“TEORI HUKUM”
DOSEN : DR. SUKARMI, S.H., M.H.
PROPOSAL DISERTASI
Oleh :
NASHRULLOH
NIM. 187010100111004
1
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..………………………………………………………3
B. Rumusan Masalah …………………………………………………… 6
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………….. 6
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………. 6
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
2
A. Latar Belakang
Peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan elemen yang sangat esensial dalam
suatu negara hukum. Dalam praktiknya diberbagai negara mempunyai cara dan sistem yang
berbeda dalam mendesain agar supaya pengadilannya mempunyai kemandirian dan
kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara. Di Indonesia sendiri mempunyai sejarah
perjalanan pengadilan yang mengalami pasang surut kepercayaan dari masyarakat seiring
dengan usaha-usaha perbaikan sistem peradilan yang telah dilakukan pemerintah.
Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, maka
di Indonesia dibentuklah Komisi Yudisial. Akan tetapi dalam perjalanannya kembali
dipertanyakan apakah kehadiran Komisi Yudisial tersebut sesuai dengan prinsip negara
hukum yang mengharuskan adanya kemandirian dan kebebasan hakim.
Komisi Yudisial pada prinsipnya merupakan amanah reformasi, khususnya reformasi
peradilan. Kita tidak dapat menutup mata dalam menatap realitas peradilan di Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa “praktek mafia peradilan” telah merambah kesegala
lingkungan badan peradilan dihampir semua lingkungan peradilan di berbagai tingkatannya,
dengan melibatkan hampir semua pihak yang terkait dengan dunia peradilan. Tentu kita tidak
rela menyaksikan “hakim yang menyalahgunakan kekuasaannya” karena terlibat dalam
praktek
“mafia peradilan” justru berlindung dibalik kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Komisi Yudisial lahir pada era reformasi saat amandemen ke III Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 bersamaan dengan Dewan
Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi. Walaupun Komisi Yudisial adalah lembaga
baru, namun keberadaannya memperoleh justifikasi hukum yang sangat kuat Karena diatur
secara tegas di dalam konstitusi / Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan kewenangannya diberikan oleh konstitusi.
Kehadiran Komisi Yudisial di dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia
bukanlah sebagai “asesorir” demokrasi atau proses penegakan hukum. Komisi Yudisial lahir
sebagai konsekuensi politik yang ditujukan untuk membangun sistem saling awas dan saling
imbang (check and balances) di dalam struktur kekuasaan termasuk di dalamnya pada sub
sistem kekuasaan kehakiman.1
Hakim sebagai pelaku utama fungsi peradilan tidak lagi menjaga dan menegakan
kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Sebagai lembaga Negara yang lahir
1
Mustafa Abdullah, Fungsi Komisi Yudisial Dalam Mewujukan Lembaga Peradilan
yang bermartabat dan Profesional, Buletin Komisi Yudisial Vol. II No 2-Oktober 2007, hlm. 13-17
3
dari tuntutan “reformasi” dan bertugas mendorong reformasi peradilan, tentu saja Komisi
Yudisial tidak mungkin membiarkan terus menerus praktek-praktek “hina”, penyalahgunaan
wewenang dibadan peradilan yang disebut “yudicial corruption” itu.
Komisi Yudisial diberikan kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 yaitu bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Kewenangan lain Komisi Yudisial, yaitu mejaga kehormatan dan martabat hakim
menimbulkan pro-kontra antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial. Mahkamah
Agung berpendapat bahwa dalam menjaga kemandirian dan kebebasan hakim dalam
memutus suatu perkara maka, kewenangan Komisi Yudisal hanya terbatas pada pengawasan
perilaku hakim diluar pengadilan Sebaliknya, Komisi Yudisial berdasarkan Undang-Undang
nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial berpendapat bahwa kewenangan Komisi
Yudisial tidak hanya terbatas pada pengawasan perilaku hakim di luar pengadilan tetapi
termasuk dapat memberi pengawasan kepada hakim di dalam mengadili suatu perkara.
