Anda di halaman 1dari 24

MODUL

KEPERAWATAN MATERNITAS 2
TINDAK KEKERASAN TERHADAP WANITA

Disusun oleh :
- ALDIS ANNISA T ( 2016-0303-012 )
- LISTIA HANDAYANI ( 2016-0303-072)

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


JAKARTA BARAT
2018
A. Pendahuluan

Gender merupakan suatu wacana dan gerakan mencapai kesetaraan posisi dan
peran antara laki-laki dan perempuan yang hingga saat ini masih menjadi fenomena
terkini. Respons dan pendapat bermunculan, mulai dari mendukung, menolak, menerima
sebagai wacana teoritis. Kondisi mendukung dan menolak bukan hanya dilakukan oleh
laki-laki tetapi juga perempuan. Walaupun permasalahan gender ini biasanya identik
dengan ketidakadilan bagi perempuan dan anak, tetapi secara mengejutkan justru para
perempuan dan anak banyak menerima kondisi ketidakadilan itu sebagai suatu kondisi
yang seharusnya diterima. Problem ketidakadilan itu berujung pada bentuk kekerasan,
pelecehan, dan tindakan menusiawikan seperti penganiayaan dan lain sebagainya.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan tindakan pelanggaran HAM


yang paling kejam. Oleh karenanya tidak salah apabila tindak kekerasan oleh organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disebut sebuah kejahatan kemanusiaan. Kekerasan
terhadap perempuan dan anak tidak saja merupakan masalah individu, melainkan juga
masalah nasional dan sudah menjadi masalah global. Dalam hal-hal tertentu kekerasan
terhadap perempuan dapat dikatakan sebagai masalah transnasional. Kekerasan terhadap
perempuan dan anak sebagai masalah global sudah mencemaskan Indonesia sebagai
Negara yang sedang berkembang, menyandang predikat buruk dalam masalah pelanggara
HAM, salah satu diantaranya adalah pelanggaran HAM pada perempuan dan anak.
Kekerasan tersebut dapat terjadi dimana saja seperti tempat umum, di tempat kerja,
bahkan di lingkungan keluarga (rumah tangga) dan lain-lain. Bahkan pelaku kekerasan
tersebut bisa dilakukan oleh siapa saja misal orang tua, saudara laki-laki, ataupun
perempuan dan lain-lainnya dapat terjadi kapan saja.

Kekerasan terhadap perempuan ini dan kekerasan pada anak yang menjadi sorotan
tulisan ini dan lokusnya dalam rumah tangga banyak sekali dipublikasikan melalui media.
Dewasa ini, kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat mencemaskan banyak
kalangan seperti kalangan yang peduli terhadap perempuan itu sendiri.

B. Uraian
Materi : tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak serta solusinya.
Apa itu kekerasan?

Kekerasan merupakan sebuah terminology yang sarat dengan arti dan makna
“derita”, baik dikaji dari perspektif psikologik maupun hukum, bahwa di
dalamnya terkandung perilaku manusia yang dapat menimbulkan penderitaan bagi
orang lain.

Tindak kekerasan atau “violence” menurut Jerome Skolncik didefinisikan


sebagai “an ambiguous term whose meaning is established throught political
process”. Dalam artian tingkah laku, Michael Levi lalu menyebutkan kekerasan
sebagai “its content and cuase are socially constructed”.
Dari pandangan demikian, tampaknya perumusan tindak kekerasan sangat terkait
dengan tingkah laku manusia yang bersifat kejam dan tidak manusiawi, namun
tidak jelas apakah perumusan itu juga menampung aspirasi kaum minoritas
(perempuan dan anak) yang selama ini rentang terhadap kasus kekerasan.

Pengertian kekerasan ini kemudian dapat dilihat di dalam konvensi tentang


penyiksaan dan perilaku kejam, tak berperikemanusiaan dan merendahkan, yang
diratifikasi pada bulan nopember 1998, disebutkan bahwa “torture means any act
by which severe pain or suffering whether physical or mental, is intentionally
inflicted on a person”.

Dalam kaitannya dengan penggunaan hukum (pidana), jika terjadi tindak


kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka terminologinya tidak boleh samar.
Ini dimaksudkan agar tidak timbul “multi-interpretasi” yang pada gilirannya dapat
menimbulkan kesulitan baik pada masyarakat maupun penegak hukum.

Dalam KUHP Indonesia misalnya, hanya merumuskan kekerasan sebagai


perbuatan membuat orang pingsan atau tidak berdaya (menurut pasal 89). Jelas
bahwa perumusan ini membatasi perilaku kekerasan pada perilaku fisik belaka,
padahal bila dilihat dari kenyataan di dalam masyarakat tindak kekerasan dapat
meliputi pula : fisik, seksual, psikologis, politis, dan ekonomi. Selanjutnya KUHP
merumuskan beberapa tingkah laku kekerasan yang korbannya adalah perempuan
dan anak., seperti : pornografi (pasal 282 dst); perkosaan (pasal 285 dst);
perbuatan cabul (pasal 290 dst); perdagangan wanita (pasal 297 dst); penculikan
(pasal 328); penganiayaan (pasal 351 dst) dsb.

Perilaku kekerasan diatas merupakan sebagian besar kekerasan fisik, kecuali


pornografi, dimana ancaman pidananya berkisar antara 1 tahun pidana penjara
hingga pidana mati. Dari sekian banyak ketentuan tentang kekerasan, hanya
sedikit saja yang menyebutkan jenis kelamin korban perempuan. Pasal yang
secara eksplisit menyebutkan antara lain, pasal 285 KUHP tentang perkosaan dan
pasal 297 KUHP tentang perdagangan perempuan.

