Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang

menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyeabkan turunnya kekebalan tubuh

manusia. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala

penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi HIV.

(Kemenkes RI, 2016). Menurut Lindsay dan Yudin (2006), penularan virus HIV bisa

melalui darah, semen, transmisi vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke janin yang

dikandungnya, menggunakan jarum suntik atau alat lain selama melakukan narkoba,

hubungan seksual tanpa perlindungan dengan banyak pasangan, hubungan seksual tanpa

perlindungan dengan pasangan yang positif HIV, hubungan seksual tanpa perlindungan

dengan pasangan yang berasal dari daerah epidemi HIV, dan hubungan seksual tanpa

perlindungan dengan pasangan gaya hidup yang berisiko tinggi untuk terjangkit HIV.

Berdasarkan data statistik amFar (2018), di Asia Pasifik di tahun 2017, sekitar

280.000 orang di Asia Pasifik menjadi terinfeksi HIV, sehingga jumlah orang yang

hidup dengan HIV di menjadi 5,2 juta orang dan yang telah menjadi AIDS sebanyak.

170.000 jiwa. Selain itu, di Negara Filipina mengalami peningkatan 173% infeksi HIV,

antara tahun 2010 dan 2017. Dari 630.000 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia,

hanya 14% orang dewasa dan 25% anak-anak yang mendapatkan pengobatan. Akses

yang kurang terhadap pengobatan telah memicu peningkatan 70% kematian terkait

AIDS sejak 2010.

1
2

Setiap 25 menit di Indonesia, terdapat satu orang baru terinfeksi HIV. Satu dari

setiap lima orang yang terinfeksi di bawah usia 25 tahun. Laporan Kementerian

Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa tanpa percepatan program penanggulangan

HIV, lebih dari setengah juta orang di Indonesia akan positif HIV pada tahun 2014.

Epidemi tersebut terutama dipicu oleh penularan secara seksual dan penggunaan

narkoba suntik. Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), Jakarta dan Bali menduduki

tempat teratas untuk tingkat kasus HIV baru per 100.000 orang. (UNICEF, 2012)

Menurut data Kemenkes RI (2016), pola penularan HIV menurut jenis kelamin

hampir sama selama beberapa tahun terakhir yaitu lebih banyak terjadi pada kelompok

laki-laki dibandingkan kelompok perempuan. Namun sekarang, kecenderungan infeksi

HIV pada perempuan dan anak meningkat dan diperlukan berbagai upaya untuk

mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi, antara lain dengan program Provider

Initiated Test and Counselling (PITC) yang didirikan WHO sejak 2007. PITC adalah

program pencegahan penularan dari ibu pengidap HIV ke bayi yang dikandungnya

dengan cara mendeteksi dini melalui konseling dan tes HIV. PITC dan tes HIV sukarela

dilaksanakan dilayanan kesehatan dasar salah satunya di puskesmas, dilakukan di

poliklinik KIA/KB dengan sasaran ibu hamil.

Keikutsertaan ibu hamil dalam melakukan tes HIV harus didukung oleh

berbagai sarana dan prasarana pelayanan kesehatan. Sama seperti yang disampaikan oleh

penelitian di Kabupaten Merauke. Di dalam penelitian tersebut, Ibu hamil yang

mendapat pelayanan Antenatal Care (ANC) sesuai standar dan memiliki pengetahuan

HIV yang cukup memengaruhi keikutsertaan dan penerimaan untuk tes dan konseling

secara sukarela. Keikutsertaan tes HIV dipengaruhi oleh akses informasi, manfaat yang

dirasakan, rekomendasi petugas kesehatan, kerentanan yang dirasakan, pendidikan dan


3

pengetahuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wenny, et al (2016) yang

dilakukan di Puskesmas Matrijeron, Puskesmas Umbulharjo I dan Puskesmas Tegalrejo,

tes HIV yang dijalani responden adalah melalui program tes dan konseling inisiatif

petugas kesehatan (TKIP) yang diakukan pada kunjungan pertama ibu hamil ke

puskesmas. Meskipun hampir semua responden mengikuti tes HIV karena telah

dimasukkan kedalam program, jika dilihat dari pengetahuan dan persepsi responden

seperti persepsi kerentanan, keparahan, manfaat maupun hambatan masih cukup banyak

yang salah mengenai HIV dan tes HIV. Persepsi yang tidak terlalu tinggi ini dipengaruhi

oleh pengetahuan yang dimiliki responden, hal ini disebabkan karena peran tenaga

kesehatan yang masih minim dalam mengedukasi tentang tes HIV pada ibu hamil.

Di Indonesia, pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tantang HIV/AIDS. Seperti kebijakan dari Kementrian Kesehatan RI yang

mengeluarkan Permenkes No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS,

UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang tugas Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Hal

tersebut selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs), yang salah satu

targetnya adalah untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan di segala usia pada target

nomor lima. (SDGs, 2018)

Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan Republik Indonesia juga

telah menerbitkan program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tahun 2012

sebagai suatu bentuk pengendalian penularan HIV/AIDS, menurunkan kasus serendah

mungkin, menurunkan stigma negatif serendah mungkin dan menurunkan kematian

akibat AIDS. Program ini dapat dilaksanakan secara terintegrasi mulai dari rumah sakit,

puskesmas dan jajarannya, serta bidan praktik mandiri. Bidan mempunyai peran yang

penting dalam hal ini, bidan berada pada baris terdepan dalam pelayanan ibu dan anak.
4

Namun, belum adanya protap yang mengatur program ini di BPM menyebabkan

pelayanannya belum terlaksana secara maksimal.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Vieira, et al., 2017) di Bissau Nugini,

menunjukkan banyak perempuan yang menolak dilakukan pemeriksaan HIV karena

mereka merasa bahwa tidak mengikut tes lebih aman daripada mengikuti. Meski

keputusan tersebut bisa saja membuat mereka kehilangan kesempatan untuk diobati dan

mencegah penularan. Mereka menolak dengan alasan tidak ingin di jauhi masyarakat

bahkan keluarga mereka dan dibatasi dalam segala kegiatan. Persepsi yang buruk dan

salah terhadap penyakit HIV masih tinggi dan menyebabkan kesalahpahaman. Seperti

penelitian yang dilakukan leh Arniti (2014), bahwa sikap ibu hamil terhadap

pemanfaatan tes HIV adalah bagaimana ibu hamil menilai atau berpendapat tentang

manfaat tes HIV. Penilaian tersebut kemudian akan mendorong individu untuk

melaksanakan apa yang diketahui, disikapi, atau dinilai baik sehingga dapat menentukan

untuk dilakukan tes HIV atau tidak.

Menurut Notoadmojo (2012), hal-hal yang berhubungan dengan keputusan ibu

hamil melakukan pemeriksaan test HIV yaitu pengetahuan, sikap, dukungan dari suami,

keluarga, dan tenaga kesehatan. Pengetahuan tentang HIV dapat membantu pencegahan

penularan virus sejak dini, serta pengetahuan merupakan hasil bentuk informasi penting

dalam mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan. Memberikan pengetahuan

tentang HIV/AIDS seperti PITC, dapat meningkatkan akses pelayanan konseling dan tes

HIV di negara-negara yang epidemi HIV sudah meluas. Hal ini sejalan dengan

penelitian Sanusi (2017) bahwa orang yang mempunyai pengetahuan baik berpeluang

14,7 kali untuk tes HIV dibanding dengan responden yang mempunyai pengetahuan

kurang.
5

Berdasarkan laporan perkembangan HIV/AIDS dan Peyakit Infeksi Menular

Seksual yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI (2017), dari bulan Januari sampai dengan

Maret 2017, jumlah infeksi HIV yang dilaporkan sebanyak 10.376 orang. Menurut

laporan Situasi Perkembangan HIV-AIDS dan PMS di Indonesia dari Kemenkes RI

(2016), Yogyakarta masuk ke kategori 10 provinsi dengan AIDS Case Rate tertinggi

sampai dengan tahun 2016, yaitu sebanyak 32,5 per 100.000 ribu penduduk. Pada Profil

Kesehatan DIY (2017), kejadian HIV pada tahun 2014 untuk laki-laki 1.118 dan

perempuan 377 kasus, sedangkan AIDS untuk laki laki 802 kasus dan perempuan 366

kasus. Pada tahun 2017 kasus meningkat menjadi 2676 pada laki-laki dan 1261 pada

perempuan. Untuk ibu hamil, berdasarkan data Kemenkes (2018) menunjukkan dari

21.103 ibu hamil yang menjalani tes HIV dan 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi

HIV.

