Dibukanya rekaman pembicaraan hasil sadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari
telepon milik pengusaha Anggodo Widjoyo dalam siding di Mahkamah Konstitusi (MK)
pada bulan November 2009 yang lalu seakan membuka mata dan telinga seluruh masyarakat
Indonesia mengenai keberadaan mafia di sIstem masyarakat Indonesia. Dari rekaman
berdurasi 4,5 jam itu terungkap adanya konspirasi antara pejabat di Kepolisian, Kejaksaan,
pengacara serta sejumlah orang di lingkaran dunia hukum denganA nggodo untuk menjebak
pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Walaupun belum terbukti
kebenarannya, rekaman pembicaraan itu seakan membeberkan dengan jelas bagaimana
permainan para aparat hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, dan pengacara dalam merekayasa
atau mengarahkan suatu perkara mulai dari membuat keterangan palsu di BAP sampai
menyuap para penyidik di Kepolisian. Terungkapnya rekayasa peradilan ini, juga
menyadarkan semua pihak bahwa kebobrokan sistem hukum yang selama ini seakan hanya
bayangan, ternyata benar-benar ada dan terbukti di depan mata.
Dari beberapa sumber ada dua bentuk pengertian dari mafia hukum ini, yaitu penyebutan
mafia hukum dan mafia peradilan.
Pertama, Mafia Hukum disini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-Undang
oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih
berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik
hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu
ajaran keputusan politik yang menyangkut kebijakan politik, namun nuansa politis di sini
tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang
bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka
panjang. Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 25 tahun 1997
yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 oktober 2002 (berdasarkan
Perpu No.3 tahun2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun
2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut
pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang mengganti UU No. 25 tahun 1997.
Kedua, Mafia Peradilan di sini dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan
para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi
suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.
Modus pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. “Kalau
ditanyakan ke panitera, akan dapat sinyal bahwa hakim minta sesuatu”.
Modus kedua, adalah manipulasi fakta hukum. “Hakim sengaja tidak memberi penilaian
terhadap suatu fakta atau sutu bukti tertentu sehingga putusannya ringan atau bebas”.
Modus ketiga, adalah manipulasi penerapan peraturan perundang- undangan yang tidak
sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Majelis hakim, mencariperaturan
hukum sendiri sehingga fakkta-fakta hukum ditafsirkan berbeda.
Modus keempat, adalah pencaria peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar
dakwaan jaksa beralih ke pihak lain. Terutama pada kasus korupsi. “Dibuat agar
terdakwamelakukan hal tersebut atas perintah atasan sehingga terdakwa dibebaskan”.
Selain itu, terdapat bentuk-bentuk dan modus operansi dari mafia hukum mulai dari
kepolisian hingga di Lembaga pemasyarakatan;
Di Kepolisian
a. Tahap Penyelidikan
Permintaan uang jasa. Laporan ditindak lanjuti setelah menyerahkan uang jasa, penggelapan
perkara, penanganan perkara dihentikan setelah ada kesepakatan membayar sejumlah uang
pada polisi.
b. Tahap Penyidikan
Negosiasi perkara, tawar menawar pasal yang dikenakan terhadap tersangka dengan uang
yang berbeda-beda, menunda surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada kejaksaan,
pemerasan oleh Polisi, tersangka dianiaya lebih dulu agar mau kooperatif dan menyerahkan
uang, mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai, pengaturan ruang Tahanan,
penempatan di ruang tahanan menjadi alat tawar menawar.
Di Kejaksaan
a. Pemerasan
Penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai, Surat panggilan sengaja tanpa
status “saksi” atau “tersangka”, pada ujung agar statusnya tidak menjadi “tersangka”.
b. Negosiasi Status
Perubahan status tahanan seorang tersangka juga jadi alat tawar-menawar.
c. Pelepasan Tersangka
Melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau sengaja membuat dakwaan ynga
kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa di vonis bebas.
d. Penggelapan Perkara
Berkas perkara dapat dihentikan jika memberikan sejumlah uang.
e. Negosiasi Perkara
Proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan isyarat agar keluarga tersangka menghubungi
jaksa. Dapat melibatkan Calo, antara lain dari kejaksaan, anak pejabat, pengacara rekanan
jaksa. Berat atau kecilnya dakwaan menjadi alat tawar menawar.
f. Pengurangan tuntutan
Tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan uang. Berita acara pemeriksaan
dibocorkan saat penyidikan. Pasal yang disangkakan juga dapat diperdagangkan.
Di Persidangan
Permintaan uang jasa, pengacara harus menyiapkan uang ekstra untuk bagian registrasi
pengadilan, Penentuan Majelis Hakim Dapat dilakukan sendiri, atau menggunakan jasa
panitera pengadilan.
a. Negosiasi Putusan
b. Sudah ada koordinasi sebelumnya mengenai tuntutan jaksa yang berujung pada vonis
hakim.
c. Tawar menawar antara hakim, jaksa dan pengacara mengenai besarnya hukuman serta
uang yang harus dibayarkan.
