KEPERAWATAN MATERNITAS 2
TINDAK KEKERASAN TERHADAP WANITA
Disusun oleh :
- ALDIS ANNISA T ( 2016-0303-012 )
- LISTIA HANDAYANI ( 2016-0303-072)
Gender merupakan suatu wacana dan gerakan mencapai kesetaraan posisi dan
peran antara laki-laki dan perempuan yang hingga saat ini masih menjadi fenomena
terkini. Respons dan pendapat bermunculan, mulai dari mendukung, menolak, menerima
sebagai wacana teoritis. Kondisi mendukung dan menolak bukan hanya dilakukan oleh
laki-laki tetapi juga perempuan. Walaupun permasalahan gender ini biasanya identik
dengan ketidakadilan bagi perempuan dan anak, tetapi secara mengejutkan justru para
perempuan dan anak banyak menerima kondisi ketidakadilan itu sebagai suatu kondisi
yang seharusnya diterima. Problem ketidakadilan itu berujung pada bentuk kekerasan,
pelecehan, dan tindakan menusiawikan seperti penganiayaan dan lain sebagainya.
Kekerasan terhadap perempuan ini dan kekerasan pada anak yang menjadi sorotan
tulisan ini dan lokusnya dalam rumah tangga banyak sekali dipublikasikan melalui media.
Dewasa ini, kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat mencemaskan banyak
kalangan seperti kalangan yang peduli terhadap perempuan itu sendiri.
B. Uraian
Materi : tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak serta solusinya.
Apa itu kekerasan?
Kekerasan merupakan sebuah terminology yang sarat dengan arti dan makna
“derita”, baik dikaji dari perspektif psikologik maupun hukum, bahwa di
dalamnya terkandung perilaku manusia yang dapat menimbulkan penderitaan bagi
orang lain.
Kekerasan yang telah, sementara bahkan mungkin akan dialami oleh bangsa
Indonesia selama ini merupakan masalah sosial dan kemanusiaan yang perlu
mendapat perhatian. Di mana-mana kini berjatuhan korban tindak kekerasan yang
umumnya kalangan perempuan dan kalangan anak-anak.
Physical abuse (perlakuan salah secara fisik), adalah ketika anak mengalami
pukulan, tamparan, gigitan, pembakaran, atau kekerasan fisik lainnya. Physical
abuse biasanya berlangsung dalam waktu yang lama.
Emotional abuse (perlakuan salah secara emosi) adalah ketika anak secara
teratur diancam, diteriaki, dipermalukn, diabaikan, disalahkan atau salah
penanganan secara emosional lainnya, seperti membuat anak menjadi lucu,
memanggil namanya dan selalu dicari-cari kesalahannya adalah bentuk dari
emosional abuse. Atau terjadi bila orang dewasa mengacuhkan, meneror,
menyalahkan, mengecilkan dan sebagainya yang membuat anak merasa
inkonsisten dan tidak berharga.
Gejala-Gejala Abuse
APA Public Interest Initiatives (2002) dan Hwang (1999) menyebutkan gejala-
gejala atau tanda-tanda terjadinya abuse antara lain :
- Gambaran diri yang buruk
- Sexual acting out
- Tingkah laku agresif, mengganggu, dan kadang-kadang illegal
- Marah dan gusar, atau perasaan-perasaan kesedihan atau gejala-gejala lain
yang merupakan tanda depresi
- Tingkah laku merusak diri atau menyalahgunakan diri sendiri, pikiran-pikiran
bunuh diri
- Kecemasan atau ketakutan, atau terkenang pengalaman masa lalu dan mimpi
buruk
- Masalah-masalah atau kegagalan-kegagalan sekolah
- Penyalahgunaan obat dan alkohol
- Terluka/terpotong dan memar-memar
- Patah tulang atau luka-luka dalam
Solusi pemecahannya
Tampaknya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah
interdisipliner, baik politis, sosial, budaya, ekonomis maupun aspek lainnya.
Diakui bahwa tindk kekerasan akan banyak terjadi, dimana ada kesenjangan
ekonomis antara laki-laki dan perempuan, penyelesaian konflik dengan kekerasan,
dominasi laki-laki dan ekonomi keluarga serta pengambilan keputusan yang
berbasis pada laki-laki. Sebaliknya, jika perempuan memiliki kekuasaan di luar
rumah, maka intervensi masyarakat secara aktif disamping perlindungan dan
control sosial yang kuat memungkinkan perempuan dan anak menjadi korban
kekerasan semakin kecil.