Menurut laporan Dinas Kesehatan (2017), jumlah kumulatif HIV/AIDS di

Kabupaten Sleman tahun 2016 sebesar 1220 kasus (868 kasus HIV dan 352 kasus

AIDS). Urutan kedua di Kabupaten Bantul dengan 1139 kasus (832 HIV dan 307

AIDS), Kota Yogyakarta dengan 1061 kasus (819 HIV dan 242 AIDS), Gunung Kidul

dengan 411 kasus (253 HIV dan 158 AIDS), dan Kulon Progo dengan 247 kasus (182

HIV dan 65 AIDS). Meskipun begitu, kasus masih ditemukan pada bayi usia kurang dari

1 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penularan HIV-AIDS dari ibu ke bayi masih terjadi

di DIY.

Puskesmas Tegalrejo merupakan salah satu puskesmas terpilih untuk

melakukan program PMTCT. Kegiatan PMTCT di Pukesmas Tegalrejo berjalan dengan

baik sejak tahun 2013 bersamaan dengan ANC terpadu yang dilakukan pada setiap ibu

hamil yang datang periksa. Hasil studi penelitian dengan wawancara kepada 6 ibu hamil
6

menunjukkan bahwa ada 2 ibu hamil mempunyai pengetahuan yang cukup tentang

HIV/AIDS, dan 4 diantaranya memiliki persepsi yang kurang terhadap PMTCT karena

kurang mengetahui tentang PMTCT. Kunjungan K1 dan K4 pada tahun 2017 sebanyak

407 dan 403 kunjungan, dan sebanyak 304 ibu hamil telah dilakukan pemeriksaan PITC

dan hasilnya tidak terdapat ibu hamil yang terinfeksi HIV. Pada tahun 2018 mulai dari

bulan Januari sampai November, kunjungan K1 dan K4 terdapat 337 dan 338, ibu hamil

yang mendapatkan pemeriksaan PITC sebanyak 353 ibu hamil.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Gambaran Pengetahuan dan Akseptabilitas Ibu Hamil Terhadap

PITC (Provider Initiated HIV Tested and Counseling) di Puskesmas Tegalrejo

Yogyakarta”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalah penelitian dapat

dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana gambaran pengetahuan dan akseptabilitas

ibu hamil mengenai HIV/AIDS dengan PITC di Puskesmas Tegalrejo”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan akseptabilitas ibu hamil

terhadap PITC di Puskesmas Tegalrejo.

2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan serta akseptabilitas ibu hamil

terhadap PITC di Puskesmas Tegalrejo.


7

D. Manfaat

1. Bagi Penulis

Menjadi data dasar dan pengalaman penelitian untuk menyelesaikan

studi S1 Kebidanan.

2. Bagi Instansi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi informasi yang jelas

untuk mengetaui bagaimana gambaran pengetahuan dan akseptabilitas ibu

hamil terhadap PITC, serta menjadi pertimbangan pengomptimalisasi

program PITC sebagai dasar pencegahan, pengobatan dan penatalaksanaan

kasus HIV pada kehamilan.

3. Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan PITC

sehingga para ibu hamil memahami dan memiliki perspektif yang positif

terhadap PITC dan tujuan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat

tercapai.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dalam

bidang penelitian yang sejenis mengenai PITC.

E. Ruang Lingkup

1. Materi

Materi yang ada pada penelitian ini meliputi pengetahuan dan akseptabilitas ibu

hamil terhadap program PITC (Provider Initiated Test and Counseling) karena

semua ibu hamil perlu mengetahui apa itu program PITC.


8

2. Responden

Responden penelitian ini adalah ibu hamil yang datang melakukan

pemeriksaan di Puskesmas Tegalrejo Yogyakarta, karena PITC merupakan

program yang dilaksanakan untuk ibu hamil.

3. Waktu

Penelitian ini dilakukan mulai dari penyusunan proposal sampai

pelaporan hasil penelitian, yaitu mulai dari 11 Desember 2018 sampai

selesainya penelitian.

4. Tempat

Ruang lingkup tempat dilakukan di ruang lingkup kerja Puskesmas

Tegalrejo, dikarenakan Puskesmas Tegalrejo merupakan salah satu puskesmas

LKB (Layanan Komprehensif Berkesinambungan) yang melaksanakan program

PMTCT serta PITC.


9

F. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1
Keaslian Penelitian
No. Peneliti Judul Instrumen Hasil Perbedaan Persamaan
Penelitian Penelitian Penelitian
1 Dwi Septiara Gambaran Tingkat Kuesioner Deskriptif kuantitatif, Judul dan variabel Rancangan
(2017) Pengetahuan dan pendekatan cross sectional penelitian, penelitian,
Sikap Ibu Hamil yang survey, teknik pengambilan populasi, sampel, pendekatan, teknik
Memanfaatkan PITC sampel dilakukan secara dan tempat pengambilan
Terhadap Penyakit accidental sampling penelitian. sampel, dan
HIV/AIDS instrument
di Puskesmas Kretek penelitian
Kabupaten Bantul
Yogyakarta
2 Ramadhana, Pengetahuan Ibu Kuesioner Pengetahuan ibu hamil Judul dan variabel Rancangan
Rochmawati, Hamil Tentang tentang penelitian, penelitian,
dan Lestari Pencegahan Penularan pengertian HIV/AIDS populasi, sampel, pendekatan, teknik
(2016) HIV dari Ibu ke Anak dalam kategori baik dan tempat pengambilan
(52,7%), penyebab penelitian. sampel, dan
HIV/AIDS kategori cukup instrument
(41,8%), tanda dan gejala penelitian
HIV/AIDS kategori kurang
(47,3%), pengertian PPIA
kategori cukup (56,4%),
penularan HIV/AIDS dari
ibu hamil ke anak kategori
kurang (45,5%) dan
pencegahan HIV/AIDS dari
10

ibu hamil ke anak kategori


kurang (61,8%).
3 Kapembwa, Acceptability of Semi- Mayoritas 85,6% (317) Judul dan variabel Rancangan
Ngoma dan Routine HIV Testing structured responden menunjukkan penelitian, populasi, penelitian,
Makoleka by Pregnant Women in Interview kesediaan untuk menjalani sampel dan teknik pendekatan,
(2018) Lusaka District Ante tes HIV pada kehamilan pengambilan dan instrument
Natal Urban Clinics in meskipun 77,3% sampel, tempat penelitian.
Lusaka, Zambia. menganggapnya tes wajib. penelitian.
Hasil uji statistik
mengungkapkan bahwa usia
ibu, tingkat pendidikan dan
informasi pendidikan dan
komunikasi berkontribusi
signifikan terhadap
ketersediaan ibu menjalani
tes.
4. Wenny, Faktor yang Peneliti menyarankan perlu Rancangan Tempat penelitian
Wijayanti, Memengaruhi konseling dan edukasi HIV penelitian, di Puskesmas
dan Hakimi Partisipasi Ibu Hamil dan tes HIV dari petugas pendekatan, sampel Tegalrejo,
(2016). Melakukan Skrining kesehatan dan dukungan dan teknik rancangan
HIV di Puskesmas dari instansi terkait. pengambilan penelitian
Yogyakarta sampel, tempat kuantitatif.
penelitian.
Bi AB II
TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori

1. HIV/AIDS

a. Pengertian HIV AIDS

HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari Human

Immunodeficiency Virus, dalam Bahasa Indonesia berarti virus penyebab

menurunnya kekebalan tubuh manusia. Virus adalah jasad renik hidup yang

amat kecil sehingga dapat lolos melalui jaringan yang teramat halus. HIV

adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian

menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih

yang berfungsi untuk kekebalan tubuh. Virus HIV ditemukan dalam darah,

cairan vagina, cairan sperma dan ASI. Penemu virus HIV ini adalah Profesor

Luc Montagnier dari Lembaga Pasteur di Paris Perancis pada bulan Mei tahun

1983.

AIDS adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency

Syndrome. Acquired berarti didapat bukan keturunan titik imun terkait dengan

sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan, Syndrome berarti

penyakit dengan kumpulan gejala bukan gejala tertentu. AIDS adalah

sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan

tubuh manusia yang didapat (bukan karena keturunan), tetapi disebabkan oleh

virus HIV. (Maryunani & Aeman, 2009)


12

Infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia

dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan

anak. Di banyak negara berkembang, HIV merupakan penyebab utama

kematian perempuan usia reproduksi. Virus HIV dapat ditularkan driibu yang

HIV positif ke anaknya selama masa kehamilan berlangsung, pada saat

persalinan dan pada saat menyusui.

b. Etiologi HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus

yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan

Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang

penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan

Limphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (National Institute of

Health, USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T Lymphotropic

Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut

dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan

International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi

nama resmi HIV.

