Kecilnya sumbangan efektif dukungan sosial ayah terhadap penyesuaian sosial remaja
laki-laki menunjukkan bahwa selain faktor dukungan sosial ayah, ada beberapa faktor lain yang
mempengaruhi kemampuan sosial remaja. Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan penyesuaian sosial remaja terbagi dalam dua kelompok yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal mencakup rasa aman, ciri pribadi, penerimaan diri, dan
masyarakat dan budaya. Dukungan sosial ayah yang hanya 6,5% terhadap penyesuaian sosial
remaja ini karena pada masa remaja peran teman sebaya lebih penting dalam membentuk pola-
pola tingkah laku dan sikap sosialnya seperti orang dewasa. Hal ini terjadi karena dalam
perkembangan sosial remaja terjadi adanya dua macam gerak, yaitu gerak memisahkan diri dari
orangtua dan yang lain adalah gerak menuju ke arah teman sebaya (Mönks dkk., 1999).
Menurut Martaniah (1982), besarnya peran teman sebaya pada masa remaja ini
disebabkan remaja menyadari tekanan-tekanan sosial dan perlunya mengadakan hubungan sosial,
sehingga ia harus lebih banyak melakukan aktivitas dengan teman sebayanya. Selain itu,
penerimaan dari teman-teman sebaya merupakan hal penting bagi remaja, karena pada masa ini
terjadi perubahan orientasi hubungan individu dari keluarga ke lingkungan yang lebih luas yang
merupakan kebutuhan dalam setiap individu, sehingga hubungan remaja dan orangtua menjadi
dapat menyebabkan banyak distres. Obesitas dapat mengurangi harga diri dan menyebabkan
masalah emosional. Hal ini terutama terjadi pada perempuan. Anak perempuan obesitas lebih
rentan terhadap gangguan psikologis. Salah satu gangguan psikologis tersebut yaitu stres. Stres
adalah suatu keadaan yang muncul akibat ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima
dan kemampuan untuk mengatasinya. Daya tahan stres setiap orang dapat berbeda tergantung
pada keadaan somato psikososial. Masa remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak ke
masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan
sosial.
Menurut WHO remaja adalah anak yang telah berumur 10-19 tahun. SMA Negeri 1
Wonosari salah satu SMA di Kabupaten Klaten. Data awal yang diperoleh dari SMA Negeri 1
Wonosari, terdapat para siswa obesitas sebanyak 80 orang (8,4%) yang terdiri atas 37 orang
(3,9%) remaja putra obesitas dan 43 orang (4,5%) remaja putri obesitas dari jumlah keseluruhan
siswa yaitu 960 orang. Obesitas pada siswa laki-laki dan perempuan di SMA Negeri 1 Wonosari
dikaitkan dengan kejadian stres belum pernah diteliti. Didapatkan p-value sebesar 0,001 yang
berarti p<0,05, artinya terdapat perbedaan yang signifikan kejadian stress antara remaja putra
dengan remaja putri obesitas di SMA Negeri 1 Wonosari, Klaten. Kesimpulannya Kejadian stres
pada remaja putra obesitas lebih rendah dibandingkan dengan remaja putri obesitas di SMA
Dilansir dari Telegraph, survei ini fokus pada efek media sosial terhadap citra diri remaja. Di
mana ditemukan, media sosial berbagi foto dan video ini memberikan pengaruh besar pada citra
remaja terkait bentuk tubuhnya, waktu tidur, hingga memicu kecemasan sosial atau disebut
sebagai fear of missing out (FOMO).
Dibalik dampak buruk tersebut, Instagram juga memiliki nilai positif, yaitu bisa membantu para
remaja mengekspresikan diri serta menemukan identitas dirinya. Survei ini melibatkan 1.479
responden remaja berusia 14 hingga 24 tahun. Mereka diminta untuk menilai media sosial yang
mereka gunakan dan efeknya terhadap kecemasan, kesepian dan pembentukan komunitas.
Dibandingkan Instagram, survei ini menunjukkan bahwa media sosial lainnya yaitu YouTube,
Twitter, Facebook dan Snapchat mendapatkan nilai yang lebih positif. Organisasi kesehatan ini
pun menyarankan setiap media sosial membuat pop up peringatan berupa penggunaan efek
media sosial jika digunakan berlebihan.
“Platform media sosial itu mestinya membantu remaja saling terhubung satu sama lain, tapi juga
berpotensi memicu terjadi gangguan atau krisis kejiwaan,” tulis laporan yang dibuat oleh The
Royal Society for Public Health. [ CITATION Dia17 \l 1033 ]
JAKARTA - Kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh seorang pedofilia tengah marak
terjadi. Bahkan, menurut data KPAI, terdapat kasus kekerasa anak sebanyak 21.689.797 selama
empat tahun belakangan ini.
Untuk itu, ketua aksewari asosiasi kesehatan jiwa anak dan remaja, Dr Suzy Yusna Dewi
menjelaskan ciri-ciri pedofilia. Menurutnya, pedofil umumnya dilakukan oleh seorang pria dan
tidak memiliki ciri fisik secara khusus.
"Pedofil nggak ada ciri khusus atau tampilannya. Tapi mereka punya hubungan terbatas sama
teman. Dia lebih tertutup dari orang di sekitarnya. Memiliki karakter bekas korban, menjadikan
anak-anak sebagai korban kekerasan mereka. Biasanya mereka akan mencari korbannya anak
tertentu atau gender tertentu," papar Suzy dalam seminar 'Deteksi Dini dan Penanganan Terkini
Kekerasan Seksual pada Anak', di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, Jakarta, Kamis
(22/10/2015).
Tidak hanya itu, seorang pedofilia juga kerap berbicara mengenai atau memperlakukan anak
kecil seperti orang dewasa.
"Mereka menggunakan tips dan trik berbagai cara agar anak-anak tertarik dengannya. Termasuk
salah satunya dengan mengeluarkan materi," ujarnya.
Pedofilia juga biasanya terlihat sopan, hangat dengan anak, dekat dengan anak, memiliki banyak
gambar anak-anak di rumahnya dan kerap melakukan kegiatan bersama anak.
"Pedofil akan terampil sekali dalam memanipulasi anak.Bahkan lebih sering berinteraksi dengan
anak-anak dan tidak melibatkan orang dewasa, kerap fotoin anak, mengkoleksi erotika anak,"
kata dia.
Untuk itu, Suzy pun mengimbau agar para orang tua lebih memperhatikan buah hati.
Menurutnya, memperhatikan perubahan anak dan mengenali lingkungan sekitar dapat menjadi
salah satu cara melindungi anak dari pedofilia.
"Orang tua harus lebih banyak waktu sama anak. Harus lebih peka sama anak. Karena terkadang
anak sudah memberikan tanda, sudah depresi tapi orang tua tidak mengetahui itu dan jangan lupa
orang tua harus mengenali ciri-ciri pedofilia dan mengenali lingkungan sekitar," tandasnya.
[ CITATION Dia15 \l 1033 ]
BIBLIOGRAPHY
Dyah Kurnia Fitri, R. M. (2012). Perbedaan Kejadian Stres Antara Remaja Putra dan
Putri dengan Obesitas di SMA Negeri 1 Wonosari, Klaten. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah .
Orthorita Putri Maharani, B. A. (2003). Hubungan Antara Dukungan Sosial Ayah dengan
Rafikasari, D. (2017). Waduh Instagram Picu Masalah Kesehatan Jiwa Para Remaja.
Jakarta .