Anda di halaman 1dari 82

PENGARUH PEMBERIAN PROPOLIS (ANTI REACTIVE OXYGEN SPECIES

/ ROS) SEBAGAI TERAPI ADJUVAN UNTUK MENINGKATKAN SURVIVAL


SKINGRAFT PADA JARINGAN GRANULASI

Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Doktoral

Oleh:

Dr. AMRU SUNGKAR, Sp.B, Sp.BP-RE

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 2
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 2
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................... 4
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 4
1. Anatomi Kulit ............................................................................... 4
2. Proses Penyembuhan Luka ........................................................... 6
3. Luka Kronik .................................................................................. 8
4. Skin Graft ...................................................................................... 10
5. Indikasi Skin Graft ........................................................................ 11
6. Vaskularisasi Skin Graft ............................................................... 13
7. Split Thickness Skin Graft (STSG) ............................................... 14
8. Propolis ......................................................................................... 22
9. Reactive Oxygen Species (ROS) .................................................. 24
10. Peroxiredoxins (PRDX) ................................................................ 34
11. Glutathione Peroxidase ................................................................. 36
12. Katalase ......................................................................................... 37
13. Heme Oxygenase (HO) ................................................................. 38
14. Vascular Cellular Adhesion Molecule (VCAM-1) ....................... 39
15. Efek Anti ROS dari Propolis ......................................................... 40
16. Pengobatan Terkini ....................................................................... 47
17. Prospek Masa Depan ..................................................................... 48
18. Koenzim Q10 ................................................................................ 53
19. Propolis ......................................................................................... 56
B. Kerangka Konseptual .......................................................................... 62
C. Hipotesis Penelitian ............................................................................. 63
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 64
A. Desain Penelitian ................................................................................. 64
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 64
C. Populasi, Sample dan Teknik Sampling Penelitian ............................. 64
D. Kriteria Restriksi ................................................................................. 65
E. Alokasi Subjek .................................................................................... 66
F. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian ..................................... 66
G. Kerangka Operasional Penelitian ........................................................ 69
H. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................... 72
I. Analisis Data ....................................................................................... 74
J. Daftar Pustaka ..................................................................................... 75
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses penyembuhan luka merupakan proses yang terorganisir ke arah
perbaikan jaringan, yang terdiri dari empat fase yang saling tumpang tindih, yaitu
fase koagulasi, inflamasi, pembentukan jaringan granulasi (fase proliferatif), dan
remodeling atau fase pembentukan scar (Demidova-Rice, 2012). Proses
penyembuhan melibatkan banyak faktor, salah satunya adalah matriks
metalloproteinase (MMPs).
Matriks metalloproteinase (MMPs) merupakan enzim proteinase (protease)
yang memecah protein-protein dari matriks ekstraseluler (ECM) yang terdiri dari
kolagen, fibronectin, glycosaminoglycans, proteoglycans dan hyaluronic acid , dan
membutuhkan ion logam zinc pada pusat aktifnya (GibsonD, 2009). MMPs
berperan penting dalam proses penyembuhan luka, dan diproduksi oleh sel-sel
inflamasi yang teraktivasi (seperti netrofil dan makrofag), dan sel-sel luka seperti
sel epitel, fibroblast dan sel endotel (Sekhon BS, 2010).
Fungsi utama MMPs adalah untuk memecah dan mengangkat molekul-
molekul matriks ekstraseluler dari jaringan (Zitka, 2010). Ekpresi dan aktivitas
beberapa MMPs dalam fase inflamasi diregulasi oleh growth factor dan mediator-
mediator inflamasi seperti sitokin TNF-α, IL-1β, IL-6 atau endotoksin bakter,
sebaliknya MMPs juga dapat mengaktivasi sitokin dan kemokin spesifik sehingga
memiliki peran pro-inflamasi (Visse R, 2003) MMPs pada tingkat tinggi dan jangka
waktu lama dapat menghambat penyembuhan luka dan terjadi delayed healing
(Gill, SE, 2008).
Skingrafting adalah salah satu teknik bedah rekonstruksit penutupan luka
dengan memindahkan epidermis dan sebagian atau seluruh dermis dari suatu
tempat ke tempat yang lain agar hidup di tempat yang baru, baik yang bersifat
tindakan permanen atau sementara. Indikasi STSG adalah untuk menutup defek
yang luas, misalnya penutupan luka yang tidak dapat dilakukan secara primer,
rekontruksi luka bakar yang luas dan dalam, release scar kontraktur, congenital
skin deficiencies dan lain-lain. Kontra indikasi STSG, luka kecil yang penutupan
lukanya dapat dilakukan dengan flap atau full thickness skin graft (FTSG) (Ramona,
2010). Keuntungannya yaitu kemungkinan take lebih besar, sehingga dapat dipakai
untuk menutup defek luka yang luas dan donor dapat diambil dari bagian tubuh
mana saja. Kekurangannya adalah kecenderungan kontraksinya lebih besar dan
mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi mengkilat sehingga secara estetik
kurang baik (Perdanakusuma D, 1998; Sudjatmiko, 2007). Keberhasilan STSG
dinilai dari prosentase take yaitu terjadinya revaskularisasi pada skin graft yang
ditandai dengan STSG yang berwarna pink (Perdanakusuma D, 1998; Weber,
2011).
Raw surface (jaringan luka terbuka) merupakan salah satu problem dalam
bedah plastik maka diperlukan tehnik penutupan luka/defek sebagai tindakan
permanen atau sebagai tindakan sementara untuk mengontrol dan mengurangi
terjadinya infeksi, pada penelitian ini akan dibahas mengenai peran MMP-10 dalam
keberhasilan prosentase take skin graft dengan harapannya prosentase
keberhasilannya lebih besar dan waktu penutupan lebih cepat, pada kasus-kasus
bedah plastik banyak kasus yang membutuhkan penutupan defek dan selama ini
skin graft yang dilakukan menunggu jaringan granulasi kronis dengan hasil kurang
memuaskan.

B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan pemberian propolis sebagai anti ROS terhadap aktifitas NF-
kβ dengan peningkatan survival take skin graft pada luka kronik (jaringan
granulasi ) yang dilakukan skingraft?

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui hubungan pemberian propolis dengan peningkatan survival skin
graft pada jaringan granulasi.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Keberhasilan survival skingraft salah satunya dapat ditingkatkan dengan
pemberian agen anti oksidan (propolis) yang dapat menekan proses inflamasi yang
akan mengurangi kualitas extracellular matrix (ECM) jaringan granulasi
2. Manfaat Aplikatif
Dari penelitian ini diharapkan pemberian anti oksidan (propolis) sebagai
terapi adjuvan dapat meningkatkan survival skingraft pada jaringan granulasi.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,
merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar
16% berat tubuh total dan luasnya sekitar 1,5-1,9 meter persegi. Tebalnya antara
1,5-5 mm tergantung letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terdapat pada
kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan
kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong.
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya
adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier
infeksi, mengontrol suhu tubuh, sensibilitas, fungsi imunologi dan
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar
adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ektoderm sedangkan
lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang
merupakan jaringan ikat.
Dibawah dermis terletak hipodermis atau jaringan subkutis, suatu jaringan
ikat jarang yang banyak mengandung sel-sel lemak, panikulus adiposa. Hipodermis
tidak dianggap sebagai bagian kulit melainkan suatu yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan dibawahnya (Perdanakusuma D, 1998; Chen, 2007;
McGrath, 2008; Shimizu, 2012).

Pembagian lapisan kulit secara histologi


a. Epidermis, Terdiri atas :
1) Stratum basale (stratum germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang
hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel-sel epidermis secara
konstan. Epidermis diperbaharui setiap 15-30 hari dengan rata-rata 19 hari
untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor-
faktor lain.
2) Stratum spinosum. Terdapat berkas-berkas filamen yang dinamakan
tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan penting
untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum disebut sebagai lapisan malpighi.
3) Stratum granulosum. Ditandai oleh 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang
intinya di tengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang
dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan
histidin.
4) Stratum lusidum. Biasanya terdapat pad kulit tebal berupa garis translusen.
5) Stratum korneum. Mengandung sel tanduk pipih tanpa inti. Sitoplasma
terisi skleroprotein filamen disebut keratin.

b. Dermis
Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya berbeda-beda, yang
paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri atas dua lapisan :
1. Lapisan papiler : tipis, terdiri atas serat kolagen, jaringan ikat jarang
2. Lapisan retikuler : tebal, terdiri atas jaringan ikat padat
Serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan
bertambahnya usia. Mayoritas sekitar 80 % berupa kolagen tipe I, 15 % tipe
III, sisanya kolgen tipe V dan VI. Perbandingan kolagen tipe I dan tipe III
adalah 4:1.
Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin
kulit manusia kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut
kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang
menyebabkan kulit menjadi kehilangan elastisitasnya dan tampak mempunyai
banyak keriput.
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga
mengandung beberapa derivat epidermis yaitu :
 Folikel rambut
 Kelenjar keringat ekrin
 Kelenjar keringat apokrin

c. Subkutis
Merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri atas lapisan lemak.Lapisan
ini terdiri atas jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan
jaringan dibawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda- beda menurut daerah di
tubuh dan keadaan nutrisi individu.
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus yang terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan
jaringan subkutis. Cabang-cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi
papila dermis, tiap papila dermis punya satu arteri asenden dan satu cabang vena.
Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi terdapat nutrisi dari dermis
melalui membran epidermis (Perdanakusuma D, 1998; McGrath, 2008; Shimizu,
2012).

2. Proses Penyembuhan Luka


Proses penyembuhan luka merupakan proses yang terorganisir ke arah
perbaikan jaringan, yang terdiri dari empat fase yang saling tumpang tindih,
Gambar 1. Proses penyembuhan luka secara normal yang mencakup proses fase
koagulasi, fase inflamasi (A), fase proliferasi atau pembentukan jaringan granulasi
(B), dan fase remodeling (C).

yaitu fase koagulasi, inflamasi, pembentukan jaringan granulasi (fase


proliferatif), dan remodeling atau fase pembentukan scar. (Demidova,
2012))
Segera setelah terjadi jejas, maka platelet menempel ada pembuluh
darah yang rusak, dan mengaawli reaksi pelepasan, serta mengalawi reaksi
hemostatik. Platelet melepaskan banyak growth factor, sitokin, dan agen-
agen pemicu apoptosis. Komponen penting dalam proses ini adalah platelet-
dreived growth factor , (PDGF) dan TGF-A1 dan TGF-2 yang menarik sel-
sel inflamasi seperti lekosit, netrofil, dan makrofag. Leukosit sebagai sel
fagosit akan melepasan reactice oxygen species (ROS) yang bersifat
antimikroba dan protease yang membersihkan luka dari benda asing dan
bakteri. Akhir dari fase inflamasi disertai dengan apoptosis sel-sel inflamasi.
Sitokin anti-inflamasi seperti TGF-A1 dan interleukin-1,serta lipid bioaktif
seperti prostaglandin, lipoxin dan serolvin berperan dalam proses apoptosis
ini.1
Saat fase inflamasi berakhir, fase proliferatif dimulai. Pada tahap ini
growth factor yang terbentuk akan menginduksi dan mempertahankan
proliferasi sel serta menginisiasi migrasi sel. Kejadian-kejadian ini
dibutuhkan untuk pembentukan jaringan granulasi serta mendukung
epiteliasisasi. Saat sel-sel dermal dan epidermal bermigrasi dan
berproliferasi di dalam dasar luka, dibutuhkan darah yang adekuat sehingga
respons angiogenesis dapat diawali. Angiogenensis pada penyembuhan luka
terjadi segera setelah jejas saat terjadi hipoksia loka, disamping gangguan
pada pembuluh darah akibat jejas. Hal ini menyebabkan produksi faktor-
faktor proangiongenik seperti FGF-2, PDGF.
Akibatnya sel-sel endotel mendegradasi membran dasar, bermigrasi
ke arah luka, berproliferasi dan membentuk kontak antar sel dan pada
akhirnya membentuuk pembuluh darah baru. Sel-sel progenitor endotel
(EPCs), yang berasal dari sumsum tulang, dibutuhkan untuk revaskularisasi
luka dan akan direkrut pada saat terjadi luka. Mobilisasi EPCs dimediasi
oleh nitric oxide, VEGF, dan matrix metalloproteinase (MMP) terutama
MMP-9 (Demidova, 2012)
Terbentuknya kembali aliran darah yang normal akan menyediakan
lingkungan mikro yang baik untuk migrasi dan proliferasi sel-sel dermal dan
epidermal. Dengan demikian terjadi epitelialisasi kembali dan restorasi dari
integritas epidermal. Fibroblas akan berproliferasi di dalam luka dan
mensistensis matriks ekstraseluler (ECM), membentuk jaringan granulasi
yang banyak mengandung pembuluh darah baru. Matriks awal terdiri dari
kolagen II, fibrin, fibronectin, dan asam hialuronik, kemudian akan
digantikan dengan ECM yang lebih banyak terdiri dari kolagen I (Demidova
2012).
Kemudian terjadi proses kontraksi luka dan remodeling. Kontraksi
terjadi oleh miofibroblas yang berkontraksi sebagai respons TGF-A, dan
adanya protein-protein matriks. Mekanisme lain yang menyebabkan
kontraksi luka adalah motilitas fibroblast akibat reorganisasi matriks. Proses
ini melibatkan siklus-siklus sintesis dan degradasi ECM yang lambat,
dimana enzim MMPs berperan penting. Pada akhirnya proses apoptosis sel
fibroblast terjadi, membentuk jaringan scar yang cenderung aseluler
(Demidova 2012).

3. Luka Kronik
Patofisiologi Luka kronis tidak mengikuti kaskade yang jelas.
Proses ini sering terjebak dalam kondisi peradangan yang menghalangi
proliferasi. Antara lain, hipoksia jaringan lokal, trauma berulang dan
beban bakteri yang berat, dikombinasikan dengan gangguan respon
seluler dan sistemik host terhadap stres menahan siklus merusak yang
mencegah perkembangan ke fase proliferasi penyembuhan. Tingginya
tingkat aktivitas mitogenik yang terlihat pada luka akut tidak ada pada
luka kronis. Stimulus yang sering multifaktorial menciptakan dan
memperkuat lingkungan mikro yang bertentangan di mana sedikit
keseimbangan antara sitokin pro-inflamasi, kemokin, protease, dan
inhibitor - inhiitor yang ada pada luka akut terganggu (Żaneta, et al.,
2013).
Dengan demikian, cedera gagal sembuh dalam jangka waktu yang
sesuai secara fisiologis. Keterlambatan penyembuhan luka ini juga
memperburuk jaringan parut karena peradangan berkepanjangan, dan
cenderung mengalami perkembangan neoplastik. Infiltrasi neutrofil yang
berlebihan nampaknya menjadi penyebab penting dalam siklus
peradangan kronis ini, dan penanda secara biologis dari luka kronis.
Kelimpahan neutrofil menyebabkan kelebihan produksi ROS,
menyebabkan kerusakan langsung pada ECM, membran sel dan
selanjutnya, penuaan sel prematur . Selain itu, neutrofil melepaskan
protease serin seperti elastase dan MMPs seperti neutrofil kolagenase
(MMP-8); elastase mendegradasi faktor pertumbuhan penting seperti
PDGF dan TGF-β, sementara collagenase mendegradasi dan
menonaktifkan komponen ECM.

Gambar 2. Peran peradangan dalam patofisiologi luka kronis umum.


ROS = spesies oksigen reaktif, ECM = matriks ekstraseluler.
Oleh karena itu, meskipun produksi faktor pertumbuhan sering
meningkat pada luka kronis, bioavailibilitas mereka berkurang. Baik
neutrofil dan makrofag teraktivasi juga menghasilkan sitokin
proinflamasi seperti IL-1β dan TNF-α yang tidak hanya meningkatkan
produksi MMP tetapi juga mengurangi inhibitor jaringan MMP (TIMPs);
ketidakseimbangan ini menambah degradasi ECM, merusak migrasi sel,
dan mengurangi proliferasi fibroblast dan sintesis kolagen. Produk
pemecahan ECM lebih lanjut mempromosikan peradangan, menciptakan
proses mandiri. Respon inflamasi yang tidak tepat seperti itu bergabung
dengan gangguan respon seluler dan sistemik host terhadap stres,
mengabadikan siklus buruk yang harus diputuskan melalui debridemen
dan pembersihan luka agar penyembuhan terjadi.
Meskipun penyebab yang berbeda, banyak luka kronis berperilaku
dan berkembang dengan cara yang sama, seperti dirangkum dalam
Gambar 2. Mustoe mengusulkan bahwa keseragaman ini sebagian besar
dijelaskan oleh koeksistensi beberapa komponen yang konsisten:
perubahan penuaan sel dan sistemik, cedera iskemia-reperfusi berulang
dalam konteks hipoksia lokal, dan kolonisasi bakteri . Mereka merusak
berbagai proses penyembuhan — peradangan di antara mereka — yang
memicu kronisitas. Commented [AW1]: Int. J. Mol. Sci. 2016, 17, 2085 6 of
14 Int. J. Mol. Sci. 2016, 17, 2085 6 of 13

4. Skin Graft
Skin Graft adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh tebalnya kulit dari
satu tempat ke tempat yang lain agar hidup di tempat yang baru tersebut.
Dibutuhkan revaskularisasi untuk menjamin kelangsungan hidup kulit yang
dipindahkan itu.
Pembagian skin graft dibagi berdasarkan atas :
Asal atau spesies Autograft : graft yang berasal dari individu yang sama (berasal
dari tubuh yang sama).
Homograft : graft yang berasal dari individu lain yang sama spesiesnya (berasal
dari tubuh lain).
Heterograft (Xenograft) : graft berasal dari makhluk lain yang berbeda spesies
(Freiberg, 2002; Chen, 2007).
Ketebalan
a. Split Thickness Skin Graft (STSG) : graft ini mengandung epidermis dan
sebagian dermis.Tipe ini terbagi atas :
b. Thin Split Thickness Skin Graft, pertama diperkenalkan oleh Ollier (1874) dan
dikembangkan oleh Thiersch (1874). Ukurannya : 8-12/1000 inci (epidermis +
¾ bagian lapisan dermis).
c. Intermediate (medium) Split Thickness Skin Graft, diperkenalkan oleh Blair dan
Brown (1929). Ukuran 14 -20/1000 inci ( epidermis + ½ bagian lapisan dermis).
d. Thick Split Thickness Skin Graft, nama lainnya three quarter thickness graft.
Dilakukan pertama kali oleh Padgett (1939) menggunakan dermatome yang
mempunyai kalibrasi sehingga memungkinkan dapat mengambil skin graft
dalam berbagai ukuran. Ukuran : 22-28/1000 inci (epidermis + ¼ bagian lapisan
dermis).
e. Full Thickness Skin Graft (FTSG) : graft ini meliputi epidermis dan seluruh
ketebalan dermis. Mula-mula diperkenalkan oleh Lawson (1870), Le fort (1872)
dan Wolfe (1875). FTSG kemudian sering disebut Wolfian graft.
f. Composite Graft : graft yang terdiri atas epidermis, dermis dan lemak subkutan
(Perdanakusuma, 1998; Sudjatmiko, 2007; Seyhan, 2011).

5. Indikasi Skin Graft


a. Pilihan tindakan setelah penutupan luka secara primer yang tidak dapat dilakukan.
b. Rekontruksi luka bakar
c. Release scar kontraktur
d. Congenital skin deficiencies
e. Tidak terdapat jaringan sekitar luka yang bisa dipakai menutup luka (jumlah,
kualitas, lokasi dan penampakan).
f. Luka pasca pengangkatan tumor ganas yang tidak dapat diyakini bebas tumor.
g. Bila cara lainnya lebih merugikan dari sisi morbiditas, resiko, hasil atau
komplikasinya.
h. Faktor lain : status gizi, umur, comorbid condition, perokok, kepatuhan atau biaya
(seandainya dengan cara lain lebih mahal) (Sjamsuhidayat, 1997; Chung, 2004;
Seyhan, 2011).