Pro kontra mengenai hal ini oleh Mahkamah Agung kemudian mengajukan permohonan
pengujian Undang-Undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan oleh
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa khususnya Pasal 1 angka 5, Pasal 20, 21, 22 ayat
(1) huruf e dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) bertentangan dengan Pasal
24B UUD 1945 dan oleh karena itu pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Sebagai lembaga negara Komisi Yudisial mempunyai kedudukan sama dengan lembaga
negara yang lainnya dalam lingkungan yudikakatif seperti Mahkamah Agung. Komisi
Yudisial mempunyai kewenangan yang diberikan langsung oleh UUD 1945 yang kemudian
dijabarkan dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial adalah sebuah komisi independen yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang disahkan Presiden sebagai Kepala
Negara, Komisi Yudisial melakukan pengawasan untuk menilai kinerja dan prestasi hakim.
Hasil pengawasan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah. Selanjutnya berdasarkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden memberhentikan hakim agung, susunan dan keanggotaan
Komisi Yudisial Nasional disahkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara.
4
Hukum yang menyelenggarakan Pemerintahan dalam bidang ini berkaitan dengan
norma tentang wewenang pemerintahan. Bagian-bagian ini antara lain meliputi:
a. Sumber wewenang: atribusi, delegasi, dan mandat
b. Asas penyelengaraan pemerintah. Berdasarkan asas negara hukum, asas dasar
adalah legalitas (rechtmatigheid van bestur).
c. Diskresi
d. Prosedur penggunaan wewenang
Jabatan yang dibentuk dan ditetapkan oleh undang-undang memperoleh wewenang
atribusi. Wewenang atribusi yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar adalah wewenang
atribusi Komisi Yudisial berdasarkan ketentuan pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melaksanakan kekuasaan pemerintahan. Berdasarkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial
memiliki kewenangan lain yang tidak diatur dalam Undang –Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yakni membentuk panel ahli dalam seleksi pemilihan calon hakim
Mahkamah Konstitusi. Panel Ahli yang dipilih bersumber pada tokoh masyarakat, praktisi
dan akademisi. Panel ahli kemudian melakukan fit and propertest terhadap masing-masing
tiga calon yang diajukan oleh tiga Lembaga Tinggi Negara yakni Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.
Kewenangan Komisi Yudisial menjadi luas dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan bahwa Komisi Yudisial
diberikan wewenang dalam membentuk panel ahli yang kemudian akan menguji calon Hakim
Mahkamah Konstitusi yang diajukan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung. Pada dunia hukum apakah wewenang yang
diberikan undang-undang dianggap sebagai perluasan kewenangan Komisi Yudisial atau
dianggap sebagai pelanggaran konstitusional. Dampaknya adalah Mahkamah Konstitusi
terjadi overlapping terhadap kewenangan yang diberikan kepada Komisi Yudisial
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Latar Belakang di atas maka penulis tertarik untuk membuat karya ilmiah
dengan judul
“IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSITERHADAP KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN
KOMISI YUDISIAL “
5
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini yakni :
1. Apakah kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial bertentangan dengan prinsip
kemandirian dan kebebasan hakim?
2. Bagaimana implikasi hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Mahkamah Konstitusi terhadap kedudukan dan kewenangan Komisi Yudisial?
3. Bagaimanakah cita hukum untuk mewujudkan lembaga peradilan yang bermartabat
dan profesional sebagaimana fungsi dari Komisi Yudisial?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial bertentangan dengan prinsip
kemandirian dan kebebasan hakim.
2. Mengidentifikasi dan menganalisa implikasi hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap kedudukan dan kewenangan Komisi
Yudisial.