Dari berbagai pengalaman selama ini, maka solusi terhadap penanggulangan
tindak kekerasan terhadap perempuan mesti mencangkup hal-hal sebagai berikut :
a. Meningkatkan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di dalam
hukum melalui latihan dan penyuluhan.
b. Meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk
mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik di dalam
konteks individual, sosial maupun institusional.
c. Meningkatkan kesadaran penegak hukum agar bertindak cepat dalam
mengatasi kekerasan terhadap perempuan maupun anak.
d. Bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan
anak.
e. Melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak yang
dilakukan secara sistematis dan didukung oleh karingan yang mantap.
f. Pembaharuan hukum teristimewa perlindungan korban tindak kekerasan yang
dialami oleh perempuan dan anak-anak serta kelompok yang rentang atas
pelanggaran HAM.
g. Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif guna menanggulangi
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
h. Bagi anak-anak diperlukan perlindungan baik sosial, ekonomi maupun hukum
bukan saja dari orang tua, tetapi semua pihak, termasuk masyarakat dan
Negara.
i. Membentuk lembaga penyantum korban tindak kekerasan dengan target
khusus kaum perempuan dan anak untuk diberikan secara Cuma-Cuma dalam
bentuk konsultasi, perawatan medis maupun psikologis.
j. Meminta media massa (cetak dan elektronik) untuk lebih memperhatikan
masalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam
pemberitaanya, termasuk memberi pendidikan pada public tentang hak-hak
asasi perempuan dan anak-anak.
2. Faktor eksternal
a. Lingkungan luar
Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan
terhadap anak, diantaranya seperti kondisi lingkungan yang
buruk,terdapat sejarah penelantaran anak, dan tingkat kriminalitas
yang tinggi di dalam lingkungan tersebut.
b. Media massa
Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa telah
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dan media ini tentu
pula mempengaruhi penerimaan konsep, sikap, nilai, dan pokok moral.
Seperti hal nya dalam media cetak menyediakan berita-berita tentang
kejahatan, kekerasan, dan pembunuhan. Kemudian media lain seperti
media elektronik, radio, televisi, video, kaset dan film sangat
mempengaruhi perkembangan kejahatan yang menampilkan adegan
kekerasan, menayangkan film action dengan adegan perkelahian di
dalamnya, acara berita yang berbau kriminal, penganiayaan, kekerasan
dan bahkan pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada dasarnya
media massa ini memiliki fungsi yang positif, namun kadang dapat
menjadi negative jika kita salah menempatkan fungsi tersebut.
c. Budaya
Budaya masih menganut praktek-praktek dengan pemikiran bahwa
status anak yang dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat
memenuhi harapan orangtua maka anak harus dihukum. Misal, bagi
anak laki-laki adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak laki-laki
tidak boleh cengeng atau anak laki-laki harus tahan uji. Pemahaman
itu mempengaruhi dan membuat orang tua ketika memukul,
menendang, atau menindas anak adalah suatu hal yang wajar untuk
menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah.
Manifestasi klinik
Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi
Fenomenologi”, dampak seksual abuse adalah :
a. Gangguan perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-
hari.
b. Gangguan kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak focus
ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
c. Gangguan emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana
hati serta menyalahkan diri sendiri
Penatalaksanaan
Menurut suda (2006) ada beberapa model program konseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami kekerasan seksual, yaitu :
a. The dynamics of sexual abuse.
Artinya terapi difokuskan pada pengemban konsepsi. Pada kasus tersebut
kesalahan dan tanggung jawab berada pada pelaku bukan pada korban. Anak
dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
b. Protective behaviors counseling
Artinya anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentananya
sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi, berkata tidak
terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diingnkan, menjauh secepatnya dari
orang yang kelihatan sebagai abusive person, melaporkan pada orang tua atau
orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah.
c. Survivolself-esteem counseling
Artinya menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka
sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan dalam
menghadapi masalah sexual abuse.
d. Cognitif terapy
Artinya konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-peraaan seseorang
mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-
pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-ulang.
Pada penelitian ini, di Indonesia sekitar 10 % fertilitas terjadi pada remaja dengan
usia 15-19 tahun telah mempunyai anak sebelum mencapai usia 20 tahun.