Perempuan dan anak sebagai korban tindak kekerasan

Kekerasan yang telah, sementara bahkan mungkin akan dialami oleh bangsa
Indonesia selama ini merupakan masalah sosial dan kemanusiaan yang perlu
mendapat perhatian. Di mana-mana kini berjatuhan korban tindak kekerasan yang
umumnya kalangan perempuan dan kalangan anak-anak.

Perempuan dan anak sebagai korban tindak kekerasan bukan merupakan


fenomena baru, kitab sejarah mengungkapkan praktek-praktek masa lalu yang
mengorbankan perempuan, baik dewasa maupun (pengorban depan altar) koban
anak-anak (pembunuhan bayi berjenis kelamin perempuan).
Cerita tentang korban tindak kekerasan dikalangan perempuan dan anak memang
sedikit sekali ditemukan di dalam berbagai literature yang ada, karena itu jarang
terungkap bahwa viktimisasi terhadap perempuan melalui tindak kekerasan
diajukan ke peradilan pidana. Masalahnya mungkin terdapat pada persepsi
masyarakat, baik secara keseluruhan maupun kaum perempuan itu sendiri, bahwa
kekerasan yang dialaminya lebih baik untuk disembunyikan saja. Sebagai akibat
persepsi semacam ini, media massa juga terkadang melakukan hal yang sama
sehingga terjadi apa yang disebut dengan “selective inattention”, yakni memilih
berita tertentu untuk dijadikan informasi bagi konsumsi masyarakat.

Kategori child abused

Physical abuse (perlakuan salah secara fisik), adalah ketika anak mengalami
pukulan, tamparan, gigitan, pembakaran, atau kekerasan fisik lainnya. Physical
abuse biasanya berlangsung dalam waktu yang lama.

Sexual abuse (perlakuan salah secara seksual), adalah ketika anak


diikutsertakan dalam situasi seksual dengan orang dewasa atau anak yang lebih
tua. Kadang ini berarti adanya kontak seksual secara langsung seperti
persetubuhan, atau sentuhan atau kontak genital lainnya. Tetapi itu juga bisa
berarti anak dibuat untuk melihat tindakan seksual, melihat kelamin orang
dewasa, melihat pornografi atau menjadi bagian dari produksi pornografi. Anak
biasanya tidak dipaksa ke dalam situasi seksual, sebaliknya mereka dibujuk,
disogok, ditipu, atau dipaksa.

Neglect (diabaikan/dilalaikan) adalah ketika kebutuhan-kebutuhan dasar anak


tidak dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makanan
bergizi, tempat tinggal yang memadai, pakaian, kebersihan, dukungan emosional,
cinta dan afeksi, pendidikan, keamanan, dan perawatan gigi serta medis. Atau
tindakan yang bersangkutan masalah tumbuh kembang anak, seperti tidak
menyediakan rumah dan memberi pakaian yang layak, mengunci anak di dalam
kamar atau kamar mandi, meninggalkan anak di dalam periode waktu yang lama,
menempatkan anak di dalam situasi yang membahayakan dirinya.

Emotional abuse (perlakuan salah secara emosi) adalah ketika anak secara
teratur diancam, diteriaki, dipermalukn, diabaikan, disalahkan atau salah
penanganan secara emosional lainnya, seperti membuat anak menjadi lucu,
memanggil namanya dan selalu dicari-cari kesalahannya adalah bentuk dari
emosional abuse. Atau terjadi bila orang dewasa mengacuhkan, meneror,
menyalahkan, mengecilkan dan sebagainya yang membuat anak merasa
inkonsisten dan tidak berharga.

Gejala-Gejala Abuse

APA Public Interest Initiatives (2002) dan Hwang (1999) menyebutkan gejala-
gejala atau tanda-tanda terjadinya abuse antara lain :
- Gambaran diri yang buruk
- Sexual acting out
- Tingkah laku agresif, mengganggu, dan kadang-kadang illegal
- Marah dan gusar, atau perasaan-perasaan kesedihan atau gejala-gejala lain
yang merupakan tanda depresi
- Tingkah laku merusak diri atau menyalahgunakan diri sendiri, pikiran-pikiran
bunuh diri
- Kecemasan atau ketakutan, atau terkenang pengalaman masa lalu dan mimpi
buruk
- Masalah-masalah atau kegagalan-kegagalan sekolah
- Penyalahgunaan obat dan alkohol
- Terluka/terpotong dan memar-memar
- Patah tulang atau luka-luka dalam

Solusi pemecahannya
Tampaknya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah
interdisipliner, baik politis, sosial, budaya, ekonomis maupun aspek lainnya.
Diakui bahwa tindk kekerasan akan banyak terjadi, dimana ada kesenjangan
ekonomis antara laki-laki dan perempuan, penyelesaian konflik dengan kekerasan,
dominasi laki-laki dan ekonomi keluarga serta pengambilan keputusan yang
berbasis pada laki-laki. Sebaliknya, jika perempuan memiliki kekuasaan di luar
rumah, maka intervensi masyarakat secara aktif disamping perlindungan dan
control sosial yang kuat memungkinkan perempuan dan anak menjadi korban
kekerasan semakin kecil.
Dari berbagai pengalaman selama ini, maka solusi terhadap penanggulangan
tindak kekerasan terhadap perempuan mesti mencangkup hal-hal sebagai berikut :
a. Meningkatkan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di dalam
hukum melalui latihan dan penyuluhan.
b. Meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk
mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik di dalam
konteks individual, sosial maupun institusional.
c. Meningkatkan kesadaran penegak hukum agar bertindak cepat dalam
mengatasi kekerasan terhadap perempuan maupun anak.
d. Bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan
anak.
e. Melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak yang
dilakukan secara sistematis dan didukung oleh karingan yang mantap.
f. Pembaharuan hukum teristimewa perlindungan korban tindak kekerasan yang
dialami oleh perempuan dan anak-anak serta kelompok yang rentang atas
pelanggaran HAM.
g. Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif guna menanggulangi
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
h. Bagi anak-anak diperlukan perlindungan baik sosial, ekonomi maupun hukum
bukan saja dari orang tua, tetapi semua pihak, termasuk masyarakat dan
Negara.
i. Membentuk lembaga penyantum korban tindak kekerasan dengan target
khusus kaum perempuan dan anak untuk diberikan secara Cuma-Cuma dalam
bentuk konsultasi, perawatan medis maupun psikologis.
j. Meminta media massa (cetak dan elektronik) untuk lebih memperhatikan
masalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam
pemberitaanya, termasuk memberi pendidikan pada public tentang hak-hak
asasi perempuan dan anak-anak.

