Tugas KWID
RESIDEN BEDAH
04012721923006
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
BAB I
PENDAHULUAN
Osteoartritis merupakan gangguan degenerasi struktur tulang rawan pada persendian. Faktor
epidemiologis yang meningkatkan risiko terjadinya osteoartritis antara lain: cedera sendi, obesitas,
dan usia lanjut. Olahragawan merupakan salah satu kelompok profesi yang berisiko tinggi
mengalami osteoartritis karena pada olahragawan sering terjadi penggunaan persendian yang
berlebihan yang dapat mengakibaikan cedera pada persendian. Sampai saat ini belum ada terapi
yang dapat menyembuhkan OA.
Penatalaksanaan OA baik secara non farmakologik dan farmakologik yang semula hanya
ditujukan untuk mengurangi rasa nyeri, mempertahankan atau meningkatkan fungsi gerak sendi,
mengurangi keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari, meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup
seseorang terkait OA.
Perlu diketahui bahwa penyebab nyeri yang terjadi bersifat multifaktorial. Nyeri dapat
bersumber dari regangan serabut syaraf periosteum, hipertensi intra osseous, regangan kapsul
sendi, hipertensi intra-artikular, regangan ligament, mikrofraktur tulang subkondral, entesopati,
bursitis dan spasme otot. Saat ini terdapat lebih dari 50 modalitas penatalaksanaan OA baik non
farmakologi maupun farmakologi, maka diperlukan rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas
dan efisiensi penatalaksanaan OA.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang akan saya bahas yaitu :
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan penulis dan pembaca
khususnya terhadap perbandingan terapi NSAID pada pasien Osteoarthritis Genu. Adapun rincian
yang ingin di capai dalam pembahasan makalah penulis adalah :
2.1 Pendahuluan
Osteoarthritis (OA) merupakan jenis gangguan persendian yang paling sering dijumpai1. Saxon
et.al (1999: 124) memperkirakan, sekitar sepertiga orang yang berusia 25 sampai dengan 75 tahun
mempunyai gambaran osteoartritis sendi pada pemeriksaan radiologis. Lutut merupakan
persendian yang paling sering mengalami OA dan merupakan jenis OA yang paUng berkaitan
dengan gejala nyeri dan disabilitas2. WHO melaporkan bahwa OA lutut merupakan penyebab
disabilitas keempat pada perempuan dan kedelapan pada laki-laki3.
2.2 Epidemiologi
Pada keadaan normal, kartiliago persendian berfungsi untuk menyerap tekanan pada persendian
dan memberikan bantalan sehingga terjadi gerakan yang bebas gesekan antar tulang pada
persendian8. Struktur utama kartilago adalah sel kartilago [chondrosil) dan matriks kartilago.
Matriks terdiri atas air, proteoglikan dan kolagen4. Proteoglikan mengandung inti protein dengan
rantai samping glikosaminoglikan. Proteoglikan utama pada kartilago adalah kondroitin sulfat dan
keratin suifat. yang berfungsi mendukung stabilitas dan kekuatan dari kartilago4. Dalam keadaan
normal, matriks kartilago setiap saat berubah secara dinamis untuk mencapai keseimbangan. Pada
kartilago terjadi proses remodeling secara berkesinambungan. Struktur matriks kartilago (kolagen
dan proteoglikan) secara teratur dirombak oleh enzim autolitik dan diperbarui oleh sel kartilago
(chondrosil)4.
Pada prinsipnya, pada OA terjadi kerusakan atau kehilangan struktur kartilago persendian.