Syarat skin graft yang baik/take


a. Vaskularisasi resipien yang baik.
b. Kontak yang akurat antara skin graft dengan resipien.
Dilakukan penjahitan interupted di pinggir kemudian dilakukan jahitan kasur
diatas skin graft untuk menjamin kontak dan mencegah pergeseran. Skin
graft ditutup dengan tulle dan diatasnya diberi kassa steril lembab NaCl 0,9%
sampai merata supaya dapat menyerap darah maupun seroma yang ada atau
dengan kassa streil yang banyak kemudian dilapisi kassa kering, diharapkan
efek menekan secara merata ke seluruh permukaan. Setelah dilakukan tie
over atau dibalut verban elastis. Tie over ini dilakukan terutama pada daerah
yang tidak dapat dilakukan balut tekan dengan verban elastis.
c. Imobilisasi yang baik.
Dengan Spalk/Splint untuk daerah ekstremias, leher, aksila untuk melindungi
Skin graft dari gerakan -gerakan tubuh yang dapat merusak skin graft serta
mencegah kontraksi yang terjadi karena posisi anatomis.
d. Tidak ada perdarahan atau hematom.
Perawatan perdarahan yang baik pada resipien sebelum penempelan dengan
cara ligasi atau kauter sumber perdarahan atau luka ditunggu terjadi proses
hemostasis normal, sambil menunggu luka resipien ditutup kassa lembab
campuran NaCl 0,9% dengan adrenalin. Dibuat pada graft beberapa insisi
kecil untuk drainase sehingga seroma atau darah tidak terkumpul dibawah
skin graft yang dapat menghalangi kontak graft dengan resipien.
e. Tidak ada infeksi
Perawatan luka yang baik, bila perlu kompres NaCl 0,9% atau berikan
antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme yang dapat merusak skin
graft (Perdanakusuma D, 1998; Sudjatmiko, 2007; Fuss, 2010).
6. Vaskularisasi skin graft
Skin graft membutuhkan vaskularisasi yang cukup untuk dapat hidup, sebelum
terjalin hubungan erat dengan resipien. Setelah kulit dilepas dari donor akan
berubah menjadi pucat karena terputus dari suplai pembuluh darah. Terjadi
kontraksi kapiler pada graft dan sel-sel darah merah terperas keluar. Setelah graft
ditempelkan ke resipien secara perlahan tampak perubahan warna graft menjadi
pink seperti ada sirkulasi kembali, ini terjadi karena perpindahan pasif dari sel darah
merah yang bebas ke dalam kapliler graft. Efek kapiler ini terjadi selama 12 jam
pertama. Nutrisi pada skin graft dimulai dengan melalui proses sirkulasi plasmatik,
disini terjadi proses imbibisi plasma atau serum dan oksigen ke dalam graft. Graft
segera akan udema secara bertahap dan beratnya bertambah sampai 40%.
Fase-fase pada skin graft :
1) Plasmic imbibition ( 24-48 jam )
Adanya penumpukan fibrin menyebabkan melekatnya graft pada resipien, nutrisi
didapatkan melalui difusi.
2) Inosculation (hari ke 3-7)
Terbentuknya aliran darah antara skin graft dengan kapiler resipien
3) Revaskularisasi (hari ke - 4)
Hal yang terjadi pada revaskularisasi skin graft ini dapat merupakan satu proses
atau kombinasi dari tiga proses dibawah ini :
1) Hubungan anastomose langsung antara graft dengan pembuluh darah
resipien disebut proses inoskulasi.
2) Pertumbuhan ke dalam dari pembuluh darah resipien ke dalam saluran
endotelial graft.
3) Penetrasi pembuluh darah resipien ke dalam dermis dari graft yang akan
membentuk saluran endotelial baru.
Revaskularisasi dari STSG di daerah resipien lebih cepat dari FTSG karena STSG
lebih tipis sehingga masuknya pembuluh darah dari resipien menempuh jarak yang
lebih pendek. Perlekatan skin graft pada daerah resipien paling besar terjadi pada
dalam waktu 8 jam, kemudian berlanjut secara perlahan sampai hari ke 4. Hal ini
terjadi di samping karena adanya proses-proses yang disebut diatas juga karena
terdapat lapisan tipis fibrin antara graft dan resipien yang membantu perlekatan dan
membuat pembuluh darah resipien lebih cepat penetrasi ke dalam graft
(Perdanakusuma D, 1998; Chung, 2004; Thorton, 2004).

7. Split Thickness Skin Graft (STSG)


Merupakan tindakan yang definitif sebagai penutupan defek permanen atau
hanya sebagai tindakan yang sementara sambil menunggu tindakan yang definitif.
Tindakan sementara ini dimaksudkan untuk mengontrol, mengurangi kemungkinan
terjadi infeksi dan menutup struktur vital, kemungkinan digantikan dengan FTSG
atau flap untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. STSG diindikasikan untuk
menutup defek kulit yang luas (Perdanakusuma D; 1998; Leung, 2009).
STSG dapat diambil dari seluruh permukaan tubuh, namun lokasi donor
yang dipilih sebaiknya dapat tertutup oleh pakaian dan nyeri yang minimal selama
proses reepitelisasi. Lokasi yang biasa dipilih femur proksimal sisi anterior dan
lateral (Weber, 2011).
Keuntungan STSG
1. Kemungkinan take lebih besar.
2. Dapat dipakai untuk menutup defek yang luas.
3. Donor dapat diambil dari bagian tubuh mana saja.
4. Daerah donor dapat sembuh dengan proses epitelisasi.
Kerugian STSG
1. Mempunyai kecenderungan kontraksi lebih besar.
2. Punya kecenderungan terjadi perubahan warna.
3. Permukaan kulit mengkilat.
4. Secara estetik kurang baik (Perdanakusuma D, 1998; Sudjatmiko, 2007).
Untuk mengambil STSG dari tempat donor dilakukan dengan mengunakan :
1. Pisau atau blade
Mata pisau yang dipakai biasanya no 22, yang mempunyai keuntungan : mudah
tersedia, murah, disposable, selalu tajam dan mempunyai permukaan iris yang rata
cukup lebar. Sebelumnya daerah donor di balur cairan parafin untuk membuat pisau
dapat bergerak dengan smooth pada permukaan daerah donor yang datar atau
didatarkan dengan bantuan regangan di permukaan kulit. Pisau disayat sejajar
permukaan kulit, untuk ketebalan tergantung kontrol operator. Pisau digerakkan
tarik dorong seperti gerakan gergaji sambil perlahan bergeser menuju arah kiri
operator sampai didapatkan panjang yang diinginkan. Dengan cara ini tidak
didapatkan skin graft yang besar, dibutuhkan ketrampilan operator. Pergerakan
pisau menyayat sesuai permukaan longitudinal atau sumbu panjang ekstremitas.
2. Pisau Humby
Mempunyai kalibrasi untuk mengukur ketebalan kulit yang diambil. Hal ini
dimungkinkan dapat diatur ketebalan antara roller dan pisau, kulit berada
diantaranya. Cara pegambilan seperti menggunakan pisau no.22, setelah dilicinkan
dengan cairan parafin, pisau Humby diletakkan pada daerah donor sedatar mungkin
dengan meletakkan dan menekan papan kayu atau besi ke permukaan kulit
berhadapan atau didepan mata pisau Humby. Asisten meregangkan atau
mendatarkan kulit dengan mengunakan tepi ulnar tangannya. Bila graft masih
kurang dapat dilakukan pengambilan lagi pada tempat lain disekitar daerah tersebut.
3. Penggunaan meshed graft
Meningkatkan luas daerah yang dicakup sementara meminimalkan luas jaringan
yang diambil, dapat dilakukan pada permukaan iireguler, mengurangi kemungkinan
hematom atau seroma, dapat mengurangi ukuran luka akibat kontraksi luka
sekunder dan lebih baik secara estetika.
4. Dermatome tangan, listrik dan tekanan udara
Mempunyai kemampuan mempertahankan jarak antara mata pisau dengan tebal
kulit yang disayat. Dermatome listrik dan tekanan udara membuat gerakan ayunan
pisau dilakukan secara cepat an konstan. Dilakukan kalibrasi sesuai ketebalan yang
diinginkan setelah kulit dilubrikasi dengan cairan parafin, alat diletakkan diatas
permukaan kulit sesuai sumbu longitudinal di daerah donor yang rata. Alat
dihidupkan dan digerakkan secara smooth ke depan.
Pada tindakan STSG diperkirakan setiap 100 cm2 graft yang diambil akan
kehilangan darah sekitar 20 cc. Pengambilan ulang STSG ditempat donor yang
sama dapat dilakukan 2-3 minggu sesudah pengambilan STSG yang pertama.
Gambaran titik-titik perdarahan pada donor dapat menunjukkan ketebalan
skin graft yang diambil. Graft yang tipis akan lebih tampak densitas yang tinggi
dengan titik perdarahan yang banyak dan rapat tersebar diseluruh permukaan donor.
Graft yang lebih tebal akan tampak densitas yang kurang dengan titik perdarahan
yang relatif lebih besar dan jarang dipermukaan donor (Perdanakusuma, 1998;
Weber, 2011).
STSG memerlukan kondisi yang kurang ideal dan mempunyai aplikasi yang
lebih luas dibandingkan dengan FTSG. STSG digunakan untuk menutup luka yang
luas, defisit mukosa, menutup daerah donor flap, dan menutup donor flap otot.
Dapat juga digunakan untuk menutup luka yang diakibatkan oleh pengangkatan lesi
memerlukan pemeriksaan patologi anatomi sebelum rekonstruksi definitif. Daerah
donor sembuh spontan dari apendik epidermis yang masih tersisa dan dapat dipakai
sebagai daerah donor setelah proses penyembuhan selesai (Istiqomah, 2010).
STSG lebih mudah rusak/robek terutama bila ditempatkan di atas daerah
dengan sedikit jaringan lunak dibawahnya, dan biasanya tidak tahan terhadap terapi
radiasi. STSG akan mengkerut selama proses penyembuhan dan tidak dapat tumbuh
sendiri. STSG mempunyai tendensi untuk mengalami perubahan warna atau
hiperpigmentasi, terutama pada individu dengan warna kulit gelap. Dengan
ketipisannya, perubahan pigmen, dan tekstur yang kurang halus dan pertumbuhan
rambut membuat STSG lebih berfungsi kosmetik. Ketika digunakan untuk menutup
luka bakar yang luas pada daerah wajah, STSG menghasilkan hasil yang kurang
menguntungkan (Istiqomah, 2010).
1. Pemilihan donor
STSG dapat diambil dari daerah mana saja, tetapi pada umumnya yang sering
dilakukan diambil dari paha sebelah lateral. Daerah pantat juga dapat digunakan
sebagai daerah donor, tetapi pasien sering mengeluhkan nyeri post operasi dan akan
memerlukan bantuan dalam perawatan lukanya. Kulit kepala juga dapat digunakan
sebagai graft pada daerah wajah apabila tidak memungkinkan dilakukan FTSG
karena luka terlalu besar dan luka bakar yang berat dimana terdapat keterbatasan
daerah donor. Daerah kulit kepala dapat diambil beberapa kali dengan resiko yang
sedikit untuk terjadinya alopesia atau mempengaruhi pertumbuhan rambut pada
daerah resepien. Daerah lengan atas sebelah dalam merupakan daerah donor yang
baik secara kosmetik dan dapat digunakan pada luka pada tangan atau lengan bagian
bawah. Sebelum diambil, donor dibalur dengan parafin cair steril agar pisau dapat
bergerak dengan smooth pada permukaan donor (Istiqomah, 2010).
2. Persiapan luka
Komponen yang penting untuk keberhasilan skin graft adalah persiapan yang
baik dari resepien bed. Kondisi fisiologi harus dioptimalkan untuk dapat menerima
graft dan nutrisi graft. Skin graft tidak akan hidup pada jaringan tanpa suplai darah,
seperti tulang tanpa periosteum, kartilago tanpa perikondrium, tendo tanpa
peritenon, dan saraf tanpa perineurium. Skin graft akan hidup pada periosteum,
perikondrium, peritenon, perineurium, dermis, fascia, otot, dan jaringan granulasi.
Luka sekunder karena radiasi yang mempunyai suplai darah yang jelek tidak dapat
mendukung graft. Pasien dengan luka yang disebabkan stasis vena atau insufisiensi
arteri harus dicari diterapi latar belakang penyebabnya, sehingga meningkatkan
kemungkinan keberhasilan graft (Istiqomah, 2010).
Luka juga harus bebas dari jaringan nekrotik dan tidak terkontaminasi bakteri.
Jumlah bakteri yang lebih dari 100.000 per cm dihubungkan dengan kemungkinan
kegagalan graft. Untuk mencapai kondisi luka yang baik, debridemen, pemberian
antibiotika topikal dan sistemik, penggantian balut tekan dapat dilakukan untuk
keberhasilan graft (Istiqomah, 2010).
3. Bentuk Skin Graft
- Berupa lembaran
- Post stamp (perangko)
- Berbentuk jaring (meshed skin graft)
4. Penempelan
Setelah kulit ditempelkan pada daerah resepien yang telah dipersiapkan
(bersih, tidak ada perdarahan, atau bekuan darah) dilakukan penjahitan dengan
benang non absorbable 4-0 atau 5-0 pada pinggir kulit. Diatas kulit diberi tulle,
dilapisi kasa lembab dan selanjutnya dilapisi kapas kering yang cukup tebal.
Sebaiknya juga dilakukan fiksasi dengan mengunakan Tie Over. Untuk membantu
keberhasilan prosedur skin graft perlu dilakukan balutan tekan dengan verband, di
daerah ekstremitas sebaiknya dilakukan elevasi ekstremitas yang bersangkutan
serta dipasang spalk atau slab dari gibs untuk menjamin imobilitas sendi yang
bersangkutan. Balutan dibuka pada hari ke-4 untuk mengevaluasi take dari skin
graft dan benang fiksasi dicabut. Daerah donor dibuka setelah hari ke-14 dimana
diharapkan telah terjadi epitelisasi (Torrance, 1997; Bhagwat et al, 2001; Yefta et
al, 2008).
Penekanan graft dilakukan maksimal selama 8 hari post grafting, tetapi
balutan awal harus diganti pada hari 3-7 tanpa disertai nyeri, bau, discharge atau
tanda komplikasi yang lain. Pada saat pengangkatan graft, basahi dengan saline
untuk mencegah perlekatan dengan graft, dan balutan diangkat secara hati-hati
untuk mencegah terlepasnya graft dari daerah luka di bawahnya. Perawatan
hematoma atau seroma dilakukan pada saat penggantian balut dengan membuat
incisi kecil di atas daerah pengumpulan cairan (Bhagwat et al, 2001; Yefta et al,
2008; Istiqomah, 2010).
Daerah donor harus dibalut secepatnya pada saat akhir operasi. Pemakaian
balutan sesudah hemostasis dicapai dengan memakai kasa basah yang mengandung
larutan epinefrin. Pembalutan yang ideal pada daerah donor harus mendukung re-
epitelisasi yang cepat, tidak menimbulkan nyeri, memerlukan perawatan yang
sedikit, tidak terlalu mahal, dan angka terjadinya infeksi rendah. Pilihannya antara
lain balut oklusif (DuoDerm), balut semi reguler (Op-Site, Tegaderm), balut semi
open (Vaseline gauze, xeroform, scarlet red) dan tanpa pembalutan (Bhagwat et al,
2001; Yefta et al, 2008; Istiqomah, 2010).
Daerah donor dari STSG dapat sembuh spontan dari sel epitel yang tersisa
dari appendik epitel dalam lapisan dermis atau tepi luka. Penyembuhan dimulai
dalam 24 jam setelah pengambilan graft. Rata-rata penyembuhan sesuai dengan
jumlah apendik epitel yang tersisa dan berbanding terbalik dengan ketebalan graft
yang diambil. Lapisan epidermis dapat mengalami regenerasi dan dapat sebagai
daerah donor, tetapi setiap pengambilan graft yang mengenai bagian dermis tidak
akan mengalami regenerasi. Pertumbuhan epitel awal pada regenerasi sangat halus
dan mudah rusak oleh pergeseran balut. Alasan lain dari penggunaan teknik semi
oklusif adalah tidak memerlukan pengangkatan sebelum penyembuhan lengkap.
Hiperpigmentasi masih didapatkan dalam beberapa bulan mengikuti penyembuhan
daerah donor, dan pada individu berwarna kulit gelap mempunyai kecenderungan
terbentuk skar hipertropik pada sisi tersebut (Bhagwat et al, 2001; Yefta et al, 2008;
Istiqomah, 2010).
5. Penyembuhan Graft
Setelah penempelan graft, terjadi perlengketan graft ke dasar luka melalui
jaringan fibrin yang tipis yang melekatkan graft untuk sementara, sebelum
terbentuknya jaringan konektif dan jaringan sirkulasi yang definitif. Perlekatan ini
terjadi segera dan mungkin berlangsung sampai 8 hari post grafting.
a. Inbibisi Plasma
Periode waktu antara grafting dan revaskularisasi graft menunjukkan fase
imbibisi plasma. Imbibisi plasma dari luka ke graft terjadi melalui aktivitas kapiler
melewati struktur seperti spon dari lapisan dermis graft dan melewati pembuluh
darah dermis. Hal ini diperlukan untuk mencegah pengeringan graft, memelihara
patensi vasa graft, dan untuk memberikan nutrisi graft. Proses ini bertanggung
jawab kehidupan graft selama 2-3 hari sampai terbentuk jaringan sirkulasi. Selama
waktu ini, bentuk graft menjadi edema dan bertambah beratnya sampai 30-50%
(Torrance, 1997; Istiqomah, 2010; Ramona, 2010).
b. Revaskularisasi Graft
Revaskularisasi graft dimulai 2-3 hari setelah graft melalui mekanisme yang
masih belum jelas. Revaskularisasi skin graft melalui proses hubungan langsung
antara donor dan pembuluh darah resepien (inokulasi), pertumbuhan ke dalam dari
resepien kedalam saluran endothelial kulit donor, dan penetrasi dari resepien
kedalam kulit donor yang membentuk saluran endotelial baru.Tanpa melihat
mekanisme yang sebenarnya, vaskularisasi graft seluruhnya terjadi dalam waktu 6-
7 hari post grafting. Tanpa perlekatan awal, imbibisi plasma dan revaskularisasi,
graft tidak akan hidup (Torrance, 1997; Lowenstein, 2007, Istiqomah, 2010).
c. Regenerasi
Lapisan epithel diperlukan untuk regenerasi setelah proses graft. Rambut
jarang tumbuh karena STSG tanpa graft yang terlalu tebal. Rambut lebih banyak
tumbuh pada full-thickness skin graft dan sehingga perlu dipertimbangkan untuk
digunakan (Torrance, 1997; Istiqomah, 2010).
d. Reinervasi
Reinervasi graft terjadi dari dasar resepien dan tepi sepanjang sarung
neurolema yang kosong dari graft. Proses ini dimulai pada bulan pertama dan belum
lengkap sampai beberapa tahun setelah graft. Nyeri biasanya sensasi pertama yang
dirasakan diikuti dengan sensasi sentuhan, panas dan dingin. STSG proses
reinervasinya lebih cepat, tetapi pada full-thickness skin graft reinervasinya lebih
lengkap. Reinervasi biasanya tidak lengkap dan didapatkan menetap (Torrance,
1997; Istiqomah, 2010).
e. Pigmentasi
Pigmentasi berlangsung bertahap pada full-thickness skin graft dan dapat
menghasilkan warna yang sama dengan daerah donor dibandingkan dengan split-
thicknes skin graft. Pada STSG akan pucat atau putih atau hiperpigmentasi bila
terpapar sinar matahari. Oleh karena itu graft harus dilindungi dari paparan
langsung sinar matahari selama 6 bulan atau lebih (Torrance, 1997; Istiqomah,
2010).
6. Faktor penyebab kegagalan
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan kegagalan skin graft
yaitu: adanya perdarahan atau hematoma atau seroma dibawah skin graft, faktor
mekanis eksterna (teknik balutan yang kurang baik, imobilisasi tidak adekuat,
penempelan graft yang terbalik, terjadinya pergeseran graft), terjadinya nekrosis
dari daerah resepien terutama bila daerah tersebut bekas crush injury atau daerah
resepien memang kurang baik untuk skin graft (misalnya banyak lemak), dan
adanya infeksi terutama jenis streptokokus B hemolitikus dengan jumlah kuman
lebih dari 105 (Torrance, 1997; Istiqomah, 2010).
7. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan
Faktor yang penting untuk keberhasilan skin graft adalah persiapan luka
yang tepat. Kegagalan untuk membuat kondisi fisiologis yang optimal untuk
menerima dan nutrisi graft dapat sebagai sumber kegagalan graft. Skin graft tidak
akan hidup pada jaringan tanpa suplai darah, seperti tulang tanpa periosteum,
kartilago tanpa perikondrium, tendo tanpa peritenon, dan saraf tanpa perineurium.
Skin graft akan hidup pada periosteum, perikondrium, peritenon, perineurium,
dermis, fascia, otot, dan jaringan granulasi. Luka sekunder karena radiasi yang
mempunyai suplai darah yang jelek tidak dapat mendukung graft. Pasien dengan
luka yang disebabkan stasis vena atau insufisiensi arteri harus dicari diterapi latar
belakang penyebabnya, sehingga meningkatkan kemungkinan keberhasilan graft
(Torrance, 1997; Lowenstein, 2007; Ramona, 2010).
Luka juga harus bebas dari jaringan nekrotik dan tidak terkontaminasi
bakteri. Jumlah bakteri yang lebih dari 100.000 per cm dihubungkan dengan
kemungkinan kegagalan graft. Untuk mencapai kondisi luka yang baik,
debridement, pemberian antibiotika topikal dan sistemik, penggantian balut tekan
dapat dilakukan untuk keberhasilan graft (Torrance, 1997; Lowenstein, 2007;
Ramona, 2010).
8. Kegagalan Graft
Terdapat beberapa sebab yang mengakibatkan kegagalan skin graft.
Sebagian besar disebabkan oleh karena terbentuknya hematom diantara graft. Hal
sama juga terjadi pada terbentuknya seroma yang mencegah perlengketan graft
pada dasar luka dibawahnya, yang dapat menghambat graft mendapatkan nutrisi
yang diperlukan. Pergeseran graft juga dapat menyebabkan kegagalan karena
terjadi kerusakan penempelan graft pada dasar luka (Bhagwat, 2001; Ramona,
2010).
Sumber lain yang dapat menyebabkan kegagalan graft adalah kondisi yang
jelek pada daerah resepien. Kondisi yang jelek vaskularisasinya, atau kontaminasi
luka selama dalam proses kehidupan graft. Bakteri dan respon terhadap bakteri
melalui respon seluler dan humoral dengan melepaskan enzim dan substansi lain
pada hubungan graft dengan dasar luka akan merusak perlengketan graft (Yefta et
al, 2008; Ramona, 2010).
Kesalahan teknik operasi juga dapat menyebabkan kegagalan graft.
Penempelan graft yang terbalik akan menghasilkan kehilangan graft. Pemakaian
tekanan yang berlebihan, ketegangan graft ynag terlalu kuat, atau penanganan graft
yang kurang baik dapat menyebabkan kegagalan graft (Yefta et al, 2008; Ramona,
2010).
9. Indikasi
Indikasi STSG adalah untuk menutup defek yang luas serta dapat digunakan
untuk penutupan sementara dari defek. STSG dikontraindikasikan pada luka kecil
diindikasikan penutupannya dengan flap atau full thickness skin graft (Ramona,
2010).