3. Menemukan, menjelaskan, dan menganalisa cita hukum untuk mewujudkan lembaga
peradilan yang bermartabat dan profesional sebagaimana fungsi dari Komisi Yudisial.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi
pengembangan hukum, terutama dalam penggunaan wewenang lembaga
pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penelitian ini, juga dapat
menemukan argumentasi-argumentasi hukum baru yang bermanfaat bagi
pengembangan hukum.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perangkat lembaga
dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang berkaitan dengan penggunaan
wewenang antar lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Informasi yang
diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam
pembentukan peraturan-peraturan antar lembaga. Sehubungan dengan partisipasi,
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi lembaga lainnya di Indonesia
dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kewenangan
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering
ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang.Kekuasaan sering disamakan
7
begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah
kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga
dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada
satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).2
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak
berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc
van Maarseven disebut sebagai “blote match”,3 sedangkan kekuasaan yang berkaitan
dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni
wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-
kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat
oleh Negara.
Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.4 Kekuasaan
memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh
Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan
unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di
samping unsur-unsur lainnya, yaitu:
a) hukum
b) kewenangan (wewenang)
c) keadilan
d) kejujuran
e) kebijakbestarian, dan
f) kebijakan.5
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara dalam
keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah, bekerja,
berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara
harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan
seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang
2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), Hlm. 35-36
3
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian
Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1990), Hlm.
30
4
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 1
5
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia,
1998), hlm. 37-38
8
atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan
dan tujuan dari orang atau Negara.6
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ
sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten
complex) dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak
dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.7 Dengan demikian
kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan
kewenangan hanya beraspek hukum semata yang artinya; kekuasaan itu dapat
bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional),
misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari
konstitusi.
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang
digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah
“bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika
dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”.
Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.Istilah “bevoegheid” digunakan
dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat.Dalam konsep hukum kita
istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.
8
B.Pengertian Kewenangan
Kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan sebagai hal
berwenang, hak dan kekuasaaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.9 Kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap
segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan.10
Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan
wewenang.11 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan
wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan
6
Miriam Budiardjo, Op.Cit, hlm. 35
7
Rusadi Kantaprawira, Op.Cit, hlm. 39
8
Phillipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 20
9
Tim Bahasa Pustaka, 1996. hlm 1128
10
Prajudi Atmosudirdjo. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 78.
11
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab,
Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), hlm. 22
9
formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang,
sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari
kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe
voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup
wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan
pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan
memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah
kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum.12
Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, maka
kesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan
wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari
undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan,
artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang,
maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam
melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan
keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara
atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli
atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu
pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi
pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat
bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi
mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).
Bagir Manan mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak
sama dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
atau tidak berbuat.Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichen). Di dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen), sedangkan kewajiban secara
horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana
12
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan
Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 65
10
mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu
tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.13
J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang
diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu
badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari
kewenangan yang ada sebelumnya.Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri
dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang
berkompeten.14
Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu
organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang
telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya,
sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi
mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk
membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada
atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi.
Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-
besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan
menganai kemungkinan delegasi tersebut.
Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan
sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi
hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu
dalam peraturan perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.15
13
Bagir manan, wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. Hlm 1- 2
14
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998),
hlm. 16-17
15
Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 5
11
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi),
sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah.Dengan demikian,
pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan
tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat
atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat.
Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan
oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya.Tanpa kewenangan tidak
dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.16
C. Sifat Kewenangan
Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat,
fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan kewenangan
pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan
(beschikkingan) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang
bersifat terikat dan bebas.