Virus HIV yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus

yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat 10 terhadap limfosit

T (Depkes, 2009). Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen

antiviral yang disebut HIV dari kelompok Retrovirus Ribonucleic Acid

(RNA). Retrovirus mempunyai afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Disebut

retrovirus RNA karena virus tersebut menggunkan RNA sebagai molekul


13

pembawaan informasi genetik dan memiliki Enzim Reverse Transciptase.

Enzim ini memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada

dalam RNA ke dalam bentuk Deoxy Nucleic Acid (DNA) yang kemudian

diintegrasikan pada informasi genetik sel limfosit yang diserang. Dengan

demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk

menduplikasi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri HIV. (Widoyono,

2011)

Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula

menyebabkan AIDS yang disebut HIV-2. Penyebab utama AIDS yang

merupakan bentuk virus yang paling virulen, prevalensinya lebih banyak dan

bermutasi lebih cepat. Tipe 2 (HIV-2), menyebabkan penyakit yang serupa

dengan HIV-1. Patogenesisnya lebih rendah dibandingkan dengan HIV-1.

Kedua virus tersebut merupakan virus yang menginfeksi sel CD4+T yang

memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV. Setelah infeksi oleh HIV,

terjadi penurunan sel CD4 secara bertahap yang menyebabkan peningkatan

gangguan imunitas yang diperantarai sel dengan akibat kerentanan terhadap

berbagai infeksi opertunistik. (Bratawidjaja & Rengganis, 2010)

c. Gejala HIV/AIDS

Gejala infeksi HIV menurut (Nursalam, 2006) biasanya penderita

mengalami berat badanya menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat,

demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan), diare berkepanjangan

(lebih dari satu bulan), batuk perkepanjangan (lebih dari satu bulan), kelainan

kulit dan iritasi (gatal), infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan, serta
14

pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah

telinga, leher, ketiak dan lipatan paha. Menurut WHO dan CDC (dalam

Widoyono, 2011), manifestasi klinis HIV/AIDS pada penderita dewasa

berdasarkan stadium klinis yang disertai skala fungsional dan kalisifikasi

klinis, yaitu:

1) Stadium klinis I: pada skala I memperlihatkan kondisi asimtomatis,

dimana klien tetap melakukan aktivitas secara normal maupun disertai

adanya limfadenopati presistent generalisata.

2) Stadium klinis II: pada skala II memperlihatkan kondisi asimtomatis,

dimana klien tetap melakukan aktivitas normal tetapi disertai adanya

penurunan berat badan <10% dari berat badan sebelumnya, manifestasi

mukokotaneius minor (dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur pada

kuku, ulserasi mukosa oral berulang, cheilitis angularis), herpes zoster

dalam 5 tahun terakhir, dan ISPA berulang.

3) Stadium III: pada skala III memperlihatkan adanya kelemahan, berbaring

di tempat tidur <50% sehari dalam 1 bulan terakhir disertai penurunan

berat badan >10%, diare kronis dengan penyebab tidak jelas >1 bulan,

demam dengan penyebab yang tidak jelas (intermitent atau tetap) >1

bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, TB pulmoner dalam satu

tahun terakhir, dan infeksi bacterial berat (misal: pneumonia,

piomiostitis).

4) Stadium klinis IV: pada skala IV memperlihatkan kondisi yang sangat

lemah, selalu berada ditempat tidur > 50% setiap hari dalam bulan-bulan
15

terakhir disertai HIV wasting syndrome (sesuai yang ditetapkan CDC),

peneumocystis carinii pneumonia (PCP), encephalitis toksoplasmosis,

diare karena cryptosporidiosis >1 bulan, cryptococcosis ekstrapulmoner,

infeksi virus sitomegalo, infeksi herpes simpleks >1 bulan, berbagai

infeksi jamur berat (histoplasma, coccoidioidomycosis), kandidiasis

esophagus, trachea atau bronkus, mikobakteriosis atypical, salmonelosis

non tifoid disertai eptikemia, TB ekstrapulmoner, limfoma maligna,

sarcoma Kaposi’s ensefalopati HIV.

Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011), gejala klinis pada stadium

AIDS dibagi menjadi gejala mayor dan minor. Gejala mayor terdiri dari

penurunan berat badan >10% dalam tiga bulan, demam yang panjang atau

lebih dari tiga bulan, diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus

menerus, dan TBC. Gejala minor terdiri dari: batuk kronis selama lebih dari

satu bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida

Albicans. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap, munculnya

herpes zoster, berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.

d. Patogenesis

Menurut Daili (2009), virus masuk ke dalam tubuh manusia

terutama melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Sebagian besar

penularan terjadi melalui hubungan seksual. Jika virus masuk ke dalam tubuh

penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim

reverse transcriptase yang dimiliki oleh HIV, DNA pro-virus tersebut


16

kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan

untuk membentuk gen virus.

HIV menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai

antigen permukaan CD4, terutama sekali limposit T4 yang memegang

peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan

tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan

makrofag, sel langerhas pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe,

makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia

otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan

replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit

itu sendiri.

Sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh akibat hancurnya limposit

T4 secara besar-besaran yang mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi

oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS.

Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10

tahun sesudah infeksi.

e. Cara Penularan HIV/AIDS

Penularan HIV yang diketahui dan diakui saat ini adalah melalui

hubungan seksual (homo maupun heteroseksual), darah (termasuk

penggunaan jarum suntik), dan transplasental/perinatal (dari ibu ke anak yang

akan lahir). Ada 5 unsur yang perlu diperhatikan pada penularan suatu

penyakit yaitu: sumber infeksi, vehikulum/media perantara, hospes yang

rentan, tempat keluar dan tempat masuk hospes baru (Irianto, 2013)
17

1) Transmisi Seksual

Hubungan seksual (penetrative sexual intercourse) baik vaginal

maupun oral merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada

pasangan seksual pasif yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV.

Diperkiran tiga per empat pengidap HIV di dunia mendapatkan infeksi

dengan cara ini. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dari pria-

wanita, wanita-pria, dan pria-pria. Selama hubungan seksual berlangsung,

air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina,

penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut

masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro

pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk

masuk ke aliran darah pasangan seksual (Nursalam dan Ninuk, 2011).

Islam telah melarang umatnya untuk mendekati perbuatan zina

dan menjaga akhalak serta perilaku, sebagaimana firman Allah dalam Q.S

An-Nur ayat 31 yang artinya:


18

Artinya:

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman ”Agar mereka


menjaga pandanganya,dan memelihara kemaluanya, yang demikian itu
lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.” Dan katakanlah kepada perempuan yang
beriman,”Agar mereka menjaga pandanganya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),
kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
(auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para
perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka
miliki, atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadapa perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu
semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu
beruntung.”

Maksud dari ayat ini adalah sekecil apapun perbuatan yang

dilakukan manusia sebenarnya sudah dituliskan di dalam Al-Qur’an. Hal

tersebut juga dinyatakan dalam hadits Rasulullah jika perzinahan

merupakan awal dari berbagai penyakit menular seksual dan HIV/AIDS.

2) Transmisi Nonseksual

Penularan virus HIV non seksual terjadi melalui jalur pemindahan

darah atau produk darah (transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tato, tindik,

alat bedah, dan melalui luka kecil di kulit), jalur transplantasi alat tubuh,

jalur transplasental yaitu penularan dari ibu hamil dengan infeksi HIV

kepada janinnya (Murtiastutik, 2008). Transmisi HIV non seksual dapat

terjadi pula pada petugas kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS

dan petugas laboratorium yang menangani spesimen cairan tubuh yang


19

berasal dari penderita. Penularan terjadi karena tertusuk jarum suntik yang

sebelumnya digunakan penderita atau kulit mukosa yang terkena cairan

tubuh penderita (Irianto, 2013).

f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi HIV/AIDS

1) Faktor ibu

a) Tingginya muatan virus (viral load)

Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV

dari ibu ke anak adalah kadar HIV (viral load) dalam darah ibu pada saat

menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV dalam air susu ibu

ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah

seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di

tubuh seseorang. Meskipun diketahui selama kehamilan bayi mungkin

tertular HIV dari ibu yang memiliki resiko tinggi HIV positif, belum ada

teknologi yang menunjukkan bayi didalam kandungan untuk bisa di

deteksi HIV. Selain itu ibu juga memiliki masa jendela atau window

period selama 6 bulan setelah ibu terinfeksi HIV. Pada masa ini HIV

telah ada di dalam tubuhnya, tetapi tubuh belum cukup membentuk

antibodi HIV. Hasilnya tentu akan menjadi negatif.