Etiologi Kekerasan terhadap Anak


Terjadinya kekerasan pada anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, sebagai
berikut :
1. Faktor internal
a. Berasal dalam diri anak
Faktor ini disebabkan oleh kondisi dan tingkah laku anak. Kondisi
anak, misalnya = anak menderita gangguan perkembangan,
ketergantungan anak pada lingkungannya, anak mengalami cacat
tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, anak yang memiliki
perilaku menyimpang dan tipe kepribadian dari anak itu sendiri.
b. Keluarga/orang tua
Faktor ini memegang peranan yang penting terhadap terjadinya
kekerasan anak itu sendiri. Contoh, orang tua yang memiliki pola asuh
membesarkan anaknya dengan kekerasan atau penganiayaan, keluarga
yang sering bertengkar mempunyai tingkat tindakan kekerasan
terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang
tanpa masalah, orang tua tunggal lebih memungkinkan untuk
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak karena faktor stress,
orang tua/keluarga yang belum memiliki kematangan psikologis
sehingga melakukan kekerasan terhadap anak.

2. Faktor eksternal
a. Lingkungan luar
Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan
terhadap anak, diantaranya seperti kondisi lingkungan yang
buruk,terdapat sejarah penelantaran anak, dan tingkat kriminalitas
yang tinggi di dalam lingkungan tersebut.
b. Media massa
Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa telah
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dan media ini tentu
pula mempengaruhi penerimaan konsep, sikap, nilai, dan pokok moral.
Seperti hal nya dalam media cetak menyediakan berita-berita tentang
kejahatan, kekerasan, dan pembunuhan. Kemudian media lain seperti
media elektronik, radio, televisi, video, kaset dan film sangat
mempengaruhi perkembangan kejahatan yang menampilkan adegan
kekerasan, menayangkan film action dengan adegan perkelahian di
dalamnya, acara berita yang berbau kriminal, penganiayaan, kekerasan
dan bahkan pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada dasarnya
media massa ini memiliki fungsi yang positif, namun kadang dapat
menjadi negative jika kita salah menempatkan fungsi tersebut.
c. Budaya
Budaya masih menganut praktek-praktek dengan pemikiran bahwa
status anak yang dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat
memenuhi harapan orangtua maka anak harus dihukum. Misal, bagi
anak laki-laki adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak laki-laki
tidak boleh cengeng atau anak laki-laki harus tahan uji. Pemahaman
itu mempengaruhi dan membuat orang tua ketika memukul,
menendang, atau menindas anak adalah suatu hal yang wajar untuk
menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah.
Manifestasi klinik
Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi
Fenomenologi”, dampak seksual abuse adalah :
a. Gangguan perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-
hari.
b. Gangguan kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak focus
ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
c. Gangguan emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana
hati serta menyalahkan diri sendiri

Penatalaksanaan
Menurut suda (2006) ada beberapa model program konseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami kekerasan seksual, yaitu :
a. The dynamics of sexual abuse.
Artinya terapi difokuskan pada pengemban konsepsi. Pada kasus tersebut
kesalahan dan tanggung jawab berada pada pelaku bukan pada korban. Anak
dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
b. Protective behaviors counseling
Artinya anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentananya
sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi, berkata tidak
terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diingnkan, menjauh secepatnya dari
orang yang kelihatan sebagai abusive person, melaporkan pada orang tua atau
orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah.
c. Survivolself-esteem counseling
Artinya menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka
sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan dalam
menghadapi masalah sexual abuse.
d. Cognitif terapy
Artinya konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-peraaan seseorang
mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-
pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-ulang.

Materi : kehamilan pranikah remaja di Kabupaten Sumedang.


Globalisasi dan kemajuan komunikasi di samping mempercepat kemajuan
berbagai sector, juga berdampak pada perilaku menyimpang akibat adaptasi
berbagai nilai dari luar yang sering bertentangan dengan nilai yang ada. Remaja
yang lebih peka mudah terpengaruh dan meniru berbagai nilai baru berupa gaya
hidup yang cenderung merugikan bagi mereka. Banyak remaja putri di Indonesia
terlibat aktivitas seksual sebelum menikah yang berujung pada kehamilan
pranikah. Para remaja putri yang menjadi korban tidak mempunyai banyak
pilihan, terpaksa menikah dalam usia muda untuk menutup aib keluarga atau
mengakhiri kehamilan dengan aborsi. Keadaan tersebut merupakan salah satu
yang penting di dalam masyarakat.

Pada penelitian ini, di Indonesia sekitar 10 % fertilitas terjadi pada remaja dengan
usia 15-19 tahun telah mempunyai anak sebelum mencapai usia 20 tahun.
Menurut Pusat studi kriminologi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta
menemukan 26,35 % dari 864 pernikahan telah melakukan hubungan seksual
sebelum menikah/pranikah dan sekitar 50 % menyebabkan kehamilan. Menurut
Survey BKKBN dan LDFE-UI pada tahun 2000, menemukan sekitar 11 %
kelahiran di Indonesia, terjadi pada usia remaja dan sekitar 43 % melahirkan anak
pertama kurang dari 9 bulan sejak tanggal pernikahan mereka. Kehamilan pada
remaja ini berhubungan erat dengan mempraktikan hubungan seksual pranikah
dini.