Kerusakan tersebut dikarenakan tekanan mekanis yang berlebihan pada sendi atau dan terjadi
abnormalitas proses remodeling struktur sendi8. Sebagai respons dari tekanan mekanis, pada
persendian, terjadi erosi struktur kartilago dengan atau tanpa didani pembentukan tonjolan tulang
(osteofit) pada daerah subchondral9. Persendian yang sering mengalami OA biasanya merupakan
persendian yang menumpu berat tubuh [weighi-bearing joints]
Proses OA yang terjadi bersifat lokal, progresif, dan kronis. Proses pada OA terjadi secara
progresif karena pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan antara proses katabolisme dan
perbaikan kartilago. Pada OA, matriks kartilago yang terbentuk lebih lemah secara biomekanis
sehingga lebih rentan terhadap cedera dan kerusakan lanjut.10
Secara histologis, proses kerusakan strukur kartilago pada OA disebabkan oleh trauma
mekanis yang dapat menimbulkan cedera pada sel chondrosit.9 Chondrosil mengadakan respons
dengan mengeluarkan enzim proteolitik seperti protease, cathepsin, collagenase dan
metalloprotease. Enzim-enzim ini mengubah matriks kartilago, membentuk struktur yang lebih
kecil, menurunkan kekentalan matriks yang akhimya menurunkan kemampuan biomekanis
kartilago.9 Kecepatan pengeluaran enzim dan katabolisme matriks pada OA jauh melampau proses
yang terjadi pada sendi normal.
Kriteria Diagnosis Osteoartritis Nyeri dan rasa kaku pada sendi merupakan gejala utama yang
dikeluhkan penderita OA. Selanjutnya biasanya terjadi penurunan range of motion (ROM)
persendian.12 Kriteria diagnosis osteoartritis secara klinis tercantum pada tabel 2.
Osteoartritis merupakan penyakit artritis kronis paling banyak ditemui dengan berbagai
faktor risiko, karena itu peranan dokter umum sangat penting khususnya dalam sistim kesehatan
nasional, untuk pencegahan, deteksi dini dan penatalaksanaan penyakit kronik secara umum, dan
khususnya dalam penatalaksanaan OA. Karena itu rekomendasi penatalaksanaan OA sangat
diperlukan untuk memudahkan koordinasi yang meliputi multidisiplin, monitoring, dengan patient
centre care yang bersifat kontinyu/terus menerus, komprehensif dan konsisten, sehingga
penatalaksanaan nyeri OA kronik dapat dilakukan secara efektif dan efisien.9,10
Strategi penatalaksanaan pasien dan pilihan jenis pengobatan ditentukan oleh letak sendi
yang mengalami OA, sesuai dengan karakteristik masing-masing serta kebutuhannya. Oleh karena
itu diperlukan penilaian yang cermat pada sendi dan pasiennya secara keseluruhan, agar
penatalaksanaannya aman, sederhana, memperhatikan edukasi pasien serta melakukan pendekatan
multidisiplin.11,12
Tujuan:
1. Mengurangi/mengendalikan nyeri
2. Mengoptimalkan fungsi gerak sendi
3. Mengurangi keterbatasan aktivitas fisik sehari hari (ketergantungan kepada orang lain) dan
meningkatkan kualitas hidup
4. Menghambat progresivitas penyakit
5. Mencegah terjadinya komplikasi
Penilaian menyeluruh kualitas hidup pasien Osteoartritis sebelum memulai pengobatan.
Penting sekali mengetahui kualitas hidup pasien akibat OA yang dideritanya sebelum dimulainya
pengobatan, sebagaimana diagram dibawah ini.
Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan obat yang sering diresepkan oleh
dokter serta terjual bebas di masyarakat. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat, peresepan OAINS
mencapai hingga 4%-7%, namun data penggunaan OAINS di Indonesia belum didapatkan. OAINS
sering digunakan karena efektivitasnya yang baik sebagai analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik.1
Efektivitas kerja OAINS didapatkan dari kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin
melalui penghambatan kerja enzim siklooksigenase. Enzim siklooksigenase diketahui bekerja
pada jalur konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan, sehingga ketika
enzim ini dihambat maka asam arakhidonat tidak dapat dikonversi menjadi prostaglandin dan
tromboksan.1,2
Terdapat 2 macam enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologis, terdapat pada lambung,
ginjal dan trombosit) dan COX-2 (berperan pada proses inflamasi). OAINS yang bekerja dengan
cara menghambat COX-1 dan COX-2 (non selektif) dapat mengakibatkan perdarahan lambung,
gangguan fungsi ginjal, retensi cairan dan hiperkalemia. Sedangkan OAINS yang bersifat inhibitor
COX-2 selektif akan memberikan efek gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan
OAINS yang non selektif.14 Pada penggunaan OAINS jangka panjang perlu dipertimbangkan
pemberian proton-pump inhibitor untuk mengurangi risiko komplikasi traktus gastrointestinal.14
Untuk pasien berusia >75 tahun, penggunaan OAINS topikal lebih dianjurkan dibanding OAINS
oral.14 Pada kasus ini, penggunaan tramadol atau injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat
dianjurkan.14 Tramadol sama efektif dengan morfin atau meperidin untuk nyeri ringan sampai
sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Dosis maksimum per hari yang dianjurkan
untuk tramadol adalah 400 mg.14 Injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat diberikan bila terdapat
infeksi lokal atau efusi sendi.15
OAINS merupakan obat anti-inflamasi yang memiliki struktur molekular yang berbeda
dari steroid. Secara kimiawi, OAINS merupakan senyawa turunan dari asam asetat, asam
propionat, pirazol, dan zat kimia lainnya.1 OAINS bekerja dengan menghambat kerja dari enzim
siklooksigenase. Enzim ini berperan penting dalam jalur metabolisme asam arakhidonat, yaitu
bekerja untuk mengkatalis perubahan asam arakhidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan.1,3
Terdapat dua isoform enzim siklooksigenase yaitu siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2.
Kedua enzim ini memiliki struktur yang serupa, namun pada bagian substrate binding channel
enzim siklooogsinegase-2 memiliki sisi samping yang berbeda dengan enzim siklooksigenase-1.
Hal ini lah yang mendasari selektivitas inhibisi enzim ini oleh OAINS.4 Enzim siklooksigenase-1
terdapat di platelet, endotelium vaskular, epitelium gastrointestinal, otak, tulang belakang, dan
ginjal. Enzim ini berfungsi untuk meregulasi fungsi trombosit, proteksi mukosa gastrointestinal,
dan proteksi terhadap fungsi ginjal jika mengalami gangguan perfusi. Enzim siklooksigenase-2
diaktivasi oleh beberapa sitokin dan menginduksi kaskade inflamasi. Enzim ini banyak ditemukan
di plak aterosklerotik, makula densa, dan interstisial medula ginjal. Enzim ini berperan dalam
persepsi nyeri serta metabolisme air dan garam. Spektrum kerja OAINS terbagi menjadi dua yaitu
OAINS konvensional yang menghambat kerja kedua isoform enzim siklooksigenase dan OAINS
selektif yang hanya bekerja pada siklooksigenase-2.1,2,4
Hasil akhir metabolisme asam arakhidonat yang dikatalis oleh enzim siklooksigenase
adalah prostaglandin I2 dan tromboksan. Prostasiklin (prostaglandin I2) memiliki efek anti-
trombotik dan dihasilkan dari sel endotel dengan bantuan enzim siklooksigenase-2, sedangkan
tromboksan dihasilkan oleh platelet dengan bantuan dari enzim siklooksigenase-1 serta memiliki
efek pro-trombotik.3 Efek inhibisi OAINS digambarkan pada gambar 1 dibawah ini.15
Efek OAINS terhadap sistem kardiovaskular Efek samping OAINS yang paling umum
diketahui adalah ulkus peptikum, sehingga telah dikembangkan OAINS yang selektif menghambat
enzim siklooksigenase-2 dan diyakini lebih aman untuk lambung. Namun berbagai penelitian
menunjukkan adanya peningkatan risiko penyakit kardiovaksular pada penggunaan OAINS,
sehingga penggunaan OAINS saat ini menjadi perhatian terutama bagi pasien yang sejak awal