Take
Take dari skin graft maksudnya adalah telah terjadinya revascularisasi, dimana skin
graft memperoleh cukup vascularisasi untuk hidup sehingga STSG yang hidup
ditandai dengan terlihatnya warna dari STSG yang berwarna pink. Keberhasilan
skin graft dinilai dengan melihat prosentase take (Perdanakusuma D, 1998; Weber,
2011).
Semakin tipis graft semakin besar kemungkinan take karena pemberian nutrisi
dari vaskularisasi di daerah resepien lebih cepat. Daerah donor sendiri akan lebih
cepat sembuh (berepitelisasi) bila yang diambil adalah jenis STSG, sedangkan
daerah donor tidak akan berepitelisasi ataupun tumbuh rambut kembali karena
lapisan yang diambil tidak menyisakan struktur asesorim kulit (folikel rambut)
(Torrance, 1997; Istiqomah, 2010).
Jaringan Granulasi
Pada proses penyembuhan luka setelah fase inflamasi maka terjadi fase
proliferasi dimana terjadi proses epitelisasi dan fibroplasia serta formasi jaringan
granulasi. Jaringan granulasi merupakan jaringan fibrosa yang terbentuk dari
bekuan darah disini luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblast dan kolagen
membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol-
benjol halus (Perdanakusuma D, 1998; Weber, 2011).
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya berpindah
mengisi permukaan luka, tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk
pada proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah
atau datar, sebab epitel tidak dapat migrasi ke arah yang lebih tinggi
(Perdanakusuma D, 1998; Weber, 2011).

8. Propolis
Nektar dan serbuk sari, bahan utama yang dikumpulkan oleh lebah madu,
dirujuk oleh nama botani mereka. "Propolis" adalah istilah berorientasi lebah yang
tidak memiliki derivasi botani. Lebah dapat menggunakan bahan yang berbeda
untuk "pembuatan" propolis, dan bahan-bahan ini diproduksi di bagian tumbuhan
yang berbeda. Ini adalah zat aktif yang disekresikan oleh tanaman dan Zat-zat yang
keluar dari luka di tanaman: lipofilik bahan pada daun dan pucuk daun, lendir, gusi,
resin, latices, dll. Pada suhu tinggi, propolis lunak, lentur, dan sangat lengket;
Namun, ketika didinginkan dan terutama saat beku atau hampir beku, menjadi keras
dan rapuh. Propolis menjadi cair pada 60 hingga 70 ° C, tetapi untuk beberapa
sampel, titik lebur mungkin setinggi 100 ° C (Kumazawa et all, 2014). Warna
propolis bervariasi dari hijau ke coklat dan kemerahan, tergantung pada sumber
botanya. Komposisi propolis serta warnanya dan aroma berubah sesuai dengan zona
geografis. Umumnya, etanol adalah pelarut terbaik untuk propolis, dan pelarut
lainnya seperti etil eter, air, metanol, dan kloroform dapat digunakan untuk
ekstraksi dan identifikasi senyawa propolis. Pelarut lainnya seperti gliserin,
propilena glikol, dan solusi lain telah digunakan untuk persiapan propolis untuk
industri farmasi dan kosmetik (Ranzato et all, 2012).
Propolis yang diperoleh dari gatal-gatal, atau propolis kasar, mengandung
sekitar 50% balsam resin, 30% lilin, 10% penting dan minyak aromatik, serbuk sari
5%, dan 5% zat lainnya, termasuk serpihan kayu Lebih dari 300 senyawa berbeda
telah dikarakterisasi sejauh ini dalam propolis, termasuk asam alifatik, ester, asam
aromatik, asam lemak, karbohidrat, aldehida, amino asam, keton, chalcones,
dihydrochalcones, terpenoid, vitamin, dan zat anorganik (Szliszka, 2013).
Variasi musiman yang terjadi di dalam tempat yang sama telah dijelaskan.
Beberapa penulis juga melaporkan variasi antara sampel yang dikumpulkan dalam
daerah yang sama tetapi oleh subspesies Apis mellifera yang berbeda. Propolis yang
dikumpulkan dari banyak negara (seperti China, Korea, Kroasia, Selandia Baru, dan
Afrika) menunjukkan komposisi kimia yang mirip dengan poplar. Bahkan, poplar
pohon adalah pohon khas di Eropa dan digunakan untuk nama jenis umum propolis.
Karena itu, pendapat saat ini adalah bahwa lebah mengumpulkan propolis dari resin
poplar dan konifer. Propolis ini dicirikan oleh tingkat flavonon yang tinggi, flavon,
asam fenolik rendah, dan esternya. Namun, di beberapa daerah, pohon poplar
bukanlah tanaman asli, seperti di Australia dan Amerika Selatan dan lebah mencari
mengeluarkan tanaman lain untuk menghasilkan propolis, yang memiliki kesamaan
komposisi ke propolis poplar (Alves et all, 2013). Propolis dari daerah tropis,
seperti hijau Brasil dan propolis merah, masing-masing kaya dalam turunan
terprenilasi asam p-coumaric dan beberapa isoflavonoid yang berbeda dari yang
ditemukan di poplar propolis. Untuk propolis dari Brasil tenggara, Baccharis
dracunculifolia adalah sumber botani utama dan Artepillin C, sebagai komponen
yang paling aneh, membuatnya mudah untuk membedakan dari propolis jenis lain.
Juga telah dilaporkan bahwa propolis dari Venezuela, Amazon, dan Kuba
mengandung benzofenon terprenilasi, yang berasal dari eksudat bunga Clusia
(Kuropatnicki et all, 2013).
Ada kebutuhan yang kuat untuk membandingkan komposisi kimia propolis
dan tanaman untuk mengkonfirmasi asal botani yang tepat. Beberapa kontaminan
seperti pestisida, tembaga, besi, magnesium, dan bahkan timbal dapat dikumpulkan
oleh lebah dan ditambahkan ke propolis (Sawicka et all, 2012)

9. ROS (Reactive Oxygen Species )


Stres oksidatif adalah kondisi yang menggambarkan adanya ketidakseimbangan
antara prooksidan atau radikal bebas dan antioksidan yang berfungsi dalam
mempertahankan kondisi terhadap kerusakan jaringan yang terjadi. Jadi stres
oksidatif ini muncul apabila produksi ROS atau radikal bebas yang terjadi melebihi
antioksidan yang ada sebagai pertahanan intrinsik. Reactive Oxygen Species (ROS)
yang merupakan radikal yang sangat reaktif atau molekul yang diproduksi secara
intraseluler seperti mitokondria, retikulum endoplasma, peroksisom. ROS juga
dapat disebabkan oleh sumber yang berasal dari luar seperti bahan yang mengalami
ionisasi, vitamin, atau herbisida dan ROS ini dapat berinteraksi secara biomolekul
dengan hasil oksidasi protein berupa residu amino asil dan menyebabkan mutasi
pada DNA, serta bereaksi juga dengan peroksidasi lipid untuk memproduksi radikal
bebas yang lebih banyak lagi. Kelebihan produksi ROS dalam sel dapat melebihi
sistem detoksifikasi seluler yang ada sehingga menyebabkan stres oksidatif. ROS
sebenarnya tidak selalu merugikan karena dapat bertindak sebagai second
messenger dalam sinyal kaskade intraseluler, untuk mempertahankan homeostasis
sel dengan lingkungan terdekatnya termasuk proses penyembuhan luka (Chiu,
2012). Tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat menimbulkan kerusakan
mulai tingkat sel, jaringan hingga kerusakan organ tubuh (Schäfer, 2008; Ardhie,
2011; Burton, 2011).
Dalam biologi redoks, stres oksidatif didefinisikan sebagai peningkatan potensi
reduksi atau penurunan besar dalam pengurangan kapasitas pasangan redoks seluler
(Genestra, 2007). Satu kelompok yang terkenal molekul-molekul ini yang
bertanggung jawab untuk stres oksidatif adalah spesies oksigen reaktif (ROS).
Seperti namanya, ini adalah spesies oksigen radikal bebas yang ada di dalamnya
keadaan yang lebih reaktif daripada molekul oksigen..

Stress oksidatif dan penyembuhan luka yang terganggu


Dalam ulasan ini, peran ROS dalam penyembuhan luka dibahas bersama dengan
potensi manipulasi ROS sebagai terapi yang menjanjikan. Tujuan kami adalah
untuk fokus pada efek positif yang dapat diberikan ROS dalam proses
penyembuhan luka dan untuk membahas strategi yang relevan untuk peningkatan
proses berbasis ROS. Namun, penting untuk dicatat bahwa selain pengaruh positif
yang dapat dimiliki oleh kadar ROS yang rendah terhadap penyembuhan luka
(dibahas di bawah), produksi ROS yang berlebihan menyebabkan stres oksidatif
yang dapat memiliki efek merugikan pada penyembuhan luka. ROS yang
meningkat dan berkelanjutan telah terdeteksi in vivo dan telah dikaitkan dengan
gangguan perbaikan luka pada luka kronis yang tidak sembuh.
Pada tingkat molekuler, selain transkripsi yang dimediasi ROS yang dapat
menyebabkan sekresi sitokin pro-inflamasi yang berkelanjutan dan induksi matriks
metaloprotease, ROS dan RNS yang berlebihan dapat secara langsung dan tidak
langsung (melalui aktivasi proteolisis) memodifikasi dan / atau mendegradasi
protein ECM dan juga menyebabkan kerusakan fungsi fibroblast kulit dan
keratinosit. Faktanya, jelas bahwa keseimbangan yang tepat antara level ROS
rendah dan tinggi sangat penting dalam menentukan hasil fungsional: kadar ROS
rendah sangat penting dalam merangsang penyembuhan luka yang efektif,
sedangkan pelepasan ROS yang berlebihan menghasilkan kerusakan sel dan
kerusakan perbaikan luka. Salah satu pendekatan untuk memanipulasi ROS secara
tidak langsung, sebagai strategi penyembuhan luka, bisa dengan memanipulasi
sistem antioksidan.
Menariknya, N-asetil sistein (NAC), antioksidan yang mengandung thiol
yang berkarakter baik, menurunkan kadar ROS dan mendukung pembentukan NO
dan telah disarankan sebagai entitas yang sangat menjanjikan untuk peningkatan
penyembuhan luka (11,20). Dampak negatif dari tingkat ROS yang tinggi dan
berkelanjutan di penyembuhan luka dan pentingnya ROS dalam luka kronis serta
pencegahan tingkat ROS yang berlebihan dan pemanfaatan sistem antioksidan
sebagai strategi untuk meningkatkan penyembuhan luka yang terhenti, telah banyak
diulas dalam literatur. dan tidak dalam cakupan ulasan.

Peran ROS dalam penyembuhan luka


Oksigen memainkan peran penting dalam proses penyembuhan luka, seperti
pembunuhan bakteri oksidatif, sintesis kolagen, angiogenesis, dan epitelisasi;
karenanya proses penyembuhan luka terganggu jika hipoksia. Namun, peran akurat
oksigen dalam penyembuhan luka belum sepenuhnya dipahami. Sementara oksigen
digunakan untuk menghasilkan energi melalui fosforilasi oksidatif, ROS diproduksi
dan menyebabkan cedera oksidatif. Sel dalam organisme aerob secara konstan
menghasilkan ROS selama proses metabolisme normal, dan produksinya
meningkat pada kondisi patologis.
Sementara ROS mendukung berbagai proses fisiologis, mereka sering
memberikan kerusakan yang mengancam jiwa. Dalam proses penyembuhan luka,
peran fisiologis dan mekanisme molekuler dari reaksi yang melibatkan ROS telah
diselidiki untuk isu individu Secara khusus, peran patologis ROS dalam fase
inflamasi dipahami dengan baik. Dalam fase inflamasi, neutrofil dan makrofag tiba
di lesi luka mulai mengeluarkan sejumlah besar ROS bersama dengan sitokin pro-
inflamasi dan enzim proteolitik seperti matrix metalloproteinase (MMP) [9].
NADPH oksidase (NOX2) diekspresikan pada level tinggi dalam membran plasma
sel inflamasi dan diaktifkan selama fagositosis, yang menghasilkan produksi
sejumlah besar anion radikal superoksida.
ROS yang dihasilkan langsung menyerang patogen, dan akhirnya
membunuh mereka untuk membantu fagositosis. Namun, superoksida yang
diproduksi berlebihan merusak jaringan di sekitarnya. Superoksida diuraikan
menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan molekul oksigen oleh superoksida
dismutase (SOD) atau reaksi spontan. H2O2 didetoksifikasi oleh peroxidases
seperti katalase, glutathione peroxidase (GPX), dan peroxiredoxin (PRDX) untuk
menghindari reaksi Fenton yang terjadi karena adanya ion logam transisi seperti
besi atau tembaga dan menghasilkan radikal hidroksil, ROS yang paling berbahaya
(Gambar 1).
Dibandingkan dengan sel-sel imun, ROS diproduksi oleh sel-sel lain pada
tingkat yang jauh lebih rendah. Kadar ROS yang rendah memainkan peran
fisiologis, terutama sebagai pensinyalan seluler sebagai respons terhadap
rangsangan. Peran pensinyalan ROS dalam angiogenesis telah dipelajari dengan
baik. Tingkat H2O2 yang moderat meningkatkan produksi faktor pertumbuhan
endotel vaskular (VEGF), kunci dari faktor pertumbuhan angiogenik, dalam
keratinosit, dan menghasilkan percepatan angiogenesis. Baik Nox2 dan Nox4
memainkan peran penting dalam memodulasi proliferasi sel endotel vaskular,
tetapi mereka berfungsi secara berbeda dalam vasculogenesis melalui
pembentukan ROS. ROS juga terlibat dalam epitelisasi ulang. H2O2 memicu
aktivasi reseptor untuk faktor pertumbuhan epidermal (EGF) dan faktor
pertumbuhan keratinosit (KGF) dan menginduksi produksi TGFα (anggota EGF)
dalam fibroblas.
Dengan demikian, H2O2 dapat mendukung migrasi dan proliferasi sel-sel
epidermis (Gambar 1). Peran pensinyalan H2O2 sebenarnya sudah ditunjukkan
oleh studi in vivo. Produksi H2O2 pada margin luka sirip ekor diamati sebelum
perekrutan leukosit di ikan zebra/ zebrafish, yang mengekspresikan probe
fluorogenik selektif-H2O2. Jadi asal dari H2O2 dikaitkan dengan aktivitas dual
oksidase (Duox) dalam sel epitel. Dihilangkannya Duox1 mengurangi produksi
H2O2 di sekitar lokasi luka dan secara bersamaan merusak perekrutan leukosit ke
lokasi luka.
Gambar 1. Hubungan antara penyembuhan luka dan spesies oksigen reaktif (ROS),
dan menghasilkan reaksi yang dikatalisis oleh enzim antioksidan.

Namun, ROS yang berlebihan memiliki efek perlambatan pada


angiogenesis. Dalam beberapa enzim yang terlibat jalur pensinyalan, seperti
phosphotyrosine phosphatase, residu sulfhydryl yang bertindak sebagai pusat
katalitik, sangat sensitif terhadap modifikasi oksidatif, dan cenderung mendapatkan
inaktivasi oksidatif. Dengan demikian, jaringan pensinyalan ROS berlebih dengan
menciptakan homeostasis redoks yang tidak seimbang mengakibatkan gangguan
penyembuhan luka. Diabetes, penuaan, defisiensi imun, dan malnutrisi adalah
penyebab khas untuk penyembuhan luka yang tertunda. Di bawah kondisi patologis
ini, terjadi ketidakseimbangan redoks, dan peningkatan cedera oksidatif.
Pada fase inflamasi, sejumlah besar superoksida dihasilkan dari molekul
oksigen terutama oleh NADPH oksidase yang diekspresikan dalam sel imun.
Sebagian dari superoksida bereaksi dengan oksida nitrat di dekatnya, menghasilkan
peroksinitrit. Superoksida dan peroksinitrit menyerang bakteri yang menginvasi
dan membantu fagositosis. Superoksida diuraikan menjadi hidrogen peroksida
(H2O2) dan molekul oksigen oleh superoksida dismutase (SOD), sehingga
menghindari menghasilkan ROS yang sangat merusak, seperti peroxynitrite
(ONOO−) atau radikal hidroksil (・ OH). Kadar H2O2 yang rendah dapat berfungsi
sebagai molekul pensinyalan yang memodulasi berbagai jalur pensinyalan yang
mengatur pembekuan darah, trombosis, migrasi, proliferasi, fibrosis, angiogenesis,
dan seterusnya, dalam fase hemostasis, fase proliferatif, dan dalam fase maturasi
dan remodeling. H2O2 kemudian didetoksifikasi oleh serangkaian enzim seperti
katalase, glutathione peroxidase (GPX), dan peroxiredoxin (PRDX) untuk
menghindari menghasilkan radikal hidroksil berbahaya melalui reaksi Fenton.
Peran fisiologis dari NO dan CO dihilangkan dalam gambar ini.
Baik antioksidan non-enzimatik dan antioksidan enzimatik terlibat dalam
fine tuning ROS [24]. Senyawa dengan berat molekul rendah — mis., Glutathione,
bilirubin, ubiquinone, vitamin C (asam askorbat; AsA), vitamin E, karotenoid, dan
senyawa fenolik — berfungsi sebagai antioksidan non-enzimatik. Enzim
antioksidan termasuk SOD, GPX, PRDX, dan katalase. Selain itu, heme oksigenase
(HO) juga memberikan peran perlindungan tidak langsung terhadap ROS (Gambar
1). Dibandingkan dengan senyawa antioksidan kecil, enzim antioksidan memiliki
beberapa keuntungan. Sebagai contoh, efisiensi antioksidan makanan sangat
tergantung pada jumlah asupan dan tingkat konversi ke bentuk aktif melalui
konsumsi . Selanjutnya, antioksidan non-enzimatik bereaksi dengan ROS secara
stoikiometrik dan dikonversi menjadi bentuk tidak aktif setelah reaksi. Memang,
pada luka kulit pada tikus, kadar vitamin E, AsA, dan glutathione menurun secara
signifikan dibandingkan dengan kulit yang sehat. Di sisi lain, enzim antioksidan
yang banyak terdapat di kulit, terutama SOD, PRDX, GPX, dan katalase,
memainkan peran utama dalam detoksifikasi ROS di kulit selama proses
penyembuhan luka. Seperti dijelaskan di bawah ini, kami fokus pada enzim
antioksidan dan fungsinya dalam proses penyembuhan luka
Antioxidative Enzymes and Their Roles in Wound Healing
Enzim enzim Antioksidan dan peran mereka dalam penyembuhan luka
Superoxide Dismutases (SOD)
Anion superoksida adalah ROS primer yang dihasilkan dari oksigen molekuler
(Gambar 1). Jika nitric oxide (NO), yang diproduksi oleh nitric oxide synthase, ada
di dekatnya, anion superoksida bereaksi dengannya, menghasilkan generasi
peroxynitrite. Peroxynitrite digunakan untuk membunuh bakteri oksidatif untuk
melindungi luka tetapi juga merupakan agen pengoksidasi yang kuat dan beracun.
Untuk menghindari reaksi yang merusak, anion superoksida yang diproduksi
berlebihan dibuang ke H2O2 dengan cepat oleh SOD.