Kehamilan dan menjadi orang tua pada usia remaja berisiko kesulitan persalinan
bahkan kematian serta risiko psikologis menjadi ibu tunggal, perkawinan
bermasalah, rasa malu, rendah diri, bersalahh atau berdosa, depresi, pesimis.
Tanpa penanganan yang baik hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan
kejiwaan dan risiko sosial berhenti atau dikeluarkan dari sekolah. Selain itu risiko
ekonomi meliputi kebutuhan biaya perawatan kehamilan, melahirkan dan
membesarkan anak.

Kehamilan pranikah remaja

Kehamilan remaja memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat tidak


hanya di Negara maju seperti Amerika tetapi di Negara berkembang termasuk
Indonesia. Menurut beberapa literature di Indonesia, fertilitas usia remaja (15-19
tahun) dilaporkan sekitar 10 %. Kehamilan pranikah dikalangan remaja
dikhawatirkan berdampak pada peningkatan kasus aborsi dan komplikasi
kehamilan dan persalinan berupa pendarahan, keracunan kehamilan, persalinan
macet, persalinan dengan tindakan dan bisa berujung pada kematian ibu. Dalam
penelitian ini juga menyebutkan dampak dari kehamilan dini bisa menyebabkan
bayi yang dilahirkan berisiko tinggi untuk mengalami BBLR, gangguan
pertumbuhan janin (IUGR), cacat dan kematian. Keadaan lain yang menjadi
dampak kehamilan remaja adalah peningkatan pasangan usia subur yang
berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan penduduk dan dampak
psikososial berupa kemiskinan, terputusnya pendidikan, perasaan malu, depresi,
dan frustasi. Dengan ini remaja mengalami gangguan kesehatan reproduksi yang
menjadi tidak sehat fisik, mental, dan sosial.

Usia ketika hamil

Penulis menyebutkan, pada penelitian ini menemukan bahwa usia remaja ketika
hamil pertama berada pada kisaran 13-19 tahun dengan rata-rata usia ketika hamil
17,38 tahun. Di Yogyakarta, sekitar 60 % remaja pernah berhubungan seksual dan
rata-rata remaja berhubungan seksual pertama kali pada usia 17 tahun. SDKI
2002-2003 mengindikasikan bahwa 10 % wanita berusia 15-19 tahun telah
memiliki anak, 8 % sudah melahirkan dan 2 % sedang hamil anak pertama.

UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 menyataka anak adalah seorang yang
belum berusia 18 tahun. Bertitik mengacu pada UU No. 23 Tahun 2002 peneliti
mengelompokan usia ketika hamil ke dalam dua kategori, yang pertama usia <18
tahun dan usia > 18 tahun. Dari hasil penelitian diperoleh remaja yang berusia
<18 tahun sebesar 50,5 % dari jumlah tersebut 48,1 % hamil pranikah. Sedangkan
remaja yang berusia >18 tahun yang mengalami kehamilan pranikah sebesar 32,7
%. Usia ketika hamil mempunyai hubungan yang signifikan dengan kehamilan
remaja dimana responden yang berusia < 18 tahun memiliki risiko kehamilan
pranikah 1,90 kali dibandingkan dengan responden yang berusia > 18 tahun. Usia
remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa karena
perkembangan hormonalnya maka timbul rangsangan seksual dari dalam diri
remaja. Sementara lingkungan di sekitar mendorong remaja untuk menyelidiki
bahkan mepraktekan. Pada akhirnya, remaja putri yang hamil harus menanggung
akibatnya.

Tingkat pendidikan responden

Pendidikan yang berhubungan erat dengan faktor sosial-ekonomi termasuk pola


reproduksi, mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap penerimaan berbagai ide
baru. Penelitian ini menemukan sebagian besar responden berpendidikan rendah
pada standar pendidikan dasar 9 tahun yang setingkat SMP. Responden
berpendidikan SMP dan tidak tamat SMA termasuk dalam kategori rendah dan
pendidikan SMA dan perguruan tinggi termasuk tingkat pendidikan tinggi.
Penulis menyebutkan dalam penelitian ini tingkat pendidikan tidak berhubungan
secara bermakna kehamilan pranikah remaja. Pendidikan yang lebih tinggi
memperlebar rentang usia antara masa kanak-kanak dan dewasa, sementara
pengaruh lingkungan mendorong remaja melakukan hubungan seksual yang
berakhir dengan kehamilan pranikah. Selain itu juga banyak remaja yang terpaksa
harus berhentu sekolah karena orang tua tidak mampu membiayai. Di daerah
perkotaan usia kawin cenderung bertambah karena kesempatan wanita sekolah
dan kerja semakin terbuka sehingga terjadi kesenjangan antara usia pubertas dan
usia kawin. Dengan pergaulan yang semakin permisif antara lawan jenis
mendorong terjadinya hubungan seksua sebelum pernikahan. Di Daerah Istimewa
Yogyakarta, remaja berusia 15-24 tahun yang mengalami kehamilan pranikah
berpendidikan SMU (54,6 %), perguruan tinggi (36,3 %), SLTP (9,1 %).

Usia Menarche

Wanita yang telah mengalami menstruasi dapat hamil karena fungsi reproduksi
sudah terpenuhi, sel telur sudah matang dan sudah bisa dibuahi meskipun kondisi
anatomis dari panggulnya yang belum matang.