sudah memiliki penyakit kardiovaskular. Dari hasil metabolisme asam arakhidonat yang dihambat
oleh OAINS, prostasiklin memegang peranan penting dalam patofisiologi terjadinya gangguan
kardiovaskular akibat OAINS. Berkurangnya kadar prostasiklin dan prostaglandin E2 yang
bersifat vasodilator dan meningkatnya kadar tromboksan yang bersifat vasokonstriktor pada
penggunaan OAINS yang non-selektif akan menyebabkan terjadinya trombosis, destabilisasi plak
ateroma, dan aterogenesis. Enzim siklooksigenase-2 dikatahui sebagai sumber utama yang
membantu produksi prostasiklin, yang memiliki efek kardioprotektif pada cedera reperfusi pada
kondisi iskemia.4,5 Prostaglandin I2 (prostasiklin) memiliki peran yang penting dalam fisiologis
ginjal, sehingga penghambatan sintesisnya dapat menyebabkan retensi cairan. Retensi cairan yang
diakibatkan oleh terhambatnya sintesis prostaglandin dapat mengganggu homeostasis sistem
kardiovaskular sehingga pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular akan rentan terhadap efek
samping dari penggunaan OAINS ini.2 Inhibisi enzim siklooksigenase-2 juga menyebabkan
eksaserbasi gagal jantung dan hipertensi, serta remodelling ventrikel jantung.5 Selektivitas OAINS
digambarkan pada gambar 2 di bawah ini.15
OAINS golongan semiselektif (contohnya diklofenak dan meloksikam) dan non-selektif
(contohnya ibuprofen dan naproxen) meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Suatu meta-
analisis dari uji klinis menunjukkan adanya peningkatan risiko penyakit vaskular sebesar 3x pada
pasien yang menggunakan OAINS selektif dibandingkan kelompok plasebo. Diklofenak
meningkatkan risiko penyakit koroner sebesar 1,41 kali lebih besar dibandingkan plasebo,
sedangkan ibuprofen sebesar 2,22 kali lebih besar. Pasien yang mengonsumsi rofecoxib dengan
dosis 50 mg/hari akan berisiko 5x lebih besar mengalami kejadian tromboemboli dibandingkan
kelompok yang mengonsumsi naproxen, serta berisiko 2x lebih besar mengalami kejadian
tromboemboli dengan dosis 25 mg/hari dibandingkan kelompok plasebo.15
Dua meta-analisis menunjukkan bahwa OAINS dapat meningkatkan tekanan darah dengan
tekanan arteri rerata (mean arterial pressure) sebesar 3,3 mmHg dan 5 mmHg pada pasien
hipertensi. Pada pasien hipertensi yang mengonsumsi dua obat antihipertensi, OAINS dapat
meningkatkan tekanan arteri rereta sebesar 6 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
OAINS pada pasien hipertensi yang mengonsumsi obat antihipertensi akan menurunkan
efektivitas obat antihipertensi yang dikonsumsi.11 Selain menghilangkan efektivitas obat
antihipertensi, OAINS juga dapat berinteraksi dengan obat antihipertensi golongan penghambat
ACE, ARB, dan diuretik. Interaksi ini menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut sebesar 25,9%.
Efek samping lainnya yang dapat terjadi karena interaksi ini antara lain ialah hiponatremia dan
hiperkalemia, efek samping ini khususnya terjadi pada pasien lansia.15
Interaksi OAINS dengan pengambat ACE terjadi karena efek inhibisi prostaglandin dan
supresi aktivitas renin plasma. Hipotesis lain menyebutkan adanya faktor vasodilatif, seperti kinin,
yang secara parsial menghambat kerja penghambat ACE.1 Selain penghambat ACE, OAINS juga
berinteraksi dengan digoxin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ibuprofen dan
indometachin pada pasien yang mengonsumsi digoxin akan meningkatkan kadar digoxin di dalam
darah, sehingga penggunaan OAINS pada kelompok pasien yang mengonsumsi digoxin harus
berhati-hati. OAINS juga berinteraksi dengan obat anti-hipertensi golongan penghambat beta,
yaitu melalui efek penghambatan sintesis prostaglandin endogen dan inhibisi aktivitas renin
plasma. Suatu penelitian menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah sebesar 6,2 mmHg pada
pasien yang mengonsumsi penghambat beta dan OAINS. Dari seluruh obat antihipertensi,
diketahui hanya obat penghambat kanal kalsium yang cukup efektif dan tidak berinteraksi dengan
OAINS.13,12,15
Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) bekerja sebagai analgetik, anti-inflamasi, dan
anti-piretik dengan menghambat enzim siklooksigenase. OAINS terbagi menjadi dua berdasarkan
selektivitas kerjanya yaitu OAINS konvensional yang menghambat enzim siklooksigenase-1 dan
siklooksigenase-2, serta OAINS selektif yang hanya menghambat enzim siklooksigenase-2.
