Anda di halaman 1dari 7

EKSISTENSI MAFIA HUKUM DI INDONESIA

Dibukanya rekaman pembicaraan hasil sadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari
telepon milik pengusaha Anggodo Widjoyo dalam siding di Mahkamah Konstitusi (MK)
pada bulan November 2009 yang lalu seakan membuka mata dan telinga seluruh masyarakat
Indonesia mengenai keberadaan mafia di sIstem masyarakat Indonesia. Dari rekaman
berdurasi 4,5 jam itu terungkap adanya konspirasi antara pejabat di Kepolisian, Kejaksaan,
pengacara serta sejumlah orang di lingkaran dunia hukum denganA nggodo untuk menjebak
pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Walaupun belum terbukti
kebenarannya, rekaman pembicaraan itu seakan membeberkan dengan jelas bagaimana
permainan para aparat hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, dan pengacara dalam merekayasa
atau mengarahkan suatu perkara mulai dari membuat keterangan palsu di BAP sampai
menyuap para penyidik di Kepolisian. Terungkapnya rekayasa peradilan ini, juga
menyadarkan semua pihak bahwa kebobrokan sistem hukum yang selama ini seakan hanya
bayangan, ternyata benar-benar ada dan terbukti di depan mata.

1. Pengertian dan peristilahan


Apabila dilihat aspek bahasa, mafia hukum terdiri akar kata mafia dan hukum. Mafia berasal
dari bahasa Sisiliakuno, Mafiusu, yang diduga mengambil kata Arab “mahyusu” yang artinya
tempat perlindungan atau pertapaan. Setelah revolusi pada 1848, keadaan pulau Sisilia kacau
sehingga mereka perlu membentuk ikatan suci yang melindungi mereka dari serangan bangsa
lain dalam hal ini bangsa Spanyol. Nama mafia mulai terkenal setelah sandiwara dimainkan
pada1863 dengan judul mafusi de la Vicaria “Cantiknya rakyat Vicaria”, yang menceritakan
tentang kehidupan pada gang penjahat di penjara Palermo.

Dari beberapa sumber ada dua bentuk pengertian dari mafia hukum ini, yaitu penyebutan
mafia hukum dan mafia peradilan.
Pertama, Mafia Hukum disini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-Undang
oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih
berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik
hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu
ajaran keputusan politik yang menyangkut kebijakan politik, namun nuansa politis di sini
tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang
bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka
panjang. Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 25 tahun 1997
yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 oktober 2002 (berdasarkan
Perpu No.3 tahun2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun
2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut
pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang mengganti UU No. 25 tahun 1997.
Kedua, Mafia Peradilan di sini dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan
para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi
suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.

Bentuk-bentuk mafia peradilan, misalnya makelar kasus, suap menyuap, pemerasan,


mengancam pihal-pihak lain, pungutan-pungutan yang tidak semestinya, dan sebagainya.
Mafia Peradilan tidak bisa dibuktikan keberadaanya. Jika bisa dibuktikan berarti bukan
“mafia” namun kejahatan biasa. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, mafia adalah suatu
organisasi kriminal yang hampir menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Istilah
mafia merujuk pada kelompok rahasia tertentu yang melakukan tindak kejahatan
terorganisasi sehingga kegiatan mereka sangat sulit dilacak secara hukum. Ada pengertian
lain dari mafia hukum ini. Istilah mafia disini menunjuk pada adanya “suasana” yang
sedemikian rupa sehingga perilaku, pelayanan, kebijaksanaan maupun keputusan tertentu
akan terlihat secara kasat mata sebagai suatu yang berjalan sesuai dengan hukum padahal
sebetulnya “tidak”. Dengan kata lain mafia peradilan ini tidak akan terlihat karena mereka
bisa berlindung dibalik penegakan dan pelayanan hukum. Masyarakat menjadi sulit untuk
mengenali mana penegak hukum yang jujur dan tidak terpengaruh oleh mafia dengan para
penegak hukum yang sudah terkontaminasi.