Menurut Indroharto; pertama, pada wewenang yang bersifat terikat, yakni
terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang
bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit
banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil, kedua, wewenang
fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan,
sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalm hal-hal atau keadaan tertentu
sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya: ketiga, wewenang bebas, yakni
terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat
tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan
dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada
pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
Philipus mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge,
membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan
(beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsverijheid) yang selanjutnya
disimpulkan bahwa ada dua jenis kekuasaan bebas yaitu : pertama, kewenangan untuk
16
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 219
12
memutuskan mandiri; kedua, kewenangan interpretasi terhadap norma-norma
tersamar (verge norm).17
D. Sumber Kewenangan
Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar utamanya
dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi
negara-negara hukum dan sistem kontinental.18
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga
sumber yaitu; atribusi, delegasi, mandat. Kewenangan atribusi lasimnya digariskan
melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, kewenangan
delegasi dan Mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.19
Bedanya kewenangan delegasi terdapat adanya pemindahan atau pengalihan
kewenangan yang ada, atau dengan kata lain pemindahan kewenangan atribusi kepada
pejabat dibawahnya dengan dibarengi pemindahan tanggung jawab. Sedangkan pada
kewenangan mandat yaitu dalam hal ini tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan
atau pengalihtanganan kewenangan, yang ada hanya janji-janji kerja intern antara
penguasa dan pegawai (tidak adanya pemindahan tanggung jawab atau tanggung
jawab tetap pada yang memberi mandat). Setiap kewenangan dibatasi oleh isi atau
materi, wilayah dan waktu.Cacat dalam aspek- aspek tersebut menimbulkan cacat
kewenangan (onbevoegdheid) yang menyangkut cacat isi, cacat wilayah, dan cacat
waktu.
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
A. Kerangka Pikir
Kerangka berfikir pada penelitian ini didasarkan pada kedudukan dan
kewenangan Komisi Yudisial sebagai salah satu lembaga yang independen dalam
mengawasi lembaga kehakiman. Kekuasaan Komisi Yudisial lahir dari Undang-
17
Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 112
18
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan otonomi Daerah, Sketsa bayangbayang
Konflik Dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah.2002. hlm 65
19
Op Cit, hlm 112
13
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdapat dalam pasal 24B dan
diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Yudisial namun dari Undang-undang tersebut Komisi Yudisial memiliki wewenang di
luar Undang-undang yang mengatur tentang mekanisme perekrutan Hakim
Mahkamah Konstitusi. Hal ini menjadi masalah hukum karena wewenang Komisi
Yudisial dipeluas dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
perekrutan hakim Mahkamah Konstitusi. Seharusnya Undang-Undang yang dibuat
harus mengacu pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 serta
Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Komisi Yudisial. Untuk lebih
jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Cita Plato dalam hal ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya bernama
Aristoteles yang lahir di Macedonia pada tahun 384 SM. Karya ilmiahnya yang
relevan dengan masalah negara ialah Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara yang
baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. la
menyatakan: ”Aturan yang konstitusional dalam negara berkaitan secara erat juga
dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum
terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum”. Oleh sebab itu supremasi
hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-
mata sebagai keperluan yang tak layak.
15
Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan
pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan
menjelmakan manusia yang bersikap adil.
Apabila keadaan semacam ini telah terwujud, maka terciptalah suatu ”negara
hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas
keadilan. Jadi, keadilanlah yang memerintah dalam kehidupan bernegara. Agar
manusia yang bersikap adil itu dapat terjelma dalam kehidupan bernegara, maka
manusia harus didik menjadi warga yang baik dan bersusila.
Konsepsi negara hukum dalam kajian teoritis dapat dibedakan dalam dua
pengertian. Pertama, negara hukum dalam arti formal (sempit/klasik) ialah negara
16
yang kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap
ketentraman dan kepentingan umum, seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang
tertulis (undang-tmdang), yaitu hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau hak asasi
warganya secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian atau
penyelenggaraan kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam lapangan ekonomi
adalah prinsip laiesez faire laiesizealler.
Kedua, negara hukum dalam arti materiil (luas modem) ialah negara yang
terkenal dengan istilah welfare state (walvaar staat), (wehlfarstaat), yang bertugas
menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, yaitu keamanan social (social
security) dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-prinsip
hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak asasi warga negaranya benar-benar
terjamin dan terlindungi.