Efektivitas dan efek samping yang timbul dari konsumsi OAINS berhubungan dengan sintesis
prostaglandin dan tromboksan yang dipengaruhinya. OAINS yang selektif terhadap enzim
siklooksigenase-2 lebih aman bagi pasien dengan gangguan fungsi lambung karena bersifat
protektif terhadap gastrointestinal, namun OAINS golongan ini dapat berbahaya bagi pasien yang
memiliki penyakit kardiovaskular (gagal jantung, hipertensi, penyakit ginjal, dan infark miokard).
Selain dapat memperburuk fungsi jantung, OAINS juga dapat berinteraksi dengan obatobat
kardiovaskular sehingga menurunkan efektivitas obat-obat tersebut.14,15
OAINS dan gagal jantung Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi OAINS
tidak berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya gagal jantung pada orang yang tidak
memiliki penyakit jantung sebelumnya, namun dilaporkan bahwa edema terjadi pada 5%-10%
pasien yang mengonsumsi OAINS baik OAINS non-selektif maupun yang selektif. Penyebab
edema ini kemungkinan karena hipertensi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan retensi natrium.
Hal ini dianggap sebagai efek samping terhadap ginjal dari penggunaan OAINS. Hasil
pemeriksaan juga tidak menunjukkan adanya disfungsi jantung pada pasien yang mengalami
edema akibat konsumsi OAINS, sehingga dapat disimpulkan bahwa OAINS tidak secara langsung
menyebabkan terjadinya gagal jantung pada pasien tanpa gangguan kardiovaskular sebelumnya.13
Untuk pasien dengan gagal jantung kongestif, penggunaan OAINS dapat memperparah dan
mengeksaserbasi gagal jantung. Patofisiologi yang mendasari terjadinya eksaserbasi gagal jantung
adalah inhibisi produksi prostaglandin menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air,
meningkatkan resistensi vaskular sistemik, dan menurunkan respon tubuh terhadap diuretik. Oleh
sebab itu The American College of Cardiology Foundation/American Heart Association HF
merekomendasikan bahwa obat golongan OAINS harus dihindari atau dihentikan penggunaannya
pada pasien gagal jantung.10
Pendekatan terapi alternatif Bila dengan terapi awal tidak memberikan respon yang
adekuat: a. Untuk penderita dengan keluhan nyeri sedang hingga berat, dan memiliki
kontraindikasi pemberian COX-2 inhibitor spesifik dan OAINS, dapat diberikan Tramadol (200-
300 mg dalam dosis terbagi). Manfaatnya dalam pengendalian nyeri OA dengan gejala klinis
sedang hingga berat dibatasi adanya efek samping yang harus diwaspadai, seperti: mual (30%),
konstipasi (23%), pusing/dizziness (20%), somnolen (18%), dan muntah (13%).16
b. Terapi intraartikular seperti pemberian hyaluronan (Level of Evidence: I dan II) atau
kortikosteroid jangka pendek (satu hingga tiga minggu) pada OA lutut. (Level of Evidence: II)
Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar untuk menghindari penyulit yang
timbul. Sebagian besar literatur tidak menganjurkan dilakukan penyuntikan lebih dari sekali dalam
kurun 3 bulan atau setahun 3 kali terutama untuk sendi besar penyangga tubuh.
Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-sendi kecil
biasanya digunakan dosis 10 mg. Injeksi kortikosteroid intra-artikular harus dipertimbangkan
sebagai terapi tambahan terhadap terapi utama untuk mengendalikan nyeri sedang-berat pada
penderita OA
2. Viskosuplemen: Hyaluronan Terdapat dua jenis hyaluronan di Indonesia: high molecular weight
dan low molecular weight atau tipe campuran. Penyuntikan intra artikular viskosuplemen ini
dapat diberikan untuk sendi lutut. Karakteristik dari penyuntikan hyaluronan ini adalah onsetnya
lambat, namun berefek jangka panjang, dan dapat mengendalikan gejala klinis lebih lama bila
dibandingkan dengan pemberian injeksi kortikosteroid intraartikular. Cara pemberian: diberikan
berturut-turut 5 sampai 6 kali dengan interval satu minggu @ 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan untuk
jenis low molecular weight, 1 kali untuk jenis high molecular weight, dan 2 kali pemberian dengan
interval 1 minggu untuk jenis tipe campuran. Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar.
Kalau tidak dapat timbul berbagai penyulit seperti artritis septik, nekrosis jaringan dan abses steril.
Perlu diperhatikan faktor alergi terhadap unsur/bahan dasar hyaluronan misalnya harus dicari
riwayat alergi terhadap telur.
Tahap Ketiga Indikasi untuk tindakan lebih lanjut: 1. Adanya kecurigaan atau terdapat bukti
adanya artritis inflamasi: bursitis, efusi sendi: memerlukan pungsi atau aspirasi diagnostik dan
teurapeutik (rujuk ke dokter ahli reumatologi/bedah ortopedi. 2. Adanya kecurigaan atau terdapat
bukti artritis infeksi (merupakan kasus gawat darurat, resiko sepsis tinggi: pasien harus dirawat di
Rumah Sakit)
a. Pasien dengan gejala klinis OA yang berat, gejala nyeri menetap atau bertambah berat setelah
mendapat pengobatan yang standar sesuai dengan rekomendasi baik secara non-farmakologik dan
farmakologik (gagal terapi konvensional).
b. Pasien yang mengalami keluhan progresif dan mengganggu aktivitas fisik sehari-hari.
c. Keluhan nyeri mengganggu kualitas hidup pasien: menyebabkan gangguan tidur (sleeplessness),
kehilangan kemampuan hidup mandiri, timbul gejala/gangguan psikiatri karena penyakit yang
dideritanya.
e. Subluksasi lateral ligament atau dislokasi: rekonstruksi retinakular medial, distal patella
realignment, lateral release.
f. Gejala mekanik yang berat (gangguan berjalan/giving way, lutut terkunci/locking, tidak dapat
jongkok/inability to squat): tanda adanya kelainan struktur sendi seperti robekan meniskus: untuk
kemungkinan tindakan artroskopi atau tindakan unicompartmental knee replacement or
osteotomy/realignment osteotomies.
a. Laquesne Index
b. WOMAC Index
a. Gastroenteropati: dispepsia, ulserasi, perdarahan, dan kematian. Faktor risiko yang dapat
meningkatkannya: Riwayat ulkus sebelumnya, perdarahan gastrointestinal, dispepsia, intoleransi
terhadap OAINS sebelumnya, pemakaian steroid, antikoagulan, komorbiditas, pemakaian lebih
dari satu jenis OAINS, merokok, peminum alkohol.
b. Kardiovaskular dan ginjal Dapat berupa hipertensi, gagal jantung kongestif, gagal ginjal,
hiperkalemia. Faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan ginjal.
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan
Pengobatan osteoarthritis tidak dapat bergantung kepada pengobatan medikamentosa
semata. Pengobatan osteoarthritis juga membutuhkan edukasi dan modifikasi gaya hidup,
tatalaksana rehabilitasi medis atau bahkan pembedahan. Diperlukan pemahaman dari tenaga
kesehatan agar penatalaksanaan osteoarthritis dapat lebih baik, menyeluruh, dan pasien mendapat
pilihan terapi yang tepat agar nyeri dan kualitas hidup pasien dapat lebih baik
OAINS harus dihindari dan dihentikan pemakaiannya pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular seperti gagal jantung dan infark miokard. Penggunaan OAINS pada pasien
hipertensi harus berhati-hati karena OAINS dapat menurunkan efektivitas obat antihipertensi
sehingga tekanan darah menjadi tidak terkontrol. Jika tidak dapat dihindari pemakaiannya, obat
antihipertensi yang tidak berinteraksi dengan OAINS adalah obat-obatan dari golongan
penghambat kanal kalsium, sehingga penggunaan OAINS pada pasien ini masih dapat
dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baker, K. (2000). "An Update on Exercise Therapy for Knee Osteoarthritis." Nutrition in
Clinical Care (Tahun 3, Nomor 4) Hlm.216-224.