Dari penelitian ini didapatkan usia menarche pada responden yang kurang dari 12
tahun berjumlah 62 orang, 29 orang mengalami kehamilan pranikah dan dari 152
yang mengalami pertama kali haid diatas 12 tahun, 56 orang mengalami
kehamilan pranikah. Penulis menyebutkan nilai OR = 1,44 yang berarti bahwa
responden yang mengalami menarche < 12 tahun memiliki risiko 1,44 kali
mengalami kehamilan pranikah dibandingkan dengan yang mengalami menarche
pada usia > 12 tahun tetapi tidak bermakna secara statistic. Keadaan tersebut
menggambarkan bahwa semakin dini usia pertama kali haid kemungkinan
terjadinya kehamilan pranikah juga tinggi.

Frekuensi pacaran

Menurut hasil penelitian penulis diperoleh data bahwa responden dengan


frekuensi pacaran yang sering mengalami risiko mengalami kehamilan pranikah
sebesar 2,67 kali bila dibandingkan dengan frekuensi pacaran yang jarang.
Responden dengan frekuensi pacaran yang sering sebanyak 45,5 % mengalami
kehamilan pranikah sedangkan sisanya 22,2 % dengan frekuensi pacaran yang
jarang. Frekuensi pacaran yang sering mendorong remaja untuk mempraktekan
hubungan seksual pranikah yang berdampak kehamilan pranikah karena telah
terjadi perubahan pandangan terhadap pacaran seperti teori yang dikemukakan
oleh Pratiwi, bahwa zaman sekarang telah terjadi perubahan pandangan dan
perilaku seksual di masyarakat khususnya remaja yang tidak lagi menganggap
pacaran sebagai ajang untuk saling mengenal lawan jenis tetapi untuk belajar
melakukan aktivitas seksual dengan lawan jenis. Aktivitas seksual yang mereka
lakukan tersebut dimulai dari memandang tubuh, berpegangan tangan, berciuman
sambil berpelukan, meraba tubuh pasangan, saling mengelus daerah erogen
sampai kepada yang paling berisiko yaitu berhubungan seksual.

Tingkat pendidikan orang tua

Penulis menyatakan dalam penelitiannya bahwa tingkat pendidikan orang tua


responden sebagian besar berpendidikan rendah. Dengan tingkat pengetahuan
orang tua yang umumnya rendah sangat mungkin anak-anak remajanya kurang
atau tidak memperoleh informasi mengenai kesehatan reproduksi khususnya
pergauan antar jenis dan pergaulan seksual yang benar dari orang tuanya.
Tingkat pendidikan beerbanding lurus dengan tingkat pengetahuan. Hal ini juga
berarti bahwa bila tingkat pendidikan rendah tingkat pengetahuan pun akan
rendah pula dan sebaliknya. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk
meningkatakan pengetahuan termasuk pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
yang akan diterapkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya yang didalamnya
juga termuat norma pergaulan antara remaja putri dan lawan jenisnya. Termasuk
juga pola asuh terhadap anak-anak yang akan mempengaruhi perilaku anak-
anaknya dalam bergaul dan bermasyarakat.

Pola asuh orang tua

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden yang menerima pola asuh yang
permisif dan otoriter 116 orang dari jumlah tersebut 61 orang responden
mengalami kehamilan pranikah sedangkan responden dengan pola asuh
demokratis sebanyak 94 orang dari jumlah trsebut 24 orang mengalami kehamilan
prranikah. Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan kehamilan
usia remaja. Responden dengan pola asuh permisif dan otoriter berpeluang
mengalami kehamilan pranikah 3,23 kali dibandingkan dengan responden dengan
pola asuh yang demokratis.

Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat para ahli bahwa pola asuh yang
otoriter perilaku anak akan cenderung mudah terpengaruh dan tidak mempunyai
arah masa depan yang jelas. Pola asuh yang permisif perilaku anak akan
cenderung bersikap impulsive dan agresif, suka memberontak, dan tidak jelas arah
hidupnya.

Remaja dalam perkembangannya membutuhkan perhatian orang tua yang


tercermin dari pola asuh yang mereka terima. Bila pola asuh mereka melibatkan
anak remajanya dalam mengambil keputusan tentunya sangat dianjurkan karena
akan membawa perkembangan jiwanya kearah yang positif. Orang tua yang tidak
mengarahan yang baik akan menyebabkan anak remaja berbuat sesuka hati.
Sebaliknya, orang tua yang melarang atau mengekang perilaku anak remajanya
secara berlbihan, para remaja tersebut akan berontak dan melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan larangan orang tua mereka.
Materi : Gangguan stres pasca trauma pada korban pelecehan seksual dan
perkosaan.
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak
disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga
menimbulkan akibat negative, seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah,
kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang
menjadi korban (supriadi & sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual yang terjadi pada anak memang tidak sesederhana dampak
psikologisnya. Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian
yang tadinya ditunjukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian
menyebar kepada objek – objek atau orang – orang lain. Pelecehan seksual dan
perkosaan dapat mengalami stres akibat pengalaman traumatis yang telah
dialaminya. Gangguang stres yang dialami korban pelecehan seksual dan
perkosaan seringkali disebut Gangguan Stress Pasca Trauma (PTSD).

PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan


emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stres fisik
maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, 1998).
PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian
“bencana” yang telah menimpa kita, PTSD juga dapat menyerang siapapun yang
telah mengalami kejadian traumatic dengan tidak memandang usia dan jenis
kelamin.

Dasarnya, pelecehan seksual adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan
seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat
negative, seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri,
kehilangan kesucian. Penulis menyebutkan dalam penelitian bahwa ada pendapat
lain menyebutkan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang
menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negative.