Kadar HIV tertinggi sebesar 10 juta kopi/ml darah biasanya

terjadi 3–6 minggu setelah terinfeksi atau disebut sebagai infeksi primer.

Setelah beberapa minggu, biasanya kadar HIV mulai berkurang dan

relatif rendah selama beberapa tahun pada periode tanpa gejala, periode

ini kita sebut sebagai fase asimptomatik. Ketika memasuki masa stadium
20

AIDS, dimana tanda-tanda gejala AIDS mulai muncul, kadar HIV

kembali meningkat.

Cukup banyak orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang kadar

HIV-nya sangat rendah sehingga menjadi sulit untuk diditeksi (kurang

dari 50 kopi/ml). Kondisi ini biasanya terjadi pada ODHA yang telah

minum obat antiretroviral secara teratur dengan benar. Risiko penularan

HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000

kopi/ml), sementara jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml, risiko

penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi tinggi.

Risiko penularan saat persalinan sebesar 10-20%, risiko

penularan HIV pada masa menyusui sebesar 10-15%, sedangkan pada

saat kehamilan, risiko penularan HIV dari ibu ke bayinya lebih rendah,

yaitu sebesar 5%-10%. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai

risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 <350

sel/mm3. Semakin rendah jumlah sel CD4, pada umumnya risiko

penularan HIV akan semakin besar. Sebuah studi menunjukkan bahwa

ibu dengan CD4 < 350 sel/mm3 memiliki risiko untuk menularkan HIV

ke anaknya jauh lebih besar.

b) Infeksi Plasenta (virus, bakteri, parasit)

Pada bayi yang di yang baru dilahirkan oleh ibu HIV positif

tidak selalu langsung dinyatakan sudah tertular HIV karena ada plasenta

yang melindungi janin dari infeksi HIV. Hal ini disebabkan karena

plasenta memisahkan sirkulasi darah janin dan ibu melalui beberapa


21

lapisan selnya. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan dapat

menembus plasenta namun HIV biasanya tidak dapat menembusnya.

Kekuatan plasenta dalam melindungi janin terhadap infeksi HIV

mengalami gangguan bila ada infeksi virus bakteri ataupun parasit serta

daya tahan tubuh ibu yang sangat rendah. Hal ini bisa menyebabkan virus

HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi risiko penularan HIV ke

bayi. Infeksi parasit malaria dapat meningkatkan risiko penularan HIV

dari ibu ke bayi karena parasit malaria dapat merusak plasenta sehingga

memudahkan virus HIV menembus plasenta untuk menginfeksi bayi.

c) Ibu memiliki Infeksi Menular Seksual

Bila ibu menderita infeksi menular seksual (IMS) atau infeksi

pada saluran reproduksinya, maka kadar HIV ibu akan meningkat

sehingga meningkatkan pula risiko penularan HIV ke bayi. Biasanya,

jika ibu menderita Infeksi Menular Seksual (IMS) atau infeksi reproduksi

lainnya maka kadar HIV akan meningkat, sehingga meningkatkan pula

risiko penularan HIV ke anak. Sifilis ditularkan dari ibu ke bayi yang

dikandungnya, dan dengan adanya sifilis akan meningkatkan risiko

penularan HIV.

Malaria bisa meningkatkan risiko penularan HIV karena parasit

malaria merusak plasenta sehingga memudahkan HIV melewati sawar

plasenta. Selain itu, malaria juga meningkatkan risiko bayi lahir prematur

yang dapat memperbesar risiko penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko

penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat


22

gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain yang diderita oleh ibu,

seperti mastitis, abses dan luka di puting payudara. Sebagian besar

masalah payudara dapat dicegah dengan teknik menyusui yang baik.

Konseling manajemen laktasi sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko

penularan HIV.

d) Ibu menderita kekurangan gizi

Bila ibu memiliki berat badan rendah selama kehamilan serta

kekurangan mikronutrisi seperti vitamin, mineral, zat logam, maka risiko

terkena berbagai infeksi juga meningkat dengan sendirinya.

2) Selama Persalinan

a) Tingginya muatan virus (viral load) Ibu

Ibu yang baru terinfeksi HIV menularkan ke bayinya selama

persalinan. Hal ini disebabkan karena jumlah virus dalam tubuh ibu

sangat tinggi bila dibandingkan jumlah virus pada ibu yang tertular HIV

sebelum atau selama kehamilan. Risiko terbesar penularan HIV dari ibu

ke anak terjadi pada saat persalinan, karena saat persalinan tekanan pada

plasenta meningkat yang bisa menyebabkan terjadinya koneksi antara

darah ibu dan darah bayi. Selain itu, saat persalinan bayi terpapar darah

dan lendir ibu di jalan lahir. Kulit bayi yang baru lahir masih sangat

lemah dan lebih mudah terinfeksi jika kontak dengan HIV. Bayi mungkin

juga terinfeksi karena menelan darah ataupun lendir ibu. Faktor – faktor

yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi selama

persalinan adalah sebagai berikut :


23

(1) Jenis persalinan (resiko penularan pada persalinan per vaginam lebih

besar daripada per abdominal/SC)

(2) Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV

dari ibu ke anak juga semakin meningkat karena akan semakin lama

terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Faktor

lain yang kemungkinan meningkatkan risiko penularan selama proses

persalinan adalah penggunaan elektrode pada kepala janin,

penggunaan vakum atau forseps dan tindakan episiotomi.

b) Ibu mengalami ketuban pecah dini

Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan

meningkatkan resiko penularan sampai dua kali lipat bila dibandingkan

dengan ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan. Hal ini

disebabkan karena proses persalinan yang berlangsung lama dapat

meningkatkan lamanya kontrak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.

c) Persalinan yang invasive

Persalinan yang menggunakan tindakan medis secara invasif

seperti menggunakan elektroda pada kepala janin menggunakan vakum

atau forceps dan episiotomi dapat meningkatkan resiko penularan HIV

ibu ke bayi selama proses persalinan.

d) Khorioamnionitis

Ibu yang memiliki korioamnionitis yang disebabkan karena

penyakit infeksi menular seksual yang tidak diobati atau infeksi lainnya

juga meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.


24

3) Selama Memberikan ASI

a) Ibu baru terinfeksi HIV

Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah mengeluarkan HIV ke

bayinya

b) Durasi menyusui yang lama

Ibu yang memberikan ASI dalam periode waktu yang lama dapat

menyebabkan bayi tertular HIV dari ibu. Hal ini disebabkan karena ASI

dari ibu yang terinfeksi HIV terbukti mengandung HIV meskipun

konsentrasinya lebih rendah dari yang ditemukan di darah.

c) Pemberian makanan campuran

Pada tahap awal pemberian makanan campuran, pemberian ASI

yang diberikan bersamaan susu formula dan makanan padat lainnya yang

kemungkinan dapat menyebabkan bayi memiliki resiko terinfeksi HIV

lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang tidak diberikan susu formula

saja atau ASI eksklusif. Hal ini diperkirakan karena air dan makanan

padat yang kurang bersih atau terkontaminasi dapat merusak usus bayi

yang mendapatkan makanan campuran pada tahap awal ini sehingga HIV

dari ASI dapat masuk ke tubuh bayi.

d) Penyakit mulut pada bayi

Bayi yang memiliki luka atau lesi di mulutnya memiliki resiko

tertular HIV lebih besar pada saat diberikan ASI terutama pada bayi yang

berumur dibawah 6 tahun.


25

g. Tindakan Pencegahan

Menurut Widoyono (2008), tindakan pencegahan yang dilakukan adalah

menghindari hubungan seksual dengan penderita HIV atau penderita AIDS,

mencegah hubungan dengan pasangan yang bergonta-ganti atau dengan orang

yang mempunyai banyak pasangan, menghindari hubungan seksual dengan

pecandu narkotika obat suntik, melarang orang-orang yang termasuk ke dalam

kelompok beresiko tinggi untuk melakukan donor darah, memberikan transfusi

darah hanya untuk pasien yang benar-benar memerlukan, dan memastikan

sterilitas alat suntik.