SOD memiliki tiga anggota keluarga; SOD1 terletak di ruang sitoplasma dan
intermembran mitokondria, SOD2 terletak di matriks mitokondria, dan SOD3
terletak di ruang ekstraseluler dan merupakan sistem pertahanan utama terhadap
stres oksidatif pada posisi subselular yang sesuai (Gambar 2).
Karena kulit terus menerus terpapar toksisitas oksigen, SOD telah menarik
banyak perhatian dari sudut pandang penyembuhan luka. SOD1 dan SOD2 mRNA
terdeteksi pada tingkat tinggi di lesi luka, sebagaimana dibuktikan oleh uji
perlindungan RNA dan hibridisasi in situ.
Sebaliknya, aktivitas SOD menurun selama penyembuhan luka pada tikus.
Kami juga menemukan bahwa kadar protein SOD1 menurun dalam proses
penyembuhan luka. Hasil ini konsisten dengan aktivitas SOD total yang berkurang
pada lesi luka. Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah aktivitas SOD
diperlukan untuk penyembuhan luka. Untuk menjawab pertanyaan itu, kami
membuat luka di kulit belakang tikus SOD1 dan melakukan analisis terhadap
mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu penyembuhan luka tertunda
pada tikus yang kekurangan SOD1 dibandingkan dengan tikus tipe liar pada usia
20 minggu. Namun, pada tikus yang lebih muda (5-6 minggu), tidak ada perbedaan
yang diamati dalam waktu penyembuhan antara tikus yang kekurangan SOD1 dan
tikus tipe liar. Waktu penyembuhan yang tertunda pada tikus yang kekurangan
SOD1 yang lebih lama menunjukkan bahwa potensi proses penyembuhan
terganggu dan menyamai percepatan penuaan kulit pada tikus yang kekurangan
SOD1. Konsisten dengan hasil pada tikus, hilangnya SOD1 menginduksi penuaan
pada fibroblast manusia. Untuk menekan fibrosis yang diperburuk, p16INK4a,
penghambat cyclin-dependent kinase (CDK), yang diinduksi dalam proses
penyembuhan luka . Sebaliknya, kami mengamati bahwa induksi p16INK4a lebih
rendah pada tikus yang kekurangan SOD1 daripada tikus tipe liar, yang mungkin
menyiratkan penyimpangan siklus sel pada lesi luka pada tikus yang kekurangan
SOD1.

Baru-baru ini, kami mengungkapkan bahwa SOD1 sangat penting untuk


mempertahankan fibroblast embrionik tikus (MEFs) dalam kondisi kultur. MEF
yang berasal dari tikus SOD1-knockout tidak dapat tumbuh di bawah kondisi kultur
normoksik (20% oksigen), dan akhirnya mati. Di bawah kondisi oksigen 2%, yang
dekat dengan kondisi oksigen perifer dalam tubuh, MEF yang kekurangan SOD1
tidak mati tetapi mengalami penahanan siklus sel, mungkin melalui aktivasi p53
dan induksi inhibitor CDK. Hasil-hasil ini bersama-sama dengan aktivitas β-
galaktosidase (SA-β-gal) terkait penuaan meningkat secara karakteristik mirip
dengan penuaan seluler. Produksi ROS yang berasal dari oksigen akan meningkat
pada kondisi kultur karena siklus sel teraktivasi, yang akan mempengaruhi MEF
yang kekurangan SOD1, lebih parah daripada MEF tipe liar. Meskipun pasokan
oksigen melalui neovaskularisasi sangat penting dalam penyembuhan luka, tikus
yang kekurangan SOD1 tidak dapat secara efektif mendetoksifikasi anion
superoksida yang dihasilkan selama metabolisme sel. Selain itu lesi luka terpapar
oksigen atmosfer, yang akan sangat mempengaruhi kondisi redoks seluler dan
mengganggu proses penyembuhan. Secara keseluruhan, penyembuhan luka yang
tertunda diamati pada tikus yang kekurangan SOD1 mungkin sebagian terkait
dengan siklus sel menyimpang dalam fibroblas dan sel kulit lainnya.

Gambar 2. Isoform dan lokalisasi dominan subselular dari enzim antioksidan.


Enzim antioksidan dan isoformnya merupakan sistem pertahanan seluler
terhadap stres oksidatif pada posisi subselular yang sesuai. Pada saat yang sama,
mereka memungkinkan konsentrasi rendah ROS untuk diseimbangkan, berfungsi
sebagai jalur pensinyalan untuk mengatur proses penyembuhan luka. Misalnya,
PRDX1 terlibat dalam jalur pensinyalan fosforilasi yang dimediasi faktor-faktor
pertumbuhan dan PRDX4 terlibat dalam pelipatan protein oksidatif (Lihat teks
untuk perincian).
Tikus yang kekurangan SOD1 menunjukkan kerusakan kulit wajah dengan
kelopak mata yang membengkak sebagai gejala awal setelah usia empat bulan.
Latar belakang genetik tampaknya memengaruhi timbulnya gejala. Degradasi
kolagen dan elastin terjadi pada kulit atrofi pada tikus yang kekurangan SOD1
walaupun peningkatan kadar ROS sulit diamati pada kulit. Hasil ini menyiratkan
bahwa SOD1 memainkan peran tidak hanya dalam perbaikan luka tetapi juga dalam
pembangunan kulit baru selama tahap perkembangan. Menariknya, atrofi kulit yang
diamati pada tikus yang kekurangan SOD1 sepenuhnya disembuhkan dengan
pemberian transdermal turunan AsA. Dalam penelitian lain, AsA ditemukan
menekan tingkat superoksida yang tinggi pada sel DT40 SOD1- atau SOD2 yang
habis, menunjukkan bahwa AsA berperan dalam detoksifikasi superoksida.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa SOD tampaknya bermanfaat dalam
meningkatkan laju penyembuhan luka. Khususnya, satu rejimen tunggal terapi gen
kulit untuk SOD2 dilaporkan untuk menyelamatkan penyembuhan yang tertunda
pada tikus diabetes tipe I yang diinduksi streptozotocin. Dalam model ini,
overekspresi SOD2 memang menyebabkan supresi tingkat superoksida.

10. Peroxiredoxins (PRDX)


PRDX adalah enzim yang mengkatalisis reduksi H2O2, spektrum luas
peroksida organik, dan peroksinitrit menggunakan thioredoxin sebagai donor
elektron yang lebih dianjurkan. Enam anggota keluarga protein PRDX
diekspresikan dalam mamalia dan menunjukkan lokalisasi diferensial dalam sel dan
jaringan, yang juga secara unik menetapkan fungsi individu untuk masing-masing
anggota. Karena penggunaan sistem pengujian yang salah dalam studi awal,
diasumsikan bahwa aktivitas peroksidase PRDX lebih rendah dari GPX dan
katalase. Sekarang, bagaimanapun, PRDX diakui sebagai enzim pengurang
peroksida dominan. PRDX berfungsi untuk mempertahankan H2O2 pada tingkat
sel yang sesuai dan melakukan fine-tuning/penyetelan dari sinyal ROS selama
stimulasi reseptor dengan aktivitas tyrosine kinase (RTK). PRDX1 terutama
terlokalisasi dalam sitosol dan nukleus. Kami, dan yang lainnya, melaporkan bahwa
kadar protein PRDX1 menurun selama fase awal proses penyembuhan luka
.Sementara itu residu tirosin dari PRDX1 difosforilasi, yang menyebabkan
inaktivasi sementara aktivitas peroksidase.
Akibatnya, akumulasi lokal H2O2 terjadi dan mempertahankan pensinyalan
fosforilasi dari tirosin kinase untuk reseptor faktor pertumbuhan melalui inaktivasi
oksidatif fosfatase fosfotyrosin (Gambar 2). Akibatnya pertumbuhan sel
berlangsung untuk waktu yang lama sebagai akibat dari peningkatan H2O2 selama
inaktivasi PRDX1. PRDX4 adalah unik di antara keluarga PRDX karena memiliki
peptida sinyal terminal N hidrofobik yang mengarah ke sekresi dari sel dan
lokalisasi dominan dalam retikulum endoplasma (ER) (Gambar 2). Kami
menunjukan tikus PRDX4-knockout dan menemukan atrofi testis pada tikus jantan.
Namun, karena kelainan fenotipik tikus yang kekurangan PRDX4 ini moderat,
fungsi fisiologis dan mekanisme molekuler yang terkait dengan PRDX4 kurang
dipahami. Zito et al. mengungkapkan bahwa PRDX4 terlibat dalam pematangan
prokolagen. PRDX4 berpartisipasi dalam lipatan protein oksidatif di ER bersamaan
dengan ER oksidoreduktin 1 (ERO1) dan protein keluarga protein disulfida
isomerase (PDI) (Gambar 2). Kekurangan ERO1 dan PRDX4 menyebabkan deplesi
AsA dan akibatnya mengarah pada pengembangan penyakit scurvy atipikal. Selain
itu, sedikit induksi mRNA PRDX4 yang terjadi pada hari ke 5 hingga hari ke 8 dari
penyembuhan luka menunjukkan bahwa PRDX4 terlibat dalam penyembuhan luka.
Akan menarik untuk mengamati apakah tikus yang kekurangan PRDX1 atau
PRDX4 menunjukkan fenotip abnormal seperti gangguan penyembuhan luka.
PRDX6, enzim monomerik, termasuk kelas PRDX 1-Cys atipikal yang
menunjukkan struktur yang lebih berbeda. Meskipun ekspresi mRNA PRDX6
diinduksi dalam cara KGF-dependen selama proses penyembuhan luka, kadar
protein berkurang sama dengan PRDX1 dan SOD1.
Meskipun ada pemisahan antara mRNA PRDX6 dan tingkat protein,
PRDX6 tampaknya terlibat dalam proses penyembuhan luka. Memang, pada tikus
transgenik tua yang mengekspres PRDX6 berlebih dalam keratinosit, penutupan
luka meningkat dibandingkan dengan tikus tipe liar tua. Meskipun hasilnya
menunjukkan bahwa PRDX6 mungkin memainkan peran penting dalam
penyembuhan luka, tidak ada efek yang diamati selama epitelisasi ulang kulit yang
terluka pada tikus yang kekurangan PRDX6. Ketidakabsahan kekurangan PRDX6
dalam penyembuhan luka dapat disebabkan oleh kompensasi oleh sistem
antioksidan lainnya. Sementara itu, pada tikus yang kekurangan PRDX6, jaringan
granulasi mengalami pendarahan hebat. Fenotip perdarahan ini tampaknya
disebabkan oleh augmentasi tingkat ROS dalam sel-sel inflamasi dan endotel
sebagai akibat dari kurangnya PRDX6.

11. Glutathione Peroxidase (GPX)


Kelompok protein GPX mengurangi H2O2 dan berbagai peroksida organik dengan
cara yang bergantung pada glutathione. Sampai saat ini, ada delapan produk gen
berbeda yang diketahui untuk keluarga GPX (GPX1–8) pada manusia. GPX1-4
adalah selenoprotein yang mengandung residu selenocysteine (SeCys) di pusat
katalitik, dan GPX6 juga merupakan selenoprotein yang diekspresikan hanya pada
manusia. Karena GPX membutuhkan glutathione sebagai donor elektron,
penurunan kadar glutathione dalam lesi luka diharapkan untuk menekan aktivitas
GPX in vivo. Meskipun mRNA GPX1 diregulasi dalam lesi luka, kami menemukan
bahwa kadar protein GPX1 menurun pada fase awal kulit yang terluka. Konsisten
dengan penurunan kadar protein, aktivitas GPX juga menurun pada luka pada tikus
normal. Hasil yang serupa telah dilaporkan dalam kasus tikus
immunocompromised. Sementara alkilasi atau oksidasi tergantung oksida SeCys
mengurangi aktivitas GPX, stres oksidatif yang kuat seperti kelebihan H2O2 dan
kekurangan SOD1 menyebabkan konversi SeCys menjadi dehydroalanine, yang
mengakibatkan inaktivasi dan degradasi yang tidak dapat diubah. Berbeda dengan
pengamatan ini, penelitian lain menunjukkan bahwa kadar protein GPX1
meningkat antara hari 3 dan 7 setelah cedera kulit.
Dengan demikian, informasi kami yang tersedia tentang kadar protein
GPX1 setelah cedera saling bertentangan, dan saat ini tidak jelas apa yang
menyebabkan perbedaan di antara laporan. Biosintesis SeCys menggunakan
selenium dan penggabungan translasi SeCys sangat penting untuk produksi
beberapa anggota keluarga GPX. Khususnya, ketersediaan selenium membatasi
kelimpahan protein GPX1. Hampir seperempat pasien trauma dengan gangguan
penyembuhan luka kulit menunjukkan status selenium serum yang tidak
mencukupi, menunjukkan kemungkinan keterlibatan GPX dalam patogenesis.
Suplemen selenium untuk makrofag in vitro dapat mengubah makrofag dari M1,
yang menghasilkan ROS, menjadi M2, yang mempromosikan proliferasi sel.
Kemampuan untuk beralih M1 ke M2 dalam makrofag hadir pada tikus yang
kekurangan GPX1. Dengan demikian, selenium juga dapat berfungsi secara
independen dari pembentukan protein GPX dan aktivitasnya. Meskipun mekanisme
yang mendasari dan bertanggung jawab untuk ini perlu klarifikasi lebih lanjut,
selenium dapat berlaku untuk tujuan terapeutik dalam pengobatan gangguan
penyembuhan luka.

12. Catalase
Katalase adalah enzim terkenal yang secara unik terlokalisasi dalam peroksisom
(Gambar 2) dan mengkatalisis pelepasan H2O2 ke molekul oksigen dan air.
Meskipun tingkat ekspresi mRNA katalase tidak berubah selama penyembuhan
luka, tingkat protein katalase menurun . Tanpa diduga, overekspresi yang dimediasi
adenovirus dari katalase merusak penyembuhan luka pada tikus. Kelompok yang
sama kemudian menyiratkan bahwa H2O2 terlibat dalam induksi ekspresi VEGF
dalam keratinosit. Temuan ini menunjukkan bahwa sejumlah H2O2 penting untuk
proses penyembuhan luka (Gambar 3). Bahkan, waktu penyembuhan tidak tertunda
dalam kasus akatalasia, yang merupakan gangguan peroksisom resesif autosom
yang dihasilkan dari cacat pada katalase. Jadi katalase tampaknya bukan merupakan
enzim antioksidan yang diperlukan dalam proses penyembuhan. Lokalisasi
subseluler katalase berbeda dari enzim pemulung H2O2 lainnya, yang dapat
menyebabkan respons yang berbeda dalam proses penyembuhan luka.
Gambar 3. Keseimbangan redoks dipertahankan oleh enzim antioksidan.
Karena ROS yang berlebihan bersifat sitotoksik, keseimbangan redoks
harus dikontrol secara ketat untuk mencapai penyembuhan luka yang normal. ROS
yang dihasilkan oleh beberapa oksidase dan respirasi mitokondria harus dikurangi
terutama oleh enzim antioksidan seperti SOD, PRDX, GPX, dan katalase. Level
ROS yang optimal berbeda dalam setiap proses penyembuhan luka. Oleh karena
itu, setiap enzim antioksidan perlu ditingkatkan atau ditekan, sesuai kebutuhan,
untuk mempertahankan tingkat ROS yang sesuai untuk setiap proses penyembuhan
luka.

13. Heme Oxygenases (HO)


HO mendegradasi heme menjadi biliverdin, besi, dan karbon monoksida dan
berfungsi secara sitoprotektif terhadap stres oksidatif. Biliverdin kemudian
direduksi menjadi bilirubin oleh biliverdin reductase. Meskipun bilirubin yang
berlebihan merupakan agen penyebab penyakit kuning, jumlah bilirubin yang tepat
berfungsi sebagai antioksidan kuat dalam darah (Gambar 1). HO memiliki tiga
isoform di mana HO-1 diinduksi sebagai respons terhadap stres oksidatif dan
hipoksia. HO-1 mRNA dan protein yang sesuai secara signifikan meningkat pada
luka, yang menunjukkan bahwa HO-1 memberikan efek perlindungan terhadap
ROS melalui menghasilkan bilirubin antioksidan yang kuat. Konsisten dengan ini,
tikus yang kekurangan HO-1 menunjukkan gangguan epitelisasi ulang dan
angiogenesis, menghasilkan penyembuhan luka yang tertunda. Ekspresi HO-1 yang
berlebihan dalam sel myoblast murine menurunkan regulasi gen lin-28 yang
mengkode protein pengikat RNA. Protein lin-28 berikatan dengan let7 pre-
microRNA dan mengatur waktu perkembangan embrio. Lin28a diekspresikan
dalam epidermis embrionik dan menghilang setelah lahir. Pada tikus transgenik
Lin-28a yang dapat diinduksi doksisiklin, Lin28a diekspresikan secara konstitutif
pada level rendah dan mendorong perbaikan jaringan pada jari dan telinga setelah
terluka. Dengan demikian, HO-1 juga memainkan peran penting dengan mengatur
ekspresi gen yang terlibat dalam pengembangan dermal dan remodeling jaringan.

14. Vascular Cellular Adhesion Molecule (VCAM-1)


VCAM-1 atau biasa disebut CD106 merupakan glikoprotein transmembran
dengan 110 kDa yang diekspresikan hanya pada sitokin yang diaktifkan
endothelium serta memfasilitasi adhesi leukosit. VCAM-1 merupakan ligan α4β1
(VLA-4) dan integrin α4β7. VLA-4 berikatan dengan VCAM-1 melalui satu dan
empat Ig-like domain (Singh et al., 2005).
Pada keadaan inflamasi, endothelium akan teraktivasi sebagai respon
proinflamasi seperti TNFα dan IL-1β yang menghasilkan induksi VCAM-1.
Upregulation dari ekspresi VCAM-1 sebagai respon TNFα dan IL-1 terlihat pada
sel endotel yang berasal dari bermacam-macam dasar pembuluh darah. Peningkatan
VCAM-1 yang diinduksi TNFα dan IL-1β menunjukkan keterkaitan dengan jalur
p38 MAPK dan ERK (Singh et al., 2005). Pada studi Lin et al. menunjukkan
upregulation dari VCAM-1 oleh TNFα dimediasi melalui transaktifasi c-Src/ EGF
receptor(EGFR) dimana dilemahkan oleh inhibitornya (PP1 dan AG1478) dan
transfeksius siRNAs. Selama inflamasi, pengerahan leukosit dikendalikan oleh
ROS. Konsentrasi ROS yang tinggi, mengaktifkan NF-κB (Cook-Mills et al.,
2011).Oleh karena NF-κB memiliki peranan penting dalam ekspresi beberapa gen
inflamasi dan kunci regulasi dari diferensiasi myofibroblas, aktivasi NF-κB penting
untuk ekspresi VCAM-1 yang diinduksi TNFα pada human tracheal smooth muscle
cells(HTSMCs) (Lin et al., 2015). Ekspresi JNK juga dapat meningkatkan ekspresi
VCAM-1 (Lin et al., 2007).