Lama korban merasakan dampak perkosaan

Perkosaaan merupakan perbuatan pelecehan seksual yang paling ekstrim. Rentang


pelecehan sekual sangat luas meliputi main mata, siulan nakal, komentar yang
berkonotasi seks, humor porno, cubitan, colekan, tepukan/sentuhan dibagian
tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat bersifat seksual, ajakan berkencan dan
beriming-iming atau ancaman, ajakan melkaukan hubungan seksual sampai
perkosaan.

Perkosaan adalah salah kejahatan paling keji. Dalam sejumlah kasus, korban
kehilangan nyawanya. Dalam banyak kasus lain, meski hidup, korban mungkin
akan merasakan dampak kejahatan itu seumur hidup. Masalah yang akan dihadapi
korban akan menjafi semakin rumit seadainya tertular HIV atau hamil. Bila
mengndung dari ssi pelaku perkosaan, secara hukum tetap tidak diijinkan
mengugurkan kandungan. Namun bila untuk memutuskan melahairkan tidak
mudah unutk menerima kenyataan bahwa bayi yang dilahirkannya adalah buah
perkosaan.

Demikian pula, tidak mudah bagi wanita yang hamil akibat perkosaan
memperoleh suami. Disejumlah kasus, korban akhirnya menikah dengan peaku
perkosaan. Bagaimnapun, tidaak mudah membangun bahteraa perkawnan dengan
seseorang yang pernah memperkosanya. Perkosaan adalah sesuatu yang mungkin
mempengaruhi hidup seseorang seumur hidup. Korban pelecehan seksual dan
korban perkosaan mengalami stress dengan tingkatan yang beda, karena peristiwa
pelecehan atau perkosaan merupakan peristiwa traumatis yan membekas sangat
dalam bagi korbannya.

Tipologi gejala PTSD

Seorang psikiater dijakarta yang bernama roan menyatakan trauma berarti cidera,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis dalam psikologi
diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa dilungkungan
seseorang yang mengalami batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau
menghindar. PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic,
ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu
setelah stress fisik maupun emosi yang melampuai batas ketahanan orang biasa.
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai
gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa
yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya, dalam kata lain peristiwa
trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia,
kecelakaan perang.

Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama, pengulangan
pengalaman dan trauma, ditunjukan dengan selalu teringat akan peristiwa
yang menyedihkan telah dialami itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa
yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-
kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang
berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
Kedua, penghindaran dan emosional yang dangkal ditunjukan dengan
menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua
hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga,
sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah
marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan
yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.

Gangguan sosial PTSD

PTSD memiliki gejala yang menyebabkan gangguan. Umumnya, gangguan


tersebut adalah panic attack, perilaku menghindar, depresi, membunuh pikiran
dan perasaan, merasa disisihkan dan sendiri, merasa tidak percaya dan dikhianati,
mudah marah, dan gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.
Anak/remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan
panic ketika dihadapkan/menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada
trauma. Serangan panic meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak
nyaman menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung
berdebar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing merasa
kedinginan, badan panas, mati rasa.

Perilaku menghindar, salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang
dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-kadang penderita
mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma,
padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah
dialami. Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga penderita takut untuk keluar
rumah dan harus ditemani orang lain jika harus keluar rumah.

Depresi, banyak orang yang menjadi depresi setelah mengalam pengalaman


trauma dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum
peristiwa trauma. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan
bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa peristiwa yang dialami merupakan
kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.

Membunuh pikiran dan perasaan, kadang-kadang orang yang depresi berat merasa
bahwa kehidupannya sudah tidak berharga. Hasil penelitian tersebut menjelaskan
bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.

Merasa disisihkan dan sendiri, penderita PTSD memerlukan dukungan dari


lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali memrasa sendiri dan terpisah.
Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan dengan
orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa
orang lain dapat memahami apa yang telah dia alami.

Merasa tidak percaya dan dikhianati, setelah mengalami pengalaman yang


menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan
merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau oleh Tuhan.

Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa penderita PTSD


mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di
sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan
mungkin menjadi sangat takut untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin
kkehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di
sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting agar permasalahan
tidak berkembang lebih lanjut.

Persepsi dan kepercayaan yang aneh, adalakanya seseorang yang telah mengalami
trauma yang menjengkelkan, seringkali untuk dapat mengembangkan ide atau
persepsi yang aneh. Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi dan
khayalan gejala itu bersifat sementara dan hilang dengan sendirinya.
Pengobatan PTSD

Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi
dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang
sudah dikenal. Terapi anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatic ini
masih controversial. Obat yang digunakan adalah benzodiazepine, litium,
camcolit dan zat pemblok beta seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin.

Pengobatan psikoterapi. Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah


PTSD percaya bahwa ada tiga psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk
penanganan PTSD dengan lebih baik melalui :

- Relaxtion training
- Breathing retraining
- Positive thinking
- Assertiveness training
- Thought stopping
ASUHAN KEPERAWATAN SEKSUAL ABUSE PADA PASIEN ANAK
Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
Masalah tidur ( misalnya tidak padat tidur atau tidur berlebihan, mimpi buruk, berjalan
saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negative, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat).
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya.
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol).
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut
(jika ada pelaku nya).
f. Melaporkan faktor stress (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola
hidup, perselisihan dalam pernikahan).
g. Perumusan terhadap objek/tidak percaya pada orang lain.
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter
4. Makan dan minum
Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan berlebihan, perubahan berat
badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai.
5. Hygiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah lakunya sangat agresif, sangat amuk dan menarik diri,
perilaku tidak sesuai dengan usia).
b. Status mental, memori tidak sadar, periode amnesia, laporan adanya pengingatan
kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang
dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban selamat).
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatic (nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastic kolon, sakit
kepala).
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiram air panas, rokok) ada
bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area
genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan
risiko tinggi.
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah.
9. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif, permainan
seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan kembali
pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual dapat
menganiaya anak lain nantinya.
b. Perdarahan vagina, laserasi hymen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (trauma pada anak).
10. Interaksi sosial
Pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang responsive, peningkatan penggunaan
perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal,
merasa rendah diri. Pencapaian restasi di sekolah rendah atau prestasi di sekolah
menurun.