2. Beckerman, IL, L. M. Bouter, G. J. M. G. v. d. Heijden, R. A. D. Bie and B. W. Koes
(1993). "Efficacy of Physiotherapy for Musculoskeletal Disorders : What Can We Learn
from Research?" British Journal of General Practice (Tahun 43, Nomor 73-77.
3. Brukner, P. and K. Khan (2007). Clinical Sports Medicine. Sydney, McGraw-Hill.
4. Cote, L. G. (2001). "Management Osteoarthritis." Journal of the American Academy of
Nurse Practitioners (Tahun 13, Nomor 11) Hlm.495-499.
5. Deyle, G., N. Henderson, R. Matekel, M. Ryder, M. Garber and S. Allison (2000).
"Effectiveness of Manual Physical Therapy and Exercise in Osteoarthritis of the Knee: A
Randomized Controlled Trial." Annual Internal Medicine (Tahun 132, Nomor 173-181.
6. Hoeksma, H., J. Dekker, H. Ronday. A. Heering and F. Breedveld (2004). "Comparison of
Manual Theraphy and Exercise Therapy in Oswoarlhriiis of the Hip: a Randomized
Clinical Trial." Arthritis Rheumatology (Tahun 5l,Nomor5)Hlm.722-729.
7. Moraska, A. (2005). "Sports Massage : a Comprehensive Review" Journal Sports Medicine
and Physical Fittness (Tahun 2005, Nomor 45) Him.370-80.
8. Petty, N. J. (2004). Principles of Neiiromusculoskeletal Treatment and Management: a
Guide for Therapist. Edinburgh, Churchill Livingstone
9. Stollberger C, Finsterer J. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs in patients with cardio- or
cerebrovascular disorders. Z Kardiol. 2003; 92(1):721-9.
10. Feenstra J, Heerdink ER, Grobbee DE, Stricker BH. Association of nonsteroidal anti-
inflammatory drugs with first occurence of heart failure and with relapsing heart failure:
the Rotterdam Study. Arch Interns Med. 2002; 162(3):265-79.
11. Pawlosky N. Cardiovascular risk: Are all NSAIDs alike?. Clinical Brief. 2013; 146(2):80-
83. 4. White WB, Cruz C. Impact of NSAIDs on cardiovascular risk and hypertension.
Italian Journal of Medicie. 2011; 5(1):175-83.
12. Marsico F, Paolillo S, Filardi PP. NSAIDs and cardiovascular risk. J Cardiovasc Med.
2017; 18(1):40-3. 6. Olsen AS, Fosbol EL, Gislason GH. The impact of NSAID treatment
on cardiovascular risk-Insight from Danish Observational Data. Basic & Clinical
Pharmacology & Toxicology. 2014; 115(1):179-84.
13. Fournier JP, Sommet A, Durrieu G, Poutrain JC, Mestre ML, dkk. Drug interactions
between antihypertensive drugs and non-steroidal antiinflammatory agents: a descriptive
study using the French Pharmacovigilance database. Fundamental & Clinical
Pharmacology. 2014; 28(1):230-5. 8. Zwieten PA. Interactions between antihypertensive
agents and other drugs.European Society of Hypertension Scientific Newsletter. 2003;
4(17):1-2.
14. Albishri J. NSAIDS and hypertension. Anesth Pain & Intensive Care. 2013; 17(2):171-3.
15. Robert L, O’Braynt CL, Cheng D, Dow TJ, Ky B. Drugs that may cause or exacerbate
heart failure. Circulation. 2016; 134(1):1-39.
16. Prof. DR. Dr. Handono Kalim, SpPD K-R, Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis,
2017