Caspase-3
Caspase merupakan famili dari endoprotease yang memiliki hubungan yang
penting dalam mengendalikan inflamsi dan kematian sel. Caspase memediasi
proses yang dapat menghasilkan inaktivasi substrat, dan juga dapat menghasilkan
aktifasi molekul yang berperan dalam apoptosis dan inflamasi. Caspase dapat
diklasifikasikan menjadi yang berperan dalam apoptosis (caspase-3, -6, -7, -8, dan-
9 pada mamalia) dan dalam inflamasi (caspase-1, -4, -5, -12 pada manusiadan
caspase-1, -11, dan -12 pada tikus). Caspase yang berperan dalam apoptosis
diklasifikasikan lagi berdasarkan mekanisme aksinya, berupa inisiator caspase
(caspase-8 dan -9) dan eksekutor caspase (caspase-3, -6, dan -7) (McIlwain et al.,
2013).
Pada kondisi hiperkalsemia terjadi pelepasan Ca2+dari endoplasmic
reticulum (ER) dan capacitative influx Ca2+melalui pelepasan Ca2+akan
mengaktifkan kanal Ca2+mengawali proses apoptogenik. Bcl-2 juga dipercayai
memeliki peranan dalam menghibisi kematian sel., sehingga jika terjadi penurunan
Bcl-2 maka akan terjadi peningkatan Ca2+yang lama kelamaan akan memenuhi
mitokondria. Pada akhirnya terjadi pelepasan caspase (Pinton et al., 2008).
Sedangkan pada hiperfosfatemia, terjadi penurunan Gas6-Axl, kemudian terjadi
penurunan PI3K yang dimediasi fosforilasi Akt, menyebabkan inkativasi Bcl-2, dan
terjadilah proses apoptosis yang diperantarai caspase (Son et al., 2007)

15. Efek Anti ROS dari Propolis


Tidak tersedianya keseimbangan antara produksi dan deaktivasi dari
Reactive Oxygen Species (ROS) menyebabkan banyak gangguan pada sel dan
jaringan. Radikal bebas yang terakumulasi dalam sel dan jaringan dapat
mengoksidasi protein sel, asam nukleat, dan lipid (Sawicka et all, 2012).
Propolis memiliki efek antioksidan dengan spektrum yang cukup luas.
Mekanisme aktivitas anti-oksidatif dari Propolis, seperti kemampuan untuk
menghambat pembentukan dari ROS, menginaktivasi berbagai senyawa dalam
pembentukan ROS, dan pembilasan ROS, sehingga mengganggu aliran reaksi yang
mengarah ke peroksidasi lipid dan meningkatkan sinergi dengan antioksidan jenis
lain. Menariknya, propolis juga menampilkan sifat anti-inflamasi baik dalam proses
peradangan akut dan kronis, dan ini terutama karena kandungan besar senyawa
polifenol (Sawicka et all, 2012).
Propolis juga mengandung senyawa aktif yang dikenal untuk menghambat
proliferasi sel atau memicu apoptosis. Di antara mereka, ada asam caffeic, ester
fenil caffeic, artepillin C, quercetin, resveratrol, galangin, dan genistein (Sehn et
all, 2009; Olczyk et all,2013). Genistein, quercetin, kaempferol, luteolin, chrysin,
dan apigenin mampu menghambat siklin, sehingga mampu menahan siklus sel
(Olczyk et all, 2013). Galangin, genistein, dan resveratrol menampilkan aktivitas
antiproliferatif sehubungan dengan reseptor estrogen kanker payudara (Toreti et all,
2013)
Beberapa tes in vivo telah menunjukkan bahwa beberapa propolis flavonoid
menghambat perkembangan kanker paru-paru dan kanker mulut, serta kulit,
esofagus, lambung, kolorektal, prostat, dan kanker payudara (Martinotti, 2013)
Matsui dkk mengamati untuk efek anti-hiperglikemik propolis Brasil
sehubungan dengan asam caffeoylquinic (CQA). Asam kafeoylquinic adalah
inhibitor kuat β-glukosidase dan α-amilase. Penulis lain (Chang et all, 2013)
menunjukkan bahwa, pada tikus dengan diabetes, pemberian ekstrak propolis
menyebabkan penurunan kadar glukosa dan efek perlindungan terhadap peroksidasi
lipid.
Banyak karya telah menunjukkan aksi anti-bakteri yang penting dari
propolis, di mana aktivitas yang jauh lebih besar ditentukan sehubungan dengan
bakteri Gram-positif daripada Gram-negatif (Olczyk et all, 2014). Efek antibakteri
ini mungkin karena aktivitas sinergis dari banyak senyawa hadir dalam propolis.
Pinocembrin menampilkan aktivitas antibakteri yang intens terhadap Streptococcus
sp. Apigenin paling kuat menghambat enzim glikosil-transferase bakteri. asam p-
Coumaric, sedangkan artepillin C dan 3-phenyl- 4-dihydrocinnamylocinnamic acid
efektif melawan Helicobacter pylori.
Setelah teori radikal bebas lahir, ROS dianggap oleh para ilmuwan sebagai
molekul yang merusak jaringan dan organ. Gagasan ini telah tertanam dalam
pikiran ahli fisiologi olahraga selama bertahun-tahun. Pada tahun 1969 ketika
McCord dan Fridovich menemukan enzim superoksida dismutase (SOD), yang
dapat meyakinkan para ilmuwan bahwa ROS itu penting untuk sistem biologi (Roy
et al, 2017). Propolis adalah salah satu produk lebah yang paling signifikan.
Propolis mengandung zat dengan aktivitas biotik tinggi yang sangat berharga dalam
merangsang proses rekonstruksi jaringan yang rusak. Aktivitas ekstrak propolis
terstandarisasi mengacu pada proses perbaikan dan regenerasi. Propolis
merangsang faktor pertumbuhan endotel pembuluh darah dan secara signifikan
mengintensifkan proliferasi sel yang dikonfirmasi oleh pertumbuhan histone H3.
Propolis adalah zat resin yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai spesies pohon
dan diperkaya dengan sekresi kelenjar tenggorok mereka. Ini terdiri dari sekitar 300
senyawa sinergis, dengan peran paling penting dimainkan oleh senyawa fenolik dan
sifat anti-oksidasi, anti rematik dan desinfektan; flavonoid dan sifat anti-inflamasi,
anti-mikroorganisme, dan anti-neoplastik; terpene dengan antibiotik dan sifat
merangsang kekebalan tubuh; dan zat lilin-lemak yang menurunkan fraksi LDL
kolesterol dalam darah. Elemen penting lain yang ada dalam propolis termasuk
kalsium, mangan, magnesium, seng, tembaga, silikon dan besi.
Propolis juga kaya akan pro-vitamin A ( -karoten), vitamin A (retinol),
vitamin B1, B2, B5, B6, C, E, D dan juga protein dan karbohidrat. Sejumlah
penelitian ilmiah telah membuktikan berbagai sifat biotik multidirectional dari
propolis dan juga produk lebah lainnya, seperti antibakteri, anti-mikotik, antivirus,
anti-protozoa, anti-oksidasi, anti-inflamasi, anti-inflamasi, anestesi, hipotensi, anti
agregasi , regeneratif, kolepoietik, anti-neoplastik dan modulasi imun. Beberapa
penulis menyebut propolis sebagai antibiotik abad ke-21 karena aktivitas
sinergisnya dengan antibiotik lain seperti oxytetracyclines, gentamisin, dan
bacitracin. Aktivitas antibakteri dari propolis dihasilkan dari fakta bahwa ia
mengandung flavonoid dan ester asam fenolik.
Propolis berhasil melawan Staphylococcus aureus yang resisten terhadap
metisilin, streptokokus, Moraxella catarrhalis dan beberapa jenis mikobakteri
tuberkulosis. Ini menetralkan perkembangan jamur Candida, Sporothrix dan
Paracoccidoides dan menekan multiplikasi virus influenza dan herpes yang
merupakan faktor etiologi virus paling sering di rongga mulut dan hidung, paru-
paru atau radang selaput otak serebrospinal, dan juga menghancurkan protozon
yang menyebabkan trikomoniasis, toksoplasmosis dan lambliasis. Madu dan
balsem ekstrak propolis terstandarisasi telah ditemukan paling efektif dalam
pengobatan luka bakar karena ketika digunakan bersama-sama, kedua zat ini
menunjukkan semua fungsi perawatan luka bakar yang diperlukan: antibakteri,
reparatif dan anestesi . Mereka tidak hanya mempercepat pembuatan granulasi
tetapi juga memfasilitasi pembentukan bekas luka. Madu terdiri dari air, gula, asam
organik, senyawa nitrogen, bio-elemen, flavonoid, karotenoid, minyak ethereal,
fosfolipid, vitamin, dan unsur mikro. Karbohidratnya terutama mengandung
monosakarida (glukosa, fruktosa, dan sedikit polisakarida: sukrosa dan maltosa)
sedangkan senyawa proteinnya adalah sebagian besar enzim, protein sederhana —
albumin dan globulin dan asam amino bebas yang berasal dari kelenjar bee fauces.
Mereka mengkondisikan aktivitas farmakologis.
Satu-satunya varietas madu yang digunakan dalam pengobatan luka bakar
adalah yang dihasilkan dari nektar tanaman entomophilous. Sifat farmakologis
madu yang paling terkenal adalah aktivitas antibakterinya yang dihasilkan dari
komposisi kimianya yang kaya, pH rendah, konsentrasi tinggi karbohidrat dan
pelepasan hidrogen peroksida — produk sampingan oksidasi glukosa di bawah
pengaruh glukosa oksidase - Enzim yang disintesis dalam kelenjar lebah. Senyawa
anti-mikroorganik lain dari madu termasuk lisozim, apidisin, terpene, flavonoid,
asam organik dan zat-zat dari nektar tanaman minyak dan melon dari pohon konifer
- eucalyptol, thymol, mentol, camphene dan lainnya.
Madu memiliki efek sinergis dengan mengintensifkan aktivitas antibakteri
antibiotik yang diketahui terhadap mikroorganisme multi-resisten. Ini
mengungkapkan aktivitas bakterisidal kuat yang lebih kuat terhadap bakteri G +,
itu menghasilkan efek pada Staphylococcus aureus, streptococci: Streptococcus
pyogenes dan Strep. Pneumonia, tetapi memiliki efek lebih lemah pada bakteri G
dari keluarga Enterobacteriacae: E.coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris,
Salmonella, Shigella atau batang non-fermentasi dari keluarga Pseudomonas.
Selain itu, madu adalah produk energetik yang berharga dengan sifat-
sifatnya seperti anti-oksidasi, detoksikasi, modulasi kekebalan tubuh, anti-alergi,
regenerasi dan penenang. Konsentrasi madu 1% merangsang monosit untuk
melepaskan sitokin IL-1 dan IL-6 dan TNF-α yang mengaktifkan respon
imunologis. Khasiat madu yang tercantum di atas memungkinkan aplikasi yang luas
di berbagai bidang kedokteran, misalnya, dalam kedokteran gigi, ginekologi,
urologi, dermatologi, penyakit dalam, dalam pengobatan luka yang sulit
disembuhkan, luka bakar, luka baring, trofik ulkus crural, ulserasi mukosa lambung,
radang saluran udara bagian atas, rongga mulut dan penyakit parodontium, dan
terutama dalam mengobati dry socket. Sementara literatur memang mencantumkan
kegiatan terapi dari ekstrak madu standar dan propolis, belum ada publikasi tentang
efek penggunaan simultan mereka sebagai campuran. Tampaknya persiapan seperti
itu harus mengkondisikan aktivitas sinergis dan, akibatnya, mempersingkat waktu
penyembuhan dan juga meningkatkan estetika dari bekas luka yang muncul.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah analisis histopatologis dan biokimiawi dari
proses pembentukan jaringan parut/skar pada luka bakar yang ditimbulkan secara
eksperimental pada babi putih, diobati dengan ekstrak madu standar dan balsem
propolis, Sepropol 1% dan 3%, dan perbandingannya dengan efek yang diperoleh
dengan cara terapi konvensional — dermazin. Selain itu, kadar kolagen, yang
berdampak pada percepatan proses penyembuhan dan kualitas bekas luka yang
muncul juga ditentukan dan dibandingkan.

Penuaan
Dengan populasi yang menua, lebih banyak penekanan harus diberikan
untuk menjelaskan gangguan terkait usia dalam penyembuhan luka. Penyembuhan
luka yang tertunda pada lansia menghadirkan masalah klinis dan ekonomi utama,
terutama karena sebagian besar luka kronis terjadi pada populasi ini. Meskipun
respon penyembuhan pada subjek berusia lebih lambat, penelitian pada hewan dan
manusia telah menunjukkan bahwa hasil akhir sebanding dalam kualitas dengan
subjek muda. Perubahan spesifik terkait usia dalam peradangan termasuk
perubahan dalam adhesi sel, migrasi, dan respon fungsiona. Penuaan dikaitkan
dengan masuknya neutrofil awal, yang secara signifikan mengurangi aktivitas
pembakaran respiratorik, berkurangnya kemampuan bakteri fagositosis,
berkurangnya ekspresi CD16, dan gangguan kemotaksis. Kelimpahan neutrofil
menghasilkan protease berlebih, khususnya elastase, yang juga mendegradasi
protein struktural dan fungsional yang penting seperti proteoglikan, kolagen, dan
fibronektin — yang mengarah ke penurunan tingkat fibronektin lokal yang khas
pada luka terkait usia. Bukti menunjukkan bahwa sementara adhesi makrofag ke
substrat meningkat dengan bertambahnya usia, ada penundaan infiltrasi dengan
rasio yang berubah dari populasi dewasa ke populasi yang belum matang, yang
dapat menjelaskan pengurangan keseluruhan dalam kapasitas fagositik. Lebih
lanjut, aktivasi dan proliferasi limfosit dikompromikan pada orang yang lebih tua.
Perubahan-perubahan ini semua terjadi pada latar belakang inflamasi yang
mendasari sebagai bagian dari proses penuaan, dengan upregulasi sitokin inflamasi
termasuk faktor nuklir (NF) -kB, IL-1β, IL-6 dan TNF-α.
Hipoksia
Banyak luka kronis terjadi dengan latar belakang hipoksia jaringan lokal
akibat vaskulopati seperti aterosklerosis dan hipertensi vena, atau fibrosis sekitar
luka yang mengurangi perfusi. Hipoksia jaringan lokal dikenal sangat mengganggu
penyembuhan luka. Melalui berbagai mekanisme molekuler, hipoksia
menyebabkan gangguan membran sel, mempromosikan kaskade inflamasi.
Ekstravasasi berikutnya dari neutrofil dan makrofag dibantu oleh ekspresi yang
jelas dari molekul adhesi endotel dalam jaringan hipoksia; neutrofil dan makrofag
yang direkrut kemudian mensintesis sitokin proinflamasi seperti IL-1α, IL-1β, IL-
6 dan TNF-α dengan cara autokrin. Seperti yang disebutkan sebelumnya, ini
mengganggu keseimbangan antara protease dan penghambatnya, melanggengkan
peradangan. Keseimbangan antara ROS dan antioksidan juga terganggu. Berbagai
antioksidan seperti oksida nitrat (NO) diproduksi dalam cara yang bergantung pada
oksigen, dan dengan demikian menurunkan keadaan hipoksia. NO lebih jauh
terlibat dalam mematikan NF-κB, aktivator transkripsi penting dari peradangan.
Produksi ROS yang tidak diperiksa tidak hanya menyebabkan kerusakan oksidatif,
tetapi juga menstimulasi jalur transduksi sinyal yang mengarah pada peningkatan
ekspresi protease serin, MMP, dan sitokin inflamasi. Hasil dari hipoksia adalah
potensiasi dari kondisi peradangan, yang menghambat penyembuhan. Hipoksia
juga memengaruhi aktivitas metabolik lain selain peradangan — epitelisasi
terganggu, seperti proliferasi fibroblast dan sintesis kolagennya.

Cedera iskemia-reperfusi
Cedera iskemia-reperfusi telah terlibat dalam patofisiologi myocardia
linfarction, syok hemoragik, stroke, dan transplantasi organ. Hal ini juga
dipostulatkan sebagai peristiwa pencetus untuk ketiga tipe luka kronis yang
disebutkan di atas. Pasien vasculopathic dengan sirkulasi suboptimal mengalami
interval siklik iskemia pada tungkai bawah selama penggunaan tungkai, diikuti oleh
reperfusi selama peningkatan tungkai. Iskemia dengan hipoksia jaringan
selanjutnya menginduksi keadaan proinflamasi, seperti yang dinyatakan di atas.
Selama reperfusi, kelebihan leukosit termasuk neutrofil bermigrasi ke jaringan
luka; di sana, mereka menghasilkan sitokin inflamasi dan ROS, diperparah oleh
ROS dari reoksigenasi jaringan parsial. NO juga di downregulasi, yang semakin
menonjolkan peradangan. Siklus reperfusi iskemia ini berulang, efek buruknya
sering timbul, dan akhirnya cukup untuk menyebabkan nekrosis dan ulserasi
jaringan.

Kolonisasi bakteri
Faktor patogen ketiga pada luka kronis adalah kolonisasi bakteri obligat.
Patogen luka umum seperti Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan
streptococci β-haemolytic secara spesifik menyebabkan penyembuhan yang
tertunda. Selain kerusakan langsung pada inang, bakteri menarik leukosit dengan
hasil amplifikasi sitokin inflamasi, protease, dan ROS yang dihasilkan - dengan
demikian memulai dan mempertahankan kaskade inflamasi. Inang dan bakteri yang
menurunkan protease dan ROS mendegradasi ECM dan faktor pertumbuhan,
mengganggu migrasi sel dan menghambat penutupan luka. Bakteri yang berkoloni
pada luka kronis sering membentuk bio-film polimikroba, berbeda dengan insiden
minimal dalam luka akut. Sel-sel mikroba tertanam dalam matriks polimer yang
disekresikan, yang menyediakan lingkungan yang optimal bagi bakteri untuk
menghindari respon imun inang dan aksi antibiotik. Meskipun hubungan biofilm
dengan luka kronis telah dikonfirmasi, kausalitas tetap menjadi topik yang
berkembang. Sinergi mikroba dengan suatu film bio memberikan keuntungan
kompetitif bagi organisme yang hidup bersama, tetapi sedikit yang diketahui
tentang bagaimana sinergi ini dapat meningkatkan patogenisitas bersih pada luka
kronis . Memang, bahkan telah disarankan bahwa bio film yang ditanamkan secara
tepat memerintahkan pemimpin respon inflamasi inang, melindunginya untuk
mendapatkan sumber nutrisi yang berkelanjutan dalam bentuk eksudat inflamasi.
Hipoksia di dalam luka juga berkontribusi terhadap kolonisasi bakteri. Sejumlah
penelitian menunjukkan korelasi terbalik antara infeksi dan oksigenasi luka,
kemungkinan karena aktivitas yang bergantung pada oksigen dari enzim
antimikroba seperti myeloperoxidase dalam neutrofil. Oleh karena itu, periode
iskemia pada luka kronis menghambat mekanisme bakterisida inang. Beberapa
studi telah menunjukkan bahwa bioburden yang melebihi 105 bakteri per gram
jaringan luka memiliki efek buruk pada penyembuhan pada berbagai luka akut dan
kronis, serta cangkok kulit.

16. Pengobatan terkini


Luka kronis bersifat kompleks dan meradang. Stimulasi pro-inflamasi
seperti jaringan nekrotik, beban bakteri yang berat, dan kerusakan jaringan
menyebabkan jumlah eksudat yang berlebihan, yang mengganggu penyembuhan
normal dan mengganggu produk terapi yang canggih. Di sini, di lingkungan luka
lokal, perubahan seluler dan biokimia berfungsi sebagai target utama manajemen
luka kronis, terlepas dari penyebab yang mendasari. Pada tahun 2002, Dewan
Penasihat Persiapan Luka Internasional mengembangkan pendekatan sistematis
dan terstruktur untuk manajemen tersebut . Hambatan untuk penyembuhan
diidentifikasi menurut akronim TIME untuk persiapan luka yang memadai —
jaringan, non-viabel, infeksi, peradangan kelembaban, dan margin epidermis atau
tepi epidermis yang tidak maju atau dirusak. Setelah diketahui, kondisi yang
menyinggung dapat dihilangkan melalui debridemen dari beban nekrotik,
manajemen eksudat dengan pembalut, dan penyelesaian ketidakseimbangan bakteri
dengan antibiotik topikal dan sistemik. Ini dan prinsip manajemen luka dasar
lainnya seperti oksigenasi jaringan dan nutrisi yang memadai tetap merupakan
komponen penting untuk membantu respons penyembuhan yang tepat. Jelas,
penilaian komprehensif untuk mengatasi etiologi yang mendasarinya juga
diperlukan.
Tujuan utamanya adalah penghentian peradangan dengan menghilangkan
penyebab yang terus-menerus, dan penyediaan lingkungan yang optimal untuk
pembentukan granulasi yang sehat, dengan tujuan untuk mengubah karakteristik
peradangan luka kronis menjadi karakteristik peradangan luka akut. Namun,
kompleksitas dan heterogenitas luka telah menghambat upaya farmakologis baru
sebagai tambahan untuk persiapan dasar luka untuk memodifikasi karakteristik
luka. Oleh karena itu, perban dan peralatan tetap menjadi andalan perawatan luka,
meskipun banyak kekurangan bukti klinis. Minat awal dalam peran terapeutik dari
faktor pertumbuhan eksogen dan sitokin telah berkurang setelah kinerja yang loyo
dalam uji klinis. Namun demikian, ada potensi besar di bidang ini karena kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknik menjadi lebih canggih. Kerotinosit, sel endotel,
fibroblast dan sel imun residen disintesis, dan distimulasi oleh, sitokin, dan faktor
pertumbuhan. Upaya rumit dan terkoordinasi dari sel-sel kulit dalam kaskade
penyembuhan kulit diatur oleh jaringan pensinyalan yang sama rumitnya.
Ketika sel-sel mengalami perubahan pada luka, demikian juga profil faktor
sitokin / pertumbuhan mereka. Dengan demikian, memodifikasi level mereka dalam
luka kronis untuk mennyamakan mereka ke dalam luka akut dapat memadamkan
peradangan dan memicu proliferasi. Banyak penelitian eksperimental dan klinis
telah mengungkapkan variasi, tetapi sebagian besar efek menguntungkan dari
sitokin eksogen dan faktor pertumbuhan. Karena perannya yang beragam,
biomolekul yang terlibat sering memengaruhi banyak jalur dan fase penyembuhan,
lebih dari sekadar mengurangi peradangan. Pada tahun 1997, PDGF, atau
becaplermin, menjadi yang pertama dan satu-satunya Badan Pengawas Obat dan
Makanan AS (FDA) menyetujui faktor pertumbuhan yang akan digunakan dalam
penyembuhan luka dengan nama dagang Regranex, khususnya untukulkus kaki
diabetik. PGDF adalah chemotactic untuk neutrofil dan makrofag, dan karenanya
memainkan peran penting dalam respon inflamasi. Secara klinis, bagaimanapun,
becaplermin hanya menunjukkan perbaikan sederhana dalam penyembuhan ulkus
diabetes dan tekanan, tetapi itu dan faktor pertumbuhan lainnya telah digunakan
off-label dalam berbagai luka akut dan kronis untuk beberapa tingkat keberhasilan.
Baru-baru ini, agonis reseptor angiotensin yang disebut aclerastide - juga untuk
pengobatan ulkus kaki diabetik - maju ke uji klinis fase III, di mana, sayangnya,
penelitian ini dihentikan setelah melakukan penentuan kemanfaatan. Faktor-faktor
pertumbuhan lain, seperti bFGF dan VEGF, telah menunjukkan hasil klinis yang
sama meskipun menjanjikan penelitian in vitro dan hewan.