Di Lembaga Pemasyarakatan
a. Pungutan bagi pengunjung
b. Uang cuti
d. Menggunakan orang lain yang identitasnya disesuaikan identitas terpidana
e. Perlakuan istimewa
2. KasusAnggodo Widjoyo
Dalam rekaman percakapan antaraAnggodo Widjoyo dan beberapa pejabat Polri, Kejaksaan
agung, penyidik polisi/jaksa, makelar kasus, pengacara, adalah pembuktian adanya mafia
peradilan. Arek Surabaya di Jalan Karet 12 Surabaya itu, siA nggodo, membuktikan diri
sebagai kepala mafia. Anggodo, dengan uangnya yang nyaris tak terbatas, bisa dengan
enaknya mendikte siapa saja. Termasuk mendikte orang-orang penting di jajaran penegak
hukum negeri ini. Dan memang begitulah kerja mafia. Sejak dulu ada, bahkan dipraktikkan
setiap hari, tapi sulit dibuktikan. Baru kali ini rakyat Indonesia mendengar langsung ulah
mafia itu. Anggodo ibarat dewa sakti bertangan seribu. Dia paham betul yang namanya BAP,
berita acara pemeriksaan. Bagaimana cara menjebloskan orang KPK, Chandra Hamzah dan
Bibit Samad Riyanto, ke dalam penjara. Dalam perkembangannya, kasusA nggodo
dilimpahkan ke KPK oleh pihak kepolisian, dengan harapanAnggodo dapat disilidiki dan
dijadikan tersangka.
3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf)A gus Isrok, anak mantan Kepala StafA ngkatan
Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer
dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga
dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap
vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis
kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU
Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum
militer yang diterapkan pada kasus narkoba. Tommy Soeharto, anak mantan presiden
Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling tanah Bulog di
Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil
ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan
grasinya ditolak oleh presiden. Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan,
dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan elektronik, namun sampai saat
makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini
mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.
4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang
menewaskan tiga orang staf NHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat.
Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa
Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid
untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim
misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia),
sampai dengan ancaman embargo olehA merika Serikat. Tekanan internasional ini
mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti persenjataan milisi
Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap
bertanggung jawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di
bagian lain di Indonesia, misalnya: Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk
kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan
sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali
aman dan normal. Meskipun perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di
Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan
masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan
penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.
Sedangkan beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya mafia hukum, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini lebih kepada faktor yang berasal dari orang
atau oknum itu sendiri, faktor tersebut antara lain :
Pertama, Adanya keakraban antara elit hukum dengan masyarakat yang berperkara.
Kedua, aspek pertemanan.
Ketiga, budaya konsumerisme aparat hukum. Soehandojo menegaskan bahwa justru aspek
konsumerisme yang paling menonjol diantara ketiga aspek yang ada.
Keempat, kualitas moral para aparat penegak hukum menjadi hal yang utama dalam Mafia
Peradilan ini. Ini menyebabkan tidak ada rasa takut dan bersalah yang dirasakan oleh para
penegak hukum kita meskipun dalam hal melaksanakan hukum dengan hukum yang salah.
Sehingga tidak heran ketika melaksanakan tugas mulianya, para penegak hukum lebih
memilih uang dari pada memberikan putusan dengan benar. Mungkin pendidikan moral dan
agama ini menjadi salah satu titik tekan yang harus diperhatikan yang harus dimiliki oleh
setiap penegak hukum dimanapun. Karena agama manapun tidak pernah menghalalkan
perbuatan itu.
Kelima, kualitas keilmuan yang rendah juga menjadi hal yang penting dalam menimbulkan
mafia peradilan ini. Kualitas keilmuan dari orang-orang yang terlibat dalam proses penegakan
hukum sangat berpengaruh besar terhadap kualitas/bobot proses peradilan dan kualitas/bobot
putusan seorang hakim. Sehingga mafia peradilan itupun menjadi hal yang tidak akan
dilakukan dalam
penegakan hukum.
Praktik-praktik mafia peradilan yang selama ini terjadi sudah menjadi bagian dari rekayasa
para penegak hukum baik kasus kecil maupun besar. Semakin besar kasus yang diperiksa
semakin besar pula “pendapatan” yang diperoleh para pelaku mafia peradilan ini. Mafia
peradilan menjadi sebuah momok yang sangat menakutkan dalam proses rekonstruksi hukum
dan supremasi hukum di negara kita sehingga harus dibasmi. Langkah yang harus ditempuh
oleh para petinggi negara kita pun harus mampu menjadikan peradilan kita membaik dan
mendapat kepercayaan dari masyarakat.
PENUTUP