwa ekstrak propolis
dapat meningkatkan jumlah sel darah putih sehingga berpengaruh terhadap sistem
kekebalan seluler tikus putih.
Nakajima et al. (2009) membuktikan bahwa kandungan caffeic acid yang ada
didalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi. Caffeic acid yang
terdapat dalam propolis mampu meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate
dehydrogenase (G6PD) yang didapat dari ekspresi gen antioksidan, lebih kuat
dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai aktivitas antioksidan 4-6 kali
lebih kuat terhadap oksidan dan H2O2 dan radikal bebas O2, dibandingkan vitamin
C dan N-acetyl-cystein (NAC).
1. Interlekuin-1 (IL-1)
Interlekuin 1 dibagi menjadi dua yaitu IL-I dan IL-1, keduanya mempunyai
mekanisme kerja yang serupa tetapi hanya struktur kimia yang berbeda. Interlekuin
yang diketahui sudah lebih dari 33 jenis.IL-1 diekspresikan oleh berbagai sel imun
khususnya makrofag dan mengaktivasi Limfosit T untuk mengekspresikan bahan-
bahan yang penting sebagai imuno regulator. IL-1 merupakan mediator inflamasi
fase akut yang kuat, menaikkan sintesis protein fase akut antara lain : komplemen
(C3, C4), C-reactive protein(CRP), amiloid, dan fibrinogen. CRP dihasilkan oleh
aktivasi sel endotelial, demam, disebabkan mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang
(leukositosis) dan oleh aktivasi semua kelas leukosit dan sel ginjal.(Guntur, 2001;
Baratawidjaja dan Iris, 2009).
Malondyaldehide (MDA)
Struktur biologi sebagian besar berasal dari degradasi golongan asam-asam
lemak.(indikator dari hasil akhirlipidperoxidase). Kadar plasma dan jaringan MDA
telah digunakan untuk mengukur pengaruh propolis sebagai anti ROS (lipid
peroksidase) yang signifikan oleh Kanbur et al ( antioxidant effect of
propolisagainst exposure to propetamphos in rats, Kanbur M,Eraslan G, Silici
S;Ecotoxicology and Environmental Safety 72 (2009)909-915.
B. Kerangka Konseptual
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Luka Kronik
Mast Cell
mediator inflamasi’PMN
inflamasi
IL-1
TNF-
Propolis (+) Propolis (-)
ROSInhibisi ROS
NF- Aktivasi NF-
ECM ECM
Skin graft
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental post-test only control group
designdengan tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) sebagai hewan coba karena
pengukuran pada hewan uji dilakukan pada waktu tertentu setelah pemberian
perlakuan (Taufiqurohman,2004). Dipilihnya jenis penelitian ini karena dapat
menghasilkan data dengan validitas yang tinggi dan perlakuan dapat diatur oleh
peneliti (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
Karena 2 sulit ditaksir dari literatur, studi yang sama sebelumnya atau studi
pendahuluan oleh peneliti, maka diasumsikan 2 2, sehingga hasilnya n=(Z½
+ Z)2
n = (1,645 + 0,842)2 = 6,185 dibulatkan menjadi 7
Keterangan:
n = besar sampel masing-masing kelompok
Z½ = nilai standar normal, yang besarnya tergantung
Bila = 0,05 Z½ = 1,645
Z = nilainya tergantung yang ditentukan (berdasarkan tabel)
= error untuk menerima H0, bila H0 salah
Bila = 0,08 Z = 0,842
= selisih antara rerata variabel terapi dan kontrol yangdiharapkanolehpeneliti
= standar deviasi
D. Kriteria Restriksi
- Kriteria inklusi :
a) Tikus putih jantan(Rattus Norvegicus)sehat yaitu tikus putih jantan dengan
kondisi mata bersinar, bulu tidak kusam, aktif dan nafsu makan baik (Kusumawati,
2004).
b) Umur 3 – 4 bulan.
c) Berat badan 150 – 300 gram.