2. Eksistensi Mafia Hukum di Lembaga Peradilan


Mafia Peradilan dalam perkara pidana mencakup semua proses pidana sejak pemeriksaan di
kepolisian, penututan di kejaksaan, pemeriksaan di semua tingkat peradilan, sejak pengadilan
tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Misalnya perihal Surat Pemberitahuan
Penghentian Penyidikan (SP3) di tingkat kepolisian maupun kejaksaan. SP3 ini tidak
mungkin bisa diterbitkan secara
gratis. Pasti ada harganya. Harganya bisa dalam rupiah maupun keuntungan politis tertentu.
Hak penyidik, penuntut umum atau hakim untuk menahan atau tidak menahan seseorang
tersangka atau terdakwa adalah wilayah paling rawan terjadinya transaksi yang sifatnya
moniter. Hukum acara yang mendasari wewenang untuk menahan memang lemah. Hanya
atas dasar kekhawatiran maka para penegak hukum ini dengan mudah dapat melakukan
penahanan terhadap tersangka.

3. Modus Operandi Beberapa Kasus Mafia Hukum


3.1. Modus Operandi Mafia Kasus
Rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah bukti bahwa ternyata
mafia itu ada. Makelar itu punya akses VIP ke orang-orang VVIP di puncak-puncak badan
penegak hukum. Mafia itu kuatdan bisa bahkan menjebloskan orang, memerangkap orang,
dan mengatur berbagai kesaksian agar bisa dipercepat dan dieksekusi badan penwgak hukum.
Rekaman selama beberapa jam itu membeberkan misteri yang selama ini hanya diketahui
sepotong-sepotong dan tidak ada bukti yang jelas. Jika diungkapkan ke publik pun akan
dikenai pasal pencemaran nama baik. Mereka adalah korps tidak terlihat, tangan-tangan yang
mengatur semua perkara apa yang bisa diselesaikan sesuai permintaan. Busyro Muqoddas
membeberkan modus operandi dari mafia hukum ini. Menurutnya, ada empat modus
operandi mafia peradilan di Indonesia.

Modus pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. “Kalau
ditanyakan ke panitera, akan dapat sinyal bahwa hakim minta sesuatu”.

Modus kedua, adalah manipulasi fakta hukum. “Hakim sengaja tidak memberi penilaian
terhadap suatu fakta atau sutu bukti tertentu sehingga putusannya ringan atau bebas”.

Modus ketiga, adalah manipulasi penerapan peraturan perundang- undangan yang tidak
sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Majelis hakim, mencariperaturan
hukum sendiri sehingga fakkta-fakta hukum ditafsirkan berbeda.

Modus keempat, adalah pencaria peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar
dakwaan jaksa beralih ke pihak lain. Terutama pada kasus korupsi. “Dibuat agar
terdakwamelakukan hal tersebut atas perintah atasan sehingga terdakwa dibebaskan”.
Selain itu, terdapat bentuk-bentuk dan modus operansi dari mafia hukum mulai dari
kepolisian hingga di Lembaga pemasyarakatan;
Di Kepolisian
a. Tahap Penyelidikan
Permintaan uang jasa. Laporan ditindak lanjuti setelah menyerahkan uang jasa, penggelapan
perkara, penanganan perkara dihentikan setelah ada kesepakatan membayar sejumlah uang
pada polisi.
b. Tahap Penyidikan
Negosiasi perkara, tawar menawar pasal yang dikenakan terhadap tersangka dengan uang
yang berbeda-beda, menunda surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada kejaksaan,
pemerasan oleh Polisi, tersangka dianiaya lebih dulu agar mau kooperatif dan menyerahkan
uang, mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai, pengaturan ruang Tahanan,
penempatan di ruang tahanan menjadi alat tawar menawar.

Di Kejaksaan
a. Pemerasan
Penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai, Surat panggilan sengaja tanpa
status “saksi” atau “tersangka”, pada ujung agar statusnya tidak menjadi “tersangka”.
b. Negosiasi Status
Perubahan status tahanan seorang tersangka juga jadi alat tawar-menawar.
c. Pelepasan Tersangka
Melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau sengaja membuat dakwaan ynga
kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa di vonis bebas.
d. Penggelapan Perkara
Berkas perkara dapat dihentikan jika memberikan sejumlah uang.
e. Negosiasi Perkara
Proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan isyarat agar keluarga tersangka menghubungi
jaksa. Dapat melibatkan Calo, antara lain dari kejaksaan, anak pejabat, pengacara rekanan
jaksa. Berat atau kecilnya dakwaan menjadi alat tawar menawar.
f. Pengurangan tuntutan
Tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan uang. Berita acara pemeriksaan
dibocorkan saat penyidikan. Pasal yang disangkakan juga dapat diperdagangkan.