HIV dan AIDS adalah penyakit menular yang bisa dicegah. HIV tidak

menular melalui jabat tangan, berciuman, menggunakan peralatan makan, kerja

sama, berbagi ruangan, gigitan nyamuk, dan kontak sosial biasa (KPAN, 2011).

h. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan klinis infeksi HIV/AIDS dikonsentrasikan pada terapi

umum dan terapi khusus serta pencegahan penularan yang meliputi penderita

dianjurkan untuk berisitirahat dan meminimalkan tingkat kelelahan akibat infeksi

kronis, dukungan nutrisi yang adekuat berbasis makronutrien dan mikronutrien,

konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, motivasi dan

pengawasan dalam pemberian antiretroviral therapy (ARV), membiasakan gaya

hidup sehat antara lain dengan berolahraga yang ringan dan teratur, mencegah

hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau orang yang

mempunyai banyak pasangan.

i. Pemeriksaan diagnostik
26

Untuk membantu menegakkan diagnosa infeksi HIV/AIDS harus

berdasarkan pemeriksaan laboratorium dan pembagian gejala klinis baik mayor

maupun minor. Dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS apabila pemeriksaan tes

HIV enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dari metode yang berbeda

menunjukkan hasil reaktif dan telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan western

bolt serta didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor (Nasronudin,

2007). Beberapa pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan dalam

menegakkan infeksi HIV, yaitu:

1) ELISA

Merupakan pemeriksaan serologi standart/uji penapsian terhadap antibodi

HIV. Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini

memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.

2) Western Bolt

Merupakan tes konfirmasi uji pemastian terhadap komponen protein HIV.

Spesifitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya cukup sulit,

mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. (Widoyono,2011)

3) PCR (Polymerase Chain Reaction)

Tes ini banyak digunakan pada bayi, karena ini dapat meminimalkan kerja

dari zat antimaternal yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-

olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut (Mandal at. al, 2008).
27

2. Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC)

a. Pengertian PITC

Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC) adalah

konseling dan tes IV yang disarankan oleh penyelenggara pelayanan

kesehatan kepada seseorang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan

sebagai suatu komponen standar dari pelayanan medis. PITC merupakan

salah satu strategi penting dalam meningkatkan cakupan layanan tes HIV

dan menghubungkan klien ke layanan lanjutan. PITC juga dikenal

sebagai ‘tes rutin’ atau ‘tes konseling HIV terintegrasi di sarana

kesehatan’ dimana dalam PITC tes HIV ditawarkan oleh petugas di

fasilitas layanan kesehatan secara rutin. Dengan pendekatan ini klien bisa

mendapatkan tes HIV sambil mengakses layanan kesehatan lainnya serta

tes HIV bisa dilaksanakan tanpa harus bergantung pada keinginan atau

motivasi klien untuk mencari atau melakukan tes HIV. Tes HIV bisa

lebih dikondisikan sebagai sesuatu yang normal dan sifatnya rutin,

sehingga diagnosa lebih dini bisa didapatkan oleh mereka yang

mengakses layanan di fasilitas kesehatan (WHO, 2007).

PITC ini mulai diperkenalkan sejak tahun 2007 oleh WHO,

sedangkan di Indonesia, Kemenkes mulai mengularkan pedoman

penerapannya sejak tahun 2010. PITC biasanya dilaksanakan sebagai

bagian dari pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dimana tes HIV

ditawarkan oleh petugas layanan kepada ibu-ibu hamil yang mengakses

layanan di fasilitas kesehatan.


28

Pedoman WHO maupun Kemenkes untuk PITC menekankan

bahwa PITC bukan merupakan tes wajib dan ibu hamil berhak untuk

menolak tawaran untuk tes HIV. Azas yang dikedepankan dalam PITC

adalah 3 C yaitu consent atau persetujuan dari klien, disertai counseling,

dengan menjaga confidentiality. Di pedoman WHO yang baru azas ini

diperluas menjadi 5 C dengan tambahan bahwa hasil tes itu harus tepat

(correct), dan connect atau terhubung dengan layanan lanjutan. Intinya,

tes HIV sendiri bukan merupakan sebuah tujuan melainkan cara untuk

mencapai link to care. Pada tahun 2006, WHO bersama UNAIDS

mmembuat sebuah kebijakan untuk mempromosikan PITC pada fasilitas

penyedia pelayanan kesehatan yang diintregasikan pada pelayanan ANC

dan tuberculosis. Perbedaan utama PITC dan VCT adalah focus

penawaran yang dilakukan oleh pelayanan kesehatan.

b. Prinsip-prinsip Pelaksanaan Pelayanan PITC

Menurut WHO (2007) prinsip pelayanan PITC adala sebagai

berikut:

1) Informasi pre-test dan informed concent

PITC memberikan sesi pendidikan dan pengkajian resiko dengan

fokus konseling pencegahan untuk klien sebelum dan sesudah

menerima test. Infomasi minimum yang perlu diketahui oleh klien

sebelum informed concent adalah sebagai berikut:


29

a) Alasan konseling dan tes IV disarankan

b) Keuntungan klinis dan potensial resiko, seperti diskriminasi,

penelantaran dan kekersasan

c) Pelayanan yang tesedia dengan asil tes negatif dan positif HIV

termasuk ART (Anti Retroviral Terapi)

d) Fakta tentang asil tes HIV yang tidak akan diberitahukan kepada

orang lain

e) Fakta bahwa pasien berhak menolak dan menerima konseling tes

IV

f) Kesempatan klien untk bertanya kepada penyelenggara

pelayanan

2) Post-tes Konseling

Post-test konseling adala bagian integral dari komponen proses tes

HIV. Semua induvidu yang telah melakukan tes HIV harus di beri

konseling ketika hasil tes telah keluar dan diberikan kepada klien

secara personal oleh para pemberi layanan. Akan lebih bagus apabila

konselor adalah koselor yang sama saat pre-test dan post-test. Post-

test ini bertujuan untuk menyiapkan klien dalam menerima hasil,

menyediakan informas lebih lanjut apabila dimungkinkan kemudian

merujuk pada layanan lainnya ketika diperlukan dan mendiskusikan

kepada klien strategi pengurangan risiko penularan HIV.


30

3) Petunjuk Pelayanan

Hasil tes HIV harus disampaikan dengan penjelasan-penjelasan

tentang pecegahan, terapi, dan pelayanan pendukung yang

diperlukan oleh klien.

4) Frekuensi Tes yang Dilakukan

Tes ulang setiap 6-12 bulan atau lebih diperlukan untuk individu

yang terpapar HIV dengan resiko tinggi, seperti individu dengan

riwayat Sex Transmitted Infection PSK dan lainnya, pasangan

homoseksual, IDU atau Injection Drug User, dan pasangan dengan

HIV. Hal yang perlu diingat adalah, tes HIV rutin tidak menjadi

subsitusi untuk pencegahan perilaku berisiko. Penyelenggaraan

pelayanan kesehatan seharusnya menekankan pada klien untuk tetap

mempertahankan prilaku yang aman.

c. Langkah-langkah PITC

Menurut Permenkes (2013) menjelaskan langkah-langkah

pemeriksaan PITC yaitu sebagai berikut:

1) Pemberian informasi tentang HIV dan AIDS sebelum tes

Infomasi diberikan oleh tenaga kesehatan dengan bersifat

informative, singkat dan sederhana.

2) Pengambilan Darah untuk Tes

Pemeriksaan harus sesuai dengan apa yang tercantum dalam

permintaan tertulis, mengikuti stategi kebijakan nasional. Pastikan

semua tes pemeriksaan telah dilakukan dengan tepat, dicatat dan


31

didokumentasian dengan baik. Semua hasil pemeriksaan harus

dimasukkan ke dalam amplop bersegel kepada pasien.

3) Penyampaian Hasil Tes

Hasil tes harus diberikan kepada ibu hamil secara pribadi oleh

petugas kesehatan. Periksa ulang sesuai nama pasien untuk

mengindari kesalaan saat pembukaan hasil tes. Petugas harus

mengetahui hasil tes terlebih dahulu sebelum disampaikan. Hasil tes

harus disampaikan secara keseluruhan dengan memperhatikan

kondisi ibu hamil. Bila kondisi emosional ibu tidak mendukung,

maka konseling dilakukan saat kunjungan ANC berikutnya.