Diagnosa Keperawatan
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan menjadi korban perkosaan seksual yang
dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan
persetujuan pribadi seseorang.
2. Ketidaknyamanan berhubungan dengan harga diri rendah.
3. Ansietas (Sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut
terhadap kegagalan, disfungsi sistem keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak
yang tidak memuaskan.

Intervensi

No. Diagnosa Tujuan perencanaan rasional


keperawatan
1. Sindrom trauma -Luka fisik anak -Berikan -wanita tahu anak
perkosaan akan sembuh tanpa komunikasi yang telah
berhubungan komplikasi dengan empat diperkosa secara
menjadi korban -Anak akan ucapan berikut seksual takut
perkosaan seksual mengalami resolusi pada korban terhadap
yang dilakukan berduka yanf sehat, perkosaan : saya kehidupannya dan
dengan memulai proses prihatin hal ini harus diyakini
menggunakan penyembuhan terjadi pada anda, kembai
kekuatan dan psikologis. anda aman disini, keamanannya.
berlawanan dengan saya senang anda
keinginan dan hidup, anda tidak
persetujuan pribadi bersalah (anda
seseorang. adalah korban, ini
bukan kesalahan
anda. Apapun
keputusan yang
anda buat pada
saat pengorbanan
adalah hak
seseorang karena
anda hidup).

-jelaskan setiap -untuk menurunkan


prosedur ketakutan atau
pengkajian yang ansietas dan untuk
akan dilakukan meningkatkan rasa
dan mengapa percaya.
dilakukan.

-pastikan bahwa -anak pasca trauma


anak memiliki sangat rentan.
privasi yang Penambahan orang
adekuat untuk dalam
semua intervensi lingkungannya
segera pasca meningkatkan
psikis. perasaan rentan ini
dan bertindak
meningkatkan
ansietas.

-dorong anak -mendengarkan


untuk menghitung dengan tidak
jumlah serangan menghakimi
kekeraasan memberikan
seksual. kesempatan untuk
Dengarkan, tetapi katarsis bahwa anak
tidak menyelidiki. perlu memulai
pemulihan.

-diskusikan -karena ansietas


dengan anak siapa berat dan rasa takut,
yang dapat anak mungkin
dihubung untuk membutuhkan
memberikan bantuan dari orang
dukungan atau lain selama periode
bantuan. Berikan segera pasca-krisis.
informasi tentang Berikan informasi
rujukan seteah rujukan tertulis
perawatan. untuk referensi
selanjutnya
(misalnya
psikoterapi, klinik
kesehatan jiwa,
kelompok pembela
masyarakat).
2. Ketidak berdayaan -anak mengenali dan -dalam -keamanan anak
berhubungan dengan menyatakan secara berkolaborasi merupakan prioritas
harga diri rendah verbal pilihan- dengan tim medis, keperawatan. foto
pilihan yang tersedia pastikan bahwa dapat digunkan
dengan demikian semua cedera fisik, sebagai bukti jika
merasakan beberapa fraktur, luka bakar tuntutan dilakukan.
kontrol terhadap mendapatkan
situasi kehidupan. perhatian segera,
mengambil foto
jika anak
mengijinkan
merupakan ide
yang baik.

-anak -bawa anak wanita -jika anak disertai


memperlihatkan tersebut kedalam dengan pria yang
control situasi area yang pribadi melakukan
kehidupan dengan untuk melakukan pelecehan seksual
membuat keputusan wawancara. pada anak,
tentang apa yang kemungkinan besar
harus dilakukan ia tidak jujur
berkenaan dengan sepenuhnya tentang
hidup bersama siklus cederanya atau
penganiayaan pengalaman
seksual. seksualnya.

-jika seorang anak -beberapa anak


wanita datang wanita berusaha
sendiri atau untuk menyimpan
beserta dengan rahasia tentang
orang tuanya, bagaimana cedera
pastikan tentang seksual yang
keselamatannya. diderita nya terjadi
Dorong untuk dalam usaha untuk
mendiskusikan melindungi orang
peristiwa tuanya atau
pemerkosaan yang saudaranya atau
telah dilakukan. karena mereka takut
Tanyakan bahwa orang tuanya
pertanyaan tentang atau saudaranya
apakah hal ini akan membunuh
telah terjadi mereka jika
sebelumnya. Jika menceritakan hal
pelaku kekerasan tersebut.
seksual minum
obat bius, jika
anak tersebut
memiliki tempat
yang aman untuk
pergi dan apakah
ia berminat dalam
tuntutan yang
mendesak.

-pastikan bahwa -membuat


usaha-usaha keputusan untuk
menyelamatkan dirinya sendiri
tidak diusahakan memberikan rasa
oleh perawat. control situasi
Berikan dukungan, kehidupannya
tetapi ingat bahwa sendiri.
keputusan akhir Memberikan
harus dibuat oleh penilaian dan
anak. nasehat adalah tidak
terapeutik.