Menurut Pusat studi kriminologi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta
menemukan 26,35 % dari 864 pernikahan telah melakukan hubungan seksual
sebelum menikah/pranikah dan sekitar 50 % menyebabkan kehamilan. Menurut
Survey BKKBN dan LDFE-UI pada tahun 2000, menemukan sekitar 11 %
kelahiran di Indonesia, terjadi pada usia remaja dan sekitar 43 % melahirkan anak
pertama kurang dari 9 bulan sejak tanggal pernikahan mereka. Kehamilan pada
remaja ini berhubungan erat dengan mempraktikan hubungan seksual pranikah
dini.
Kehamilan dan menjadi orang tua pada usia remaja berisiko kesulitan persalinan
bahkan kematian serta risiko psikologis menjadi ibu tunggal, perkawinan
bermasalah, rasa malu, rendah diri, bersalahh atau berdosa, depresi, pesimis.
Tanpa penanganan yang baik hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan
kejiwaan dan risiko sosial berhenti atau dikeluarkan dari sekolah. Selain itu risiko
ekonomi meliputi kebutuhan biaya perawatan kehamilan, melahirkan dan
membesarkan anak.
Penulis menyebutkan, pada penelitian ini menemukan bahwa usia remaja ketika
hamil pertama berada pada kisaran 13-19 tahun dengan rata-rata usia ketika hamil
17,38 tahun. Di Yogyakarta, sekitar 60 % remaja pernah berhubungan seksual dan
rata-rata remaja berhubungan seksual pertama kali pada usia 17 tahun. SDKI
2002-2003 mengindikasikan bahwa 10 % wanita berusia 15-19 tahun telah
memiliki anak, 8 % sudah melahirkan dan 2 % sedang hamil anak pertama.
UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 menyataka anak adalah seorang yang
belum berusia 18 tahun. Bertitik mengacu pada UU No. 23 Tahun 2002 peneliti
mengelompokan usia ketika hamil ke dalam dua kategori, yang pertama usia <18
tahun dan usia > 18 tahun. Dari hasil penelitian diperoleh remaja yang berusia
<18 tahun sebesar 50,5 % dari jumlah tersebut 48,1 % hamil pranikah. Sedangkan
remaja yang berusia >18 tahun yang mengalami kehamilan pranikah sebesar 32,7
%. Usia ketika hamil mempunyai hubungan yang signifikan dengan kehamilan
remaja dimana responden yang berusia < 18 tahun memiliki risiko kehamilan
pranikah 1,90 kali dibandingkan dengan responden yang berusia > 18 tahun. Usia
remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa karena
perkembangan hormonalnya maka timbul rangsangan seksual dari dalam diri
remaja. Sementara lingkungan di sekitar mendorong remaja untuk menyelidiki
bahkan mepraktekan. Pada akhirnya, remaja putri yang hamil harus menanggung
akibatnya.
Usia Menarche
Wanita yang telah mengalami menstruasi dapat hamil karena fungsi reproduksi
sudah terpenuhi, sel telur sudah matang dan sudah bisa dibuahi meskipun kondisi
anatomis dari panggulnya yang belum matang.
Dari penelitian ini didapatkan usia menarche pada responden yang kurang dari 12
tahun berjumlah 62 orang, 29 orang mengalami kehamilan pranikah dan dari 152
yang mengalami pertama kali haid diatas 12 tahun, 56 orang mengalami
kehamilan pranikah. Penulis menyebutkan nilai OR = 1,44 yang berarti bahwa
responden yang mengalami menarche < 12 tahun memiliki risiko 1,44 kali
mengalami kehamilan pranikah dibandingkan dengan yang mengalami menarche
pada usia > 12 tahun tetapi tidak bermakna secara statistic. Keadaan tersebut
menggambarkan bahwa semakin dini usia pertama kali haid kemungkinan
terjadinya kehamilan pranikah juga tinggi.
Frekuensi pacaran
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden yang menerima pola asuh yang
permisif dan otoriter 116 orang dari jumlah tersebut 61 orang responden
mengalami kehamilan pranikah sedangkan responden dengan pola asuh
demokratis sebanyak 94 orang dari jumlah trsebut 24 orang mengalami kehamilan
prranikah. Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan kehamilan
usia remaja. Responden dengan pola asuh permisif dan otoriter berpeluang
mengalami kehamilan pranikah 3,23 kali dibandingkan dengan responden dengan
pola asuh yang demokratis.
Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat para ahli bahwa pola asuh yang
otoriter perilaku anak akan cenderung mudah terpengaruh dan tidak mempunyai
arah masa depan yang jelas. Pola asuh yang permisif perilaku anak akan
cenderung bersikap impulsive dan agresif, suka memberontak, dan tidak jelas arah
hidupnya.
Dasarnya, pelecehan seksual adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan
seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat
negative, seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri,
kehilangan kesucian. Penulis menyebutkan dalam penelitian bahwa ada pendapat
lain menyebutkan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang
menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negative.
Perkosaan adalah salah kejahatan paling keji. Dalam sejumlah kasus, korban
kehilangan nyawanya. Dalam banyak kasus lain, meski hidup, korban mungkin
akan merasakan dampak kejahatan itu seumur hidup. Masalah yang akan dihadapi
korban akan menjafi semakin rumit seadainya tertular HIV atau hamil. Bila
mengndung dari ssi pelaku perkosaan, secara hukum tetap tidak diijinkan
mengugurkan kandungan. Namun bila untuk memutuskan melahairkan tidak
mudah unutk menerima kenyataan bahwa bayi yang dilahirkannya adalah buah
perkosaan.
Demikian pula, tidak mudah bagi wanita yang hamil akibat perkosaan
memperoleh suami. Disejumlah kasus, korban akhirnya menikah dengan peaku
perkosaan. Bagaimnapun, tidaak mudah membangun bahteraa perkawnan dengan
seseorang yang pernah memperkosanya. Perkosaan adalah sesuatu yang mungkin
mempengaruhi hidup seseorang seumur hidup. Korban pelecehan seksual dan
korban perkosaan mengalami stress dengan tingkatan yang beda, karena peristiwa
pelecehan atau perkosaan merupakan peristiwa traumatis yan membekas sangat
dalam bagi korbannya.
Seorang psikiater dijakarta yang bernama roan menyatakan trauma berarti cidera,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis dalam psikologi
diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa dilungkungan
seseorang yang mengalami batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau
menghindar. PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic,
ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu
setelah stress fisik maupun emosi yang melampuai batas ketahanan orang biasa.
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai
gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa
yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya, dalam kata lain peristiwa
trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia,
kecelakaan perang.
Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama, pengulangan
pengalaman dan trauma, ditunjukan dengan selalu teringat akan peristiwa
yang menyedihkan telah dialami itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa
yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-
kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang
berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
Kedua, penghindaran dan emosional yang dangkal ditunjukan dengan
menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua
hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga,
sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah
marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan
yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.
Perilaku menghindar, salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang
dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-kadang penderita
mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma,
padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah
dialami. Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga penderita takut untuk keluar
rumah dan harus ditemani orang lain jika harus keluar rumah.
Membunuh pikiran dan perasaan, kadang-kadang orang yang depresi berat merasa
bahwa kehidupannya sudah tidak berharga. Hasil penelitian tersebut menjelaskan
bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
Persepsi dan kepercayaan yang aneh, adalakanya seseorang yang telah mengalami
trauma yang menjengkelkan, seringkali untuk dapat mengembangkan ide atau
persepsi yang aneh. Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi dan
khayalan gejala itu bersifat sementara dan hilang dengan sendirinya.
Pengobatan PTSD
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi
dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang
sudah dikenal. Terapi anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatic ini
masih controversial. Obat yang digunakan adalah benzodiazepine, litium,
camcolit dan zat pemblok beta seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin.
- Relaxtion training
- Breathing retraining
- Positive thinking
- Assertiveness training
- Thought stopping
ASUHAN KEPERAWATAN SEKSUAL ABUSE PADA PASIEN ANAK
Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
Masalah tidur ( misalnya tidak padat tidur atau tidur berlebihan, mimpi buruk, berjalan
saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negative, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat).
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya.
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol).
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut
(jika ada pelaku nya).
f. Melaporkan faktor stress (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola
hidup, perselisihan dalam pernikahan).
g. Perumusan terhadap objek/tidak percaya pada orang lain.
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter
4. Makan dan minum
Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan berlebihan, perubahan berat
badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai.
5. Hygiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah lakunya sangat agresif, sangat amuk dan menarik diri,
perilaku tidak sesuai dengan usia).
b. Status mental, memori tidak sadar, periode amnesia, laporan adanya pengingatan
kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang
dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban selamat).