4) Konseling

a) Koseling untuk HIV negatif

Penjelasan mulai dari masa jendela atau window period dan

kemungkinan akan di tes ulang, pencegahan infeksi di kemudian

hari, edukasi pasangan dan anjuran tes pasangan.

b) Koseling untuk HIV positif

(1) Aspek konfidentialitas

(2) Berikan pengertian dan dukkungan

(3) ANC teratur

(4) Informasi rencana pengobatan kontrimoksazol dan ARV

pada ibu hamil

(5) Informasi rencana pengobaran profilaksis kotromoksazol

dan ARV pada bayi


32

(6) Informasi rencana pemeriksaan diagnostic IV pada bayi

(7) Konseling tatalaksana pemberian makanan bayi

(8) Konseling persalinan aman

(9) Konseling mengatur keamilan dan KB

(10) Edukasi pasanfan dan anjurkan tes pasangan

(11) Rujuk ke rumah sakit

(12) Infomasikan sumber dukungan yang tersedia di masyarakat

seperti KDS, LSM dukungan sosial.

d. Pentingnya Pemeriksaan PITC

Deteksi dini faktor risiko HIV/AIDS pada program PITC

terintegrasi KIS sangatla penting dilaksanaan dalam proses penetuan

kejelasan status HIV untuk menentukan tindakan apa yang perlu

dilakukan dalam pelaksanaan program PITC. Bila diketahui status HIV

ibu positif maka dapat segera dilakukan perawatan HIV lebih lanjut

sehingga pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dilakukan

sedini mungkin (Permenkes, 2013).

e. Wewenang Bidan

Berdasarkan peraturan Kemenkes (2014) tentang pedoman

pelaksanaan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak bahwa

wewenang bidan dalam pencegahan HIV/AIDS bagi perempuan

khususnya ibu hamil adalah:

(1) Menganjurkan untuk mendeteksi dini adanya virus HIV

(2) Memberikan konseling tentang penyakit menular


33

(3) Merujuk dejgan diagnosa hasil tes HIV positif

3. Pengetahuan

a. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan

terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior)

(Notoatmodjo, 2012).

b. Tahapan Pengetahuan

Tahapan pengetahuan menurut Benjamin S. Bloom ada enam,

yaitu sebagai berikut.

1) Tahu (know)

Berupa kemampuan seseorang untuk mengenali dan mengingat suatu

istilah, definisi, fakta, gagasan, pola, urutan, meotodologi, prinsip

dasar, dan sebagainya.

2) Memahami (comprehension)

Berupa semua kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikannya dengan benar.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggnakan materi

dengan benar.
34

4) Analisis (analysis)

Kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau objek ke dalam

berbagai komponen, namun masih dalam satu struktur organisasi, dan

masih berkaitan.

c. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoadmojo (2012), ada beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu:

1) Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengembangkan

kepribadian serta kemampuan, didalam maupun diluar sekolah, formal

maupun non formal dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan

merupakan sebuah proses peruahan silap dan tata laku seseorang serta

kelompok dan juga usaha untuk mendewasakan manusia melalui

upaya pengajaran dan pelatihan.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar. Semakin tinggi pendidikan

seseorang, maka semakin mudah orang tersebut untuk menerima

informasi. Semakin tinggi pendidikan, maka seseorang akan

cenderung mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun media

massa. Dengan semakin banyak informasi yang masuk, semakin

banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.

Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan, dimana

diharapkan seseorang dengan pendidikan tingguakan semakin luas

pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa orang berpendidikan


35

rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.

Peningkatan pengetahuan tidak mutlak dipengaruhi oleh pendidikan

formal, dapat juga dipengaruhi pada pendidikan non formal.

Pengetahuan terhadap sebuah objek juga mengandung sisi positif dan

negatif. Aspek ini akan mempengaruhi dan menentukan sikap

seseorang terhadap objek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari

objek yang diketahui, maka semakin positif sikap terhadap objek

tersebut.

2) Informasi/media messa

Menurut kamus, sesuatu yang dapat diketahui, namun ada juga yang

menyatakan bahwa info adalah transfer pengetahuan. Selain dua

pernyataan diatas, informasi dapat diartikan sebagai teknik

pengumpulan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumuman

menganalisis dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu.

3) Sosial, budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian,

pengetahuan seseorang akan bertambah walaupun tidak melakukan.

Status ekonomi juga mempengaruhi tersedianya suatu fasilitas yang

diperlukan untuk kegiatan tertentu sehingga status sosial ekonomi juga

mempegaruhi pengetahuan seseorang.

4) Lingkungan

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada disekitar individu,


36

baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan

berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam

individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Terjadiny hal ini

karena interaksi timbal balik ataupun tidak akan direspon senagau

pengetahuan oleh setiap individu.

5) Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dalan nenecahkan masalah yang

dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja akan

memberikan pengetahuan dan kemampuan profesional, serta dapat

mngembangkan kemampuan mengambi keputusan yang merupakan

manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik

keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari

masalah nyata dalam bidang kerjanya.

6) Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

bertambahnya usia, maka semakin bertambah pula daya tangkap dan

pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik.

d. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui


37

atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatannya. (Wawan,

2010)

Menurut Arikunto (2013), penilaian pengetahuan dapat dilihat

dari setiap item pertanyaan yang akan dinerikan peneliti kepada responden.

Menurut Budiman dan Agus Riyanto (2013), kategori pengetahuan dapat

ditentukan dengan kriteria:

Baik = ≥ 75 %

Cukup = 56 – 74 %

Kurang = < 55%

4. Akseptabilitas

Menurut Notoatmodjo (2007), akseptabilitas atau penerimaan

diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang

diberikan (objek), mengakui (apa yang diterima) dalam hal ini berupa

perlakuan, sikap terhadap objek. Akseptabilitas merupakan salah satu tingkatan

dari sebuah sikap, yakni menerima, merespon, menghargai dan bertanggung

jawab. Sedangkan sikap itu sendiri adalah reaksi atau respon yang masih

tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap bukan

merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi sikap merupakan

predisposisi tindakan suatu perilaku.

Seseorang akan menggunakan suatu pelayanan atau program

apabila merea dapat menerima (acceptable) terhadap pelayanan yang diberikan.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap bukan merupakan suatu tindakan atau
38

aktivitas, akan tetapi sikap merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan

tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap terdiri dari berbagai

tingkatan yakni:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek), mengakui (apa yang diterima) dalam hal

ini berupa perlakuan, sikap terhadap objek.

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu

usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan.

Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide

tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang

lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga,

misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb)

untuk menimbanganaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi

adalah tif terhadap gizi anak.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu
39

mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapatkan tantangan orang tuanya

sendiri.

Menurut WHO (2004), akseptabilitas adalah semua orang yang

membutuhkan layanan dan bersedia untuk mendapatkan layanan tersebut demi

memenuhi kebutuhan dan harapan mereka. Menurut Kolencherry (2004),

akseptabilitas adalah penerimaan masyarakat terhadap keberadaan pusat

pelayanan kesehatan reproduksi. Klien akan mencari dan memanfaatkan

pelayanan kesehatan jika dapat diterima dalam konteks sosial dan budaya yang

dipercayai dan dianutnya. Terdapat tiga elemen penting akseptabilitas, yaitu:

a. Kesesuaian antara profesional kesehatan (provider) dalam meletakkan

kepercayaan dan persepsi pasien tetang efektifitas pengobatan. Sejauh

mana klien atau pasien dari konstruksi kesehatan dan pengertian dar

provider terhadap isu-isu penyembuhan yang cocok bagi pasien.

b. Interaksi antara provider dan pasien, pasien diberikan kesempatan untuk

bertanya dan mampu untuk mendiskusikan perawatan yang mereka

butuhkan tanpa menunjukkan prasangka kepada pasien.

c. Organisasi pelayanan kesehatan menanggapi keinginan pasien

terhadappelayanan yang mereka inginkan, contohnya pelayanan esehatan

yang seringkali hanya menekankan pada bayinya daripada melayani

kebutuhan pasien.

Sedangkan akseptabilitas menurut Sheth, J. N. dan Sisodia, R. S.

(2012) adalah sejauh mana jumlah penawaran produk perusahaan memenuhi


40

dan melebihi harapan klien yang menjadi sasaran. Akseptabilitas memiliki dua

dimensi, yaitu :

a. Akseptabilitas fungsional : ditunjukkan oleh faktor-faktor seperti atribut

inti dan kemampuan, fungsi, kemudahan penggunaan, kualitas, serta

kehandalan.

b. Akseptabilitas psikologis : ditunjukkan oleh faktor-faktor seperti citra

(reputasi, positioning, kepribadian), styling, nilai sosial, nilai emosional,

risiko yang dapat dirasakan.