Di Persidangan
Permintaan uang jasa, pengacara harus menyiapkan uang ekstra untuk bagian registrasi
pengadilan, Penentuan Majelis Hakim Dapat dilakukan sendiri, atau menggunakan jasa
panitera pengadilan.
a. Negosiasi Putusan
b. Sudah ada koordinasi sebelumnya mengenai tuntutan jaksa yang berujung pada vonis
hakim.
c. Tawar menawar antara hakim, jaksa dan pengacara mengenai besarnya hukuman serta
uang yang harus dibayarkan.

Tahap Banding Perkara


a. Negosiasi putusan, Pengacara menghubungi hakim yang mengadili, lalu tawar menawar
hukuman.
b. Penundaan eksekusi, Pelaksanaan putusan dapat ditunda dengan membayar sejumlah uang
kepada jaksa melalui calo perkara atau
pelaksana eksekusi.

Di Lembaga Pemasyarakatan
a. Pungutan bagi pengunjung
b. Uang cuti
d. Menggunakan orang lain yang identitasnya disesuaikan identitas terpidana
e. Perlakuan istimewa

CONTOH KASUS MAFIA HUKUM DI INDONESIA

1. Kasus Jaksa urip Tri Gunawan


Seorang yang dikategorikan sebagai jaksa terbaik sehingga dipercaya menjadi ketua Tim
Penyelidikan Kasus BLBI-BDNI, Urip Tri Gunawan, tertangkap tangan menerima uang yang
diduga suap oleh Komisi pemberantasan korupsi (KPK), 2 Maret 2008. Tak ttanggung-
tanggung, ia menerima suap sebanyak US$ 660.000 atau sekitar 6,1 milyar dari artalyta
Suryani teman baik Sjamsul Nursalim, pengusaha yang terkait kasus BLBI. Jaksa itu, oleh
KPK, dijadikan sebagai tersangka penerima suap, kendati ia membantah dan mengakuinya
sebagai transaksi jual-beli permata. Namun KPK berkeyakinan telah punya bukti kuat bahwa
hal itu adalah suap.

2. KasusAnggodo Widjoyo
Dalam rekaman percakapan antaraAnggodo Widjoyo dan beberapa pejabat Polri, Kejaksaan
agung, penyidik polisi/jaksa, makelar kasus, pengacara, adalah pembuktian adanya mafia
peradilan. Arek Surabaya di Jalan Karet 12 Surabaya itu, siA nggodo, membuktikan diri
sebagai kepala mafia. Anggodo, dengan uangnya yang nyaris tak terbatas, bisa dengan
enaknya mendikte siapa saja. Termasuk mendikte orang-orang penting di jajaran penegak
hukum negeri ini. Dan memang begitulah kerja mafia. Sejak dulu ada, bahkan dipraktikkan
setiap hari, tapi sulit dibuktikan. Baru kali ini rakyat Indonesia mendengar langsung ulah
mafia itu. Anggodo ibarat dewa sakti bertangan seribu. Dia paham betul yang namanya BAP,
berita acara pemeriksaan. Bagaimana cara menjebloskan orang KPK, Chandra Hamzah dan
Bibit Samad Riyanto, ke dalam penjara. Dalam perkembangannya, kasusA nggodo
dilimpahkan ke KPK oleh pihak kepolisian, dengan harapanAnggodo dapat disilidiki dan
dijadikan tersangka.

FAKTOR KETIDAKADILAN DAN MUNCULNYA MAFIA

Hukum Kasus-kasus ketidakadilan penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa


hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.

1. Tingkat Kekayaan Seseorang


Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan
areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad Bob Hasan. PN
Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan
terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan
masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob
Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses
pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank
Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi
milyaran rupiah lainnya. Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan
bersenjata, korupsi yang merugikan negara³ hanya´ sekian puluh juta rupiah, putusan kasus
Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa
kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya
menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan
kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi. Kita bisa
membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun
1985. Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter
persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan masa percobaan
enam bulan pada tanggal 2A pril 1986, karena terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena
mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulanA
gustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-
mandir Bojonegoro Jakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes
Polri, KejaksaanA gung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan
sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.

2. Tingkat Jabatan Seseorang


Kasus Ancol gate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan
Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam
studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan
yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan
uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini,
sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, semenara Kepala
Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak
dikenai tindakan apapun. Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera
setelah media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan
studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat
mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat
terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun
terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI,
yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan JayaA ncol ikut
bertanggungjawab.