- Kriteria eksklusi :
a) Tikus putih jantan(Rattus Norvegicus)mati saat penelitian.
E. Alokasi Subjek
Hewan coba model luka kronik (jarinagn granulasi), digunakan metode eksisi kulit
(fullthickness/ epidermis, dermis dan sub cutan/panniculus carnosus) didaerah
punggung dengan ukuran 1 x 1 cm menggunakan scalpel no 10 seperti prosedur
mengambil donor skingraft jenis Full Thickness Skingraft). Luka dirawat secara
moist dengan tulle, kassa lembab dan kassa kering setiap 3 hari untuk mencegah
timbulnya infeksi dan menumbukan jaringan granulasi dan luak dirawat dengan
tulle dan honey bees ( madu Nusantara®) sebagai kontrol. Model ini berguna untuk
menciptakan luka kronik memeriksa mekanisme inflamasi jarungan granulasi –
Extra Cellular Matrix. Model ini dapat di induksi baik mencit atau tikus dan tidak
tergantung strain tertentu. Model ini dalam waktu 2 minggu dapat menimbulkan
inflamasi pada fase proliferasi (jaringan granulasi) sehingga dapat diteliti faktor-
faktor inflamasi. .
- Variabel kendali:
a) Hewan coba : jenis tikus, umur dan jenis kelamin, homogen.
b) Pemeliharaan dan bahan makanan, minuman, sanitasi kandang, kelembaban
dikondisikan sama.
c) Sonde : teknik sonde pada tikus.
d) Pengambilan jaringan kulit: teknik pengambilan jaringan, fiksasi dan
pemotongan jaringan kulit untuk preparat.
e) Pewarnaan preparat: teknik pewarnaan dan pembacaan histologi dan
patologi.
2. Definisi Operasional
a) Pemberian propolis
Propolis lebah pada penelitian ini diperoleh dari peternak lebah di daerah
Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Proses
pembuatan ekstrak propolis lebah dilakukan dengan teknik maserasi. Propolis
kering dibersihkan dan diblender hingga halus selanjutnya ditimbang sebanyak 500
gram, kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker. Proses maserasi dilakukan
dengan menambahkan 3,75 liter etanol 70% sebagai pelarut (Trusheva et al., 2007).
Campuran bahan disimpan selama tujuh hari pada ruangan yang tidak terkena sinar
matahari dengan dikocok kuat atau pengadukan dengan spatula pengaduk sebanyak
dua kali tiap hari (Susilo et al., 2006).
Tahap selanjutnya dilakukan penyaringan dengan corong buchner dan kertas
saring untuk memisahkan filtrat dari ampas ke dalam labu Erlenmeyer sehingga
diperoleh filtrat. Hasil filtrasi (penyaringan) yang didapat dievaporasi dengan rotary
evaporator pada suhu 45oC dengan tekanan vakum (<1 atm) selama kurang lebih 4
jam sehingga diperoleh ekstrak propolis yang konsentrasinya kental (± 100 g).
Selanjutnya ekstrak propolis diuapkan selama 24 jam di dalam gelas beaker
sehingga kandungan etanolnya menguap (Fu et al., 2005). Dosis propolis yang
digunakan adalah dosis 50 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB yang diberikan secara
peroral setiap hari.
b) Coenzyme Q10
Pada penelitian ini Coenzyme Q10 yang digunakan adalah sediaan farmasi yaitu
UBI-Q (Eisai) dosis…
c) Caspase-3
Adalah suatu protease sistein yang mempunyai peran penting pada apoptosis,
pembelahan protein target menuju kematian sel. Merupakan caspase inflamasi
sebagai protease kunci yang terlibat dalam penghancuran sel selama apoptosis
(Boland et al., 2013).Penilaian positifitas ekspresi caspase-3 menggunakan
pemeriksaan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal terhadap caspase-3.