Menurut Philips dan Verhasselt (1994), hambatan dari availability

(ketersediaan), acceptability (penerimaan) dan accessibility (dapat diakses)

adalah faktor-faktor yang penting dalam strategi maternal dan kesehatan anak,

sebagai tanggapan, masyarakat secara umum tetap pergi ke pelayanan

kesehatan untuk mendapatkan imunisasi dan perencanaan kehamilan.

Sedangkan menurut WHO, tiga dimensi untuk menentukan kualitas pelayanan

yaitu kesetaraan (equity), akses (accessibility) dan penerimaan (acceptability).

Karakteristik yang berkitan dengan kesetaraan (equity) termasuk kebijakan dan

prosedur yang tidak mebatasi ketentuan pelayanan kesehatan, dan perlakukan

yang sama pada setiap klien dan staff oleh penyedia layanan.

Selanjutnya, karakteristik yang berkaitan dengan akses adalah

pelayanan kesehatan yang gratis daterjangkau, jam kerja klinik, jarak lokasi

klinik dan dukungan dari masyarakat untuk layanan. Sedangkan untuk

penerimaan (acceptability) adalah termasuk kerahasiaan klien, penyedia


41

layanan menjaga privasi klien, lingkungan yang menarik, pemberian informasi

yang memadai dan alokasi waktu yang cukup untuk klien.

Selain dipengarugi oleh klien atau pasien, akseptabilitaas juga

dipengaruhi oleh sosial budaya masyaraat yang ada di sekitar. Menurut WHO

(2019), tenaga kesehatan juga harus memenuhi prasyarat availability,

accessibility, acceptability dan quality dalam memberikan pelayanan

kesehatan.

a. Ketersediaan (availability), berupa persediaan yang memadai dan stok

tenaga kesehatan yang memadai, dengan kompetensi dan keterampilan

yang disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan penduduk;

b. Aksesibilitas (accessibility), berupa distribusi yang merata dari para

pekerja kesehatan ini dengan mempertimbangkan komposisi demografis,

campuran desa-kota dan daerah-daerah atau populasi yang kurang

terlayani;

c. Penerimaan (acceptability), berupa karakteristik tenaga kerja kesehatan

dan kemampuan (jenis kelamin, bahasa, budaya, usia, dan lain sebagainya)

Untuk memperlakukan semua pasien dengan bermartabat, menciptakan

kepercayaan dan mempromosikan permintaan akan layanan;

d. Kualitas (quality), berupa kompetensi tenaga kerja kesehatan,

keterampilan, pengetahuan dan perilaku, yang dinilai sesuai dengan norma

profesional dan seperti yang dirasakan oleh pengguna.

Tanpa ketersediaan yang memadai - aksesibilitas ke petugas kesehatan

tidak dapat dijamin; jika tersedia dan dapat diakses, tanpa dapat diterima,
42

layanan kesehatan mungkin tidak akan digunakan, ketika kualitas tenaga

kesehatan tidak memadai, peningkatan hasil kesehatan tidak akan memuaskan.

Berdasarkan penelitian yang dlakukan di Burkina Faso, Kenya,

Malwai dan Urganda, terdapat 92% perempuan yang diberikan konseling

persetujuan untuk mendapatkan tes HIV, dan 84% dari mereka menolak hal

tersebut. Di Urganda, banyak perempuan yang merasa bahwa tes HIV adalah

wajib dan sebagai prasayarat untuk mendapatkan pelayanan antenaltal care

(ANC). Beberapa penelitian juga menyebutkan pengetahuan tentang HIV.

MTCT dan PMTCT dengan kerendahan akseptabilitas atau penerimaan

terhadap PMTCT. Seperti studi yang dilakukan oleh Avert, di Nigeria selatan

dan utara terdapat 99.8% ibu hamil yang mewaspadai HIV, mempunyai

pengetahuan yang tinggi mengenai MTCT (92%) dan PMTCT (91%), dan71 %

mempunyai pendapat yang negatif mengenai PMTCT. Hal tersebut disebbkan

oleh stigma yang buruh terhadap ibu hamil HIV positif. Sedangkan di Ethiopia,

90% ibu hamil mempunyai pengetahuan yang bagus mengenai PMTCT tapi

pemanfaatkan terhadap konseling dan test HIV kurang.


43

B. Kerangka Konsep

Pengetahuan

Prevention of Mother to
Child Transmission
(PMTCT)
Akseptabilitas
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan rancangan

cross sectional. Penelitian deskriptif merupakan suatu penelitian yang dilakukan

untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di dalam

masyarakat. Dalam bidang kesehatan masyarakat, survei deskriptif digunakan untuk

menggambarkan atau memotret masalah kesehatan serta yang terkait dengan

kesehatan sekelompok penduduk atau orang yang tinggal dalam komunitas tertentu.

Rancangan cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika

kolerasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi

atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. (Notoadmojo, 2010)

B. Variable Penelitian

Variabel yang diteliti yaitu pengetahuan dan akseptabilitas ibu hamil

terhadap PITC.

C. Definisi Operasional Penelitian

Definisi operasional dibuat untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian

variabel-variabel yang diamati/diteliti serta untuk mengarahkan kepada

pengembangan instrumen/alat ukur. (Swarjana, 2015)

44
45

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Hasil ukur Skala


Operasional Ukur
Pengetahuan Jawaban responden Data Baik = ≥ 75 % Ordinal
tentang pengertian, primer Cukup = 56 – 74 %
gejala, Kurang = < 55%
cara penularan, (Budiman dan
upaya pencegahan Agus Riyanto, 2013)
penularan HIV dari a.
ibu ke janin

Akseptabilitas Penerimaan Data 1. Untuk pernyataan Ordinal


responden tentang primer positif: dengan
program PITC. Sangat Setuju (SS) kategori:
=4 1. Baik = ≥
Setuju (ST) = 3 75 %
Tidak Setuju (TS) 2. Cukup =
=2 56 – 74 %
Sangat Tidak 3. Kurang =
Setuju (STS) = 1 < 55%
2. Untuk pernyataan (Budiman
negatif dan
Sangat Setuju (SS) Agus
=1 Riyanto,
Setuju (ST) = 2 2013)
Tidak Setuju (TS)
=3
Sangat Tidak
Setuju (STS) = 4

D. Populasi dan Sampel

3. Populasi

Menurut Sugiyono (2016), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri

atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi

dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC pertama
46

kali (K1) di Puskesmas Tegalrejo Kota Yogyakarta selama bulan Januari sampai

dengan Nopember tahun 2018 sebanyak 337 orang.

4. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang

ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka

peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi tersebut. Apa yang

dipelajari dari sampel, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi.

Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul mewakili, sampel

diambil dengan accidental sampling. (Sugiyono, 2016). Rumus yang digunakan

dalam pengambilan sampel adalah:

n = 15% x N

Menurut Arikunto (2013), jika populasi lebih dari 100, maka sampel yang

diambil adalah 10%-15% atau 20%-25%. Sehingga sampel diperoleh dengan

menggunakan rumus tersebut adalah:

n = 15% x N

n = 15% x 337

n = 50,55 (dibulatkan menjadi 51)

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dari penelitian ini adalah:

Inklusi : Ibu hamil trimester 1 yang melakukan pemeriksaan di Puskesmas

Tegalrejo dan pendidikan terakhir minimal SD.

Eksklusi : Ibu hamil yang tidak bisa membaca dan menulis.


47

E. Alat dan Metode Pengumpulan Data

1. Alat Ukur

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi adalah

kuesioner yang di modifikasi dari penelitian sebelumnya. Kuesioner digunakan

untuk mengumpulkan data tentang pengetahuan dan akseptabilitas ibu tentang

PMTCT.

2. Uji Validitas

Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur tersebut

bisa mengukur apa yang kita ukur. Valid berarti instrumen tersebut dapat

digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2016).

Untuk mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan uji validitas. Peneliti

menggunakan pearson product moment.

3. Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Pengukuran reliabilitas

dapat dilakukan dengan menggunakan rumusalpha cronbach yang selanjutnya

bisa diputuskan instrumen tersebut reliabel atau tidak (Sugiyono, 2016).

Pada penelitian ini, validitas dan reliabilitas akan dilakukan di

Puskesmas Gedong Tengen dengan membagian kuesioner kepada 20 ibu hamil.

Kuesioner terdiri dari 42 item. Pernyataan dikatakan valid bila r hitung > r tabel

(0,444) dan dikatakan reliabel bila nilai alpa cronbach >0,6. Bila terdapat

pernyataan yang tidak valid, maka pernyataan tersebut dihilangkan.