3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf)A gus Isrok, anak mantan Kepala StafA ngkatan
Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer
dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga
dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap
vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis
kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU
Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum
militer yang diterapkan pada kasus narkoba. Tommy Soeharto, anak mantan presiden
Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling tanah Bulog di
Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil
ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan
grasinya ditolak oleh presiden. Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan,
dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan elektronik, namun sampai saat
makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini
mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.

4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang
menewaskan tiga orang staf NHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat.
Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa
Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid
untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim
misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia),
sampai dengan ancaman embargo olehA merika Serikat. Tekanan internasional ini
mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti persenjataan milisi
Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap
bertanggung jawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di
bagian lain di Indonesia, misalnya: Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk
kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan
sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali
aman dan normal. Meskipun perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di
Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan
masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan
penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.

Sedangkan beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya mafia hukum, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini lebih kepada faktor yang berasal dari orang
atau oknum itu sendiri, faktor tersebut antara lain :
Pertama, Adanya keakraban antara elit hukum dengan masyarakat yang berperkara.
Kedua, aspek pertemanan.
Ketiga, budaya konsumerisme aparat hukum. Soehandojo menegaskan bahwa justru aspek
konsumerisme yang paling menonjol diantara ketiga aspek yang ada.
Keempat, kualitas moral para aparat penegak hukum menjadi hal yang utama dalam Mafia
Peradilan ini. Ini menyebabkan tidak ada rasa takut dan bersalah yang dirasakan oleh para
penegak hukum kita meskipun dalam hal melaksanakan hukum dengan hukum yang salah.
Sehingga tidak heran ketika melaksanakan tugas mulianya, para penegak hukum lebih
memilih uang dari pada memberikan putusan dengan benar. Mungkin pendidikan moral dan
agama ini menjadi salah satu titik tekan yang harus diperhatikan yang harus dimiliki oleh
setiap penegak hukum dimanapun. Karena agama manapun tidak pernah menghalalkan
perbuatan itu.
Kelima, kualitas keilmuan yang rendah juga menjadi hal yang penting dalam menimbulkan
mafia peradilan ini. Kualitas keilmuan dari orang-orang yang terlibat dalam proses penegakan
hukum sangat berpengaruh besar terhadap kualitas/bobot proses peradilan dan kualitas/bobot
putusan seorang hakim. Sehingga mafia peradilan itupun menjadi hal yang tidak akan
dilakukan dalam
penegakan hukum.

Sedangkan faktor Eksternal antara lain :


Pertama, kondisi peraturan perundang-undangan kita kebanyakan memberikan celah bagi
para penegak hukum untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan hukum.
Para penegak hukum pada umumnya mampu untuk menafsirkan dengan berbagai arti tentang
aturan perundang-undangan yang ada sehingga tafsiran itu bisa diterapkan dalam
memenangkan sebuah kasus.
Kedua, kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat sehingga dari kalangan masyarakat
pun kurang membudayakan taat hukum. Hal ini sebenarnya juga dapat dipengaruhi kondisi
penegak hukum dalam melaksanakan hukum.
Ketiga, kekuasaan dan kewenangan para penegak hukum terutama hakim yang sangat kuat,
terutama dalam melakukan sebuah putusan seorang hakim mempunyai kekuatan yang tidak
bisa diintervensi oleh pihak manapun. Namun, putusan dari hakim justru banyak yang tidak
sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat.

Praktik-praktik mafia peradilan yang selama ini terjadi sudah menjadi bagian dari rekayasa
para penegak hukum baik kasus kecil maupun besar. Semakin besar kasus yang diperiksa
semakin besar pula “pendapatan” yang diperoleh para pelaku mafia peradilan ini. Mafia
peradilan menjadi sebuah momok yang sangat menakutkan dalam proses rekonstruksi hukum
dan supremasi hukum di negara kita sehingga harus dibasmi. Langkah yang harus ditempuh
oleh para petinggi negara kita pun harus mampu menjadikan peradilan kita membaik dan
mendapat kepercayaan dari masyarakat.

PENUTUP

Melihat penyebab ketidak adilan penegakan hukum di Indonesia,


maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun
pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa
perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme akan
terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Selain perbaikan kinerja
aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya
perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak akan
muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain mengharapkan peran
DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan
perundangundang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan
kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat.
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci
dalam penegakan hukum secara konsisten. Semoga dengan dimuatnya artikel ini pengunjung
dapat lebih memahami kondisi penagakan hukum di Indonesia dan dapat ikut serta
memikirkan langkah-langkah strategis dalam menegakkan hukum dan keadilan.***

Anda mungkin juga menyukai