3. Ansietas (Sedang -anak mampu -bentuk hubungan -kejujuran,


sampai berat) mempertahankan kepercayaan dengan ketersediaan dan
berhubungan dengan ansietas dibawah anak. Bersikap penerimaan
ancaman konsep diri, tingkat sedang, jujur, konsisten meningkatkan
rasa takut terhadap sebagaimana yang didalam berespon kepercayaan pada
kegagalan, disfungsi ditandai oleh tidak dan bersedia. hubungan anak
sistem keluarga dan adanya perilaku- Tunjukkan rasa dengan staf atau
hubungan antara orang perilaku yang tidak hormat yang positif perawat.
tua dan anak yang mampu dalam dan tulus.
tidak memuaskan. memberi respons
terhadap stress. -sediakan aktifitas- -tegangan dan
aktifitas yag ansietas dilepaskan
diarahkan pada dengan aman dan
penurunan tegangan dengan manfaat
dan pengurangan bagi anak melalui
ansietas. aktivitas-aktivitas
fisik.

-anjurkan anak -anak-anak vemas


untuk sering menolak
mengidentifikasikan hubungan antara
perasaan-perasaan masalah-masalah
yang sebenarnya emosi dengan
dan untuk ansietas mereka.
mengenali sensiri Gunakan
perasaan-perasaan mekanisme-
tersebut padanya. mekanisme
pertahanan projeksi
dan pemindahan
yang dilebih-
lebihkan.

-penggunaan -sebagaimana
sentuhan ansietas dapat
menyenangkan bagi membantu
beberapa anak. mengembangkan
Bagaimanapun juga kecurigaan pada
anak harus berhati- beberapa individu
hati terhadap yang dapat salah
penggunaanya. menafsirkan
sentuhan sebagai
suatu agresi.
ANALISIS JURNAL

1. Judul jurnal
Hubungan dukungan sosial dengan psychological well-being pada remaja korban sexual
abuse.

2. Kata kunci
Dukungan sosial, psychological well-being, remaja korban kekerasan seksual.

3. Penulis jurnal
-Suryani Hardjo, program studi Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Universitas
Medan Area.
- Eryanti Novita, program studi Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Universitas
Medan Area.

4. Latar belakang masalah


Masalah kejahatan adalah problem manusia yang merupakan suatu kenyataan
sosial dan produk dari masyarakat yang selalu mengalami perkembangan. Bahkan dapat
dikatakan bahwa usia kejahatan seumur dengan manusia karena dimana terdapat
masyarakat maka disitu terdapat kejahatan. Salah satu kejahatan yang terjadi dan sangat
merugikan serta meresahkan masyarakat.
Sexual abuse menjadi salah satu bahasan yang cukup menantang pada berbagai
permasalahan kehidupan saat ini. Permasalahan sexual abuse semakin banyak ditemui
dan dialami anak-anak dan permasalahan tersebut menimbulkan efek yang dapat
dirasakan pula sampai usia dewasa. Kajian klinis dengan dasar teoritis, didukung oleh
kalangan praktisi yang menangani kasus sexual abuse, perlu menyajikan berbagai
informasi yang mudah diakses tentang intervensi dan treatment untuk menangani kasus-
kasus tersebut. pedoman intervensi pelecehan seksual perlu diformat secara ringkas dan
konsisten sehingga mudah digunakan oleh praktisi dan professional yang tertarik
menangani kasus sexual abuse. Saat ini penelitian yang mengeksplorasi anak-anak
korban kekerasan seksual tergolong cukup banyak.

5. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
dukungan sosial dengan psychological well-being pada remaja kekerasan seksual.

6. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya adalah
berupa angka-angka yang akan dianalisis dengan metoda statistika tertentu untuk
membuktikan hipotesis yang diajukan. Populasi penelitian adalah remaja korban sexual
abuse di kabupaten Langkat yang diketahui berjumlah 32 orang berdasarkan data yang
diperoleh dari P2TP2A Langkat. Sementara itu, teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah total sampling yaitu seluruh anggota populasi dijadikan sampel
penelitian.
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan skala psikologi. Skala
psikologi merupakan pengumpulan data yang menggunakan daftar pertanyaan yang
menggunakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada subjek agar dapat mengungkap
aspek-aspek psikologis yang ingin diketahui.
Analisa terhadap data penelitian yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan teknik
analisa korelasi pearson product moment, dengan tujuan utama yakni ingin melihat
hubungan antara dukungan sosial dengan psychological-well being. Sebelum dilakukan
analisa data dengan menggunakan teknik analisa pearson product moment, maka terlebih
dahulu dilakukan uji asumsi normalitas dan liniertas.

7. Hasil penelitian
Berdasarkan hasil perhitungan analisis korelasi pearson product moment, dapat diketahui
bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dan
psychological well-being (rxy = 0,679 ; p < 0,050). Temuan ini mengindikasikan bahwa
semakin tinggi dukungan sosial maka akan semakin tinggi psychological well-being,
sebaliknya semakin redah dukungan sosial maka akan semakin rendah psychological
well-being. Dengan demikian maka hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini
dinyatakan diterima.
Koefisien determinan (r2) dari hubungan di atas adalah sebesar r2 = 0,461. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi dukungan sosial terhadap
psychological well-being adalah sebesar 46,1 % sementara sisanya (53,9 %) dipengaruhi
oleh variable lain yang diteliti dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Pasalbessy, John. 2010. Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Serta
Solusinya.
Hardjo, Suryani. Dkk. 2017. Hubungan Dukungan Sosial dengan Psychological Well-Being
Remaja Korban Sexual Abuse. Medan : Universitas Medan Area.
Gunawan. 2015. Asuhan Keperawatan Sexual Abuse. Pekalongan : Universitas Pekalongan.
Omarsari, SD. Dkk. 2008. Kehamilan Pranikah Remaja di Kabupaten Sumedang. Depok :
Kesmas : National Public Health.
Wardhani, YF. Dkk. 2007. Gangguan Pasca Trauma pada Korban Pelecehan Seksual dan
Perkosaan. Surabaya : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistim dan Kebijakan Kesehatan.
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental (Konsep, Cangkupan, dan Perkembangannya). Yogyakarta :
Penerbit ANDI.

Anda mungkin juga menyukai