Cara ukur dinilai secara kuantitatif visual dengan mikroskop cahaya pembesaran
400x terhadap sel yang mengekspresikan caspase-3. Kemudian dihitung jumlah sel-
sel tersebut yang imunoreaktif tercat coklat perak pada membran sel. Persentase
jumlah semua sel imunoreaktif yang ditemukan kemudian dilakukan skoring yaitu
skor 1 = 130%, skor 2 = 3170% dan skor 3 > 70%(Ummanni etal., 2010). Skala
data berupa ordinal.
d) Histopatologi “ take skingraft “
Pemeriksaan take skingraft akan dilakukan dengan bahan sampel dari eksisi kulit
yang dilakukan skingraft dengan menyertakan sedikit jaringan kulit normal di
sekelilingnya. . Pemeriksaan ditujukan untuk mengetahui adanya invasi sel-sel
inflamasi dan sel-sel dermis yang menginvasi jaringan granulasi dan vascular bud
yang menginvasi donor skingraft.
G. Kerangka Operasional Penelitian
40 ekor tikus putih Jantan
Umur 3-4 bulan
Berat badan ± 150-300 gr
K1 K2 P3 P4 P5
Tahapan Penelitian :
Tahap 1 : Perlakukan eksisi kulit , setelah 10 hari menunjukkanaktivitas
oksidatif dan inflamasi kronik pada hewan coba kelompok perlakuan K2, P3, P4
dan P5.
Tahap 2 : Perlakuan aktivitas oksidatif dan inflamasi kronik serta antioksidatif
dan inflamasi kronik setelah hari ke sepuluh sampai dengan hari ketigapuluh
diperlakukan sesuai perlakuan yaitu :
K1 : Perlakuan kontrol, tikus dilakukan eksisi kulit dan perawatan luka dengan
NaCL disonde dengan bahan pelarut aquadest 0,2 ml/hari.
K2 : Perlakuan kelompok penyakit jaringan granulasi yaitu tikus yang dilakukan
eksisi kulit dan perawatan luka dengan madu, dan disonde dengan bahan
pelarut aquadest 0,2 ml/hari setiap pagi hari.
P3 : Perlakuan terapi 1, yaitu tikus dilakukan eksisi kulit dan perawatan luka dengan
madu, dan disonde ekstrak propolis dosis 50 mg.kgBB-1 setiap pagi hari.
P4 : Perlakuan terapi 2, yaitu tikus dilakukan eksisi kulit dan perawatan luka dengan
madu, dan disonde Coenzyme Q10 dosis 40 IU.kgBB-1 setiap pagi hari.
P5 : Perlakuan terapi 2, yaitu tikus dengan jaringan granulasi, dan disonde ekstrak
propolis dosis 50 mg.kgBB-1dan Coenzyme Q10 dosis 40 IU.kgBB-1 setiap
pagi hari.
Efek antiinflamasi dan anti oksidatif ditunjukkan oleh kandungan yang ada di
propolis lebah yaitu CAPE (Lotfy, 2006). Efek antioksidatif ditunjukkan oleh
kandungan yang ada di Coenzyme Q10.Sonde dilakukan satu kali sehari selama 20
hari berturut-turut (Buraimoh et al., 2012).