Prospek Masa Depan


Meskipun jelas, kebutuhan klinis yang belum terpenuhi untuk terapi target
baru, kerumitan luka kronis dan penyebab multifaktorial mereka telah mempercepat
kenyataan saat ini yang relatif mandul dalam obat penyembuhan luka daripada yang
diperkirakan. Kurangnya dana, keterbatasan model hewan praklinis, dan sifat yang
melekat sulit dari penutupan lengkap luka kronis sebagai satu-satunya hasil utama
dalam uji klinis semua berkontribusi pada kemajuan penelitian yang lambat.
Mungkin tidak mungkin bahwa target terapi tunggal akan sangat efisien;
tantangannya mungkin terletak pada terapi kombinasi dan kendaraan pengiriman
yang tepat untuk menghindari masalah waktu paruh pendek dalam lingkungan
mikro peradangan yang kaya akan protease. Kelas lain dari zat biokimia dicirikan
oleh fungsi pleiotropiknya. Tidak seperti sitokin dan faktor pertumbuhan yang
mengaktifkan atau menonaktifkan berbagai proses, biomolekul tersebut memiliki
beragam efek yang memodulasi jalur masing-masing. Alih-alih menyesuaikan
tingkat hanya satu jenis sel, sitokin atau faktor pertumbuhan dalam sistem yang
sangat kompleks dalam berinteraksi proses seluler, humoral dan molekuler,
mungkin modulasi inilah yang memberikan jawaban untuk meningkatkan
penyembuhan luka. Contoh penting adalah protein aktif- C (APC), yang pertama
kali ditemukan untuk aktivitasnya yang lebih terkenal dalam antikoagulan tetapi
sejak itu menunjukkan efek antiinflamasi dan sitoprotektif pleiotropik yang poten .
Sejumlah uji klinis praklinis dan uji coba telah menunjukkan hasil yang sangat
menjanjikan untuk mendukung penggunaan APC pada luka kronis. Namun,
berdasarkan pertanyaan yang diajukan tentang potensi efek samping perdarahan
APC, telah ada perkembangan yang mendorong dalam rekayasa APC yang
meminimalkan efek sampingnya, dan peptida yang meniru tindakan positif mereka
.
Superoksida merupakan komponen utama dari ROS dan superoksida ini
dengan cepat diubah menjadi H2O2 dan diinduksi oleh Superoxide dismutase
(SOD). H2O2ini selanjutnya didetoksifikasi oleh enzim katalase menjadi H2O dan
O2, adanya Fe2+ atau Cu2+ dapat mereduksi H2O2 menjadi OH- dan OH•yang
merupakan radikal hidroksil yang sangat reaktif. O2-, H2O2 dan OH• inilah yang
merupakan komponen stres oksidatif (Soreja et all, 2005). Selama proses
penyembuhan luka sel inflamasi seperti neutrofil, makrofag, sel-sel endotel dan
fibroblast menghasilkan superoksida, aktifasi neutrophil dan makrofag ini
menghasilkan sejumlah besar superoksida dan turunannya melalui fagocytic
isoform NADPH oksidase. Trombin, PDGF dan TissueNecrosis Factor α (TNF-α)
akan merangsang pelepasan superoksida dari sel endotel sedangkan interleukin 1
(IL-1), TNF-α dan Platelet Activation Factor (PAF) merangsang pelepasan
superoksida dari fibroblast. Sel endotel juga dapat menghasilkan O2-, H2O2 dan
OH• dalam konsentrasi tinggi pada kondisi iskemik yang umumnya terjadi pada
luka (Soreja et all, 2005). ROS bisa dilepaskan dari Nicotinamide Adenine
Dinucleotide Phosphate oxidase (NAD(P)H), xanthine oxidase, lipoxygenase,
mitokondria,atau uncoupling synthase Nitric Oxide synthase (eNOS) sel-sel
vascular (Madamanchi et all, 2005).
ROS yang dihasilkan pada stres oksidatif memainkan peranan yang
sangat penting dalam proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan
cara menginduksi tissue factor (TF)-mRNA. TF yang dikeluarkan akibat adanya
kerusakan jaringan akan menginisiasi jalur koagulasi ekstrinsik dan
pembentukan selanjutnya akan berasal dari trombin. ROS yang dikeluarkan
trombin akan menginduksi TF-mRNA dan meningkatkan ketergantungan
aktivitas permukaan prokoagulasi TF dalam mempotensiasi siklus trombogenik
(pembekuan) pembuluh darah yang rusak. ROS juga terlibat dalam peningkatan
platelet dan kolagen. Aktifasi dan agregasi platelet tersebut merupakan hal
penting dalam proses pembentukan bekuan darah yang dapat merangsang
terjadinya pelepasan berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin dalam memulai
proses penyembuhan luka. Platelet yang diaktifkan selanjutnya mempotensiasi
pembentukan bekuan dengan cara pelepasan ROS dan RNS sehingga
meningkatkan ekspresi TF (Soreja et all, 2005).

Efek Anti ROS dari Propolis


Tidak tersedianya keseimbangan antara produksi dan deaktivasi dari
Reactive Oxygen Species (ROS) menyebabkan banyak gangguan pada sel dan
jaringan. Radikal bebas yang terakumulasi dalam sel dan jaringan dapat
mengoksidasi protein sel, asam nukleat, dan lipid (Sawicka et all, 2012).
Propolis memiliki efek antioksidan dengan spektrum yang cukup luas.
Mekanisme aktivitas anti-oksidatif dari Propolis, seperti kemampuan untuk
menghambat pembentukan dari ROS, menginaktivasi berbagai senyawa dalam
pembentukan ROS, dan pembilasan ROS, sehingga mengganggu aliran reaksi yang
mengarah ke peroksidasi lipid dan meningkatkan sinergi dengan antioksidan jenis
lain. Propolis juga menampilkan sifat anti-inflamasi baik dalam proses peradangan
akut dan kronis, dan ini terutama karena kandungan besar senyawa polifenol
(Sawicka et all, 2012).
Propolis juga mengandung senyawa aktif yang dikenal untuk menghambat
proliferasi sel atau memicu apoptosis. Di antara mereka, ada asam caffeic, ester
fenil caffeic, artepillin C, quercetin, resveratrol, galangin, dan genistein (Sehn et
all, 2009; Olczyk et all,2013). Genistein, quercetin, kaempferol, luteolin, chrysin,
dan apigenin mampu menghambat siklin, sehingga mampu menahan siklus sel
(Olczyk et all, 2013). Galangin, genistein, dan resveratrol menampilkan aktivitas
antiproliferatif sehubungan dengan reseptor estrogen kanker payudara (Toreti et all,
2013)
Beberapa tes in vivo telah menunjukkan bahwa beberapa propolis flavonoid
menghambat perkembangan kanker paru-paru dan kanker mulut, serta kulit,
esofagus, lambung, kolorektal, prostat, dan kanker payudara (Martinotti, 2013)
Matsui dkk mengamati untuk efek anti-hiperglikemik propolis Brasil
sehubungan dengan asam caffeoylquinic (CQA). Asam kafeoylquinic adalah
inhibitor kuat β-glukosidase dan α-amilase. Penulis lain (Chang et all, 2013)
menunjukkan bahwa, pada tikus dengan diabetes, pemberian ekstrak propolis
menyebabkan penurunan kadar glukosa dan efek perlindungan terhadap peroksidasi
lipid.
Banyak karya telah menunjukkan aksi anti-bakteri yang penting dari
propolis, di mana aktivitas yang jauh lebih besar ditentukan sehubungan dengan
bakteri Gram-positif daripada Gram-negatif (Olczyk et all, 2014). Efek antibakteri
ini mungkin karena aktivitas sinergis dari banyak senyawa hadir dalam propolis.
Pinocembrin menampilkan aktivitas antibakteri yang intens terhadap Streptococcus
sp. Apigenin paling kuat menghambat enzim glikosil-transferase bakteri. asam p-
Coumaric, sedangkan artepillin C dan 3-phenyl- 4-dihydrocinnamylocinnamic acid
efektif melawan Helicobacter pylori.
Setelah teori radikal bebas lahir, ROS dianggap oleh para ilmuwan sebagai molekul
yang merusak jaringan dan organ. Gagasan ini telah tertanam dalam pikiran ahli
fisiologi olahraga selama bertahun-tahun. Pada tahun 1969 ketika McCord dan
Fridovich menemukan enzim superoksida dismutase (SOD), yang dapat
meyakinkan para ilmuwan bahwa ROS itu penting untuk sistem biologi (Roy et al,
2017).
Superoksida merupakan komponen utama dari ROS dan superoksida ini
dengan cepat diubah menjadi H2O2 dan diinduksi oleh Superoxide dismutase
(SOD). H2O2 ini selanjutnya didetoksifikasi oleh enzim katalase menjadi H2O dan
O2, adanya Fe2+ atau Cu2+ dapat mereduksi H2O2 menjadi OH- dan OH•yang
merupakan radikal hidroksil yang sangat reaktif. O2-, H2O2 dan OH• inilah yang
merupakan komponen stres oksidatif (Soreja et all, 2005). Selama proses
penyembuhan luka sel inflamasi seperti neutrofil, makrofag, sel-sel endotel dan
fibroblast menghasilkan superoksida, aktifasi neutrophil dan makrofag ini
menghasilkan sejumlah besar superoksida dan turunannya melalui fagocytic
isoform NADPH oksidase. Trombin, PDGF dan Tissue Necrosis Factor α (TNF-α)
akan merangsang pelepasan superoksida dari sel endotel sedangkan interleukin 1
(IL-1), TNF-α dan Platelet Activation Factor (PAF) merangsang pelepasan
superoksida dari fibroblast. Sel endotel juga dapat menghasilkan O2-, H2O2 dan
OH• dalam konsentrasi tinggi pada kondisi iskemik yang umumnya terjadi pada
luka (Soreja et all, 2005). ROS bisa dilepaskan dari Nicotinamide Adenine
Dinucleotide Phosphate oxidase (NAD(P)H), xanthine oxidase, lipoxygenase,
mitokondria, atau uncoupling synthase Nitric Oxide synthase (eNOS) sel-sel
vascular (Madamanchi et all, 2005).
ROS yang dihasilkan pada stres oksidatif memainkan peranan yang
sangat penting dalam proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan
cara menginduksi tissue factor (TF)-mRNA. TF (Transforming factors) yang
dikeluarkan akibat adanya kerusakan jaringan akan menginisiasi jalur koagulasi
ekstrinsik dan pembentukan selanjutnya akan berasal dari trombin. ROS yang
dikeluarkan trombin akan menginduksi TF-mRNA dan meningkatkan
ketergantungan aktivitas permukaan prokoagulasi TF dalam mempotensiasi
siklus trombogenik (pembekuan) pembuluh darah yang rusak. ROS juga terlibat
dalam peningkatan platelet dan kolagen. Aktifasi dan agregasi platelet tersebut
merupakan hal penting dalam proses pembentukan bekuan darah yang dapat
merangsang terjadinya pelepasan berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin
dalam memulai proses penyembuhan luka. Platelet yang diaktifkan selanjutnya
mempotensiasi pembentukan bekuan dengan cara pelepasan ROS dan RNS
sehingga meningkatkan ekspresi TF (Soreja et all, 2005).

Koenzim Q10
Koenzim Q10 (CoQ 10) atau ubiquinone adalah sebuah vitamin atau dalam
beberapa literature disebut sebagai substansi yang serupa dengan vitamin. Terlepas
dari berbagai perdebatan dalam nomenklatur, vitamin didefinisikan sebagai materi
organik yang esensial dalam fungsi normal tubuh dan berperan sebagai koenzim
atau prekursor koenzim (Langsjoen, 2008). CoQ 10 adalah benzokuinon yang
secara kimiawi mirip dengan vitamin larut dalam lemak yang tersusun atas bubuk
kristalin dalam bentuk murninya (Casagrande et al., 2018).

Gambar 1.
Struktur kimia CoQ
10 (Casagrande et al., 2018).
CoQ 10 memiliki bentuk tereduksi (ubiquinol, CoQ10H2) dan bentuk teroksidasi
(ubiquinone, CoQ10). CoQ 10 adalah molekul yang bersifat lipofilik dan
menggunakan transport yang termediasi lipoprotein untuk sirkulasinya. Hal ini
menyebabkan level CoQ 10 dalam plasma berkaitan langsung dengan jumlah total
LDL dalam plasma (DiNicolantonio et al., 2015). Walaupun CoQ 10 diklasifikan
sebagai molekul lipofilik, derajat solubilitasnya dalam lemak sangat rendah dan
hampir sama sekali tidak larut dalam cairan. Karena berat jenis molekulnya yang
tinggi dan solubilitas dalam cairannya yang rendah, CoQ 10 dalam bentuk
murninya sulit diabsorbsi dalam saluran pencernaan (Fir et al., 2009).
Pada individu yang sehat, jumlah CoQ 10 yang normal dipertahankan melalui dua
cara, yaitu melalui makanan dan sintesis endogen (Casagrande et al., 2018). CoQ
10 disintesis secara endogen di dalam tubuh dengan siklus mevalonat,
menggunakan asetil-KoA sebagai substrat awal. Pathway biosintesis pembentukan
CoQ 10 melibatkan banyak enzim, kofaktor, vitamin, dan mineral. Kompleksitas
ini menunjukkan bahwa defek sekecil apapun pada enzim, kofaktor, maupun
nutrien yang masuk ke dalam tubuh dapat mengganggu pembentukannya. CoQ 10
dalam jumlah besar dapat ditemukan pada sel yang membutuhkan energi tinggi
seperti sel jantung, liver, otak, dan ginjal (Bank et al., 2010).
CoQ 10 adalah komponen esensial dalam produksi energi seluler dalam bentuk
adenosin trifosfat (ATP). CoQ 10 bertindak sebagai transporter electron dalam
kaskade produksi ATP di mitokondria (Fir et al., 2009). CoQ 10 memfasilitasi
pembentukan ATP dengan berperan dalam reaksi redoks di dalam rantai transport
elektron. CoQ 10 menerima elektron dari komplek I dan komplek II dan melakukan
transpor elektron ke komplek III (Sharma et al., 2016).
Selain fungsinya sebagai komponen rantai transpor elektron, CoQ 10 adalah
antioksidan yang poten (Sharma et al., 2016). CoQ 10 adalah salah satu antioksidan
seluler yang penting dalam tubuh manusia (Hryniewicka et al., 2016). CoQ 10 telah
terbukti mampu meningkatkan stabilisasi membrane sel in vitro dan memberikan
efek antioksidan karena peranannya sebagai scavenger radikal bebas (Singh et al.,
1998). CoQ 10 memberikan efek antioksidan dengan mencegah modifikasi
oksidatif dari LDL dan membantu regenerasi α-tokoferol dari tokoferoksil radikal
(Zeb et al., 2012).
Dalam bentuk ubiquinol, CoQ 10 mampu menjadi antioksidan yang poten dan dapat
dicerna lemak diluar membran mitokondria. Tidak hanya mampu mendaurulang
dan meregenerasi antioksidan lain seperti vitamin E dan vitamin C, CoQ 10 dapat
mempengaruhi inisiasi dan propagasi ROS (Rodick et al., 2018). CoQ 10 telah
terbukti mampu menghambat peroksidasi lipid membrane sel dan mengurangi
oksidasi lipolipid yang bersirkulasi. Derajat pengurangan oksidasi lipolipid yang
dilakukan CoQ 10 juga lebih besar dibandingkan dengan antioksidan lain seperti β-
karoten dan α-tokoferol (Sharma et al., 2016). CoQ 10 juga bertindak sebagai
stabilisator tidak langsung dari kanal kalsium untuk mengurangi overload kalsium
(Bonakdar dan Guarneri, 2005). Fungsi vital lainnya yaitu menghubungkan
produksi energi dengan pathway seluler penting lainnya seperti siklus sel dan
replikasi dan repair DNA melalui peranannya dalam biosintesis pirimidin,
modulasi apoptosis melalui regulasi pori transisi, dan menjaga temperature tubuh
melalui kerjanya pada protein uncoupling (Rahman et al., 2012).
Berbagai macam penyakit telah dihubungkan dengan rendahnya jumlah CoQ 10.
Peranan yang luas dalam tingkat seluler memberikan implikasi bahwa CoQ 10
potensial untuk menjadi pengobatan penyakit yang dapat membaik dengan
peningkatan fungsi mitokondria dan antioksidan (Bonakdar dan Guarneri, 2005).
Menurut National Center for Complementary and Integrative Health (2018),
suplementasi CoQ 10 bisa bermanfaat untuk pasien dengan penyakit-penyakit
kardiovaskuler. CoQ 10 adalah komponen utama pada pembentukan ATP dan ada
dalam jumlah yang banyak di miokardium, dibandingkan pada sel lainnya
(DiNicolantonio et al., 2015). Deplesi CoQ 10 miokardium telah menjadi salah satu
teori yang diajukan untuk mekanisme dan progresi gagal jantung kongestif
(congestive heart failure, CHF). Jumlah CoQ 10 yang rendah tampak pada pasien
dengan gejala gagal jantung yang advanced dan dengan fraksi ejeksi rendah
(Sharma et al., 2016).
Selain penyakit kardiovaskuler, CoQ 10 telah diteliti sebagai pengobatan potensial
untuk berbagai penyakit lainnya. CoQ 10 adalah antioksidan yang lipofilik dan
memiliki banyak fungsi protektif. Hal ini membuat substansi tersebut mampu
meningkatkan kondisi pada penyakit arthritis, karena kemampuannya untuk
menstabilisasi membran, proteksi DNA melawan kerusakan akibat radikal bebas,
dan memicu regenerasi antioksidan penting lainnya. Beberapa studi menunjukkan
bahwa terapi anti-rematik, yang meningkatkan jumlah CoQ 10, mampu
memperlambat progresi rheumatoid arthritis (RA) (Bauerova et al., 2010).
Hiperglikemia diabetik dan penyakit metabolik adalah beberapa faktor utama yang
bertanggung jawab dalam inaktivitas sistem antioksidan dan reduksi fungsi
mitokondria. Konsentrasi CoQ 10 dapat berkurang pada pasien diabetes
(Casagrande et al., 2018, Rodick et al., 2018). Beberapa studi klinis telah
menunjukkan peningkatan profil glikemik setelah suplementasi ubiquinone
(Rodick et al., 2018). Studi yang dilakukan Oda et al. (2018) menunjukkan bahwa
CoQ 10 dapat memberikan proteksi parsial terhadap toksisitas hepatorenal dan
reproduktif yang diinduksi oleh oxytetrasiklin pada tikus jantan.
Beberapa studi lainnya menunjukkan efek neuroprotektif dari CoQ 10. Choi et al.
(2013) dalam Momiyama (2014) melaporkan bahwa CoQ 10 memproteksi neuron
melawan neurotoksisitas yang diinduksi oleh amyloid beta pada korteks tikus
dengan cara menghambat stress oksidatif. Temuan ini menunjukkan bahwa CoQ 10
memiliki peran protektif sebagai antioksidan endogen melawan penyakit
neurodegeneratif. Pada studinya, Momiyama (2014) juga menyebutkan bahwa
jumlah CoQ 10 yang lebih rendah diasosiasikan dengan resiko demensia yang lebih
tinggi.