Di Inggris ide negara hukum sudah terlihat dalam pemikiran John Locke, yang
membagi kekuasaan dalam negara ke dalam tiga kekuasaan, antara lain dibedakan
antara penguasa pembentuk undang-undang dan pelaksana undang-undang, dan
berkait erat dengan konsep rule of law yang berkembang di Inggris pada waktu itu. Di
Inggris dikaitkan dengan tugas-tugas hakim dalam rangka menegakkan rule of law.
Paul Scholten salah seorang jurist yang terbesar dalam abad XX di Nederland,
menulis tentang Negara Hukum (over den rechtsstaat). Scholten menyebut dua ciri
daripada negara hukum, yang kemudian diuraikan secara luas dan kritis tersebut
adalah:
17
1. Kawula negara itu mempunyai hak terhadap negara (er is recht tegenover den
staat), individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini sebenarnya
meliputi dua segi: a) manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada
asasnya terletak di luar kewenangan negara; b) pembatasan suasana manusia itu
hanya dapat dilakukan dengan ketentuan undang-undang dengan peraturan-
peraturan umum.
2. Negara hukum ada pemisahan kekuasaan (er is scheiding van machten).
Dalam padangan ahli hukum semestinya konsep of law ini dijadikan sebagai
suatu konsep yang dapat diidentifikasi, di mana titik beratnya pada prosedur dan
pengaturan pernbentukan serta penegakkan hukum. Di dalam konsep rule of law
sendiri dikenal kewenangan diskresi yang pada hakekatnya tidak konsisten dengan ide
rule of law. Oleh karena itu, kewenangan diskresi seharusnya dapat diuji dan dipandu
oleh prinsip-prinsip hukum secara umum.
Perbedaan pokok antara rechtssiaal dengan rule of law ditemukan pada unsur
peradilan administrasi. Di dalam unsur rule of law telah ditemukan adanya unsur
peradilan administrasi, sebab di negara-negara Anglo Saxon penekanan terhadap
prinsip persamaan dihadapan hukum (equality here the law) lebih ditonjolkan,
sehingga dipandang tidak perlu menyediakan sebuah peradilan khusus untuk pejabat
administrasi negara. Prinsip equality before the law menghendaki agar prinsip
persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara, harus juga tercermin
dalam lapangan peradilan. Pejabat administrasi atau pemerintah atau rakyat harus
sama-sama tunduk kepada hukum dan bersamaan kedudukannya dihadapan hukum.
Dari latar belakang dan dari sistem hukum yang menopang perbedaan antara
konsep ”rechtsstaat” dengan konsep ”the rule of law” meskipun dalam perkembangan
18
dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi perbedaan antara keduanya. Karena pada
dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun dengan
sasaran yang sama tetapi keduanya tetap berjalan dengan sistem hukum sendiri.
19
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata
sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran negara.
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering
ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang.Kekuasaan sering
disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan
dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam
arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule
and the ruled).20
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak
berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc
van Maarseven disebut sebagai “blote match”,21 sedangkan kekuasaan yang berkaitan
dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni
wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-
kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat
oleh Negara.
Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.22 Kekuasaan
memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh
20
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), Hlm. 35-36
21
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu
Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga,
1990), Hlm. 30
22
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hlm.
1
20
Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan
unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di
samping unsur-unsur lainnya, yaitu:
a) hukum
b) kewenangan (wewenang)
c) keadilan
d) kejujuran
e) kebijakbestarian, dan
f) kebijakan.23
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara dalam
keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah, bekerja,
berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara
harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan
seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku
seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai
dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.24
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ
sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten
complex) dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak
dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.25 Dengan demikian
kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan
kewenangan hanya beraspek hukum semata yang artinya; kekuasaan itu dapat
bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional),
misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari
konstitusi.