48

4. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu

data yang diperoleh langsung dari responden melalui kuesioner. Kuesioner

diberikan kepada responden yaitu ibu hamil di Puskesmas Tegalrejo. Sebelum

kuesioner dibagikan, peneliti melakukan informed consent terlebih dahulu

kepada responden, kemudian responden diminta untuk mengisi kuesioner

sesuai dengan petunjuk yang telah disediakan, tujuannya untuk mengetahui

pengetahuan dan akseptabilitas ibu tentang PMTCT. Untuk menghindari

kesalahan dalam pengisian jawaban oleh responden, maka selama proses

pengisian kuesioner diawasi oleh peneliti dan hasil pengisian langsung diterima

pada waktu itu juga.

Tabel 3.2 Kisi-kisi Kuesioner

No Variabel Indikator Butir Pertanyaan


1 Pengetahuan Pengetahuan ibu mengenai Pengertian (1,2,3,4,5)
tentang pengertian, gejala, cara Gejala (22,23,24)
PMTCT penularan, pencegahanCara penularan
HIV/AIDS (6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17
,18,19,20,21)
Pencegahan (25,26,27,29,30)
2 Akseptabilitas Pernyataan menerima, 7 pertanyaan
Tentang artinya menerima program (1,2,3,4,5,10,12)
PMTCT PMTCT. (Acceptable)

Pernyataan tidak menerima, 5 pertanyaan (6,7,8,9,11)


yang artinya tidak menerima
program PMTCT.
(Unacceptable)
49

F. Metode Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data

Dalam penelitian ini data yang terkumpul kemudian diolah dengan

tahapan sebagai berikut:

a. Memeriksa data (editing)

Editing yaitu memeriksa kelengkapan hasil data yang diperoleh. Jika

ditemukan kesalahan, maka dilakukan konfirmasi untuk memperoleh data

yang sebenarnya.

b. Memberi skor (scoring)

Tahap ini dilakukan untuk memproses data dengan memberi skor

pada masing-masing kriteria. Untuk memudahkan pengolahan data, peneliti

memberi skor pada masing-masing variabel.

c. Pengkodean (coding)

Coding yaitu penulis membuat kode tertentu pada tiap-tiap data

sehingga memudahkan penulis melakukan analisa data, kemudian

dikelompokkan dalam kriteria baik, cukup, kurang untuk variabel

pengetahuan. Untuk variabel akseptabilitas diekompokkan dalam kriteria

sangat menerima, menerima, tidak menerima dan sangat tidak menerima ntuk

variabel akseptabilitas.

d. Memasukan Data (Entry)

Memasukan data yang telah dilakukan pengkodean ke program

komputer dengan program SPSS seri 22.


50

e. Pembersih Data (Cleaning)

Semua data dari setiap responden selesai dimasukan (di cek kembali)

untuk melihat adanya kesalahan-kesalahan, data yang tidak lengkap dan

sebagainya, kemudian diperbaiki.

f. Tabulating

Tabulating yaitu membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan

penelitian atau yang diinginkan oleh peneliti.

2. Analisis Data

Analisis data menurut Notoatmodjo (2010) yang akan dilakukan yaitu:

a. Analisis Univariat

Data dianalisa secara univariat, yaitu analisa data dilakukan terhadap

tiap variabel dari hasi penelitian. Analisa ini akan menghasilkan distribusi dan

persentase dari tiap variabel yang nantinya akan dipergunakan sebagai tolak

ukur pembahasan dan kesimpulan.

Pengukuran variabel pengetahuan menggunakan skala Guttman dan

terdiri dari pernyataan favorabel dan unfavorabel. Dari pernyataan tersebut,

jawaban yang dijawab dengan benar akan mendapatkan skor 1 dan 0 jika

salah. Untuk pengukuran akseptabilitas menggunakan skala Likert. Dari

pertanyaan tersebut, jawaban responden diberikan skor 4 (SS), 3 (S), 2 (TS), 1

(STS). Skala ukur yang digunakan untuk kedua variabel adalah ordinal. Pada

variabel pengetahuan, digunakan rumus dan kategori sebagai berikut:


51

𝐹
𝑃= 𝑥100
𝑁

Keterangan:
P : Persentase
F : Frekuensi jawaban yang benar
N : Jumlah pertanyaan

Dari nilai yang diperoleh untuk variable pengetahuan dikategorikan

dengan kriteria:

a. Baik: > 75 %, apabila responden dapat menjawab dengan benar > 75%

dari jumlah yang diajukan.

b. Cukup: 56 – 74 %, apabila responden dapat menjawab dengan benar 56 –

74% dari jumlah pertanyaan yang diajukan.

c. Kurang: < 55 %, apabila responden dapat menjawab dengan benar < 55%

dari jumlah yang diajukan. (Budiman dan Agus Riyanto, 2013)

G. Rencana Jalannya Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Konsultasi judul dengan pembimbing

b. Studi pustaka untuk nmenentukan acuan penelitian

c. Mengadakan studi pendahuluan

d. Menyusun proposal untuk rencana penelitian

e. Mempresentasikan proposal penelitian

f. Mengurus surat izin studi pendahuluan

Diawali dengan surat pengantar dari Universitas ‘Aisyiyah

Yogyakarta, surat izin penelitian diajukan ke Dinas Kesehatan Kota


52

Yogyakarta. Setelah itu berkoordinasi dengan pihak Puskesmas Tegalrejo

dalam pengambilan data kunjungan ibu hamil periode tahun 2018.

2. Tahapa Pelaksanaan

a. Mengumpulkan informasi mengenai hal yang ingin diteliti oleh peneliti

b. Mengajukan surat izin melakukan penelitian

c. Setelah peneliti mendapat legalitas penelitian, peneliti melakukan

penelitian secara formal pada ibu hamil di Puskesmas Tegalrejo

Yogyakarta.

d. Menentukan subyek penelitian yaitu ibu hamil yang bersedia menjadi

responden dan diberi surat persetujuan sebagai bukti bahwa ibu hamil

bersedia untuk menjadi responden penelitian ini.

e. Menjelaskan kepada responden tentang tujuan penelitian

f. Setelah responden mengerti dengan penjelasan yang diberikan oleh peneliti

maka peneliti membagikan kuesioner kepada responden.

g. Sebelum mengisi kuesioner peneliti memberikan lembar persetujuan

(informed concent) kepada responden sebagai persetujuan sebagai

responden

h. Setelah responden menyetujui untuk mengisi kuesioner, maka peneliti

menjelaskan kepada responden cara mengisi kuesioner. Untuk responden

yang tidak bersedia mengisi kuesioner, peneliti tidak memaksa dan

mengambil kuesioner kembali.

i. Peneliti mengambil kembali kuesioner yang telah diisi dan mengucapkan

terima kasih kepada responden.


53

j. Data yang telah terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis untuk

mendapatkan hasil penelitian dengan menggunakan uji statistik.

3. Tahap Pelaporan

a. Setelah data lengkap dan disajikan dalam bentuk proposal, selanjutnya

dikonsultasikan dengan dosen pembimbing

b. Mempresentasikan proposal penelitian

c. Revisi proposal penelitian

d. Penjilidan dan pengumpulan proposal

e. Ethical clearance

H. Etika Penelitian

Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti melakukan permohonan dan

persetujuan ke instansi, badan atau lembaga untuk dilaksanakannya penelitian.

Tahapan persetujuannya ialah sebagai berikut:

1. Lembar persetujuan

Peneliti mendapatkan persetujuan pengambilan data penelitian melalui

permohonan izin kepada pihak Puskesmas Tegalrejo untuk data ibu hamil

2. Kerahasiaan data

Data ibu yang dijadikan subyek penelitian dijamin kerahasiaan dengan

tidak mencantumkan nama responden dalam pengumpulan dan penyajian hasil

penelitian.
54

3. Keamanan data

Menjamin keamanan informasi yang telah dikumpulkan dengan cara

hanya data yang diperlukan saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian

dan menjamin keamanan data.

4. Bertindak adil

Dilakukan dengan memberikan perlakuan yang sama pada setiap data

yang diambil.

5. Ethical clearance

Dilakukan dengan mengajukan ethical clearance agar proposal

penelitian layak untuk dilaksanakan. Dimana tujuan ethical clearance adalah

untuk melindungi subyek penelitian/responden dari bahaya secara fisik

(ancaman), psikis (tertekan, penyesalan), sosial (stigma, diasingkan dari

masyarakat) dan konsekuensi hukukm (dituntut) sebagai akibat turut

berpartisipasi dalam suatu penelitian (Pusbindiklat IPI, 2016)

Anda mungkin juga menyukai