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatic (nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastic kolon, sakit
kepala).
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiram air panas, rokok) ada
bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area
genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan
risiko tinggi.
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah.
9. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif, permainan
seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan kembali
pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual dapat
menganiaya anak lain nantinya.
b. Perdarahan vagina, laserasi hymen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (trauma pada anak).
10. Interaksi sosial
Pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang responsive, peningkatan penggunaan
perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal,
merasa rendah diri. Pencapaian restasi di sekolah rendah atau prestasi di sekolah
menurun.
Diagnosa Keperawatan
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan menjadi korban perkosaan seksual yang
dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan
persetujuan pribadi seseorang.
2. Ketidaknyamanan berhubungan dengan harga diri rendah.
3. Ansietas (Sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut
terhadap kegagalan, disfungsi sistem keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak
yang tidak memuaskan.
Intervensi
-penggunaan -sebagaimana
sentuhan ansietas dapat
menyenangkan bagi membantu
beberapa anak. mengembangkan
Bagaimanapun juga kecurigaan pada
anak harus berhati- beberapa individu
hati terhadap yang dapat salah
penggunaanya. menafsirkan
sentuhan sebagai
suatu agresi.
ANALISIS JURNAL
1. Judul jurnal
Hubungan dukungan sosial dengan psychological well-being pada remaja korban sexual
abuse.
2. Kata kunci
Dukungan sosial, psychological well-being, remaja korban kekerasan seksual.
3. Penulis jurnal
-Suryani Hardjo, program studi Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Universitas
Medan Area.
- Eryanti Novita, program studi Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Universitas
Medan Area.
5. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
dukungan sosial dengan psychological well-being pada remaja kekerasan seksual.
6. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya adalah
berupa angka-angka yang akan dianalisis dengan metoda statistika tertentu untuk
membuktikan hipotesis yang diajukan. Populasi penelitian adalah remaja korban sexual
abuse di kabupaten Langkat yang diketahui berjumlah 32 orang berdasarkan data yang
diperoleh dari P2TP2A Langkat. Sementara itu, teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah total sampling yaitu seluruh anggota populasi dijadikan sampel
penelitian.
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan skala psikologi. Skala
psikologi merupakan pengumpulan data yang menggunakan daftar pertanyaan yang
menggunakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada subjek agar dapat mengungkap
aspek-aspek psikologis yang ingin diketahui.
Analisa terhadap data penelitian yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan teknik
analisa korelasi pearson product moment, dengan tujuan utama yakni ingin melihat
hubungan antara dukungan sosial dengan psychological-well being. Sebelum dilakukan
analisa data dengan menggunakan teknik analisa pearson product moment, maka terlebih
dahulu dilakukan uji asumsi normalitas dan liniertas.
7. Hasil penelitian
Berdasarkan hasil perhitungan analisis korelasi pearson product moment, dapat diketahui
bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dan
psychological well-being (rxy = 0,679 ; p < 0,050). Temuan ini mengindikasikan bahwa
semakin tinggi dukungan sosial maka akan semakin tinggi psychological well-being,
sebaliknya semakin redah dukungan sosial maka akan semakin rendah psychological
well-being. Dengan demikian maka hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini
dinyatakan diterima.
Koefisien determinan (r2) dari hubungan di atas adalah sebesar r2 = 0,461. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi dukungan sosial terhadap
psychological well-being adalah sebesar 46,1 % sementara sisanya (53,9 %) dipengaruhi
oleh variable lain yang diteliti dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Pasalbessy, John. 2010. Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Serta
Solusinya.
Hardjo, Suryani. Dkk. 2017. Hubungan Dukungan Sosial dengan Psychological Well-Being
Remaja Korban Sexual Abuse. Medan : Universitas Medan Area.
Gunawan. 2015. Asuhan Keperawatan Sexual Abuse. Pekalongan : Universitas Pekalongan.
Omarsari, SD. Dkk. 2008. Kehamilan Pranikah Remaja di Kabupaten Sumedang. Depok :
Kesmas : National Public Health.
Wardhani, YF. Dkk. 2007. Gangguan Pasca Trauma pada Korban Pelecehan Seksual dan
Perkosaan. Surabaya : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistim dan Kebijakan Kesehatan.
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental (Konsep, Cangkupan, dan Perkembangannya). Yogyakarta :
Penerbit ANDI.