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang
digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah
“bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika
dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah
“bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.Istilah
“bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum
23
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia,
1998), hlm. 37-38
24
Miriam Budiardjo, Op.Cit, hlm. 35
25
Rusadi Kantaprawira, Op.Cit, hlm. 39
21
privat.Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya
digunakan dalam konsep hukum publik. 26
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa dalam penelitan hukum itu terdiri atas
pendekatan undang-undang (statute Approach), Pendekatan kasus ( case Approach),
pendekatan historis (Historical Approach) dan pendekatan konseptual ( conceptual
approach)27
Sesuai dengan pembagian pendekatan yang disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki
tersebut, pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah lebih menekankan
26
Phillipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 20
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum , Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal 61 dan
67
22
pada pendekatan Undang – Undang (Statue Approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan undang-undang (Statue Approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan ini akan membuka
kesempatan bagi penulis untuk mempelajari adakahkonsistensi dan kesesuaian antara suatu
undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan undang –
undang dasar atau antara regulasi dan undang-undang. 28Dalam hal ini penuls perlu mencari
rasio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Pendekatan undang-undang
ini penulis menyesuaikan dan mengkonsistensikan antara undang-undang nomor 1 tahun
2013 tentang Mahkamah Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 Pasal 24B tentang komisi Yudisial dan undang-undang Nomor 18 tahun
2011 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Pendekatan konseptual (conseptual Approach) Penulis menggunakan pendekatan
konseptual karena pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan
dengan isu yang dihadapi. Pemehaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
tersebut merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam memecahkan isu yang dihadapi.29
Senada dengan hal tersebut diatas Hilaire McCoubrey and Nigel D. White menuliskan
sebagai berikut: Law student sometimes encounter a problem of method in jurisprudence
which relates in part to the seemingly different structure and expectations of this subject in
comparison with other areas of legal study. Most legal study involves in the way or another
analysis of authorities – statutes, case decisions, statutory instrument, traties and so on 30.
Point of jurisprudential methodology is the importance contest in developing an analisys of
any given theory. The question of context may arise in at least two general forms. There must
always be considered the question of the historical and cultural contest in which a theory was
originally advanced.31
28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum , Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal 133
29
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal 135
30
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, Second ed, Blackstone Press
Limited, London, 1996, hal 6
31
Ibid, hal 7
23
B. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum tidak diperlukan adanya hipotesis. Di dalam penelitian
hukum juga tidak dikenal istilah data.32 Atas dasar itu, yang diperlukan dalam penelitian
hukum adalah bahan-bahan hukum (sources of the law), yaitu something (such as
constitution, treaty, statue or custom) that provides authorities for legislation and for judicial
decisions; a point of origin or legal analysis.33 Pengumpulan bahan hukum yang
dikelompokkan menjadi The primary sources atau authoritative records dan the secondary
sources atau not authoritative records. Adapun perbedaannya sebagai berikut:
a) Bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar Negara republik
Indonesia tahun 1945, Undang-Undnag Nomer 18 tahun 2011 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang lain yang
ada hubungannya dengan isu hukum dalam penelitian ini. Untuk dapat melakukan
pengkajian secara lebih mendalam maka bahan-bahan hukum ini juga dilengkapi
dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai wewenang Komisi Yudisial dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi
b) Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku dalam bidang hukum
administrasi, makalah, jurnal hukum dan hasil penelitian yang ada hubungannya
dengan isu hukum dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir manan, wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. Hlm
1- 2
Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Eigth edition, Thomson West, USA, 2004, hal 1400
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006), hlm. 219
32
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal 36
33
Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Eigth edition, Thomson West, USA, 2004, hal 1400
24
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, Second ed, Blackstone
Press Limited, London, 1996, hal 6
Ibid, hal 7
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung,
Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1994), hlm. 65
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars
Aeguilibri, 1998), hlm. 16-17
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), Hlm.
35-36
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum , Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006,
hal 61, 67, 133
Prajudi Atmosudirdjo. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 78.
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu
Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya:
Universitas Airlangga, 1990), Hlm. 30
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan otonomi Daerah, Sketsa
bayangbayang Konflik Dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah.2002. hlm 65
25