Tahap 3 : Setelah selesai Perlakuan
Perlakuan hewan coba dikerjakan di Pusat Antar Universitas (PAU) Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Pengukuran serum anti inflamasi (IL -1, IL-6, TNF NF-
dan TNF-α ),dan dan anti oksidan (MDA) dilakukan sebelum perlakukan dan
sebelum penilaian pasca skingraft. Tikus putih dikorbankan 30 hari setelah
perlakuan, dengan cara dislokasi servikal. Jaringan skingraft beserta kulit sehat
sekitar diambil dan dibuat preparat histopatologi menurut metode standar
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta,masing-masing perlakuan sebanyak delapan ekor tikus. Setiap sampel
dibuat sebagai preparat histologi (migrasi sel-sel inflamasidari ransplant skingaft,
apopotose vascular bud ,kolagen prolin, hidroksirolin ), untuk pemeriksaan
imunohistokimiawi (Il-10, Il-6, TNF-α, IFN-γ )
Perlakuan terhadap hewan coba pada penelitian ini sudah memenuhi prinsip 3R
sesuai ketentuanNational Centre for the Replacement, Refinement and Reduction
ofAnimals in Research (NC3Rs) dan mendapatkan persetujuan dari komite etik
penelitian kesehatan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
UUO
+ UUO UUO
Propolis + +
Coenzyme Q10 Propolis- Coenzyme Q10
MDA
NF-
Imunohistokimia
Histopatolgi
Keterangan :
Variabel bebas
Variabel antara
Variabel tergantung
Keterangan:
R : Randomisasi
K1 : Kelompok kontrol dengan pemberian aquadest
K2 : Kelompok kontrol positip (jaringan ranulasi) dengan pemberian
aquadest)
P3 : Kelompok terapi(jarngan granulasi+ propolis dosis 50 mg.kgBB-1)
P4 : Kelompok terapi(jaringan granulasi +Coenzyme Q10)
P5 : Kelompok terapi(jarinagn granulasi +Coenzyme Q10) dan propolis dosis
50 mg.kgBB-1)
I. Analisis Data
Data berskala kategorik (ordinal) yang diperoleh meliputi ekspresi VCAM-1,
Caspase-3,dankolagen akan diuji menggunakan uji non-parametrik, dengan
menggunakan program SPSS for Windows Release 22. Hasil pengujian dianggap
bermakna bila harga p <0,05. Dengan rancangan analisis statistik, yaitu:
a) Uji Kruskal Wallis untuk mengetahui uji beda respons akibat UUO dibandingkan
dengan UUO yang dikombinasikan propolis, Coenzyme Q10 dan propolis +
Coenzyme Q10.
b) Uji Man-Whitney untuk mengetahui perbedaan mean rank antar kelompok.
Data numerik (Tekanan darah sistolik) yang diperoleh setelah memenuhi
kriteria akan diuji menggunakan uji F Anova, dengan menggunakan program SPSS
for Windows Release 22. Hasil pengujian dianggap bermakna bila harga p <0,05.
Dengan rancangan analisis statistik, yaitu:
a) Uji Shapiro wilk untuk menguji normalitas distribusi data.
b) Uji homogenitas menggunakan levene’s test untuk menguji homogenitas varian.
c) Uji F Anova untuk uji beda respons akibat UUO dibandingkan dengan UUO yang
dikombinasikan propolis, dan propolis + Coenzyme Q10.
d) Uji post-hoc LSD untuk mengetahui perbedaan mean antar kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Bank, G., Kagan, D., & Madhavi, D. (2011). Coenzyme Q10: Clinical Update and
Bioavailability. Journal of Evidence-Based Complementary & Alternative
Medicine, 16(2), 129–137. https://doi.org/10.1177/2156587211399438
Bauerova, K., Paulovicova, E., Mihalova, D., Drafi, F., Strosova, M., Mascia, C., Ponist,
S. (2010). Combined methotrexate and coenzyme Q₁₀ therapy in adjuvant-induced
arthritis evaluated using parameters of inflammation and oxidative stress. Acta
Biochimica Polonica, 57(3), 347–354.
Bonakdar, R. A., & Guarneri, E. (2005). Coenzyme Q10. American Family Physician,
72(6), 1065–1070.
Casagrande, D., Waib, P. H., & Jordão Júnior, A. A. (2018). Mechanisms of action and
effects of the administration of Coenzyme Q10 on metabolic syndrome. Journal of
Nutrition & Intermediary Metabolism, 13, 26–32.
https://doi.org/10.1016/j.jnim.2018.08.002
DiNicolantonio, J. J., Bhutani, J., McCarty, M. F., & O’Keefe, J. H. (2015). Coenzyme
Q10 for the treatment of heart failure: a review of the literature. Open Heart, 2(1),
e000326. https://doi.org/10.1136/openhrt-2015-000326
Fir, M., Milivojević, L., Prošek, M., & Šmidovnik, A. (2009). Property studies of
coenzyme Q10-cyclodextrins complexes (Vol. 56).