Propolis
Propolis adalah campuran dari lilin dan resin yang dikumpulkan lebah
(Trigona sp.) dari bunga, daun, dan berbagai eksudat. Lebah menggunakan propolis
tidak hanya sebagai bahan bangunan untuk sarangnya, tetapi juga sebagai alat untuk
mempertahankan konsentrasi bakteri dan jamur yang rendah di dalam sarangnya
(Popova et al., 2005, dalam Pujirahayu et al., 2015). Penggunaan propolis sebagai
obat tradisional terutama sebagai imunomodulator, anti-inflamasi, antioksidan,
antibakteri, antivirus, antifungal, antiparasit, dan antikanker (Kamajaya, 2014).
Propolis memiliki lebih dari 300 kandungan berbeda termasuk flavonoid,
fenol, aldehid lipofilik, keton, dan zat lainnya seperti polen, lilin, vitamin, dan
mineral (Susilo et al., 2009). Propolis terdiri atas campuran bahan kompleks yaitu
lilin, resin, minyak, balsam dan sedikit polen. Komposisi fitokimia propolis
dipengaruhi oleh spesies lebah dan vegetasi sumber resin, yang mungkin berbeda
antar propinsi di Indonesia tergantung jenis flora dan iklim di daerah tersebut (Fikri,
2017).
Keragaman kandungan senyawa aktif propolis Indonesia telah dikonfirmasi
oleh penelitian yang dilakukan oleh Kalsum et al. (2016). Peneliti menemukan
adanya keragaman senyawa aktif antar propolis Trigona spp. yang berasal dari tiga
provinsi di Indonesia. Propolis yang berasal dari Sulawesi Selatan memiliki empat
belas kandungan senyawa aktif, sedangkan dari Kalimantan Selatan sebanyak
delapan senyawa dan dari Banten hanya delapan senyawa.
Produksi propolis juga tergantung pada jenis lebah penghasil. Menurut Caron
(1998) Trigona sp. yang tidak memiliki sengat untuk pertahanan akan
menghasilkan lebih banyak propolis dibandingkan lebah yang memiliki sengat.
Menurut Surendra et al. (2012) kandungan flavonoid dari propolis yang
dihasilkan Trigona sp. lebih tinggi dibandingkan lebah Apis mellifera. Menurut
Hasan et al. (2014) propolis Trigona sp. yang memiliki aktivitas antioksidan paling
tinggi berasal dari Pandeglang sedangkan untuk total flavonoid paling tinggi berasal
dari Kendal.
Propolis mengandung zat aromatik dan berbagai mineral. Komponen kimia
yang terkandung dalam propolis memiliki pengaruh efek biologis dan aktifitas
farmakologis yang berbeda (Watanabe et al., 2011). Propolis mengandung
antioksidan sangat tinggi yaitu 9674 μg/ml atau 403 kali lebih banyak dibandingkan
dengan jeruk (Lirizka, 2016).
Salah satu kandungan senyawa kimia yang terpenting pada propolis adalah
senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu senyawa alami yang tersebar
luas pada tumbuhan yang disintesis dalam jumlah sedikit (0,5-1,5%) dan dapat
ditemukan hampir pada semua bagian tumbuhan (Julianingrum, 2019). Propolis
sudah lama dikenal sebagai sumber antioksidan (Pascual et al. 1994). Menurut
Kwon et al. (2014), kandungan flavonoid dan fenolik di dalam propolis berperan
besar dalam aktivitas antioksidannya. Efek antioksidan ditunjukan dari kandungan
yang terdapat dalam flavonoid yaitu adanya caffeic acid phenetyl ester (CAPE)
yang merupakan antioksidan tingkat tinggi.
Derivat caffeoylquinic acid memiliki sifat imunomodulator dan
hepatoprotective. Caffeic acid phenethyl ester (CAPE) juga bersifat sitotoksik
terhadap sel tumor (Susilo et al., 2009). Hasil penelitian oleh Radiati et al. (2008)
menggunakan ekstrak propolis Indonesia menunjukkan bahwa ekstrak propolis
dapat meningkatkan jumlah sel darah putih sehingga berpengaruh terhadap sistem
kekebalan seluler tikus putih.
Nakajima et al. (2009) membuktikan bahwa kandungan caffeic acid yang ada
didalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi. Caffeic acid yang
terdapat dalam propolis mampu meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate
dehydrogenase (G6PD) yang didapat dari ekspresi gen antioksidan, lebih kuat
dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai aktivitas antioksidan 4-6 kali
lebih kuat terhadap oksidan dan H2O2 dan radikal bebas O2, dibandingkan vitamin
C dan N-acetyl-cystein (NAC).

20. Tumor Necrosis Factor (TNF)


TNF-ditemukan oleh William Coley tahun 1900. TNF terdiri dari dua jenis
yaitu TNF- dan TNF-, dihasilkan terutama oleh aktifasi makrofag, meskipun
antigen yang distimulasi sel T, sel NK, neutrophil, dan mast sel juga mensekresi
TNF. Fibroblast dan sel intrinsic ginjal seperti sel mesengial, glomerular dan sel
epithelial tubular juga memproduksi TNF. TNF- kurang berperan dalam proses
peradangan. TNF- merupakan sitokin yang sangat berperan dalam peradangan,
apoptosis, dan sepsis.TNF- dikendalikan oleh gen kromosom monosit nomor 6
yang terdapat pada kompleks gen MHC atau HLA. TNF- pada awalnya
diekspresikan sebagai26 kDa protein transmembran tipe II kemudian terlepas ke
sirkulasi sebagai 17 kDa bentuk terlarut, merupakan tanda awal respons terhadap
endotoxin, ekspresi meningkat cepat dalam waktu 90 menit (Vielhauer dan
Mayadas, 2007; Guntur, 2001; Baratawidjaja dan Iris, 2009).

1. Interlekuin-1 (IL-1)
Interlekuin 1 dibagi menjadi dua yaitu IL-I dan IL-1, keduanya mempunyai
mekanisme kerja yang serupa tetapi hanya struktur kimia yang berbeda. Interlekuin
yang diketahui sudah lebih dari 33 jenis.IL-1 diekspresikan oleh berbagai sel imun
khususnya makrofag dan mengaktivasi Limfosit T untuk mengekspresikan bahan-
bahan yang penting sebagai imuno regulator. IL-1 merupakan mediator inflamasi
fase akut yang kuat, menaikkan sintesis protein fase akut antara lain : komplemen
(C3, C4), C-reactive protein(CRP), amiloid, dan fibrinogen. CRP dihasilkan oleh
aktivasi sel endotelial, demam, disebabkan mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang
(leukositosis) dan oleh aktivasi semua kelas leukosit dan sel ginjal.(Guntur, 2001;
Baratawidjaja dan Iris, 2009).

2. IL-6 (Interleukin -6)


IL-6 merupakan sebuah mediator dengan efek pleiotropik pada inflamasi,
respon imun dan hematopoiesis. IL-6 pada manusia terdiri dari 212 asam amino,
termasuk didalamnya signal peptida 28 asam amino, dan gennya telah dipetakan
pada kromosom 7p21. Meskipun memiliki ukuran inti protein kurang lebih 20 kDa,
tercatat jika mengalami glikosilasi, ukurannya menjadi 21-26 kDa (Tanaka et al.,
2014).
IL-6 memiliki peranan sebagai mediator pertanda atas kejadian yang tiba-tiba
muncul di dalam tubuh. Seperti pada infeksi, IL-6 muncul dan memberikan pesan
tanda bahanya kepada seluruh tubuh. Jika dalam tubuh terdapat patogen eksogen
kemudian dikenali oleh pathogen-recognition receptors (PRRs) sel imun seperti
monosit dan makrofag, kemudian menstimulasi signaling pathway termasik
didalamnya Nf-B, dan mendorong transkripsi mRNA dari sitokin-sitokin
proinflamasi seperti IL-6, TNF-, dan IL-1. TNF- dan IL-1 juga mengaktifkan
faktor-faktor transkripsi untuk memproduksi IL-6. (Jones et al., 2014).

3. Nuclear Factor Kappa B(Nf-B)


Nf-B pertama kali diketahui pada tahun 1986 sebagai nuklear protein sel B
yang berikatan dengan untaian gen immunoglobulin κ. Nf-B diberbagai tempat
mengekspresikan faktor transkripsi yang memperantarai ekspresi berbagai gen
yang mempengaruhi proses biologis yang berbeda, terdiri dari proses imun,
inflamasi, pertumbuhan sel dan proses bertahan hidup. Nf-B pada mamalia terdiri
dari RelA (atau p65), RelB, c-Rel, p50 (atau NF-κB1), dan p52 (atau NF-κB2).
Anggota Nf-B berinteraksi dengan berbagai homo- dan hetero-dimers dan
berikatan dengan untaian B yang berada pada regio promoter atau enhancer gen
target(Hayden dan Ghosh, 2012). Homodimer p50 dan p52 merupakan reseptor
transkripsi yang memiliki peran penting untuk pada proses inflamasi (Zhang dan
Sun, 2015).
Inflamasi merupakan respon proteksi tubuh atas enfeksi dan kerusakan jaringan,
yang ditandai dengan vasodilatasi dan pengarahan leukosit, protein plasma dan
cairan pada jaringanyang terkena. Proses perkembangan inflamasi secara umum
diinisiasi melalui deteksi pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) atau
damage-associated molecular patterns (DAMPs) melalui pattern-recognition
receptors (PRRs) pada sel imun bawaan dan sel epitelial. PRRs menginisiasi
komunikasi intrasel untuk menginduksi sitokin proinflamasi, kemokin dan
mediator inflamasi lainnya. PRRs juga mengaktivkan jalur Nf-Byang memediasi
induksi transkripsi dari berbagai sitokin proinflamasi (Brubaker et al., 2015). Dalam
keadaan inaktif Nf-B terikat oleh Inhibitor of Kappa B (IB). Bila terjadi stimuli
akan mengaktifkan IBkinase(IKK) memfosforilasi IB sehingga ikatan Nf-B
dengan IB terlepas dan Nf-B menjadi aktif.Aktivasi Nf-B menimbulkan
ekspresi sitokin dari sel imun maupun endotel. Sitokin yang dieskpresikan antara
lain: TNF-, IL-1β, IL-6, IL-8, ICAM, Matrix Metalo Proteinase(MMP) (Gameson
dan Reeves, 2007; Baratawidjaja dan Iris, 2009). p38 mitogen-activated protein
kinase(MAPK)
Sebagai respon atas perubahan pada lingkungan baik secara fisik maupun
kimiawi tubuh mengaktifkan 4 subfamili mitogen-activated protein kinases
(MAPKs) yaitu, ERK1/2, ERK5, JNK dan p38. Terdapat 4 p38 MAPK pada
mamalia, yaitu α, β, γ and δ. Dari semua jenis p38, sejauh ini p38α yang
terkarakteristik dan terkspresi dengan baik pada hampir seluruh tipe sel. Han dan
kawan-kawan pada tahun 1994 pertama kali mengidentifikasi p38α MAPK sebagai
polipeptida dengan 38 kDa yang melewati tyrosine phosphorylation sebagai respon
dari endotoksin dan shok hiperosmolar.Beberapa tahun setelahnya, mulai
teridentifikasi p38β, p38γ, dan p38δ (Cuenda, 2007).
Pada kondisi inflamasi, terbentuk sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-1 pada
endotoksin yang distimulasi oleh monosit. Hasil dari aktivasi sitokin tersebut,
terjadi pengaktivan dan serangkaian phosforilasi yang meningkat, menghasilkan
pengaktifan p38 MAPK. Aktifasi p38 MAPK juga dikaitkan dengan produksi dan
sekresi TGF-β1 dan protein matrix ekstraseluler (Cuenda, 2007).
Caspase-3
Caspase merupakan famili dari endoprotease yang memiliki hubungan yang
penting dalam mengendalikan inflamsi dan kematian sel. Caspase memediasi
proses yang dapat menghasilkan inaktivasi substrat, dan juga dapat menghasilkan
aktifasi molekul yang berperan dalam apoptosis dan inflamasi. Caspase dapat
diklasifikasikan menjadi yang berperan dalam apoptosis (caspase-3, -6, -7, -8, dan-
9 pada mamalia) dan dalam inflamasi (caspase-1, -4, -5, -12 pada manusiadan
caspase-1, -11, dan -12 pada tikus). Caspase yang berperan dalam apoptosis
diklasifikasikan lagi berdasarkan mekanisme aksinya, berupa inisiator caspase
(caspase-8 dan -9) dan eksekutor caspase (caspase-3, -6, dan -7) (McIlwain et al.,
2013).
Pada kondisi hiperkalsemia terjadi pelepasan Ca2+dari endoplasmic reticulum
(ER) dan capacitative influx Ca2+melalui pelepasan Ca2+akan mengaktifkan kanal
Ca2+mengawali proses apoptogenik. Bcl-2 juga dipercayai memeliki peranan dalam
menghibisi kematian sel., sehingga jika terjadi penurunan Bcl-2 maka akan terjadi
peningkatan Ca2+yang lama kelamaan akan memenuhi mitokondria. Pada akhirnya
terjadi pelepasan caspase (Pinton et al., 2008). Sedangkan pada hiperfosfatemia,
terjadi penurunan Gas6-Axl, kemudian terjadi penurunan PI3K yang dimediasi
fosforilasi Akt, menyebabkan inkativasi Bcl-2, dan terjadilah proses apoptosis yang
diperantarai caspase (Son et al., 2007).

Malondyaldehide (MDA)
Struktur biologi sebagian besar berasal dari degradasi golongan asam-asam
lemak.(indikator dari hasil akhirlipidperoxidase). Kadar plasma dan jaringan MDA
telah digunakan untuk mengukur pengaruh propolis sebagai anti ROS (lipid
peroksidase) yang signifikan oleh Kanbur et al ( antioxidant effect of
propolisagainst exposure to propetamphos in rats, Kanbur M,Eraslan G, Silici
S;Ecotoxicology and Environmental Safety 72 (2009)909-915.

B. Kerangka Konseptual
KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Luka Kronik

Mast Cell
mediator inflamasi’PMN

Sitokin (TNF- & IL-1) ROS


Tripase Makrofag,
netrofil
Diferensiasi  penumpukan
fibroblastmiofibroblas agen inflamasi

jaringan granulasi proliferasi fibrobastik, akumulasi factor


kolagen kemotaktik

inflamasi

Monosit Makrofag pro-


inflamator
Phospolipase
A2
Mast
ROS NF-/
Cell
IL-1 COX-2
TNF-
IL-17 NOS
ECM

IL-1
TNF-
Propolis (+) Propolis (-)

ROSInhibisi ROS
NF- Aktivasi NF-

ECM ECM

Skin graft

Take skin Take skin


graft graft
C. Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan antara penurunan aktivitas NF-kβ akibat pemberian anti
oksidan (propolis ) dengan peningkatan prosentase take skin graft pada luka
jaringan granulasi.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental post-test only control group
designdengan tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) sebagai hewan coba karena
pengukuran pada hewan uji dilakukan pada waktu tertentu setelah pemberian
perlakuan (Taufiqurohman,2004). Dipilihnya jenis penelitian ini karena dapat
menghasilkan data dengan validitas yang tinggi dan perlakuan dapat diatur oleh
peneliti (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Perlakuan pada tikus putih jantan(Rattus Norvegicus) dan pemeriksaan sampel
dilakukan di pemeliharaan hewan coba PAU UGM Yogyakarta, sedangkan
pengamatan imunohistokimia dilakukan di Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta oleh ahli di bidang tersebut.

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian


1. Populasi Penelitian
Subjek penelitian adalah tikus putih jantan (Rattus Norvegicus)umur 3 - 4 bulan,
berat badan 150–300 gram, diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gajah Mada. Makanan tikus putih jantan (Rattus Norvegicus)digunakan pakan
tikus standar BR I.
Pemilihan hewan coba berdasarkan pertimbangan bahwa tikus putih jantan (Rattus
Norvegicus) paling sering dipakai pada penelitian biomedik, karena secara genetik
mempunyai kemiripan dengan manusia, dan mempunyai kemampuan beradaptasi
dalam lingkungan laboratorium (Carson et al., 2005).
Penelitian eksperimental ini dilakukan pada populasi (N) tidak diketahui.
2. Besar Sampel
Rumus yang dipakai untuk menentukan besar sampel (n) adalah:
(𝑍½𝛼+𝑍𝛽)  2
n=[ ] (Steel dan Torrie, 1980)

Karena 2 sulit ditaksir dari literatur, studi yang sama sebelumnya atau studi
pendahuluan oleh peneliti, maka diasumsikan 2 2, sehingga hasilnya n=(Z½
+ Z)2
n = (1,645 + 0,842)2 = 6,185 dibulatkan menjadi 7
Keterangan:
n = besar sampel masing-masing kelompok
Z½ = nilai standar normal, yang besarnya tergantung 
Bila  = 0,05  Z½ = 1,645
Z = nilainya tergantung  yang ditentukan (berdasarkan tabel)
 = error untuk menerima H0, bila H0 salah
Bila  = 0,08  Z = 0,842
 = selisih antara rerata variabel terapi dan kontrol yangdiharapkanolehpeneliti
 = standar deviasi

Berdasar rumus tersebut didapatkan jumlah sampel minimal adalah 7 (tujuh) di


tambah 10% sebagai cadangan. Dalam penelitian ini digunakan 8 (delapan ) ekor
tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) untuk setiap kelompok observasinya,
sehingga telah memenuhi batas minimal sampel.
Sampel penelitian diambil dari 40 ekor tikus putih jantan(Rattus Norvegicus)
berumur 3-4 bulan dengan berat badan 150-300 gram. Makanan tikus digunakan
pakan tikus standar BR I dengan jumlah pakan disesuaikan rata-rata berat badannya
sedangkan minum diberikan secara bebas (ad libitum). Alokasi hewan coba
kedalam masing-masing perlakuan yang homogen dilakukan secara random untuk
mempertahankan validitas internal (Kuntoro, 1994).Setiap anggota sampel
mempunyai kesempatan yang sama sebagai sampel kontrol maupun terapi.

D. Kriteria Restriksi
- Kriteria inklusi :
a) Tikus putih jantan(Rattus Norvegicus)sehat yaitu tikus putih jantan dengan
kondisi mata bersinar, bulu tidak kusam, aktif dan nafsu makan baik (Kusumawati,
2004).
b) Umur 3 – 4 bulan.
c) Berat badan 150 – 300 gram.
- Kriteria eksklusi :
a) Tikus putih jantan(Rattus Norvegicus)mati saat penelitian.

E. Alokasi Subjek
Hewan coba model luka kronik (jarinagn granulasi), digunakan metode eksisi kulit
(fullthickness/ epidermis, dermis dan sub cutan/panniculus carnosus) didaerah
punggung dengan ukuran 1 x 1 cm menggunakan scalpel no 10 seperti prosedur
mengambil donor skingraft jenis Full Thickness Skingraft). Luka dirawat secara
moist dengan tulle, kassa lembab dan kassa kering setiap 3 hari untuk mencegah
timbulnya infeksi dan menumbukan jaringan granulasi dan luak dirawat dengan
tulle dan honey bees ( madu Nusantara®) sebagai kontrol. Model ini berguna untuk
menciptakan luka kronik memeriksa mekanisme inflamasi jarungan granulasi –
Extra Cellular Matrix. Model ini dapat di induksi baik mencit atau tikus dan tidak
tergantung strain tertentu. Model ini dalam waktu 2 minggu dapat menimbulkan
inflamasi pada fase proliferasi (jaringan granulasi) sehingga dapat diteliti faktor-
faktor inflamasi. .

F. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian


1. Variabel Penelitian
- Variabel Bebas : Pemberian ekstrak etanol propolis gunung Lawu dan rangsangan
tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) dilakukan dengan cara ligasi ureter sinistra,
sehingga akan terjadi ischemic reperfution injury yang akan memicu stres oksidatif
serta inflamasi di ginjal dan akan terjadi penyakit ginjal kronik. Variabel tersebut
meliputi:
a) Luka kronik (jaringan granulasi)
b) Luka kronik (jaringan granulasi )dengan Propolis50 mg. kgBB-1.
c) Luka kronik (jaringan granulasi ) dengan Coenzyme Q10
d) Luka kronik (jaringan granulasi ) dikombinasi dengan Propolis50 mg.
-1
kgBB dan Coenzyme Q10
- Variabel tergantung: Variabel yang akan diteliti, yaitu perubahan respon imun yang
terjadi di jaringan kulit dari tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) yang dirangsang
perlukaan (eksisi kulit ) sehinnga menjadi luka kronik yangdilakukan skingraft
dengan pemeberian antinoksidan baik sendiri maupun kombinasi. Variabel tersebut
meliputi:
a) VCAM-1
b) Caspace-3
c) Kolagen
d) Il-1, IL-6, TNF-α , NF-Kβ
e) Histopatologi jaringan granulasi yang dilakkan skingraft (invasi sel
inflamasi, invasi vascular bud , invasi sel-sel donor skingraft)
f) Evaluasi dengan foto

- Variabel kendali:
a) Hewan coba : jenis tikus, umur dan jenis kelamin, homogen.
b) Pemeliharaan dan bahan makanan, minuman, sanitasi kandang, kelembaban
dikondisikan sama.
c) Sonde : teknik sonde pada tikus.
d) Pengambilan jaringan kulit: teknik pengambilan jaringan, fiksasi dan
pemotongan jaringan kulit untuk preparat.
e) Pewarnaan preparat: teknik pewarnaan dan pembacaan histologi dan
patologi.

2. Definisi Operasional
a) Pemberian propolis
Propolis lebah pada penelitian ini diperoleh dari peternak lebah di daerah
Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Proses
pembuatan ekstrak propolis lebah dilakukan dengan teknik maserasi. Propolis
kering dibersihkan dan diblender hingga halus selanjutnya ditimbang sebanyak 500
gram, kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker. Proses maserasi dilakukan
dengan menambahkan 3,75 liter etanol 70% sebagai pelarut (Trusheva et al., 2007).
Campuran bahan disimpan selama tujuh hari pada ruangan yang tidak terkena sinar
matahari dengan dikocok kuat atau pengadukan dengan spatula pengaduk sebanyak
dua kali tiap hari (Susilo et al., 2006).
Tahap selanjutnya dilakukan penyaringan dengan corong buchner dan kertas
saring untuk memisahkan filtrat dari ampas ke dalam labu Erlenmeyer sehingga
diperoleh filtrat. Hasil filtrasi (penyaringan) yang didapat dievaporasi dengan rotary
evaporator pada suhu 45oC dengan tekanan vakum (<1 atm) selama kurang lebih 4
jam sehingga diperoleh ekstrak propolis yang konsentrasinya kental (± 100 g).
Selanjutnya ekstrak propolis diuapkan selama 24 jam di dalam gelas beaker
sehingga kandungan etanolnya menguap (Fu et al., 2005). Dosis propolis yang
digunakan adalah dosis 50 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB yang diberikan secara
peroral setiap hari.
b) Coenzyme Q10
Pada penelitian ini Coenzyme Q10 yang digunakan adalah sediaan farmasi yaitu
UBI-Q (Eisai) dosis…
c) Caspase-3
Adalah suatu protease sistein yang mempunyai peran penting pada apoptosis,
pembelahan protein target menuju kematian sel. Merupakan caspase inflamasi
sebagai protease kunci yang terlibat dalam penghancuran sel selama apoptosis
(Boland et al., 2013).Penilaian positifitas ekspresi caspase-3 menggunakan
pemeriksaan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal terhadap caspase-3.
Cara ukur dinilai secara kuantitatif visual dengan mikroskop cahaya pembesaran
400x terhadap sel yang mengekspresikan caspase-3. Kemudian dihitung jumlah sel-
sel tersebut yang imunoreaktif tercat coklat perak pada membran sel. Persentase
jumlah semua sel imunoreaktif yang ditemukan kemudian dilakukan skoring yaitu
skor 1 = 130%, skor 2 = 3170% dan skor 3 > 70%(Ummanni etal., 2010). Skala
data berupa ordinal.
d) Histopatologi “ take skingraft “
Pemeriksaan take skingraft akan dilakukan dengan bahan sampel dari eksisi kulit
yang dilakukan skingraft dengan menyertakan sedikit jaringan kulit normal di
sekelilingnya. . Pemeriksaan ditujukan untuk mengetahui adanya invasi sel-sel
inflamasi dan sel-sel dermis yang menginvasi jaringan granulasi dan vascular bud
yang menginvasi donor skingraft.
G. Kerangka Operasional Penelitian
40 ekor tikus putih Jantan
Umur 3-4 bulan
Berat badan ± 150-300 gr

K1 K2 P3 P4 P5

8 ekor 8 ekor 8 ekor 8ekor 8 ekor


10 hari
Ligasi ureter Ligasi ureter Ligasi ureter Ligasi ureter
10 hari 10 hari 10 hari 10 hari
sinistra sinistra sinistra sinistra
Sonde Aquabidest Sonde Propolis 50 mg.kgBB-1 Sonde Propolis 50 mg.kgBB-1
0,2 cc perhari perhari Sonde Coenzyme Q10)

Sonde Aquabidest Sonde Coenzyme Q10


perhari
0,2 cc perhari
20 hari 20 hari 20 hari 20 hari 20 hari
hari

 Penilaian lukadan dressing setiapVariabel


3 hari sekaliyang
dibuat foto
diperiksa :
 Tikus putih dikorbankan
 Jaringan luka dan skingraft dengan menyertakan jaringan sehat sekitar diambil. Dibuat preparat
 Dengan pemeriksaan IHC adalah:
untuk pemeriksaan imunohistokimiawi dan histopatologi.
 Pemeriksaan pada serum: MDA, Il-6, IL-1
 Koleksi serum untuk pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan Histopatologi: Kolagen,invasi sel sel skingraft kedalam
 Analisis data jaringan granulasi vascular.
 Pemeriksaan: take skingraft (dibuat foto dan dihitung prosentae take
denagn menggunakan skal kotak2 )
Penjelasan Kerangka Operasional
Sebanyak 40 ekor tikus putih jantan (Rattus Norvegicus), berumur 3-4 bulan
dengan berat badan 150-300 gram dibagi dalam empat kelompok masing-masing
berjumlah delapan ekor.
Perlakuan terdiri dari :
K1 : kelompok kontrol negatip dengan perawatan luka pemberian aquadest
K2 : kelompok penyakit (jaringan granulasi yang dirawat luka dengan honey )
P3 : kelompok terapi (jaringan granulasi dengan honey+Propolis dosis 50
mg.kgBB-1)
P4 : kelompok terapi (Jaringan granulasi dengan honey+Coenyme Q10 dosis 40
IU.kgBB-1)
P5 : kelompok terapi (jaringan granulasi dengan honey +Propolis dosis 50
mg.kgBB-1+Coenzyme Q10 dosis 40 IU.kgBB-1)

Tahapan Penelitian :
Tahap 1 : Perlakukan eksisi kulit , setelah 10 hari menunjukkanaktivitas
oksidatif dan inflamasi kronik pada hewan coba kelompok perlakuan K2, P3, P4
dan P5.
Tahap 2 : Perlakuan aktivitas oksidatif dan inflamasi kronik serta antioksidatif
dan inflamasi kronik setelah hari ke sepuluh sampai dengan hari ketigapuluh
diperlakukan sesuai perlakuan yaitu :
K1 : Perlakuan kontrol, tikus dilakukan eksisi kulit dan perawatan luka dengan
NaCL disonde dengan bahan pelarut aquadest 0,2 ml/hari.
K2 : Perlakuan kelompok penyakit jaringan granulasi yaitu tikus yang dilakukan
eksisi kulit dan perawatan luka dengan madu, dan disonde dengan bahan
pelarut aquadest 0,2 ml/hari setiap pagi hari.
P3 : Perlakuan terapi 1, yaitu tikus dilakukan eksisi kulit dan perawatan luka dengan
madu, dan disonde ekstrak propolis dosis 50 mg.kgBB-1 setiap pagi hari.
P4 : Perlakuan terapi 2, yaitu tikus dilakukan eksisi kulit dan perawatan luka dengan
madu, dan disonde Coenzyme Q10 dosis 40 IU.kgBB-1 setiap pagi hari.
P5 : Perlakuan terapi 2, yaitu tikus dengan jaringan granulasi, dan disonde ekstrak
propolis dosis 50 mg.kgBB-1dan Coenzyme Q10 dosis 40 IU.kgBB-1 setiap
pagi hari.

Efek antiinflamasi dan anti oksidatif ditunjukkan oleh kandungan yang ada di
propolis lebah yaitu CAPE (Lotfy, 2006). Efek antioksidatif ditunjukkan oleh
kandungan yang ada di Coenzyme Q10.Sonde dilakukan satu kali sehari selama 20
hari berturut-turut (Buraimoh et al., 2012).
Tahap 3 : Setelah selesai Perlakuan
Perlakuan hewan coba dikerjakan di Pusat Antar Universitas (PAU) Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Pengukuran serum anti inflamasi (IL -1, IL-6, TNF NF-
 dan TNF-α ),dan dan anti oksidan (MDA) dilakukan sebelum perlakukan dan
sebelum penilaian pasca skingraft. Tikus putih dikorbankan 30 hari setelah
perlakuan, dengan cara dislokasi servikal. Jaringan skingraft beserta kulit sehat
sekitar diambil dan dibuat preparat histopatologi menurut metode standar
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta,masing-masing perlakuan sebanyak delapan ekor tikus. Setiap sampel
dibuat sebagai preparat histologi (migrasi sel-sel inflamasidari ransplant skingaft,
apopotose vascular bud ,kolagen prolin, hidroksirolin ), untuk pemeriksaan
imunohistokimiawi (Il-10, Il-6, TNF-α, IFN-γ )
Perlakuan terhadap hewan coba pada penelitian ini sudah memenuhi prinsip 3R
sesuai ketentuanNational Centre for the Replacement, Refinement and Reduction
ofAnimals in Research (NC3Rs) dan mendapatkan persetujuan dari komite etik
penelitian kesehatan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

H. Kerangka Konsep Penelitian

UUO
+ UUO UUO
Propolis + +
Coenzyme Q10 Propolis- Coenzyme Q10

MDA
NF-

 Imunohistokimia
Histopatolgi

Gambar 2Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

Variabel bebas

Variabel antara

Variabel tergantung

Uraian Alur Penelitian


Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, post-test
only control group design. Perlakuan terdiri dari: (K1) kontrol normal (KN), (K2)
kontrol positip (KP), (P3) terapi dengan propolis, (P4) terapi dengan Coenzyme –
Q10 dan (P5) terapi dengan kombinasi propolis dan Coenzyme Q10, dengan
masing–masing sampel terdiri dari delapan ekor tikus putih jantan(Rattus
Norvegicus). Alokasi hewan coba kedalam masing-masing perlakuan yang
homogen dilakukan secara random untuk mempertahankan validitas internal
(Kuntoro, 1994).Setiap anggota sampel mempunyai kesempatan yang sama sebagai
sampel kontrol maupun terapi.
Pengukuran awal tidak dilakukan karena dianggap sama untuk semua kelompok
yang berasal dari satu populasi, sehingga dapat dikembangkan rancangan
eksperimental tanpa adanya pengukuran awal (pretest), tetapi hanya pengukuran
akhir (post test)/post-test only control group design (Sastroasmoro dan Ismael,
2011).
Bagan Rancangan Penelitian

K Eksisi + dressing NaCl


R O

K Eksisi + dressing Honey O


40 ekor tikus
putih jantan Eksisi + dressing Honey
P O
Propolis 50 mg.kgBB-1

Eksisi + dressing Honey O


P Coenzyme Q10

Eksisi + dressing Honey


P O
0 hari30
CoenzymeQ10dan Plkropolis 50
Gambar 3. Bagan Rancangan
mg.kgBB -1
Penelitian

Keterangan:
R : Randomisasi
K1 : Kelompok kontrol dengan pemberian aquadest
K2 : Kelompok kontrol positip (jaringan ranulasi) dengan pemberian
aquadest)
P3 : Kelompok terapi(jarngan granulasi+ propolis dosis 50 mg.kgBB-1)
P4 : Kelompok terapi(jaringan granulasi +Coenzyme Q10)
P5 : Kelompok terapi(jarinagn granulasi +Coenzyme Q10) dan propolis dosis
50 mg.kgBB-1)

I. Analisis Data
Data berskala kategorik (ordinal) yang diperoleh meliputi ekspresi VCAM-1,
Caspase-3,dankolagen akan diuji menggunakan uji non-parametrik, dengan
menggunakan program SPSS for Windows Release 22. Hasil pengujian dianggap
bermakna bila harga p <0,05. Dengan rancangan analisis statistik, yaitu:
a) Uji Kruskal Wallis untuk mengetahui uji beda respons akibat UUO dibandingkan
dengan UUO yang dikombinasikan propolis, Coenzyme Q10 dan propolis +
Coenzyme Q10.
b) Uji Man-Whitney untuk mengetahui perbedaan mean rank antar kelompok.
Data numerik (Tekanan darah sistolik) yang diperoleh setelah memenuhi
kriteria akan diuji menggunakan uji F Anova, dengan menggunakan program SPSS
for Windows Release 22. Hasil pengujian dianggap bermakna bila harga p <0,05.
Dengan rancangan analisis statistik, yaitu:
a) Uji Shapiro wilk untuk menguji normalitas distribusi data.
b) Uji homogenitas menggunakan levene’s test untuk menguji homogenitas varian.
c) Uji F Anova untuk uji beda respons akibat UUO dibandingkan dengan UUO yang
dikombinasikan propolis, dan propolis + Coenzyme Q10.
d) Uji post-hoc LSD untuk mengetahui perbedaan mean antar kelompok.
DAFTAR PUSTAKA

Bank, G., Kagan, D., & Madhavi, D. (2011). Coenzyme Q10: Clinical Update and
Bioavailability. Journal of Evidence-Based Complementary & Alternative
Medicine, 16(2), 129–137. https://doi.org/10.1177/2156587211399438

Bauerova, K., Paulovicova, E., Mihalova, D., Drafi, F., Strosova, M., Mascia, C., Ponist,
S. (2010). Combined methotrexate and coenzyme Q₁₀ therapy in adjuvant-induced
arthritis evaluated using parameters of inflammation and oxidative stress. Acta
Biochimica Polonica, 57(3), 347–354.

Bonakdar, R. A., & Guarneri, E. (2005). Coenzyme Q10. American Family Physician,
72(6), 1065–1070.

Caron DM. (1998). Stingless bees: a vanishing art. Apiacata.3(1):1-3.

Casagrande, D., Waib, P. H., & Jordão Júnior, A. A. (2018). Mechanisms of action and
effects of the administration of Coenzyme Q10 on metabolic syndrome. Journal of
Nutrition & Intermediary Metabolism, 13, 26–32.
https://doi.org/10.1016/j.jnim.2018.08.002

DiNicolantonio, J. J., Bhutani, J., McCarty, M. F., & O’Keefe, J. H. (2015). Coenzyme
Q10 for the treatment of heart failure: a review of the literature. Open Heart, 2(1),
e000326. https://doi.org/10.1136/openhrt-2015-000326

Fir, M., Milivojević, L., Prošek, M., & Šmidovnik, A. (2009). Property studies of
coenzyme Q10-cyclodextrins complexes (Vol. 56).

Fikri, Al Mukhlas. (2017). Aktivitas Antioksidan dan Antiemesis Propolis Trigona sp.
dari Tiga Provinsi di Indonesia. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tesis.
Hasan ZEA, Mangunwidjaja D, Sunart CT, Suparno O, Setiyono A. (2014). Investigating
the antioxidant and anticytotoxic activitites of propolis collected from five regions
of Indonesia and their abilities to induce apoptosis. Emirates Journal of Food
Agriculture. 26(5):390-398.

Hryniewicka, M., Karpinska, A., Kijewska, M., Turkowicz, M. J., & Karpinska, J.
(2016). LC/MS/MS analysis of α-tocopherol and coenzyme Q10 content in
lyophilized royal jelly, beebread and drone homogenate. Journal of Mass
Spectrometry: JMS, 51(11), 1023–1029. https://doi.org/10.1002/jms.3821

Julianingrum, Retno. (2019) Perbandingan Efektivitas Ekstrak Propolis Dalam


Menghambat Pertumbuhan Bakteri Gram Positif (Staphylococcus aureus) dan
Gram Negatif (Escherichia coli) Secara In Vitro. Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. Skripsi.
Kwon TD, Lee MW, Kim KH. (2014). The effect of exercise training and water extract
from propolis intake on the antioxidant enzymes activity of skeletal muscle and
liver in rat. Journal of Exercise Nutrition and Biochemistry. 18(1):9-17.

Langsjoen, P. (2008). Introduction to Coenzyme Q10. Washington: Faculty of Medicine,


University of Washington.

Lirizka, Sessy Paramita. (2016). Kandungan Fitokimia dan Toksisitas Propolis Lebah
Trigona spp. asal propinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB dan Maluku.
Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Skripsi.

Momiyama, Y. (2014). Serum coenzyme Q10 levels as a predictor of dementia in a


Japanese general population. Atherosclerosis, 237(2), 433–434.
https://doi.org/10.1016/j.atherosclerosis.2014.08.056

Mulyana, Kamajaya. (2014) Efek Propolis Indonesia Merek 'X' Dalam Mempercepat
Penyembuhan Luka Pada Mencit Jantan Galur Swiss Webster. Fakuitas
Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. Skripsi.
NCCIH (2018). Coenzyme Q10. (2018, May 4). Retrieved April 4, 2019, from NCCIH
website: https://nccih.nih.gov/health/coq10

Oda SS, Waheeb RS, El-Maddawy ZK. Potential efficacy of Coenzyme Q10 against
oxytetracycline-induced hepatorenal and reproductive toxicity in male rats. J App
Pharm Sci, 2018; 8 (01): 098-107.

Pascual C, Gonzalez R, Torricella RG. (1994). Scavenging action of propolis extract


against oxygen radicals. Journal of Ethnopharmacology. 4(1-2):9-13.

Pujirahayu, Niken, Ritonga, Halimahtussaddiyah, Satya, Agustina, Zakiah, Uslinawaty


(2015). Antibacterial Activity of Oil Extract of Trigona Propolis. International
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Vol 7, Issue 6, 2015.

Radiati, Lilik Eka, Khothibul, Umam Al Awwaly, Kalsum, Umi, Firman, Jaya. Pengaruh
Pemberian Ekstrak Propolis terhadap Sistem Kekebalan Seluler pada Tikus Putih
(Rattus norvegicus) Strain Wistar. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 9 No.1 (April
2008) 1- 9.

Rahman, S., Clarke, C. F., & Hirano, M. (2012). 176th ENMC International Workshop:
Diagnosis and treatment of Coenzyme Q10 deficiency. Neuromuscular Disorders,
22(1), 76–86. https://doi.org/10.1016/j.nmd.2011.05.001
Rodick, T., R Seibels, D., Jeganathan, R., Huggins, K., Ren, G., & Mathews, S. (2018).
Potential role of coenzyme Q10 in health and disease conditions. Nutrition and
Dietary Supplements, 2018: 10, pp. 1-11.

Sharma, A., Fonarow, G. C., Butler, J., Ezekowitz, J. A., & Felker, G. M. (2016).
Coenzyme Q10 and Heart Failure. Circulation: Heart Failure.
https://doi.org/10.1161/CIRCHEARTFAILURE.115.002639
Singh, R. B., Wander, G. S., Rastogi, A., Shukla, P. K., Mittal, A., Sharma, J. P., Chopra,
R. K. (1998). Randomized, double-blind placebo-controlled trial of coenzyme Q10
in patients with acute myocardial infarction. Cardiovascular Drugs and Therapy,
12(4), 347–353.

Surendra NS, Bhushanam M, Ravikuma H. (2012). Antimicrobial activity of propolis of


Trigona sp. and Apis ellifera of Karnataka, India. Prime Journal of Microbiology
Research. 2(2):80-85.

Watanabe, M. A. E., Amarante, M. K., Conti, B. J., & Sforcin, J. M. (2011). Cytotoxic
constituents of propolis inducing anticancer effects: a review. The Journal of
Pharmacy and Pharmacology, 63(11), 1378–1386. https://doi.org/10.1111/j.2042-
7158.2011.01331.x

Zeb, I., Ahmadi, N., Nasir, K., Kadakia, J., Larijani, V. N., Flores, F., … Budoff, M. J.
(2012). Aged garlic extract and coenzyme Q10 have favorable effect on
inflammatory markers and coronary atherosclerosis progression: A randomized
clinical trial. Journal of Cardiovascular Disease Research, 3(3), 185–190.
https://doi.org/10.4103/0975-3583.98883

Anda mungkin juga menyukai