Fikri, Al Mukhlas. (2017). Aktivitas Antioksidan dan Antiemesis Propolis Trigona sp.
dari Tiga Provinsi di Indonesia. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tesis.
Hasan ZEA, Mangunwidjaja D, Sunart CT, Suparno O, Setiyono A. (2014). Investigating
the antioxidant and anticytotoxic activitites of propolis collected from five regions
of Indonesia and their abilities to induce apoptosis. Emirates Journal of Food
Agriculture. 26(5):390-398.
Hryniewicka, M., Karpinska, A., Kijewska, M., Turkowicz, M. J., & Karpinska, J.
(2016). LC/MS/MS analysis of α-tocopherol and coenzyme Q10 content in
lyophilized royal jelly, beebread and drone homogenate. Journal of Mass
Spectrometry: JMS, 51(11), 1023–1029. https://doi.org/10.1002/jms.3821
Lirizka, Sessy Paramita. (2016). Kandungan Fitokimia dan Toksisitas Propolis Lebah
Trigona spp. asal propinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB dan Maluku.
Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Mulyana, Kamajaya. (2014) Efek Propolis Indonesia Merek 'X' Dalam Mempercepat
Penyembuhan Luka Pada Mencit Jantan Galur Swiss Webster. Fakuitas
Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. Skripsi.
NCCIH (2018). Coenzyme Q10. (2018, May 4). Retrieved April 4, 2019, from NCCIH
website: https://nccih.nih.gov/health/coq10
Oda SS, Waheeb RS, El-Maddawy ZK. Potential efficacy of Coenzyme Q10 against
oxytetracycline-induced hepatorenal and reproductive toxicity in male rats. J App
Pharm Sci, 2018; 8 (01): 098-107.
Radiati, Lilik Eka, Khothibul, Umam Al Awwaly, Kalsum, Umi, Firman, Jaya. Pengaruh
Pemberian Ekstrak Propolis terhadap Sistem Kekebalan Seluler pada Tikus Putih
(Rattus norvegicus) Strain Wistar. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 9 No.1 (April
2008) 1- 9.
Rahman, S., Clarke, C. F., & Hirano, M. (2012). 176th ENMC International Workshop:
Diagnosis and treatment of Coenzyme Q10 deficiency. Neuromuscular Disorders,
22(1), 76–86. https://doi.org/10.1016/j.nmd.2011.05.001
Rodick, T., R Seibels, D., Jeganathan, R., Huggins, K., Ren, G., & Mathews, S. (2018).
Potential role of coenzyme Q10 in health and disease conditions. Nutrition and
Dietary Supplements, 2018: 10, pp. 1-11.
Sharma, A., Fonarow, G. C., Butler, J., Ezekowitz, J. A., & Felker, G. M. (2016).
Coenzyme Q10 and Heart Failure. Circulation: Heart Failure.
https://doi.org/10.1161/CIRCHEARTFAILURE.115.002639
Singh, R. B., Wander, G. S., Rastogi, A., Shukla, P. K., Mittal, A., Sharma, J. P., Chopra,
R. K. (1998). Randomized, double-blind placebo-controlled trial of coenzyme Q10
in patients with acute myocardial infarction. Cardiovascular Drugs and Therapy,
12(4), 347–353.
Watanabe, M. A. E., Amarante, M. K., Conti, B. J., & Sforcin, J. M. (2011). Cytotoxic
constituents of propolis inducing anticancer effects: a review. The Journal of
Pharmacy and Pharmacology, 63(11), 1378–1386. https://doi.org/10.1111/j.2042-
7158.2011.01331.x
Zeb, I., Ahmadi, N., Nasir, K., Kadakia, J., Larijani, V. N., Flores, F., … Budoff, M. J.
(2012). Aged garlic extract and coenzyme Q10 have favorable effect on
inflammatory markers and coronary atherosclerosis progression: A randomized
clinical trial. Journal of Cardiovascular Disease Research, 3(3), 185–190.
https://doi.org/10.4103/0975-3583.98883